LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA
PERCOBAAN IX PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA)
NAMA
: RIFA’ATUL MAHMUDAH M
NIM
: H31108272
KELOMPOK
: I (SATU)
HARI/TGL PERC. : SENIN/22 MARET 2010 ASISTEN
: MUH. MUL MULYADI NAHRUN
LABORATORIUM KIMIA FISIKA JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Latar Belakang Belakang
Dalam ilmu kimia banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu reaksi yang selanjutnya ditelaah dengan ilmu-ilmu yang mengkaji lebih lanjut dan spesifik mengenai perubahan tersebut. Misalnya termodinamika yang membahas tentang arah reaksi kespontanan. Tetapi dengan termodinamika hanya dibahas mengenai perubahan energi dalam suatu reaksi sehingga waktu dan kecepatan atau laju suatu reaksi tidak diketahui. Kineti Kinetika ka kimia kimia merupa merupakan kan salah salah satu satu cabang cabang ilmu ilmu kimia kimia fisika fisika yang yang mempelajari laju reaksi. Laju reaksi berhubungan dengan pembahasan seberapa cepat atau lambar reaksi berlangsung. Merubah konsentrasi dari suatu zat di dalam suatu suatu reaksi biasanya biasanya merubah merubah juga laju reaksi. reaksi. Persamaan Persamaan laju menggambark menggambarkan an perubahaan ini secara matematis. Orde reaksi adalah bagian dari persamaan laju. Sebaga Sebagaii contoh contoh seberap seberapaa cepat cepat reaksi reaksi pemusn pemusnaha ahan n ozon ozon di atmosf atmosfer er bumi, bumi, seberapa cepat reaksi suatu enzim dalam tubuh berlangsung dan sebagainya. Laju reaksi dipengaruhi dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor, yaitu konsentr konsentrasi, asi, luas permukaa permukaan n sentuhan, suhu, dan katalis.
Reaksi Reaksi-rea -reaksi ksi kimia kimia berlan berlangsu gsung ng dengan dengan laju laju yang yang berbed berbeda-be a-beda. da. Ada reaksi yang berlangsung sangat cepat seperti reaksi penetralan antara larutan asam klorida dan larutan natrium hidroksida, ada pula yang berlangsung sangat lambat seperti pelapukan kimia yang dialami batu karang. Laju suatu reaksi dipengaruhi
oleh oleh beberap beberapaa faktor faktor.. Suatu Suatu reaksi reaksi kimia kimia dapat dapat diperce dipercepat pat atau atau diperl diperlamb ambat. at. Dalam Dalam indust industri, ri, reaksi reaksi kimia kimia perlu perlu dilang dilangsun sungk gkan an pada pada kondis kondisii tertent tertentu u agar agar produknya dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Reaksi dapat dikendalikan
dengan
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Berdasarkan teori tersebut maka dilakukanlah percobaan ini.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1
Maksud Percobaan
Maksud Maksud dari dari percob percobaan aan ini adalah adalah untuk untuk menget mengetahu ahuii dan mempel mempelajar ajarii metode
penentuan
hukum
kecepatan
reaksi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
1
Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah: 1. Menent Menentuka ukan n hukum hukum kecepa kecepatan tan reaksi reaksi dan persam persamaan aan kecepa kecepatan tan reaksi reaksi melalui reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis asam. 2. Menentukan Menentukan faktor-fakto faktor-faktorr yang mempengaruhi mempengaruhi kecepatan reaksi iodinasi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis asam.
