MODUS GEREJA DAN LAHIRNYA MAYOR MINOR Daniel Sema dosen pada Jurusan Musik Gereja STT ABDIEL
[email protected] abstraction
Most of the music that we hear today is written in major and minor keys. It can be said that major-minor tonality is the most widespread approach to structuring pitch relationship in music. However, this system of major-minor tonality did not arise out of nothing. Music historians have chronicled the emergence of this system around the sisteenth century. Prior to this, a system of modes existed, it was called “church modes”. How did the system of major-minor keys come from originally? Did it have relations with the church modes? A. Pendahuluan Sejak abad tujuh belas dan sembilanbelas ada dua modus yang mendominasi musik Barat, yaitu sistem tonalitas mayor dan minor atau lazim disebut sebagai “modus mayor dan minor”. Dua modus ini dibedakan dari letak jarak interval not satu-tone dan not-setengahtone (semitone) di dalam susunan satu oktaf. Di dalam musik Barat yang dikenal sekarang ini dua modus itu masuk dalam kelompok modus “diatonik”, yaitu sebuah modus yang mengkombinasikan pola interval satu-tone dan setengah-tone secara berbeda. Jauh sebelumnya, pada Abad Pertengahan berkembang modus yang disebut “modus gereja” yang jumlahnya delapan dan menjadi bahan dasar pembuatan lagu atau nyanyian pada masa itu, khususnya musik gereja. Modus Modus umumnya didefinisikan sebagai pola susunan pitch (letak nada) di dalam rentang satu oktaf yang menjadi dasar dalam menyusun sebuah komposisi musik. Rangkaian not tersebut (dari paling bawah sampai paling atas) dikenal sebagai “tangga nada” (scale). Dalam definisi yang lebih luas modus atau dalam bahasa Inggris mode diartikan sebagai 1) istilah umum yang digunakan untuk progresi melodi Yunani kuno dan untuk tangga nada gereja yang berlaku pada era Abad Pertengahan dalam bangunan sistem Gregorian chant, 2) istilah untuk membedakan antara nada dasar mayor (yang disebut modus mayor) dengan nada dasar minor (yang disebut modus minor), 3) pola skala interval tertentu, baik yang berasal dari suatu kebudayaan tertentu (India, Jepang, Indonesia, dll.) maupun hasil dari suatu penemuan, 4) sebuah sistem notasi beritme yang digunakan pada abad ke-13.1 Dalam praktik istilah “modus” atau kadang-kadang disebut “modal” sering mengacu kepada modus gereja yang digunakan pada Abad Pertengahan, kepada modus yang
1
digunakan oleh musik bukan-Barat (non-Western), juga kepada jenis-jenis melodi yang berbeda pola intervalnya dengan modus mayor-minor.2 Tiap-tiap modus menjadi sangat unik karena pola intervalnya yang berbeda-beda. Pola interval tersebut bila disusun sedemikian rupa menjadi sebuah komposisi akan memberikan nuansa berbeda satu sama lain. Modus itu bisa diumpamakan seperti warna yang digunakan dalam sebuah lukisan. Ia memberikan kekayaan dan variasi kepada musik. Perbedaan nuansa bunyi yang dimunculkan oleh modus itu seperti perbedaan nuansa bunyi antara tangga nada mayor dan minor. Modus Dorian (Dmode) umpamanya yang memiliki pola interval satu tone, setengah tone, tiga tone, setengah tone, dan satu tone dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas (W-H-W-W-W-H-W) akan mempunyai nuansa bunyi yang berbeda dengan modus lain karena pola interval yang dimiliki tidak sama persis dengan modus ini. Contoh lagu rakyat yang membangkitkan nuansa modus Dorian ialah lagu “Scarborough Fair”. Pola interval dari lagu yang menggunakan modus Phrygian (E-mode) akan berbeda dengan lagu yang menggunakan modus Dorian (D-mode), modus Lydian (F-mode), maupun modus Mixolydian (G-mode) karena karakteristik tiap-tiap interval berbeda. Sistem modus ini sangat penting karena mendasari bangunan musik Abad Pertengahan dan sistem ini yang membuat dunia plainsong menjadi begitu kaya, menarik dan berwarna. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa ada banyak modus non-Western atau yang biasa dikenal sebagai musik tradisional di seluruh dunia, misalnya modus maqam dari musik tradisional Arab, raga dari India, slendro dari Indonesia, dan lain-lain. Modus-modus itu memiliki susunan interval khas yang berbeda satu dengan yang lain. Modus Flamenco, misalnya, memiliki urutan nada: 1 – b2 – 3 – 4 – 5 – b6 – 7 – 1 atau interval nada: ½ – 1½ – ½ – 1 – ½ – 1½ – 1; modus Blues dengan tangga nada: 1 – b3 – 4 – #4 – 5 – b7 – 1, interval nada: 1½ – 1 – ½ – 1½ – ½; modus Persi dengan tangga nada: 1 – b2 – 3 – 4 – b5 – b6 – 7 – 1, interval nada: ½ – 1½ – ½ – ½ – 1½ – 1– 1– ½; modus Oriental: 1 – b2 – b3 – 4 – b5 – 6 – b7 – 1, interval: ½ – 1 – 1– ½ – 1½ – ½ – 1; dll. Modus seperti ini dipakai dalam jenis musik seperti: musik etnik, yaitu musik yang disajikan oleh sekelompok masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan identitas dan ciri khas budaya mereka dari generasi ke generasi; musik tradisional, yaitu musik yang disajikan dan dimainkan dengan cara yang sama dari generasi ke generasi dan biasanya mengacu kepada musik formal, misalnya untuk acara tertentu; musik rakyat, yaitu musik yang berasal dari kehidupan sehari-hari masyarakat awam, seperti nyanyian nina-bobo, lagu anak-anak, lagu balada, dll. Musik dari China, India, Afrika, American-Indian Utara menggunakan modus masing-masing.3 Di samping modus-modus yang sudah ada selama ratusan tahun dan hidup di masyarakat, sebuah modus yang sudah ada bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ia bisa memunculkan nuansa yang sedikit berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan mengubah pola interval (menambah atau menguranginya) di dalam rentang satu oktaf di dalamnya, sehingga Non-Western ialah bermacam-macam budaya yang ada di luar tradisi dan pola yang sudah berkembang di Eropa Barat dan area yang ditinggali oleh bangsa Eropa Barat. W singkatan “Whole tone” artinya satu tone; H singkatan “Half tone” artinya setengah tone 2
terciptalah sebuah modus baru. Jadi, dari satu modus bisa diturunkan menjadi modus lain yang jumlahnya bisa menjadi sangat banyak. Modus-modus baru itu sengaja diciptakan para komposer demi mewujudkan idealisme mereka tentang sebuah karya baru. Claude Debussy (th.1862 – 1918), misalnya, mengembangkan modus pentatonik oriental dan modus wholetone, yaitu rangkaian not yang memiliki jarak interval satu tone pada seluruh susunan tangga nadanya, demi membangkitkan suasana yang eksotis pada karya-karyanya. Komposer Schoenberg (th. 1874 – 1951) menciptakan sistem dodecaphonic sebagai dasar untuk menciptakan karya musiknya yang sangat ekspresif. Dodecaphonic (berasal dari bahasa Yunani dodeca + phone yang berarti 12 bunyi) adalah penggunaan melodi dan harmoni kromatik yang sangat ekstrim yang tujuannya untuk menghindari kesan mayor dan minor. Proses terbentuknya sebuah modus baru ternyata bisa dilakukan dengan sangat unik, bukan dengan sembarangan, melainkan dengan alasan-alasan tertentu yang kadang-kadang tidak bisa dijelaskan secara logis tetapi sangat menarik. Modus mayor-minor (yang dikenal di dalam teori musik sebagai tonalitas mayor dan minor) terbentuk dengan cara yang sangat unik juga. Ia tidak muncul begitu saja, melainkan berproses dari sesuatu yang “hendak dihindari” dan akhirnya berkembang menjadi modus yang mantap dan digunakan hingga masa kini. B. Metodologi Untuk menjelaskan proses terbentuknya modus mayor dan minor dari modus gereja ini penulis mennggunakan metode deskriptif dengan cara mengkaji berbagai pustaka dari berbagai sumber secara komprehensif. Selanjutnya, data yang diperoleh diolah dan disusun secara sistematis untuk menjadi sebuah tulisan ilmiah yang informatif. C. Pembahasan 1. Plainsong dan Modus gereja Nyanyian Kristen, yang lazim disebut dengan istilah plainsong, plainchant dan Gregorian chant, adalah musik utama dari peradaban