Hukum online
Tempo
BUMN Track
Page 22 of 24
KEUANGAN NEGARA DAN PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA
Ahmad Yusuf
Ari Budiono
Doni Katra Lubis
Yunan Awaludin Jarir
Mahasiswa Program D-IV Akuntansi Kurikulum Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan konsep keuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara serta beberapa isu terkait seperti wewenang audit BPK terhadap BUMN, kerugian keuangan negara dan publikasi hasil audit BPK sehubungan dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, kewenangan audit BPK terhadap pajak dan biaya sengketa di pengadilan.
Keywords : Keuangan Negara, Audit, BPK, BUMN, Kerugian Keuangan Negara
Pendahuluan
Reformasi keuangan Indonesia ditandai dengan diterbitkannya paket Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU KN), Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara dan Undang-undang No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara. Selain itu, diterbitkan pula Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK merupakan lembaga yang berwenang melakukan audit atau pemeriksaan keuangan negara yang meliputi audit keuangan, kinerja dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDDT). Hal ini sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945.
Menariknya adalah konsep keuangan negara yang didefiniskan di UU KN memasukkan kekayaaan yang dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah BPK juga akan mengaudit BUMN. Dilain sisi, BUMN mengikuti hukum perseroan sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Terkait hal itu pula, apakah kerugian BUMN juga termasuk dalah ranah kerugian negara yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 stdd UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal tersebut dan beberapa isu lainnya yang dirasa relevan akan dibahas di paper ini.
Pembahasan
Keuangan Negara
Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara. Dalam diktum menimbang undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.Pengertian keuangan negara dalam perspektif Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1) yaitu:
"Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut"
Peraturan-peraturan yang mendasari pengelolaan keuangan negara dan apa yang dimaksudkan dengan keuangan negara adalah :
Amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945 pasal 23
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 17/2003 merupakan undang-undang keuangan pertama yang dimiliki Indonesia untuk melaksanakan amanat pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan bahwa hal-hal lain mengenai keuangan negara yang tidak diatur dalam UUD 1945 akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Sebelum terbitnya Undang-undang no 17 tahun 2003, Indonesia masih menganut pengaturan keuangan yang diwariskan oleh penjajah Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
Indische Comptabiliteitswet (ICW) tahun 1864 Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968;
Indische Bedrijvenwet (IBW) tahun 1864 Stbl. 1927 No 419 jo. Stbl. 1936 No. 445; dan
Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) tahun 1864 Stbl. 1933 No. 381;
Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320 terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Obyek : semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara.
Subyek : Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Proses : seluruh rangkaian mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Tujuan : dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lebih jelasnya mengenai ruang lingkup keuangan negara dijabarkan dalam pasal 2 yang memberi cakupan Keuangan Negara terdiri dari:
hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintaha negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
Penerimaan Negara;
Pengeluaran Negara;
Penerimaan Daerah;
Pengeluaran Daerah;
Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Selain melihat definisi keuangan negara pada Undang-Undang Keuangan Negara, sebagian ahli juga mengaitkan bagaimana Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang keuangan negara. Pada dasarnya UUD 1945 tidaklah secara tersurat mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan Keuangan Negara sehingga memerlukan penafsiran lebih lanjut dari para ahli untuk dapat memahaminya. Keuangan Negara jika dikaitkan dengan Amandemen III UUD 1945 pengertian keuangan negara tidak hanya sebatas pada APBN tetapi juga termasuk APBD Daerah (Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Ini terkait dengan perubahan struktur organisasi dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di mana dalam Pasal 23 UUD 1945 hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Jika kita kaitkan batasan mengenai keuangan negara pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 dengan Pasal 23 UUD 1945, maka definisi dalam UU 17/2003 menjadi kurang tepat. Karena Pasal 23 UUD 1945 mendefinisikan keuangan negara hanyalah sebatas APBN dan APBD, sedangkan menurut UU 17/2003 juga meliputi BUMN dan BUMD.
Siklus APBN
Bentuk pengelolaan keuangan negara yang tercantum pada UU No 17/2003 terimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan program dan kegiatan yang tercantum dalam APBN dan APBD setiap tahunnya. Siklus APBN dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang berawal dari perencanaan dan penganggaran sampai dengan pertanggungjawaban APBN yang berulang dengan tetap dan teratur setiap tahun anggaran.
Siklus APBN
Sumber: Pokok-Pokok Siklus APBN di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal Sebagai Langkah Awal
Perencanaan dan Penganggaran
Siklus APBN diawali dengan tahapan kegiatan perencanaan kegiatan (Perencanaan) dan perencanaan anggaran (Penganggaran) APBN yang saling terintegrasi satu sama lain. Sebelum penyusunan rencana anggaran, Pemerintah BPS, dan Bank Indonesia menyiapkan asumsi dasar ekonomi makro yang akan digunakan sebagai acuan penyusunan kapasitas fiscal Pemerintah.