1.3 Prinsip Prinsip Percobaa Percobaan n
Penitaran larutan iod dalam larutan asam dengan larutan Na 2S2O3 hingga laruta larutan n beruba berubah h warna warna dari dari biru biru menjad menjadii tak berwar berwarna na dengan dengan selang selang waktu waktu terten tertentu tu sehing sehingga ga dapat dapat ditent ditentuka ukan n jumlah jumlah iod yang yang terikat terikat oleh oleh aseton aseton yang yang bereaksi dengan larutan Na2S2O3 dengan menggunakan indikator amilum. Selanjutny Selanjutnyaa penentuan penentuan konsentras konsentrasii zat penyusun penyusun cuplikan cuplikan berdasarkan berdasarkan volume larutan Na2S2O3 yang digunakan untuk menentukan konstanta reaksi dan orde
reaksi. 1.4 Manfaat Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah agar kita dapat mengetahui cara menentukan tetapan kecepatan reaksi dan orde reaksi secara praktikum, tidak hanya melalui teori.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kinetika kimia adalah bagian dari kimia fisika yang mempelajari tentang kecepatan
reaksi-reaksi
kimia
dan
mekanisme
reaksi-reaksi
tersebut.
Termodinamika kimia mempelajari hubungan tenaga antara pereaksi dan hasilhasil reaksi, tidak mempelajari bagaimana reaksi-reaksi tersebut berlangsung dan dengan kecepatan berapa kesetimbangan untuk reaksi kimia ini dicapai. Hal terakhir ini dipelajari dalam kinetika kimia, hingga kinetika kimia merupakan pelengkap bagi termodinamika kimia. Tidak semua reaksi kimia dapat dipelajari secara kinetik. Reaksi-reaksi yang berjalan sangat cepat seperti reaksi-reaksi ion atau pembakaran dan reaksi-reaksi yang sangat lambat seperti pengkaratan, tidak dapat dipelajari secara kinetik. Di antara kedua jenis ini, banyak reaksi-reaksi yang kecepatannya dapat diukur (Sukardjo, 1989). Kinetika kimia merupakan pengkajian laju dan mekanisme reaksi kimia. Yang lebih mendasar daripada sekedar laju suatu reaksi adalah bagaimana perubahan kimia itu berlangsung. Tak peduli bagaimana ruwetnya persamaan keseluruhan, umumnya reaksi berlangsung dengan cara bertahap yang sederhana, dengan tiap tahap biasanya melibatkan hanya satu, dua, atau tiga partikel sebagai pereaksi (Keenan dkk., 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu (Dogra dan Dogra, 1990): 1. Keadaan pereaksi dan luas permukaan Pada umumnya, makin kecil partikel pereaksi makin besar permukaan pereaksi yang bersentuhan dalam reaksi, sehingga reaksinya makin cepat.
2. Konsentrasi Makin besar konsentrasi makin cepat laju meskipun tidak selalu demikian. Pereaksi yang berbeda, konsentrasinya dapat mempengaruhi laju reaksi tertentu dengan cara yang berbeda. 3. Suhu Umumnya apabila suhu dinaikkan laju reaksi bertambah. 4. Katalis Katalis dapat mempengaruhi laju reaksi. Biasanya katalis mempercepat laju reaksi, namun ada katalis yang dapat memperlambat laju reaksi. Tahap pertama dalam analisis kinetika tentang reaksi adalah menentukan stoikiometri reaksi dan mengenali setiap reaksi samping. Dengan demikian, data dasar tentang kinetika kimia adalah konsentrasi reaktan dan produk pada waktu yang berbeda-beda setelah reaksi dimulai. Karena laju reaksi kimia pada umumnya peka terhadap temperatur, maka temperatur campuran reaksi harus dijaga supaya konstan selama reaksi berlangsung. Jika tidak, maka laju yang akan diamati akan merupakan laju rata-rata pada temperatur berbeda-beda, yang tak berarti. Syarat ini menyebabkan tuntutan yang keras pada perancangan eksperimen (Atkins, 1997). Laju reaksi didefenisikan sebagai perubahan konsentrasi per satuan waktu. Satuan yang umum digunakan adalah mol dm -3. umumnya laju reaksi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi. Konstanta laju didefenisikan sebagai laju reaksi bila konsentrasi dari masing-masing jenis adalah 1. Satuannya tergantung pada orde reaksi. Tiap reaksi yang merupakan proses satu tahap disebut reaksi dasar. Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematik dimana hasil