Barat yang berusia hampir seribu tahun. Di samping merupakan bentuk musik Kristen yang paling tua dan paling banyak dipakai, plainsong ini penting karena merupakan akar utama dari musik polifoni religius pada era Abad Pertengahan dan Renaisans. Plainsong memiliki ciri-ciri umum antara lain: (1) bertekstur monofoni, artinya hanya menggunakan satu suara saja. Ini menunjukkan bahwa sebuah melodi tunggal sakral bisa dinyanyikan oleh satu orang secara tunggal atau oleh paduan suara yang masing-masing anggotanya menyanyikan suara yang sama; (2) menggunakan “modus” (didasarkan pada modus gereja); (3) biasanya dinyanyikan secara a capella (tanpa menggunakan instrumen pengiring); (4) non-metric (tidak menggunakan tanda birama maupun garis birama), (5) menggunakan irama prosa yang bebas dan luwes (bukan seperti puisi), (6) melodi bergerak bersambungan (gerakan melangkah, sedikit melompat), (7) memiliki ambitus terbatas, yaitu not terendah tidak terlalu rendah, not tertinggi tidak terlalu tinggi, (8) dinyanyikan dalam bahasa Latin (namun kini terjemahannya yang dinyanyikan), dan (9) ditulis dengan notasi khusus yang disebut neumatic notation.
3
ini adalah contoh plainsong
Selama masa-masa milenium pertama dari kekristenan, plainsong memiliki banyak variasi. Ada banyak gaya yang diturunkan dari upacara liturgis yang berbeda. Plainsong berkembang menjadi lima aliran utama: 1. Byzantine chant, yang pengaruhnya besar terhadap plainsong dan pada akhirnya menjadi nyanyian yang digunakan oleh Gereja Orthodox Yunani, 2. Ambrosian chant, dinamai menurut uskup dari Milan yang hidup pada abad keempat masehi dan dikenal karena model himne dan nyanyian antifonalnya, 3. Gallican chant, yang digunakan oleh kelompok Frank pada abad VIII, 4. Mozarabic chant yang digunakan di Spanyol oleh karena pengaruh bangsa Moor pada abad VIII, dan 5. Gregorian chant, yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menggantikan seluruh plainsong. Gregorian chant dinamai menurut nama Gregorius Agung, yaitu seorang paus yang hidup pada abad ke-6 yang berjasa mengumpulkan plainsong menjadi satu kesatuan yang utuh. Akhirnya, Gregorian chant mendominasi seluruh plainsong bersamaan dengan Roma yang menjadi pusat kekristenan Barat.4 Teori plainsong yang berkembang pada Abad Pertengahan didasari atas sistem tangga nada yang disebut modus. Pada masa Abad Pertengahan modus tersebut dikenal sebagai “modus gereja”. Tangga nada ini disadur dari tangga nada yang digunakan oleh orang Yunani kuno dan teoretikus musik Abad Pertengahan mengadopsi seluruh sistem musik Yunani ini, hanya saja namanya agak berbeda. Hingga abad enambelas ada delapan modus gereja yang dikenal, masing-masing memiliki jangkauan nada (ambitus) satu oktaf. Tiap-tiap modus terdiri atas delapan nada seperti yang terdapat dalam tangga nada C mayor masa kini atau delapan tuts putih dari piano yang dimulai dari tuts C. Kedelapan modus itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Modus Otentik, yang memiliki ambitus (wilayah nada) mulai dari nada finalis hingga satu oktaf ke atas. Nada finalis ialah nada tonik dan nada akhir dari plainsong. Ada empat modus otentik yang namanya diambil dari bahasa Yunani: Dorian, nada finalisnya D; Phrygian, nada finalisnya E; Lydian, nada finalisnya F; Mixolydian, nada finalisnya G. 2. Modus Plagal, yang ambitusnya sama dengan modus otentik, hanya saja dimulai dari satu kwart di bawah atau satu kwint di atas nada finalis. Ada empat modus plagal: hypodorian, dengan nada finalis “D”; hypophrygian, dengan nada finalis “E”; hypolydian, dengan nada finalis “F”; hypomixolydian, dengan nada finalis “G”. Kedelapan modus itu digabungkan dan diberi nomor. Nomor ganjil untuk modus otentik; nomor genap untuk modus plagal, jadi: (1) Dorian, (2) Hypodorian, (3) Phrygian, (4) Hypophrygian, (5) Lydian, (6) Hypolydian, (7) Mixolydian, (8) hypomixolydian.
