Larutan IIID ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254
Dieluasi dengan eluen butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5) dan penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi sitrat borat atau uap ammonia
0.3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana sampai n-heksana tidak berwarna. Residu dilarutkan dalam etanol dan dibagi mejadi 4 bagian yaitu IIIA, IIIB, IIIC, IIID
Uji Bate-Smith dan Metcalf : Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIB ditambah 0,5 ml HCl pekat dan diamati perubahan warna yang terjadi, kemudian dipanaskan air dan diamati lagi perubahan warna yang terjadi, bila perlahan menjadi warnamerah terang atau ungu menunjukkan adanya leukoantosianin
Uji Wilstater : Larutan IIIC ditambah 0.5 ml HCL pekat dan 4 potong magnesium. Diamati warna yang terjadi. Diencerkan dengan air suling, kemudian ditambah 1 ml butanol , diamati perubahan warna . warna merah jingga menunjukkan adanya flavon, merah pucat menunjukkan adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya flavonon
Menimbang 0,3 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml entanol, lalu dibagi menjadi tiga bagian masing-masing 5 ml, disebut larutan IIA, IIB, IIC
Uji Liebermann-Burchard : Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat, lalu dikocok perlahan dan diamati terjadinya perubahan warna
Uji Salkowski : Larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulya cincin berwarna merah
Sebanyak 0,3 gram ekstrak ditambah air suling 10 ml, dikocok kuat kuat selama kira-kira 30 detik
Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan
Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, lalu ditotolkan pada fase diam
Lempeng Kiesel gel GF 254 dieluasi dengan n-heksana-etilasetat (4:1) dan penampak noda yang digunakan yaitu anisaldehid asam sulfat yang kemudian lempengnya dipanaskan
Larutan IVA sebagai blanko
Larutan IVB ditambah sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%, bila terjadi endapan putih menunjukkan adanya tanin
Larutan IC ditambah NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa dan diamkan selama 30 menit
Kemudian diekstraksi dengan 5 ml kloroform bebas air, lalu disaring. Filtrat diuapkan sampai kering, kemudian larutkandalam metanol dan siap untuk KLT
Lempeng dieluasi dengan eluen etil asetat-metanol-air (9:2:2) dengan fase diam Kiesel gel GF 254, dan penampak noda Dragendprf
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
SKRINING FITOKIMIA
Kelompok 3K :
Wirawan Deni (132210101006)
Maulida Agustinawati (132210101036)
Rofiko Nuning R (132210101039)
Lintang Nur A (132210101040)
Irine Aulia Setiawan (132210101105)
Mariyatul Qibthiyah M (132210101118)
Fitri Valentina S (142210101003)
Yogi Prabawasari (142210101005)
Siti Nurrosyidah (142210101011)
Yuvita Dian Damayanti (142210101025)
Hilma Imaniar (142210101027)
Sutatik (142210101037)
Tsulsiyah Zahroh Putri (142210101051)
Mijil Emas Amardhika (142210101054)
Widyaning Dwi Astuti (142210101055)
LABORATORIUM BIOLOGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fitokimia atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah serta fungsi biologinya. Tumbuhan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organik, senyawa kimia ini bisa berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder. Kebanyakan tumbuhan menghasilkan metabolit sekunder, metabolit sekunder juga dikenal sebagai hasil alamiah metabolisme. Hasil dari metabolit sekunder lebih kompleks dibandingkan dengan metabolit primer. Berdasarkan asal biosintetiknya, metabolit sekunder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yakni terpenoid (triterpenoid, steroid, dan saponin) alkaloid dan senyawa-senyawa fenol (flavonoid dan tanin) (Simbala, 2009).
Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional ini terus dikembangkan & dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang terus ditingkatkan melalui penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Obat tradisional biasanya digunakan dalam bentuk pengobatan sendiri atau sebagai obat yang diperoleh dari pemberi pelayanan pengobatan.
Bukti empiris tentang penggunaan tanaman obat sebagai obat tradisional oleh nenek moyang kita selama beratus-ratus tahun terbukti relatif aman. Jika digunakan secara benar, obat tradisional jarang sekali menimbulkan efek samping. Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahan baku, cara pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan pencampuran dengan bahan kimia. Beragam upaya dilakukan dalam pencarian tumbuhan berkhasiat obat dimulai dari mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung di dalamnya serta bentuk morfologi dari tumbuhan tersebut yang memberikan ciri khas. Namun, tidak semua tumbuhan berkhasiat yang memberikan ciri khas itu dapat dikategorikan sebagai tumbuhan berkhasiat obat. Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik di dalam maupun di luar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang, terutama dari segi farmakologi maupun fitokimianya penelitian dilakukan berdasarkan indikasi tumbuhan obat yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris.
Tujuan Percobaan
Mahasiswa mengetahui cara pembuatan ekstrak untuk skrining fitokimia
Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan alkaloid
Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid, dan steroid
Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan flavonoid
Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin
Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan antrakinon
Rumusan Masalah
Bagaimana cara melakukan skrining fitokimia?
Apa saja kandungan kimia yang terdapat pada daun jambu biji (Psidium guajava)?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Fitokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari mengenai pertumbuhan dan metabolisme tanaman, misalnya pengubahan unsur anorganik seperti nitrogen, kalium, air dan karbon dioksida menjadi pati, gula, protein dan sebagainya yang dibutuhkan oleh tanaman. Ilmu fitokimia secara analisis merupakan penambahan secara sistematis tentang berbagaisenyawa kimia, terutama dari golongan senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan, proses biosintesis, metabolisme dan perubahan-perubahan lain yang terjadi pada senyawa kimia tersebut beserta sebaran dan fungsi biologisnya.
Untuk mengetahui atau menentukan kandungan zat aktif dalam suatu tumbuhan atau ekstrak tumbuhan dapat dilakukan screening atau penapisan. Metode screening atau penapisan ini diantaranya:
Metode skrining
Penapisan Fitokimia (Phytochemical Screening)
Penapisan Fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder.
Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang diperoleh tidak diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ini ditujukan untuk mengetahui kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman.
Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki persyaratan:
Metodenya sederhana dan cepat
Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara:
uji warna
penentuan kelarutan
bilangan Rf
ciri spektrum UV
Masalah pada skrining fitokimia biasanya adalah kesalahan menafsirkan hasil analisis pengujian/skrining, seperti :
Reaksi positif palsu adalah hasil pengujian menyatakan ada (positif), tapi sebenarnya tidak ada (negatif), hal ini bisa disebabkan kesalahan alat, atau pengaruh senyawa yang memiliki kesamaan sifat maupun struktur atom yang identik
Reaksi negatif palsu adalah hasil pengujian menyatakan tidak ada (negatif), tapi sebenarnya ada (positif), hal ini bisa disebabkan kurang sensitifnya alat, atau karena kadar didalam bahan uji terlalu sedikit, atau bahan ujinya (ekstrak simplisia) tidak memenuhi syarat, oleh karena itu senyawa yang tadinya ada hilang/rusak karna reaksi enzimatik maupun hidrolisis.
Penapisan Farmakologi atau Biologi (Pharmacological/Biological Screening)
Penapisan ini dilakukan dengan cara menguji aktivitas farmakologi atau biologi berbagai macam ekstrak tanaman. Tumbuhan atau tanaman yang diuji efek farmakologinya bisa berupa tanaman yang dikumpulkan secara acak (random screening) atau kelompok tanaman yang terpilih. Hasil dari metode ini dijadikan sebagai alat untuk mengisolasi zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman.
Penapisan Etnofarmakologi
Metode penapisan ini didasarkan pada pengetahuan tradisional masyarakat suatu daerah atau budaya tertentu. Metode ini melibatkan berbagai macam disiplin ilmu seperti antropologi, etnobotani, botani, fitokimia, dan farmakologi.
Metode ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu bahan simplisia sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Didalam satu simplisia ada senyawa yang dapat larut dalam cairan penyari dana ada yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Ekstrak yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ekstrak daun jambu biji.
Berikut adalah kelebihan dan kekurangan beberapa metode ekstraksi :
Maserasi
Keuntungan :
Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam
Biaya operasionalnya relatif rendah
Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan
Kekurangan :
Proses penyariannya tidak sempurna karena zat aktif mampu terekstraksi sebesar 50% saja
Prosesnya lama karena butuh waktu beberapa hari
Perkolasi
Kelebihan :
Tidak terjadi kejenuhan
Pengaliran meningkatkan difusi
Kekurangan :
Cairan penyari lebih banyak
Resiko cemaran mikroba untuk penyari air karena dilakukan secara terbuka
Soxhletasi
Kelebihan :
Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung
Digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur
Kekurangan :
Pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah disebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas
Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi
Refluks
Kelebihan :
Mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar
Tahan pemanasan langsung
Kekurangan :
Membutuhkan volume total pelarut yang besar
Membutuhkan sejumlah manipulasi dari operator
Destilasi uap air
Kelebihan :
Alatnya sederhana
Menghasilkan minyak atsiri dalam jumlah yang cukup banyak
Kekurangan :
Cocok untuk minyak atsiri yang rusak oleh panas uap air
Membutuhkan waktu destilasi yang lebih panjang untuk hasil yang lebih banyak
Infusi
Kelebihan :
Unit alat yang dipakai sederhana
Biaya operasionalnya relatif rendah
Kerugian :
Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali, apabila kelarutanya sudah mendingin dan hilangnya zat-zat atsiri
Adanya zat-zat yang tidak tahan panas lama
Skrining Fitokimia
Metabolit sekunder yang dihasilkan dari proses ekstraksi serta metode yang dapat dilakukan skrining fitokimia antara lain (Mandal, 2015):
Deteksi Triterpenoid
Uji Noller
Larutan uji ditambahkan reagen Moller (0.1% Stannic klorida dalam tionil klorida) menghasilkan warna merah
Uji Sannie
Campuran stannous klorida, asam asetat dan karbon tetraklorida (6:50:50) ketika disemprotkan pada kertas saring yang berisi triterpen dan dipanaskan pada 100°C menghasilkan warna coklat .
Uji Rosenthaler
Penambahan asam sulfat untuk larutan beralkohol dari triterpen mengandung vanilin hidroklorida memberikan reaksi warna.
Detreksi Steroid
Uji Libermann-Burchard
Ditambahkan asam sulfat pekat ked lam larutan ekstral dalam asam asetat glacial, jika postif akan memberikan perubahan warna merah mawar (rose) menjadi merah, ungu, dan biru kehijauan.
Reaksi lifschutz
Sebuah reaksi warna dihasilkan ketika sterol dipanaskan dengan asam perbenzoat, asam asetat glasial, dan asam sulfat.
Reaksi Rossenhein
Senyawa diperlakukan dengan kloroform dan disemprot dengan asam trikloroasetat, dan warna Rossenhein diproduksi untuk ergosterol.
Uji Zimmermann
Uji ini positif untuk semua sterol 17-keto. Senyawa ditambah dengan 1 ml dari 2 N kalium hidroksida dalam alkohol absolut dan 1 ml dari 1% dinitrobenzene dalam alkohol absolut. Setelah 10 menit, campuran itu ditambahkan ke 10 ml alkohol absolut akan menghasilkan warna violet
Reaksi Tschugaeff
Larutan asam asetat glasial dari sterol ditambah dengan seng klorida dan asetil klorida dan direbus lalu jika positif maka terbentuk warna merah.
Reaksi Pinus
Androsteron ditambahkan ke dalam larutan antimon triklorida di asam asetat memberikan warna biru.
Reaksi Pettenkofer
Larutan furfural dalam asam asetat ditambahkan ke dehydroepiandrosterone diikuti dengan penambahan asam sulfat dan pemanasan memberikan warna merah. Warna ini perubahan merah kebiruan dalam beberapa hari.
Deteksi Tanin dan Senyawa Fenolik
Fenolik dapat berbentuk fenol bebas atau dalam bentuk glikosidik. Karena banyaknya fungsi hidroksil, fenol cenderung relatif polar dan larut dalam alkohol encer. Karena merupakan asam lemah, maka juga dapat diekstraksi atau dipecah menjadi alkali encer seperti garam fenolat. Masalah yang dihadapi dengan senyawa fenolik adalah dapat mengalami reaksi polimerisasi oleh aksi oksidasi polifenol. Reaksi ini menghasilkan warna coklat pada bahan tanaman yang rusak bila terkena udara (Houghton, 1998).
Proses deteksi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
Uji ferri klorida
Ditambahkan beberapa tetes 5% FeCl3 ke dalam larutan ekstrak air dari sampel, dan dengan adanya warna hijau gelap menunjukkan adanya fenolik senyawa.
Uji Gelatin
Ditambahkan 2 ml larutan 1% gelatin mengandung 10% natrium klorida ke dalam larutan ekstrak air dari sampel. Adanya endapan putih menunjukkan adanya senyawa fenolik. Asam galat dan pseudotannin akan positif dengan gelatin jika larutannya cukup pekat.