percobaan dapat ditunjukkan. Orde reaksi hanya dapat dihitung secara eksperimen, dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui keseluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan harga eksponen untuk masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen itu (Dogra dan dogra, 1990). Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air : CH3COCH3 + I2
CH3COCH2I
Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan cepat dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai : −
d I 2 dt
=
a
k '[aseton ]
b
+
C
[ I 2 ] [ H ]
dengan menggunakan aseton dalam asam dalam jumlah berlebih, persamaan diatas dapat diubah menjadi : −
d I 2 dt
=
b
k '[ I 2 ]
dengan k’ = k [aseton] a[H+]C
Reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I 2 sebagai fungsi waktu. Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap iod. Orde reaksi terhadap aseton
dan terhadap asam dapat ditentukan dengan cara mengubah
konsentrasi awal kedua zat tersebut (Taba dkk., 2010). Orde reaksi terhadap suatu reaksi merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam hukum laju.contohnya , Reaksi dengan hukum laju dalam persamaan v=k(A)(B) Merupakan orde pertama dalam A dan juga orde pertama dalam B. Orde Keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan orde semua komponennya. jadi ,secara keseluruhan hukum laju dan persamaan di atas adalah orde kedua (Atkins, 1997).
Penentuan orde reaksi secara praktek dapat dilakukan dengan metode (Bird, 1993): a. Metode Integrasi Salah satu cara untuk menentukan orde reaksi adalah dengan jalan mencocokkan persamaan laju reaksi. Masalah utama yang terdapat dalam metode ini adalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Tetapi cara ini merupakan cara penentuan orde reaksi yang paling tepat. b. Metode Laju Reaksi Awal Dengan metode ini, masalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, dapat ditiadakan. Pada metode ini, prosedur yang dilakukan adalah mengukur laju reaksi awal dengan konsentrasi awal reaktan yang berbeda-beda. c. Metode Waktu Paruh Secara umum, untuk suatu reaksi yang berorde n, waktu paruh reaksi sebanding dengan 1/c 0
, dimana c0 adalah konsentrasi awal reaktan. Jadi, data
n-1
hasil percobaan dimasukkan ke dalam persamaan diatas, kemudian dibuat kurva yang berbentuk garis lurus dengan cara yang sama seperti pada metode integrasi, adanya reaksi samping mempengaruhi ketepatan metode ini. Hukum laju mempunyai dua penerapan utama. Penerapan praktisnya: setelah kita mengetahui hukum laju dan konstanta laju, kita dapat meramalkan laju reaksi dari komposisi campuran. Penerapan teoritis hukum laju ini adalah hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi. Setiap mekanisme yang diajukan, harus konsisten dengan hukum laju yang diamati (Atkins, 1997).
Laju reaksi dapat ditentukan dengan cara mengikuti perubahan sifat selama titrasi dan terjadi reaksi. Dengan menganalisa campuran reaksi selama dalam selang waktu tertentu, maka konsentrasi pereaksi dan produk reaksi dapat dihitung (Achmad, 1992).
BAB III METODE PERCOBAAN
3.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan aseton, larutan asam sulfat (H2SO4) 1 M, natrium asetat (CH3COONa) 10 %, natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 M, larutan iodin 0,1 M, indikator amilum 1 %, kertas label, akuades, dan tissue roll.
3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah erlenmeyer + tutup 250 mL, erlenmeyer biasa 100 mL, pipet volume 5 mL, pipet volume 10 mL, pipet volume 25 mL, buret 50 mL, statif, stopwatch, labu semprot 250 mL, labu ukur 250 mL, gelas ukur 10 mL, pipet tetes 1 mL, gelas kimia 250 mL, bulb, stirrer, dan magnet bar.
3.3 Prosedur Percobaan 3.3.1
Prosedur A
Dimasukkan 25 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan.
Kemudian diambil 25 mL larutan dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sampai larutan berubah warna.
3.3.2 Prosedur B
Dimasukkan 10 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan.