Program yang akan dilaksanakan haruslah tercantum dalam suatu rencana kerja. Kementerian Negara/Lembaga (K/L) berperan untuk menyiapkan Renstra untuk rencana jangka menengah dan RKA-KL untuk rencana tahunan. RKA-KL haruslah mencerminkan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan oleh Presiden dan mendapat persetujuan DPR. Setelah melalui pembahasan antara K/L selaku chief of operation officer (COO) dengan Menteri Keuangan selaku chief financial officer (CFO) dan Menteri Perencanaan, dihasilkan Rancangan Undang-Undang APBN (RAPBN) yang bersama Nota Keuangan kemudian disampaikan kepada DPR pada bulan Agustus dengan disertai Nota Keuangan.
Pembahasan APBN
Pembahasan RAPBN di DPR dilakukan dari bulan Agustus – Oktober. Selama proses pembahasan bisa saja terjadi perubahan RAPBN oleh Pemerintahn atas dasar masukan DPR tapi perlu diingat bahwa DPR tidak memiliki wewenang untuk mengubah dan mengusulkan RAPBN. Hak yang dimiliki DPR hanya sebatas menyetujui, mengajukan usulan perubahan, atau menolak RAPBN.
Penetapan APBN
Setelah melalui proses pembahasan dan mungkin saja pengubahan atas RAPBN, serta DPR menyetujui RAPBN tersebut kemudian tahap selanjutnya adalah proses penetapan RAPBN menjadi Undang-undang APBN.
Pelaksanaan APBN
Tahapan pelaksanaan APBN dilakukan oleh K/L dan Bendahara Umum Negara dengan mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebagai alat pelaksanaan APBN. Akan tetapi azas anggaran yang dikenal dengan azas flexibilitas tetap berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghadapi kondisi riil yang tidak selalu sama dengan asumsi yang digunakan dalam penyusunan anggaran.
Setiap tengah tahun berjalan akan dilakukan revisi APBN atau APBN-Perubahan (APBN-P). Penyusunan PBN-P diawali dengan penyampaian realisasi anggaran semester I dan prognosis penerimaan dan pengeluaran semester II.
Dalam kondisi tertentu, Pemerintah boleh saja melakukan pengeluaran yang tidak tersedia dalam anggaran. Pengeluaran ini nantinya akandicantumkan dalam APBN-P jika pengeluaran dilakukan sebelum APBN-P disusun dan dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran disertai penjelasan.
Pelaporan dan Pencatatan APBN
Pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja kepada masyarakat. Oleh karena itu selama proses pelaksanaan APBN, K/L dan BUN wajib melakukan pelaporan dan pencatatan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sehingga menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Ini merupakan wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Pemeriksaan APBN dan Pertanggungjawaban APBN
Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan seperti yang telah disebutkan di atas disampaikan oleh K/L kepada Presiden sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban dan juga sebagai komponen dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Kementerian/Lembaga merupaka entitas pelaporan sehingga terhadap laporan keuangannya juga harus dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk diberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangannya.
Laporan Keuangan yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK RI. Pemeriksaan dilakukan selama dua bulan setelah laporan keuangan selesai disusun. Laporan keuangan ini paling lambat diserahkan kepada DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan Keuangan dilampiri dengan Laporan Kinerja dan Laporan keuangan BUMN dan badan lainnya, dan juga disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab.
Ketentuan pemeriksaan oleh BPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Selain itu dalam UUD RI Tahun 1945, pemeriksaan atas pengelolaan pertanggungjawaban keuangan negara dan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh BPK. Dalam hal ini BPK memiliki kewenangan untuk melakukan tiga jenis pemeriksaan yakni:
Pemeriksaan keuangan
Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Siklus APBN tahun tertentu tidak hanya meliputi waktu satu tahun tetapi akan saling beririsan dengan APBN tahun sebelum dan sesudahnya. Contohnya, 2014, ditangani kegiatan atau tahapan dari siklus APBN untuk tiga tahun anggaran yang berbeda: tahapan pemeriksaan dan pertanggungjawaban tahun anggaran sebelumnya (2013), tahapan pelaksanaan APBN tahun berjalan (2014), dan tahapan perencanaan dan penganggaran serta penetapan APBN tahun anggaran berikutnya (2015) termasuk MTBF 2016 – 2018.
Pemeriksaan Keuangan Negara
Beberapa definisi terkait pemeriksaan keuangan negara yang teradapat pada UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BPK adalah pihak yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK
Pejabat yang diperiksa dan/atau yang bertanggung jawab, yang selanjutnya disebut pejabat, adalah satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk mengelola keuangan negara.
Lembaga perwakilan adalah DPR, DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemeriksaan keuangan negara bertujuan untuk :
Pemeriksaan atas keu negara semakin penting karena adanya tuntutan pengelolaan keuangan negara yg transparan & akuntabel
meningkatkan akuntabilitas guna mewujudkan good governance
Ruang lingkup pemeriksaan
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, akni:
Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini entang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di bidang pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan
Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, pemeriksa harus menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, juga dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan.
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Bila diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan interim pemeriksaan diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian. laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan tepat waktu kepada pihak yang berkepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam hal yang diperiksa merupakan rahasia negara maka untuk tujuan keamanan atau dilarang disampaikan kepada pihak-pihak tertentu atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemeriksa dapat membatasi pendistribusian laporan tersebut.
