Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albab) dalam Islam Penyusun: Irfan Abu Naveed
KATA PENGANTAR : احلمدهلل القائل ِ كِتَاب َأن َْز ْلنَاه إِ َل ْي َك م َب َارك ل ِ َيدَّ َّبروا آ َياتِ ِه َول ِ َيت ََذك ََّر أولو ْاْلَ ْل َب ﴾٢٩ :اب ﴿ص والصالة والسالم عىل املبعوث رمحة للعاملني وعىل آله وأصحابه أمجعني ومن دعا إىل اهلل بدعوته ومن متسك .بسنته ومن تبعه بإحسان إىل يوم الدين
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi kita beragam kenikmatan kepada kita semua, khususnya nikmat iman, islam, potensi akal, jiwa dan tubuh yang sehat. Shalawat serta salam atas Nabi Muhammad , keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang mengikuti beliau dengan ihsân hingga akhir zaman. Makalah tafsir pendidikan ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Tafsir Pendidikan. Dalam penyusunannya, tentu tak lepas dari bantuan banyak pihak terutama kepada orangtua, tim dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan yaitu Yth. Prof. Dr. Didin Hafidhudin dan Yth. Dr. Ibdalsyah, MA, dan rekan-rekan Pascasarjana di kelas IA Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu persatu. Dukungan berupa nasihat, saran dan kritik yang konstruktif sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah ini, dimana itu semua bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penyusun in syâ Allah dalam meningkatkan kemampuan mengkaji dan menuangkannya dalam bentuk karya tulis ilmiah untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin, dukungan ini sebagaimana dituturkan ungkapan:
واهلل يف عون العبد ما كان العبد يف عون أخيه Sukabumi, 15 Rabî’ ats-Tsâni 1436 H 04 Februari 2015 Penyusun Irfan Abu Naveed Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 1
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR.................................................................................................................. 2 DAFTAR ISI................................................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 4 I.1. Latar Belakang............................................................................................................ 4 I.2. Rumusan dan Pembatasan Masalah............................................................................ 7 I.3. Tujuan Penelitian........................................................................................................ 7 I.4. Metode Penelitian ...................................................................................................... 7 BAB II PEMBAHASAN II.1. Pengertian Pendidikan............................................................................................... 8 II.2. Pengertian Ulul Albâb dalam al-Qur’an .................................................................. 9 II.3. Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam ............................................ 13 II.4. Aplikasi Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Kehidupan ..................... 54 BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 58
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 2
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang utama dalam kehidupan, ia adalah asas membina masyarakat dan sumber kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam pergulatan.1 Dan pendidikan yang benar menjadi kunci tingginya suatu peradaban umat manusia. Luar biasanya al-Qur’an al-Karim pun berbicara mengenai pendidikan, termasuk karakteristik manusia terdidik yang setidaknya diwakili istilah ulul albâb yang tidak kurang disebutkan sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an, dan di antaranya ditafsirkan oleh Rasulullah dalam haditshaditsnya yang mulia. Dan hal itu kian menjadi penting karena kedudukan al-Qur’an dan asSunnah yang menjadi pedoman hidup manusia. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad , keagungannya tak disangsikan lagi terbukti dari masa Rasulullah hingga saat ini, dimana al-Qur’an telah menarik perhatian banyak umat manusia karena ungkapan dan kandungan pesan-pesannya yang agung dari Allah Rabb Alam Semesta. Dr. Samih ’Athif Az-Zayn menuturkan:
، وهو كالم اهلل تعاىل.-صىل اهلل عليه وسلم- وح ًيا تلقاه الرسول حممد،القرآن هو الكتاب املنزل بلفظ عريب معجز صىل اهلل عليه- ليكون حجة ملحمد، بألفاظه العربية ومعانيه احلقة-عليه السالم- نزل به الروح اْلمني جربيل املدون بني دفتَي َّ وهو. وقربة يتعبدون بتالوته، وليكون مرج ًعا للناس هيتدون هبداه،عىل أنه رسول اهلل-وسلم ً املنقول إلينا نق، املختوم بسورة الناس، املبدوء بسورة الفاحتة،املصحف .متواترا ال ً “Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa arab yang unggul2, wahyu yang diterima oleh Rasulullah , dan ia adalah firman Allah , turun melalui perantaraan Ar-Rûh Al-Amîn Jibril dengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna yang murni, sebagai bukti bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan rujukan bagi 1 2
Anwar Al-Jundi, At-Tarbiyyah al-Islâmiyyah Hiya al-Ithâr al-Haqîqiy lit-Ta’allum, Kairo: Dâr al-Anshâr. Yakni mampu mengalahkan bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum penentang (kuffar)
atasnya.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 3
manusia mengambil petunjuk dengan petunjuknya, dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya, tersusun di antara lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fatihah, ditutup dengan Surat An-Nâs, dan dinukil kepada kita secara mutawatir.”3 Maka Konsep ulul albâb (manusia terdidik) ini menjadi sangat penting untuk dikaji setidaknya karena dua hal yang satu sama lain saling terkait: Pertama, Tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang tidak bermakna, setidaknya hal itulah yang tersurat dalam ungkapan para pakar sastra arab, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar) di tempat penyusun bekerja4, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshoury ketika kami berdiskusi mengenai ilmu balaghah dan tafsir al-Qur’an menuturkan:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْسار َ ْ لكل َح ْرف م ْن حر ْوف الق ْرآن ف ْيه َأ “Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an mengandung pelbagai rahasia (kandungan makna).” Maka tak heran jika ahli sastra arab Quraisy yang tetap mati dalam kekafiran, Al-Walid bin al-Mughirah pun tak mampu menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an sehingga ia tak kelu untuk berkata:
واهلل ما منكم رجل أعرف باْلشعار مني وال أعلم برجزه وقصيده مني واهلل ما يشبه الذي يقوله شي ًئا من واهلل إن لقوله الذي يقوله حلالوة وإن عليه لطالوة،هذا “Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan apa yang dituturkannya sangat indah.”5
3
Dr. Samih ‘Athif az-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. I, 1410 H,
hlm. 308.
4
Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah – Jâmi’atur-Râyah. Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. VI, 1424 H, jilid I, hlm. 170. 5
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 4
Padahal al-Walid bin Al-Mughirah adalah orang yang tidak beriman dan keras pada kekafirannya. I’jaz al-Qur’an itu terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri. Orang yang telah mendengarkan Al-Qur’an, dan mendengarnya hingga hari kiamat akan terus merasa kagum dengan kekuatan daya tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an.6 Dan penyusun tegaskan bahwa di antara ungkapan yang menarik untuk diperhatikan adalah frase ulul albâb yang disebutkan 16 kali dalam al-Qur’an, jumlah yang tidak sedikit dan menunjukkan bahwa frase ini penting untuk dipahami. Dimana satu kata dalam al-Qur’an pun menjadi hal yang urgen untuk kita pahami. Kedua, Kedudukan al-Qur’an al-Karim merupakan petunjuk hidup manusia yang shâlih likulli makânin wa zamânin (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan tanpanya manusia akan hidup tersesat. Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. AnNahl [16]: 89) Makna frase ( )تبيانًا لكل شيءadalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari7, Imam ats-Tsa’labi8, Imam Abu Bakr al-Jazairi9 dan selain mereka dalam kitabkitab tafsir al-Qur’an. Maka sudah pasti kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang shâlih likulli makânin wa zamânin (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan tanpanya manusia akan hidup tersesat. Dan salah satu kandungan al-Qur’an mengenai pendidikan adalah karakteristik manusia terdidik (ulul albâb), yang sudah semestinya dipelajari, ditela’ah, ditafakuri, ditadaburi dan diaplikasikan dalam kehidupan, waLlâhul Musta’ân.
6
Ibid. Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, jilid XVII, hlm. 278. 8 Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid VI, hlm. 37 9 Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabiir, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139. 7
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 5
I.2. Rumusan & Pembatasan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini: 1. Apa pengertian ulul albâb (manusia terdidik) khususnya yang disebutkan dalam ayatayat al-Qur’an? 2. Bagaimana karakteristik atau konsep ulul albâb (manusia terdidik) dalam Islam? Sesuai dengan tema Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi dalam perspektif al-Qur’an, dengan tambahan uraian penjelasan dari as-Sunnah dan penjelasan para ulama.
I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian makalah ini adalah: 1. Menjelaskan pengertian ulul albâb (manusia terdidik) yang disebutkan dalam al-Qur’an. 2. Menjelaskan karakteristik ulul albâb (manusia terdidik) dalam Islam.
I.4. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif (deskriptif kualitatif) dengan pendekatan studi kepustakaan (library research). Yakni mengungkap teori-teori atau konsep-konsep utama dan turunannya dalam penelitian ini dengan kajian komperhensif mengolah dan menganalisa data-data primer dan data-data sekunder, mencakup kitab-kitab tafsir, syarh hadits, tarbiyah, tsaqafah, akidah, sirah, dan lain sebagainya, baik literatur klasik maupun kontemporer, yang berkaitan dengan konsep ulul albâb dalam Islam. Ditunjang diskusi tafsir dengan Dr. Hesham Mohammed Taha el-Shanshouri, MA, dosen Tafsir dan Nahwu STIBA Ar-Raayah Sukabumi, yang berasal dari Mesir dengan latar belakang pendidikan kuat di bidang Nahwu, Balaghah (Ph.D Balâghah wa an-Naqd) di Universitas al-Azhar Mesir.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 6
BAB II PEMBAHASAN II.1. Pengertian Pendidikan (Tarbiyyah) 10 Memahami konsep atau karakteristik manusia terdidik (ulul albâb) maka erat kaitannya dengan pemahaman terhadap pendidikan yang penting untuk penyusun uraikan sebelum inti pembahasan, menukil penjelasan para pakar. Istilah pendidikan dalam bahasa arab sepadan dengan istilah tarbiyyah ( )تربيةyang berasal dari akar kata يرب- رب, dimana istilah ini secara bahasa mengandung sejumlah makna: Pertama, Perbaikan ()اإلصالح, Ibn Manzhur mengatakan:
رب اليشء إذا أصلحه “Rabba asy-Syai-a jika ia memperbaikinya.”11 Kedua, Peningkatan dan penambahan ()النماء والزيادة, makna ini diungkapkan dalam ayat: “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj [22]: 5) Ketiga, Tumbuh dan berkembang ()نشأ وترعرع. Ibn al-Arabi berkata:
بمكة منزيل وهبا ربيت
فمن يكن سائال عني فإين
“Dan siapa yang menjadi penanya mengenai diriku # Maka di Makkah lah tempat tinggalku dan di sanalah aku tumbuh.” Dalam sya’irnya di atas, Ibn al-Arabi mengungkapkan bahwa dirinya tumbuh dan berkembang di suatu tempat yakni Makkah al-Mukarramah. Keempat, Memelihara dan mengurusi urusannya ()ساسه وتولى أمره. Dr. Khalid bin Hamid alHazimi menyebutkan ungkapan:
10
Dr. Khalid bin Hamid al-Hazimi, Ushûl at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, KSA: Dâr ’ Âlam al-Kutub, Cet. I, 1420 H/2000, hlm. 17-18. 11 Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, jilid I, hlm. 104; dinukil dari Dr. Khalid bin Hamid al-Hazimi, Ushûl atTarbiyyah al-Islâmiyyah, hlm. 17.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 7
ربيت القوم أي سستهم “Rabbaytu al-Qawm yakni aku mengatur urusan mereka.”12 Kelima, Pengajaran ()التعليم. Ibn Manzhur mengatakan bahwa kata ar-rabbâni ( )الربانيberasal dari kata ar-rabb ()الرب, yang artinya tarbiyah. Dan frase ulama ar-rabbani maknanya adalah orang yang cakap dalam ilmu atau seseorang yang menuntut ilmu karena Allah. Berdasarkan perincian definisi pendidikan (tarbiyyah) di atas, setidaknya kita bisa memahami bahwa manusia terdidik sejatinya adalah manusia yang telah meraih pelajaran, peningkatan kualitas diri dan tumbuh berkembang menjadi sosok yang beradab (ulul albâb).
