Masyarakat Aceh sangat kental dengan tradisi agama Islam yang turun temurun dari zaman dahulu hingga sekarang. Syariat agama sangat di utamakan didalam masyarakat, karna dalam masyarakat sudah ada aturan yang berlaku dari dahulu sampai sekarang. Apabila ada yang melanggar maka akan ada sangsi yang berlaku pada orang yang melakukan kesalahan itu. Salah satu yang unik tradisi masyarakat aceh adalah "kenduri blang" . kenduri blang merupakan salah satu tradisi masyarakat Aceh. kenduri blang adalah suatu acara kenduri yang dilaksanakan disawah bersama kepala desa bersama masyarakat aceh masyarakat. kenduri ini dilaksanakan sebelum pengolahan sawah. sebelum acara kenduri dilaksanakan kepala desa memberikan sambutan kepada masyarakat setelah sambutan dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh salah satu imam masjid acara puncaknya masyarakat makan bersamasama yang unik dari kenduri blang ini adalah makanan yang disajikan adalah nasi dan gulai ayam semua. masyarakat diwajibkan membawa nasi dan gulai ayam yang dibungkus dalam daun pisang. Aa
Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah,
ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya. Diawali
dari keinginan mengangkat adat budaya kenduri turun ke sawah yang secara turun temurun
dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.
Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang.
Foto : Onlyaceh.blogspot.com
Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong
Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.
Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moy ang. Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri o leh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu kulah.
Dalam tatacaranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut k eyakinan masyarakat di sana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan lain sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga dilakukan baca yaasinsekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkat hingga dapat dizakatkan.
Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani. Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai peusijuek antara lain (1) berteh(padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampo ng, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.
Jika padi sudah tumbuh dara, petani be rkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun, sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan doa.
Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam makanan asamasam. Maka rujak jadi pilihan. Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah -tengan sawah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama lainnya tidak berani mendekat.
Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat, hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Se lain itu, di sawah juga dilarang berbicara takabur.
Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua, mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan ketinggal an panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh ke lompok tani adalah jika telah sampai wakt u panen, pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik. Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai 100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tem pat tinggal si petani.
Menjelang Turun ke Sawah Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal. Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi. Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada. Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing. Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah.
Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga. Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi. Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka. Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman. Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani. Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang. Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan at au tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersamasama, mengeluarkan zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan te rbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.
Masa Padi Berbuah Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi ata u biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan.
Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan s eorang yatim untuk sekali waktu. Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik. Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi. Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si empunya hajatan. Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat. Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.
Sesudah Masa Menuai Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan
dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya. Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencic ipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini. Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga d an diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi. Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya. Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam seca ra bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok. Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat. Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap keti ga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya. Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya
melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawahsawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara han ya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah. Source : laser-aceh.blogspot.com
Mangaan Ulun Tinafa: Upacara Musim Tanam dan Panen Orang Simeulue
Peta pulau Simeulue
1. Asal-usul Simeulue adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam. Secara administratif Kabupaten Simeulue dibagi menjadi delapan kecamatan, yaitu Simeulue Timur, Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Tengah, Teluk Dalam, Salang, Alafan, dan Simeulue Barat. Delapan kabupaten tersebut dihuni oleh mayoritas Suku Simeulue dan sebagian suku pendatang seperti Suku Aceh, Minangkabau dan Nias. Masyarakat Simeuleu sehari-hari menggunakan tiga bahasa, yaitu Ulau, bahasa Sibigo, dan bahasa Jamee (Dado Meuraxa, 1956). Masyarakat Simeulue mempunyai adat dan budaya yang unik. Sebagian dari adat dan budaya tersebut oleh beberapa kelompok masyarakat Simeulue masih dipraktekkan dan dijaga dengan baik. Salah satu kebudayaan tersebut adalah upacara adat Mangaan Ulun Tinafa, yaitu upacara adat untuk merayakan musim tanam dan musim panen. Oleh orang Aceh umumnya, upacara ini sering disebut dengan Kenduri Blang (kenduri sawah). Upacara Mangan Ulun Tinafa sendiri berisi kenduri (selamatan) yang dilaksanakan dalam tiga saat yang berbeda, yaitu saat mulai menanam padi, saat bulir padi berisi, dan saat panen tiba (Rusdi Sufi at al, 2004). Asal-usul upacara ini adalah keyakinan orang Simeulue terhadap ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa ketika Tuhan (Allah SWT) telah memberikan rejeki yang banyak pada pertanian mereka, maka mereka harus mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Nya. Ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk upacara, yaitu Mangaan Ulun Tinafa. Upacara ini dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh para petani. Namun, dalam persiapannya dibantu oleh saudara dan para tetangga. Untuk memeriahkan upacara ini, biasanya seusai kenduri waktu panen juga digelar berbagai kesenian tradisional, salah satunya adalah kesenian kendang yang dimainkan oleh para anak muda Simeulue. Permainan kendang terdengar merdu dan mendayu dengan iringan nandong, yaitu nyanyian yang berbentuk syair atau puisi dan berisi petuah-petuah adat, syair agama, dan pantun mudamudi (Rusdi Sufi dan Wibowo, 2004).
