LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI ORAL II
Topik
: Identifikasi Rasa Nyeri
Tgl. Praktikum : Kamis, 15 Februari 2018
Kelompok : Syafira Hasnarani P. Hana Fajrin Mardatilla R. Yuline Krishartini Devalna Siwi Ichyana RM Haffiyan Satria P. D. Elvina Hasna Wijayanti Muhammad Aulia Rafi Ardhito Fianza Rezkita Herdina Saraswati R. P. Qintan Sekar Adjani Firlana Cahyareni
021611133122 021611133123 021611133124 021611133125 021611133126 021611133127 021611133128 021611133130 021611133132 021611133133 021611133134 021611133135
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS AIRLANGGA 2018 PENDAHULUAN
Rasa nyeri merupakan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan, akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan pada jaringan. Rasa nyeri tidak selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan, namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Tingkat rasa nyeri dapat dikelompokkan atas nyeri noxious (mengganggu,ringan), nyeri distracting (sedang), nyeri disabling (berat) dan nyeri worst (berat (berat sekali).
Rasa nyeri merupakan stressor yang diteruskan ke cortex cerebri, merangsang sistem saraf simpatis dan kelenjar hipofisis anterior. Rangsang simpatis akan merangsang kelenjar adrenal menghasilkan norepineprin dan epinephrine, hipofisis anterior akan merangsang kelenjar korteks adrenal menghasilkan hormon glukokortikoid. Reseptor untuk rasa nyeri adalah Free Nerve Ending yang merupakan ujung saraf nosiseptor afferen. Impuls rasa nyeri dihantarkan ke sistem saraf pusat (SSP) oleh dua macam serat saraf: 1. Serat A.δ, diameter kecil 2.5µm, kecepatan hantaran 12-30m/detik, menghantarkan impuls reseptor dingin, nyeri (nosiseptor) dan impuls mekanoreseptor. 2. Serat C, diameter kecil sekali 0,4-1,2 µm, kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik, menghantarkan nyeri lambat, suhu dan impuls mekanoreseptor.
TUJUAN
a. Tujuan Umum
1
Mampu menjelaskan mekanisme dasar respon nyeri terutama yang berkaitan dengan teori nyeri orofasial. b. Tujuan Khusus 1. Mendapatkan besar intensitas rangsangan sinar pada keadaan normal (tanpa perlakuan). 2. Mendapatkan besar intensitas rangsangan sinar pada beberapa perlakuan. 3. Membandingkan besar intensitas rangsangan sinar pada keadaan normal dengan besar intensitas sinar pada masing - masing perlakuan. ALAT BAHAN
Alat 1. Lampu infrared 2. Spidol 3. Stopwatch
(1)
(2)
(3)
Bahan 1. Balsem 2. Analgesik topikal 3. Obat parasetamol
2
CARA KERJA
Pada praktikum ini dilakukan percobaan dengan memberikan rangsangan nyeri berupa rangsangan lampu infra red pada permukaan kulit. 1. Membuat lingkaran hitam pada daerah lengan mahasiswa coba menggunakan spidol hitam. 2. Mengarahkan lampu infrared pada daerah lingkaran hitam pada lengan mahasiswa coba. 3. Menyinari permukaan kulit mahasiswa coba selama waktu tertentu. 4. Mencatat gejala subjektif yang disampaikan mahasiswa coba (misalnya rasa hangat, tertusuk tusuk, bahkan sampai merasakan nyeri dan juga gambaran klinis seperti normal, kemerahan, berkeringat atau lainnya) setiap 1 detik. 5. Melakukan perlakuan serupa dengan perlakuan pengalihan perhatian, pemberian balsem, pemberian analgesik topikal, dan pemberian obat parasetamol pada mahasiswa coba. 6. Melakukan perlakuan serupa pada mahasiswa coba 2 dengan jenis kelamin yang berbeda. HASIL PRAKTIKUM
1. Mahasiswa coba 1 (Perempuan; Firlana)
Perlakuan
Menit ke
Hasil Pengamatan (menit) Gejala Subyektif
Kontrol
Gambaran Klinis
1
Panas sekali
Kemerahan
2
