BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Perilaku dan budaya K3 harus diterapkan di dunia ketenaga kerjaan untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja. Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berfikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar S.,2005). Budaya adalah suatu yang biasa dilakukan, atau aktifitas yang sering dilakukan yang menjadi kebiasaan. Pendekatan perilaku dan budaya banyak diterapkan oleh karena masih melekatnya pandangan yang menganggap bahwa penyebab kecelakaan banyak disebabkan oleh faktor perilaku manusia dan juga belum membudayanya K3. Secara global, di dunia akademis berkembang berbagai konsep dan model untuk menilai maupun mengembangkan budaya K3. Begitu juga perkembangan yang terjadi didalam dunia praktis yang umumnya berlandaskan pada pendekatan keilmuan yang berkembang saat itu. Namun tak dapat disangkal terdapat pula beberapa program yang berkembang tidak berakar pada konsep keilmuan yang ada sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi di dalam penerapan. 1.2 Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang, didapat beberapa rumusan masalah, yaitu : 1. Apa yang dimaksud perilaku ? 2. Apa itu perilaku K3 ? 3. Apa saja yang berhubungan dengan budaya K3 ? 4. Bagaimana cara dalam kajian perilaku dan budaya K3 ? 1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perilaku 2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perilaku K3 3. Untuk mengetahui apa yang berhubungan dengan budaya K3 4. Untuk mengetahui bagaimana cara dalam mengkaji perilaku dan budaya K3
1
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berfikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar S.,2005). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, yang merupakan refleksi kejiwaan untuk memberikan respon terhadap situasi di luar dirinya. Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok: 1.
Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance) Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk
memelihara kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek: a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
2
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. 2.
Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan Perilaku ini sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior) yang
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mecari pengobatan keluar negeri. 3.
Perilaku Kesehatan Lingkungan Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan tersebut
tidak mempengaruhi kesehatannya (Notoatmodjo, 2003). Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, yaitu : a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (illness behavior). Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya. c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat atau individu, yaitu : a. Faktor
dasar
(predisposing
factor),
mencakup
pengetahuan,
sikap,
kebiasaan,
kepercayaan, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi; b. Faktor pendukung (enabling factor), mencakup sumber daya atau potensi masyarakat, terwujud dalam tersedianya alat dan fasilitas serta peraturan; 3
c. Faktor pendorong (reinforcing factor), mencakup sikap dan perilaku dari orang lain yang terwujud dalam dukungan sosial. (Green, 2000) 2.1.1 Landasan Hukum Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) memiliki beberapa dasar hukum pelaksanaan. Di antaranya ialah Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. UU No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja : 1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha. 2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana. 3. Adanya bahaya kerja di tempat itu. 2.2 Perilaku K3
Perilaku kesehatan manuasia atau individu dipengaruhi oleh faktor dasar yaitu faktor yang menjelaskan alasan atau motivasi seseorang untuk berperilaku, faktor pendukung adalah faktor yang merupakan pendukung untuk berperilaku dan faktor pendorong yaitu faktor lingkungan yang dominan dalam pembentukan perilaku. Tenaga kerja yang berperilaku sehat akan menghidari risiko terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggitingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3 yang efektif dan efisien. Sebagai bagian dari iImu Kesehatan Kerja, penerapan K3 dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi K3, pendidikan dan pelatihan, penerapan prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor terbesar dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor lainnya yaitu perilaku. Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan K3 sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan K3. Menurut ILO, kecelakaan kerja 88% karena perilaku yang tidak aman, 10% karena kondisi/lingkungan yang tidak aman dan 2% karena keadaan yang tidak dapat diprediksikan. 4
Menurut pandangan dan keyakinan tradisionil, kecelakaan kerja terjadi karena nasib, sedang naas, sial, kurang beruntung dan lain-lain, kecelakaan kerja tidak terjadi pada dirinya sehingga tidak perlu ada rencana untuk mencegahnya, dan tidak setiap tindakan beresiko (unsafe act) akan menyebabkan kecelakaan kerja. Akibat dari pandangan tersebut, mereka enggan dan malas berlatih untuk berperilaku selamat (safe behavior), enggan membiasakan diri berperilaku selamat dan akhirnya resiko kecelakaan menjadi meningkat. Ada 3 faktor (safety triad) yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja, yaitu: faktor kepribadian (person factor), faktor lingkungan atau kondisi kerja (environment facto), dan faktor perilaku atau tindakan (behavior factor). 1.
Faktor kepribadian (personality) a. Apakah orang tersebut mengetahui bahaya dari pekerjaan atau tindakannya? b. Apakah ia mengetahui apa yang seharusnya dilakukan? c. Mampukah ia melakukannya? d. Bagaimanakah perasaannya ketika melakukannya? (sulit, mudah, dengan terpaksa dll) Faktor ini tergantung kepada: tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, lingkungan
sosial hidupnya, dan lain-lain. Hal ini sulit diungkap secara keseluruhan karena terletak di dalam diri seseorang. 2.