II.2. Pengertian Ulul Albâb dalam Al-Qur’an Frase ulul albâb terdiri dari dua kata yakni ( )أولوyang berarti memiliki; mempunyai13 dan ( )األلبابyang berarti akal, dan digunakan dalam bahasa arab untuk menggambarkan bagian termurni, terpenting dan terbaik dari segala sesuatu, atau dalam bahasa lainnya yakni bagian inti dari segala sesuatu.14 Simpulan ini sebagaimana diungkapkan dalam kamus-kamus arab; ulama pakar bahasa yakni Imam Al-Fayruz Abadi (w. 817 H)15 dalam al-Qâmûs al-Muhîth menjelaskan bahwa kata al-albâb adalah jamak dari al-lubb yang artinya termurni dari segala sesuatu yakni qalbunya dan akal.16 Hal senada dijelaskan oleh Imam Muhammad bin Abi Bakr ar-Râzi dalam Mukhtâr ash-Shihâh.17 Penjelasan Imam Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân al-’Arab,18 tak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam kitab al-Mu’jam al-Wasîth bahwa al-lubb bagian termurni,
12
Ibid, hlm. 18. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, jilid XII, hlm. 215. 14 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’: ‘Arabiy-Inkilîjiy, Beirut: Dâr anNafâ’is, Cet. II, 1408 H. 15 Ia adalah Al-’Allamah Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz Abadi. 16 Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz Âbâdi, Al-Qâmûs al-Muhîth, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1429 H, hlm. 1453, No. 8347 suku kata ()لبب. 17 Muhammad bin Abi Bakr ar-Râzi, Mukhtâr ash-Shihâh, Beirut: Maktabah Lubnan, 1986, hlm. 246. 18 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, jilid I, hlm. 3979. 13
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 8
terpilih, inti dan hakikat dari segala sesuatu.19 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1434 H) pun mendefinisikan:
العقل.) لباب: خالصة كل يشء ( ر، بالضم والتشديد ج ألباب وألب والبب:اللب “Al-Lubb: dengan di-dhammah-kan dan di tasydîd, jamaknya albâb, alubb dan albab, yakni inti segala sesuatu, yakni akal.”20 Qal’ah Ji pun menukil dalil ayat: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang benarbenar terdapat tanda-tanda bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190) Namun ternyata bukan sembarang akal, melainkan akal yang bersih atau terbebas dari kecacatan; hawa nafsu dan kecendrungan pada kejahatan. Salah seorang ulama pakar bahasa abad ke-4 H, Imam Al-Hasan bin 'Abdullah Abu Hilâl al-’Askariy21 pun menjelaskan dalam kitab al-Furûq al-Lughawiyyah: “Perbedaan antara al-lubb dan al-‘aql: pendapat kami bahwa al-lubb berfaidah menyucikan sifat-sifat pihak yang disifatinya, adapun al-’aql berfaidah menyimpulkan beragam informasi-informasi yang diperoleh pihak yang disifatinya, maka keduanya berbeda dari sisi ini.”22 Imam ar-Raghib al-Ashfahani pun menegaskan bahwa setiap lubb itu pasti akal namun tak setiap akal adalah lubb. Imam Ar-Raghib al-Ashfahani menuturkan: “(Lubb) al-lubb : akal yang menjadi penyuci dari berbagai kecacatan.... Dikatakan pula: yakni apa-apa yang suci bagian dari akal, maka setiap lubb pasti akal, namun tak setiap akal pasti lubb. Oleh karena
19
Tim Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Cet. IV, 1425 H, hlm. 811. 20 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr an-Nafâ’is. 21 Ia adalah Al-Imâm al-Adîb al-Lughawiy Al-Hasan bin 'Abdullah bin Sahal bin Sa'îd bin Yahyâ bin Mahrân al-'Askariy. 22 Al-Hasan bin 'Abdullah Abu Hilâl al-‘Asykari, Al-Furûq al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr al-‘Ilm wa atsTsaqâfah, 1418 H, No. 1853.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 9
itulah, Allah menyematkan hukum-hukum yang tidak akan dipahami kecuali oleh akal-akal yang suci yang disebut ulul albâb.”23 Karakteristik allubb ini diisyaratkan dalam ayat: “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayatayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencaricari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orangorang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (mereka berdoa): "Ya Rabb Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia).” (QS. Âli Imrân [3]: 7-8) Yakni mengenai karakteristik golongan ulul albâb dan do’a mereka kepada Allah agar dijauhkan dari kecendrungan terhadap kesesatan setelah Allah berikan mereka petunjuk kepada kebenaran. Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 197, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksaNya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apa-apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta
23
Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, kitâb ()الالم, juz. II, hlm. 575.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 10
mendekatkan diri kepada-Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa.24 Berdasarkan pemahaman ini, maka orang-orang yang terjangkit penyakit akut ’sepilis’ (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) jelas tidak termasuk ke dalam golongan ulul albâb meski nama mereka diawali gelar profesor sekalipun, karena pemikiran yang mereka emban selama ini jelas melenceng dari akidah dan syari’at Islam, dekonstruktif, sesat dan menyesatkan, wal ’iyâdzu biLlâh. Namun, realitas dari akal itu sendiri adalah daya berpikir untuk menghasilkan hukum realitas tertentu dengan cara memindahkannya ke dalam otak melalui pengindraan indra terhadapnya dengan disertai informasi awal.25 Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30-33 mengenai Adam a.s. yang mengajari para Malaikat mengenai benda-benda, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil menjelaskan realitas akal yakni berpikir yang bisa terwujud dengan 4 syarat: Pertama, Realitas yang terindra dimana seseorang bisa mengindranya atau mengindra pengaruhnya. Kedua, Alat pengindraan yang sehat yang biasa dipakai seseorang untuk mengindra realitas atau pengaruhnya. Ketiga, Otak yang sehat dimana realitas yang terindra dipindahkan kepadanya. Keempat, Informasi sebelumnya untuk menafsirkan realitas.26 Maka seorang muslim yang menggunakan akalnya sebagaimana mestinya (ulul albâb), ia akan mentadaburi ayat-ayat-Nya sehingga mencapai keimanan pada-Nya dengan kokoh, bukan keimanan taklid. Istimewanya, al-Qur’ân al-Karîm menyebutkan karakteristik golongan ulul albâb ini tidak kurang dari 16 kali, yakni dalam ayat-ayat berikut: 1. QS. Al-Baqarah [2]: 269 2. QS. Al-Baqarah [2]: 197 3. QS. Al-Baqarah [2]: 179 24
‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. II, 2006, hlm. 249. 25 Muhammad Waghfur Wahid MA, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2002, hlm. 109. hal itu sebagaimana dijelaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim anNabhani, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah dan Dr. Samih ‘Athif az-Zayn dalam kitab-kitab karya mereka. 26 ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 66-67.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 11
4. QS. Âli Imrân [3]: 7 5. QS. Âli Imrân [3]: 190 6. QS. Al-Mâ’idah [5]: 100 7. QS. Ar-Ra’du [13]: 19-22 8. QS. Ibrâhîm [14]: 52 9. QS. Shâd [38]: 29 10. QS. Shâd [38]: 43 11. QS. Az-Zumar [39]: 9 12. QS. Az-Zumar [39]: 18 13. QS. Az-Zumar [39]: 21 14. QS. Ghâfir [40]: 54 15. QS. Ath-Thalaq [65]: 10 16. QS. Yûsuf [12]: 111 Maka memahaminya menjadi hal yang urgen, dan tak ada satu huruf pun dari al-Qur’an yang tidak mengandung pelajaran, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshoury berkata:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْسار َ ْ لكل َح ْرف م ْن حر ْوف الق ْرآن ف ْيه َأ “Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an mengandung pelbagai rahasia (kandungan makna).”
II.3. Konsep Manusia Terdidik dalam Al-Qur’an Apa karakteristik atau konsep manusia terdidik dalam Islam sebagaimana ditunjukkan khususnya oleh dalil-dalil al-Qur’an yang terkait satu sama lain.
II.3.1. Berakidah Kokoh: Mentadaburi Ayat-Ayat Kawniyyah Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang benarbenar terdapat tanda-tanda bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 12
Menafsirkan ayat yang mulia ini, Ibn Hibban meriwayatkan hadits Rasulullah :
َو ْيل َله َو ْيل َله،َو ْيل َملِ ْن َق َر َأه َّن َو ََل ْ َيتَدَ َّب ْره َّن “Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak mentadaburinya, celakah ia, celakah ia.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahîh-nya) Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 164, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menukil dalil hadits riwayat Ibn Abi ad-Dunya’ dan Ibn Mardawaih dari ‘Aisyah r.a., bahwa Nabi ketika membaca ayat tersebut, bersabda:
َو ْيل َملِ ْن َق َر َأ َها َو ََل ْ َي َت َفك َّْر فِ ْي َها “Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak berpikir tentangnya.” (HR. Ibn Abi adDunya’ dan Ibn Mardawaih dalam ad-Dur al-Mantsûr (II/111))27 Dalil-dalil di atas adalah dalil dari sekian banyak dalil yang menekankan pentingnya mentadaburi ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) sebagai dalil petunjuk dan argumentasi untuk semakin memperkuat keimanan kepada keberadaan Sang Pencipta, yakni Allah . Mentadaburi ayat-ayat-Nya dan senantiasa mengingat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Âli Imrân [3]: 191) Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari menjelaskan bahwa potongan kalimat ( )الذين يذكرون هللا قيا ًما وقعودًاdalam QS. Âli Imrân [3]: 191 merupakan sifat dari ulul albâb yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.28 Rasulullah pun telah mencontohkan 27
‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 190-192. Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, jilid VII, hlm. 474. 28
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 13
bagaimana beliau mentadaburi ayat-ayat Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam alBukhari dan Muslim, dari Ibnu ’Abbas , ia berkata:
َ اع ًة ث َّم َر َقدَ َف َل َّّم ك َ َّبِت ِعنْدَ َخا َلتِي َم ْيمو َن َة َفت ََحد ََان ثلث ال َّل ْي ِل ْاْل ِخر َق َعد َ ث َرسول اهللَِّ َص َّىل اهللَّ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َم َع َأ ْهلِ ِه َس ِ اختِ َال ِ { إِ َّن ِف َخ ْل ِق السمو:َفنَ َظر إِ َىل السّم ِء َف َق َال ِ ويل ْاْلَ ْل َب ِ ات َو ْاْلَ ْر ِ ف ال َّل ْي ِل َوالن ََّه ِار َْل َيات ِْل ْ ض َو اب } ث َّم َقا َم َ َ َّ َ َّ َ ِ ْ است ََّن َف َص َّىل إِ ْحدَ ى َع ْْش َة َر ْك َع ًة ث َّم َأ َّذ َن بِ َالل َف َص َّىل َر ْك َعت َني ث َّم َخ َر َج َف َص َّىل الص ْب َح ْ َفت ََو َّض َأ َو َ “Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, aku mendengar Rasulullah berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran; 190). Lalu beliau berwudhu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas raka'at. Setelah mendengar Bilal adzan, beliau shalat dua raka'at kemudian beliau keluar untuk shalat subuh.” (HR. al-Bukhâri) Dalam ayat-Nya yang lain, Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman: “Dan Kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi ulil albâb.” (QS. Shâd [38]: 43) ْ ) َو ِذ ْك َرى ألولِيyakni sebagai pelajaran bagi orang-orang yang Makna dari frase (ب ِ األلبَا berakal sehingga mampu mengambil pelajaran dan mengambil faidah darinya29, istimewanya kata ( )الذكرىini lebih mendalam maknanya daripada kata ()الذكر. Imam ar-Raghib al-Ashfahani ketika menjelaskan kata ( )الذكرىmenuturkan: “Dan adz-dzikrâ yakni banyak berzikir, dan kata ini lebih dalam daripada kata adz-dzikru, Allah berfirman: (sebagai rahmat dari Kami dan peringatan-peringatan bagi orang-orang yang berakal).”30
29
Ibid, juz XII, hlm. 211. Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fii Ghariib al-Qur’ân, jilid I, Suku Kata ()ذكر. 30
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 14
Di sisi lain, banyak dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan dzikruLlâh, al-Hafizh Ibn al-Jawzi (w. 597 H) menuliskan subbab berjudul “( ”الحث على ذكر هللاanjuran untuk mengingat Allah) yang memaparkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai anjuran dan keutamaan dzikruLlâh31, di antaranya firman Allah ’Azza wa Jalla: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 55) Dalam QS. Âli Imrân [3]: 191 di awal, diisyaratkan di antara karakter ulil albâb adalah mereka yang mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, serta menggunakan akalnya untuk mentadaburi ayat-ayat-Nya. Dan dalam QS. Shâd [38]: 43, terdapat karakter bahwa golongan ulul albâb ini tak sekedar berzikir, melainkan banyak berzikir, sebagaimana dijelaskan oleh ar-Raghib al-Ashfahani. Kondisi berdiri, duduk dan berbaring pun merupakan gambaran dimana aktivitas harian seorang manusia tidak terlepas dari tiga kondisi tersebut; ketika bekerja maupun beristirahat, dan istimewanya bahwa aktivitas dzikruLlâh, tak terbatas zikir secara lisan, namun lebih dari itu yakni aktivitas menjalani kehidupan sesuai ajaran Islam, yakni berakidah dengan akidah Islam dan beramal dengan syari’at Islam sejatinya merupakan aktivitas riil dari mengingat Allah (dzikruLlâh). Itulah apa yang dijelaskan oleh al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim ketika menggambarkan pentingnya aspek kesadaran manusia, hubungan dirinya sebagai makhluk dengan Allah Al-Khâliq, yakni kesadaran ketika menegakkan berbagai aktivitas, sebagai hamba Allah yang senantiasa terikat dengan perintah dan larangan Allah ’Azza wa Jalla demi mengharap keridhaan-Nya.32 Dan jika kita telusuri lebih jauh, banyak ayat-ayat lainnya yang mendorong untuk mentadaburi ayat-ayat Allah. Di antaranya dalam empat ayat berikut yang mendorong untuk berpikir:
31
‘Abd ar-Rahman bin ‘Ali Abu Al-Faraj (Ibn al-Jawzi), Bahr ad-Dumû’, Dâr ash-Shahâbah lit-Turâts, Cet. I, 1412 H, hlm. 24. 32 Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. VII, 1372 H, hlm. 34-35.. Ia pun mengatakan:
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 15
Pertama, QS. Al-Baqarah [2]: 266: “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buahbuahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 266) Kedua, QS. Ar-Rûm [30]: 8: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya.” (QS. Ar-Rûm [30]: 8) Ketiga, QS. Al-A’râf [7]: 184: “Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.” (QS. Al-A’râf [7]: 184)
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 16
Keempat, QS. Al-Hasyr [59]: 21: “Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaanperumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr [59]: 21) Ayat yang pertama mendorong manusia untuk memikirkan penciptaan makhluk-Nya. Ayat yang kedua mendorong untuk berpikir atas keajaiban penciptaan yang ada pada diri. Ayat yang ketiga dan keempat mendorong untuk berpikir atas peristiwa masa lalu. Dan itu semua merupakan ayat-ayat petunjuk atas keberadaan Allah.33 Lalu mengapa manusia tidak memanfaatkan potensi akalnya dengan sebaik-baiknya dengan batasannya sesuai petunjuk Islam? Pada sisi inilah para ulama memuji keutamaan akal pikiran yang dioptimalkan potensinya dengan benar sesuai petunjuk Islam. Disebutkan bahwa Imam ‘Ali bin Abi Thalib
bertutur dalam sya’ir34:
فليس من اخلريات يشء يقاربه# وأفضل قسم اهلل للمرء عقله فقد كم َلت أخالقه ومآربه# إذا أكمل الرمحن للمرء عق َله عىل العقل جيري علمه وجتاربه# يعيش الفتى ف الناس بالعقل إنه حمظورا عليه مكاسبه وإن كان# يزين الفتى ف الناس صحة عقله ً وإن كرمت أعراقه ومناصبه# يشني الفتى ف الناس قلة عقله ِ فذو اجلد ف أمر املعيشة غالبه# ونجدة ومن كان غال ًبا بعقل
19.