Sudah mulai terasa nyeri
Bintik kemerahan
3
Nyeri
Bintik kemerahan
3
Pengalihan Perhatian
Pemberian Balsem
Pemberian Analgesik Topikal
4
Panas
Kemerahan
5
Panas, tertusuk-tusuk
Bintik kemerahan
6
Panas, tertusuk-tusuk
Bintik kemerahan
7
Panas menjalar ke telapak tangan
Bintik kemerahan
8
Rasa tertusuk-tusuk mulai hilang
Bintik kemerahan
9
Tidak ada perubahan
Bintik kemerahan
10
Tidak ada perubahan
Bintik kemerahan
11
Panas, tertusuk-tusuk
Bintik kemerahan
12
Nyeri
Bintik kemerahan
1
Belum terasa panas
Kemerahan
2
Belum terasa panas
Kemerahan
3
Hangat
Kemerahan
4
Hangat
Kemerahan
5
Lebih hangat
Kemerahan +
6
Nyeri, tertusuk-tusuk
Kemerahan ++
1
Hangat
Kemerahan
2
Lebih hangat
Kemerahan
3
Lebih hangat, mulai panas
Kemerahan
4
Lebih hangat, mulai
Kemerahan sampai
4
Pemberian Paracetamol
panas
gosong
5
Nyeri, tertusuk-tusuk
Tampak hitam, vasodilatasi
1
Belum ada perubahan
Kemerahan
2
Sedikit hangat
Kemerahan
3
Sedikit hangat
Kemerahan
4
Hangat
Kemerahan
5
Hangat, tertusuk-tusuk
Kemerahan +
6
Nyeri, gatal
Kemerahan ++, muncul bintil
2. Mahasiswa coba 2 (Laki-laki; Rafi)
Perlakuan
Menit ke
Hasil Pengamatan (menit) Gejala Subyektif
Kontrol
Gambaran Klinis
1
Panas
Kemerahan
2
Panas
Kemerahan
3
Panas
Kemerahan
4
Panas
Kemerahan
5
Panas
Kemerahan
6
Panas
Kemerahan
7
Panas
Kemerahan +
5
Pengalihan Perhatian
Pemberian Balsem
8
Panas
Kemerahan ++
9
Panas
Kemerahan ++
10
Nyeri
Kemerahan +++
1
Panas
Kemerahan
2
Panas
Kemerahan
3
Panas di sekeliling lingkaran
Kemerahan
4
Tidak ada perubahan
Kemerahan
5
Lebih panas
Kemerahan
6
Lebih panas
Kemerahan
7
Lebih panas
Kemerahan
8
Lebih panas
Kemerahan +
9
Lebih panas
Kemerahan ++
10
Lebih panas
Kemerahan ++
11
Lebih panas
Kemerahan ++
12
Panas, nyeri
Kemerahan +++
1
Belum panas
Kemerahan
2
Tidak ada perubahan
Kemerahan +
3
Hangat
Kemerahan ++
4
Hangat, nyeri
Kemerahan ++
6
Pemberian Analgesik Topikal
Pemberian Paracetamol
1
Belum panas
Kemerahan
2
Belum panas
Kemerahan
3
Belum panas
Kemerahan
4
Hangat
Kemerahan +
5
Hangat
Kemerahan +
6
Panas
Kemerahan ++
7
Panas, nyeri
Kemerahan ++
1
Belum ada perubahan
Kemerahan
2
Belum ada perubahan
Kemerahan
Hangat, tertusuk-tusuk
Kemerahan +
4
Panas
Kemerahan ++
5
Panas
Kemerahan ++
6
Panas, nyeri
Kemerahan ++, muncul bintil
3
TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran terhadap kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Nociceptor memiliki nilai bagi kelangsungan hidup sehingga nociceptor tidak
beradaptasi terhadap stimulasi yang berulang atau berkepanjangan. Memori dari suatu pengalaman yang menimbulkan rasa nyeri dalam ingatan setiap orang dapat membantu seseorang untuk menghindari kejadian – kejadian yang berpotensi membahayakan di masa mendatang (Sherwood, 2014 p.207).
7
2. Nyeri Orofasial
Nyeri Oofasial adalah bidang kedokteran gigi yang ditujukan untuk diagnosis dan penanganan penyakit kronis, kompleks, nyeri wajah dan gangguan oromotor (American Academy of Orofacial Pain, 1997; dan Okeson, JP., 1995). Keistimewaan kedokteran gigi ini telah berkembang selama beberapa tahun karena kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik tentang sekelompok pasien yang entah bagaimana tidak secara jelas menderita gangguan rasa sakit gigi, namun tetap saja tampaknya tidak memiliki masalah medis yang jelas (American Academy of Orofacial Pain, 1997). Nyeri Orofasial, seperti rasa sakit di tempat lain di tubuh, biasanya akibat kerusakan jaringan dan pengaktifan nociceptors, yang menularkan rangsangan berbahaya ke otak (Vickers, ER dan Cousins, MJ., 2000).
