PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN ASMA MENURUT GINA 2017
Oleh: Melati Sari HET 17-XXVIII-407 M. Furqon HET 17-XXVIII-408 Rahmadhya Khairina Rianti HET 17-XXVIII-413
Telah disetujui oleh pembimbing penatalaksanaan asma Hippocrates Emergency Team Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Pembimbing Prosedur Tetap NAMA Tiara Rahma Zain S.Ked
JABATAN Pembimbing I
(HET 13-XXIV-371) Ihsanul Fikri S.Ked (HET 14-XXV-383)
Pembimbing II
TANDA TANGAN
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN ASMA MENURUT GINA 2017
I.
DEFINISI
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang yang bervariasi. bervariasi.
Variasi yang yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen 1
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas. Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau
dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan beban yang signifikan bagi ba gi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut tersebut biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, 1,2
dan akan membaik dengan terapi.
II.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendel.
1
Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma meliputi infeksi virus, alergen rumah tangga seperti tungau debu rumah, serbuk sari bunga, kecoa, asap tembakau, olahraga dan stres. Respons ini
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN ASMA MENURUT GINA 2017
I.
DEFINISI
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang yang bervariasi. bervariasi.
Variasi yang yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen 1
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas. Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau
dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan beban yang signifikan bagi ba gi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut tersebut biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, 1,2
dan akan membaik dengan terapi.
II.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendel.
1
Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma meliputi infeksi virus, alergen rumah tangga seperti tungau debu rumah, serbuk sari bunga, kecoa, asap tembakau, olahraga dan stres. Respons ini
lebih sering terjadi bila asma tidak terkontrol. terkontrol. Beberapa obat juga dapat memicu asma seperti beta bloker, aspirin aspirin atau NSAID lainnya. lainnya. Berikut 1,2,3
adalah faktor risiko asma yang dapat dimodifikasi:
1. Pasien dengan minimal satu faktor risiko eksaserbasi 2. Minimal satu periode eksaserbasi berat di tahun terakhir 3. Paparan tembakau dan rokok 4. Penurunan FEV1 terutama kurang dari 60% prediksi 5. Beban psikologis 6. Beban sosial-ekonomi 7. Alergi makanan 8. Paparan alergen 9. Terdapat eosinophilia pada pemeriksaan sputum
III.
PATOFISIOLOGI
1. Hygiene Hypothesis Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak
diteliti.
Strachan
merupakan
mengemukakan teori hygiene hypothesis.
orang
yang
pertama
kali
Teori tersebut mengatakan
bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tidak higienis dapat melindungi perkembangan alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2) dan setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidens asma menurun akibat infeksi tertentu (M tuberkulosis, campak, atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotika.
Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaaan Th2 menetap sehingga keseimbangan akan bergeser ke arah Th2, merangsang produksi antibodi Ig E untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu 5,6
kucing.
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi Ig E pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL4. Sitokin
ini
dihasilkan
imunologis janin.
oleh
plasenta
untuk
mencegah penolakan
Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan
perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30-40 tahun terakhir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gamma (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan Ig 3,4
E.
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi adalah mast sel, limfosit limfosit T dan eosinophil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, Ig Ig E disintesis dan kemudian melekat ke target target sel. Pajanan alergen menyebabkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan , recruitment dan aktivasi eosinophil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted 3
(RANTES).
2. Obstruksi saluran napas Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari terjadinya ganngguan fungsi pada asma yaitu obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran aliran udara yang yang bersifat reversibel. Perubahan fungsional
ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan respons saluran napas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkhokontriksi. Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas melalui pengaruhnya terhadap saraf aferen.
Rangsangan
saraf aferen pada keadaan hiperkapnia atau hipoksemia misalnya akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya 3
akibat serangan asma akut.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotriene C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen local dan asetilkolin yang berasal dari saraf aferen post gangglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran napas adalah hiperplasia kronik otot polos, pembuluh 3,4
darah, serta terjadi deposisi matriks pada dinding saluran nap as.
3. Hiperreaktivitas saluran napas Asma hampir selalu dihubungkan dengan mudahnya saluran napas mengalami penyempitan dan atau respons yang berlebihan terhadap provokasi stimulus.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan ini sampai saat ini belum diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas. Inflamasi pada dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkhial cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat 3,4
kontraksi otot polos tersebut.