Uji Goldbeater
Rendam kulit goldbeater dalam 2% asam hidroklorat; bilas dengan air suling dan dimasukkan dalam larutan uji selama 5 menit. Cuci dengan air suling dan dipindahkan ke larutan 1% besi sulfat. Adanya warna coklat atau hitam pada kulit menunjukkan adanya tanin. Kulit goldbeater adalah membran yang dibuat dari usus sapi.
Uji Phenazone
Untuk sekitar 5 ml ekstrak air, tambahkan 0,5 g asam natrium fosfat; hangat, dingin, dan filter. Untuk filtrat tambahkan 2% larutan dari phenazone. Lalu adanya tannin akan memberikan endapan.
Uji untuk katekin
Katekin pada pemanasan dengan asam membentuk phloroglucinol, dilakukan untuk uji lignin. Celupkan batang korek api ke dalam ekstrak tanaman, keringkan, dibasahi dengan asam klorida pekat, dan hangatkan di dekat api. Phloroglucinol menghasilkan warna pink kayu atau merah.
Uji asam klorogenat
Ekstrak yang mengandung asam klorogenat ketika ditambah dengan larutan amonia dan terkena udara secara bertahap memberikan warna hijau.
Uji timbal asetat
Ekstrak air dilarutkan dalam air suling, dan ditambahkan 3 ml 10% larutan timbal asetat. Adanya endapan putih menunjukkan adanya senyawa fenolik.
Deteksi alkaloid
Alkaloid mengandung amina yang dapat diekstraksi secara selektif menggunakan modifikasi dari metode klasik "asam-basa". Sebagai aturan umum, adanya asam dan basa kuat harus dihindari dalam penentuan alkaloid (dan bahan tanaman pada umumnya) ketika senyawa sasaran tidak diketahui (Sarker, 2012).
Serbuk dicampur dengan 1 ml 10% larutan amonia atau 10% larutan natrium sodium, lalu dikocok selama 5 menit dengan 5 ml 60oC. Filtrat didinginkan (Sarker, 2012).
Tes Dragendroff
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan 2 ml tetes reagen Dragendroff (potasium bismut iodida). Warna coklat kemerahan menandakan tes positif.
Tes Mayer
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Mayer (potasiummerkurat iodida). Warna krem menandakan tes positif.
Tes Wagner
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Wagner (larutan iodium pada potasium iodida). Warna coklat kemerahan menandakan tes positif.
Tes Hager
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Hager (larutan asam pitrat jenuh). Warna kuning menandakan tes positif.
Tes Marme
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Marme (kadmium iodida + potasium iodida + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
Tes Scheiber
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Scheiber (natrium tungstat + dinatrium fosfat + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
Tes Reineckate
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan Reineckate (1 gram amonia pada air dan 0,3 gram hidroksilamin hidroklorida pada 100 ml etanol) lalu terbentuk endapan jika postif.
KLT untuk mendeteksi alkaloid
Tanpa penambahan senyawa kimia yaitu dengan menyinari lempeng yang sudah ditotolkan ekstrak sampel dibawah sinar UV 254nm akan terjadi pemadaman pada lempeng. Pada UV 365 nm beberapa alkaloid seperti rauwolfia, ajmalin dapat menunjukkan fluoresensi biru atau kuning.
Dengan menggunakan reagen semprot yaitu dengan penyemprotan Dragendorf akan memberikan warna coklat atau oranye pada totolan sampel, namun warna yang dihasilkan tidak stabil sehingga perlu diberi tambahan larutan 5% Na nitrit atau 5% asam sulfat etanolik.
Deteksi Glikosida
'Glikosida' adalah istilah umum yang mencakup berbagai macam ciri umum zat, yang terdiri dari setidaknya satu molekul gula yang dihubungkan melalui karbon anomerik untuk bagian lain. Secara teknis, mencakup baik holosida (misalnya disakarida, oligosakarida, polisakarida). Glikosida relatif polar karena adanya satu atau lebih gula dalam molekul. Kebanyakan glikosida dapat diekstraksi dengan pelarut polar seperti aseton, etanol, metanol, air atau campurannya. Aglikon glikosida dapat diperoleh dengan menghidrolisa ekstraks glikosida dalam media air, diikuti oleh ekstraksi aglycone ke dalam pelarut yang kurang polar, misalnya dietileter atau diklorometana (Houghton, 1998).
Uji Keller Kiliani : spesifik untuk digitoxose moiety
Uji Baljet : menggunakan larutan Na pikrat. Reaksi positif ditandai dengan pengubahan warna kuning menjadi oranye.
Uji Raymond : kardenolida direaksikan dengan m-dinitrobenzena dan NaOH metanolik memberikan warna ungu
Uji Legal : menggunakan larutan alkali Na nitroprussida memberikan warna merah muda.
Uji Liebermann-Burchard : melarutkan sampel dalam asam asetat glacial lalu ditambah 1 tetes asam sulfat pekat. Perubahan warna terjadi dari merah mawar (rose0 menjadi merah, ungu, dan biru kehijauan. Reaksi dilakukan untuk steroid moiety.
Kardeinolida positif pada reaksi-reaksi di atas, namun bufadeinolida memberikan hasil positif pada uji Liebermann-Burchard.
Tes Borntrager
Panaskan serbuk dengan asam sulfat, saring dan tambahkan kloroform pada filtart. Kocok dan kumpulkan lapisan organik. Tambahkan sedikit beberapa tetes larutan amonia pekat, kocok dan jaga tabung uji beberapa menit. Warna merah/merah muda menunjukkan adanya antarkinon dan jika negatif, mengandung antranol.
Tes Modifikasi Borntrager
Dilakukan dengan feriklorida dan melarutkan menggunakan asam hidroklorat untuk hidrolisis oksidatif. Adanya antrakinon ditunjukkan dengan warna merah muda sampai merah saat diekstraksi dengan karbon tetraklorida, lalu ketika dikocok dengan amonia.
Deteksi dengan KLT dilakukan dengan 2 metode yaitu tanpa reagen kimia dan dengan adanya reagen semprot.
Tanpa reagen kimia terjadi pemadaman lemah oleh kardenolida pada UV 265nm, namun pemadaman kuat oleh bufadenolida. Untuk glikosida jantung, tidak boleh dilakukan fluoresensi pada panjang gelombang 365nm.