Gambar 2.1 Mekanisme Penjalaran Nyeri pada Sistem Trigeminal (Conti, PCR., et al, 2003). Sensasi rasa nyeri dari struktur intraoral dan ekstraoral kepala dan wajah dibawa ke Central Nervous System (SSP) oleh sistem trigeminal (American Academy of Orofacial Pain, 1997; dan Okeson, JP., 1995). dibanding satu jalur saraf tunggal, istilah "sistem trigeminal" mengacu pada susunan kompleks serat transmisi, interneuron, dan koneksi sinapsis yang memproses informasi yang masuk dari tiga divisi saraf trigeminal. Saraf trigeminal adalah saraf campuran
8
yang mengandung serat sensorik dan motorik. Serabut sensorik menginervasi bagian anterior wajah, gigi, selaput lendir rongga mulut dan hidung, konjungtiva, dura mater otak, dan pembuluh darah intrakranial dan ekstrasranial. Serat motor memasok otot pengunyahan. Informasi sensorik dari wajah dan mulut (kecuali proprioception) dilakukan oleh neuron aferen primer melalui ganglion trigeminal sampai sinaps dengan neuron orde kedua di kompleks batang otak trigeminal. Sementara kompleks ini menerima masukan aferen terutama dari saraf trigeminal, ia juga menerima akson aferen dari nervus wajah, glossopharyngeal, vagus, dan serviks bagian atas (C2, C-3). (Hubungan antara saraf serviks bagian atas dan inti saluran tulang trigeminal mungkin merupakan mekanisme yang terlibat dalam nyeri wajah dan sakit kepala.) Kompleks nuklir sensorik otak trigeminal dapat dipisahkan menjadi inti sensorik trigeminal utama dan inti saluran tulang trigeminal, yang juga dikenal sebagai inti dari jalur turun dari saraf kranial V (Cooper BY, dan Sessle BJ, 1992). Inti saluran tulang belakang terdiri dari tiga proses nuklei terpisah dalam rostral (superior) ke arah kaudal (inferior): subnukleus oralis, subnukleus interpolaris, dan subnukleus caudalis. Subnukleus caudalis, yang paling caudal, terletak di medula, kadang-kadang meluas ke tingkat C2 atau C3 dan merupakan lokasi relay utama otak dari informasi nociceptive yang timbul dari daerah orofasial. Karena nukleus caudalis kontinu dengan, dan secara struktural mirip dengan, tanduk dorsal sumsum tulang belakang, dan karena juga meluas ke medula, ini sering disebut sebagai modullary dorsal horn (Merrill RL, 1997). Kedua
sinyal
nociceptive
yang
masuk
ke
subnukleus
caudalis
dan
memproyeksikan sinyal nociceptive dalam perjalanan mereka ke thalamus dapat dimodifikasi (dimodulasi) dengan menurunkan serabut saraf dari tingkat SSP yang lebih tinggi atau dengan obat-obatan. Menurut Okeson (2008), nyeri daerah orofasial termasuk system stomatognatik diklasifikasikan dalam dua sumbu (aksis), yaitu sumbu I yang mendeskripsikan kondisi fisik dan sumbu II yang mendeskripsikan kondisi psikologis. Sumbu I mendeskripsikan kondisi fisik yang bertanggung jawab pada
9
inisiasi impuls nosiseptif. Kondisi ini dapat diklasifikasikan menurut jaringan yang menghasilkan rasa nyeri, yaitu: 1. Nyeri Somatik Nyeri somatik merupakan fenomena nyeri yang kompleks, struktur somatik merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau tulang. Nyeri somatic muncul dari struktur musculoskeletal atau visceral diterjemahkan melalui transmisi nyeri utuh dan sistem modulasi. Contoh nyeri orofasial yang umum dari nyeri musculoskeletal adalah gangguan temporomandibular atau nyeri periodontal. Nyeri somatik terdiri dari: a. Nyeri somatik superfisial Ada dua macam nyeri superfisial, bentuk yang pertama adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajamdan bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai dengan rasa terbakar.Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit pasien. Trauma gesekan, suhu yang terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri orofasial ini (Prasetyo, 2010). b. Nyeri somatik dalam Nyeri somatik dalam biasanya bersifat difus (menyebar)berbeda dengan nyeri superfisial yang mudah untuk dilokalisir. Struktur somatik yang ada di dalam tubuh manusia berbeda-beda intensitasnya terhadap nyeri bagian yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap nyeri antara lain: tendon, fasial dalam, ligament, pembuluh darah, tulang periosteum dan nervus.Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemi dan peregangan.Tulangdan kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan yangekstrim atau stimulasi kimia. Nyeri somatik dalam dapat dibagi mejadi nyeri muskuloskeletal dan nyeri visera (Prasetyo, 2010). 2. Nyeri Neuropatik Nyeri neuropatik adalah nyeri yang diakibatkan ketidaknormalan komponen-komponen dalam sistem saraf sendiri. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. Berbagai penyebab lesi sistem saraf seperti 10
