LAPORAN AKHIR
DAFTAR ISI
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB – I PENDAHULUAN
I-1
1.1.
LATAR BELAKANG
I-1
1.2.
MAKSUD DAN TUJUAN
I-4
1.3.
SASARAN
I-4
1.4.
MANFAAT
I-4
1.5.
REFERENSI HUKUM
I-4
1.6.
HASIL YANG DIHARAPKAN
I-6
1.7.
INVENTARISASI, PENETAPAN EKOREGION DAN PENYUSUNAN RPPLH PROVINSI
I-6
EKOREGION SEBAGAI KONSEP PERWILAYAAN
I-7
1.8.
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
II - 1
2.1.
LETAK GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
II - 1
2.2.
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN FISIK (ABIOTIK)
II - 6
2.2.1.
Karakteristik Topografi
II - 6
2.2.2.
Karakteristik Tanah dan Geologi
II - 6
2.2.3.
Karakteristik Klimatologi
II - 9
2.2.4.
Karakteristik Hidrologi
2.3.
2.4.
2.5.
II - 11
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN HAYATI (BIOTIK)
II - 11
2.3.1
Karakteristik Hutan
II - 11
2.3.2
Karakteristik Flora dan Fauna
II - 14
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KULTURAL
II - 15
2.4.1.
Karakteristik Kependudukan
II - 15
2.4.2.
Karakteristik Penggunaan Lahan
II - 17
KONDISI PENGELOLAAN SDA DI WILAYAH DKI JAKARTA
II - 18
2.5.1.
II - 18
Potensi dan Ketersediaan Air Permukaan
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
i
LAPORAN AKHIR
2.6.
2.5.2.
Potensi Ketersediaan Air Tanah
II - 24
2.5.3.
Potensi dan Ketersediaan Keanekaragaman Hayati
II - 29
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
II - 32
2.6.1.
Umum
II - 32
2.6.2.
Konflik dan Penyebab Konflik
II - 32
BAB – III METODOLOGI
III - 1
3.1.
UMUM
III - 1
3.2.
KONSEP DASAR
III - 1
3.3.
METODE PENENTUAN BATAS EKOREGION
III - 2
3.3.1.
III - 3
3.4.
3.5.
3.6.
Parameter Deliniasi Pemetaan Ekoregion
METODE PENDEKATAN
III - 3
3.4.1.
Kegiatan Identifikasi dan Deskripsi
III - 5
3.4.2.
Kegiatan Sintesis
III - 8
METODE PEMETAAN
III - 10
3.5.1.
Sumber Data
III - 10
3.5.2.
Kompilasi dan Interpretasi Data
III - 11
3.5.3.
Penyajian Peta Ekoregion
III - 12
REKOMENDASI UNTUK RPPLH
BAB – IV SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION JAKARTA
III - 12
IV - 1
4.1.
KONSEP DAN DEFINISI
IV - 1
4.2.
METODE SURVEY
IV - 2
4.3.
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBUATAN PETA TEMATIK
IV - 4
4.4.
DOKUMENTASI SURVEY EKOREGION DKI JAKARTA
IV - 4
BAB – V WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA
V-1
5.1.
DELINIATOR EKOREGION DKI JAKARTA
V-1
5.2.
BENTUK PERMUKAAN TANAH SEBAGAI DELINIATOR EKOREGION DKI JAKARTA
V-2
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
ii
LAPORAN AKHIR
5.3. 5.4.
EKOREGION DKI JAKARTA DALAM KONTEKS PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN
V-3
URAIAN EKOREGION DKI JAKARTA
V-4
5.4.1.
Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta
V-4
5.4.2.
Dataran Beting Gesik dan Lembah Antar Gisik Jakarta
V - 10
5.4.3.
Dataran Fluviomarin Jakarta
V - 16
5.4.4.
Dataran Banjir Jakarta
V - 20
5.4.5.
Dataran rawa Jakarta
V - 25
5.4.6.
Dataran Vulkanik Jakarta
V - 29
5.4.7.