33
Dr. Sa’îd Ismâ’îl ‘Ali, Al-Qur’ân Ru’yatun Tarbawiyyatun, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, Cet. I, 1421 H, hlm.
34
Imam Al-Mawardi menisbatkan sya’ir ini pada penyair bernama Ibrahim bin Hasan.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 17
“Anugerah Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akal pikirannya, tiada sesuatu pun dari berbagai keutamaan yang bisa menandinginya.” “Jika Allah Yang Maha Pengasih menyempurnakan akal pikiran seseorang, maka sungguh akan sempurnalah akhlak dan orientasi hidupnya.” “Seorang pemuda hidup dikenal di tengah manusia dengan kekuatan akal pikirannya, di atas akal pikiran itulah mengalir ilmu dan pengalamannya.” “Seorang pemuda terhiasi hidupnya dengan kelurusan akal pikirannya, meski dirinya terhalang dari berbagai kasabnya.” “Seorang pemuda tercemar hidupnya karena kerusakan akal pikirannya, meski dimuliakan ras dan nasabnya.” “Dan barangsiapa yang meraih kemenangan dengan akal dan kecerdikannya, maka seseorang yang mulia dalam urusan kehidupan dunia akan dikalahkannya.”35 Mentafakuri Makhluk Bukan Khâliq Islam telah menempatkan akal sesuai fungsi dan kadarnya. Dan di antara batasan kadar akal adalah mentafakuri makhluk Allah bukan Dzat-Nya. Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 742 H) menuturkan: “Maka mentafakuri Dzat-Nya Yang Maha Suci tidak diperbolehkan, karena akal akan gagal mencapai hal tersebut, karena Dzat Allah lebih agung dari apa yang terbersit dalam akal manusia dengan memikirkan Dzat-Nya, atau akan mengakibatkan timbulnya kerancuan dalam qalbu dengan penggambaran Dzat-Nya padahal: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syûrâ’ [42]: 11) Imam Ibn Qudamah melanjutkan: “Lain halnya dengan mentafakuri makhluk-makhluk Allah, al-Qur’an telah mendorong manusia untuk melakukannya, misalnya firman Allah: 35
‘Abd ar-Rahman al-Mushthawi, Dîwân al-Imâm ‘Ali bin Abi Thâlib, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. III, 1426 H, Qâfiyyah ()الباء, hlm. 27-28. Lihat pula Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn, Beirut: Dâr Iqrâ’, Cet. IV, 1405 H, hlm. 7-8.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 18
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang benarbenar terdapat tanda-tanda bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190) “Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yûnus [10]: 101)36 Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164) Ketika menafsirkan ayat yang agung ini, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa sesungguhnya bertafakur atas makhluk-makhluk Allah berkonsekuensi secara qath’i kepada keyakinan bahwa bagi makhluk-makhluk tersebut ada Sang Pencipta yang Maha Agung, Maha Esa, tidak ada berhak diibadahi selain-Nya, dan tidak ada sesembahan selainNya.37
36
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj alQâshidîn, Beirut: Dâr al-Khayr , Cet. III, 1418 H, hlm. 384. 37 ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 190.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 19
II.3.2. Berakidah Kokoh: Mentadaburi Ayat-Ayat Qur’aniyyah Al-Qur’an merupakan pedoman utama hidup manusia, tanpa petunjuknya manusia berada dalam kegelapan, terlebih dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah seperti di zaman ini. Sesungguhnya ia bagaikan apa yang dituturkan dalam sya’ir:
نورا ثاق ًبا ً ْهيدى إىل عينَيك# كالبدر من حيث ال َت َف َّت رأيتَه َي ْغ َشى البال َد َم َش ِار ًقا ومغار ًبا# كالشمس ف كَبِ ِد السّمء وضوؤها “Bagaikan rembulan memalingkan perhatianmu memerhatikannya # memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.” “Bagaikan matahari di langit dan sinarnya # yang menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat.”38 Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman mengenai kedudukan al-Qur’an sebagai penjelasan, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. AnNahl [16]: 89) Makna frase ( )تبيانًا لكل شيءadalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafih ath-Thabari, Imam ats-Tsa’labi dan Imam Abu Bakr al-Jazairi dalam kitab-kitab tafsir mereka. Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) misalnya menafsirkan: “(Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu) manusia membutuhkannya baik berupa perintah maupun larangan, halal dan haram serta batasan-batasan dan hukum-hukum Allah.”39 Imam Abu Bakar al-Jazairi pun menjelaskan bahwa kedudukan al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu yakni atas umat yang membutuhkan pengetahuan terhadap halal 38
Abu al-Qâsim bin Muhammad ar-Râghib Al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 3. Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘An Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid VI, hlm. 37. 39
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 20
haram, hukum-hukum serta petunjuk-petunjuk. Dan makna frase sebagai hud[an] yakni kedudukan al-Qur’an sebagai petunjuk dari segala kesesatan, dan sebagai rahmat khususnya atas mereka yang mengamalkan dan menerapkannya dalam diri sendiri dan kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka, serta sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri terhadap perintah dan larangan-Nya menjadi kabar gembira bagi mereka dengan ganjaran yang besar, pahala yang banyak pada hari kiamat, dan dengan pertolongan, kemenangan, kemuliaan di dunia ini.40 Al-Hafizh ath-Thabari (w. 310 H) pun ketika menakwilkan ayat di atas menjelaskan hal yang serupa, ia menuturkan: “(Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu) Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan atas apa-apa yang dibutuhkan oleh umat manusia; mengetahui halal dan haram, pahala dan siksa (sebagai petunjuk) dari kesesatan (dan rahmat) bagi orang yang membenarkan dan mengamalkan hukum-hukum Allah di dalamnya, perintah dan larangan-Nya, maka ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya (dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri) sebagai kabar gembira bagi orang yang ta’at pada Allah dan tunduk pada-Nya dengan bertauhid, dan patuh pada-Nya dengan keta’atan, maka Allah memberinya kabar gembira dengan ganjaran berlimpah di akhirat kelak dan besarnya kemuliaan-Nya.”41 Ini adalah salah satu dalil dari sekian banyak dalil-dalil lainnya yang menegaskan kedudukan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia. Ditegaskan Allah dalam ayat-Nya yang lain: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) Menafsirkan ayat di atas, Syaikhul Ushul ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan: “Kemudian Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an Al-‘Azhim adalah: 40
Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsiir li Kalâm al-‘Ulya alKabiir, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139. 41 Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jilid XVII, hlm. 278.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 21
) هيدهيم إىل احلق وإىل رصاط مستقيم ( “(Petunjuk bagi manusia): menunjuki mereka kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
) دالئل قاطعة معجزة عىل أنه من اهلدى الذي أنزله اهلل ( “(Dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu): petunjuk-petunjuk yang jelas dan mukjizat bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk yang diturunkan Allah.”
.والْش وبني اْلعّمل الصاحلة واْلعّمل السيئة ) أي الذي يفرق بني احلق والباطل وبني اخلري( ّ “(Dan pembeda): yakni yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, dan antara kebaikan dan keburukan, serta pemisah antara perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”42 Maka sudah semestinya seorang insan terdidik membaca, menela’ah, memahami, mentadaburi serta mentafakuri ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauniyyah maupun ayat-ayat Qur’aniyyah, yang menjadi proses untuk mencapai keimanan kepada keberadaan Al-Khâliq, Allah ’Azza wa Jalla. Dan hal itu merupakan dasar bagi seseorang berakidah kokoh; dimana keimanannya dibangun dari proses berpikir berdasarkan dalil ’aqliyyah maupun naqliyyah, karena pengertian al-Îmân itu sendiri yang memenuhi aspek mâni’ dan jâmi’ adalah:
هو التصديق اجلازم املطابق للواقع عن دليل “Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta berdasarkan dalil.”43 Maka seseorang yang mentadaburi ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kawniyyah maupun Qur’aniyyah, seakan menapaki jalan untuk meraih keimanan yang kokoh. Allah ‘Azza wa Jalla pun mengisyaratkan karakter manusia terdidik yang mentadaburi ayat-ayat al-Qur’an dalam firman-Nya: “(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Rabb yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrâhîm [14]: 52) 42
‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, At-Taysîr fî Ushûl At-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), hlm. 216. Dijelaskan oleh para ulama, di antaranya Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani, Syaikh Fathi Salim dan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah dalam kutub mereka. 43
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 22
Dan akidah yang kokoh dibangun dari argumentasi yang kokoh baik dalil-dalil naqliyyah maupun dalil-dalil ’aqliyyah, diwujudkan dalam bentuk pembenaran yang pasti yang bersesuaian dengan fakta didasarkan pada dalil. Hal itu tidak mungkin bisa diraih oleh orang yang tidak mau mentadaburi ayat-ayat Allah. Maka bisa disimpulkan bahwa keimanan ulul albâb bukanlah keimanan yang dibangun dari jalan taklid. Larangan Bertaklid dalam Perkara Akidah Mayoritas ulama melarang bertaklid dalam perkara akidah dan menjelaskan bahaya di dalamnya. Imam Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) ketika menafsirkan QS. Ash-Shâffât [37]: 70-71 mengisahkan mengenai nasib kafir Quraisyi yang terjerumus ke dalam siksa neraka, akibat taklid terhadap nenek moyang yang berada dalam kesesatan (kekafiran).44 Para ulama pun menjelaskan keharaman bertaklid dalam akidah. Imam Taqiyuddin Abu al-Baqa’ Muhammad (w. 972 H) yang masyhur dikenal dengan nama Ibn Najjar al-Hanbali mengungkapkan bahwa Imam al-Halwani dan selainnya –yakni sahabat-sahabatnyamenyatakan larangan bertaklid dalam perkara pokok agama, ini pula yang menjadi pendapat alBashri dan al-Qarafi.45 Al-‘Allamah Muhammad bin Thahir ‘Asyur (w. 1393 H) ketika menafsirkan QS. Al-Jin [72]: 5 menuturkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat petunjuk bahaya bertaklid dalam perkara akidah, dan bahwa perkara akidah tidak boleh diadopsi dengan zhann (dugaan) semata.46 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili menjelaskan:
ّ متعني عىل كل إنسان ف أمر الدّ ين ّ والرجوع إىل متابعة الدّ ليل واجب ّ إن ترك التّقليد ف العقيدة “Sesungguhnya meninggalkan taklid dalam perkara akidah dan kembali kepada dalil hukumnya wajib yang ditetapkan atas setiap individu manusia dalam perkara agama.”47
44
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1420 H, jilid IX, hlm. 107. 45 Taqiyuddin Abu al-Baqa’ Muhammad bin Ahmad, Syarh al-Kawkab al-Munîr, Maktabatul Abikan, Cet. II, 1418 H, Bab. At-Taqlîd, jilid IV, hlm. 535. 46 Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, Tunisia: Ad-Dâr at-Tûnisiyyah, 1984, juz 29, hlm. 224. 47 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa alManhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, Cet. II, 1418 H.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 23
Dalam referensi lainnya, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili pun menegaskan bahwa bertaklid dalam perkara akidah dan ibadah merupakan kesesatan,48 yakni mengandung bahaya. Lebih jauh lagi, Allah ‘Azza wa Jalla pun mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak beriman, dimana mereka jelas tidak termasuk golongan ulul albâb maka tidak berfaidah sama sekali bagi mereka tanda-tanda kekuasaan Allah ’Azza wa Jalla: “Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yûnus [10]: 101) Dan hal itu sebagai akibat dari ketakaburan dan buruknya sikap mereka, Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan: “Ketika Allah Ta’âlâ menjelaskan rusaknya keyakinan kaum musyrikin, disebabkan oleh keras kepala mereka dan perbuatan mereka menyekutukan Sang Pencipta dengan makhluk yang tidak menciptakan apapun, disebutkan di sini wasiat-wasiat (Luqman) al-Hakim, dan hal itu merupakan wasiat yang sangat berharga dalam menyampaikan hikmah dan seruan kepada jalan petunjuk, dan sungguh wasiat-wasiat ini telah ada dimulai dengan peringatan terhadap kesyirikan yang merupakan seburuk-buruknya dosa, dan sebesar-besarnya kejahatan di sisi Allah.49 Bukankah tak sedikit para Orientalis yang mempelajari Islam namun tidak mengimani kebenarannya?! Sehingga mereka tetap mati dalam kekafiran. Atau gambaran dari seorang ahli sastra Arab, Al-Walid bin al-Mughirah, yang keras dalam kekafiran meski sebenarnya ia tak mampu menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an: “Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan apa yang dituturkannya sangat indah.”50
48 49
Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Wasîth, Damaskus: Dâr a-Fikr, Cet. I, 1422 H. Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut-Tafâsîr, Kairo: Dar ash-Shabuni, Cet. I, 1417 H, jilid II,
hlm. 451.