Dengan reagen semprot dapat dilakukan untuk mendeteksi secara spesifik untuk kardenolida dan untuk mendeteksi secara umum untuk kardenolida da bufadenolida. Untuk mendeteksi kardenolida secara spesifik, dilakukan dengan reagen Kredde akan menyebabkan warna merah muda atau biru-ungu dan dapat juga menggunakan reagen Legal, Baljet, dan Raymond memberikan warna merah-oranye atau ungu. Untuk mendeteksi secara umum, dapat dilakukan dengan reagen asam kloramin-trikloroasetat memberika fluoresensi biru, kuning, atau kuning-hijau yang dilakukan pada panjang gelombang 365nm. Selain dengan reagen asam kloramin-trikloroasetat, dapat dilakukan juga dengan reagen asam sulfat 5ml lalu dipanaskan selama 3-5menit pada 100oC dan memberikan hasil fluoresensi biru, coklat, hijau, dan kekuningan dan beberapa muncul warna coklat atau biru di bawah sinar matahari.
Deteksi Flavonoid
Serbuk diekstraksi dengan 10 ml etanol selama 5 menit pada water bath suhu 60oC (Sarker, 2012).
Uji Shinoda
Ekstrak ditambahkan campuran lempeng magnesium dan dipekatkan dengan asam hidroklorat. Warna merah mengindikasikan adanya flavonoid, flavonon dan xanton.
Untuk larutan uji, ditambahkan feri klorida. Pergantian warna dari hijau menjadi hitam.
Deteksi dengan KLT tanpa atau dengan tambahan reagen kimia
Tanpa reagen dilakukan pada panjang gelombang 254nm, semua flavonoid menunjukkan pemadaman tampak biru tua pada lempeng KLT yang berfluoresensi kuning. Pada panjang gelombang 165nm, tergantung pada struktur, flavonoid akan memberikan fluoresensi berwarna kuning, biru, atau hijau, namun bisa terjadi hasil positif palsu jika ekstrak mengandung asam-asam dan kumarin (berfluoresensi biru)
Dengan reagen semprot dilakukan dengan reagen alami atau polietilen glikol memberikan fluoresensi pada 365nm yang intensif. Selain reagen tersebut, dapat juga dilakukan dengan reagen Fast Blue Salt akan memberikan warna biru-ungu di bawah sinar matahari, atau dapat juga dilakukan dengan tambahan 0,1 M NaOH atau 10% KOH.
BAB III METODE
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum "Identifikasi senyawa golongan alkaloid, glikosida saponin, triterpenoid, dan steroid" dilaksanakan pada hari Kamis, 29 September 2016 di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Jember.
Sedangkan Praktikum "Identifikasi senyawa golongan polifenol, tanin, dan antrakinon" dilaksanakan pada hari Kamis, 6 Oktober 2016 di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Jember.
Alat dan Bahan
Alat
Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Timbangan analitik
Kiesel gel GF 254 (fase diam)
Batang pengaduk
Pipet tetes
Kertas saring
Hot plate
Beaker glass
Tabung reaksi
Identifikasi Glikosia Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
Timbangan analitik
Kiesel gel GF 254 (fase diam)
Kertas saring
Hot plate
Beaker glass
Tabung reaksi
Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Timbangan analitik
Kiesel gel GF 254 (fase diam)
Kertas saring
Hot plate
Beaker glass
Tabung reaksi
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Timbangan analitik
Kiesel gel GF 254 (fase diam)
Batang pengaduk
Pipet tetes
Kertas saring
Hot plate
Beaker glass
Tabung reaksi
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Timbangan analitik
Corong pisah
Kiesel gel GF 254 (fase diam)
Kertas saring
Hot plate
Beaker glass
Tabung reaksi
Bahan
Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Ekstrak simplisia "X"
HCL 2N
NaCl
Pereaksi Mayer dan Wagner
NH4OH 28 %
Metanol : air : etil asetat (2:9:2) sebagai fase gerak
Pereaksi Dragendorf (penampak noda)
Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
Ekstrak simplisia "X"
Air suling
Etanol
Asam Asetat Anhidr
H2SO4
HCL 2 N
n-heksana-etilasetat (4:1)
Kiesel Gel GF 245
Anisaldehid Asam Sulfat\
Antimon klorida
Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Ekstrak simplisia "X"
N-heksana
Etanol
HCL p
Potongan magnesium
Butanol
Kiesel GF 254
Butanol-asam acetat galsial- air (4:1:5)
Pereaksi sitrat
uap amonia
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Ekstrak simplisia "X"
Aquadest panas
NaCl 10%
FeCl3
Gelatin
Kloroform : etil asetat (1:9) sebagai fase gerak
Pereaksi FeCl3 (penampak noda)
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Ekstrak simplisia "X"
Air suling
Toluena
Ammonia
KOH 5N
H2SO4
Asam asetat glasial
Toluena : etil : asam asetat (75:24:1)
Larutan KOH 10% dalam metanol
Cara Kerja
Identifikasi Senyawa Alkaloid
Penyiapan Sampel
Reaksi Pengendapan
Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid dan Steroid
Uji Buih
Reaksi Warna
Uji Kromatogafi Lapis Tipis
Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Reaksi Warna
Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Reaksi Warna
Uji ferriklorida
Uji gelatin
Catatan :
FeCl3 positif, uji gelatin positif : tanin (+)
FeCl3 positif, uji gelatin negatif : polifenol (+)
FeCl3 negatif : polifenol (-), tanin (-)
Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Rekasi Warna : Uji borntrager
Reaksi Warna : Uji modifikasi borntrager
Kromatografi Lapis Tipis
HASIL PENGAMATAN
No.
Uji
Hasil percobaan
Teoritis kandungan fitokimia
1.
Alkaloid
Uji Mayer
Uji Wagner
KLT dengan penampak noda Dragendorf
-
-
Warna jingga (+) alkaloid, Rf 0,9
Terdapat alkaloid berupa skimmianine, aegelin, viz, ethyl cinnamamide, o-3,3-(dimethylallyl)halforidinol, N-2-methoxy-2-[4-(3',3'-dimethylallyloxy)phenyl]ethyl cinnamamide (Atul dkk., 2012)
2.