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR, DPD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya) selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya) selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/ DPD/ DPRD, Presiden/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/ DPD/ DPRD Presiden/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (disingkat LKPP) adalah laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas Dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. LKPP Merupakan konsolidasi laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun dengan berdasarkan praktik terbaik internasional (best practice) dalam pengelolaan keuangan Negara. LKPP diterbitkan setiap tahun, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 sejak Indonesia merdeka sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan pemerintah. LKPP disusun oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kementerian Keuangan Indonesia.
Komponen LKPP
Saat ini laporan keuangan pemerintah pusat disusun berdasarkan penerapan akuntansi basis kas menuju akrual. Pada tahun 2015 penerapan basis akrual akan diberlakukan di Indonesia sehingga laporan keuangan yang diberi opini oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah yang berbasis akrual.
Komponen laporan keuangan pemerintah berbasis akrual terdiri dari:
Laporan Pelaksanaan Anggaran, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Finansial, yang terdiri dari Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Arus Kas. Adapun Laporan Operasional (LO) disusun untuk melengkapi pelaporan dan siklus akuntansi berbasis akrual sehingga penyusunan LO, Laporan Perubahan Ekuitas dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Catatan Atas Laporan Keuangan
Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan pemerintah yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam suatu periode tertentu.
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) menyajikan informasi kenaikan atau penurunan SAL tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan hanya disajikan oleh Bendahara Umum Negara dan entitas pelaporan yang menyusun laporan keuangan konsolidasi.
Neraca
Neraca merupakan laporan keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Laporan Operasional
Laporan Operasional (LO) disusun untuk melengkapi pelaporan dari siklus akuntansi berbasis akrual (full accrual accounting cycle) sehingga penyusunan Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat dipertanggungjawabkan. LO menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam pendapatan-LO, beban, dan surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode sebelumnya.
Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas (LAK) adalah bagian dari laporan finansial yang menyajikan informasi penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. Tujuan LAK untuk memberikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode akuntansi serta saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. LAK wajib disusun dan disajikan hanya oleh unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum.
Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. LPE menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Laporan Keuangan dan oleh karenanya setiap entitas pelaporan diharuskan untuk menyajikan Catatan atas Laporan Keuangan. CaLK meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Laporan Perubahan Ekuitas. Termasuk pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah penyajian informasi yang diharuskan dan dianjurkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan serta pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar atas laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya. CaLK bertujuan untuk meningkatkan transparansi laporan keuangan dan penyediaan pemahaman yang lebih baik atas informasi keuangan pemerintah
Pengawasan Intern Oleh APIP
Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Permenpan Nomor 03 tahun 2008 tentang Standar Audit APIP
Permenpan Nomor 04 tahun 2008 tentang Kode Etik APIP
Perwujudan Peran APIP yang Efektif:
Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah
Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; dan
Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Penguatan Efektivitas Penyelenggaraan SPIP:
Menteri/ pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan masing-masing.
Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan:
pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara
pembinaan penyelenggaraan SPIP
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terdiri dari:
BPKP
Melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi:
Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
Kegiatan kebendaharaan umum negara
Berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden
Inspektorat Jendral : melakukan pengawasan seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan APBN
Inspektorat provinsi : melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan APBD Provinsi
Inspektorat Kabupaten/Kota: melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja perangkat daerah kab/kota yang didanai dengan APBD kab/kota
Bentuk Pengawasan oleh APIP:
Audit : adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Reviu : adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan
Evaluasi : adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan dengan standar rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan
Pemantauan: adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
Kegiatan pengawasan lainnya: antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultasi, pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan.
Tujuan Standar Audit APIP
Menetapkan prinsip-prinsip dasar
Menyediakan kerangka kerja
Menetapkan dasar pengukuran kinerja audit
Mempercepat perbaikan kegiatan operasi
Mendorong auditor untuk mencapai tujuan audit
Pedoman dalam pekerjaan audit
Dasar penilaian keberhasilan
Kewajiban APIP
Menyusun Rencana Pengawasan
Mengkomunikasikan dan Meminta Persetujuan Rencana Pengawasan Tahunan
Mengelola Sumber Daya
Menetapkan Kebijakan dan Prosedur
Melakukan Koordinasi
Menyampaikan Laporan Berkala
Melakukan Pengendalian Kualitas dan Program Pengembangan
Menindaklanjuti Pengaduan dari Masyarakat
Isu isu terkait Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN terkait Keuangan Negara
Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN sesuai amanat UUD, UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara pernah diajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Berikut ini merupakan petikan pokok perkara serta putusan Mk tersebut.
Putusan MK nomor 62/PUU-XI/2013 terkait permohonan uji materi UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara pasal 2
Menurut pemohon:
Pemohon (Forum Hukum BUMN) meminta MK mengeluarkan kekayaan negara atau daerah yang dikelola BUMN/BUMD serta kekayaan lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Mereka meminta agar BPK tak bisa lagi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan di BUMN dan BUMD, meminta keterangan atau dokumen terkait pemeriksaan, serta memberikan pendapat kepada DPR atau instansi lain terkait hasil pemeriksaannya. Dalam permohonannya, mereka memohon pengujian konstitisionalitas Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 11 huruf a UU BPK. Pemohon menilai pengertian keuangan negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara menyebabkan disharmonisasi antara UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.