4. Hipersekresi mukus Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada penyakit bronchitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah
satu karakteristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat merokok ataupun bekerja pada lingkungan berdebu. Hiperplasia kelenjar submucosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien asma dan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi saluran napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak 3,4
mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, 4
eosinophil, dan DNA yang berasal dari sel in flamasi yang lisis.
3
Gambar 3.1. Patofisiologi Asma. Dikutip dari Makmuri.
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal
tempat
terjadinya
obstruksi
terjebak
tidak
bisa
ekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KFR) dan pasien akan bernapas dengan volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk 4
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan FEV1 ( forced expiratory volum in 1 second ) atau FVC ( force vital capacity).
Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada
saluran napas yang besar , sedang, maupun kecil.
Gejala mengi
menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding 4
mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi , sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia, Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis.
Untuk
mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi, tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot napas bertambah berat sehingga terjadi peningkatan produksi CO2.
Peningkatan produksi CO2 yang disertai
dengan
penurunan
ventilasi
alveolus
menyebabkan
retensi
CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang berakibat perburukan hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma, akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveolus.
Ketiga faktor tersebut
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, serta asidosis respiratorik pada 4
tahap yang sangat lanjut. IV.
DIAGNOSIS
4.1. Anamnesis 1,2
Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai berikut :
4.1.1. Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak napas, rasa tertekan pada dada, batuk.
Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi, sesak napas, batuk, dada seperti tertekan)
Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas
Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur
Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau udara dingin
Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi virus
Gejala
yang
menurunkan
kemungkinan
bahwa
seseorang
menderita asma :
Batuk tanpa gejala respirasi lain
Produksi sputum kronik
Dispnea yang disertai dengan pusing, kepala terasa ringan, paresthesia perifer
Nyeri dada Dispnea dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
4.1.2. Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi -
Variabilitas fungsi paru yang besar DAN keterbatasan aliran udara, makin besar variasi / makin sering, makin sering kemungkinan
Terdapat penurunan FEV1 ( forced expiratory volum in 1 second ), sehingga rasio FEV1/FVC ( force vital capacity) berkurang. Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak.
-
Uji reversibilitas bronkhus positif
Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan orang normal, misalnya : o
FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12% nilai prediksi) setelah inhalasi dengan bronchodilator.
Hal
ini
disebut
sebagai
uji
reversibilitas bronkhus positif. o
Rata-rata variasi diurnal PEF ( peak expiratory flow) atau arus puncak ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
o
FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12% nilai prediksi) setelah 4 minggu
pemberian anti inflamasi (diluar infeksi saluran napas) Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul
lebih meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul
pada pagi hari atau setelah pemberian bronchodilator Reversibilitas
bronchodilator
akan
hilang
pada
saat
eksaserbasi dengan gejala yang berat atau akibat infeksi virus.
Apabila tidak terdapat resersibilitas dengan
pemberian bronchodilator pada saat pemeriksaan pertama, maka langkah selanjutnya tergantung kepentingan klinis dan ketersediaan pemeriksaan lain. Tabel 4.1. Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11 1
tahun. Diagnosa
Kriteria Diagnosis
1. Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak
napas, dada terasa berat,
Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini
batuk
Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas
Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur
Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau udara dingin
Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi virus
2. Keterbatasan aliran udara ekspirasi
Variabilitas fungsi Makin besar variasi / makin sering, makin sering paru
yang
besar kemungkinan
(satu atau lebih uji)
Penurunan FEV1, sehingga rasio FEV1/FVC
DAN keterbatasan berkurang. Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 aliran udara
pada dewasa dan > 0,90 pada anak
Uji
Peningkatan FEV1 ˃ 12% dan ˃ 200 mldari nilai
reversibilitas
bronkhus positif
awal, 10-15 menit setelah pemberian 200-400 mcg albuterol atau setara; ( pada anak > 12% nilai prediksi)
Variabilitas
Rata-rata variasi diurnal PEF
pengukuran
PEF ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
2x/hari
selama
atau arus puncak
2
minggu Kenaikan
fungsi FEV1 ˃ 12% dan 200 ml ( pada anak > 12% nilai
paru setelah terapi prediksi) anti
inflamasi
selama 4 minggu Uji exercise
Dewasa: tidak mencapai FEV1˃ 10% dan 200 ml
challenge
Anak
: tidak mencapai variasi FEV1 > 12%
nilai prediksi/PFE > 15% Uji bronchial
Tidak mencapai FEV1 ˃ 20% (dengan metacholin,
challenge
histamine) ; 15% dengan NaCl hipertonik atau
(umumnya pada
mannitol
dewasa) Variasi fungsi paru Dewasa: variasi FEV1˃ 12% dan ˃ 200 ml di antara kunjungan Anak ke dokter (kurang reliable)
: variasi FEV1 > 12%
4.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan
pada
pasien
asma
seringkali
normal.