2. Peralatan dan Waktu Pelaksanaan Upacara Mangaan Ulun Tinafa dipimpin oleh Teungku Balee (pemimpin balai pengajian) atau Teungku Meunasah (pemimpin masjid atau pesantren). Upacara ini dilakukan di dua tempat berbeda, yaitu di sawah yang akan ditanami dan di rumah masing-masing petani. Adapun waktunya dibagi dalam tiga saat, yaitu saat mulai menanam padi, saat bulir padi mulai berisi, dan saat panen tiba. Peralatan yang perlu disediakan dalam upacara ini antara lain:
Nasi sedekah
Ayam
Ubon (pohon pisang emas)
Santan
3. Proses Pelaksanaan Pelaksanaan upacara Mangaan Ulun Tinafa secara umum dibagi dalam dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan upacara. Adapun pada tahap pelaksanaan upacara dibagi dalam tiga saat, yaitu saat akan memulai menanam padi, saat bulir padi mulai berisi, dan saat panen tiba.
a. Persiapan Pada tahap ini para petani yang dibantu tetangga dan saudara mulai mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara. Semua perlengkapan harus disediakan karena jika tidak maka upacara dianggap kurang sakral. Jika semua sudah lengkap maka langsung dilaksanakan upacara sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
b. Pelaksanaan
Saat akan mulai menanam padi
Saat ini adalah saat yang paling berbahagia bagi para petani dan keluarganya. Pagi-pagi sekali keluarga petani sudah mempersiapkan nasi sedekah. Kurang lebih jam 6 pagi, nasi sedekah dibawa ke sawah. Di sana sudah menunggu beberapa petani yang diundang. Upacara dimulai dengan menanam ubon (pohon pisang emas) di dekat sawah yang akan ditanami, kemudian dilanjutkan dengan menyembelih ayam yang telah disiapkan di dekat ubon sambil diiringi bacaan salawat ahai (salawat padi) disambung doa yang dipimpin oleh Teungku Meunasah atau Teungku Balee, dan disaksikan oleh keluarga dan beberapa orang yang diundang. Setelah itu para hadirin secara bersama-sama makan nasi sesaji yang telah disiapkan. Seusai makan, petani akan langsung berhamburan ke sawah untuk mulai menanam padi. Sedangkan ayam yang disembelih dibawa
pulang untuk dimasak dan nantinya akan dimakan keluarga. Upacara ini dilakukan sebagai tanda dimulainya musim tanam.
Saat bulir padi mulai berisi
Ketika melihat bulir padi yang mereka tanam sudah mulai berisi, para petani Simeulue beranggapan bahwa Tuhan telah mengabulkan doa yang mereka panjatkan pada waktu mulai menanam dulu. Maka dari itu tanpa dikomando para petani mulai menyiapkan upacara untuk merayakannya. Upacara ini diawali dengan menyembelih ayam yang telah disiapkan sebelumnya. Penyembelihan ayam merupakan simbol persembahan kepada Tuhan. Ayam yang disembelih kemudian dibawa pulang untuk dimasak. Seusai menyembelih ayam , Teungku Meunasah atau Balee menaburkan santan ke tanaman padi sambil diringi bacaaan mantera yang berisikan salawat. Setelah ritual selesai dilaksanakan, diadakan selamatan sederhana dengan hidangan nasi sedekah. Selamatan ini disebut dengan kenduri ureh (menjaga padi ). Teungku Meunasah memimpin membaca doa diamini oleh orang yang hadir. Selesai doa dipanjatkan, upacara dilanjutkan dengan makan nasi sedekah bersama-sama.