50
Taqiyuddin bin Ibrahim An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, jilid I, hlm. 170.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 24
II.3.3. Hidup Berorientasi Ibadah Seseorang yang mentafakuri dan mentadaburi ayat-ayat Allah adalah hidup berorientasi ibadah, bagaimana tidak? Padahal ia menemukan keagungan Sang Pencipta dan petunjuk-Nya dalam ayat-ayat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla pun berfirman mengisyaratkan hal tersebut: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 9) Ayat yang agung ini menyiratkan sifat mereka yang berakal untuk menjalani hidup sebagai seorang hamba Allah, yang ta’at beribadah kepada-Nya. Karakteristik ini tergambar dalam diri Rasulullah , sebaik-baiknya teladan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam alBukhari dan Muslim, dari Ibnu ’Abbas , ia berkata:
َ اع ًة ث َّم َر َقدَ َف َل َّّم ك َ َّبِت ِعنْدَ َخا َلتِي َم ْيمو َن َة َفت ََحد ََان ثلث ال َّل ْي ِل ْاْل ِخر َق َعد َ ث َرسول اهللَِّ َص َّىل اهللَّ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َم َع َأ ْهلِ ِه َس ِ اختِ َال ِ { إِ َّن ِف َخ ْل ِق السمو:َفنَ َظر إِ َىل السّم ِء َف َق َال ِ ويل ْاْلَ ْل َب ِ ات َو ْاْلَ ْر ِ ف ال َّل ْي ِل َوالن ََّه ِار َْل َيات ِْل ْ ض َو اب } ث َّم َقا َم َ َ َّ َ َّ َ ِ ْ است ََّن َف َص َّىل إِ ْحدَ ى َع ْْش َة َر ْك َع ًة ث َّم َأ َّذ َن بِ َالل َف َص َّىل َر ْك َعت َني ث َّم َخ َر َج َف َص َّىل الص ْب َح ْ َفت ََو َّض َأ َو َ “Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, aku mendengar Rasulullah berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran; 190). Lalu beliau berwudlu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas raka'at. Setelah mendengar Bilal adzan, beliau shalat dua raka'at kemudian beliau keluar untuk shalat subuh.” (HR. al-Bukhâri)
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 25
Imam Muslim pun meriwayatkan hadits yang serupa, dari ‘Abdullah bin Abbas bahwa ia pernah bermalam di sisi Rasulullah . Kemudian beliau bangun dan langsung bersiwak kemudian berwudlu. Lalu beliau membaca: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Beliau membaca ayat itu hingga selesai satu surat (Âli Imrân). Kemudian beliau shalat dua raka'at dengan memanjangkannya berdirinya, ruku', dan sujudnya. Sesudah itu beliau tidur hingga terdengar hembusan nafasnya. Beliau melakukan hal itu hingga tiga kali yakni enam raka'at, dan setiap kalinya beliau mesti bersiwak dan berwudlu dan membaca ayat tadi, kemudian beliau shalat witir dengan tiga raka'at. Hingga sang muadzin mengumandangkan adzan. Maka beliau pun keluar untuk menunaikan shalat Shubuh seraya berdo'a:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ اج َع ْل ِف َب ورا َو ِم ْن ْ ورا َو ْ ورا َو ْ ورا َو ْ ال َّله َّم ً اج َع ْل م ْن َخ ْلفي ن ً َصي ن ً اج َع ْل ِف َس ْمعي ن ً ورا َو ِف ل َساين ن ً اج َع ْل ِف َق ْلبِي ن ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ورا ْ ورا َو ً ورا ال َّله َّم َأ ْعطني ن ً ورا َوم ْن َ ْحتتي ن ً اج َع ْل م ْن َف ْوقي ن ً َأ َمامي ن “Ya Allah berilah cahaya dalam hatiku, cahaya di lisanku, berilah cahaya dalam pendengaranku, berilah cahaya dalam penglihatanku, berilah aku cahaya dari belakangku, dari arah depanku, dan berikanlah cahaya dari atasku, dan arah bawahku. Ya Allah berilah aku cahaya.” (HR. Muslim) Sikap Rasulullah tersebut menggambarkan karakteristik ulul albâb yang mentadaburi ayat-ayat Allah, senantiasa mengingat Allah dan diwujudkan dalam hidup berorientasi ibadah kepada-Nya dimana hal itu sejalan dengan tujuan penciptaan manusia: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 56) Menjelaskan ayat ini, al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) menukil pendapat ‘Ali :
اجلن واإلنس إال ْلمرهم بالعبادة ّ أي وما خلقت
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 26
“Yakni tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan memerintahkan mereka untuk beribadah (kepada-Ku).”51
Al-Hafizh al-Qurthubi lalu menuturkan bahwa az-Zujaj berpegang pada pendapat ini, dan dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman-Nya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”(QS. At-Tawbah [9]: 31) Dan manusia sudah diajari Allah tekad yang lurus dalam firman-Nya: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’âm [6]: 162) Seorang muslim ketika menjadikan akidah islam sebagai kaidah dan tuntunan kepemimpinan berpikirnya akan hidup dengan cahaya petunjuk yang meneranginya ketika ia mengarungi kehidupan ini, yakni dengan menerapkan aturan-aturan syari’at Islam yang tegak di atas asas akidah ini. Apa yang diungkapkan Syaikh Yusuf as-Sabatin ini menggambarkan kiasan yang indah tentang pentingnya akidah sebagai pondasi hidup:
والقاعدة التي يبنون،ملا كانت العقيدة اإلسالمية هي أساس حياة املسلمني ومصدر عزهم وقوام جمدهم وإليها يلجأون ف الشدائد وهبا يعتصمون،عليها أفكارهم وعنها تنبثق آراءهم ومنها يأخذون أحكام دينهم إذا نزلت النوائب
51
Al-Hafizh Abu ’Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, Cet. II, 1964, jilid XVII, hlm. 55.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 27
“Akidah islamiyyah merupakan asas kehidupan kaum muslimin, sumber kemuliaan mereka dan pondasi dari kehormatannya, dan akidah ini adalah kaidah yang dibangun di atasnya pemikiran mereka dan digali darinya pemikiran-pemikiran mereka dan dari akidah inilah mereka mengambil hukum-hukum dinnya, dan ’kepadanyalah’ kaum muslimin berlindung dari berbagai kesulitan dan dengannya lah kaum muslimin berpegangteguh ketika turun berbagai bencana.”52 Bahkan al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim pun dalam kitab Nizhâm al-Islâm menjelaskan bahwa pentingnya kedudukan akidah islam. Dimana akidah islam merupakan akidah yang berfungsi sebagai kaidah dan panduan berpikir seorang muslim, dan akidah inilah yang menjadi asas bagi syari’at islam yang wajib ditegakkan dalam kehidupan secara menyeluruh.
Peringatan Atas Penyakit Wahn (Cinta Dunia dan Takut Mati) Di antara hambatan besar seseorang untuk berorientasi hidup untuk ibadah adalah penyakit yang disebut Rasulullah sebagai wahn yakni cinta dunia dan takut mati.
ِ اهية ا َملو ِ ت ْ َّ حب الد ْن َيا َوك ََر “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Muslim) Berbeda dengan mereka yang berorientasi ibadah dalam hidupnya, generasi yang terjangkit penyakit cinta dunia dan takut mati sesungguhnya tenggelam dalam euphoria menipu “hidup hanya sekali enjoy saja!” Padahal dunia bagaikan perhelatan sementara untuk berbekal menuju kehidupan yang abadi kelak di akhirat, dan kehidupan hakiki yang abadi adalah kehidupan akhirat kelak. “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. AnNisâ’ [4]: 134)
52
Yusuf Ahmad Mahmud As-Sabatin. 1405 H. Al-‘Aqîdah Al-Islâmiyyah wa Atsaruhâ fî Hayâtil Muslimîn. Cet. I, 1405 H, hlm. 5.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 28
Rasulullah bersabda:
ِ الَ َعي َش إِالَّ َعيش اْلخ َر ِة ْ ْ “Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)53 Dan mereka yang terjangkit virus mematikan wahn, jika tak bertaubat dan kembali kepada jalan Islam, barangkali seperti apa yang dijelaskan oleh Dr. ‘Abdullâh al-Khâthir, yakni seperti pemuda yang sia-sia tak jelas orientasi hidupnya ()الشاب الضائع: “Pemuda sia-sia (lemah, tak jelas arah tujuan hidupnya-pen.) yang mengalami kehampaan pemikiran dan krisis keyakinan, dan barangkali bait-bait Iliya Abi Madhi berikut ini yang bisa menggambarkan kondisi pemuda seperti ini:
ولكني َأت ْيت# جئت ال أعلم من أين قدَّ امي َف َم َش ْيت# ولقد أبَصت طري ًقا ِشئْت هذا أم َأ َب ْيت# ائرا ً وسأبقى َس َ كيف ِجئت# كيف َأبَصت طريقي لست أدري لست أدري# وملاذا لست أدري “Aku telah datang namun entah dari mana # Tapi aku telah tiba” “Sungguh telah kulihat sebuah jalan # dihadapanku maka aku berjalan” “Dan aku tetap seseorang yang berjalan # aku kehendaki hal ini atau aku enggan” “Dan bagaimana kulihat jalanku # bagaimana tibanya diriku” “Aku tak tahu” “Dan mengapa aku tak tahu # aku tak tahu” 53
Riwayat al-Bukhari No. 2961 dan Muslim (al-Jihâd/ 1805)
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 29
Jelas sekali bahwa bait-bait di atas menggambarkan kondisi jahiliyyah, bagaimana mungkin manusia terdidik menjalani kehidupan tanpa berorientasi positif dan tenggelam dalam kemaksiatan? Dan jika ada yang mengaku cinta kepada Allah namun ia ringan bermaksiat kepada-Nya maka al-Hafizh Ibn al-Jawzi (w. 597 H) bertutur dalam sebuah sya’ir yang menggugurkan pengakuannya:
هذا حمال ف القياس بديع# تعىص اإل ٰله وأنت تزعم حبه إن املحب ملن حيب مطيع# لو كان حبك صاد ًقا ْلطعته “Engkau bermaksiat kepada Allah tapi mengaku mencintai-Nya # Ini sangat mustahil dalam suatu pengukuran.” “Jika cintamu benar maka sungguh engkau akan mena’ati-Nya # Karena sesungguhnya seorang kekasih itu ta’at kepada yang dicintainya.”54 Dan kenikmatan yang ada di balik kemaksiatan merupakan kenikmatan semu karena tidak ada kenikmatan pada perkara yang akhirnya adalah siksa, setidaknya itulah yang dituturkan Imam Sufyan ats-Tsauri dalam pernyataannya:
ّ ال خري ف لذة من بعدها النّار “Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang kesudahannya adalah siksa neraka.”55 Kenikmatan seperti apa? Maksudnya kenikmatan dalam kemaksiatan, hal ini dipahami dari ungkapan “kesudahannya adalah siksa neraka” ()من بعدها النّار. Dunia yang dipenuhi hingar bingar kemaksiatan adalah gemerlap yang menipu pandangan mata mereka yang cinta dunia, dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Dan jika bencana dunia lebih membuat kita susah ketimbang bencana yang menimpa agama, sudah semestinya kita semua berlindung kepada Allah dari keburukan yang dituturkan al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi (w. 463 H) dalam sya’irnya:
54 55
‘Abd ar-Rahman bin ‘Ali Abu al-Faraj (Ibn al-Jawzi), Bahr ad-Dumuu’, hlm. 28. Azhari Ahmad Mahmud, Dâ’ an-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Riyâdh: Dâr Ibn Khuzaimah,
1420 H.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 30
ف صورة الرجل السميع املبَص# أأخي إن من الرجال هبيمة وإذا يصاب بدينه لـم يشعــر# فطن لكل مصيبة ف مالــه “Wahai saudaraku, diantara manusia ada bagaikan binatang # Dalam rupa seseorang yang mampu mendengar nan berwawasan” “Terasa berat atas setiap musibah yang menimpa harta bendanya # Namun jika musibah menimpa agamanya tiada terasa.”56
II.3.4. Mendengarkan Nasihat yang Baik dan Mengikuti yang Terbaik Karakter selanjutnya dari golongan ulul albâb adalah mereka yang mendengarkan nasihat yang baik dan mengikuti hal yang terbaik, karakter ini adalah karakter orang yang mau memperbaiki diri dan terus meningkatkan kualitas diri, dan hal itu tidak mungkin diwujudkan tanpa kesediaan mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik di antara nasihat kebaikan tersebut. Hal itu tersurat dalam firman Allah: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]: 18) Bukankah Allah ’Azza wa Jalla pun telah menegaskan dalam ayat-Nya yang agung, yakni QS. Al-’Ashr [103]: 3, bahwa salah satu karakteristik mereka yang tidak merugi adalah seseorang yang mau menasihati orang lain (dakwah) dalam kebenaran dan kesabaran? Di sisi lain mau mendengarkan nasihat dari orang lain. Dan mendengarkan perkataan adalah sarana untuk mendapatkan nasihat dari orang lain.