trauma, kompresi, keracunan toksin, gangguan metabolik dan sebagainya. Akibat lesi khususnya pada serabut saraf aferen (SSA), fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya berubah, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivitas SSA menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral) (Meilala, 2003). Nyeri neuropatik merupakan simtomatik dari abnormalitas struktur pada sistem saraf perifer atau pusat nyeri neuropatik, dapat dibagi menjadi dua kategori besar yaitu antara lain: a. Nyeri episodik Nyeri episodik merupakan nyeri yang mempunyai waktu remisi lengkap diantara episode penyakit dan dipacu oleh suatu rangsang. Nyeri episodik terbagi atas nyeri neurovaskuler dan nyeri neuralgia. Kondisi episodik adalah neuralgia paroksismal ditandai dengan tibatiba, nyeri seperti shock yang berlangsung hanya beberapa detik sampai menit. Nyeri episodik diberi nama sesuai dengan saraf yang terkena, seperti neuralgia trigeminal, neuralgia glossopharyngeal, nervus intermedius neuralgia, dan neuralgia laring superior (Yusuf, 2012). b. Nyeri neuropatik kontiniu Nyeri neuropatik kontiniu merupakan nyeri neuropatik yang tidak mempunyai periode remisi dan dibagi menjadi nyeri neuritis, nyeri deferensiasi dan nyeri simpatetikal. Gangguan nyeri neuropatik kontiniu dapat memiliki komponen perifer dan sentral. Gangguan nyeri neuropatik perifer adalah hasil dari perubahan yang telah terjadi di neuron perifer seperti neuritis, neuralgia postherpetic, dan nyeri deferensiasi yang terjadi sekunder terhadap trauma (yaitu pasca operasi
11
neuroma). Nyeri ini seperti rasa terbakar dan pasien melaporkan sensasi abnormal (parastesi) sering yang diperburuk oleh gerakan atau sentuhan (Yusuf, 2012). 3. Nyeri Psikologis Struktur orofasial yang mendasari klasifikasi nyeri orofasial adalah struktur kutaneus dan mukogingival, struktur mukosa, struktur gigi-geligi, struktur muskuloskeletal, struktur visera, dan struktur neural. Sumbu II mendeskripsikan kondisi psikologis yang dapat menghasilkan atau mempengaruhi pengalaman rasa nyeri. Kelainan mental yang termasuk dalam sumbu II adalah kelainan ansietas, kelainan mood, kelainan somatoform, dan kondisi lainnya seperti faktor psikologis yang dipengaruhi oleh kondisi medis. Nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental, emosional atau faktor perilaku. Sakit kepala, back pain, atau nyeri perut adalah contoh yang paling umum. Nyeri ini dianggap sebagai suatu yang tidak nyata, padahal semua nyeri yang dinyatakan pasien adalah nyata (Prasetyo, 2010). 3.
Reseptor Rasa Nyeri
Proses rangsangan yang menimbulkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Serabut saraf ini disebut juga serabut nyeri, sedangkan jaringan tersebut disebut jaringan pekanyeri. Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang, jenis serta sifat rangsangan, serta pada kondisi mental dan fisiknya.10 Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf tidak bermielin A delta dan ujung saraf C bermielin. Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh dengan jumlah terbesar terdapat di kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka, dan sendi. Nosiseptor yang terangsang oleh stimulus yang potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Stimulus ini
12
disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya stimulus noksius ditransmisikan ke sistem syaraf pusat, yang kemudian menimbulkan emosi dan perasaan tidak menyenanggan sehingga timbul rasa nyeri dan reaksi menghindar. Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi 4.
Neurotransmitter Rasa Nyeri
Sebagai respons terhadap potensial aksi yang dipicu oleh rangsangan, serat – serat nyeri aferen akan mengeluarkan neurotransmitter yang memengaruhi
neuron – neuron berikutnya. Dua neurotransmitter yang paling banyak diketahui adalah substansi P dan glutamat. Substansi P, yang unik bagi serat nyeri, mengaktifkan jalur – jalur asendens yang menyalurkan sinyal nosiseptif ke tingkat yang lebih tinggi untuk pemrosesan lebih lanjut. Jalur – jalur nyeri asendens memiliki tujuan bebeda – beda di korteks, talamus, dan formasio retikularis. Daerah pemrosesan somatosensorik di korteks menentukan lokasi nyeri, sementara daerah – daerah korteks lain ikut serta dalam komponen sadar pengalaman nyeri lainnya, misalnya refleksi tentang kejadian (Sherwood, 2014, p.208). Glutamat, neurotransmiter lain yang dikeluarkan dari terminal nyeri aferen primer, adalah neurotransmiter eksitatorik utama. Glutamat bekerja pada dua reseptor membran plasma berbeda di antar neuron eksitatorik tanduk dorsal, dengan dua efek berbeda. Pertama, pengikatan glutamat dengan reseptor AMPA-
13
nya menyebabkan perubahan peermeabilitas yang akhirnya menyebabkan pembentukan potensial aksi di sel tanduk dorsal. Potensial aksi ini menyalurkan pesan nyeri ke pusat – pusat yang lebih tinggi. Kedua, pengikatan glutamat dengan reseptor NMDA-nya menyebabkan masuknya Ca2+ ke dalam sel tanduk dorsal. Jalur ini tidak terlibat dalam transmisi pesan nyeri. Ca2+ memicu sistem caraka kedua yang membuat sel tanduk dorsal lebih peka daripada biasanya. Hipereksitabilitas ini ikut berperan meningkatkan sensitivitas daerah yang cedera terhadap pajanan rangsangan nyeri berikutnya atau bahkan rangsangan tak nyeri biasa, misalnya sentuhan tangan (Sherwood, 2014, p.208). 5.