Abnormalitas yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat yang dipaksa.
Wheezing juga tidak bisa
ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aliran udara yang sangat hebat ( silent chest ), akan tetapi biasanya tanda- tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi
jalan napas atas, missal pada PPOK, infeksi saluran napas, trakeomalasia, atau korpus alienum.
Crakles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma.
Perlu juga dilakukkan
pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rhinitis atau polip 2,4
nasal.
4.3.
Pemeriksaan penunjang
4.3.1. Spirometri Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi bila 1,2
dilakukan perubahan ukuran atau alat.
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau penggunaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC manandakan adanya hambatan aliran jalan napas.
Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0,75-0,80 dan kadang 0,90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan adanya hambatan aliran 1,2
udara.
Variabilitas adalah perbaikan atau perburukan gejala dan fungsi paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari (variasi diurnal), dan dari hari ke hari, musiman atau dari sebuah tes
reversibilitas.
Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau penurunan
FEV1 > 12% dan > 200 ml dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan tetapi jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa penyakitnya adalah asma.
Pengukuran FEV1 dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan 1,2
bronkhodilator.
4.3.2. Tes provokasi bronkhus Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji hiperresponsivitas jalan napas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamine, hiperventilasi eukapnik volunter atau mannitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik karena bisa juga disebabkan oaleh penyakit lain seperti rhinitis alergika, fibrosis kistik, dysplasia bronkhopulmoner, dan PPOK.
Jadi bila hasil negatif pada
pasien yang tidak mengkonsumsi ICS dapat mengekslusi asma akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa pasien menderita asma, 1,2
sehingga anamnesis perlu diperhatikan. 4.3.3. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan pemeriksaan IgE serum. Skin prick tes dengan bahan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitara 1,2
dalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan dengan benar. 4.3.4. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO) dapat diperiksa di beberapa tempat.
FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi dan belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma.
FENO menurun pada
perokok dan saat terjadi bronkhokonstriksi, dan meningkat jika terjadi infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu yang singkat terhadap ICS. Saat ini 1,2
pemeriksaan FENO belum direkomendasikan.
4.4.
Penegakan Diagnosis pada Kondisi Khusus
4.4.1. Pasien hanya dengan gejala batuk Pada kondisi ini perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang diinduksi terapi ACE inhibitor, GERD, chronic upper airway cough syndrome, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala tersebut berkaitan dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan memberat pada malam hari dengan fungsi paru normal.
Untuk pasien ini perlu dicatat variabilitas fungsi paru.
Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkhitis eosinofilik pada pasien yang batuk, pada pemeriksaan sputum didapatkan 1,2
eosinophil akan tetapi fungsi paru dan responsivitas jalan napas normal. 4.4.2. Asma terkait pekerjaan Asma jenis ini sering kali terlewat.
Asma jenis ini diinduksi dan
diperberat dengan adanya paparan alergen atau alergen sensitizer di lingkungan kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya amendahului asma beberapa tahun sebelum muncul asma. Dan paparan yang berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih 1,2
buruk.
Asma dengan onset usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat pada riwayat pekerjaan, paparan alergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan apakah keluhan membaik jika pasien tidak saat bekerja.
Pertanyaan
tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada 1,2
aspek sosioekonomis pasien.
