LAPORAN PENDAHULUAN
STEMI ANTERIOR
A. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan e nz i m jan j an t un g da n S T el ev a s i pa d a pe m e ri ks aa n EK G. In f a r k m i ok ar d i um menunjukan suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI akut yang terkenal sebagai “Serangan jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindstri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju (Kumar, 2007) Infark miokard Akut adalah iskemia atau nekrosis pada oto jantung yang diakibatkan karena penurunan aliran darah melalui satu atau lebih arteri koroner (Doengos, (Doengos, 2003). B.
ETIOLOGI
1. Faktor penyebab : a.
Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
Faktor pembuluh darah :
Aterosklerosis.
Spasme
Arteritis
Faktor sirkulasi :
Hipotensi
Stenosos aurta
Insufisiensi
Faktor darah :
Anemia
Hipoksemia
Polisitemia
b. Curah jantung yang meningkat : Aktifitas berlebihan Emosi
Makan terlalu banyak Hypertiroidisme
c.
Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
Kerusakan miocard Hypertropimiocard Hypertensi diastolic
2. Faktor predisposisi : a.
faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah :
usia lebih dari 40 tahun jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita meningkat setelah
menopause hereditas Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
b. Faktor resiko yang dapat diubah : Mayor :
Hyperlipidemia
Hipertensi
Merokok
Diabetes
Obesitas
Diet tinggi lemak jenuh, kalor
Minor:
Inaktifitas fisik
Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif).
Stress psikologis berlebihan. (Kasuari, 2002)
C. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996). Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI (Antman, 2005). D.
KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI, adalah: a.
Disfungsi ventrikuler Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalambentuk, ukuran,
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses inidisebut remodeling ventikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al ; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang didisprosional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks ventikrel kiri yang yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi < 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan. b. Gangguan hemodinamik Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal ( 10 hari infark ) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru. c.
Gagal jantung
d. Syok kardiogenik e.
Perluasan IM
f.
Emboli sitemik/pilmonal
g. Perikardiatis h. Ruptur i.
Ventrikrel
j.
Otot papilar
k. Kelainan septal ventrikel l.
Disfungsi katup
m. Aneurisma ventrikel n. Sindroma infark pascamiokardias E. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduks i dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. F.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemeriksaan Laboratotium Pemeriksaan Enzim jantung : CK (Creatini Kinase) : Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat pada 3-6
jam memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam (3-5 hari).
CK-MB: meningkat antara 2-4 jam, memuncak pada 12-20 jam dan kembali normal
pada 48-72 jam
LDH(laktat dehidrogenase), LDH1, dan LDH2: Meningkat dalam 24 jam dan
memakan waktu lama untuk kembali normal
AST (/SGOT : Meningkat b.
Elektrokardiogram (EKG) b. Pemeriksaan EKG digunakan untuk mencatat aktivitas elektrik jantung. Melalui aktivitas elektrik jantung dapat diketahui irama jantung, besarnya jantung, dan kondisi otot jantung, kondisi otot jantung inilah yang memiliki kaitanya dengan PJK. c.
Tes Treadmill Atau Exercise Stress Testing (uji latih jantung dengan bebean)
Exercise testing merupakan salah satu tes yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis apakah seseorang terkena menderita penyakit jantung dan juga untuk menstratifikasi berat ringannya penyakit jantung. Selain itu tes treadmill juga dapat dipakai untuk mengukur kapasitas jantung, gangguan irama, dan lain-lain. d. Echocardiography (Ekokardiografi) Ekokardiografi adalah prosedur yang menggunakan gelombang suara ultra untuk mengamati struktur jantung dan pembuluh darah, juga dapat menilai fungsi jantung. e.
Angiografi korener
f.