Ekoregion dan Wilayah Administrasi
V - 34
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
iii
LAPORAN AKHIR
DAFTAR TABEL
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.1.
Pembagian Wilayah Administrasi Provinsi DKI Jakarta
II - 1
Tabel 2.2.
Jenis Tanah Di Kawasan DKI Jakarta
II - 9
Tabel 2.3.
Suhu Rata-rata dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2011
II - 10
Tabel 2.4.
Statistik Data Temperatur Rata-rata Bulanan
II - 10
Tabel 2.5.
Statistik Data Jumlah Curah Hujan Bulanan
II - 11
Tabel 2.6.
Luas Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta 2011
II - 13
Tabel 2.7.
Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta
II - 16
Tabel 2.8.
Luas Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan
II - 17
Tabel 2.9.
Panjang dan Luas BAdan Air di DKI Jakarta
II - 19
Tabel 2.10. Luas dan Debit Aliran Sungai di DKI Jakarta
II - 20
Tabel 2.11. Nama dan Luas Danau/waduk/situ di Wilayah DKI Jakarta
II - 21
Tabel 2.12. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum
II - 23
Tabel 2.13. Rata-rata Kualitas Fisik Air Tanah Prov. DKI Jakarta Tahun 2011
II - 26
Tabel 2.14. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Selatan
II - 26
Tabel 2.15. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Timur
II - 27
Tabel 2.16. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Pusat
II - 27
Tabel 2.17. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Barat
II - 28
Tabel 2.18. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Utara
II - 28
Tabel 4.1.
Koordinat Survey Bentang Lahan Ekoregion DKI Jakarta
Tabel 5.1.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta
Tabel 5.2.
IV - 3 V–4
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Beting Gesik dan Lembah Antar Gesik Jakarta
V- 11
Tabel 5.3.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Fluviomarin Jakarta
V – 16
Tabel 5.4.
Jenis dan Luas Wilayah Dataran Banjir Jakarta
V – 20
Tabel 5.5.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Rawa Jakarta
V – 25
Tabel 5.6.
Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Vulkanik Jakarta
V – 29
Tabel 5.7.
Luas Wilayah Ekoregion DKI Jakarta Berdasarkan Kecamatan
DAFTAR GAMBAR PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
iv
LAPORAN AKHIR
DAFTAR GAMBAR
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi DKI Jakarta Gambar 2.2. Peta Kemiringan Lahan DKI Jakarta Gambar 2.3. Peta Ketinggian Lahan DKI Jakarta Gambar 2.4. Peta Geologi DKI Jakarta Gambar 2.5. Peta Satuan Lahan dan Tanah DKI Jakarta Gambar 2.6. Peta Iklim DKI Jakarta Gambar 2.7. Peta Curah Hujan DKI Jakarta Gambar 2.8. Peta Hidrologi DKI Jakarta Gambar 2.9. Peta Sebaran Kepadatan Penduduk DKI Jakarta Gambar 2.10. Grafik Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/Kabupaten Administrasi Tahun 2007-2010 Gambar 2.11. Peta Penggunaan Lahan DKI Jakarta Gambar 2.12. Grafik Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan di DKI Jakarta Gambar 3.1. Kerangka Dasar Penyusunan Peta Ekoregion Provinsi Gambar 4.1. Dataran Banjir Kali Pesanggrahan Daerah Komplek Deplu Jakarta Selatan Gambar 4.2. Hutan Mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove Jakarta Barat Gambar 4.3. Mangrove di Marunda Jakarta Utara Gambar 4.4. Estuarine di Marunda Jakarta Utara Gambar 4.5. Ahli Fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing, Jakarta Utara Gambar 5.1. Peta Ekoregion DKI Jakarta Gambar 5.2. Dataran Pasang Surut berlumpur yang ditumbuhi oleh Mangrove di wilayah Marunda Cilincing – Jakarta Utara Gambar 5.3. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir Gambar 5.4. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir Gambar 5.5. Alih fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing – Jakarta Utara
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
v
LAPORAN AKHIR
BAB – I PENDAHULUAN
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan tingkat kepadatan per-km2 mencapai 13.157 jiwa/km2 dan jumlah penduduk 9,76 juta jiwa memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, perairan tawar maupun laut dan juga merupakan tempat keanekargaman hayati yang sangat besar. Sumberdaya alam pada dasarnya merupakan satu kesatuan utuh ekosistem, yang dapat menghasilkan barang dan jasa. Apabila eksositem sumberdaya alam dipandang sebagai sumberdaya
alam
sistem
produksi
suatu
komoditas,
maka
komoditas
yang diproduksi atau dimanfaatakan merupakan bagian