Mekanisme Penjalaran Rasa Nyeri
Gambar 5.1 Jalur Sensoris Nyeri Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/ transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/ perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999). Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Transduksi/Transduction
14
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan. 2. Transmisi/Transmission Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian
neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. 3. Modulasi/Modulation Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui sarafsaraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor. 4. Persepsi/Perception Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja (McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.
15
6.
Pengaruh Pengalih Perhatian pada Nyeri
Pengalihan perhatian dapat mengubah persepsi nyeri pada seseorang, dilihat dari nilai ambang rasa nyeri pada perlakuan normal dan perlakuan mengalihkan perhatian. Kemampuan mengalihkan perhatian untuk meredakan nyeri didasarkarkan pada teori bahwa apabila ada dua rangsangan yang tepisah, fokus pada salah satunya akan menghilangkan fokus pada yang lain (Price & Wilson, 2006). Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat memengaruhi persepsi nyeri. Upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Pengalihan perhatian ini merupakan salah satu konsep yang di terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri dengan memfokuskan perhatiandan konsentrasi klien pada stimulus yang lain 7.
Pengaruh Balsem pada Nyeri
Dalam praktikum identifikasi nyeri terdapat balsem yang digunakan yaitu Balsem Lang dengan komposisi minyak peppermint 30,45%, camphor 11,10% dan base ad hingga 100%. Bahan aktif pada balsem ini adalah camphor. Camphor adalah zat padat bertekstur seperti lilin berwarna putih dan agak transparan dengan aroma yang khas dan kuat. Zat ini ditemukan dalam kayu tanaman jenis pohon Cinnamomum camphora yang banyak ditemukan di Asia. Camphor dapat langsung diserap melalui kulit dimana ia akan menstimulasi ujung saraf yang peka terhadap panas dan dingin sehingga menimbulkan sensasi dingin jika diaplikasikan dalam jumlah yang sedikit, namun menimbulkan sensasi panas jika diaplikasikan dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan camphor telah dibuktikan dapat mengaktivasi reseptor yang peka terhadap panas yaitu TRPV1 dan TRPV3 sekaligus mengaktivasi reseptor dingin yaitu TRPV8 (Kotaka et al., 2014). Selain itu, camphor juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan aliran darah secara lokal. Camphor yang terdapat dalam balsem yang diaplikasikan secara lokal akan menyebabkan peningkatan aliran darah lokal. Camphor bertindak sebagai counterirritant dimana ia akan mengurangi rasa nyeri dengan cara menimbulkan
iritasi ringan. Counterirritant adalah zat yang menimbulkan iritasi atau peradangan ringan di satu lokasi dengan tujuan mengurangi ketidak nyamanan
16
dan / atau rasa nyeri di lokasi lain. FDA mendefiniskan counterirritant sebagai “bahan yang dioleskan secara eksternal yang menyebabkan iritasi atau peradangan
ringan pada kulit untuk menghilangkan nyeri pada otot atau sendi dan visera di tempat aplikasi. Mereka berbeda dari anestesi, analgesik, dan agen antipruritic karena efek penghilang rasa sakit mereka dihasilkan hasil dari stimulasi reseptor sensorik kulit dan terjadi pada struktur tubuh selain area kulit di mana mereka berada. Diaplikasikan seperti misalnya di persendian, otot atau tertentu”. Strategi
terapi ini masuk ke dalam kategori terapi counterstimulation yang merupakan pengobatan untuk rasa sakit berdasarkan pengalihan perhatian (US Food and Drug Administration,1980). Orang yang diaplikasikan dengan balsem akan teralihkan perhatiannya dari nyeri yang dirasakan oleh karena stimulasi pada reseptor panas dan dingin yang ditimbulkan oleh balsem sehingga seolah-olah nyeri yang dirasakan hilang. 8.
Pengaruh Analgesik Topikal pada Nyeri
Analgesik topikal banyak digunakan dalam bidang ilmu medis, spesialisasi bedah, kedokteran gigi, dan lain lain. Analgesik topikal dapat menghilangkan rasa nyeri superfisial setelah aplikasi langsung pada permukaan kulit. Keefektifan dari analgesik topikal bisa didapatkan dengan menaikan dosis dari analgesik, menurunkan nyeri ambang secara kimiawi melalui permeasi zat melalui jaringan lemak pada kulit. Beberapa jenis analgesik topikal adalah campuran dari analgesik lokal (ELA-max), lidocaine, epinephrine, tetracaine, bupivanor, 4% tetracaine, benzocaine, proparacaine, Betacaine-LA, topicaine, dan lidoderm. Saat menggunakannya harus disertai oleh pengawasan, area dan durasi pemakaian dari analgesik tersebut, dan kemungkinan efek samping dari peggunaan analgesik topikal itu sendiri ( Kumar, M. 2015). Analgesik
topikal
didefinisikan
sebagai
analgesik
yang
dapat
menghilangkan rasa nyeri pada superfisial kulit ; konjugtiva, membran mukosa. Pengaplikasian analgesik ini dapat dilakukan secara langsung karena bentuk dari analgesik ini adalah berupa gel, atau spray. Analgesik topikal dapat memainkan peran penting dalam mengatur rasa nyeri kronis dan memiliki tolerabilitas yang baik (Kopsky, D., et al. 2014).