Merupakan cara dengan menggunakan sinar X dan kontras yang disuntikan kedalam
arteri koroner melalui kateter untuk melihat adanya penyempitan diarteri koroner. g. Multislice Computed Tomograpy Scanning (MSCT) CT menghasilkan tampilan secara tomografi (irisan) digital dari sinar X yang menembus organ. Sinar X yang menembus diterima oleh detektor yang mengubahnya menjadi data elektrik dan diteruskan ke sistem komputer untuk diolah menjadi tampilan irisan organ-organ tubuh. h. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (Cardiac MRI) Merupakan salah satu teknik pemeriksaan diagnostik dalam ilmu kedokteran, yang menggunakan interaksi proton-proton tubuh dengan gelombang radio-frekuensi dalam medan magnet (sekitar 0,64-3 Tesla) untuk menghasilkan tampilan penampang (irisan) tubuh. i.
Radionuclear Medicine
Dengan menggunakan radio aktif dimasukan kedalamtubuh pasien, kemudian dideteksi dengan menggunakan kamera gamma atau kamera positron, sehingga pola tampilan yang terjadi berdasrkan pola organ yang memancarkan sinar gamma. (Kabo, 2008).
G.
PENATALAKSANAAN
a.
Syok kardiogenetik Penatalaksana syok kardiogenetik:
Terapi O2, Jika tekanan darah sistolik <70 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan
norepinefrin. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis 5-15
ug/kgBB/menit. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/menit. Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada pasien
<75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif. Terapi trimbolitik yang diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak ideal
dengan trapi invasif dan tidak mempuyai kontraindikasi trombolisis. Intra aortic ballo pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok kardiogenik
yang tidak membaik dengan segera dangan terapi farmakologis, bila sarana tersedia. b. Infark Ventrikel Kanan Infark ventrikel kanan secari klinis menyebabkan tanda gejala ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul s, hepatomegali) atau tanda hipotensi. Penatalaksana infark ventrikel kanan: Pertahankan preload ventrikel kanan. Loading volume (infus NaCL 0,9 %) 1-2 liter cairan jam I selanjutnya 200ml/jam (terget
atrium kanan >10 mmHg (13,6cmH20). Hindari penggunaan nitrat atau diuretik. Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardial harus dikoreksi. Pacu jantung sekuensial A-V
pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak repon dengan atropin. Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat se telah loading volume. Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri. Pompa balon intra-aortik. Vasolidator arteri (nitropospid, hidralazin) Penghambat ACE Reporfusi Obat trombolitik
Percutaneous coronari intervention (PCI) primer Coronary arteru bypass graft (GABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit multivesel).
c.
Takikardia dan Vibrilasi Ventrikel Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan vibrilasi ventrikular dapat terjadi tampa tanda bahaya aridmia sebelumnya. Penatalaksana Takikardia vebtrikel:
Takikardia vebtrikel (VT) polimorvik yang menetap (lebih dari 30 detik atau menyebabkan
kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock unsynchoronizer menggunakan energi awal 200 j; jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J;, dan jika perlu shock ketiga 360J. Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina , edema paru dan
hipotensi (tekanan darah<90 mmHg ) harus diretapi dengan shock synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik yang tidak disertani angina, edema paru dan hipotensi
(tekanan darah<90 mmHg) diterapi salah satu regimen berikut:
Lidokain: bolus 1-1-5mh/kg. Bolius tambahan 0,5-0,75mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis loding total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading selanjutnya dengan infus 2-4 mg/ menit(30-50 ug/lg/menit).
Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
Amiodaron: 150mg infus selama 5-10 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit.
Kardioversi elektrik synchoronized dimulai dosis 50 J ( anestasi sebelumnya).
d. Penatalaksana fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC shock unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J ( klas I)
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refraksi terhadap shock elektrik
diberika terapi amiodaron 300 mg atau 5/kg. IV bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized. (klas Iia)
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1. Identitas pasien a. Nama: b. Umur: c.
Alamat:
d. Perkerjaan: e.
Tanggal masuk:
f.
