Mengenali Distribusi Normal Meto Metode de yang yang juga juga dike dikena nall deng dengan an sebu sebuta tan n forced distribution ini mendapatkan mendapatkan nama namany nyaa dari dari keny kenyata ataan an bahw bahwaa para para peni penila laii yang yang terli terliba batt mema memang ng “dip “dipak aksa” sa” untu untuk k mendistribu mendistribusikan sikan nilai karyawan karyawan ke dalam sejumlah kategori kinerja yang sudah ditetapkan ditetapkan persentase proporsinya. Biasanya, bentuk distribusi yang diterapkan adalah distribusi normal, dimana persentase yang setara kecilnya ditempatkan di kutub kanan (terbaik) dan kutub kiri (terburuk) sedangkan persentase yang lebih besar ditempatkan di bagian tengah — di antara kedua kutub tersebut. ebagai contoh, proporsi yang mungkin digunakan adalah! "stimewa #$%, #$%, Memu Memuask askan an &$%, &$%, Berk Berkin iner erja ja Bagu Baguss '$%, '$%, erl erlu u eni ening ngka katan tan &$%, &$%, dan dan idak idak Memuaskan #$%. *dapun asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa, secara statistik, ting tingka katt kine kinerja rja kary karyaw awan an terd terdis istri tribu busi si meng mengik ikut utii pola pola kur+ kur+aa norm normal. al. ika ika berh berhasi asill diimpl diimplemen ementasi tasikan kan secara secara e-ekti-, e-ekti-, metode metode distri distribus busii normal normal bisa bisa mendata mendatangk ngkan an man-aat man-aat berikut ini! #. Mengurangi kemungkinan terjadinya bias bias penilaian. engan memaksa penilai untuk mendistribusikan hasil penilaiannya, bias yang terjadi akibat penilai terlalu murah hati (dimana semua karyawan dinilai bagus) atau terlalu pelit (dimana semua karyawan dinilai buruk) bisa diminimalkan. Melalui penerapan metode ini, /ord —misalnya— berhasil menurunkan bias kemurahan hati yang terjadi di metode penilaian kinerja sebelumnya dimana 01% sta-nya dinilai “memenuhi harapan” (2ls on 3 a+is, &$$4). &. Meningkatkan objektivitas penilaian. 5arena 5arena harus harus memasti memastikan kan penemp penempatan atan setiap setiap karyawan karyawan dalam dalam suatu suatu katego kategori, ri, pada pada metode distribusi normal, para penilai perlu menge+aluasi semua karyawan berdasarkan kriteri kriteriaa yang yang sama. sama. engan engan demiki demikian, an, hasil hasil penilai penilaian an mereka mereka akan akan cender cenderung ung lebih lebih objekti- dibandingkan jika setiap manajer menilai anak buah mereka berdasarkan kriteria mereka masing6masing. 4. Memfasilitasi terjadinya komunikasi yang spontan dan terbuka antara atasan dan bawahan.
Metode ini menuntut para atasan untuk secara berkala memberikan umpan balik kepada anak buah mereka. anpa kesediaan untuk sering menyampaikan umpan balik secara spontan dan terbuka, sang atasan akan menghadapi kesulitan pada saat harus menjelaskan kepada anak buahnya mengapa dia menempatkan si karyawan di kategori “tidak memuaskan”.
'. Membantu menetapkan konsekuensi kinerja yang tepat. engan memaksa para atasan untuk mendistribusikan karyawan ke dalam kategori tertentu, perusahaan bisa mengenali siapa saja yang berkinerja unggul, menengah, dan yang berkinerja terendah. adi, secara terarah, perusahaan bisa memutuskan karyawan mana yang harus diganjar dengan kompensasi dan promosi, karyawan mana yang patut dipertahankan dan dikembangkan, serta karyawan mana yang perlu diputuskan hubungan kerjanya. i sisi lain, metode distribusi normal juga tidak lepas dari sejumlah kelemahan pokok yang mengundang kritik! #. Metode ini menggunakan sistem distribusi normal yang salah penerapannya. Menurut *belson (&$$#), model kur+a lonceng mengasumsikan bahwa distribusi normal akan terjadi pada sekelompok besar subjek yang terbentuk secara acak , dan tidak mengasumsikan hal yang sama untuk kelompok6kelompok kecil. *dapun yang dimaksud dengan kelompok besar adalah kelompok yang setidaknya terdiri dari #.$$$ 7 #.8$$ anggota. ada kenyataannya, sejumlah perusahaan menerapkan model kur+a lonceng ini pada sekelompok kecil karyawan, yang jumlah anggotanya bahkan tidak lebih dari 8$ orang. *kibatnya, sebagian karyawan yang berkinerja bagus tetapi berada di kelompok unggul mau tidak mau akan menderita karena terpaksa mendapatkan nilai buruk. ebaliknya, beberapa karyawan yang sebenarnya berkinerja biasa6biasa saja tetapi berada di kelompok yang berkinerja lemah, akan menikmati in-lasi nilai dan dianugerahi posisi sebagai #$%6&$% karyawan yang berkinerja terbaik — hanya karena memang harus ada yang dinilai paling tinggi.