56
Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi, Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I,
hlm. 169.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 31
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mena’ati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3) Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “( ”والعصرdemi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid ّ “”إن (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “( ”لفيsungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan. Dalam tinjauan ilmu balaghah, keberadaan semua penegasan (ta’kîd) seperti ini berfaidah menegasikan atau menafikan segala bentuk pengingkaran terlebih keraguan.57 Dalam ayat yang agung tersebut, diungkapkan kata ( ;)تواصواyang artinya saling menasihati ()نصح بعضهم بعضً ا, menggunakan wazan ( )تَفَا َع َلyang menunjukkan interaksi dua sisi, perbuatan satu sama lain, artinya seorang insan yang tidak merugi memiliki karakteristik mau menasihati dan mau mendengarkan nasihat, ini adalah ungkapan yang agung. Berbeda dengan orang yang takabur, dimana ia memiliki karakter menolak kebenaran dan melecehkan manusia, lalu apakah mungkin orang yang takabur mau mendengarkan nasihat?! Apakah layak ia menyandang gelar ulul albâb? Dan karena sifat takabur pula Iblis –la’natuLlâhi ’alayhterjerembap dalam kehinaan kekal, wal ’iyâdzu biLlâh. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menjelaskan: “Sesungguhnya surat ini menjelaskan perkara akidah dan tuntutannya yakni iman (pembenaran yang pasti) dan amal shalih. Setelah itu Allah berfirman: ( )تواصواAllah tidak mengatakan ()ووصوا, apa makna kata ( ?)تواصواYakni agar setiap orang beriman mengetahui bahwa dirinya adalah bagian dari orang lain, begitu pula saudara seimannya 57
Tim Pakar, Al-Balâghah wa an-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 38-39.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 32
yang lain, terkadang di antara keduanya yang lemah terhadap suatu kemaksiatan sehingga ia melakukannya, akan tetapi yang lainnya tidak lemah terhadap kemaksiatan tersebut, maka dari itu orang yang tidak lemah tersebut sudah semestinya menasihati orang yang lemah (agar menjauhi kemaksiatan tersebut-pen.)”58 Perbuatan terpuji saling menasihati ini pun merupakan pengamalan terhadap hadits Nabi
, dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dâriy bahwa Nabi bersabda: الد ْين الن َِّص ْي َحة “Agama itu adalah nasihat” Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi bersabda:
َو َعا َمتِ ِه ْم،ني َ ْ َو ِْلَئِ َّم ِة امل ْسلِ ِم، َول ِ َرس ْول ِ ِه، َولِكِتَابِ ِه،ِِّهلل “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)59 Apa maknanya? Imam Ibn Daqîq al-‘Iid (w. 702 H) menjelaskan:
النصيحة: "الدين النصيحة" أي عّمد الدين وقوامه:ومعنى قوله “Makna sabda Rasulullah : “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah an-nashîhah.”60 Imam Ibn Daqîq al-‘Ied menjelaskan:
واهلل أعلم. نصحت العسل إذا صفيته وقيل غري ذلك: اإلخالص يقال:والنصيحة ف اللغة “Lafazh an-nashîhah secara bahasa: al-ikhlâsh (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallâhu a’lam.”61
58
Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsîr asy-Sya’rawi, Kairo: Majma’ al-Buhûts alIslâmiyyah Jâmi’atul Azhar asy-Syarîf, jilid III, hlm. 1.665. 59 Menurut Dr. Muhammad Yusri, hadits dari Abi Ruqayyah Tamim r.a. ini hadits paling shahih dalam bab ini dengan lafazh tersebut, lihat: Dr. Abu ‘Abdullah Muhammad Yusri, Al-Jâmi’ Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Kairo: Dâr al-Yusr, Cet. III, 1430 H. 60 Ibn Daqiiq al-‘Iid, Syarh Al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Makkah: al-Maktabah al-Fayshaliyyah, hlm. 32. 61 Ibid, hlm. 34.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 33
Adapun penafsiran terdahap lafazh “an-nashîhah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Ibn Daqîq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya: “Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. WaLlâhu A’lam.”62 Rasulullah pun menjelaskan bahwa sikap meninggalkan apa-apa yang menurut Islam tak berfaidah merupakan tanda kebaikan Islam pada diri seseorang. Dari Abu Hurairah , dari Nabi Muhammad , beliau bersabda:
َ ِم ْن ح ْس ِن إِ ْس ال ِم ا َمل ْر ِء ت َْركه َما الَ َي ْعن ِ ْي ِه “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ibn Hibban. Hadits hasan)63 Apa makna hadits ini? Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menuturkan: “Hadits ini merupakan dasar agung dalam pokok adab, Imam Abu ‘Amru bin ashShalah menuturkan dari Abu Muhammad bin Abu Zayd, Imamnya madzhab malikiyyah pada masanya, bahwa ia mengatakan: “Kumpulan adab-adab kebaikan dan
62
Ibid. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, jilid I, hlm. 287. Dalam catatan kaki kitab Jâmi’ al-Ushul wa al-Hikam (tahqiq: Syu’aib al-Arna’uth) disebutkan bahwa hadits ini hasan li ghayrihi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam al-Jâmi’ al-Kabiir (2317), Ibnu Majah (3976), Ibnu Hibban (229), athThabrani dalam al-Awsath (361), Ibnu ‘Ady dalam al-Kâmil (5/454-455), al-Qadha’I dalam Musnad asy-Syihab (192), al-Baghawi (4132). 63
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 34
kehancurannya (kebalikannya) terbagi dalam empat hadits: Pertama, sabda Nabi : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diamlah.” Kedua, sabdanya: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. Ketiga, dan sabdanya yang meringkas wasiat: “Jangan marah”. Keempat, sabdanya: “Orang beriman itu mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya”.”64 Al-Hafizh Ibnu Rajab pun merinci bahwa di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah sikapnya meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menyedikitkan diri pada hal-hal yang tidak bermanfaat baik berupa berbagai perkataan dan perbuatan, dan makna kata ()يعنيه: bahwa hal yang penting itu berkaitan dengan dirinya maka jadilah hal itu termasuk tujuan dan tuntutan dirinya. Kata ()العناية: kuatnya perhatian pada sesuatu, dikatakan: عناه – يعنيهyakni jika seseorang memerhatikan dan mencarinya. Namun yang dimaksud (dalam hadits ini) bukan berarti bahwa ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya dan tidak dikehendakinya berdasarkan standar hawa nafsu dan tuntutan jiwa, akan tetapi berdasarkan standar hukum syara’ dan Islam. Oleh karena itulah ia termasuk “di antara kebaikan keislaman”, maka jika “baik keislaman seseorang” ia akan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam baik berupa perkataanperkataan atau perbuatan-perbuatan. Karena Islam menuntutnya melaksanakan berbagai kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam syarh hadits Jibril a.s.65 Begitu pula meninggalkan berbagai keharaman, sesungguhnya perbuatan tersebut bagian dari ajaran Islam yang sempurna nan terpuji, sebagaimana sabda Rasulullah :
املسلم َم ْن َسلِ َم امل ْسلِم ْون ِم ْن ل ِ َسانِ ِه َو َي ِد ِه “Seorang muslim itu ia yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”66
64
Ibid, hlm. 288. Ibid. 66 HR. Ahmad (II/379), at-Tirmidzi (2627), an-Nasa’i (VIII/104-105), Ibnu Hibban (180), al-Hakim (I/10) dari jalur Abu Hurairah Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud (2481), Ibnu Hibban (196) dari jalur Abdullah bin Amru bin al-‘Ash. Dan diriwayatkan pula oleh ath-Thayalisi (1777), Ahmad (III/372), Muslim, Ibnu Hibban (197) dari jalur Jabir bin Abdullah. 65
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 35
Dan jika baik ke-Islaman (pada diri seseorang) maka hal itu mendorongnya untuk meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat secara keseluruhannya dari berbagai keharaman, syubhat dan kemakruhan, bahkan hal-hal yang mubah yang tidak dibutuhkan. Karena sesungguhnya ini semua tidak bermanfaat bagi seorang muslim apabila telah sempurna keislamannya, dan telah sampai pada derajat ihsan yakni menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, dan jika ia seakan tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya. Ini merupakan karakteristik yang agung, yang tidak mungkin ada pada orang yang terjangkit virus takabur, dimana orang yang takabur tidak akan sudi mendengarkan nasihat terlebih dari orang yang ia anggap remeh. Dan karena sifat yang buruk inilah Iblis – la’natuLlâhi ’alayh- terjerembab ke jurang kehinaan yang abadi. Rasulullah bersabda:
َ اجلنَّ َة َم ْن ك َان ِف َق ْلبِ ِه ِم ْث َقال َذ َّرة ِم ْن كِ ْرب َ ْ َق َال َال َيدْ خل “Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari ketakaburan.” Seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab:
ِ ِ ِ احلَق َو َغ ْمط الن ْ اجل َّم َل ا ْلكِ ْرب َب َطر َّاس َ ْ إِ َّن اهلل َمجيل حيب “Sesungguhnya Allah itu indah menyukai keindahan, ketakaburan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)67 Al-‘Allamah Muhammad Nawawi al-Bantani pun menjelaskan:
. وأن حيتقر الناس، كأن يرى ف نفسه أنه خري من غريه:التكرب عىل عباد اهلل تعاىل “Takabur terhadap hamba-hamba Allah : yakni ia memandang dirinya lebih baik daripada orang lain dan merendahkannya.”68 Dan kita berlindung kepada Allah dari sifat takabur, dimana ia merupakan sifat keji yang menjerumuskan Iblis ke dalam jurang kehinaan yang amat dalam, wal ’iyâdzu biLlâh.
67
Lihat pula hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya. 68 Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi al-Bantani, Bahjatul Wasâ-il bi Syarh Masâ-il, Jakarta: Dâr alKutub al-Islâmiyyah.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 36
II.3.5. Memiliki Ilmu yang Mendalam Ilmu yang benar bagaikan cahaya yang menuntut seseorang untuk melihat kebaikan dan keburukan, dan sudah semestinya tampak pada sikap. Allah berfirman: “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayatayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Âli Imrân [3]: 7) Ayat ini mengisyaratkan karakteristik ulul albâb yang dapat mengambil pelajaran, mendalam ilmunya, dimana dengannya mereka menyatakan beriman kepada ayat-ayat mutasyâbihât dan tidak condong kepada kesesatan. Imam al-Bukhari mengetengahkan riwayat dari ’Aisyah yang berkata bahwa setelah membaca ayat di atas, lalu Rasulullah bersabda:
ِ ِ ِ ِ اح َذروه ْم ْ ين َس َّمى اهللَّ َف َ َفإِ َذا َر َأ ْي َت ا َّلذ ْي َن َيتَّبِع ْو َن َما ت ََشا َب َه منْه َفأو َلئ َك ا َّلذ “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, Maka waspadalah kalian terhadap mereka!” (HR. Al-Bukhâri, Muslim dan Abu Dawud)
ِ ِ ِ َ ادل ِ َفإِ َذا ر َأيتم ا َّل ِذين جي اح َذروه ْم ْ ين َعنَى اهلل َع َّز َو َج َّل َف َ ون فيه َفه ْم ا َّلذ َ َ ْ ْ َ “Apabila kalian melihat orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka merekalah yang dimaksud oleh Allah, maka waspadailah mereka.” (HR. Ahmad)
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 37
Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat yang agung di atas menegaskan keutamaan ilmu golongan ulul albaab ini.69 ْ Lalu apa makna frase {ب ?} َو َما يَ َّذ َّكر إِال أولوAl-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari ِ األلبَا menjelaskan bahwa tidak ada yang mawas diri, mengambil pelajaran dan mengendalikan diri dalam berbicara mengenai mutasyâbihât ayat-ayat KitabuLlâh yang tidak ada ilmu tentangnya kecuali mereka yang memiliki akal (ulul albâb).70 Dalam ayat yang agung ini terdapat petunjuk bahwa golongan ulul albâb adalah golongan yang mampu mengambil pelajaran. Dalam ayat ini pun terdapat petunjuk bahwa golongan ulul albâb, sudah semestinya berbicara dengan ilmu ketika berkata mengenai ayat-ayat al-Qur’an. As-Sunnah pun mengecam mereka yang berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu dengan peringatan yang tegas. Diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Jundub bin ‘Abdullah yang berkata: Rasulullah bersabda:
ِ ِ اب َف َقدْ َأ ْخ َط َأ َ َم ْن َق َال ِف ا ْلق ْرآن بِ َر ْأ ِيه َف َأ َص “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meski pendapatnya benar ia tetap salah.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)71 At-Tirmidzi pun meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah bersabda:
ِ من َق َال ِف ا ْلقر آن بِ َغ ْ ِري ِع ْلم َف ْل َيتَ َب َّو ْأ َم ْق َعدَ ه ِم ْن الن َِّار ْ َ ْ “Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.” (HR. at-Tirmidzi (V/199, 200), dan ia berkata: hadits ini hasan shahih) Hadits-hadits di atas menunjukkan keharaman secara tegas, dengan adanya qariinah ْ frase (ار ِ َّ)فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َعدَه ِم ْن الن. Di sisi lain, al-Qur’an dan as-Sunnah pun memaparkan keutamaan orang berilmu, dan dipaparkan oleh para ulama dalam banyak literatur, baik klasik maupun kontemporer. 69
II.