Kemudian diambil 25 mL larutan dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai larutan berubah warna. 3.3.3 Prosedur C
Dimasukkan 25 mL aseton dan 5 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan akuades hingga 250 mL. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan dihomogenisasikan dengan magnetik stirer. Kemudian dipipet 25 mL larutan iodin ke dalam larutan tersebut sambil segera stopwatch dijalankan.
Kemudian diambil 25 mL larutan dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL natrium asetat dan amilum 1 mL. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai larutan berubah menjadi bening, dan dihitung volume natrium tiosulfat yang digunakan.Cuplikancuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai larutan berubah warna.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan
Percobaan
Titrasi
V Na2S2O3
Waktu (s)
A
1 2 3 4
2,5 mL 1,5 mL 0,8 mL 0,7 mL
60 detik 240 detik 480 detik 720 detik
B
1 2 3 4
2 mL 1,3 mL 1 mL 0,5 mL
60 detik 600 detik 1200 detik 1800 detik
1 2 3
C
1,9 mL 1,3 mL 0,7 mL
60 detik 600 detik 1200 detik
4.2. Reaksi
I2 + 2e-
2I-
2S2O3
S4O62- + 2e-
I2 + 2S2O3 Reaksi lengkap : 2 Na2S2O3
2I- + S4O62+ I2
Na2S4O6 + 2 NaI
4.3. Perhitungan 4.1.1
mmol I2
1 mmol I2
≈
2 mmol Na2S2O3
mmol Na2S2O3 = mL Na2S2O3 x M Na2S2O3
1
mmol I2 =
2 x mmol Na S O 2 2 3 1 2 x mL Na S O x M Na S O 2 2 3 2 2 3
mmol [I2]0 = Untuk percobaan A 1. mmol [I2]0 1
mmol [I2]0 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 2,5 mL x 0,01 M
= 0,0125 mmol 2. mmol [I2]1 1
mmol [I2]1 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 1,5 mL x 0,01 M
= 0,0075 mmol 3. mmol [I2]2 1
mmol [I2]2 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 0,8 mL x 0,01 M
= 0,004 mmol 4. mmol [I2]3
1 2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3
mmol [I2]3 =
1 2 x 0,7 mL x 0,01 M
=
= 0,0035 mmol
Untuk percobaan B 1. mmol [I2]0 1
mmol [I2]0 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 2 mL x 0,01 M
= 0,01 mmol 2. mmol [I2]1 1
mmol [I2]1 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 1,3 mL x 0,01 M
= 0,0065 mmol 3. mmol [I2]2 1
mmol [I2]2 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 1 mL x 0,01 M
= 0,005 mmol 4. mmol [I2]3
1
mmol [I2]3 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 0,5 mL x 0,01 M
= 0,0025 mmol
Untuk percobaan C 1. mmol [I2]0 1
mmol [I2]0 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 1,9 mL x 0,01 M
= 0,0095 mmol 2. mmol [I2]1 1
mmol [I2]1 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 1,3 mL x 0,01 M
= 0,0065 mmol 3. mmol [I2]2 1
mmol [I2]2 =
2 x mL Na S O x [Na S O ] 2 2 3 2 2 3 1
=
2 x 0,7 mL x 0,01 M
= 0,0035 mmol
4.3.2 Konsentrasi I2
Volume total = V CH3COONa + V amilum + V cuplikan + V Na2S2O3 = 10 mL + 1 mL + 25 mL + V Na 2S2O3 = 36 mL + V Na2S2O3 mmol I2 [I2] = V total
Untuk percobaan A 1. [I2]0 mmol
[I2]0