Saat padi siap dipanen
Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh semua petani, termasuk petani Simeulue. Sebelum padi dipanen seluruhnya, setiap petani diwajibkan untuk membawa segenggam padi baru yang diambil dari sawah mereka masing-masing. Padi segenggam tersebut kemudian dibawa pulang untuk dimasak. Pada malam harinya diadakan kenduri dengan mengundang tetangga dan saudara. Kenduri merupakan sarana petani untuk saling berbagi dengan sanak saudara dan tetangga, dikarenakan pada kenduri ini akan dilaksanakan merompak , yaitu makan nasi baru dari padi yang dipanen. Merompak dilaksanakan secara bergantian di rumah masing-masing petani. Jika tiba saat panen, masyarakat biasanya akan kebanjiran nasi. Hal itu dikarenakan setiap keluarga petani yang mengadakan kenduri akan membawakan nasi untuk dibawa pulang. Esok harinya biasanya akan digelar kesenian kendang oleh para pemuda. Kesenian kendang akan diiringi dengan nandong, yaitu lantunan nyanyian syair keagamaan, petuah adat dan pantun mudamuda. Momen ini biasanya banyak ditunggu oleh kaum muda karena biasanya mereka memanfaatkannya untuk mencari jodoh diantara sesama penonton atau pelantun nandong.
4. Doa Setiap pembacaan doa selalu disertai dengan niat. Doa yang dipanjatkan adalah sama, yaitu doa keselamatan, doa kesehatan lahir dan batin, doa perlindungan, dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW, namun niat yang dimaksudkan berbeda-beda. Niat ketika mulai menanam padi dimaksudkan agar padi dapat tumbuh subur dan berisi. Niat waktu bulir padi berisi dihaturkan agar padi tidak diserang hama dan terus berisi hingga panen tiba. Niat ketika panen tiba dihaturkan agar rezeki yang diberikan Tuhan tetap mengalir hingga musim tanam yang akan datang.
5. Pantangan dan Larangan Tidak ada pantangan atau larangan khusus dalam upacara Mangaan Ulun Tinafa. Akan tetapi para petani selalu dihimbau oleh Teungku Menasah atau Teungku Bale untuk memperbanyak sedekah agar Tuhan tetap memberikan rezeki yang melimpah saat panen kelak. Selain itu, para petani dimohon untuk menjaga tanaman padinya agar tidak terkena hama dan selalu memeriksa airnya agar tanaman tidak mati. Lebih daripada itu semua, agar doanya dikabulkan, para petani dianjurkan untuk ikhlas ketika melaksanakan upacara Mangaan Ulun Tinafa karena jika tidak ikhlas maka apapun yang diniatkan oleh para petani tidak akan terwujud.
6. Nilai-nilai
Nilai terima kasih kepada Allah SWT. Masyarakat Simeulue mayoritas beragama Islam dan mereka sangat taat dengan ajaran Islam. Ketaatan ini melahirkan sebuah sikap di mana mereka selalu menghubungkan antara peristiwa kehidupan mereka dengan kebesaran Tuhan. Penyelenggaraan upacara Mangaan Ulun Tinafa adalah salah satu contohnya. Para petani Simeulue menganggap bahwa mereka berkewajiban untuk mengungkapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rezeki pertanian mereka. Upacara tersebut harus dilaksanakan karena jika tidak maka mereka menganggap diri mereka tidak bersyukur kepada Tuhan, dan itu akan menyebabkan dicabutnya karunia Tuhan dari kehidupan mereka.