integral dari sistem produksi komoditas itu sendiri maupun komoditas lainnya, sehingga pemanfaatan komoditas tertentu akan mempengarhi sistem produksi komoditas lainnya. Memahami ekosistem sumberdaya alam dalam sistem produksi komoditas tertentu
sangat diperlukan untuk memahami pengaruh timbal balik antara
pemanfaatan komoditas tertentu terhadap komoditas lainnya termasuk terhadap jasa sumberdaya lama tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam secara parsial, masing-masing sektor atau komoditas, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap sektor, komoditas lainnya, dan lingkungan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kelestarian produksi dan jasa sumberdaya alam tersebut. Pembangunan merupakan upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat yang mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kerusakan atau kepunahan salah satu sumber daya alam akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, namun pemulihan kembali ke keadaan semula tidak mungkin dilakukan. Persoalan lingkungan adalah persoalan semua, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-1
LAPORAN AKHIR
bersinergi dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di kota Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan pada tanggal 3 Oktober 2009 mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Dalam kerangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) secara bertahap dengan kegiatan-kegiatan, langkah pertama yang harus ditempuh adalah kegiatan inventarisasi data lingkungan hidup. Hasil
inventarisasi
lingkungan hidup menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion. Lalu dilakukan kajian penyusunan Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Di dalam UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ekoregion merupakan unit atau satuan wilayah dalam melakukan inventarisasi lingkungan hidup (pasal 6) dan menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam (pasal 8). Selanjutnya disebutkan bahwa ekoregion adalah sebagai salah satu dasar dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang merupakan kewajiban dari semua tingkatan pemerintahan, mulai dari Pusat, Pemerintahan Provinsi sampai Pemerintahan Kabupaten dan Kota (pasal 9). Sebagaimana disebutkan UU No 32 tahun 2009 tentang PPLH ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-2
LAPORAN AKHIR
air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Penepatan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan (pasal 7 ayat 2): a.
Karakteristik bentang alam;
b.
Daerah aliran sungai;
c.
Iklim
d.
Flora dan fauna
e.
Sosial budaya
f.
Ekonomi
g.
Kelembagaan masyarakat; dan
h.
Hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Selama ini kebijakan, rencana dan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih belum sesuai dengan kondisi eksisting lingkungan hidup. Dengan
ditetapkan
ekoregion
suatu
propinsi,
diharapkan
perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang terletak pada suatu ekoregion yang sama mendapat penanganan yang memperhatikan aspek-aspek penetapan ekoregion. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Jika Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun maka pemanfaatan sumber daya alam didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Gubernur. Pada saat ini Provinsi DKI Jakarta belum menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya oleh karena itu berdasarkan amanat undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka diwajibkan provinsi untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat provinsi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-3
LAPORAN AKHIR
1.2.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Tahap II adalah Penetapan ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan Skala Dasar 1:50.000.
Tujuan dari kegiatan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tahap II Provinsi DKI Jakarta adalah penyusunan Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan skala dasar 1:50.000, yag dilengkap dengan
identifikasi
karakteristik
setiap
satuan
ekoregion
dengan
mempertimbangkan kesamaan bentang alam, DAS, iklim, flora fauna, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, yang dapat
dimanfaatkan
sebagai
acuan
dalam
penyusunan
perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
1.3.
Sasaran Sasaran dari Kegiatan “Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH Tahap II) Provinsi DKI Jakarta”, adalah Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta dengan skala dasar 1:50.000 dan identifikasi karakteristik setiap satuan ekoregion.