Status:
2. Riwayat kesehatan Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti: Sesak Udema Nyeri dada Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada angota keluarganya adakah anggota keluarganya
yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien saat ini. Serta riwayat penyakit lainnya seperti: Darah tinggi Diabetes Penyakit jantung Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami penyakit yang
sama dengan yang dialami saat ini atau penyakit lain seperti: Riwayat asma Diabetes Stroke Gastritis Alergi
3. Pemeriksaan fisik Keadaan umum: Kesadaran:
4. Pemeriksaan penunjang: a.
Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi: Terjadi peningkatan leukosit Cardiac enzyms: Terjadi peningkatan enzim
b. Elektrokardiografi: a.
Detak jantung ………..
b. Ekokardiografi: Pergerakan dinding jantung dan struktur jantung. B. a.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan pola napas berhubungan dengan infark ditandai dengan sesak.
b. Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai dengan keluhan nyeri dada. c.
Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan perfusi organ ditandai dengan edema.
d.
Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi/peningkatan kebutuhan metabolik ditandai dengan kelebihan berat badan.
e.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam aktivitas .
f.
Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan ketakutan, gelisah dan perilaku takut.
C.
INTERVENSI
1. Intervensi untuk diagnose gangguan nyeri. Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang. Kriteria hasil: Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari. Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari. Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam waktu 3 hari. Intervensi: Kaji lokasi, karakter, dura durasi, dan intensitas, nyeri, dengan menggunakan skala nyeri 0
(tidak nyeri) sampai 10 (nyeri hebat). Kaji gejala berkaitan, seperti mual dan diaporesis. Kaji dan catat TD dan FJ dengan episode nyeri. TD dan Fj dapat meningkat karena randsang
simpatis atau menurun karena iskemia dan fungsi jantung menurun. Berikan obat nyeri yang diprogramkan (biasanya morfin sulfat): catat kualitas pengurangan
nyeri dengan menggunakan skala nyeri, dan tentukan interval waktu danri pemberian sampai penghilangan nyeri. Tenangkan pasien selama episode nyeri; temani pasien bila mungkin.
Observasi dan laporkan efek samping dari obat nyeri: hipotensi, FP lambat, sulit miksi. Berikan O2 sesuai program, biasanya 2-4 L/menit per kanula nasal. Siapkan pasien untuk pindah UPK. (Unit Perawatan Kritis)
2. Intervensi untuk diagnosa gangguan keseimbangan elektrolit. Tujuan: Mempertahankan keseimbangan cairan dalam 1 hari dibuktikan dengan TD dalam
batas normal. Kriteria hasil: Tidak ada distensi vena perifer/vena dan edema dependen Paru bersih dan berat badan stabil. Intervensi: Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels. Catat DVJ, adanya edema dependen. Ukur masukan/haluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi. Hitung keseimbangan
cairan. Timbang berat badan tiap hari. Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler. Berikan diet natrium rendah/minuman. Berikan diuretic, contoh furosemid (Lazix); hidralazin (Apresoline): spironolakton dengan
hidronolakton (Aldactone). Pantau kalium sesuai indikasi.
3. Intervensi dari perubahan pola nutrisi: Tujuan: Meningkatkan nutrisi yang seimbang bagi pasien. Kriteria hasil: setelah perawatan menyatakan berat badan berkurang dalam waktu 1 minggu. Intervensi: Kaji nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energy; kondisi
kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia. Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat penerimaan. Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat makanan, jumlah kalori dengan tepat. Jamin penampungan akurat dari specimen (urine, feses, drainase) untuk pemeriksaan
keseimbangan nitrogen. Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat control infuse sesuai
kebutuhan. Atur kecepatan pemberian per jam sesuai anjuran. Jangan meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”. Ketahui kandungan elektrolit dari larutan nutrisional.
Jadwalkan aktivitas dengan istirahat. Tingkatkan teknik relaksasi.