Saponin, triterpenoid, dan steroid
Uji buih
Uji Liebermann-Burchard
Uji Salkowski
KLT untuk sapogenin steroid atau triterpenoid
KLT untuk terpenoid atau steroid
+ ada buih dengan tinggi 1 cm
Coklat-hijau, (-)
Cincin merah (+) steroid tak jenuh
Noda merah-ungu (+) sapogenin, Rf 0,325 dan 0,96
Noda merah-ungu (+) terpenoid atau steroid, Rf 0,25; 0,325; dan 0,44
Terpenoid yang dikandungnya yaitu 56%-α-δ-phellandzene, 17% cymene, dan α-limonene (Atul dkk., 2012). Selain itu, daun maja juga mengandung saponin (Rao dan Paria, 2015).
3.
Flavonoid
Uji Bate-smith dan Metcalf
Uji Wilstater
KLT
Hijau kehitaman (-)
Merah kecoklatan/merah tua (+) flavonon
Noda warna kuning (+) flavonoid, Rf 0,9
Flavonoid yang ada dalam daun maja yaitu rutin, flavon, flavan-3-ol, dan flavon glikosida (Atul dkk., 2012)
4.
Polifenol dan Tannin
Uji ferriklorida
Uji gelatin
KLT dengan penampak FeCl3
Hijau kehitaman (+) polifenol
Endapan hitam (-) tannin
Noda warna kuning kecoklatan (-) polifenol, Rf 0,8375
Tannin yang dikandung dalam daun maja yaitu 4,7,8-trimethoxyfuro-quinoline. Senyawa fenolik lain yang ada dalam daun maja yaitu marmesin (Atul dkk., 2012).
5.
Antrakinon
Uji borntrager
Uji modifikasi borntrager
KLT dengan penampak noda 10% KOH dalam metanol
Hijau kecoklatan (-) antrakinon
Putih keruh (-) antrakinon
Noda warna kuning muda (+) antrakinon, Rf 0,9375; 0,625; dan 0,2375
Antrakinon terkandung dalam biji buah Maja. Dalam daun Maja, belum ada yang melaporkan adanya kandungan antrakinon (Mishra dkk., 2010).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Fitokimia Daun Maja berdasarkan Jurnal Penelitian
Aegle marmelos (L.) Corr.merupakan tanaman yang biasa dikenal sebagai Maja memiliki sebutan beragam di tiap daerah, antara lain : Mojo atau Mojo legi (Jawa), Maos (Madura), Bilak (Melayu), dan Kabila (Alor, Nusa Tenggara). Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Bangsa Rutales, Suku Rutaceae, dan Marga Aegle. Selain di Indonesia, ternyata Maja juga dapat dijumpai di wilayah Asia Tenggara lainnya dan Asia Selatan. Daerah penyebarannya terutama di dataran rendah hingga ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut dengan kondisi lahan basah seperti rawa-rawa maupun di lahan kering, dan pada suhu 49°C saat musim kemarau atau -7°C saat musim dingin.
Pohon Maja dapat tumbuh sampai 20 m dengan tajuk yang tumbuh menjulang ke atas. Bunganya harum hingga aroma wanginya bisa tercium dari jarak yang cukup jauh. Tanaman ini mulai berbuah pada umur 5 tahun dan produksi maksimal dicapai setelah umur 15 tahun. Satu pohon bisa menghasilkan 200 – 400 butir buah. Buah Maja biasanya masak pada musim kemarau bersamaan dengan daun-daunnya yang meluruh. Bentuk buah seperti bola voli memiliki diameter 5 – 12 cm, kulit buah berwarna hijau dan keras, dagingnya putih dan berbau harum serta manis rasanya. Buah ini sering kali dianggap sama dengan Berenuk (Crescentia cujete L.) yang juga memiliki kulit buah berwarna hijau namun dagingnya berasa pahit.
Daun dan buah Maja
Menurut Hariana (2008), beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Maja di antaranya, zat lemak dan minyak terbang yang mengandung linonen. Daging buah Maja mengandung 2-furocoumarins-psoralen dan marmelosin (C13H12O3 ). Buah, akar, dan daun Maja bersifat antibiotik. Selain itu, akar, daun, dan ranting digunakan untuk mengobati gigitan ular. Akar Maja mengandung psoralen, anthotoxin, o-methylscopoletin, scopoletin, decursinol, haplonine, dan aegelinol. Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-[4-3,3-dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-ethylcinnamamide.
Sedangkan menurut Rismayani (2013), buah Maja selain mengandung marmelosin juga mengandung minyak atsiri, pektin, saponin, dan tanin. Senyawa saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat dan apabila dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin inilah menyebabkan buah Maja berbusa, mempunyai sifat antieksudatif, inflamatori, dan haemolisis (merusak sel darah merah).
Berikut adalah table ringkasan kandungan metabolit dalam tanaman Maja (Maity dkk., 2009)
Kandungan fitokimia dalam tanaman Maja (Maity dkk., 2009)
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa/golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman. Hal yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu penggolongan alkaloid, glikosida saponin, triterpenoid, dan steroid, serta golongan flavonoid. Pada praktikum yang dilakukan, kami (praktikan) menggunakan ekstrak tanaman X.
Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Uji pengendapan Wagner
Pereaksi wagner digunakan untuk mengendapkan dan mendeteksi alkaloid. Reaksi dibuat dari 1,27 g I2 dan 2 g KI dalam 100 ml aquadest. Hasil positif membentuk endapan berwarna coklat. Hasil yang didapat kelompok 3K menunjukkan hasil yang negatif (tidak ada endapan, dan larutan ekstrak berwarna coklat kemerahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak X tidak mengandung alkaloid. Namun, bisa juga diartikan bahwa mungkin ekstrak X mengandung alkaloid namun dalam jumlah sedikit. Sehingga diperlukan konsentrasi yang lebih pekat untuk dapat mengendapkan alkaloid, karena uji pegendapan ini tidak selektif dan spesifik sehingga tidak dapat di tarik kesimpulan.
Uji pengendapan Mayer
Pereaksi mayer digunakan untuk mengendapkan alkaloid, pereaksi ini dibuat dari 60 ml HgCl2 sebanyak 2,266 % b/b dengan 10 ml larutan KI 50 % b/v, kemudian ditambahkan air hingga volume 100 ml. Adanya alkaloid dalam ekstrak dapat menimbulkan endapan putih menggumpal. Hasil yang didapat dari kelompok 3k menunjukkan tidakadanya endapan putih (larutan berwarna coklat) sehingga dimungkinkan ekstrak tidak mengandung alkaloid atau kadar alkaloid yang dikandung dalam ekstrak terlalu kecil akibatnya tidak dapat terdeteksi dengan menggunakan metode pengendapan mayer.