1.4.
Manfaat Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta tahap II (Penetapan Ekoregion) adalah : 1.
Sebagai pedoman strategis dalam penyusunan kebijakan, rencana dan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2.
Dan sebagai salah satu dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana jangka menengah.
1.5.
Referensi Hukum 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup;
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-4
LAPORAN AKHIR
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity) Konvensi PBB;
4.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
5.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
6.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
7.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir;
8.
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; 9.
Keputusan Gubernur No. 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah DKI Jakarta;
10. Kep Men LH No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemar Air Pada Sumber Air; 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air; 12. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 tentang Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan; 13. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan 14. Peraturan Pemerintah RI No. 43 tentang Air Tanah; 15. Per Men LH No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah, Dokumen RTRW dan RDTR Provinsi dan Kota di Wilayah Provinsi DKI Jakarta; 16. Per Men LH No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); 17. Keputusan Kepala Daerah BPLHD Prov. DKI Jakarta No. 262 tahun 2011 tentang
Petunjuk
Teknis
Mekanisme
Pembinaan
dan
Pengawasan
Pengendalian Pencemaran Air Limbah Di Prov. DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-5
LAPORAN AKHIR
1.6.
Hasil Yang Diharapkan Hasil
diharapkan
dari
kegiatan
Penyusunan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup provinsi DKI Jakarta tahap II (Penetapan Ekoregion) adalah : 1.
Peta Ekoregion Provinsi DKI Jakarta, skala dasar 1 : 50.000 (format A0) dan skala 1 : 125.000 (format A3, untuk dilampirkan di dalam buku Laporan)
2.
1.7.
Identifikasi dan deskripsi karakteristik setiap satuan ekoregion.
Inventarisasi, Penetapan Ekoregion dan Penyusunan RPPLH Provinsi Kementerian Lingkungan Hidup juga mencoba menentukan ekoregion dan kelas wilayah, yang dijadikan dasar menetapkan pewilayahan lebih lanjut. Sebagai suatu negara tropis kepulauan dengan sejarah dan struktur geologi yang rumit, yang membawa akibat pada biota dan budaya yang begitu beragam menyebabkan penetapan ekoregion pasti tidak mudah. Belum dapat dipastikan kapan ekoregion dan RPPLH nasional ditetapkan. Diperkirakan upaya untuk melaksanakan
undang-undang
untuk
menyusun
RPPLH
Nasional
akan
memanfaatkan momentum penyusunan RPJM Nasional dan peninjauan kembali RTRW Nasional. RPPLH provinsi sebagai suatu telaah dan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik dan perencanaan formal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, RPPLH harus mencakup komponen yang mendasar. UU No.32/2009 menganggap sumberdaya alam sebagai komponen mendasar dan secara gamblang dinyatakan bahwa RPPLH ditujukan untuk mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang tersedia di DKI Jakarta begitu beraneka regam tetapi tidak semuanya tersedia dan menjadi sandaran kehidupan dan perkembangan DKI Jakarta. Oleh karena itu inventarisasi lingkungan yang antara meliputi jenis, potensi, penguasaan dan tingkat kerusakan sumberdaya alam di DKI Jakarta perlu difokuskan pada sumber daya alam yang paling mempengaruhi hajat hidup masyarakat
DKI
Jakarta.
Kajian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya
mempertimbangkan air sebagai sumberdaya alam yang memang paling Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-6
LAPORAN AKHIR
menentukan kehidupan dan perkembangan masyarakat DKI Jakarta. Dengan demikian penentuan ekoregion DKI Jakarta perlu memperhatikan kaitannya dengan kondisi dan sistem perairan tersebut. Oleh karena itulah diperlukan ekoregion atau ekodistrik berdasarkan tata air permukaan yang tercermin dalam daerah aliran sungai. Pemilihan tata air permukaan sebagai unsur utama dalam penetapan ekoregion akan dipertahankan.
1.8.