Nilai kebersamaan. Nilai ini terlihat dengan jelas pada saat perisiapan upacara ini. Para petani yang dibantu oleh saudara dan tetangga secara bergotong royong menyiapkan segala perlengkapan upacara yang dibutuhkan. Aktivitas ini tentu saja memperkuat rasa kebersamaan mereka dalam mengelola pertanian pada khususnya dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Hal ini terbukti: ketika padi diserang hama tikus, mereka secara bersama-sama mengepung sawah untuk mengusir tikus. Rasa kebersamaan ini lebih terasa ketika masyarakat merayakan Mangaan Ulun Tinafa dengan berjoget bersama mengikuti irama kendang yang dimainkan oleh para pemuda saat merayakan panen. Nilai kebersamaan ini juga melahirkan jejaring sosial para pemuda, yang tidak mustahil berujung pada pernikahan.
Nilai spiritual. Nilai ini tercermin dari berbagai doa yang dipersembahkan kepada Allah SWT, yang oleh orang Simeulue dianggap telah memberikan rezeki yang melimpah pada lahan pertanian mereka. Dalam konteks ini Mangaan Ulun Tinafa ternyata tidak hanya sekedar tradisi, tetapi juga merupakan sebuah ruang di mana orang Simeulue dapat mendekatkan diri dengan Tuhan untuk memohon, mengadu dan meminta perlindungan dari segala keburukan dalam hidup mereka.
Nilai
berbagi
kepada
sesama.
Nilai
ini
terlihat
sekali
khususnya
pada
saat
perayaan Mangaan Ulun Tinafa seusai panen, di mana semua petani memasak hasil panen pertama mereka, kemudian secara bergantian mengundang para tetangga dan saudara ke rumah
mereka
masing-masing
untuk
makan
bersama.
Mereka
menyebutnya Merompak (makan nasi baru hasil panen). Nuansa berbagi bertambah kental karena mereka yang hadir pada kenduri masih dibungkuskan nasi beserta lauk pauknya untuk dibawa pulang.
7. Penutup Ketika tsunami menghantam pulau Simeulue pada tahun 2004 yang lalu, ternyata masyarakat Simeulue hanya sedikit yang menjadi korban. Berdasakan cerita masyarakat, hal itu dikarenakan orang Simeulue masih memegang semangat kebersamaan. Antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain masih terjalin ikatan dan rasa tanggung jawab untuk saling mengingatkan jika ada bahaya. Berdasar pengalaman ini, maka upacara Mangaan Ulun Tinafa yang mengandung nilai kebersamaan ini penting untuk terus diapresiasi dan dijaga, mengingat pulau Sumatera umumnya dan Simeulue khususnya rentan dengan bencana alam. Yusuf Efendi (bdy/12/01-10)
Referensi
Rusdi Sufi at al. 2004. Keanekaragaman suku dan budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Ragam sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam.
Dado Meuraxa, 1956. Sekitar suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli . Medan: Pengetahuan.
Sumber foto Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini dalam masyarakat Aceh adalah “kenduri blang” atau "kenduri jak ublang" (kenduri turun sawah atau sudah menanam padi). Tradisi ini sudah ada sejak dahulu dilakukan oleh masyarakat Aceh ketika musim turun ke sawah atau memasuki masa menanam padi untuk memohon doa demi keselamatan tanaman padi dari segala penyakit.
“Kenduri Blang ini adalah sebagai syukuran masyarakat Aceh kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki kepada petani, dan masyarakat juga memanjatkan doa kepada Allah, agar musim tanam lebih baik dari sebelumnya,” Syukuran sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh, setiap dimulai musim tanam padi di gampong-gampong (desa) di seluruh Aceh. Zaman dahulu adat jak ublang atau turun ke sawah atau yang akrab disebut
"kenduri jak blang" merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh sekelompok komunitas petani di gampong-gampong (desa). Salah satunya seperti prosesi adat dan budaya di kawasan gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Aceh Utara. Warga bersama-sama memasak ayam di sawah, selanjutnya kenduri dimakan bersama-sama oleh warga dikawasan sawah. Lazimnya sebelum kenduri dimakan bersama, kepala gampong memberikan petunjuk-petunjuk yang dibolehkan atau yang menjadi larangan (pantang blang) kepada masyarakat yang hadir.
Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang
harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun,
tentu dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang.
Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten
Aceh Tamiang. Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya
Tualang” di Kampong Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang.
Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara
adat kenduri blang.
Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang
akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri
oleh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk
persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus
atau bu kulah