4
Gambar modus gereja ; huruf “f” berarti nada finalis
Jika diperhatikan interval pada setiap modus berbeda, inilah yang menyebabkan nyanyian yang didasari oleh modus tertentu akan berbeda nuansanya dengan nyanyian yang didasari oleh modus lain. Berikut adalah daftar interval dari modus otentik: Nama Modus
tangga nada (dilihat pada tuts putih piano)
Dorian Phrygian Lydian Mixolydian
d–e–f–g–a–b–c–d e–f–g–a–b–c–d–e f–g–a–b–c–d–e–f g–a–b–c–d–e–f–g
interval (dalam tone) 1–½–1–1–1–½–1 ½–1–1–1–½–1–1 1–1–1–½–1–1–½ 1–1–½–1–1–½–1
Dalam banyak hal plainsong dari abad pertengahan ini masih bisa didengarkan di biara-biara pada masa kini, dan para komposernya ialah orang-orang kudus abad pertengahan. Banyak terdapat file atau manuskrip tentang plainsong sejak tahun 890. Di samping musik liturgi, yakni musik yang digunakan untuk ibadah, terdapat juga macammacam variasi dari musik non-liturgis yang monofoni yang ditulis berdasarkan tema-tema sakral, biasanya ditulis dalam bahasa Latin. Ini biasa disebut musik para-liturgis. Walaupun plainsong membentuk tubuh musik abad pertengahan yang hidup dan jumlahnya paling banyak, namun menjelang akhir abad duabelas tekniknya mulai memudar. Artinya ada plainsong baru yang mirip dengan plainsong lama dan tercatat berkembang pesat dalam musik Barat, itu ada di dalam gubahan sajak dan polifoni sekuler. Selanjutnya, sejarawan musik lebih berfokus kepada polifoni karena perkembangan polifoni menuju kepada kelahiran harmoni Barat.5 Musica Ficta Sering dikatakan dalam konteks organum awal sekitar abad IX hingga X bahwa interval kwint sempurna (mis.: F – C) dan kwart sempurna (mis.: F – Bb) sangat mendominasi. Artinya kedua interval tersebut sering sekali dinyanyikan, bahkan penyanyi sangat hafal terhadap kedua interval itu. Di samping interval-interval yang sudah ada dan lazim digunakan, terdapat pula interval lain yang sulit dinyanyikan dan kerap kali dihindari oleh penyanyi. Interval itu ialah interval “augmented 4”. Interval augmented 4 adalah interval yang terdiri atas 3 buah whole tone (mis.: F– B, C – F#, D – G#), kadang-kadang augmented 4 disebut juga diminished 5 (mis.: F – Cb, C – Gb, D – Ab). Karena ia terdiri atas tiga buah interval berjarak satu tone (whole tone) maka interval ini disebut “tritonus”.