17
Ada tiga jarasa untuk melewati stratum korneum kulit, yang merupakan barrier utama analgesik topikal, yaitu melalui : 1.
Rute Interseluler
Rute ini melalui daerah interseluler dari sel cornified keratinocytes 2.
Rute Transeluler
Rute ini melalui sel cornified 3.
Rute Transappendageal atau Shunt Pathway
Rute ini melalui pembukaan folikel rambut halus dan kelenjar keringat. 9. Pengaruh Paracetamol pada Nyeri
Parasetamol digunakan dalam dunia kedokteran sebagai obat untuk meredakan nyeri, yaitu mengurangi nyeri ringan sampai sedang.3 Begitu juga dalam kedokteran analgesik, parasetamol mulai banyak digunakan terutama untuk pereda rasa nyeri akut pasca operasi. Parasetamol merupakan analgesik yang telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknyadengan efek anti inflamasi minimal, yang umumnya digunakan untuk meredakan sakit kepala, demam dan nyeri ringan hingga sedang, demikian pula dengan keamanannya. Apabila dikombinasikan dengan analgesik opioid, parasetamol dapat digunakan untuk pengobatan nyeri yang lebih berat, seperti nyeri paska operasi dan terapi paliatif untuk pasien kanker. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah. Pada Cochrane DatabaseSyst Rev (2008) serta Cochrane Database Syst Rev (2007), telah berhasil dibuktikan secara sistematis dan terstruktur bahwa parasetamol mampu menekan rasa nyeri pasca operasi dengan baik dengan efek samping yang jauh lebih rendah dibandingkan Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). PEMBAHASAN
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri 18
seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier,dkk). Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua jenis utama yaitu rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Rasa nyeri cepat bila diberikan stimulus dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan rasa nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara berlahan bertambah selama beberapa detik bahkan beberapa menit. Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falks, dan tentorium tempurung kepala. Sebagian besar jaringan lainnya hanya sedikit dipersarafi oleh ujung saraf rasa nyeri; namun setiap kerusakan jaringan yang luas dapat bergabung sehingga kebanyakan daerah tersebut akan timbul tipe rasa nyeri pegal lambat dan kronik. Rasa nyeri dapat dirasakan melalui tiga jenis stimulus yang dikelompokkan sebagai rangsang nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada umumnya, nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri lambat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut. Zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin, serotonin, histamin, ion kalsium, asam, asetilkolin dan enzim proteolitik. Sedangkan, prostaglandin dan substansi P meningkatkan sensitifitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Pada praktikum ini dilakukan pengujian dengan menggunakan alat infra merah yaitu terdiri dari lampu proyeksi yang dimodifikasi dan dapat memusatkan sinar-sinarnya. Sinar tersebut akan mengenai objek (tangan orang coba) dengan
19
jarak 5 cm. Penyinaran dilakukan hingga orang coba merasakan hampir diambang nyeri. Percobaan ini dilakukan dengan 5 perlakuan, yaitu perlakuan normal (kontrol) , perlakuan pengalihkan perhatian, perlakuan pemberian olesan balsem, perlakuan anestesi topikal, dan perlakuan analgesik sistemik (dengan memberikan parasetamol lalu menunggu selama 30 menit agar obat bereaksi). Terdapat perbedaan waktu hingga mencapai rasa hampir nyeri; perlakuan normal membutuhkan waktu 3 dan 10 menit, perlakuan mengalihkan perhatian membutuhkan waktu 10 menit, perlakuan pemberian olesan balsem membutuhkan waktu 6 dan 4 menit, perlakuan memberikan analgesik lokal membutuhkan waktu 5 dan 7 menit, dan perlakuan memberikan analgesik sistemik membutuhkan waktu 6 menit. 1. Perlakuan Normal (Kontrol)
Pada perlakuan normal atau kontrol, dapat dilihat hasil dari orang coba perempuan dan laki-laki berbeda. Pada orang coba perempuan lebih cepat merasakan nyeri daripada laki-laki. Menurut Logan dan Rose (2004) bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik atau lebih peka terhadap nyeri daripada lakilaki. Hal ini disebabkan karena pada laki-laki lebih banyak memproduksi zat pereda nyeri yaitu beta endorfin. Zat ini adalah salah satu zat endorfin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary dibagian bawah otak pada saat merasakan stres atau sakit dan merupakan obat penghilang rasa sakit alami. 2. Pengalihan Perhatian
Dari praktikum ini dapat di buktikan bahwa mengalihkan perhatian dapat mengubah persepsi nyeri pada orang coba, dapat dilihat orang coba lebih tahan lama ketika perhatiannya teralihkan. Penghambatan rasa nyeri bisa dilakukan dengan cara mengalihkan fokus perhatian orang coba, sehingga dia tidak terfokus untuk merasakan nyeri. Kemampuan mengalihkan perhatian untuk meredakan nyeri didasarkarkan pada teori bahwa apabila ada dua rangsangan yang tepisah, fokus pada salah satunya akan menghilangkan fokus pada yang lain (Price & Wilson, 2006).