Faktor lingkungan atau kondisi kerja Contoh dari faktor ini adalah adanya tumpahan minyak, air, atau cairan kimia di lan
tai kerja, APD , efektifitas dari alat pelindung mesin dan sebagainya.Kondisi lingkungn at au kondisi kerja merupakan faktor yang mudah diketahui, oleh karena itu orang lebih sering dan senang untuk menyalahkan kondisi yang tidak aman. 3.
Faktor perilaku (tindakan) Faktor ini menekankan kepada apa yang sesungguhnya telah dilakukan dan bukan kepada
apa yang diinginkan untuk dilakukan. Contohnya : memakai helm, menerobos lampu merah, dll. Dari ketiga faktor diatas, ternyata penyebab kecelakaan kerja didominasi oleh faktor perilaku/ tindakan (behavior factor) misalnya : dari data ILO (1989 ) mengungkapkan dari 75.000 kasus kecelakaan kerja 88% disebabkan tindakan tidak aman, 10% oleh tidak aman dan 2% kejadian yang tak dapat diprediksi, Strasser (1981:83) membuktikan bahwa “unsafe behavior is contributing cause of 85% of all accident”, penelitian Hidayat (1999:3) dijalan tol dari tahun
5
1992 sampai tahun 1996 menyimpulkan bahwa dari 2101 kasus kecelakaan yang terjadi dijalan tol 64,8% adalah faktor pengemudi Dari beberapa hal yang diungkapkan diatas, maka perilaku K3 harus terus dilatih agar menjadi suatu kebiasaan (safe behavior). Proses latihan perilaku K3 dapat dilakukan melalui tahapan: 1.
Observation (pengamatan)
Observation, mengamati dan memonitor perilaku pekerja dan mengidentifikasi (mengenali) manakah perilaku selamat dan manakah perilaku tidak selamat. 2.
Feedback (umpan balik)
Feedback, memberikan umpan balik. Katakan kepada pekerja anda “apakah ia melakukan tindakan selamat atau tidak selamat”. Umpan balik yang tepat merupakan pemicu kepada pekerja untuk meneruskan atau merubah perilakunya. 3.
Reinforcement (penguatan)
Pemberi suatu penguatan yang positif yang sesudah pekerja anda melakukan tindakan selamat dapat mendorong pekerja tersebut melakukan lagi tindakan tersebut. Contohnya: “saya lihat anda memakai kacamata pelindung dengan baik hari ini, itu merupakan perilaku yang selamat dan saya senang melihat hal itu” 4.
Behavior change (perubahan perilaku)
Behavior change (perubahan perilaku), perubahan ini terjadi hanya bila selalu dilakukan pe nguatan ke arah "safe behavior", ini merupakan tujuan dari ketiga proses sebelumnya. Berbeda dengan pandangan dan keyakinan ilmu perilaku, bahwa kecelakaan kerja adalah peristiwa
yang
rasional
dan
dapat
dijelaskan, merupakan
rangkaian
peristiwa yang
tidak berdiri sendiri, sehingga langkah atau tindakan harus diambil agar kecelakaan kerja dapat dicegah
dan
peluangnya akan lebih besar jika tindakan korektif
(latihan
dan
membiasakan diri) tidak dilakukan. 2.2.1 Pendekatan Persuasif Dalam Perilaku K3 Melihat prioritas utama dalam menangani kecelakaan kerja adalah manusia, maka usaha yang paling tepat dilakukan adalah bagaimana membuat manusia berdisiplin dan sadar akan bahaya kecelakaan.