4. Intervensi dari intoleransi aktivitas: Tujuan: mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur. Kriteria hasil: melaporkan tidak adanya angina/terkontrol dalam rentang waktu selama
pemberian obat. Intervensi: Pantau pasien terhadap tanda intolenransi aktivitas, dan minta pasien untuk merentang
aktivitas dan yang diprogramkan. Mati dan laporkan gejala-gejala curah jantung menurun atau gagal jantung: TD menurun,
ekstremitas dingin, oliguria, nadi perifer menurun, FJ meningkat. Pantau M & H dan waspadai haluaran urine <30 ml/jam. Auskultasi lapang paru setiap dua
jam terhadap krekels, yang dapat terjadi pada retensi cairan dengan gagal jantung. Palpasi nadi perifer pada interval sering. Waspadai ketidakteraturan dan penurunan amplitude,
yang merupakan sinyal gagal jantung. Berikan O2 dan obat-obatan sesuai program. Selama periode akut dari curah jantung menurun dan sesuai program, dukung pasien dalam
mempertahankan tirah baring dengan mempertahankan barang-barang milik pribadi dalam jangkauan, member situasi yang tenang, dan batasi pengunjung untuk memastikan periode istirahat tanpa gangguan. Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila ke kamar mandi diizinkan. Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak pasif atau dibantu seperti ditentukan oleh
toleransi aktivitas dan keterbatasan aktivitas. Konsul dengan dokter tentang tipe dan jumlah latihan di tempat tidur yang dapat dilakukan bila kondisi pasien membaik Bila tepat, ajarkan pasien mengukur FJ sendiri untuk mengukur toleransi latihan. Pastikan pasien menjalani istirahat tanpa gangguan ≥90 menit. Rencanakan aktivitas yang
sesuai. 5. Intervensi untuk diagnosa ansietas: Tujuan: mengidentifikasi dan mengenal perasaan pasien. Kriteria hasil: menyatakan penurunan ansietas/takut. Intervensi: Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman/situasi. Dorong mengekspresikan
dan jangan menolak perasaan marah, kehilangan, takut dll. Catat adanya kegelisahan, menolak dan menyangkal mengikuti program medis. Mempertahankan kepercayaan.
Kaji tanda verbal/nonverbal kecemasan dan tinggal dengan pasien. Lakukan tindakan bila
pasien menunjukkan perilaku merusak. Terima tetapi jangan diberi penguatan terhadap penggunaan penolakan. Hindari konfrontasi. Orientasikan pasien atau orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang di
harapkan. Tingkatkan partisipasi bila mungkin. Jawab semua pertanyaan secara nyata. Berikan informasi konsisten; ulangi sesuai indikasi. Anjurkan pasien atau orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan seseorang, berbagi
pertanyaan dan masalah. Berikan periode istirahat atau waktu tidur tidak terputus, lingkungan tenang, dengan tipe
kontrol pasien, jumlah rangsangan eksternal. Dukung kenormalan proses kehilangan, melibatkan waktu yang perlu untuk penyelesaian. Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat. dukung kemandirian, perawatan sendiri dan pembuatan keputusan dalam rencana pengobatan. dukung keputusan tentang harapan setelah pulang. D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. E. EVALUASI
a. Nyeri berkurang atau hilang. b. Pola nafas pasien teratur c.
Cairan dalam tubuh pasien dalam keadaan normal
d. Nutrisi pasien terpenuhi e.
Aktifitas pasien meningkat (normal)
f.
Ansietas berkurang atau hilang
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 2011. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) pada Laki-Laki 54 Tahun Memiliki Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Jakarta:EGC Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Reeves, Charlene J., dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC (http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=ST+Elevasi+Miokard+Infark+%28STEMI
%29+pada+Laki-Laki+54+Tahun+Memiliki+Kebiasaan++Minum+Alkohol, (diakses 24 Oktober 2012) (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22069/4/Chapter%20II.pdf), (diakses 24
Oktober 2012)