20
3. Pemberian Balsem
Pada perlakuan dengan mengoleskan balsem ke kulit maka akan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh darah ini menyebabkan kulit tampak kemerahan seperti yang terjadi pada orang coba dan meningkatkan kepekaan tubuh terhadap rangsangan panas. Pada orang coba pertama (perempuan) timbul rasa nyeri pada menit ke 6, sedangkan keadaan normal yaitu menit ke 3, hal ini sesuai dengan teori yang ada. Keadaan ini disebut hiperemia, yaitu suatu kondisi kelebihan darah pada pembuluh darah terutama pembuluh darah kapiler. Oleh karena adanya vasodilatasi pembuluh darah, rangsangan panas dari sinar inframerah lebih mudah terasa oleh tubuh sehingga rasa nyeri lebih cepat terasa pada orang coba. Sedangkan pada orang coba kedua (laki-laki) timbul rasa nyeri pada menit ke 4, dan dalam keadaan normal timbul rasa nyeri pada menit ke 10. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan beberapa faktor seperti kesehatan orang coba, dan kesalahan mempersepsikan rasa nyeri. 4. Pemberian Analgesik Topikal
Penggunaan analgesik topikal bertujuan untuk menghambat rasa nyeri akibat rangsangan panas dari sinar inframerah. Pada orang coba pertama (perempuan), rasa nyeri dirasakan pada menit ke 4, sedangkan pada keadaan kontrol yaitu menit ke 3. Hal ini membuktikan bahwa analgesik topikal bekerja dengan baik karena rasa nyeri muncul lebih lama dari keadaan normal. Namun lain halnya dengan orang coba kedua (laki-laki), pada pemberian analgesik topikal rasa nyeri dirasakan pada menit ke 7, sedangkan pada keadaan kontrol yaitu menit ke 10. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena kesalahan pemakaian analgesik topikal yang terlalu sedikit. Kedua, karena pengaruh pemberian bahan coba sebelumnya (balsem) yang belum hilang sempurna. Analgesik topikal menghambat rangsangan neurotransmitter khusus rasa nyeri (prostaglandin) sehingga meningkatkan nilai ambang nyeri pada tubuh. Rasa nyeri akan terhambat karena otak tidak menerima neurotransmitter tersebut.
21
5. Pemberian Parasetamol
Pada perlakuan pemberian parasetamol (sistemik) dibutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga obat benar-benar bereaksi. Secara farmakologi, parasetamol adalah obat turunan para-aminofenol yang paling sering digunakan. Propasetamol dihidrolisis menjadi parasetamol dalam plasma. Parasetamol memiliki sifat analgesik dan antipiretik dan aktivitas antiinflamasi lemah. Mekanisme tindakan analgesik masih belum jelas, namun kemungkinan karena penghambatan sintesis prostaglandin baik secara terpusat maupun perifer. Parasetamol digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang dan kondisi demam ringan (Sweetman, 2011). Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Mardjono, 2008). Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat daripada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer.