6
Untuk mengetahui perilaku manusia dalam bekerja maka perlu dilakukan analisa psikologi. Analisa yang dilakukan dengan melihat pekerja dalam bekerja dari segi pikiran, perasaan dan tidakan yang merupakan pembentuk perilaku. 1. Pembangkitan sisi pikiran pekerja Faktor pikiran berisi tentang keyakinan seseoarang mengenai apa yang berlaku. Sekali kepercayaan telah terbentuk, maka keyakinan tersebut akan menjadi dasar pertimbangan seseorang mengenai perbuatan yang akan dilakukan. Keyakinan sendiri terbentuk dari informasi yang didapat seseorang. Bisa saja pekerja berperilaku tidak aman karena tidak mengerti bagaimana cara berperilaku aman. Oleh karena itu dalam komponen ini direncanakan program untuk meningkatkan pengetahuan pekerja tentang keselamatan kerja, yaitu dengan pelatihan singkat, simulasi, dan workshop sesuai analisa kebutuhan pelatihan. 2. Pembangkitan sisi perasaan pekerja Usaha selanjutnya dalam pendekatan persuasi dalam peningkatan keselamatan kerja adalah berusaha mengubah reaksi emosional pekerja. Faktor yang paling berperan disini adalah pembangkitan sisi perasaan dari pekerja untuk berperilaku disiplin dalam bekerja. Pada dasarnya pekerja tahu cara berperilaku yang aman, namun karena berbagai hal seperti menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, dan menarik perhatian membuat pekerja menomorduakan keselamatan. Untuk mengubah pemahaman pekerja ini diperlukan program-program antara lain : a. Kampanye dan Sosialisasi Keselamatan Kerja b. Publikasi Data Kecelakaan Kerja 3. Pembangkitan Sisi Tindakan Yaitu perilaku atau kebiasaan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek lain yang ada disekitar lingkungannya. Ketika lingkungan sekitarnya tidak nyaman atau mendorong kearah negatif (negatif reonforcement) maka kecenderungan perilaku manusia tersebut juga ke arah negatif. Jadi untuk mempengaruhi perilaku seseorang juga harus merubah lingkungan fisiknya. Perilaku tidak aman juga sering dipicu oleh adanya pengawas atau manajemen yang tidak peduli dengan keselamatan kerja. Pihak manajemen ini secara tidak langsung memotivasi para pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi kepentingan tercapainya target produksi. 7
Perilaku tidak aman juga bisa dipicu oleh tidak tersedianya Alat Pelindung Diri di lokasi kerja. Karena tuntutan deadline pekerjaan, sehingga tanpa alat pelindung diri pekerja terpaksa melakukan pekerjaan yang berpotensi bahaya. Jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi kebiasaan dalam bekerja. Memberikan Reward terhadap pekerja yang selalu berperilaku aman dan sebaliknya Punishment di berikan kepada pekerja yang berperilaku tidak aman. 2.3 Budaya K3
Berbagai program telah banyak dikembangkan dalam upaya memperkecil angka kesakitan dan kematian akibat kerja. Program-program tersebut berkembang atas dasar pendekatan yang dipergunakan mulai dari yang menggunakan pendekatan rekayasa, kemudian pendekatan sistim kemudian yang dewasa ini banyak diterapkan menggunakan pendekatan perilaku serta budaya. Pendekatan perilaku dan budaya banyak diterapkan oleh karena masih melekatnya pandangan yang menganggap bahwa penyebab kecelakaan banyak disebabkan oleh faktor perilaku manusia dan juga belum membudayanya K3. Berkembangnya pendekatan budaya keselamatan dan kesehatan (Health and Safety Culture) mulai dikenal setelah terjadinya peristiwa Chernobyl di tahun 1986. Istilah Budaya Keselamatan (safety culture) sebagai bagian dari Budaya Organisasi (organizational culture) menjadi populer dan mulai digunakan sebagai pendekatan untuk lebih memantapkan implementasi sistim manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Secara global, di dunia akademis berkembang berbagai konsep dan model untuk menilai maupun mengembangkan budaya K3. Begitu juga perkembangan yang terjadi didalam dunia praktis yang umumnya berlandaskan pada pendekatan keilmuan yang berkembang saat itu. Namun tak dapat disangkal terdapat pula beberapa program yang berkembang tid ak berakar pada konsep keilmuan yang ada sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi di dalam penerapan. Istilah budaya keselamatan (safety culture) pertama kali tertera dalam laporan yang disusun oleh ‘International Nuclear Safety Advisory Group’ (INSAG) pada tahun 1987 yang membahas peristiwa Chernobyl’ didalam laporan dari International Nuclear Safety Advisory ‘
Group berjudul ’Safety Culture’ (SAFETY SERIES No.75-INSAG-4), yang oleh IAEA di publikasikan pada 1991¹.