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jilid
70
Ibid. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (juz. 5/ hlm. 200), lihat pula Musnad Abu Ya’la (III/90) dan al-Mu’jam alKabiir (II/163)). 71
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 38
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujâdilah [58]: 11) Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi menukil penafsiran Ibn ’Abbas yang berkata:
ما بني كل درجتني مسرية مخسّمئة عام،للعلّمء درجات فوق املؤمنني بسبعّمئة درجة “Bagi ulama derajat di atas orang-orang beriman (yang awam-pen.) sebanyak 700 kali tingkatan, dimana jarak antara dua tingkatan ditempuh selama lima ratus tahun.”72 “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 9) Disebutkan pula dalam ash-Shahiihayn, hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
َم ْن ي ِرد اهلل بِ ِه َخ ْ ًريا ي َفقه ِ ْف الد ْي ِن “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR. Al-Bukhari (71) dan Muslim (1037)) Rasulullah pun bersabda:
َ َخ ْريك ْم َم ْن َت َع َّل َم الق ْر آن َو َع َّل َمه “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari) Dan banyak sekali dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan keutamaan ilmu, yang sudah semestinya diraih oleh golongan ulul albâb. 72
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj alQâshidîn, hlm. 17.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 39
II.3.6. Berbekal Ketakwaan dalam Hidup Sesungguhnya ketakwaan adalah sebaik-baiknya bekal kehidupan ini merupakan perumpamaan yang agung yang tersurat dalam ayat yang agung berikut ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197) Ayat ini turun berkaitan dengan penduduk Yaman yang berhaji namun tidak membawa bekal makanan, maka turunlah perintah dalam ayat ini ( )تَ َزوَّدواyakni berbekallah, sebagaimana diketengahkan al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dan makna berbekal dalam ayat ini adalah makna hakiki yakni membawa makanan untuk safar ()هو اتّخاذ الطعام للسفر.73 Dan setelah Allah menyebutkan perbekalan dalam safar, Allah pun mengingatkan terhadap hal mendesak yang menyertai perbekalan materil tersebut, perbekalan lainnya yakni sebaik-baiknya perbekalan (khayr az-zâd), dan kata zâd dalam ayat ini bermakna kiasan yaitu sebaik-baiknya perbekalan dan penguatan bagi kalian yakni takwa dalam makna syar’i, rasa takut kepada Allah dan keta’atan pada-Nya.74 Dan dalam ayat yang agung tersebut tersirat bahwa di antara karakteristik ulul albâb adalah berbekal ketakwaan dalam hidup. Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apa-apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa.75
73
‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 248 Ibid. 75 Ibid, hlm. 249. 74
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 40
Takwa adalah rasa takut kepada Allah, ta’at pada-Nya, dan mempersiapkan diri untuk perjumpaan dengan-Nya, sebagaimana dituturkan sebagian sahabat, dinukil oleh Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil:
))((اخلوف من اجلليل والعمل بالتنزيل واالستعداد ليوم الرحيل “Rasa takut kepada yang Maha Mulia, beramal dengan apa yang diturunkan, dan mempersiapkan diri menghadapi hari perjumpaan.”76 Dan di antara ciri orang yang bertakwa pun disebutkan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. AlBaqarah [2]: 3-5) Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikhul Ushûl ’Atha bin Khalil menuturkan bahwa sesungguhnya Allah setelah menyebutkan perintah beriman terhadap ghaib, Allah pun kembali menyebutkan iman terhadap akhirat, dan ia bagian dari perkara ghaib. Hal ini termasuk penyebutan yang khas setelah kata yang umum untuk menunjukkan keutamaan yang khas tersebut77, maka keimanan terhadap perkara ghaib termasuk ruang lingkup akidah, dan iman terhadap akhirat merupakan (salah satu) perkara penting di antaranya, maka sudah semestinya
76
Ibid, hlm. 213. Dalam bahasan ilmu balaghah, penyebutan yang khusus setelah kata yang umum ()ذكر الخاص بعد العام itu faidahnya: ويؤتى به للتنبيه على فضل الخاص Dan dimunculkannya (kata khash) tersebut (setelah yang umum) sebagai penekanan perhatian atas keutamaan yang khas tersebut.” (Lihat: Al-Balâghah wan-Naqd) 77
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 41
seorang muslim mengingat akhirat secara berkesinambungan, dan mencurahkan perhatiannya terhadap akhirat jauh berlipat-lipat di atas perhatiannya terhadap perkara duniawi.78 Istimewanya, Imam ‘Abdullah bin ‘Alwi al-Haddâd menegaskan bahwa takwa merupakan wasiat Allah Rabb Alam Semesta ini kepada umat manusia seluruhnya berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepadamu; bertakwalah kepada Allah.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 131)79
II.3.7. Menegakkan Hukum Allah Menegakkan hukum (syari’at) Allah merupakan salah satu karakteristik manusia terdidik (ulul albâb), hal itu diisyaratkan Allah ’Azza wa Jalla dalam QS. Al-Baqarah [2]: 179: “Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 179) Menafsirkan ayat yang agung ini, Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari pun menjelaskan: “Dan bagimu wahai orang-orang yang berakal (ada jaminan kehidupan-pen.) dalam apa yang Aku fardhukan kepada kalian dan Aku wajibkan kepada sebagian dari kalian atas sebagian yang lainnya, yakni hukum qishâsh atas jiwa, luka dan asy-syajâj, yakni apaapa yang dengannya menghalangi sebagian dari kalian atas perbuatan membunuh dan mencegah (kezhaliman-pen.) sebagian kalian atas sebagian lainnya, maka terjamin
78
‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 43. ’Abdullâh bin ’Alwi Al-Haddâd, An-Nashâ’ih ad-Dîniyyah wa al-Washâyâ’ al-Îmâniyyah, Dâr al-Hâwiy, Cet. III, 1420 H, hlm. 28. 79
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 42
keberlangsungan hidup kalian dengan hal tersebut, maka dalam keputusan hukum-Ku terdapat kehidupan bagi kalian.”80 Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil ketika menafsirkan ayat di atas menjelaskan bahwa yang menyadari keagungan hidup yang dihasilkan oleh hukum qishash adalah golongan ulul albâb, yakni orang-orang berakal yang berpikir dan mentadaburi ayat-ayat Allah, maka Allah mengkhususkan mereka dalam seruan, dan mereka adalah ahlinya memahami maknanya. 81 Hal serupa ditegaskan olehnya, ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 197, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apaapa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa.82 Dimana seluruh penjelasan itu menunjukkan keutamaan golongan ulul albâb. Imam ArRaghib al-Ashfahani pun menjelaskan bahwa Allah menyematkan hukum-hukum yang tidak akan dipahami kecuali oleh akal-akal yang lurus yang disebut ulul albâb.83 Dan berakal menjadi salah satu poin dalam taklif syari’at, Rasulullah bersabda:
ِ ِ ِِ ِ َع ِن ا َْملجن،رفِع ا ْل َق َلم َعن َثالث ِ ون ا َْمل ْغل حيتَلِ َم َّ َو َع ِن، َو َع ِن النَّائ ِم َحتَّى َي ْستَ ْيق َظ،وب َع َىل َع ْقله ْ ْ َ ْ َ الصبِي َحتَّى “Diangkat pena (penghisaban-pen.) dari tiga hal: dari orang yang gila kehilangan akalnya, dan dari orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, dan dari seorang anak hingga ia bermimpi (mimpi basah-pen.).” (HR. Al-Hakim84, Ibn Hibban, Khuzaimah, Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya85)
80
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jilid III, hlm. 381. 81 ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 208 82 Ibid, hlm. 249. 83 Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Kitâb ()الالم, juz. II, hlm. 575. 84 Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alaa ash-Shahiihayn, No. 894, hlm. 364. Al-Hakim menuturkan bahwa hadits ini shahih memenuhi syarat Al-Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak meriwayatkan hadits ini. 85 Lihat: Khuzaimah dalam Shahiih-nya, Ibn Hibban dalam Shahiih-nya, at-Tirmidzi dalam Jaami’-nya, dan lainnya.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 43
Akal yang difungsikan dengan benar pun adalah potensi utama kehidupan (thâqah hayawiyyah) yang membedakan manusia dengan binatang. Lalu bagaimana mungkin mereka yang berakal tidak mau tunduk dan patuh pada syari’at Allah?! Bukankah Allah sudah mengumpamakan orang yang ingkar bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat?! “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf [7]: 179) “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. AlFurqân [25]: 43-44) Maka sudah jelas bahwa golongan ulul albâb, adalah golongan yang memahami hukum Allah dan menegakkannya dalam kehidupan.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 44
II.3.8. Berakhlak Mulia Akhlak merupakan bagian dari syari’at Islam dan insan terdidik sudah semestinya adalah insan beradab. Allah ’Azza wa Jalla berfirman: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terangterangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 19-22) Karakteristik Ulul Albâb dalam QS. Ar-Ra’d: 20-22: Pertama, Menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Kedua, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Rabb-nya dan takut kepada hisab yang buruk. Ketiga, Orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terangterangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Karakteristik ini pun tergambar dalam Sîrah, yakni dalam sifat dan karakter Rasulullah
. Dalam kitab târîkh dituliskan: “Di antara catatan tentang proses kehidupan Nabi kita
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 45
temukan bahwa Allah telah mempersiapkannya untuk menerima risalah dan wahyu-Nya secara khusus, maka beliau pernah bekerja menggembala kambing, berdagang, dan tidak pernah berbuat seperti para pemuda Quraysi yang tenggelam dalam kelalaian dan kesia-siaan, dan tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, tidak pernah bersujud kepada patung atau berhala, tidak pernah memakan binatang sembelihan untuk patung, tidak pernah meminum khamr, tidak pernah berbuat keji baik dalam perkataan maupun perbuatan, tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu seorang pun, dan justru beliau menjadi teladan dalam kejujuran dan amanah sehingga beliau dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya di antara penduduk Makkah.”86 Dari ’Aisyah r.a. ia berkata: “Rasulullah bersabda:
ني إِ َيّمنًا َأ ْح َسنه ْم خل ًقا َو َأ ْل َطفه ْم بِ َأ ْهلِ ِه َ ِ إِ َّن ِم ْن َأك َْم ِل ا ْمل ْؤ ِمن “Sesungguhnya termasuk orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan paling lembut terhadap keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi, hadits ini shahih) Dalam perkataan yang dinisbatkan kepada al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) ia berkata bahwa sesungguhnya bagi ahli kebaikan itu ada tanda dimana mereka dikenal dengannya: benarnya perkataan, menegakkan amanah, memenuhi janji, menyedikitkan rasa berbangga dan tidak angkuh, menyambung tali silaturahim, menyayangi kaum yang lemah, sungguh-sungguh dalam hal ma’ruf, baiknya akhlak, luasnya kebijaksanaan, menyebarkan ilmu...87 Dan tidak beradab jika ada orang yang gemar menuntut ilmu dan hadits/ atsar, namun ia bersikap seperti orang-orang pandir sebagaimana peringatan dari Hasan al-Bashri (w. 110 H):
وجيري ف العمل جمرى السفهاء، وطرائف احلكّمء،ال تكن ممن جيمع علم العلّمء “Janganlah engkau menjadi golongan orang yang gemar mengumpulkan ilmu ulama, kebajikankebajikan ahli hadits dan atsar, namun ia beramal seperti orang-orang pandir.”88
86
Dr. ‘Abdullâh al-Hâmid dkk, Shuwarun Min at-Târîkh al-Islâmiy, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H. 87 Jamâluddin Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Aadâb al-Hasan al-Bashri wa Zuhduhu wa Mawaa’izhuhu, Damaskus: Daar ash-Shiddiiq, Cet. I, 1426 H, hlm. 37-38. 88 Imam Abu Hami al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, jilid I, hlm. 59; dinukil dari Shâlih Ahmad asy-Syâmi, Mawâ’izh al-Imâm Hasan al-Bashri, Beirut: Al-Maktab al-Islâmi, Cet. II, 1425 H, hlm. 68.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 46
II.3.9. Memisahkan Antara Kebenaran dan Kebatilan Allah berfirman: “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 100) Kebenaran dan kebatilan merupakan perkara yang jelas, sebagaimana halal dan haram pun jelas batasannya. Allah pun memerintahkan kita untuk memisahkan antara kebenaran dan kebatilan dalam ayat-Nya yang agung: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 42) Syaikhul Ushûl ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah ketika menjelaskan ayat ini menuturkan: “Yakni janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan huruf albâ’ untuk menunjukkan adanya pencampuran, dan untuk itulah ayat tersebut melarang dari dua perkara: Pertama, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, Kedua, menyembunyikan ilmu sedangkan mereka mengetahui. Adapun mencampuradukkan kebenaran
dengan
kebatilan
sesungguhnya
merupakan
penyesatan,
dan
menyembunyikan kebenaran serta menghapuskannya, keduanya termasuk dosa besar dalam Din Allah.”89 Adalah ’Umar bin al-Khaththab , salah seorang sahabat Rasulullah yang dikenal dengan julukan al-Fâruq, yakni pemisah antara kebenaran dan kebatilan, karakter ini termasuk salah satu karakteristik golongan ulul albâb. Karakteristik ’Umar ini, tergambar jelas dalam
89
‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 72.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 47