Ekoregion sebagai Konsep Pewilayahan Dalam perencanaan dengan pendekatan spasial atau pewilayahan dikenal aneka cara menentukan satuan wilayah. Telah dikenal misalnya wilayah pembangunan yang di DKI Jakarta didasarkan pengadministrasian pembangunan. Wilayah sungai yang ditujukan untuk mengelola sungai terutama dalam kaitannya infrastruktur pemanfaatan air. Daerah aliran sungai yang lebih menekankan pada pengelolaan hutan dalam kaitannya pengelolan air. Ekoregion adalah suatu konsep pewilayahan yang didasarkan pada eksositem, karena itu juga disebut sebagai geografi ekosistem. Konsep ini sudah diperkenalkan dan dibahas dalam berbagai acara khusus dan kesempatan. Walaupun demikian oleh karena besaran satuan wilayah dan penamaannya belum baku, dalam kegiatan ini akan dibahas kembali agar penamaan dan peristilahan yang digunakan dapat dipastikan. Sejak awal tahun tujuhpuluhan di beberapa negara mulai diterapkan pewilayahan didasarkan ekosistem. Tujuannya adalah untuk mengelola sumberdaya alam dan sekaligus untuk konservasi. Dengan adanya sistem pewilayahan ini para penyelenggara daerah mempunyai pengetahuan untuk menetapkan dimana suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam diperbolehkan, apa syaratnya dan dimana
adanya
suatu
kegiatan
dilarang
sama
sekali.
Amerika
Serikat
mengembangkan pewilayahan ini terutama untuk tujuan mengelola pertanian dan kehutanan. Australia mengembangkan untuk tujuan konservasi tanah. Konsep pewilayah yang disebut dengan ekoregion, dikembangkan dari bidang studi biogeografi. Sedangkan biogeografi sendiri merupakan paduan biologi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-7
LAPORAN AKHIR
geografi (geographical bilogy) yang dikembangkan oleh ahli bilogi dengan geografi biologi (biological geography) yang dikembangkan ahli geografi. Biologi geografi mempelajari sifat tanaman dan hewan dalam kaitannya dengan ruang. Sedang geografi biologi mempelajari pembagian wilayah atau identifikasi satuan ruang berdasarkan kesamaan atau perbedaan spesies, sistematika taxom dan ekosistem. Pewilayahan yang berbasis ekosistem ini kemudian dikembangkan di banyak negara dan aneka lembaga internasional untuk tujuan yang sama, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Meskipun ada berbagai variasi dalam mendeliniasi wilayah, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai unsur/parameter yang digunakan sebagai deliniator. Ada tiga unsur pokok yang digunakan sebagai deliniator, yaitu iklim (atmosfir), jenis biota terutama jenis vegetasi dan bentuk serta jenis permukaan lahan (bentang alam). Apa yang jadi penentu atau deliniator utamanya tergantung pada dua hal yaitu: skala atau besar wilayah (berdasarkan suatu sistem penjenjangan atau hierarki) dan tujuan melakukan pewilayahan tersebut. Ini berkaitan juga dengan institusi dan kewenangan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
I-8
LAPORAN AKHIR
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – II GAMBARAN UMUM WILAYAH DKI JAKARTA
2.1.
Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi geografis antara 106.22’42” dan 106.58’18” Bujur Timur, serta antara 5.19’12” dan 6.23’54” Lintang Selatan dengan keseluruhan luas wilayah 7.659,02 km2, meliputi 662,33 km2 daratan, termasuk 110 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6.977,5 km2 lautan. Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam lima Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi. Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki luas 48,13 km2; Kota Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146,66 km2; Kota Administrasi Jakarta Barat dengan luas 129,54 km2; Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan luas 141,27 km2; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas 188,03 km2, serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km2. Tabel 2.1. Pembagian Wilayah Administrasi Provinsii DKI Jakarta
Kabupaten/ Kota Administrasi 1 Jakarta Pusat 2 Jakarta Utara 3 Jakarta Timur 4 Jakarta Selatan 5 Jakarta Barat 6 Kep. Seribu Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012 No
Secara
administrasi
Jumlah Kecamatan 8 6 10 10 8 2
kewilayahan,
masing-masing
Kelurahan 44 31 65 65 56 6
Kota
dan
Kabupaten
Administratif dibagi menjadi beberapa kecamatan. Masing-masing kecamatan tersebut dibagi menjadi beberapa kelurahan. Kota Administratif Jakarta Pusat terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dan 44 (empat puluh empat) Kelurahan. Kota Administasi Jakarta Utara terdiri dari 6 (enam) Kecamatan dan 31 (tiga puluh
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 1
LAPORAN AKHIR
satu) Kelurahan. Selanjutnya Kota Administrasi Jakarta Barat terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dan 56 (lima puluh enam) kelurahan. Kota Administrasi Jakarta Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan dan 65 (enam puluh lima) Kelurahan. Kota Administrasi Jakarta Timur terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan dan 65 (enam puluh lima) Kelurahan. Sedangkan Kabupaten Kepulauan Seribu hanya terdiri dari 2 (dua) Kecamatan dan 6 (enam) Kelurahan. Berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi DKI Ibukota Jakarta memiliki batas-batas yaitu sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat, sebelah selatan dengan Kota Depok Provinsi Jawa Barat; dan sebelah barat dengan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Provinsi Banten. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. A.
Wilayah Jakarta Selatan
Letak
: 6°15' 40,8” LS 106°45' 0,00” BT
Ketinggian
: 26,2 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 145,73 km²
- Pemukiman
:
113,20 km²
- Pertanian
:
23,11 km²
- Hutan/Hutan Kota
:
3,57 km²
- Lain - Lain
:
1,39 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan
Kecamatan : (1) Jagakarsa 24,87 km²; (2) Pasar Minggu 21,69 km²; (3) Cilandak 18,16 km²; (4) Pesanggrahan 12,76 km²; (5) Kebayoran Lama 16,72 km²; (6) Kebayoran Baru 12,93 km²; (7) Mampang Prapatan 7,73 km²; (8) Pancoran 8,63 km²; (9) Tebet 9,03 km²; (10) Setiabudi 8,85 km².
Batas Wilayah Selatan
: Kec.
Tanah
Abang (Kota Adm.
Jakarta
Pusat),
Jl.
Kebayoran lama dan Kebon jeruk (Kota Adm. Jakarta Timur) Timur
: Kali Ciliwung (Kota Adm. Jakarta Timur)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 2
LAPORAN AKHIR
Barat
: Kec. Ciputat dan Ciledug kota tanggerang dan tanggerang selatan (Prov. Banten)
Utara
: Kotamadya Depok (Prov. DKI Jakarta)
B. Wilayah Jakarta Timur
Letak
: 6°10'37'' LS, 106°49'35'' BT
Ketinggian
: 16 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 188,03 km²
-
Pemukiman
: 157,35 km²
-
Pertanian
: 23,54 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 1,45 km²
-
Lain - Lain
: 5,69 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan
Kecamatan : (1) Pasar Rebo 12,97 km²; (2) Ciracas 16,08 km²; (3) Cipayung 28,45 km²; (4) Makasar 21,86 km²; (5) Kramat Jati 13,29 km²; (6) Jatinegara 10,25 km²; (7) Duren Sawit 22,65 km²; (8) Cakung 42,27 km²; (9) Pulo Gadung 15,60 km²; (10) Matraman 4,98 km².