8
Atas
dasar
itu
’International
Atomic
Energy
Agency’
(IAEA)
menyusun
Konsep atau Model, Metoda Pengukuran Budaya Keselamatan (Safety Culture) sebagai bagian dari Budaya Organisasi (Organizational Culture). Kemudian disusun pula model dasar pembudayaan Keselamatan Instalasi Nuklir sebagai panduan program untuk pengembangan budaya keselamatan instalasi nuklir di tingkat internasional, regional, maupun pada tingkat nasional negara-negaraanggotanya. Merujuk pada konsep IAEA, BAPETEN dan BATAN di Indonesia telah mulai menyusun model budaya K3 dan alat ukurnya sebelum tahun 2005 dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan instalasi. Sedangkan di sektor lain seperti Migas, Minerba, Panas Bumi, Manufaktur dan lainnya saat ini juga banyak dilakukan program pengembangan perilaku dan budaya K3, sesuai dengan rujukannya masing sektor. Apakah berbagai program yang sudah dijalankan tersebut telah membangun budaya K3 di dunia kerja?. Ini merupakan suatu pertanyaan yang tidak bisa di jawab dengan cepat dan mudah. Tapi juga tidak bisa disangkal bila banyak pendapat yang menungkapkan bahwa K3 belum membudaya di Industri di Indonesia. Akibatnya seringkali terjadi diskusi yang berkepanjangan terutama pada saat menentukan apa indikatornya budaya K3. 2.3.1 Indikator Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Berbagai Model Budaya Keselamatan umumnya berkembang dari lingkup ilmu-ilmu perilaku (Behavioral Sciences: antropologi, sosiologi dan psikologi). Terutama dalam pendekatan Organisasi
dan
Manajemen serta Psikologi Organisasi yang
kajiannya
khusus
mempelajari masalah manusia dalam bidang Keselamatan (Safety). Perkembangan tersebut banyak menciptakan berbagai model Budaya Keselamatan dengan masing-masing indikator budaya keselamatan yang sebagian besar dewasa ini banyak dipergunakan di berbagai sektor di industri maupun jasa pelayanan. Tentu saja terdapat berbagai model dan indikator Budaya Keselamatan mulai dari yang paling majemuk dan sulit difahami hingga yang sederhana dan mudah di mengerti oleh kalangan praktisi. Salah satu model yang sering dianggap sederhana dan mudah untuk difahami indikator2nya adalah model Budaya keselamatan dari seorang ahli psikologi organisasi yang banyak meneliti dan menjadi konsultan dalam mengembangkan perilaku selamat (safety behavior) dan budaya keselamatan (safety culture) yaitu Dominic Cooper . Menurutnya Budaya
9
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari budaya organisasi bisa dilihat dari 3 indikator yaitu : 1. Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (psychological aspects, what people feel, what is believe) 2. Aspek perilaku K3 pekerja (behavioral aspects, what people do, what is done,) 3. Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (situational aspects, what organizational has, what is said) Menurutu pandangan ini bila suatu perusahaan mempunyai budaya K3 yang kuat tentu akan memiliki budaya organisasi juga kuat dan akan berorientasi pada K3 dalam produksi. Pekerja atau SDM diperusahaan tentu akan memiliki nilia2 K3 dan persepsi terhadap bahaya secara benar yang serta akan menampilkan perilaku K3 yang diharapkan secara konsisten. Perusahaan juga akan mempunyai organisasi dan manajemen, system manajemen K3 yang tepat dan diterapkan secara konsisten serta mempunyai peralatan dan anggaran yang sesuai dan lain sebagainya. Budaya K3 merupakan sebuah kesatuan dari tiga aspek yaitu nilai – nilai K3 dan persepsi K3 dari setiap pekerja, aspek perilaku K3 bekerja sehari – hari dan juga aspek Organisasi dan Manajemen K3 yang ada diperusahaan. Ketiga aspek tersebut saling berinteraksi dan berkaitan antara satu dan yang lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri secara terpisah. Karena itu budaya keselamatan tidak dapat digambarkan hanya dengan sebuah indikator saja ( single indicator ) yang hanya menggambarkan salah satu aspek saja. Budaya keselamatan merupakan suatu konsep yang menyangkut aspek manusia ( Human being ) yang memilki aspek internal yang tidak terlihat ( Mind ) maupun eksternal yang terlihat ( Behavior ) yang tentunya keberadaannya hadir dalam suatu konteks social ( Community atau Organization). Oleh karenanya budaya keselamatan perlu difahami dalam kerangka indikator ganda ( Multiple Indicators ) yaitu indikator psikologis, indikator perilaku dan indikator organisasi. Tanpa ketiga indikator tersebut sulit untuk memperoleh gambaran suatu budaya keselamatan sebagai bagian dari budaya organisasi disebuah perusahaan. 2.3.2 Program dalam mengembangkan Budaya K3 Program pengembangan Budaya K3 secara global sangat bervariasi karena masing-masing program dilandasi oleh model konsepsual yang dipakai. Pada umumnya program yang ada sifatnya sangat komprehensif dan biasanya terdiri dari suatu program utama yang kemudian 10