4.4.3. Atlet Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru, biasanya denngan uji provokasi bronkhus.
Kondisi yang mirip
dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring, gamgguan pernapasan, 1,2
gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan. 4.4.4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanya mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma.
Jika
pemeriksaan yang objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkhus atau untuk 1,2
menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan. 4.4.5. Usia lanjut
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua karena persepsi orang tua terhadap keterbatasan jalan napas yang berkurang, anggapan bahwa sesak adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurangnya aktifitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak napas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat saat malam hari juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat, ditambah dengan pemeriksaan EKG dan foto toraks dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan jantung dengan ekokardiogram juga dapat membantu. Pada orang tua yang mempunyai riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS) perlu 1,2
disingkirkan.
4.4.6. Perokok dan bekas perokok Asma dan PPOK sangat sulit untuk dibedakan, terutama pada orang yang berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling tumpang tindih ( Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global Strategy for Diagnosis, Management and prevention of COPD
(GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC pasca bronkhodilator kurang dari 0,7. Reversibilitas bronkhodilator (> 12% dan > 200 ml) dapat ditemukan pada PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis yang 1,2
lebih buruk.
4.4.7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller Jika diagnosis asma belum ditegakkan maka konfirmasi diagnosis perlu dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan tingkat I tidak bisa terkonfirmasi dengan diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan dan menaikkan dosis controller . Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, 1,2
maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. 4.4.8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan adanya dyspnea saat aktivitas, perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan 1,2
objektif untuk menemukan adanya sumbatan jalan napas. 4.4.9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernapas dan infeksi parasit atau jamur. Variabilitas jalan napas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS atau bisa 1,2
dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral.
V.
DIAGNOSIS BANDING 1
Diagnosis banding asma berdasarkan kategori usia dan gejala klinis : 1. Usia 6-11 tahun Sindroma batuk saluran napas atas kronik
-
Bersin, batuk, hidung tersumbat Terhirup benda asing
-
Gejals timbul mendadak, wheezing unilateral Bronchiectasis
-
Infeksi berulang, batuk produktif Diskinesia siliari primer
-
Infeksi berulang, batuk produktif, sinusitis Penyakit jantung bawaan
-
Murmur Bronkopulmonal dysplasia
-
Lahir prematur, gejala muncul sejak lahir Fibrosis kistik
-
Batuk berlebihan dengan produksi lendir, gejala gastrointestinal
2. Usia 12-39 tahun Sindroma batuk saluran napas atas kronik
-
Disfungsi pita suara
-
Dispnea, wheezing inspirasi (stridor) Hiperventilasi, gangguan nafas
-
Pusing, parestesia Bronchiectasis
Bersin, hidung tersumbat, batuk
Batuk produktif, infeksi berulang Fibrosis kistik
-
Batuk hebat disertai produksi mukus Penyakit jantung bawaan
-
Murmur Defisiensi α1- antitrypsin
- Napas pendek, riwayat emfisema pada keluarga Terhirup benda asing
-
Gejala muncul mendadak
3. Usia lebih dari 40 tahun Disfungsi pita suara
-
Dispnea, wheezing inspirasi (stridor) Hiperventilasi, gangguan napas
-
Pusing, parestesia PPOK
-
Batuk berdahak, dyspnea, merokok atau paparan bahan berbahaya Bronkhiektasis
-
Batuk produktif dan infeksi berulang Gagal jantung
-
Dyspnea saat beraktifitas, gejala sering muncul pada malam hari Batuk karena penggunaan obat-obatan
-
Penggunaan obat ACE inhibitor Penyakit parenkim paru
-
Dispnea saat beraktifitas, batuk non produktif, jari tabuh Emboli pulmonal
-
Sesak tiba-tiba, nyeri dada Obstruksi jalan napas sentral
-
Dyspnea, tidak respons dengan bronchodilator
Penilaian asma
Penilaian
asma seharusnya menilai
juga pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di kemudian hari), masalh terapi, terutama dalam hal tekhnik penggunaan inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala dan 1,2
kualitas hidup yang buruk.