Kromatografi Lapis Tipis
Uji kromatografi lapis tipis memiliki selektifitas dan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji pengendapan (organoleptis) sehingga apabila pada percobaan dengan uji pengendapan menghasilkan hasil yang negatif maka belum tentu senyawa yang dimaksud tidak ada pada ekstrak, dan jika dengan KLT memberikan hasil yang positif (terdapat noda Rf sesuai dengan alkaloid maka kesimpulan akhir mengikuti KLT.
Uji dengan KLT untuk menentukan ada tidaknya alkaloid menggunakan ekstrak X. Fase diam yang digunakan yaitu kiesel gel GF 254 , fase gerak berupa etil asetat-metanol-air (9:2:2) dan dengan penampak noda dragendorf memberikan warna jingga pada noda pada jarak migrasi 7.2 cm (Rf=0.9). Hal itu menunjukkan adanya kandungan alkaloid dalam ekstrak. Untuk nilai Rf yang didapatkan dapat dibandingkan secara teoritis dengan literature, jika dan hanya jika kondisi analisis pada literature sama dengan kondisi analisis pada saat percobaan (praktikum), sedangkan kami (praktikan) belum menemukan literature dengan kondisi analisis yang sama sehingga nilai Rf belum bisa dibandingkan.
Secara teoritis, terdapat alkaloid berupa skimmianine, aegelin, viz, ethyl cinnamamide, o-3,3-(dimethylallyl)halforidinol, N-2-methoxy-2-[4-(3',3'-dimethylallyloxy)phenyl]ethyl cinnamamide (Atul dkk., 2012). Maka disimpulkan terdapat negatif palsu dalam penginterpretasian hasil reaksi warna dengan uji Meyer dan Wagner.
Identifikasi Glikosia Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
Uji buih (Forth)
Uji buih dilakukan untuk megetahui ada tidaknya kandungan saponin dalam ekstrak. Hal ini diketahui dari ada tidaknya buih yang banyak ditemukan dalam tanaman yang memiliki karakteristik seperti buih sehingga bila direaksikan degan air akan menimbulkan buih. Hasil yang kami dapatkan yaitu adanya buih setinggi 1 cm yang tidak hilang setelah dibiarkan selama 10 menit. Hal tersebut menunjukkan adanya saponin pada ekstrak X. Tinggi buih menunjukan kadar saponin dalam ekstrak.
Reaksi warna (lieberman-burchard)
Reaksi ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan glikosida saponin, triterpenn, steroid dan saponin jenuh . Hasil yag didapatkan yaitu perubahan warna coklat hijau. Dalam hal ini, waena cokelat hijau tidak dapat dikategorikan dalam golongan senyawa glikosida, karena untuk menunjukkan adanya saponin steris (hijau biru), triterpenoid (merah ungu), atau saponin jenuh (kuning muda). Ini merupakan kelemahan jika menggunakan reaksi warna karena adanya kesulitan dalam menginterpretasikan warna dalam ekstrak, apalagi jika warna ekstrak yang gelap dapat menyusahkan dalam proses penginterpretasian. Sehingga, kami menyimpulkan, mungkin dalam ekstrak mngandung salah satu dari ketiga senyawa tersebut.
Reaksi Warna Salkowski
Reaksi ini dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan steroid tak jenuh dengan ditandai cincin merah. Hasil yang di dapatkan adalah timbul berwarna hijau tua pada saat awal peambahan H2SO4 pa dibagian tengah tabung reaksi, namun setelah didiamkan sekitar 1 jam, cincin berubah menjadi coklat kemerahan. Hal ini dapat memungkinkan adanya steroid tak jenuh dalam ekstrak X.
Uji sapogenin Steroid atau Triterpenoid dan terpenoid dengan KLT
Pada analisis KLT sapogenin steroid atau triterpenoid, dilakukan hidrolisis saponin pada sampel, lalu dinetralkan dan diekstraksi dengan n-heksana, lalu dieluasi dalam fase diam Kiesel GF 254, fase gerak n-heksana-etilasetat (4:1), dan penampak noda anisaldehid asam sulfat. Sedangkan untuk analisis KLT terpenoid atau steroid bebas, ekstrak sampel ditambah beberapa tetes etanol dan diaduk hingga larut Kondisi analisis uji sapogenin steroid atau triterpenoid sama dengan uji terpenoid atau steroid bebas. Hasil yang didapatkan adalah :
Uji Sapogenin :
Warna noda = merah ungu
Ada 2 noda yaitu Rf 0,325 dan 0,96
Menunjukkan adanya kandungan sapogenin steroid atau triterpenoid
Uji terpenoid :
Warna = Ungu
Ada 3 noda yaitu Rf 0,25; 0,325 dan 0,44
Menunjukkan adanya kandungan terpenoid dalam ekstrak
Secara teoritis, terpenoid yang dikandungnya yaitu 56%-α-δ-phellandzene, 17% cymene, dan α-limonene (Atul dkk., 2012). Selain itu, daun maja juga mengandung saponin (Rao dan Paria, 2015). Sehingga, hasil percobaan yang diperoleh dinyatakan negative palsu.
Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau kecuali alga. Flavonoid umumnya ditemukan pada tanaman tingkat tinggi. Flavonoid juga termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Untuk mengetahui kandungan flavonoid dalam ekstrak X, dilakukan reaksi warna berupa:
Uji Bate-smith dan Metcalf
Hasil ekstraksi ekstrak dengan n-heksana ditambah HCl pekat, lalu dipanaskan. Didapatkan warna hijau kehitaman (tidak menunjukkan leukoantosianin).
Uji Wilstater
Hasil ekstraksi ekstrak dengan n-heksana ditambah HCl pekat dan logam magnesium menunjukkan warna merah kecoklatan atau merah tua (menunjukan adanya flavonon).
KLT
Dilakukan dengan fase gerak butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5) dengan penampak noda menunjukan warna kuning dengan Rf 0.9. Karena hasil KLT positif maka ekstrak mengandung senyawa Flavonoid.
Secara teoritis, flavonoid yang ada dalam daun maja yaitu rutin, flavon, flavan-3-ol, dan flavon glikosida (Atul dkk., 2012). Kandungan flavonon dalam daun maja belum ada yang melaporkan, sehingga adanya kesalahan penginterpretasian warna dari hasil percobaan uji Whilstater yang harusnya memberikan warna merah jingga (untuk flavon) dan merah pucat (untuk flavonol). Hal ini dapat terjadi karena kelemahan reaksi warna yang tidak selektif, sehingga susah untuk membedakan dan menginterpretasikan jika terdapat 2 senyawa dalam 1 uji. Selain itu, warna ekstrak yang gelap juga mempengaruhi kesalahan ini.