dikuti dengan beberapa program lainnya yang satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri-sendiri secara terpisah. Program tersebut biasanya tersusun secara sistimatis dan terencana dalam kerangka waktu yang panjang. Seperti contoh misalnya, di sebuah tambang batubara (coalmining) yang saat ini mengembangkan
budaya
selamat
melalui
pendekatan
Leadership
(keteladanan
dalam
keselamatan) juga mengembangkan program-program lain yang terkait seperti misalnya dengan program Behavioral-Based Safety, peningkatan pengawasan serta pengembangan dan pemantuan penerapan sistim manajemen K3 terintegrasi dan juga kelengkapan peralatan K3 dan lain2 sebagainya. Biasanya sebelum program di mulai dilakukan terlebih dahulu kajian (assessment) terhadap kondisi yang ada saat itu untuk mendapat gambaran profile budaya keselamatan yang ada sehingga tergambar aspek yang perlu ditingkatkan dan aspek2 yang perlu dipertahankan. Setelah program dijalankan kemudian dalam kurun waktu satu tahun dapat diukur lagi perubahan yang terjadi dan kemudian disusun kembali program lainnya sebagai suatu program perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement). Contoh di tambang batubara yang lain, adalah pengembangan program ‘Peningkatan Kepempinan Keselamatan pada Supervisor’ (supervisory safety leadership improvement) yang tentunya diikuti dengan penerapan program lainnya seperti Behavior-Based Safety, JSA, Risk Management, System Audit serta penigkatan pemahaman SMK3 pada seluruh pekerja disemua tingkatan. Karena itulah banyak kajian, baik dalam jurnal ilmiah maupun praktis, yang membahas program2 tunggal yang hanya terfokus pada satu aspek saja (missal pada aspek perilaku manusia) yang mempertanyakan keberhasilan program tunggal tersebut terhadap perubahan meningkatnya budaya K3. Semakin jelas bahwa hanya dengan suatu program tunggal saja yang hanya terfokus pada satu aspek, misal pada aspek perilaku manusianya semata-mata, nampaknya akan mempunyai dampak yang tidak besar pada peningkatan budaya K3 di organisasi. Karena aspek lain seperti aspek psikologis dan terutama aspek organisasi dan sistim manajemen K3 tidak kalah penting dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan budaya K3. 2.3.3 Langkah sederhana yang bisa diterapkan untuk melibatkan pekerja dalam membangun budaya K3 11
Ada 5 langkah sederhana yang bisa diterapkan untuk melibatkan pekerja dalam membangun budaya K3: 1. Berhenti Berfikir Keselamatan Kerja adalah Tanggung Jawab Departemen K3 Seringkali di banyak pabrik, semua hal terkait dengan K3 akan dilakukan oleh departemen K3. Hal ini juga berlaku jika ada kecelakaan kerja, maka departemen K3 bisa jadi akan dikambinghitamkan. Padahal, seharusnya keselamatan kerja adalah tanggung jawab semua orang terutama para top manajemen di masing-masing area karena keselamatan kerja akan bermanfaat langsung kepada operasional semua departemen. Maka, semua departemen harus berhenti mengsubkontrak keselamatan kerja di wilayah mereka kepada departemen K3. Namun, departemen K3 tetap harus bertanggung jawab untuk mengkordinir seluruh aktivitas K3 di perusahaan 2. Bangun Program Spesifik. Setiap tingkatan manajemen pasti memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Oleh karena itu, kita kadang harus menciptakan semua program peningkatan budaya K3 yang sesuai dengan tingkatan manejemen. Untuk tingkatan operator dan staff misalnya kita bisa buat program ide perbaikan keselamatan kerja dan untuk tingkatan Top Manajemen kita bisa buat program inspeksi manajemen rutin per bulan. Program peningkatan budaya k3 ada juga yang bersifat umum seperti Pembuatan HIRADC/ Analisis Bahaya dan Resiko Keselamatan Kerja yang mana program tersebut harus mempertimbangkan seluruh masukan dari setiap orang di departemen terkait. 3. Sepakati Target Bersama Program yang kita buat harus memiliki target jumlah pelaksanaan yang jelas. Target-target tersebut harus disepakati oleh semua pihak termasuk Direktur Utama. Jauh lebih baik lagi jika target-target ini tidak hanya menjadi target departemen safety, target ini harus menjadi target bersama semua departemen. Misalnya, angka inspeksi manajemen departemen masing-masing per bulan atau angka ide perbaikan yang harus dikumpulkan per bulan. Saya pernah melakukan sebuah riset kecil terhadap program budaya K3. Hasil riset saya menunjukkan bahwa keterlibatan aktif departemen terhadao target k3 yang diberikan mampu menaikkan jumlah pelaksanaan program K3 hingga 20 kali lipat dalam 1 tahun. 4. Lakukan pengawasan target Setelah target telah disusun dengan baik, maka target tersebut harus selalu diawasi trend perbulannya. Kita bisa melihat dari trend tersebut mana departemen yang belum memenuhi 12