Pihak pemohon memandang bahwa pengkategorian kekayaan BUMN dan BUMD sebagai kekayaan negara telah menimbulkan ketidakpastian dan benturan hukum. Sebab, tidak dibedakannya keuangan BUMN dan BUMD dengan keuangan negara tersebut telah mengakibatkan disparitas dan disharmoni pengertian terkait dengan definisi dan lingkup keuangan negara. Termasuk menjadikan BUMN sebagai salah satu objek pemeriksaan BPK.
Menurut mereka, sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan, BUMN seharusnya tidak dikategorikan dalam cakupan pengaturan keuangan negara yang termasuk menjadi objek pemeriksaan BPK. Karena secara hukum BUMN tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Akibatnya, merugikan kedudukan BUMN selaku badan hukum perdata. Sebab, tidak ada perbedaan yang tegas saat kapan menjadi badan hukum publik dan badan hukum perdata, yang menjadi lingkup kewenangan BPK mengaudit pengelolaan keuangan BUMN. Terlebih, secara regulasi, tata kelola, dan risiko BUMN/BUMD tidak diwujudkan (masuk) dalam UU APBN.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah" dan frasa "kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah."
Berikut kutipan permohonan dari Alasan mengajukan uji materi dalam amar putusan MK:
Pasal 2 Ayai (1) huruf B Undang undang no 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan tujuan BUMN salah satunya adalah menghasilkan laba. Oleh karena itu, BUMN melakukan usaha yang tentu saja menghadapi risiko.
Ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf I UU Keuangan negara, dimana definisi keuangan negara mencakup kekayaan lain yang dipisahkan pada perusahaan negara termasuk BUMN dan juga kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan fasilitas yang diberi oleh pemerintah.
Implikasi negatifnya adalah pemohon mendapat kendala dalam melaksanakan fungsi terkait adanya ketidakjelasan ketentuan yang mengatur BUMN, termasuk dalam UU BPK pasal 6, pasal 9, dan pasal 10.
Bahwa BUMN sebagai badan hukum privat tidak dikategorikan sebagai cakupan keuangan negara, namun hanya tunduk pada UU BUMN dan UU perseroan terbatas.
Dengan demikian, pemohon merasa ada kerugian dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil dan kesamaan dimata hukum. Menurut pemohon, dalam UU APBN tiap tahunnya mengatur dua hal yang terkait dengan BUMN:
Dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk menjadi modal BUMN yang harusnya bukan lagi domain dari kekayaan negara
PNBP berupa bagian pemerintah atas laba BUMN (dividen) yang dinyatakan dalam RUPS yang menjadi bagian dari keuangan negara.
Putusan MK:
Dalam pertimbangan putusan MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Aswanto memandang, BUMN atau BUMD adalah perusahaan milik negara. Walaupun kekayaan negara yang diberikan kepada BUMN untuk dijadikan modal usaha BUMN atau BUMD tersebut kemudian dipisah dari kekayaan negara, pemisahan tersebut semata hanyalah untuk memudahkan pengelolaan usaha.
Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.
Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.
Sementara objek pemeriksaan BPK yang diatur Pasal 6 ayat (1) UU BPK adalah keuangan negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Norma tersebut adalah tindak lanjut Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 yang merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
Terkait kewenangan BPK, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD juga kepanjangan negara yang sesungguhnya milik negara dan, tidak terdapat alasan BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Atas dasar itu, Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 10 ayat (1), (3), Pasal 11 huruf a khususnya sepanjang frasa "Badan Usaha Milik Negara" UU BPK tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, ada pula putusan MK terhadap uji materi terkait piutang bank BUMN. Berikut merupakan isi putusan MK tersebut.
Putusan MK terkait uji materi piutang bank BUMN
Latar belakang:
Berdasarkan ketentuan Undang undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN pengurusan piutang Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang Daerah, piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam pasal 8 dan pasal 12 Nomor 49 Prp. Tahun 1960, piutang instansi pemerintah dan badan-badan tersebut di atasinstansi wajib diserahkan piutangnya kepada PUPN.
Penyerahan pengurusan PUPN/DJKN dilakukan setelah instansi pemerintah dan badan-badan tersebut di atas yang memiliki piutang melakukan upaya penagihan akan tetapi debitor belum melunasi hutangnya, dan instansi pemerintah dan badan badan tersebut di atas yang memiliki piutang dapat menyampaikan dokumen yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang.
Pemohon:
Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa melakukan pemotongan utang (hair cut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.
Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut baik putusan MK ini. Dengan adanya putusan MK ini semua debitur bank BUMN akan mendapatkan perlakuan yang adil. Putusan ini memberi arahan kepada bank BUMN untuk melaksanakan tugasnya secara profesiomal berdasarkan RUPS.