1
Tabel 5.1. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma. A.Kontrol Gejala Asma
Level kontrol gejala asma
Apakah dalam 4 minggu
Terkontrol
Terkontrol
Tidak
terakhir pasien memiliki :
penuh
sebagian
terkontrol
Tidak
Terdapat
Terdapat
terdapat
1-2 kriteria
3-4
Gejala asma
Ya
harian
˃2x
Tidak
dalam
1
Terbangun
Ya
di
malam
Tidak
hari
karena
minggu
satupun
asma Penggunaan
Ya
obat pelega
Tidak
Keterbatasan
Ya
aktifitas
Tidak
untuk mengatasi gejala ˃ 2x dalam
1
minggu
kriteria
kriteria
fisik karena asma B. Risiko untuk Prognosis Buruk
Nilai faktor risiko saat menegakkan diagnosis dan secara berkala Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat , setelah 3-6 bulan, kemudian secara berkala untuk menilai faktor risiko yang dimiliki pasien Faktor risiko munculnya eksaserbasi :
Gejala asma yang tidak terkontrol
Penggunaan SABA dosis tinggi (mortalitas meningkat
bila
˃
1x200
dosis
kanister/bulan)
ICS tidak adekuat: tidak ada ICS, kepatuhan yang kurang, tekhnik inhalasi yang salah
Bila
FEV1 rendah, terutama jika˂ 60% prediksi
atau lebih faktor
Masalah psikologi dan sosioekonomi
risiko maka risiko
Paparan : merokok, allergen
eksaserbasi
Terdapat komorbid : obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
Eosinofilia dalam sputum atau darah
Kehamilan
terdapat
1
akan
meningkat walaupun
gejala
asma terkontrol
Faktor risiko lainnya :
Pernah diintubasi atau dirawat di ICU karena asma
≥ 1 eksaserbasi yang berat dalam 12 bulan terakhir
Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap
Terapi ICS yang tidak memadai
Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaan
PEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophil dalam sputum atau darah
Faktor risiko efek samping obat
Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi dan / atau poten, menggunakan inhibitor P450
Lokal : ICS dosis tinggi dan / atau poten, tekhnik inhalasi yang tidak tepat
VI.
TATALAKSANA
Tujuan jangka panjang tata laksana asma adalah mengontrol timbulnya gejala dan mengurangi risiko berulangnya serangan. Hal ini akan mengurangi beban pada pasien, mencegah kerusakan saluran napas, dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada pasien asma sangat bersifat individual dan diperlukan kerjasama yang baik antara 1,2
dokter dan pasien.
Mengobati asma dengan mengontrol timbulnya gejala dan mengurangi risiko berulangnya serangan meliputi :
Pengobatan.
1,2
Setiap pasien asma harus mempunyai obat pereda
serangan (reliever medication), dan pada sebagian besar pasien dewasa dan remaja harus mempunyai obat kontroler (controller medication) untuk mengontrol timbulnya serangan.
Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Terapi non farmakologis Setiap pasien asma harus mempunyai keterampilan dan dapat mengelola sendiri penyakitnya, yang meliputi :
Informasi mengenai penyakit asma
Ketrampilan menggunakan inhaler
Kepatuhan
Membuat rencana pengendalian asma
Monitoring
Kontrol rutin
Tatalaksana asma merupakan suatu siklus yang kontinu yang terdiri dari penilaian, penyesuaian terapi, dan melihat respons pasien seperti yang tergambar di bawah ini :
1
1
Gambar 6.1. Siklus Tatalaksana Asma. Dikutip dari GINA 2017.
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa 1,2
kategori :
1. Controller medication Merupakan obat yang digunakan untuk mengontrol munculnya gejala asma secara regular.
Obat ini menurunkan inflamasi jalan napas,
mengendalikan gejala, menurunkan risiko eksaserbasi, dan mencegah penurunan fungsi paru 2. Reliever (rescue) medication
Merupakan obat yang digunakan untuk meredakan gejala pada saat serangan asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadinya bronkhokontriksi pada saat berolahraga 3. Add-on therapy Digunakan pada pasien dengan asma berat , mulai dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal.
Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih 1,2
baik, berdasarkan bukti klinis sebagai berikut : 1. Pemberian
ICS
dosis
rendah
dini
pada
pasien
asma
akan
meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan setelah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut maka dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi sedangnkan fungsi paru sudah sangat menurun. 2. Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat dari pada pasien yang telah mulai menggunakan ICS 3. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
Gambar 6.2. Tatalaksana farmakologis Asma. Dikutip dari 1,2
GINA 2017.
Tatalaksana asma lainnya menurut GINA 2017 adalah : 1,2 1. Imunoterapi alergen Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memegang peranan
utama
dalam
rhinokonjungtivitis alergi.
asma,
misalnya
pada
asma
dengan
Terdapat dua pendekatan utama yaitu :
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy (SLIT). Studi saat ini banyak dilakukan pada asma ringan. Pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan
gejala
dan
kebutuhan
pengobatan,
serta
penurunan
responsivitas terhadap alergen. Tetapi efek samping SCIT ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa.
Sedangkan SLIT
sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Suatu studi tentang SLIT pada tungau debu rumah
pasien dengan
rhinitis dan asma
menunjukkan penurunan secara bermakna penggunaaan ICS.
Efek
samping SLIT adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan 2. Vaksinasi Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma. Pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma. 3. Termoplasti bronkhial Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tidak terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi yang optimal. Terapi ini dilakukan dengan tiga bronkhoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekunsi lokal. Pada pemantauan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah serangan, tetapi butuk penelitian lebih lanjut untuk merekomendasikan metoda ini. 4. Vitamin D Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D yang rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan kortikosteroid.
frekuensi
eksaserbasi,
dan
penurunan
respons
Sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa
dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lanjut bila :
Kesulitan untuk menegakkan diagnosis asma
Curiga asam okupasional
Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuen
Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
Adanya bukti risiko dan efek samping terapi
Gejala yang menunjukkan kompilkasi dari subtype asma
Ragu tentang diagnosis asma
Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang dengan tekhnik yang benar dan kepatuhan yang cukup
Curiga efek samping terapi
Asma yang disertai dengan alergi makanan
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut :
1,2
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari keadaan pasien yang biasanya dan dalam beberapa kasus dibandingkan dengan gejala klinis pertama dari serangan asma. Istilah “episode”,” serangan” atau “asma berat akut” sering digunakan, tetapi pengertiannya berbeda. 2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asama seharusnya dapat dikenali dan diperhatikan lebih serius.
Berikut adalah ciri-ciri
pasien dengan risiko kematian akibat asma :
Pernah mengalami asma berat yang hamper fatal dan
membutuhkan intubasi serta ventilasi
Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam
kurun waktu 12 bulan terakhir
Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
Saat
ini
menggunakan
atau
baru
saja
menghentikan
kortikosteroid oral
Penggunaan
SABA
yang
berlebihan
,
terutama
jika
menggunakan lebih dari 1 kanister per bulan
Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis melalui tatalaksana dari gejala yanag lebih berat di fasilitas kesehatan tingkat pertama, IGD, dan di rumah sakit
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.
Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
berobat segera ke dokter.
Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
pada dewasa. 5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, berikut aadalah tatalaksananya :
Penilaian tingkat keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada
derajat sesak napas, laju pernapasan, denyut nadi, saturasi oksigen, dan fungsi paru, sambil memulai terapi short acting beta 2 agonist (SABA) dan terapi oksigen.
Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemui
adanya tanda-tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent chest .
Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali, dan kortikosteroid sistemik dapat diberikan jika diperlukan.
Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen, dan fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam.
Ipratropium
bromide
direkomendasikan
hanya
jika
terdapat
eksaserbasi berat.
Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal.
Foto thoraks tidak direkomendasikan secara rutin.
Keputusan tentang perawatan di rumah sakit seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi, dan kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah.
Sebelum
pasien
dipulangkan,
harus
direncanakan
tatalaksana
selanjutnya, termasuk memulai terapi controller atau menaikkan dosis terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai indikasi.
Antibiotika seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma.
Gambar 6.3. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Tingkat 1
Pertama. Dikutip dari GINA 2017.