target yang telah disepakati. Trend-trend tersebut juga bisa dikirim atau dipresentasikan ke para Manajemen untuk member gambaran sejauh mana mereka terlibat dalam upaya keselamatan dan kesehatan kerja 5. Jalankan konsekuensi dari target Jangan sampai target yang telah dibuat menjadi sia-sia hanya karena orang-orang yang dibebankan target tersebut tidak melaksanakannya. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah mekanisme konsekuensi baik bagi yang mencapai target atau yang tidak mencapai target. Sebuah meeting Manajemen dapat menjadi cara ampuh untuk “mengadili” orang-orang yang tidak mencapai target yang telah disepakati. Peniadaan bonus juga dapat menjadi alternatif untuk menjadi konsekuensi dari absennya orang tersebut terhadap target yang telah disepakati 2.3.4 Kendala dalam mengembangan Budaya K3 Berbagai program secara global telah banyak dikembangkan untuk meningkatkan Budaya K3, namun tidak sedikit kendala yang dihadapi dalam mengembangkan budaya K3 diperusahaan. Salah satu kendala yang paling utama dan bersifat umum serta banyak terjadi adalah kesalahan dalam memahami pengertian budaya K3 itu sendiri (misunderstandings and even misuse of the concept). Sebagai contohnya hingga saat ini hampir sebagian besar dari kita selalu memiliki kecendrungan untuk mengklasifikasikan setiap peristiwa kejadian atau kecelakaan karena adanya kesalahan manusia (human error) akibat buruknya budaya selamat. Padahal kesalahan manusia (human error) dapat terjadi didalam sebuah organisasi yang mempunyai budaya selamat yang sangat baik sekalipun karena kesalahan manusia terjadi akibat berbagai macam faktor. Kendala lain adalah masih banyak orang yang menyukai paradigm “ blaming the person” yang memandang bahwa faktor kesalahan manusialah yang menjadi sumber penyebab (causes) kecelakaan dan tidak beranggapan atau melihat faktor kesalahan manusia sebagai sebuah akibat (effect) dari suatu keadaan. Pandangan yang demikian ini tentu saja mempunyai dampak dalam pengembangan program yang selalu tertuju hanya pada satu aspek saja sambil melupakan aspek2 penting lainnya dalam budaya keselamatan. Dari
sudut
pandang
lain
hambatan-hambatan
dalam
pengembangan
program
membudayakan K3 seringkali disebabkan oleh masalah kesiapan dari organisasinya sendiri terutama dari Budaya Organisasi perusahaan yang sering mempunyai orientasi yang belum kuat dan tidak focus terhadap masalah K3. i juga dapat menjadi hambatan karena masih memandang 13
K3 sebagai suatu biaya atau pengeluaran yang tidak terkait langsung dengan tingkat produktifitas bahkan sering dipandang sebagai sesuatu yang memperbesar biaya produksi. Hambatan lain yang juga sering menjadi pembicaraan umum adalah dari aspek pekerja atau sumber daya manusia disetiap tingkatan yang umumnya masih menganggap keselamatan bukan sebagai sebuah nilai penting karena tidak terpaparnya mereka pada nilainilai K3 sejak dini dalam pendidikan formal maupun pendidikan non formal. 2.4 Kajian Budaya dan Perilaku K3
Ada beberapa jenis metodologi yang digunakan dalam melakukan kajian perilaku dan budaya
keselamatan dalam
suatu organisasi dengan
tujuan
yang
berbeda-beda.
Kajian perilaku dan budaya keselamatan dapat dilakukan untuk melihat pada tahap mana perilaku dan budaya keselamatan suatu organisasi berada atau untuk melihat hubungan antara tingkat kecelakaan dengan perilaku dan budaya keselamatan. Setiap organisasi selalu memiliki ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Untuk melihat ciri dan karakteristik tersebut dapat dilakukan dengan metode survey pada seluruh pegawai dan juga pada organisasi. Data yang dinginkan dapat diperoleh melalui metode wawancara, kuesioner, diskusi kelompok terfokus maupun dengan cara pengamatan. Tentunya setiap metode yang ada mempunyai kelebihan dan keterbatasannya sendiri-sendiri. Data yang diperoleh tentunya ada yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan masing-masing membutuhkan cara analisis tersendiri untuk memperolah suatu kesimpulan yang tepat. 1.