=
[ I 2 ]0
Vtotal
0,0125mmol =
36mL + 2,5mL 0,0125mmol
=
38,5mL
= 3,247x10 -4 M
2. [I2]1 mmol
[I2]1
=
[ I 2 ]1
Vtotal
0,0075mmol =
36mL + 1,5mL 0,0075mmol
= 3. [I2]2
37,5mL
= 2 x 10-4 M
mmol
[I2]2
=
[ I 2 ]2
Vtotal
0,004mmol =
36mL + 0,8mL 0,004mmol
=
36,8mL
= 1,087 x 10 -4 M
4. [I2]3 mmol
[I2]3
=
[ I 2 ]3
Vtotal
0,0035 mmol =
36mL + 0,7 mL 0,0035mmol
=
36,7 mL
= 9,54 x 10-5 M
Untuk percobaan B 1. [I2]0 mmol
[I2]0
=
[ I 2 ]0
Vtotal
0,01mmol
=
36mL + 2mL 0,01mmol
=
38mL
= 2,632 x 10-4 M
2. [I2]1 mmol
[I2]1
=
[ I 2 ]1
Vtotal
0,0065mmol =
36mL + 1,3mL 0,0065mmol
=
37,3mL
= 1,743 x 10 -4 M
3. [I2]2 mmol
[I2]2
=
[ I 2 ] 2
Vtotal
0,005mmol
=
36mL + 1mL 0,005mmol
=
37 mL
= 1,351 x 10 -4 M
4. [I2]3 mmol
[I2]3
=
[ I 2 ]3
Vtotal
0,0025 mmol =
36mL + 0,5mL 0,0025mmol
=
36,5mL
Untuk percobaan C 1. [I2]0 mmol
[I2]0
=
[ I 2 ]0
Vtotal
0,0095mmol =
36mL + 1,9mL
= 6,85 x 10 -5 M
0,0095mmol 37,9mL
=
= 2,507 x 10 -4 M
2. [I2]1 mmol
[I2]1
[ I 2 ]1
Vtotal
=
0,0065mmol =
36mL + 1,3mL 0,0065mmol 37,3mL
=
= 1,743 x 10 -4 M
3. [I2]2 mmol
[I2]2
[ I 2 ] 2
Vtotal
=
0,0035 mmol =
36mL + 0,7 mL 0,0035mmol 36,7 mL
=
= 9,54 x 10-5 M
4.3.3 Kecepatan Reaksi
d [I2] V = -
[I2]1 - [I2]o = -
dt
t1 - to
Untuk percobaan A [I2]1 - [I2]o 1. V1
= t1 - to
(0,0002 ) − (0,0003247) ( 240 − 0) s
= -
(−0,0001247 ) 240
= -
= 5,19 x 10 -7 M/s
[I2]2 - [I2]o 2. V2
= t2 - to (0.0001087
−
(480
= -
−
0,0003247 ) 0) s
(−0,000216 ) 480
= -
= 4,5 x 10 -7 M/s
[I2]3 - [I2]o 3. V3
= t3 - to (0,0000954 (720
= -
− −
0,0003247) 0) s
(−0,0002293) 720s
= -
= 3,18 x 10-7 M/s
Untuk percobaan B [I2]1 - [I2]o 1. V1
= t1 - to (0,0001743
= -
(600
− −
0,0002632 ) 0) s
(−0,0000889 )
= -
600
[I2]2 - [I2]o 2. V2
= -
= 1,48 x 10-7 M/s
t2 - to (0,0001351 (1200
= -
0,0002632 )
− −
0) s
(−0,0001281) 1200
= -
= 1,06 x 10-7 M/s
[I2]3 - [I2]o 3. V3
= t3 - to (0,0000685 (1800
= -
0,0002632 )
− −
0)
(−0,0001947 ) 1800
= -
= 1,08 x 10 -7 M/s
Untuk percobaan C [I2]1 - [I2]o 1. V1
= t1 - to (0,0001743
= -
0,0002507 )
−
(600
−
0)
(−0,0000764 )
= -
600
= 1,27 x 10-7 M/s
[I2]2 - [I2]o 2. V2
= t2 - to (0,0000954 = -
0,0002507)
−
(1200
−
0)
(−0,0001553)
= -
1200
= 1,29 x 10-7 M/s
4.4. Grafik 4.4.1.Grafik Percobaan A
[I2] (M)
Log [I2]
V (M/s)
Log V (M/s)
2 x 10 -4 M
-3,6989
5,19 x 10 -7 M/s
-6,2848
1,087 x 10 -4 M
-3,9638
4,5 x 10 -7 M/s
-6,3468
9,54 x 10 -5 M
-4,0205
3,18 x 10 -7 M/s
-6,4976
Grafik sebelum dan sesudah regresi
V = k [I 2]b Log V = log K + b log [I 2] Persamaan : y = 0.528x - 4.319 Maka : y = Log V b = 0.528x Log K = – 4,319 K = 4,7973 x10-5 Jadi, V = 4,7973 x10 -5 [I2] 0.528
4.4.2.Grafik Percobaan B
[I2] (M)
Log [I2]
1,743 x 10 -4 M
-3,7587
1,351 x 10 -4 M
-3,8693
1,06 x 10 -7 M/s
6,85 x 10 -5 M
-4,1643
1,08 x 10 -7 M/s
Grafik sebelum dan sesudah regresi
V = k [I 2]b Log V = log K + b log [I 2] Persamaan : y = 0.262x - 5.892 Maka : y = Log V b = 0.262x Log K = - 5.892 K = 1,282 x 10-6 Jadi, V = 1,282 x 10 -6 [I2] 0.262