5
gambar interval Augmented 4
gambar interval diminished 5
Dalam praktik bernyanyi, tritonus sulit dinyanyikan dan bunyinya dianggap mengganggu, oleh karena itu harus dihindari, baik dalam menyusun akor maupun membangun sebuah melodi. Para teoretikus musik masa Abad Pertengahan menyebut tritonus ini sebagai diabolus in musica atau “iblis di dalam musik” dan menolak progresi melodi yang menggunakannya di dalam musik gereja. Konon, di sekolah-sekolah Jerman pada masa Bach hidup apabila ada murid sekolah musik yang dengan tidak sengaja menyanyikan tritonus maka ia akan dihukum di depan kelas dengan cara buku-buku jarinya dipukul dengan rotan.6 Di dalam nyanyian gereja potensi terjadinya interval tritonus memang sangat besar. Oleh karena itu, apabila hal ini terjadi maka segera ia dinetralisir dengan menggunakan musica ficta. Musica ficta (disebut juga musica falsa) adalah istilah praktis yang digunakan untuk menyebut not beralterasi (not yang sudah berubah karena diturunkan atau dinaikkan) yang disisipkan ke dalam modus gereja murni. Di dalam musik Abad Pertengahan musica ficta adalah not yang tidak terdapat di dalam tangga nada yang mula-mula diperkenalkan oleh seorang teoretikus musik dari Itali, Guido d’Arezzo (th.990 – 1050) pada abad kesebelas. Tangga nada itu disebut hexachord yang terdiri atas “ut (do), re, mi, fa, sol, dan la”, jarak antarnadanya masing-masing adalah satu tone, kecuali antara mi dan fa yang berjarak ½ tone. Sistem hexachord ini merupakan elemen inti dari praktik dan budaya musik di Eropa pada Abad Pertengahan dan terus berpengaruh hingga pada zaman Renaisans awal abad XVII.7 Lawan dari musica ficta adalah musica recta, yaitu not-not yang hanya dikenal dalam tangga nada Guido d’Arezzo. Pengertian asli dari musica ficta ini sekarang jarang sekali digunakan. Istilah ini berarti tanda alterasi (tanda perubahan nada kruis dan mol) yang tidak dituliskan pada manuskrip aslinya tetapi langsung dinyanyikan oleh penyanyi menurut kebiasaan menyanyi pada zaman itu. Walaupun sebagian musik sakral Abad Pertengahan (Gregorian Chant) menggunakan not ficta ini, tetapi tanda aksidental tidak pernah ditunjukkan. Oleh karena itu, teknik yang digunakan oleh penyanyi polifoni musik gereja yang berpengalaman ialah dengan spontan menaikkan atau menurunkan nada pada saat menyanyi agar nada kembali ke recta, tujuannya untuk memperindah bunyi. Penggunaan ficta terutama berkembang pada musik monofoni dan polifoni sekuler. Tidak ada kewajiban bagi penulis lagu untuk menuliskan ficta ini pada partitur. Pengenalan nada yang “salah” atau falsa diserahkan kepada pemain atau penyanyi. Kemudian, istilah musica ficta ini mengalami perkembangan, yaitu penambahan tanda aksidental (kruis, mol dan natural) oleh penyanyi atau pemain terhadap not tertentu. Selain untuk menghindari interval augmented dan diminished penggunaan ficta ialah agar penyanyi dapat menyanyi dengan mengalir dan stabil. Penggunaan tanda alterasi kromatis yang kelewat banyak dalam musik polifoni menyebabkan modus gereja menjadi kabur, walaupun praktik ini masih bertahan hingga abad ke-16.8 Johannes de Garlandia mengatakan bahwa musik yang salah atau falsa terjadi jika not satu tone diubah menjadi setengah tone atau sebaliknya. Sebutan musica falsa muncul terlebih dahulu daripada musica ficta walaupun keduanya sinonim.9 Berkaitan dengan musica 6
ficta ini ada satu aturan yang perlu dicatat yaitu bahwa musica ficta tidak pernah digunakan kecuali apabila memang diperlukan baik karena causa necessitatis (karena kebutuhan) maupun karena causa pulchritudinis (karena alasan keindahan). Penggunaan Musica Ficta Musica ficta digunakan untuk alasan melodis dan harmonis. Untuk alasan melodis, pada interval F – B misalnya, musica ficta digunakan untuk menghindari melodi tritonus, jadi not F di-kruis-kan menjadi F#, atau not B di-mol-kan menjadi Bb), jadi tritonus terhindari. Prinsip yang sama berlaku untuk seluruh melodi yang berpotensi terjadi tritonus. Untuk alasan harmonis, Ugolino d'Orvieto menyebut demikian: (1) interval kwint, oktaf dan duabelas (kwart tinggi) haruslah sempurna (perfect). Apabila pada pergerakan polifoni muncul interval diminished maka ia harus dinaikkan setengah tone agar menjadi interval sempurna; (2) interval terts yang bergerak melangkah membentuk kwint dan interval sekst yang bergerak melangkah membentuk oktaf seharusnya mayor (terts mayor dan sekst mayor); interval terts yang melangkah menyempit membentuk unisono, sebaiknya minor (terts minor). Kalau hal itu tidak terjadi maka interval-interval tersebut harus dialterasikan. Interval sekst minor yang bergerak melangkah menjadi oktaf tidak boleh terjadi, maka harus diubah menjadi sekst mayor.10 Tritonus Ada dua fakta tentang tritonus. Tritonus dianggap mengganggu baik ketika ia didapati secara langsung, maupun secara tidak langsung (disisipi oleh beberapa not). Tritonus dianggap tidak mengganggu apabila ia diselesaikan dengan benar. Jika seorang penyanyi menyanyikan nada F melompat ke nada B lalu ia terus bergerak naik, maka tritonus boleh tetap ada di sana; akan tetapi, apabila penyanyi alih-alih bergerak naik ia malah kembali menuju nada F maka tritonus harus dikoreksi dengan menurunkannya dengan menggunakan tanda “b” (baca: mol), sehingga menjadi nada Bes. Pada kasus pertama tritonus dianggap tidak mengganggu oleh karena fungsinya sebagai non-harmonic tone, yaitu interval augmented yang menyebabkan terbentuknya tritonus segera diselesaikan dengan menaikkan setengah tone menuju ke interval yang lebih lebar, yaitu kwint sempurna. Ada cerita yang berkembang pada Abad Pertengahan tentang tritonus yang dikaitkaitkan dengan Trinitas. Sebutan “iblis di dalam musik” berarti bahwa ada sesuatu yang janggal dan jahat telah merasuk di dalam musik itu sendiri. Gagasan ini muncul dari ide Plato tentang keharmonisan dalam alam semesta, yaitu ketika prinsip-prinsip harmoni diterapkan dalam proses penciptaan alam semesta setan menyelinap dan merusak citra Trinitas, oleh karena sudah rusak maka bunyi tritonus dianggap “menyeramkan” dan selalu dihindari.11
7
Lahirnya Mayor dan Minor Telah disinggung di atas bahwa praktik musik Abad Pertengahan menggunakan modus gereja yang masing-masing memiliki ciri khas tertentu sehingga nuansa nyanyian pun sangat khas. Modus Mixolydian misalnya memberikan nuansa sedih dan berduka; modus Dorian bersifat tenang; modus Phrygian memberikan semangat, dll. Tujuh dari delapan modus gereja diberi nama identik dengan nama-nama modus yang digunakan dalam teori musik Yunani kuno: Dorian, Hypodorian, Phrygian, Hypophrygian, Lydian, Hypolydian, dan Mixolydian; sedangkan nama Hypomixolydian diadaptasi dari Yunani. Berikut ini adalah tabel dari nama modus gereja berikut nada finalis dan cofinalis-nya.12 Modus Gereja I. Modus Otentik
Dorian Phrygian Lydian Mixolydian
Istilah Modern
Not dalam urutan naik
Dorian Phrygian Lydian Mixolydian
|D| |E| |F| |G|
Istilah Modern
Not dalam urutan naik
Aeolian Locrian Ionian Dorian
A B C D
E F G A
F G A B
G A B C
(A) B C B (C) D (C) D E (D) E F
D E F G
II. Modus Plagal
Hypodorian Hypophrygian Hypolydian Hypomixolydian
B C D E
C D E F
|D| |E| |F| |G|
E F G A
(F) G (A) B
G (A) B (C)
A B C D
Not yang ada di dalam garis tegak |…| adalah nada “finalis” yaitu nada “tonika” menurut istilah teori musik sekarang; not yang ada di dalam tanda kurung (…) adalah not “cofinalis” atau yang biasa disebut “dominan” untuk teori musik modern. Ketika menyanyikan sebuah chant dalam modus tertentu cofinalis seringkali digunakan sebagai tonika kedua. Dalam teori harmoni konvensional, nada tonika yang naik menuju dominan selalu membentuk interval kwint. Di antara beberapa modus otentik, modus Phrygian terlihat menyimpang dari aturan. Not yang terlihat di atas (not C) tidak boleh dianggap sebagai pitch yang absolut, karena pada masa itu konsep dan standar tentang pitch yang absolut belum berkembang. Modus gereja hendaknya dipahami benar sebagai rangkaian atau urutan interval (bukan well tempered1),
1 Well tempred adalah metode yang digunakan untuk membagi interval not dalam jarak satu dan setengah tone seperti yang sudah distandartkan pada tuts-tuts piano: mislanya interval C – C# berjarak ½ tone; C – D berjarak 1 tone; dst.