Inilah
yang
menyebabkan
Parasetamol
hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Oleh karena itu, parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris, 2009). Parasetamol mudah diserap dari saluran pencernaan dengan konsentrasi plasma puncak yang terjadi sekitar 10 sampai 60 menit setelah dosis oral lalu parasetamol didistribusikan ke sebagian besar jaringan tubuh. Oleh karena itu, pemberian
22
parasetamol mampu memberikan efek tahan nyeri yang lebih lama dibandingkan kontrol. PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Jelaskan mekanisme dasar nyeri (dihubungkan dengan teori Orofasial pain) yang berhubungan dengan percobaan pada praktikum (berdasarkan tipe
nyeri,
jenis
rangsangan
dan
lain
Jawaban
lain). :
Sinyal nyeri yang ditangkap oleh reseptor nyeri yaitu ujung saraf bebas akan dikirimkan melalui saraf perifer ke medula spinalis. Saat sinyal masuk ke medula spinalis dari radiks spinalis dorsalis, serat nyeri berakhir pada neuron-neuron penyampaian (relay) sinyal di kornu dorsalis kemudian melewati traktus spinotalamicus. Sinyal nyeri akan dialirkan menyilang ke sisi medula spinalis yang berlawanan kemudian diteruskan ke korteks somatosensorik dan menimbulkan sensor rasa nyeri. Iskemia dapat menimbulkan nyeri. Salah satu penyebab nyeri pada keadaan iskemia adalah terkumpulnya sejumlah besar asam laktat dalam jaringan, adanya bahan-bahan kimia lain yang terbentuk akibat kerusakan sel yang akan merangsang rasa nyeri (Guyton and Hall, 2016). 2. Jelaskan bahwa rasa nyeri pada tiap individu dirasakan berbeda, sehingga dibutuhkan Jawab
penanganan
yang
berbeda
pula. :
Derajat reaksi individu terhadap rasa nyeri berbeda-beda karena disebabkan oleh kemampuan otak tiap individu untuk menekan sinyal nyeri yang masuk ke dalam sistem saraf, yaitu dengan mengaktifkan sistem pengatur nyeri yang disebut sistem analgesia. Sistem analgesia terdiri dari 3 komponen utama yaitu area periaquaduktal grisea , area periventrikular mesensefalon, dan bagian atas pons yang mengelilingi aquaduktus Sylvii. Neuron dari daerah tersebut mengirim sinyal ke nukleus rafe magnus dan nukleus retikularis paragigantoselularis. Sinyal
23
orde kedua dikirimkan ke bawah di kolumna dorsolateralis medula spinalis menuju ke korteks penghambat nyeri di dalam radiks dorsalis medula spinalis. Sinyal analgesia akan menghambat sinyal nyeri sebelum disampaikan ke otak (Guyton and Hall, 2016). KESIMPULAN
Pada praktikum ini kami dapat menarik kesimpulan bahwa kepekaan terhadap intesitas rasa nyeri yang dirasakan setiap mahasiswa coba berbeda-beda tergantung dengan perlakuan yang diberikan yaitu pengalihan perhatian, pemberian balsem, pemberian obat analgesik topikal dan pemberian parasetamol. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lain yaitu jenis kelamin, psikologis, usia, anetesi, kelelahan, dan ambang rasa yeri tiap individu. Oleh karena adanya perbedaan kepekaan rasa nyeri yang dirasakan oleh tiap individu, tiap individu perlu
diberi
penanganan
khusus
untuk
mengatasi
rasa
nyerinya.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orofacial Pain. 1997. The Scope of TMD/ Orofacial Pain (Head and Neck Pain Management) in Contemporary Dental Practice. Dental Practice Act Committee of the American Academy of Orofacial Pain. J Orofac Pain; 11(1):78-83. Conti PCR, Pertes RA, Heir GM, Nasri C, Cohen H V, ARAÚJO C dos RP de. 2003. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for Successful Management . Cooper BY, Sessle BJ. 1992. Anatomy, physiology and pathophysiology of trigeminal system paresthesias and dysesthesias. Oral Maxillofac Surg Clin N Amer; 4 (2):297- 322. Davis, M. P. 2003. Cancer pain. The Cleveland Clinic Foundation. Retrieved December 2005, from http://www.clevelandclinicmeded.com
24
Kumar, M., Chawla, R. and Goyal, M. (2015). Topical anesthesia. Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 31(4), p.450. Kopsky, D., Bhaskar, A., Hesselink, JMK, dan Casale, R. 2014. Analgesic Effects of Topical Ketamine. Amsterdam : Minerva Anesthesiologica Kotaka, T., Kimura, S., Kashiwayanagi, M. and Iwamoto, J. (2014). Camphor Induces Cold and Warm Sensations with Increases in Skin and Muscle Blood Flow in Human. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 37(12), p.1913-1918. Guyton, A and Hall, J. (2016). Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed. Singapore: Elsevier, pp.576-7, 579. McGuire, D. B & Sheildler, V. R. 1993. Pain. In S. L. Groen, M. H. Fragge, M. Goodman, and C. H. Yarbro (Edt.). Cancer nursing: Principles and practice (3rd Ed.) (pp. 499-556). Boston, NA: Jones and Bartlett Publisher. Merrill RL. 1997. Orofacial pain mechanisms and their clinical application. Dent Clin N Amer; 41:167-188. Okeson JP. 1995. Bell’s orofacial pain. 5. ed. Chicago: Quintessence
Prasetyo SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010: 11-17, 26, 29, 56-75 Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 8.Jakarta: EGC.p.207-208 Turk, D. C. & Flor, H. 1999. Chronic pain: A biobehavioral perspective. In R. J. Gatchel & D. C. Turk (Ed.). Psychosocial factors in pain (pp. 18-34). New York: The Guilford Press. Vickers ER. Cousins MJ. 2000. Neuropathic orofacial pain part 1 : prevalence and pathophysiology. Aust Endod J, 26(1):19-26. Xu, H. (2015). Camphor Activates and Strongly Desensitizes the Transient Receptor Potential Vanilloid Subtype 1 Channel in a VanilloidIndependent Mechanism. Journal of Neuroscience, 25(39), p.8924-8937. 25
26