catatan sejarah. Ketika Rasulullah wafat, kaum muslimin termasuk para sahabat mulai keluar dari Jazirah Arab dan mulai berhadapan dengan pemikiran dan peradaban yang kompleks. Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas, panglima perang yang dikirim ’Umar ke sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang. Dari laporan Ibn Khaldun, Sa’ad, sebenarnya ingin membawa buku-buku tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tapi keinginan beliau ini langsung ditolak oleh ’Umar: “Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih besar (al-Qur’an dan asSunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana tersebut.”90 Di sini tampak jelas bahwa ’Umar bin al-Khaththab berpegang teguh pada wasiat Nabi dalam Haji Wada’:
ِ ِ ِ َاب اهللِ َوسنَّ َة نَبِي ِه ْ َقدْ ت ََركْت فِ ْيك ْم َما َ اعت ََص ْمت ْم بِه َل ْن تَضل ْوا َأ َبدً ا َأ ْم ًرا َبينًا كت “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian, selama kalian berpegang teguh kepadanya, selamalamanya kalian tidak akan tersesat. Ia merupakan perkara yang jelas sejelas-jelasnya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Muslim)91
ِ ِ ِ َ ِإِ َذا َأمرتكم ب ِ ِ يشء ِم ْن َر ْأي َفإِن ََّّم َأنَا َب َْش ْ َ ِيشء م ْن د ْينك ْم َفخذ ْوا بِه َوإ َذا َأ َم ْرتك ْم ب ْ ْ َْ “Jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu mengenai urusan agamamu, maka ambilah, dan jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu mengenai suatu pendapat maka aku hanyalah manusia biasa.” (HR. Muslim no 4375) Hadits-hadits di atas dijadikan pegangan oleh para sahabat, termasuk ’Umar, sehingga dalam urusan dîn (akidah dan sistem kehidupan) mereka hanya berpegang teguh kepada alQur’an dan as-Sunnah, sementara dalam urusan ra’y (pendapat selain akidah dan sistem kehidupan), mereka diberi keleluasaan untuk memilih dan tidak perlu terikat dengan pendapat Rasul . Inilah yang dapat dipahami dari tindakan ’Umar bin al-Khaththab ketika beliau mengusulkan pembukuan al-Qur’an kepada Abu Bakr , atau ketika ’Umar mengadopsi model 90
Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 530-531; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 1423 H, hlm. 15. 91 Shahîh Muslim, K. al-Hajj, no. 2137.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 48
pembukuan (dîwân92) Persia dan Romawi sebagai aspek teknis (uslûb) administratif dan manajemen93, sedangkan pada waktu yang sama sistem pemerintahannya termasuk filsafatnya tidak diadopsi.94 Ini sudah cukup menggambarkan keteladanan dalam memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, dan pemahaman mana yang boleh diadopsi dan yang tidak. Sikap ini, adalah gambaran dari prinsip ’Umar al-Fâruq yang disebutkan menuturkan:
ِ ومتى اب َت َغينَا ْا،ال ِم ِ ن َْحن َق ْوم َأ َع َّزنَا اهلل بِ ْا لع َّز بِ َغ ْ ِري ِد ْي ِن اهللِ َأ َذ َّلنَا اهلل ْ ْ َ َ َ َ إل ْس “Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allâh dengan Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh, maka Allâh menghinakan kami.” Dan di antara prasyarat agar bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan adalah memahami keduanya. Ilmu mengantarkan seseorang agar bisa memilah antara kebenaran dan kebatilan. Dan memahami kebatilan ini sebagaimana dituturkan dalam sya’ir:
لكن لتوق ّيه# للْش ّ الْش ال ّ عرفت من النّاس يقع فيه# الْش ّ ومن ال يعرف “Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya” “Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”95
92
Dîwân adalah istilah yang berasal dari perkataan Persia, yaitu arsip yang di dalamnya ditulis namanama pegawai dan tentara yang dibayar, berdasarkan urutan-urutan kabilah dan asal masing-masing. Lihat: atTarâtib (I/200), al-Kattani. 93 Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah, jilid I, hlm. 200-202; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, hlm. 16. 94 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 530-531; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, hlm. 16. 95 Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân: Tafsîr Âyât al-Ahkâm Min al-Qur’ân, Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, Cet. III, 1400 H, jilid I.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 49
II.3.10. Dianugerahi Hikmah Allah ’Azza wa Jalla berfirman: “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269) Di antara contoh nyata karakteristik ini, Allah menganugerahkan al-hikmah kepada Luqman al-Hakim. Allah menginformasikan firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqmân [31]: 12) Apa makna al-hikmah? Imam Syihabuddin Al-Alusi (w. 1270 H) menukil keterangan Ibn Mardawih yang menukil pendapat Ibn ’Abbas bahwa hikmah adalah akal, pemahaman dan kecerdasan. Al-Faryabi, Ahmad dalam kitab Az-Zuhd, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid bahwa hikmah adalah akal, pemahaman dan lurusnya perkataan.96 Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa hikmah adalah meraih kebenaran dengan ilmu dan akal, maka hikmah dari Allah Ta’âlâ: pengetahuan terhadap sesuatu dan mewujudkannnya dalam tujuan tepat, dan hikmah dari manusia: pengetahuan terhadap hal-hal yang eksis dan mengamalkan berbagai kebaikan. Dan inilah sifat Luqman dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla: (َ)لَقَ ْد آتَ ْينَا ل ْق َمانَ ْال ِح ْك َمة.
96
Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî wa fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm wa as-Sab’u al-Matsânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1415 H.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 50
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1434 H) mendefinisikan:
ِْ العلم بحقائق اْلشياء {و َل َقدْ آ َتينَا ل ْقّم َن، بكرس احلاء ج حكم مص حكم: احلكمة وضع اليشء ف موضعه: }احلك َْم َة َ َ ْ “Al-Hikmah: dikasrahkan huruf hâ’-nya jamaknya hikam, mashdar dari hakama; yaitu pengetahuan atas hakikat berbagai hal (Dan telah Kami anugerahkan Luqman berupa hikmah). Yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya.”97 Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) ketika menjelaskan frase ayat (َ) َولَقَ ْد آتَيْنا ل ْقمانَ ْال ِح ْك َمة menjelaskan: ”Hikmah adalah ungkapan mengenai kesesuaian amal perbuatan dengan ilmu, maka siapa saja yang dianugerahi amal yang sesuai dengan ilmunya maka sungguh ia telah dianugerahi hikmah, dan jika kita hendak membatasi pengertian apa yang termasuk hikmah Allah, maka kami katakan bahwa ia adalah sampainya ilmu dengan kesesuaian yang diketahuinya, dan yang menjadi petunjuk atas apa yang kami jelaskan ini bahwa barangsiapa yang mempelajari sesuatu akan tetapi ia tak mengetahui kemaslahatankemaslahatan dan keburukan-keburukannya maka ia tidak dinamakan hakîm (orang yang memiliki hikmah-pen.) melainkan hanya disebut mabkhût (orang yang kebetulan tahu), bukankah engkau mengetahui bahwa siapa saja yang menempatkan dirinya di tempat yang tinggi.”98 Imam ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan: “Hikmah adalah pengetahuan terhadap halhal yang ada dan berbuat kebaikan, al-Imam pun berkata: hikmah adalah perumpamaan tentang kesesuaian amal dengan ilmu”, kemudian ia berkata: “Jika kita ingin membatasi apa yang termasuk hikmah dari Allah maka kita katakan: ”Sampainya amal perbuatan bersesuaian dengan apa yang diketahui.”99
97
Prof. Dr. Muhammad Rawwas dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’: ‘Arabiy-Inkilîji. Abu ‘Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: At-Tafsîr alKabîr, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turats al-’Arabi, Cet. III, 1420 H. 99 Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî wa fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm wa as-Sab’u al-Matsânî. 98
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 51
Imam as-Sa’di (w. 1376 H) ketika menafsirkan QS. Luqmân [31]: 12, menjelaskan bahwa Allah menginformasikan tentang ujian dari-Nya atas hamba-Nya yang utama, Luqman, dengan hikmah, yang ia definisikan:
ومعرفة ما فيها من اْلْسار واإلحكام، فهي العلم باْلحكام،العلم (باحلق) عىل وجهه وحكمته “Pengetahuan (terhadap kebenaran) dengan petunjuk dan hikmah-Nya, dan ia adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum, dan pengetahuan terhadap apa-apa yang ada di dalamnya berupa berbagai rahasia dan hukum-hukum.” 100 Lebih jauh lagi, Imam as-Sa’di menjelaskan bahwa terkadang ada seseorang yang menjadi ahli ilmu namun tidak menjadi orang yang memiliki hikmah. Dan adapun hikmah, adalah hal yang urgen bagi ilmu, bahkan bagi amal perbuatan, maka dari itu kata hikmah ditafsirkan sebagai ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dan ketika Allah menganugerahi Luqman kebaikan yang agung ini, Allah memerintahkannya untuk bersyukur kepada-Nya atas apa yang diberikan Allah kepadanya, agar Allah memberikan keberkahan di dalamnya, dan menambah-nambah keutamaannya, dan Allah menginformasikan bahwa rasa syukur kaum yang bersyukur, manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri dan bahwa barangsiapa yang mengkufuri dan tidak bersyukur kepada Allah, hal itu dan keburukannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan Allah Maha Kaya atasnya dan Maha Terpuji atas apa-apa yang diatur dan ditentukan oleh-Nya terhadap orang yang menyelisihi perintah-Nya. Dan kedudukan Maha Kaya bagi Allah merupakan hal yang lazim bagi Dzat-Nya dan kedudukan-Nya yang Maha Terpuji bagian dari Sifat Kesempurnaan-Nya, Maha Terpuji dalam keindahan ciptaan-Nya adalah hal yang lazim bagi Dzat-Nya dan setiap kedudukan tersebut merupakan penyifatan, sifat kesempurnaan, dan sifat yang satu berkumpul dengan yang lainnya, kian menguatkan kesempurnaan atas kesempurnaan.101
100
‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm alMannân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H. 101 Ibid.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 52
II.4. Aplikasi Konsep Manusia Terdidik dalam Kehidupan Karakteristik manusia terdidik bisa diwujudkan dalam kehidupan dengan menerapkan pendidikan Islam, suatu sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang bertujuan membentuk insan yang berkepribadian Islam, pola ’aqliyyah dan nafsiyyah yang sejalan dengan Islam, sebagaimana yang tergambar dalam karakteristik golongan ulul albâb. Karakteristik ini pun tidak lahir dengan sendirinya, melainkan hasil dari proses pendidikan yang menjadikan akidah atau tauhid sebagai fondasinya. Dr. Akhmad Alim, MA menjelaskan: “Sebuah bangunan tidak akan pernah berdiri tegak tanpa adanya fondasi. Maka dari itu bangunan yang kokoh membutuhkan sebuah fondasi yang kokoh pula. Demikian juga dengan pendidikan, untuk membangunnya dibutuhkan sebuah landasan yang kuat sebagai pondasinya, agar bangunan pendidikan yang berdiri di atasnya berdiri tegak nan kokoh. Menurut Anas Ahmad Karzon, bahwa fondasi utama membangun pendidikan adalah fondasi tauhid. Tauhid ini sebagaimana tercantum dalam kalimat tauhid: ”“أشهد أن ال إله إال اهلل وأشهد أن حممدً ا رسول اهلل “Salah satu konsekuensi logis dari tauhid ini adalah mengesakan Allah.”102 Hal itu tergambar dalam wasiat agung para nabi dan orang-orang shalih, dimana jejak kehidupan mereka merealisasikan karakteristik ulul albâb. Nabi Ya’qub –’alayhis salâm- ketika menjelang wafatnya tidak melupakan wasiat untuk anaknya agar berpegang teguh pada akidah yang shahih. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 133)
102
Dr. Akhmad Alim, Islamisasi Ilmu Pendidikan: Menjawab Problematika Krisis Pendidikan Kontemporer, Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibnu Khaldun, Cet. I, 1435 H.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 53
Dan kisah Luqman yang dianugerahi hikmah oleh Allah, dimana ia menasihati anaknya yang merupakan sosok yang paling dekat dengannya dan paling dicintainya, dan ia memiliki kapasitas untuk memberikan hal yang utama dari apa yang diketahuinya, maka Luqman menasihati anaknya dengan nasihat berharga yang menyeluruh, nasihat yang bermanfaat, menyuruhnya hanya beribadah kepada Allah, dan memperingatkannya dengan peringatan keras dari perbuatan menjadikan sekutu bagi Allah, dan menjelaskan bahaya menyekutukan Allah.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqmân [31]: 13)103 Salah satu pertama nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya di atas adalah wasiat penting agar tidak menyekutukan Allah, yakni menegaskan ketauhidan dan menegasikan kesyirikan. Rasulullah sudah mengingatkan kita dalam sabdanya yang mulia:
ِ وح َّق ا ْل ِعب،ْشكوا بِ ِه َشي ًئا ِ َفإِ َّن ح َّق اهللِ َع َىل ا ْل ِعب ِ ْ اد َع َىل اهللِ َأ ْن َال ي َعذ َب َم ْن َال ي ِ ْ َو َال ي،اد َأ ْن َي ْعبدوه ْشك بِ ِه َش ْي ًئا َ َ َ ْ َ َ “Sesungguhnya hak Allah atas seorang hamba adalah menyembahnya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan hak hamba atas Allah adalah tidak mengadzab ia yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)104 Dalam praktiknya, sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam ini merupakan bagian integral dari sistem kehidupan Islam yang menegakkan Islam kâffah, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dimana Rasulullah dan para sahabat telah mencontohkannya kepada kita bagaimana penerapan Islam kâffah, mencakup politik, hukum, ekonomi, pergaulan, pendidikan, hubungan luar negeri, dan lain sebagainya. Dan tiada teladan terbaik melainkan Rasulullah .