Keputusan MK:
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Mahkamah membatalkan frasa "badan-badan negara" dalam pasal-pasal itu. Artinya, secara tersirat MK menyatakan piutang badan usaha yang dikuasai negara (bank BUMN) tidak perlu menyerahkan piutang (tagihan) kepada PUPN lagi.
Menurut Ketua Majelis MK saat itu, Moh Mahfud MD, Frasa 'atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara' dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, melalui Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menuturkan terdapat dua jenis piutang negara sesuai UU PUPN yaitu:
piutang negara dan
piutang badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara.
Dalam hal ini, termasuk piutang bank-bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara.
Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Di sisi lain, kenyataannya debitur pada Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen bank yang bersangkutan.
Mengacu Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, piutang negara hanyalah tagihan sejumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Jadi, tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN.
Pendapat ahli pemerintah, Mariam Darus, berpendapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2004 telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yang intinya piutang badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Menurut ahli lainnya, Darminto Hartono piutang BUMN yang dalam hal ini BNI adalah piutang perseroan terbatas, sehingga mekanisme penyelesaian dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk hair cut, konversi, maupun rescheduling.
Menurut Mahkamah, penyelesaian piutang Bank BUMN masih terdapat dua aturan yang berlaku yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Hal ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bank swasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Karena itu, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan serta UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat.
Menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b PP No. 36 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tidak sejalan dengan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT. Dengan demikian, piutang negara yang berkaitan dengan piutang badan-badan usaha baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara dalam UU No. 49 Tahun 1960 adalah beralasan menurut hukum.
Di lain pihak, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan mengenai tagihan bank-bank BUMN. MA menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Fatwa Mahkamah Agung (MA) Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006. Fatwa MA tersebut menyatakan bahwa "UU No. 19/2003 merupakan UU khusus (lex spesialis) dan Modal BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat".
Jika bisa ditarik simpulan dari putusan MK menyatakan bahwa BPK tetap berwenang mengaudit BUMN sebagai bagian dari Keuangan Negara. Di sisi lain, piutang BUMN tidak dimasukkan sebagai piutang negara yang diperkuat dengan fatwa MA. Hal ini menunjukkan ada dua sudut pandang yaitu yuridis terkait wewenang BPK yang tetap dapat mengaudit BUMN sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan sisi bisnis terkait putusan piutang BUMN yang tidak termasuk piutang negara.
Kerugian BUMN terkait Keuangan Negara
Saat ini, terdapat dua pendekatan tentang kerugian BUMN Persero dan kerugian negara, yaitu pendekatan hukum (legal judgement) dan pendekatan bisnis (business judgement)yang menghasilkan dua pengertian berbeda.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ("UU BUMN"), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan ("Persero") dan Perusahaan Umum ("Perum"). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT"). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero selama tidak diatur oleh UU BUMN.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti, S.H. yang berjudul "Pokok-Pokok Hukum Perdata" pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.
Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT, yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.
Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35 UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 35 ayat (2) UU BUMN:
"Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya."
Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN:
Pasal 39 UU BUMN:
"Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri:
a. baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi;
b. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c. langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum."
Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakan tanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN dalam menjalankan usahanya.
Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ("UU Keuangan Negara"). Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi:
"g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;"
Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara.
Permasalahan ini timbul setelah adanya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan, BUMN Persero menjadi tidak jelas karena BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-undang BUMN, pengelolaan BUMN Persero dilakukan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara yang menimbulkan kontroversi dan diprotes dari banyak pihak karena dianggap menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai pelaku usaha (investor); investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Mengakibatkan permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN Persero salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara. Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi.
Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara. BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.
kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule.
Menurut http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/ ,
"Business Judgement Rules is a legal principle that makes officers, directors, managers, and other agents of a corporation immune from liability to the corporation for loss incurred in corporate transactions that are within their authority and power to make when sufficient evidence demonstrates that the transactions were made in Good Faith".
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT") belum mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam rancangan UUPT yang baru, konsep Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4), dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat membuktikan bahwa:
Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian akibat resiko bisnis.
Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya. Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Kerugian Keuangan Negara dari Sudut UU Tipikor
Istilah keuangan negara dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi: (ayat 1)
" Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) "
dan pasal 3 yang berbunyi:
" Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) "
.Dalam ayat di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa:
"keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah
c. berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara".
Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum undang-undang no 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah:
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa undang-undang ini bermaksud mengantisipasi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dalam rumusan diatas pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara, masih berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara dan Penjelasan Umum Undang-undang Tipikor yang menyatakan bahwa "Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara", sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik, sehingga kalau uang negara berkurang satu sen pun, maka bisa dianggap merugikan negara. Padahal kerugian dalam suatu perusahaan tidak dihitung berdasarkan kerugian dari satu transaksi semata melainkan sebagaimana dalam pasal 60 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bahwa RUPS tahunan menyetujui laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan, jadi jelas bahwa kerugian tidak dihitung berdasarkan satu transaksi melainkan seluruh transaksi dalam tahun tersebut. Karena bisa saja satu transaksi rugi tapi transaksi lain untung dan kerugian tersebut dapat ditutupi dengan dana cadangan perusahaan. Dengan demikian kerugian suatu BUMN Persero belum tentu merupakan kerugian negara.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri mengaku khawatir praktek manipulasi dan rekayasa yang dilakukan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) pada periode 1998-1999 bakal terulang. Perkiraan ini timbul terutama bila uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya BPK sudah dengan jelas membedakan kerugian akibat risiko bisnis atau kesalahan managemen BUMN. Misalnya kerugian Garuda yang dipengaruhi oleh kurs rupiah. Dalam hal seperti ini maka tidak ada unsur kerugian negara yang dikenakan. Akan tetapi, hal ini belum memiliki payung hukum yang jelas sehingga masih perlu ditindaklanjuti untuk membuat payung hukum demi kepastian hukum.
Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur juga dalam hal pemegang saham yang merasa dirugikan akibat tindakan direksi, komisaris atau keputusan RUPS yang menyebabkan perusahaan rugi setelah direksi atau komisaris diberikan kesempatan sebagaimana ketentuan Business Judgment Rule, maka berdasarkan pasal 97 ayat 6 UU No. 40 tahun 2007, pemegang saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan. Selain itu, dalam hal pemegang saham melihat adanya indikasi pidana dari tindakan direksi atau komisaris yang menyebabkan kerugian tersebut, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tahapan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Perseroan Terbatas. Kemudian penyelesaiannya akan menempuh jalur pidana sebagaimana tertuang dalam ketentuan KUHP.
Publikasi laporan audit BPK terkait keterbukaan informasi kepada publik
UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai hail audit BPK. Informasi dapat diperoleh melalui web maupun meminta kepada Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) BPK.
Dalam dokumen berjudul "Pemuatan Dan Batas Waktu Pemuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dalam Website", dijelaskan bahwa:
"dalam rangka pelaksanaan transparansi dan untuk mendorong terlaksananya pemerintahan yang baik, BPK RI telah memuat dan mempublikasikan hasil pemeriksaan dalam website BPK RI setelah hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada lembaga perwakilan. Sejalan dengan pasal 19 UU no. 15 tahun 2004, pasal 7 UU no. 15 tahun 2006 dan pasal 9 UU no. 14 tahun 2008."
Jadi, dasar hukum pemuatan dan publikasi LHP di situs BPK adalah pasal 19 UU no. 15 tahun 2004, pasal 7 UU BPK dan pasal 9 UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai muatan hasil pemeriksaan yang dapat atau tidak dapat disampaikan kepada publik, dalam dokumen yang sama dijelaskan:
"dengan demikian, BPK dapat membuat suatu aturan mengenai jangka waktu publikasi dalam website dengan mencontoh pada anao (the australian national audit office), termasuk kebijakan atau aturan menetapkan adanya hasil pemeriksaan yang masuk dalam kategori rahasia negara, serta yang tidak bisa disampaikan kepada publik, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Mengenai publikasi laporan audit BPK diatur lebih lanjut dalam Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa Keuangan. Di Pasal 11 peraturan ini mengatur mengenai informasi publik yang dikecualikan untuk dipublikasi meliputi:
informasi terkait dengan proses pemeriksaan atau proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b;
Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b yang memuat:
rahasia negara;
hasil pemeriksaan investjgatif dan pemeriksaan Fraud Forensic; dan
informasi publik yang menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dikecualikan untuk dipublikasikan;
informasi publik yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3 meliputi:
informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum;
informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan atas hak kekayaan intelektual atau persaingan usaha tidak sehat;
informasi publik yang terkait dengan strategi, intelijen, dan sistem pertahanan dan keamanan negara;
informasi publik yang mengungkapkan kekayaan alam negara Indonesia;
informasi publik yang apabila dibuka dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional,antara lain pengawasan terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya;
informasi publik yang apabila dibuka dapat mengganggu hubungan luar negeri; dan
informasi yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang; dan/atau informasi yang menurut undang-undang tidak boleh diungkapkan;
pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman, standar, panduan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, prosedur operasional standar, dan seri panduan yang berlaku di lingkungan BPK;
memorandum atau surat-surat antara BPK dengan Badan Publik lainnya atau disposisi dan nota dinas internal BPK yang menurut sifatnya dirahasiakan;
data pribadi pejabat dan pegawai di lingkungan BPK; dan
informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
Kewenangan Audit BPK Sehubungan Dengan Kerahasiaan Pajak
Latar belakang BPK mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan karena dalam pasal tersebut ada pasal tentang prosedur yang membatasi BPK untuk memperoleh data dan informasi perpajakan. Pasal yang dimaksud adalah pasal 34 ayat 2a (huruf b) yang berbunyi dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/2000 tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan oleh Pajabat dan Tenaga Ahli yang Ditunjuk mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan Kepadanya oleh Wajib Pajak dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk Menjalankan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan, yang ketentuannnya memuat syarat-syarat bagaimana pihak lain tersebut dapat meminta data Wajib Pajak, antara lain: (1) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); (2) menyampaikan Surat Tugas yang harus menyebutkan nama Wajib Pajak dan keterangan yang ingin diketahui tentang Wajib Pajak yang bersangkutan; dan (3) Keterangan yang dapat diberitahukan adalah keterangan yang bersifat umum mengenai perpajakan yang menyangkut Wajib Pajak dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
BPK mempunyai mandat sesuai pasal 23 E ayat 1 UUD 1945 untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diterjemahkan dalam UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan UU No.15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut undang-undang tersebut BPK diberikan kewenangan untuk mengakses data dan informasi terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan dalam pasal 34 UU No. 28/2007 ada pembatasan yaitu hanya pejabat dan tenaga ahli yang ditetapkan Menkeu yang boleh memberikan keterangan tersebut. BPK meminta "frasa" ditetapkan oleh Menkeu tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga BPK dapat meminta data/informasi kepada aparat dan pejabat pajak dimana pun terkait pemeriksaan BPK.