Gambar 6.4. Tatalaksana Asma eksaserbasi Akut di Instalasi Gawat Darurat. Dikutip 1
dari GINA 2017
6. Rencanakan pemantauan segera setiap eksaserbasi meliputi :
Penilaian
ulang
pengendalian
eksaserbasi selanjutnya
gejala,
faktor
risiko
untuk
Berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu.
VII.
Memantau tekhnik inhalasi dan kepatuhan pasien.
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
4
1. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas. 2. Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada . 3. Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. 4. Aspergilosis Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya,
misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp. 5. Gagal napas Gagal
napas
dapat
tejadi
bila
pertukaran
oksigen
terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh. 6. Bronkhitis Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk
berulang-ulang
dalam
upaya
mengeluarkan
lendir
yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir
VIII. RUJUKAN
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah menunjukkan tanda ancaman henti napas langsung dirujuk dan di rawat di ruang rawat intensif (ICU). Kriteria pasien yang memerlukan perawatan ICU adalah sebagai berikut:
3,4
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan serangan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran.
Tidak adanya perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.
Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PO2 < 60% mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan ventilasi mekanis dan harus dirujuk ke ICU adalah sebagai berikut : -
Pulsus paradoksus yang cepat meningkat
-
Penurunan pulsus paradoksus pada pasien yang kelelahan (exhausted )
-
Perburukan status mental (letargi/agitasi)
-
Aritmia jantung atau henti jantung
-
Henti napas
-
Tidak bisa bicara
-
Asidosis laktat yang tidak bisa membaik
-
Diaphoresis pada posisi berbaring
-
Silent chest walaupun sudah terjadi usaha napas yang hebat
Sedangkan indikasi relatif : -
Hipoksemia (kadar PO2 < 60% mmHg tidak membaik dengan
pemberian oksigen 100%) -
PaCO2 > 60 mmHg dan meningkat lebih dari 5 mmHg/jam
IX.
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA MANDIRI DI RUMAH
1,2
Klinis:
*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
Tata laksana awal :
Inhalasi agonis B-2 kerja singkat (sabutamol inhaler), setiap 20 menit, selama 1 jam
Respon baik:
Respon buruk:
*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada yang terasa berat) berkurang
*Gejala menetap atau bertambah buruk *Nilai APE < 60” nilai ediksi -Tambahkan kortikodteroid oral
*Perbaikan dengan inhalasi agonis B-2 kerja singkat dan bertahan selama 4 jam
-Intalasi agonis B-2 Kerja singkat akan diulang
*Lanjutkan inhalasi agonis B-2 kerja singkat setiap 3-4 jam selama 1-2 hari *Pemberian inhalasi steroid dosis tinggi(bila sedang menggunakan inhalasi steroid) selama 2 minggu kemudian kembali ke dosisi sebelumnya
HUBUNGI DOKTER INSTRUKSI SELANJUTNYA
UNTUK
SEGERA KE FASILITAS KESEMPATAN
Serangan asma
Serangan asma ringan
Serangan asma sedang/berat
Serangan asma mengancam nyawa
Pengobatan awal -oksigenasi dengan kanul -inhalasiagoni beta-2 kerja singkat nebulasi setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta-2 injeksi (terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 0,3ml subkutan)
Respon baik -stabil dalam 60 menit -Pem.fisik normal
Respon buruk dalam 1 jam
Respon tidak sempurna -resiko tinggi distres -pem.fisik gejalah ringan sampai
-
Resiko tinggi distres
-
Pem. Fisik gelisah dan kesadaran menurun
-APE>70%
sedang
- saturasi O2>90% (95% pada anak
-APE>50%
-
APE<30%
- saturasi O2 tidak perbaikan
-
PaCO2 > 45 mmHg
-
PaO2 < 60mmHg
Dirawat di RS Dirawat di ICU - Inhalasi agonis beta-2 kolinergik
- Inhalasi agonis beta-2 antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik - Kortikosteroid IV - Aminofilin drip - Terapi oksigen - Pantauan APE
- Terapi oksigen menggunakan masker venturi - Aminofiin drip
Perbaikan
Tidak perbaikan
X.