103 104
Dr. Najib Jalwah, Tarbiyyatul Awlâd, Al-Jazair: Dâr al-Fadhîlah, Cet. I. Hafizh bin Ahmad Hakami, 200 Su’âl wa Jawâb fî al-’Aqîdah, Daar al-‘Aqîdah, Cet. I, 1999.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 54
Maha Benar Allah ’Azza wa Jalla dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21) Dr. Shalih al-Fawzan menjelaskan: “Apa yang memperbaiki umat ini pada awal mulanya? Ialah al-Qur’an, as-Sunnah dan ittiba’ terhadap Rasulullah , mengamalkan alQur’an dan as-Sunnah adalah hal yang bisa memperbaiki generasi pertama umat, tidak ada hal lain yang bisa memperbaiki umat ini kecuali apa yang bisa memperbaikinya pada awalnya.”105 Ayat yang agung ini diawali dengan penegasan Allah yang menafikan segala bentuk keraguan dan penolakan106, serta qarînah jâzimah yang menunjukkan kewajiban meneladani Rasulullah . Ketakwaan, konsistensi terhadap petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah (metode dakwah Rasulullah ) adalah kunci keberhasilan, dan menempuh jalan selain jalan Islam jelas berbahaya. Dalam qawl yang masyhur dari Imam Malik bahwa tidak ada jalan lain yang bisa memperbaiki umat ini kecuali dengan apa yang bisa memperbaiki umat ini pada awalnya. Dalam sya’ir pun dikatakan:
ونفعل مثل ما فعلوا، تبني# نبني كّم أوائلنا “Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun” “Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”
105
Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Manhaj as-Salaf ash-Shâlih wa Hâjatul Ummah Ilayh, hlm. 13. Dalam ayat ini, setidaknya terdapat dua penegasan -dalam ilmu balaghah jika khabar mengandung lebih dari satu penegasan, dinamakan khabar inkâriy yakni menghapuskan pengingkaran dan keraguan 106
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 55
BAB III PENUTUP
K
onsep manusia terdidik dalam Islam yang dijelaskan dalam makalah ini, sudah semestinya mendorong kita untuk memiliki karakter-karakter golongan ulul albâb. Kepada Allah kita memohon pertolongan agar dapat mewujudkannya dalam
kehidupan, karena menjadi golongan ulul albâb adalah keharusan sebagai insan yang diangerahi potensi akal yang sehat. Meski benar bahwa meskipun kita hidup di zaman modern yang ditandai pesatnya perkembangan teknologi, sesungguhnya kehidupan yang berjalan masih tergolong kehidupan jahiliyah. Karena makna jahiliyah dalam terminologi yang dijelaskan alQur’an sebagaimana dituturkan Syaikh Muhammad Quthb: “Adapun dalam pandangan AlQur’an Al-Karim, maka lafazh ini disebutkan dengan makna khusus, atau hakikatnya mencakup dua makna terbatas: yakni kejahilan terhadap hakikat uluhiyah dan kekhususan-kekhususannya, atau perbuatan yang tidak ta’at pada ketentuan-ketentuan Rabbaniyah atau dengan kata lain tidak menta’ati apa yang diturunkan Allah.”107 Namun jika diam dalam keterpurukan, tidak menuntut ilmu dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya potensi yang Allah berikan bukanlah jawaban.
ِ اجل َب ِ َو َم ْن َيت ََه َّيب صع ْو َد ني احل َف ِر َ ْ َي ِع ْش َأ َبدَ الدَّ ْه ِر َب# ال “Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara lubang selamanya.” Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) berkata bahwa ilmu adalah sebaik-baiknya warisan, adab adalah
sebaik-baiknya
teman,
takwa
adalah
sebaik-baiknya
perbekalan,
ibadah
pembendaharaan paling menguntungkan, akal sebaik-baiknya pendatang, akhlak terpuji sebaikbaiknya pendamping, kebijaksanaan sebaik-baiknya penopang, sifat qanâ’ah sebaik-baiknya kekayaan, taufik sebaik-baiknya pendukung, dan mengingat kematian sekuat-kuatnya pemberi peringatan.108 Allah al-Musta’ân []
ِ ِ ني َ ِاحل ْمد هللَِّ َرب ا ْل َعا َمل َ ْ َوآخر َد ْع َوانَا َأن
1411 H.
107
Muhammad Quthb, Ru’yatun Islâmiyyatun Li Ahwâl Al-‘Âlam al-Mu’âshir, Riyadh: Dar al-Wathan,
108
Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri wa Zuhduhu wa Mawâ’izhuhu, hlm. 41.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 56
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Tafsir: Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni. 1415 H. Rûh al-Ma’ânî wa fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm wa as-Sab’u al-Matsânî. Cet. I. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Al-Andalusi, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf. 1420 H. Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr. Tahqiq: Shidqi Muhammad Jamil. Beirut: Dâr al-Fikr. Al-Jaza’iri, Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr. 1424 H/ 2003. Aysar atTafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabîr. Cet. V. Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam. Al-Qurthubi, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad. 1384 H/ 1964. Al-Jâmi’ Li Ahkâm alQur’ân. Cet. II. Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah. Ar-Râzi, Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain. 1420 H. Mafâtîh alGhayb: At-Tafsîr al-Kabîr. Cet. III. Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turats al-’Arabi. Ar-Rasythah, ’Atha bin Khalil Abu. 1427 H/ 2006. At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah. Cet. II. Beirut: Dâr al-Ummah. As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah. 1420 H/ 2000. Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân. Cet. I. Beirut: Mu’assasatur Risâlah. Ash-Shabuni, Prof. Dr. Muhammad Ali. 1417 H/ 1997. Shafwah at-Tafâsîr. Cet. I. Kairo: Dâr ash-Shabuni. Ash-Shabuni, Prof. Dr. Muhammad Ali. 1400 H/ 1980. Rawâ’i al-Bayân: Tafsîr Âyât al-Ahkâm Min al-Qur’ân. Cet. III. Damaskus: Maktabah al-Ghazâliy. Asy-Sya’rawi, Prof. Dr. Muhammad Mutawalli. t.t. Tafsîr asy-Sya’rawi. Tahqiq: Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim. Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah Jâmi’atul Azhar asySyarîf.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 57
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far. 1420 H/ 2000. Jâmi’ alBayân fî Ta’wîl al-Qur’ân. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syâkir. Cet. I. Beirut: Mu’assasatur Risâlah. Ats-Tsa’labi, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim. 1422 H/ 2002. Al-Kasyf wa al-Bayân ‘An Tafsîr al-Qur’ân. Tahqiq: Abu Muhammad bin ‘Asyur. Cet. I. Beirut: Dâr Ihyâ’ atTurâts al-‘Arabiy. Az-Zuhayli, Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa. 1418 H. At-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asySyarî’ah wa al-Manhaj. Cet. II. Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir. Az-Zuhayli, Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa. 1422 H. At-Tafsîr al-Wasîth. Cet. I. Damaskus: Dâr a-Fikr. Ibn ‘Asyur, Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir. 1984. AtTahrîr wa at-Tanwîr (Tahrîr al-Ma’nâ as-Sadîd wa Tanwîr al-‘Aql al-Jadîd Min Tafsîr al-Kitâb al-Majîd). Tunisia: Ad-Dâr at-Tûnisiyyah.
Hadits: Al-Hanbali, Zaynuddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al-Baghdadi (Ibnu Rajab). 1419 H. Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan min Jawâmi’ alKalim. Muhaqqiq: Syu’aib al-Arnauth & Ibrahim Bajees. Cet. VIII. Beirut: Mu’assaturRisalah. Al-Hanbali, Zaynuddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al-Baghdadi (Ibnu Rajab). 1429 H. Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan min Jawâmi’ alKalim. Muhaqqiq: Dr. Maher Yasin al-Fahl. Cet. I. Beirut: Dar Ibn Katsir. Al-‘Iid, Ibn Daqîq. t.t. Syarh al-Arba’în Hadîtsan an-Nawawiyyah. Makkah: al-Maktabah alFayshaliyyah. An-Naysaburi, Al-Hakim. t.t. Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn. Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 58
Kamus Arab dan Balaghah: Âbâdi, Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz. 1429 H/ 2008. Al-Qâmûs al-Muhîth. Tahqiq: Anas Muhammad Asy-Syami, dkk. Kairo: Dâr al-Hadîts. Al-Ashfahani, Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib. t.t. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz. Al-‘Askariy, Al-Hasan bin 'Abdullah Abu Hilâl. 1418 H/ 1997. Al-Furûq al-Lughawiyyah. Tahqiq: Muhammad Ibrâhîm Salîm. Kairo: Dâr al-‘Ilm wa ats-Tsaqâfah. Al-Hâmid, Dr. ‘Abdullâh, dkk. 1425 H/ 2004. Silsilatu Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah: AlBalâghah wa an-Naqd. Cet. II. Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud alIslâmiyyah. Ar-Râzi, Muhammad bin Abi Bakr bin ’Abd al-Qâdir. 1986. Mukhtâr ash-Shihâh. Beirut: Maktabah Lubnan. Manzhur, Muhammad bin Mukarram bin. t.t. Lisân al-‘Arab. Tahqiq: Amîn Muhammad ’Abd al-Wahhâb. Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-’Arabiy. Qal’ah Ji, Prof. Dr. Muhammad Rawwas dkk. 1408 H/ 1988. Mu’jam Lughatil Fuqahâ’: ‘Arabiy-Inkilîjiy. Cet. II. Beirut: Dâr an-Nafâ’is. Tim Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. 1425 H/ 2004. Al-Mu’jam al-Wasîth. Cet. IV. Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah.
Tarbiyyah: Al-Hazimi, Dr. Khalid bin Hamid. 1420 H/ 2000. Ushûl at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah. Cet. I. KSA: Dâr ’ Âlam al-Kutub. Ali, Dr. Sa’îd Ismâ’îl. 1421 H/ 2000. Al-Qur’ân Al-Karîm: Ru’yatun Tarbawiyyatun. Cet. I. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy. Alim, Dr. Akhmad. 1435 H/ 2014. Islamisasi Ilmu Pendidikan: Menjawab Problematika Krisis Pendidikan Kontemporer. Cet. I. Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibnu Khaldun.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 59
Al-Jundi, Anwar. t.t. At-Tarbiyyah al-Islâmiyyah Hiya al-Ithâr al-Haqîqiy lit-Ta’allum. Kairo: Dâr al-Anshâr. Jalwah, Dr. Najib. 1432 H/ 2011. Tarbiyyatul Awlâd. Cet. I. Al-Jazair: Dâr al-Fadhîlah.
Ushul Al-Fiqh: An-Nabhani, Taqiyuddin bin Ibrahim. 1424 H/ 2003. Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah. Cet. VI. Beirut: Dâr al-Ummah. Az-Zayn, Dr. Samih ‘Athif. 1410 H/ 1999. ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar. Cet. I. Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishriy.
Sîrah: Al-Hâmid, Dr. ‘Abdullâh, dkk. 1425 H/ 2004. Shuwarun Min at-Târîkh al-Islâmiy. Cet. II. Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah.
Tsaqafah & Akidah: Al-Bantani, Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi. Bahjatul Wasâ-il bi Syarh Masâ-il. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah. Al-Fauzan, Dr. Shalih bin Fauzan. Manhaj as-Salaf ash-Shâlih wa Hâjatul Ummah Ilayh. ____ Al-Khâthir, Dr. ‘Abdullah. 2006. Al-Iltizâm bil-Islâm Marâhil wa ‘Uqbât. Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah. Ibrahim, Taqiyuddin bin. 1372 H/ 1956. Nizhâm al-Islâm. Cet. VII. Beirut: Dâr al-Ummah. As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud. 1405 H. Al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah wa Atsaruhâ fî Hayâtil Muslimîn. Cet. I. _____ Hakami, Hafizh bin Ahmad. 1999. 200 Su’âl wa Jawâb fî al-’Aqîdah. Tahqiq: Halmi bin Isma’il ar-Rasyidi. Cet. I. Dâr al-‘Aqîdah. Muhammad, Taqiyuddin Abu al-Baqa’. 1418 H/ 1997. Syarh al-Kawkab al-Munîr. Muhaqqiq: Muhammad az-Zuhaili dkk. Cetakan II. Maktabatul Abikan.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 60
Quthb, Muhammad. 1411 H. Ru’yatun Islâmiyyatun Li Ahwâl Al-‘Âlam Al-Mu’âshir. Riyadh: Dar al-Wathan. Wahid MA, Muhammad Maghfur. 1423 H/ 2002. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Editor: Tim al-Izzah. Bangil: Al-Izzah.
Akhlak, Adab & Mawâ’izh: Al-Andalusi, Ibn ‘Abd al-Bar. Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis. Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah. Al-Faraj (Ibn al-Jawzi), ‘Abd ar-Rahman bin ‘Ali Abu. 1412 H/ 1992. Bahr ad-Dumû’. Cet. I. Dâr ash-Shahâbah lit-Turâts. Al-Haddâd, ’Abdullâh bin ’Alwi. 1420 H/ 1999. An-Nashâ’ih ad-Dîniyyah wa al-Washâyâ’ alÎmâniyyah. Cet. III. Dâr al-Hâwiy. Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib. 1405 H/ 1985. Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn. Cet. IV. Beirut: Dâr Iqrâ’. Al-Maqdisi, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman bin Qudamah. 1418 H/ 1998. Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn. Tahqiq: Muhammad Wahbi Sulaiman, dkk. Cet. III. Beirut: Dâr al-Khayr. Al-Mushthawi, ‘Abd ar-Rahman. 1426 H/ 2005. Dîwân al-Imâm ‘Ali bin Abi Thâlib . Cet. III. Beirut: Dâr al-Ma’rifah. Asy-Syâmiy, Shâlih Ahmad. 1425 H/ 2004. Mawâ’izh al-Imâm Hasan al-Bashriy. Cet. II. Beirut: Al-Maktab al-Islâmiy. Mahmud, Azhari Ahmad. 1420 H. Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi. Riyâdh: Dâr Ibn Khuzaimah. Ibn al-Jawzi, Jamâluddin Abu al-Faraj. 1426 H/ 2005. Âdâb al-Hasan al-Bashri wa Zuhduhu wa Mawâ’izhuhu. Tahqiq: Sulaiman al-Harsy. Cet. I. Damaskus: Dâr ash-Shiddîq.
Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam – Irfan Abu Naveed | 61