Selain pembatasan prosedur, BPK menilai ada yang lebih menghambat lagi bagi BPK yaitu seperti yang tertera dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a. Pasal tersebut mengatur secara limitatif tentang jenis-jenis data/dokumen yang boleh diberikan kepada BPK. Data dan informasi yang ada dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a tidak cukup memadai bagi BPK untuk melakukan audit. Penjelasan tersebut berisi pembatasan informasi yang bisa diberikan kepada BPK itu bertentangan dengan Pasal 9 UU No15 Tahun 2006 tentang BPK. Isi pasal 9 UU BPK itu adalah kewenangan BPK secara keseluruhan. Pasal 9 huruf a menegaskan kewenangan BPK untuk:
"...menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan". Huruf b nya adalah "...meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara".
Karena itu, pembatasan informasi yang boleh diberikan kepada BPK jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 9 UU BPK ini. Padahal, Pasal 9 itu merupakan atribusi dari Pasal 23E UUD' 45 yang merupakan legal standing pemohon.
Informasi yang Diperlukan untuk Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan Penerimaan Pajak
Penjelasan Pasal 34 ayat 2A UU KUP
Versi Pemerintah
Versi BPK
Identitas Wajib Pajak
Nama
NPWP
Alamat
Alamat kegiatan usaha
Merek usaha: dan/atau
Kegiatan usaha
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan, yaitu dokumen berupa penerimaan pajak berdasarkan hasil rekonsiliasi antara Ditjen Perbendaharaan dengan bank persepsi yang didukung dengan:
Surat Setoran Pajak (SSP)
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSBPHTB)
Surat Tanda Terima Setoran (STTS)
Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP)
Bukti Pemindahbukuan
Dokumen minimal yang harus diperoleh:
Laporan Penerimaan Pajak oleh DJP
Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti transaksi penerimaan pajak.
Akses data penerimaan pajak pada sistem informasi komputer
Hasil Putusan Judicial Review adalah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak gugatan "judicial review" BPK karena dianggap tidak memiliki kedudukan hukum atau "legal standing" sehubungan tidak ada kewenangan konstitusional BPK yang dirugikan.
Kewenangan Audit BPK Sehubungan Biaya Perkara
Untuk memahami terminologi biaya perkara dapat kita rujuk pada (pasal 121 ayat (4) HIR / pasal 145 (4) RBg, yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan biaya perkara adalah biaya yang terlebih dahulu harus dibayar oleh penggugat ketika memasukan gugatan perkara perdata, sesuai dengan asas "tidak ada biaya, tidak ada perkara"; Biaya perkara pada saat putusan akhir dibebankan kepada pihak yang kalah
Pasca perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) RI puncaknya BPK melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke Kepolisian tgl 13 September 2007 karena pencegahan terhadap pemeriksaan biaya perkara thn 2005-2006. Menurut MA biaya perkara bukan merupakan keuangan Negara melainkan uang titipan pihak ke-3 (pihak yang berperkara) sehingga cukup dipertanggungjawabkan secara intern (kepada para pihak) sehingga tidak termasuk dalam obyek audit oleh BPK, ditambah lagi belum ada aturan yang mengatur teknis terkait pemeriksaan dan pengelolaan dana pihak-3 (Biaya Perkara) dimaksud pada saat itu, sehingga bukan merupakan obyek pemeriksaan BPK. Sedangkan BPK berpendapat bahwa Biaya Perkara merupakan lingkup keuangan Negara sehingga merupakan obyek pemerikasaan (UU No. 15 Thn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Psl 3 menyebutkan bahwa
"Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara…''
unsur keuangan Negara yang dimaksud merujuk pada pengertian keuangan Negara dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 yang menyatakan,
"ruang lingkup keuangan negara termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum."
Pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama negara, sehingga harus dianggap sebagai lingkup keuangan Negara. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 24 ayat 2 UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada intinya menyatakan bahwa
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan atau menggagalkan pemeriksaan diancam dengan pidana dan atau denda…"
atas dasar inilah kemudian BPK beranggapan MA tidak kooperatif dan bahkan mencegah dilakukannya pemeriksaan atas biaya perkara dimaksud.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden tanggal 23 Juli 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya sebagai pelaksanaan dari UU No. 20 tahun 2007 tentang PNBP, sekaligus menjadi dasar (payung hukum) pemungutan PNBP yang berasal dari biaya perkara. PP ini terdiri dari 4 pasal dilengkapi dengan lampiran berupa rincian jenis dan tarif PNBP atas biaya perkara.
Macam Biaya Perkara
Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah :
1. Biaya Kepaniteraan(Griffier Kosten)/Hak-hak kepaniteraan yang merupakan pungutan sebagai pelayanan/jasa pengadilan yang disetor ke kas Negara, jenis dan tarifnya telah diatur dalam PP No. 53 Thn 2008, yang secara umum dikelompokan dalam 5 jenis (pasal 1) yaitu :
Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung
Hak Kepaniteraan Peradilan Umum
Hak Kepaniteraan Peradilan Agama
Hak Kepaniteraan Tata Usaha Negara
Hak Kepaniteraan lainnya.
Ongkos/Biaya Proses, biaya yang merupakan biaya pelaksanaan peradilan yang digunakan untuk penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan diluar biaya yang disebut pada point 1 (hak-hak kepaniteraan yang merupakan PNBP)
Simpulan
Keuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara merupakan dua hal yang saling terkait. Pemeriksaan merupakan langkah dalam siklus anggaran dimana anggaran merupakan bagian dari keuangan negara. Kewenangan audit berada di tangan BPK termasuk kepada BUMN sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan dan diperkuat dengan putusan MK. Namun, di lain pihak MK juga memutus pada uji materi tentang piutang BUMN yang dipisahkan dari piutang negara. Hal ini berarti masih ada dua sudut pandang dalam menilai posisi BUMN terhadap keuangan negara yaitu sisi yuridis dan ekonomi/ bisnis. Hal yang sama juga berlaku saat membahas mengenai kerugian BUMN. Sudut pandang yuridis dan bisnis menghasilkan pendapat yang berbeda beda pula.
Diperlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga. Perlu juga dilakukan pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik dan badan hukum perdata.
LHP BPK dapat dipublikasikan sesuai dengan UU tentang Keterbukaan Informsi Publik tetapi dengan batasan-batasan tertentu.
Ada area yang masih diperdebatkan sehubungan kewenangan audit BPK yang diantaranya adalah pajak dan biaya perkara di pengadilan.
Daftar Pustaka
Amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara
Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Peraturan BPK RI Nomor 3 tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa Keuangan.
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran. 2014. Pokok-Pokok Siklus APBN Di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal Sebagai Langkah Awal. Jakarta
Tim Penyusun Modul Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPKAP). 2012. Modul Keuangan Negara. 2012.
Soepomo. Pemahaman Keuangan Negara. http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31 Diakses 22 Oktober 2014
SIKAD BPK. Suatu Tinjauan Yuridis : Kerugian Negara Vs Kerugian Persero. http://sikad.BPK.go.id/nw_detail.php?n_id=54 Diakses 21 Oktober 2014
Hukum Online. Apakah Kerugian BUMN Merupakan Kerugian Negara?. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50650f6510f7d/apakah-kerugian-bumn-merupakan-kerugian-negara? Diakses 21 Oktober 2014
---. Publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Atas Audit Bank BUMN/BUMD Versus Rahasia Bank. http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c33e1f043510/node/lt4a0a533e31979/publikasi-laporan-hasil-pemeriksaan-(lhp)-bpk-atas-audit-bank-bumn_bumd-versus-rahasia-bank- Diakses 21 Oktober 2014
Business Judgment Rule. http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Business+Judgment+Rule Diakses 21 Oktober 2014
Gatot S Piartono Supiartono. Pemeriksaan Atas Keuangan Negara. http://kpu.go.id/dmdocuments/BPK1.pdf diakses pada tanggal 21 Oktober 2014
Sulaiman, Alfin, S.H., M.H. . 2011. Definisi Keuangan Negara Menurut Konstitusi dan Undang-undang. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e666e195d202/definisi-keuangan-negara-menurut-konstitusi-dan-undang-undang , diakses 21 Oktober 2014
Pengawasan Intern Oleh APIP. http://stdln.blogspot.com/2011/07/pengawasan-intern-oleh-apip_1229.html. diakses 24 Oktober 2014
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. http://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_Keuangan_Pemerintah_Pusat diakses 24 Oktober 2014
Apa yang disebut sebagai Biaya Perkara. http://anisauditor.blogspot.com/2011/12/apa-yang-disebut-sebagai-biaya.html diakses 25 Oktober 2014
Memupus Polemik Keuangan Negara. http://bumntrack.co.id/?ForceFlash=true#/blog/Laporan-Khusus-Memupus-Polemik-Kerugian-Negara.html diakses 25 Oktober 2014
Martha Thertina dan Rr Ariyani. BPK Khawatir Manipulasi BUMN Terulang. http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/087510492/BPK-Khawatir-Manipulasi-BUMN-Terulang diakses 25 Oktober 2014
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/