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Polifenol merupakan golongan senyawa yang memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Peranan gugus fenol adalah memberi warna pada suatu tumbuhan, antioksidan, dan digunakan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Tanin merupakan salah satu jenis golongan polifenol yang dapat mengikat protein, alkaloid, dan gelatin. Tanin digunakan sebagai pengkelat sehingga mampu mengendapkan protein.
Uji yang dilakukan meliputi reaksi warna (uji ferriklorida dan uji gelatin) dan kromatografi lapis tipis. Pada reaksi warna dilakukan dengan menimbang ekstrak X sebanyak 0,3 gram lalu ditambah 10 ml aquadest panas kemudian diaduk dan dibaiarkan sampai temperatur kamar. Setelah itu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10% lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang dihasilkan dibagi menjadi 3 bagian masing-masing kurang lebih 4 ml dan diberi label larutan IVA, IVB, dan IVC.
Setelah itu dilakukan uji ferriklorida dengan cara menambahkan beberapa tetes larutan FeCl3 ke dalam larutan IVC lalu diamati perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna yang terjadi yaitu hijau kehitaman yang menunjukkan bahwa ekstrak X memiliki kandungan tanin atau polifenol. Kemudian dilakukan uji gelatin dengan menambahkan 5 ml larutan NaCl 10% ke dalam larutan IVB dan menghasilkan endapan berwarna hitam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak X tidak mengandung tanin namun hanya mengandung polifenol.
Pada pengujian kromatografi lapis tipis (KLT), fase diam yang digunakan yaitu kiesel gel GF 254 sedangkan fase gerak yang digunakan yaitu kloroform : atil asetat dengan perbandingan 1:9 serta penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi FeCl3. Pengujian dengan KLT diharapkan akan memberikan sensitifitas analisis kualitatif yang lebih besar dibandingkan dengan reaksi warna. Hasil yang didapatkan dengan penampak noda FeCl3 yaitu adanya noda berwarna kuning kecoklatan dengan nilai Rf 0,8375. Hal ini membuat praktikan sulit untuk menyimpulkan keberadaan senyawa tanin/polifenol, karena jika mengandung polifenol maka noda yang dihasilkan pada KLT berwarna hitam.
Secara teoritis, tannin yang dikandung dalam daun maja yaitu 4,7,8-trimethoxyfuro-quinoline. Senyawa fenolik lain yang ada dalam daun maja yaitu marmesin (Atul dkk., 2012). Sehingga adanya kesalahan interpretasi hasil pada uji gelatin. Hasil uji gelatin yang didapatkan seharusnya membentuk endapan putih, namun yang didapatkan saat percobaan yaitu endapan hitam. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan praktikan, seharusnya saat terbentuk endapan, supernatan atau cairannya dibuang agar dapat melihat warna endapan yang terbentuk. Praktikan hanya melihat warna endapan yang terbentuk tanpa membuang cairan, akibatnya warna cairan ekstrak yang gelap dapat memberikan interpretasi yang salah bahwa endapan berwarna hitam. Hal yang tidak sesuai lainnya yaitu pada noda di lempeng KLT yang terbentuk setelah penyemprotan dengan FeCl3 seharusnya menunjukkan warna noda hitam, namun yang dihasilkan adalah kuning kecoklatan. Hal tersebut dapat terjadi mungkin karena kadar senyawa fenolik dalam totolan atau noda tersebut yang terlalu sedikit sehingga tidak memberikan warna hitam.
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Glikosida antrakinon mempunyai aglikon yang dekat dengan aglikon antrasena, di mana memiliki gugus karbonil dengan kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dengan C9 ada gugus hidroksil (antranol). Semua antrakinon memberikan warna reaksi khas dengan reaksi Borntrager yang bila ditambah ammonia maka akan menjadi merah untuk antrakinon sedangkan kuning untuk antron dan dianton.
Uji yang dilakukan meliputi reaksi warna (uji borntrager dan uji modifikasi borntrager) dan kromatografi lapis tipis (KLT). Pada uji borntrager dilakukan dengan menimbang 0,3 gram ekstrak X lalu diekstraksi (sebanyak 2 kali) dengan 10 ml air suling lalu disaring. Filtrat yang dihasilkan diekstraksi dengan 3 ml toluena dalam corong pisah. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 bagian dan diberi label larutan VA dan VB. Larutan VA digunakan sebagai blanko dan VB ditambah ammonia dan dicokok. Hasil yang didapatkan dari uji borntrager yaitu hijau kecoklatan, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak X mungkin tidak mengandung antrakinon.
Pada uji modifikasi borntrager dilakukan dengan cara menambahkan KOH 5 N dan H2SO4 encer masing-masing sebanyak 1 ml pada ekstrak X lalu dipanaskan dan disaring. Filtrat yang dihasilkan ditambah asam asetat glasial dan diekstraksi dengan toluena. Fase toluena diambil dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu larutan VIA dan VIB. Larutan VIA sebagai blanko dan larutan VIB ditambah ammonia yang memberikan warna putih keruh. Hasil tersebut berarti ekstrak X mungkin tidak mengandung antrakinon.
Untuk memastikan kandungan anrakinon dalam ekstrak X, maka dilakukan uji dengan KLT karena memiliki sensitifitas yang lebih tinggi. Pada uji KLT ini fase diam yang digunakan yaitu kiesel gel GF 254, fase geraknya toluena : etil : asam asetat dengan perbandingan 75:24:1, serta penampak noda yang digunakan yaitu larutan KOH 10% dalam metanol. Hasil yang didapatkan yaitu ada 3 noda yang berwarna kuning coklat dengan nilai Rf1 = 0,9375, Rf2 = 0,625, Rf3= 0,2375. Hasil tersebut menunjukkan adanya kandungan antrakinon dalam ekstrak X. Sehingga kesimpulan ada tidaknya antrakinon mengikuti hasil uji dengan KLT karena sensitivitasnya yang lebih tinggi disbanding uji warna.
Secara teori, antrakinon terkandung dalam biji buah Maja. Dalam daun Maja, belum ada yang melaporkan adanya kandungan antrakinon (Mishra dkk., 2010). Namun, yang didapatkan dari hasil percobaan menunjukkan adanya antrakinon yang ditandai dengan hasil warna noda yang didapatkan setelah dilakukan penyemprotan dengan penampak noda KOH 10%.