V (M/s) 1,48 x 10 -7 M/s
Log V (M/s) -6,8297 -6,9747 -6,9666
4.4.3.Grafik Percobaan C
[I2] (M)
Log [I2]
V (M/s)
Log V (M/s)
1,743 x 10 -4 M
-3,7587
1,27 x 10 -7 M/s
-6,8962
9,54 x 10 -5 M
-4,0204
1,29 x 10 -7 M/s
Grafik sebelum dan sesudah regresi
V = k [I 2]b Log V = log K + b log [I 2] Persamaan : y = -0.026x - 6.993 Maka : y = Log V
b = -0.026x
Log K = - 6.993 K = 1,01 x 10-7 Jadi, V = 1,01 x 10 -7 [I2] -0.026
4.5. Pembahasan
-6,8894
Pada percobaan penentuan hukum laju reaksi ini digunakan bahan-bahan seperti larutan iod, natrium asetat, aseton, asam sulfat, natrium tiosulfat, dan amilum. Sebagai cuplikan digunakan larutan aseton dan asam sulfat yang dicampur dengan larutan iod. Aseton berfungsi sebagai larutan yang akan ditentukan laju reaksinya jika bereaksi dengan iod dalam larutan air. Reaksi antara iod dan aseton dalam larutan air berjalan lambat tanpa katalis. Oleh karena itu digunakan larutan asam sulfat 1 M sebagai katalis. Digunakan asam sulfat karena asam sulfat bertindak sebagai katalis yang mempercepat ionisasi aseton dengan memberikan ion H+ ke dalam larutan karena reaksi antara iod dan aseton dalam air berjalan cepat dalam suasana asam. Pada percobaan A, cuplikan yang terdiri dari aseton dan asam sulfat ditampung dalam erlenmeyer dan diaduk dengan magnetik stirrer. Setelah itu dicampur dengan larutan iodin dan menghasilkan larutan yang berwarna merah. Magnetik stirrer digunakan agar iodin dapat bercampur baik dengan aseton. Pada saat campuran asam sulfat dan aseton mulai bercampur dengan iod, stopwatch dijalankan dan cuplikan segera dipipet sebanyak 25 mL kedalam erlenmeyer yang berisi larutan natrium asetat dan amilum sehingga menghasilkan larutan yang berwarna ungu tua. Natrium asetat berfungsi untuk memastikan terjadinya reaksi sedangkan amilum berfungsi sebagai indikator. Cuplikan yang diambil tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat 0,01 M sampai larutan tidak berwarna. Pengambilan cuplikan dilakukan setiap 4 menit sampai cuplikan menjadi tidak berwarna. Dengan mengetahui volume natrium tiosulfat untuk titrasi, maka dapat dihitung konsentrasi iod dalam larutan melalui persamaan reaksi yang terjadi. Untuk penentuan konsentrasi larutan iod, semakin lama
konsentrasinya akan semakin berkurang karena iod terus bereaksi dengan aseton dan pada akhirnya akan habis. Konsentrasi iod yang diperoleh sebagai fungsi terhadap waktu digunakan untuk menentukan hukum laju reaksi dengan variabel tetapan laju (k) dan orde reaksi yang dapat ditentukan. Berdasarkan hasil percobaan A, untuk titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang dibutuhkan sampai larutan menjadi bening adalah 2,5 mL, titrasi 2 sebanyak 1,5 mL, titrasi 3 sebanyak 0,8 mL, dan titrasi 4 sebanyak 0,7 mL. Semakin lama, semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi karena semakin sedikit jumlah iod bebas dalam larutan. Dari jumlah natrium tiosulfat yang digunakan, maka dapat ditentukan konsetrasi I 2 dalam larutan yaitu [I2]o adalah 3,247 x 10 -4 M, [I2]1 adalah 2 x 10 -4 M, [I2]2 adalah 1,087 x 10 -4 M, dan [I 2]3 adalah 9,54 x 10 -5 M. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa semakin lama maka semakin sedikit konsentrasi I2 karena semakin banyak iod yang bereaksi dengan aseton. Selanjutnya untuk percobaan B, dilakukan prosedur yang sama dengan percobaan A, tetapi penambahan natrium asetat diganti dengan penambahan aseton, dan cuplikan diambil tiap selang waktu 10 menit. Hasil yang diperoleh yaitu pada titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang digunakan adalah 2 mL, titrasi 2 sebanyak 1,3 mL, titrasi 3 sebanyak 1 mL, dan titrasi 4 sebanyak 0,5 mL. Sama seperti percobaan A, semakin lama semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang digunakan karena semakin sedikit jumlah iod bebas. Kemudian berdasarkan jumlah natrium tiosulfat yang digunakan dapat ditentukan konsentrasi I 2 yaitu [I2]o adalah 2,632 x 10 -4 M, [I2]1 adalah 1,743 x 10 -4 M, [I2]2 adalah 1,351 x 10 -4 M dan
[I2]3 adalah 6,85 x 10 -5 M. Selanjutnya untuk percobaan C, dilakukan prosedur yang sama dengan percobaan A, tetapi penambahan natrium asetat diganti dengan penambahan asam sulfat, dan cuplikan diambil tiap selang waktu 10 menit. Hasil yang diperoleh yaitu pada titrasi 1 jumlah natrium tiosulfat yang digunakan adalah 1,9 mL, titrasi 2 sebanyak 1,3 mL, dan titrasi 3 sebanyak 0,7 mL. Sama seperti percobaan A, semakin lama semakin sedikit jumlah natrium tiosulfat yang digunakan karena semakin sedikit jumlah iod bebas. Kemudian berdasarkan jumlah natrium tiosulfat yang digunakan dapat ditentukan konsentrasi I 2 yaitu [I2]o adalah 2,507 x 10 -4 M, [I2]1 adalah 1,743 x 10 -4 M, dan [I2]2 adalah 9,54 x 10 -5 M. Dari data yang diperoleh, dapat ditentukan laju reaksi pengurangan iod. Untuk percobaan A, V 1 = 5,19 x 10 -7 M/s, V2 = 4,5 x 10 -7 M/s, dan V3 = 3,18 x 10 7
M/s. Untuk percobaan B, V 1 = 1,48 x 10 -7 M/s, V2 = 1,06 x 10 -7 M/s, dan V 3 =
1,08 x 10 -7 M/s. Sedangkan untuk percobaan C, V 1 = 1,27 x 10 -7 M/s, danV2 = 1,29 x 10 -7 M/s. Berdasarkan hasil tersebut, tampak bahwa pada pecobaan B laju reaksinya lebih cepat dibandingkan percobaan A, karena pada percobaan B terdapat penambahan aseton. Semakin banyak aseton atau semakin banyak zat peraksi maka akan semakin banyak iod yang terikat pada aseton sehingga laju reaksinya semakin cepat. Jadi, laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi. Pada umumnya kenaikan konsentrasi pereaksi akan meningkatkan laju reaksi. Laju reaksi pada percobaan C lebih besar dibandingkan percobaan A dan B karena terjadi penambahan katalis atau asam sulfat. Katalis mempengaruhi