ementara itu, asumsi acak yang digunakan juga dianggap tidak tepat. 5alau secara statistik dinyatakan bahwa acak adalah situasi dimana setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel, maka dengan jelas dapat disimpulkan bahwa kelompok karyawan *nda bukanlah kelompok yang acak. *nda tidak merekrut mereka secara acak, *nda tidak menempatkan mereka secara acak, *nda juga tidak melatih dan memperlakukan mereka secara acak. &. Ketika diterapkan secara konsisten, metode distribusi normal justru membangkitkan tantangan baru yang menyulitkan. 5arena mengharuskan perusahaan untuk memecat karyawan yang dinilai berkinerja paling rendah, setelah diimplementasikan selama beberapa tahun, metode ini justru semakin mempersulit upaya membedakan karyawan yang berkinerja memuaskan dengan karyawan yang berkinerja istimewa. erbedaan di antara keduanya semakin menipis dan semakin tidak kasat mata. i sisi lain, karena standar kinerja karyawan yang semakin lama semakin meningkat, perusahaan juga semakin sulit mendapatkan calon karyawan yang memenuhi standar tersebut, yaitu karyawan yang kuali-ikasinya harus melebihi karyawan yang sebelumnya dipecat. 4. Kategori yang digunakan tidak menunjukkan kinerja yang sebenarnya. emaksaan nilai dan pengkategorian yang dipersyaratkan dalam metode distribusi normal membuat karyawan diberi nilai dan ditempatkan di kategori yang belum tentu sesuai dengan tingkat kinerja aktual mereka. erusahaan yang berhasil mencapai target bisnisnya, misalnya, dimana semua karyawannya memang berprestasi bagus dan berhasil mencapai target perorangan mereka, dengan terpaksa harus tetap menempatkan #$% karyawannya di kategori “tidak memuaskan”. ituasi semacam ini tentu tidak bisa dianggap objekti-. *kibatnya, seperti yang dikemukakan oleh 2lson dan a+is, karyawan lebih sering merasa bahwa nilai yang mereka terima sesungguhnya hanyalah nilai yang dibuat untuk memuaskan distribusi yang telah ditetapkan perusahaan. Bukan merupakan re-leksi dari kinerja aktual mereka. '. Dipersepsi lebih sulit dan kurang -air dibandingkan metode penilaian konvensional.
ersepsi yang timbul di kalangan mereka yang terlibat dalam implementasi metode distribusi normal ini ditemukan dalam penelitian chleicher, Bull dan 9reen (&$$1). engan adanya persepsi semacam itu, tidak mengherankan jika kemudian teridenti-ikasi bahwa para manajer umumnya kurang bereaksi positi- terhadap metode tersebut (:awler, &$$&). Mereka sering mengungkapkan komentar miring tentang metode itu, sehingga akhirnya para karyawan pun berpandangan bahwa metode tersebut kurang fair dan dengan demikian tidak mereka terima. 8. Terlalu memaksakan perbandingan kinerja antar-jabatan dalam upaya mendapatkan peringkat kinerja seluruh karyawan. ertanyaannya
adalah!
Bagaimana
*nda
akan
—secara fair dan
objekti-—
membandingkan kinerja seorang kepala departemen dengan kinerja seorang petugas administrasi; *tau kinerja 5epala epartemen emasaran dengan 5epala epartemen M; 5riteria apa yang akan *nda gunakan; elain tidak mudah untuk dijawab dan diimplementasikan, pertanyaan itu jelas mengusik rasa keadilan para pengemban jabatan yang diperbandingkan. <. Merangsang tumbuhnya lingkungan kerja yang kompetitif sekaligus destruktif. =paya membandingkan tingkat kinerja, dan memasukkan karyawan ke dalam kategori yang proporsinya sudah dibatasi dengan persentase tertentu, jelas membuat karyawan terperangkap dalam situasi persaingan. elalu mencoba menampilkan kinerja yang tidak hanya sebaik mungkin, tetapi juga harus lebih baik dibandingkan kinerja rekan6rekan yang lain, agar bisa masuk dalam kategori penilaian yang lebih tinggi dan terhindar dari kemungkinan menjadi penghuni kategori terbawah. ituasi semacam ini jelas menghambat terjadinya kerja sama di kalangan anggota kelompok kerja. *palagi jika karyawan mengetahui bahwa perusahaan memberikan perlakuan dan kompensasi yang berbeda untuk setiap kategori penilaian.
(ulisan ini akan menjadi bagian dari buku Tips and Tricks for Driving !roductivity")