8
ambitus, nada finalis dan cofinalis-nya. Juga perlu dicatat bahwa sebuah modus secara teoritis diturunkan dari praktik.13 Penggunaan modus gereja yang sangat ketat ini lambat-laun diperlemah oleh munculnya nada Bb. Not Bb (dibaca “bes” atau “B mol” artinya B yang diperlunak) ini tidak ada di dalam modus gereja. Ia dimunculkan karena musisi Abad Pertengahan selalu ingin menghindari tritonus F – B. Jarak interval tiga buah whole-tone (tritonus) yang terdapat dalam F – B ini sangat bertentangan dengan jarak interval kwart sempurna (Perfect fourth) yang terdapat pada F – Bb. Penggantian Bb terhadap B mengubah karakter dari sebuah modus. Misalnya, modus Lydian yang terdiri atas not: F – G – A – B – C – D – E – F (yang jaraknya berturut-turut adalah: 1 – 1 – 1 – ½ – 1 – 1 – ½ tone) diubah jarak interval nadanya dengan cara menggantikan not B dengan not Bb. Dengan demikian terbentuklah modus baru dengan urutan not sbb.: F – G – A – Bb – C – D – E – F (yang jaraknya berturut-turut adalah: 1 – 1 – ½ – 1 – 1 – 1 – ½ tone); modus Dorian dengan not: D – E – F – G – A – B – C – D (interval: 1– ½ – 1 – 1 – 1 – ½ – 1 tone), berubah menjadi: D – E – F – G – A – Bb – C – D (interval: 1– ½ – 1 – 1 – ½ – 1 – 1 tone). Walaupun sudah terbentuk modus baru teoretikus musik abad Pertengahan selama berabad-abad tetap menganggap ini merupakan varian dari modus Lydian dan Dorian. Keengganan untuk mengakui hadirnya modus baru ini tercermin dari munculnya praktik musica ficta seperti yang dijelaskan di atas, yaitu notasi musik yang digunakan dalam nyanyian tetap patuh mengikuti sistem modus gereja tetapi penyanyi menyesuaikan dirinya dengan cara menyisipkan kruis (menaikkan ½ tone) dan mol (menurunkan ½ tone) terhadap sebuah not tertentu agar mudah dinyanyikan dan kedengaran enak. Perkembangan yang muncul di antara abad ke-12 dan abad ke-16 menghasilkan sebuah perubahan radikal dalam teori modus: masuknya musik rakyat (folk music) ke dalam bentuk seni gereja dan sekuler dan terus berkembangnya bentuk-bentuk harmoni ikut menyumbang bagi terbentuknya tekstur musik polifoni yang kompleks. Heinrich Loris, yang nama samarannya adalah Henricus Glareanus, di dalam bukunya Dodecachordon (1547; “dodeca” berasal dari bahasa Yunani dōdeka berarti “duabelas” dan “chordon” dari kata chordē berarti “dawai”) memperluas sistem delapan modus gereja dengan menambahkan empat modus lagi, yaitu: Aeolian, Hypoaeolian, Ionian, dan Hypoionian. Modus Aeoloian dan Hypoaeolian memiliki nada finalisis “a”; modus Ionian dan Hypoionian memiliki nada finalisis “c”. Modus Aeolian memiliki urutan not: a – b – c – d – e – f – g – a (yang jaraknya berturut-turut adalah: 1 – ½ – 1 – 1 – ½ – 1 – 1 tone); modus Ionian: c – d – e – f – g – a – b – c (interval: 1 – 1 – ½ – 1– 1– 1– ½); modus Hypoaeolian: e – f – g – a – b – c – d – e (interval: ½ – 1– 1– 1– ½ – 1– 1); modus Hypoionian: g – a – b – c – d – e – f – g (interval: 1– 1– ½ – 1– 1 – ½ – 1). Modus Ionian ini sama dengan tangga nada mayor; modus Aeolian sama dengan tangga nada minor masa kini. Keduabelas modus yang dipakai dalam buku Dodecachordon itu terdiri atas nada finalisis yang disebut tonal center pada C, D, E, F, G dan A tanpa penambahan not beralterasi, baik dikruis maupun dimolkan. Sesungguhnya Glareanus juga menyebutkan dua modus lagi, yaitu Locrian dan Hypolocrian yang memiliki nada finalis atau pusat tonal “B”. Modus 9
Locrian memiliki urutan not: b – c – d – e – f – g – a – b (interval: ½ – 1– 1– ½ – 1 – 1 – 1); Hypolocrian memiliki urutan not: f – g – a – b – c – d – e – f (interval: 1– 1– 1 – ½ – 1 – 1 – ½). Akan tetapi karena dalam modus Locrian antara nada finalis “b” dan interval kwint di atasnya “f” berjarak tritonus, maka kedua modus ini tidak dipakai dan untuk praktisnya hanya 12 modus yang digunakan. Perkembangan musik polifoni yang makin kompleks menyebabkan antara kelompok modus otentik dan plagal tidak jelas lagi perbedaannya, akhirnya jumlah modus dikurangi lagi menjadi enam. Selanjutnya, perkembangan musik seni di belahan bumi Barat ditandai oleh lambat laun ditinggalkannya modus gereja yang sudah tua usianya itu dan berpaling kepada sistem mayor dan minor yang mendominasi musik abad XVIII dan XIX. Sistem ini disebut tonal. Namun, pada abad XX komposer menghidupkan kembali modus gereja yang berusia tua ini, lagu-lagu rakyat kadang-kadang menggunakan modus gereja juga yang disebut modal. Lalu sampai kapankah modus mayor dan minor ini sanggup bertahan? Walahualam ...
10
11
1 Nicolas Slonimsky, Webster's New World Dictionary of Music (New York: Schirmer Books, 1998), 328 2 Christine Ammer, The Facts on File Dictionary of Music (New York: Facts on File, Inc., 2004), 245. 3 Robert Hickok, Exploring Music (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, 1979), 35, 36 4 Hugh M. Miller, History of Music (The Barnes & Noble Outline, tt), 14-15 5 www.medieval.org/emfaq/begin1st/nocds.html, diakses 19 Pebruari 2015 6 Nicolas Slonimsky, Webster's New World Dictionary of Music (New York: Schirmer Books, 1998), 554 7 www.medieval.org/emfaq/harmony/hex.html, diakses 19 Pebruari 2015 8 Theodore Karp, “Musica Ficta” (www.britannica.com/EBchecked/topic/399109/musica ficta), diakses 1 Pebruari 2015 9 Gustav Reese, Music in the Middle Ages (New York: W.W. Norton Company), 380 10 Gustav Reese, Music in the Middle Ages (New York: W.W. Norton Company), 381 11 www.diabolus.org/explanation.htm , diakses 1 Pebruari 2015 12 Donald Jay Grout, A History of Western Music (revised edition) (W. W. Norton, 1973) 13 http://graham.main.nc.us/-bhammel/MUSIC/Cmodes.html, diakses tanggal 4 Pebruari 2015