energi aktivasi. Energi aktivasi adalah energi yang dibutuhkan agar terjadi reaksi antar zat pereaksi. Makin kecil harga energi aktivasi, maka semakin mudah suatu reaksi terjadi dan semakin cepat reaksi berlangsung. Katalis menurunkan energi aktivasi sehingga laju reaksi semakin cepat. Dengan demikian, katalis merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi laju reaksi. Selanjutnya, dapat ditentukan hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton dengan membuat kurva log [I 2] vs log V. Untuk percobaan A hukum kecepatan reaksinya yaitu V = k [I2]b = 4,7973 x10 -5 [I2] 0.528, untuk percobaan B yaitu V = k [I2]b = 1,282 x 10 -6 [I2] 0.262, dan untuk percobaan C yaitu V = k [I 2]b = 1,01 x 10 -7 [I2] -0.026. Hanya saja pada percobaan kali ini, cuplikan yang terdapat didalam erlenmeyer yang diberi magnetik stirrer terlalu cepat mengalami perubahan warna sehingga data yang diperoleh sedikit, hal ini mungkin dikarenakan larutan yang terlalu
encer.
Selain
itu,
adapun
kemungkinan-kemungkinan
yang
bisa
menyebabkan penyimpangan atau kesalahan pada percobaan kali ini antara lain ; pengukuran yang tidak tepat misalnya pemipetan larutan, penitaran, pengamatan stopwatch, perhitungan, dan lain-lain.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari percobaan ini yaitu : 1. Hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton untuk percobaan A yaitu V = k [I2]b = 4,7973 x10 -5 [I2] 0.528, untuk percobaan B yaitu V = k [I 2]b = 1,282 x 10-6 [I2] 0.262, dan untuk percobaan C yaitu V = k [I 2]b = 1,01 x 10 -7 [I2] -0.026. 2. Laju reaksi antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dan katalis. Kenaikan konsentrasi pereaksi akan meningkatkan laju reaksi. Sedangkan katalis akan menurunkan energi aktivasi sehingga laju reaksi semakin cepat.
5.2 Saran
Sebaiknya sebelum praktikum berlangsung, alat-alat yang akan digunakan harus dicek terlebih dahulu, agar alat-alat yang rusak ataupun tidak layak untuk digunakan bisa diganti, misalnya saja buret dan bulb. Hal ini setidaknya dapat mengurangi kesalahan kerja dalam laboratorium karena alat yang rusak dapat menghambat kerja praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, H., 1992, Bandung. Atkins, P.W., 1997,
Elektrokimia dan Kinetika Kimia,
Kimia Fisika Jilid 2,
Citra Aditya Bakti,
Erlangga, Jakarta.
Bird, T., 1993, Kimi a Fisik Untuk Universitas , Gramedia, Jakarta. Dogra, S. K., dan Dogra, S., 1990, Indonesia, Jakarta.
Kimia Fisik dan Soal-Soal ,
Keenan, C. W., Kleinfelter, D. C., dan Wood, J. H., 1992, Universitas Edisi Keenam Jilid I , Erlangga, Jakarta. Sukardjo, 1989,
Kimia Fisika,
Universitas
Kimia untuk
PT. Bina Aksara, Jakarta.
Taba, P., Zakir, M., dan Fauziah, St., 2007, Universitas Hasanuddin Makassar.
Penuntun Praktikum Kimia Fisika ,
LEMBAR PENGESAHAN
Makassar, Maret 2010 Asisten
( MUH. MULYADI NAHRUN )
Praktikan
( RIFA’ATUL MAHMUDAH M )