Faktor yang menyebabkan perbedaan hasil percobaan dengan jurnal penelitian
Factor yang dapat menyebabkan kesalahan yaitu metode percobaan, perbedaan letak geografis tanaman atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
Metode percobaan yang berbeda pada praktikum dengan yang dilakukan pada jurnal penelitian dapat menyebabkan perbedaan hasil, misalnya pada praktikum ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol dari daun Maja, sedangkan pada beberapa jurnal penelitian pembanding yang digunakan adalah ekstrak kloroform, air, dan ada pula yang menggunakan ekstrak methanol. Selain itu, beberapa jurnal juga telah menggunakan metode yang lebih sensitive dan selektif, misalnya HPLC.
Perbedaan letak geografis tanaman atau tempat asal tanaman Maja tumbuh dapat membedakan kandungan metabolit sekunder yang ada. Jika tanaman Maja tumbuh di tempat yang lebih ekstrim, maka tanaman tersebut akan mengeluarkan metabolit sekunder yang berbeda bila dibandingkan dengan tanaman Maja yang tumbuh di tempat tropis, seperti Indonesia. Karena beberapa jurnal penelitian pembanding yang digunakan berasal dari India dan Afrika
Kesalahan penginterpretasian praktikan dapat terjadi karena warna ekstrak daun Maja yang gelap menyebabkan penuaan warna pada hasil yang didapat. Misalkan pada hasil uji Wilstater untuk mengetahui kandungan flavonoid. Hasil interpretasi yang didapat yaitu merah tua yang menunjukkan adanya kandungan flavonon, padahal yang terdapat dalam daun Maja adalah flavon (merah jingga) dan flavonol (merah pucat). Namun karena warna ekstrak yang hijau-coklat-kehitaman menyebabkan warna merah menjadi lebih tua.
BAB V KESIMPULAN
Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk.
Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-[4-3,3-dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-ethylcinnamamide.
Dari hasil percobaan didapatkan kandungan fitokimia dalam daun Maja yaitu alkaloid, terpenoid, saponin, flavonoid, tannin, senyawa fenolik, dan antrakinon.
Adanya perbedaan dengan jurnal penelitian yang telah terpublikasi dapat terjadi karena adanya negative palsu, perbedaan metode percobaan, perbedaan letak geografis tanaman atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Atul, P., D. Nilesh, R. Akkatai, K. Kamlakar, dan S. R. Shahu. 2012. A review on aegle marmelos: a potential medicinal tree. International Research Journal of Pharmacy. 3(8):86–91.
Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian. Universitas Negeri Andalas.
Harbon J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penentuan cara modern menganlisis tumbuhan. Terbitan ke dua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan iwang soediro. Bandung. ITB Press.
Hariana, Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok : Penebar Swadaya
Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 19 Nomor 3, Desember 2013.
Deinstrop, E.H., 2007. Applied Thin Layer Chomatography : Best Practice and Avoidance of Mistakes, Second, Re. ed. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Eckental.
Harborne, J.B., 1984. Phytochemical Methods : A Guide to Modern Techniques of Plants Analysis, Second. ed. Chapman & Hall, Lon.
Houghton, J., Raman, A., 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts, First. ed. Chapman & Hall.
Maity, P., D. Hansda, U. Bandyopadhyay, dan D. K. Mishra. 2009. Biological activities of crude extracts and chemical constituents of bael, aegel marmelos (l.) corr. Indian Journal of Experimental Biology. 47:849–861.
Mandal, S.C., Mandal, V., Kumar, A., 2015. Essentials of Botanical Extraction Principles : and Applications. Elsevier, London.
Mishra, B. B., D. D. Singh, N. Kishore, V. K. Tiwari, dan V. Tripathi. 2010. Antifungal constituents isolated from the seeds of aegle marmelos. Phytochemistry. 71:230–234.
Rao, K. J. dan S. Paria. 2015. Aegle marmelos leaf extract and plant surfactants mediated green synthesis of au and ag nanoparticles by optimizing process parameters using taguchi method. ACS Sustainable Chemistry & Engineering. 3(3):483–491.
Sarker, S.D., Nahar, L., 2012. Natural Products Isolation : Methods and Protocols, Third. ed. Humana Press, London.
Sampel ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254
Dieluasi dengan eluen toluena-etilasetat-asam asetat (75:24:1) dan penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi 10% KOH dalam metanol
Menimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 1 ml KOH 5 N dan 1 ml H2SO4 encer lalu dipanaskan dan siaring akan dihasilkan filtrat
Filtrat ditambah dengan asam asetat glasial kemudian diekstraksi dengan toluena. Fase toluena diambil dan dibagi jadi 2 bagian, VIA sebagai blanko dan VIB ditambah amonia. Adanya antrakinon ditunjukkan dengan adanya warna merah/merah muda
Menimbang ekstrak sebanyak 0,3 gram dan diekstraksi dengan 10 ml air suling lalu disaring dan dihasilkan filtrat
Mengekstraksi filtrat dengan toluena sebanyak 3 ml dalam corong terpisah (dilakukan 2 kali)
Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 bagian, larutan VA sebagai blanko dan VB ditambah ammonia dan dikocok, mengandung antrakinon bila berwarna merah
Larutan IV A ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254
Dieluasi dengan eluen kloroform-etilasetat (1:9) dan penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi FeCl3
Larutan IVC diberi beberapa tetes larutan FeCl3. Bila terjadi perubahan warna hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin
Bila ditambah gelatin dan NaCl tidak timbul endapan tetapi setelah ditambah FeCl3 terjadi perubahan warna hijau biru hingga hitam menunjukkan adanya senyawa polifenol
Menimbang 0,3 gram ekstrak + 10 ml aquadest panas lalu diaduk dan dibiarkan sampai suhu kamar
Menambahkan 3-4 tetes NaCl 10% lalu diaduk kemudian disaring dan dihasilkan filtat
Filtrat dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing ± 4 ml sebagai larutan IVA, IVB, IVC
Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambah 5 ml HCL 2N, dipanaskan diatas penangas air selama 2-3 menit. Sambl diaduk
Setelah dingin ditambah 0,3 gram NaCl, diduk rata, kemudian disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambah 5 ml HCL 2N dan dibagi menjadi tiga bagian yang disebut sebangai larutan IA, IB, dan IC
Larutan IA diberi pereaksi mayer, larutan IB ditambah engan pereaksi Wagner dan Larutan IC dipakai sebagai blanko
Adanya kekeruhan atau endapa menunjukkan adanya alkaloid