DO & DON’T
Hal-hal yang harus dilakukan pada penderita asma : -
Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga tentang asma
-
Penilaian dan pemantauan derajat asma
-
Identifikasi dan penghindaran terhadap faktor risiko / faktor pencetus
-
Membuat rencana tatalaksana jangka panjang
-
Menatalaksana eksaserbasi atau seranagan
-
Follow-up secara teratur
-
Pola hidup sehat 1
Tabel 10.1 Mengontrol Alergen di dalam dan di luar ruangan
Faktor Pencetus
Kontrol Lingkungan
Asma
Debu rumah
Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air
(Domestik
panas (55-60°C) paling lama 1 minggu sekali
mite)
Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayu Ganti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulit Bila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA dan kantung debu 2 rangkap Cuci dengan air panas segala mainan kain
Serpihan kulit
Pindahkan binatang peliharaan dari dalam rumah, atau
(Alergen
paling tidak dari kamar tidur dan ruang utama.
binatang)
Gunakan filter udara (HEPA) terutama di kamar tidur dan ruang utama
Mandikan binatang peliharaan 2 x/ minggu Ganti furniture berlapis kain dengan berlapis kulit Ganti karpet dengan tikar atau lantai kayu Gunakan pembersih vakum dengan filter HEPA dan kantung debu 2 rangkap
Eliminasi lingkungan yang disukai kecoa seperti tempat Kecoa
lembab, sisa makanan, sampah terbuka dll Gunakan pembasmi kecoa
Perbaiki semua kebocoran atau sumber air yang Jamur
berpotensi menimbulkan jamur , misalnya dinding kamar mandi, bakmandi, kran air, dsb. Jangan gunakan alat penguap. Pindahkan karpet basah atau yang berjamur
Tepung sari
Bila di sekitar ruangan banyak tanaman berbunga dan
bunga dan
merupakan pajanan tepung sari bunga, tutup jendela
jamur di luar
rapat-rapat, gunakan air conditioning . Hindari pajanan
ruangan
tepung sari bunga sedapat mungkin.
1
Tabel 10.2. Mengontrol polusi udara di dalam dan di luar ruangan.
Faktor Pencetus Asma
Kontrol Lingkungan
Polusi udara dalam ruangan
Tidak merokok di dalam rumah
Asap rokok (perokok pasif)
Hindari berdekatan dengan orang yang
Asap kayu/ masak
sedang merokok
Spray pembersih rumah
Upayakan ventilasi rumah adekuat
Obat nyamuk
Hindari memasak dengan kayu
Dll
Hindari menggunakan spray pembersih rumah Hindari menggunakan obat nyamuk yang menimbulkan
asap
atau
spray
dan
mengandung bahan polutan
Polusi udara di luar`ruangan
Hindari aktivitas fisis pada keadaan udara
Asap rokok
dingin dan kelembaban rendah
Cuaca
Tinggalkan/ hindari daerah polusi
Ozon Gas
buang
kendaraan
bermotor Dll
Pajanan di lingkungan kerja
Hindari bahan polutan Ruang kerja dengan ventilasi yang baik Lindungi
pernapasan
misalnya
dengan
masker Bebaskan lingkungan dari asap rokok
1
Tabel 10.3. Mengontrol faktor pencetus lain.
Faktor Pencetus
Mengontrol Pencetus
Asma
Refluks
Tidak makan dalam 3 jam sebelum tidur.
gastroesofagus
Pada saat tidur, posisi kepala lebih tinggi dari badan. Gunakan pengobatan yang tepat untuk meningkatkan tekanan esofagus bawah dan mengatasi refluks
Obat-obatan
Tidak menggunakan Beta-bloker (termasuk tetes mata, dsb) Tidak mengkonsumsi aspirin atau antiinflamasi nonsteroid
Infeksi
Menghindari infeksi pernapasan sedapat mungkin
pernapasan
dengan hidup sehat,
(virus)
bila terjadi minta bantuan medis/ dokter. Vaksinasi influenza setiap tahun
Hal-hal yang harus dihindari penderita asma :
1,2,3
-
Paparan terhadap alergen
-
Menggunakan obat penghilang rasa nyeri yang berlebihan dan tanpa resep dokter
-
Olahraga terlalu berat atau terlalu lama
-
Cuaca yang ekstrim
-
Menghindari kebiasaan merokok