Penyebaran Angket (Questionare) Metode yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian perilaku dan budaya
keselamatan adalah penyebaran angket secara langsung kepada para pekerja untuk mendapat informasi dan data. Angket digunakan di dalam survey atau sensus untuk memperoleh laporan fakta, sikap dan pernyataan subjektif lainnya. Ada tiga perspektif teori yang harus diperhatikan dalam membuat angket, yaitu (Martin, 2006): a. Model Standar (The Model of the Standardized Survey Interview) Menurut teori ini angket harus terdiri dari pertanyaan standar dengan tolok ukur yang sama sehingga jawaban atau respon dari responden dapat dibandingkan satu sama lainnya. b. Question Answering as a Sequence of Cognitive Tasks Teori ini distimulasi oleh usaha untuk mengaplikasikan psikologi konginitif. Responden harus melakukan serangkaian tugas pengamatan untuk menjawab pertanyaan dari angket. 14
Mereka harus memahami dan menginterpretasikan pertanyaan, menggali informasi dari ingatan, memadukan informasi dan kemudian baru merespon pertanyaan. c. Wawancara sebagai Percakapan (The Interview as Conversation) Responden tidak harus mengartikan dan menjawab pertanyaan secara harfiah, akan tetapi mereka dapat menyimpulkan dan mengartikan pertanyaan tersebut sesuai dengan pemahaman dan kondisi mereka. Pertanyan dibuat dalam bentuk naskah komunikasi yang memungkinkan adanya interaksi antara penanya dan responden. 2.
Wawancara Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendapat informasi yang diinginkan dari informan. Biasanya pertanyaan diarahkan pada pokok pokok permasalahan atau isu-isu yang ingin di eksplorasi yang tidak dapat diperoleh dengan metode lain. Ada beberapa jenis wawancara yang dapat dilakukan yaitu: a. Wawancara informal; pertanyaan-pertanyaan berkembang secara spontan dalam interaksi alamiah. b. Wawancara dengan pedoman umum; pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum dan terbuka sudah disiapkan sebelum wawancara dilakukan. c. Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka; pertanyaan sudah ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabaran kalimatnya. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam wawancara adalah: a. Sumber informasi atau informan yang akan di wawancara. b. Disain pertanyaan yang akan diajukan harus mengarah pada tujuan wawancara untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. c. Pencatatan informasi yang diperoleh selama wawancara untuk mendapatkan poin-poin yang diinginkan. 3.
Fokus Grup Diskusi (FGD) FGD adalah salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif, dimana sekelompok
orang berdiskusi dibawah arahan dari seorang moderator mengenai suatu topik. Kelompok diskusi harus cukup kecil (6-12 orang) sehingga memungkinkan setiap individu untuk berbicara. FGD bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai persepsi peserta terhadap topik yang dibahas, akan tetapi tidak mencari konsensus dan tidak mengambil keputusan mengenai tindakan apa yang harus dilakukan. FGD akan memberikan data yang mendalam mengenai persepsi dan 15
pandangan peserta. Oleh karena itu digunakan pertanyaan terbuka yang memungkinkan peserta untuk memberikan jawaban dan penjelasannya. Moderator hanya sebagai pengarah, pendengar, pengamat dan menganalisa data dengan menggunakan p roses induktif (Kresno et al., 2000). 4.
Observasi
Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Tujuan observasi adalah untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan makna kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai catatan panjang lebar yang tidak relevan. Patton (1990) mengatakan data hasil observasi menjadi data penting karena (Poerwandari, 2005): a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks yang diamati. b. Memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan mendekati masalah secara induktif. c. Memungkinkan peneliti mengamati hal hal yang oleh partisipan sendiri kurang disadari. d. Memungkinkan memperoleh data yang tidak diungkapkan oleh subyek yang diteliti. e. Memungkinkan bergerak lebih jauh dari presepsi selektif yang ditampilkan subyek. f.
Memungkin peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukannya.
5.
Studi Kasus Studi kasus dapat membuat peneliti memahami secara utuh dan terintegrasi mengenai
interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus yang dipelajari. Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe (Poerwandari, 2005): a. Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep / teori ataupun tanpa upaya mengeralisasi b. Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu. Dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan memperhalus teori. c. Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam 16
tiap kasus maupun antar kasus, studi kasus ini juga sering disebut studi kasus majemuk atau studi kasus komparatif. Dalam studi kasus, pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti wawancara, audit dokumen, observasi dan lain sebagainya. 6.
Audit Dokumen dan Catatan Dokumen dan catatan sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber informasi
atau data. Dokumen dan catatan yang digunakan dalam penelitian tentunya adalah dokumen dan catatan resmi yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti laporan kecelakaan, work permit, work instruction, laporan hasil rapat dan sebagainya. Alasan penggunaan dokumen dan catatan sebagai sumber data adalah sebagai berikut (Moleong, 2005): a. Merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong. b. Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian. c. Mudah diperoleh. 7.
KJ Analysis (Affinity Diagram) KJ analysis atau yang banyak dikenal dengan nama affinity diagram adalah suatu teknik
dalam menggali dan mengorganisasi informasi verbal kedalam bentuk visual terstruktur. Metode ini dikembangkan oleh Jiro Kawakita pada tahun 1960, dan banyak digunakan sebagai tools untuk perbaikan atau peningkatan kinerja bisnis. Suatu KJ analysis dimulai dengan suatu ide yang spesifik yang dapat kemudian dikembangkan menjadi kategori yang lebih luas. KJ analysis dapat digunakan untuk: 1. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap suatu masalah atau kegagalan dan, 2. Mengidentifikasi area-area yang dapat diperbaiki. KJ analysis merupakan suatu tools yang sangat bagus digunakan untuk mengajak peserta diskusi untuk lebih kreatif dalam mencari solusi suatu permasalahan. Metode ini sangat baik digunakan dalam suatu kelompok yang memiliki latar belakang dan keahlian yang berbeda-beda, atau situasi yang cukup rumit dan membingungkan dimana situasi yang dihadapi belum tergali atau diketahui secara baik oleh peserta diskusi. Beberapa hal yang unik dari metode KJ analysis adalah: 1. Affi nity silently; adalah cara yang paling efektif dalam menyampaikan ide dalam sebuah kelompok yaitu dengan menampilkan ide secara tertulis tanpa bicara. Hal ini memiliki dua hal yang positip yaitu mendorong cara berfikir yang tidak konvensional dan yang kedua mengurangi pertengkaran atau pertentangan. 17
2. Go for gut reaction; adalah mendorong anggota kelompok untuk bereaksi cepat terhadap apa yang dilihat atau dipikirkan. Dan semua anggota kelompok dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. 3. Handle disagreement simply; adalah cara sederhana untuk menangani ketidak sepakatan dalam cara pandang terhadap suatu ide. Jika seseorang atau anggota kelompok tidak setuju terhadap suatu idea pada kategori tertentu, mereka tinggal memindahkan kedalam kategori yang lebih tepat hingga ditemukan konsensus, jika tidak ditemukan konsensus maka dapat dibuat duplikat idea untuk kedua kategori. Metode ini dilakukan dengan cara brainstorming untuk mendapatkan ide-ide dari peserta diskusi sesuai dengan topik diskusi. Brainstorming dilakukan bukan dengan menyampaikan pendapat secara verbal akan tetapi disampaikan secara tertulis diatas sepotong kertas berupa kartu atau post-it note. Kemudian ide-ide atau pendapat tersebut ditempelkan pada papan tulis atau dinding dimana memungkinkan untuk mengelompokkan ide-ide yang sama kedalam satu kategori. Semua peserta kelompok diskusi diajak untuk membaca semua ide-ide yang tertempel dan mengelompokkan secara bersama-sama untuk mendapatkan konsensus serta memberi nama kategori-kategori tersebut. Melalui diskusi dengan peserta kemudian dicari hubungan sebab dan akibat dari semua kategori yang ada. Metode-metode tersebut diatas dapat digunakan secara sendiri-sendiri atau gabungan beberapa metode, hal ini tentunya tergantung dari jenis dan kedalam informasi yang ingin diperoleh. Namun dalam banyak penelitian budaya dan perilaku keselamatan, metode yang paling sering digunakan adalah metode penyebaran angket. Beberapa penelitian menggabungkan penyebaran angket dengan fokus grup diskusi dan audit dokumen dan catatan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
18
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja saat ini menjadi Pilar dalam Kerangka Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (The Pillars of Global Strategy of Occupational Safety and Health). Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengembangkan kerangka kerja membudayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di industry. Kemajemukan dan keragaman konsep Budaya K3, sebagai bagian dari budaya organisasi, tidak perlu menjadi hambatan untuk mengembangkan konsep budaya K3 beserta indikatornya yang komprehensif, universal, sederhana, jelas dan mudah diukur serta mudah dipergunakan dalam menyusun program mengembangkan budaya K3 di perusahaan. Indikator budaya K3 yang dipergunakan hendaknya tidak bersifat tunggal dan perlu meliputi indicator aspek manusia dan organisasi-manajemen terutama aspek sistim manajemen K3 dan penerapannya secara konsiten . Program pengembangan budaya keselamatan diperusahan hendaknya tidak bersifat tunggal dan perlu dilakukan dalam kerangka yang berkesinambungan sesuai dengan falsafah ‘continuous improvement’. Berbagai hambatan yang ada dalam meningkatkan budaya K3 perlu diatasi secara terencana dan sistimatis. Hambatan yang melekat pada aspek organisasi perlu diatasi dengan melakukan sosialisasi regulasi yang ada menerapkannya secara konsisten. Sedangkan hambatan yang terkait dengan sumber daya manusia perlu diatasi melalui peningkatan kesadaran dan pengetahuan dalam bentuk formal maupun non formal. 3.2 Saran
1. Untuk pembaca : a. Agar memberi kritik dan saran yang membangun agar kedepannya penulis dapat membuat makalah lebih baik lagi b. Apabila ada kesalahan dalam kalimat, tanda baca atau penulisan mohon diberi masukan kepada penulis
19