Batas Wilayah Selatan
: Kab. Bogor (Prov. DKI Jakarta)
Timur
: Kabupaten Bekasi (Prov. DKI Jakarta)
Barat
: Sungai Ciliwung (Kota adm. Jakarta Selatan)
Utara
: Kota Adm. Jakarta Pusat dan Kota Adm. Jakarta Utara
C. Wilayah Jakarta Pusat
Letak
: 5°19'12'' - 6°23'54'' LS, 106°22'42'' BT, 106°58'18'' BB
Ketinggian
: 4 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 48,13 km²
-
Pemukiman
: 45,98 km²
-
Pertanian
: 1,32 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 0,14 km²
-
Lain - Lain
: 0,69 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 8 Kecamatan dan 44 Kelurahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 3
LAPORAN AKHIR
Kecamatan : (1) Tanah Abang 9,3 km²; (2) Menteng 6,5 km²; (3) Senen 4,2 km²; (4) Johar Baru 2,38 km²; (5) Cempaka Putih 4,69 km²; (6) Kemayoran 7,25 km²; (7) Sawah Besar 6,16 km²; (8) Gambir 7,29 km²
Batas Wilayah Selatan
: Jl. Pramuka, Kali Ciliwung/Banjir Kanal, Jl. Jend Sudirman, Jl. Lekir
Timur
: Jl. Jend. Ahmad Yani/By Pass
Barat
: Kota adm. Jakarta Barat dan Selatan
Utara
: Jl. Duri Raya, Jl. KH Zainul Arifin. Jl. Wiryopranoto, Jl.Mangga Dua, Jl. Rajawali Selatan 12, Jl. Eks Pelud Kemayoran, Jl. Sunter Kemayoran
D.
Wilayah Jakarta Barat
Letak
: 5°19'12'' - 6°23'54'' LS, 106°22'42'' –
106°58'18''BT
Ketinggian
: 7 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 129,54 km²
- Pemukiman
: 107,95 km²
- Pertanian
: 20,40 km²
- Hutan/Hutan Kota
: 0,18 km²
- Lain - Lain
: 1,01 km²
Jumlah Kec./ Kel.
: 8 Kecamatan dan 56 Kelurahan
Kecamatan : (1) Kembangan 24,16 km²; (2) Kebon Jeruk 17,98 km²; (3) Palmerah 7,51 km²; (4) Grogol Petamburan 9,99 km²; (5) Tambora 5,40 km²; (6) Taman Sari 7,73 km²; (7) Cengkareng 6,54 km²; (8) Kalideres 30,23 km²
Batas Wilayah Selatan
: Kota Adm. Jakarta Selatan dan Prov. Banten
Timur
: Kec. Gambir (Kota Adm. Jakarta Pusat)
Barat
: Kota Tangerang (Prov. Banten)
Utara
: Kec. Penjaringan (kota Adm. Jakarta Utara)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 4
LAPORAN AKHIR
E.
Wilayah Jakarta Utara
Letak
: 06°10'00'' LS, 106°20'00'' BT
Ketinggian
: 0 - 20 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 146,66 km²
-
Pemukiman
: 125,66 km²
-
Pertanian
: 14,63 km²
-
Hutan/Hutan Kota
: 4,33 km²
-
Lain - Lain
: 2,04 km²
Jumlah Kel/Kec
: 31 Kelurahan dan 6 Kecamatan
Kecamatan : (1) Penjaringan 35,49 km²; (2) Pademangan 9,92 km²; (3) Tanjung Priok 25,28 km²; (4) Koja 11,32 km²; (5) Kelapa Gading 16,12 km²; (6) Cilincing 42,54 km².
F.
Batas Wilayah Selatan
:
Kota Adm. Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
Timur
:
Kota Adm. Jakarta Timur dan Kab. Bekasi
Barat
:
Kab. Tangerang dan Kota Adm. Jakarta Barat
Utara
:
Laut Jawa
Wilayah Kepulauan Seribu
Letak
Ketinggian
: 1 Meter di atas permukaan laut
Luas Wilayah
: 8,70 km²
: 05°10'00''- 05°10'00'' LS , 106°19'30'' 106°44'50'' BT
-
Pemukiman
: 5,90 km²
-
Pertanian
: 1,79 km²
-
Hutan/Hutan Kota
Jumlah Kec./ Kel.
: 1,01 km²
: 2 Kecamatan dan 6 Kelurahan
Kecamatan : Kep. Seribu Selatan 167,54 Ha;Kep. Seribu Utara 62,68 Ha.
Batas Wilayah Selatan
: 2 wilayah Kota Administrasi, 3 wilayah Prov. Banten dan 1 wilayah DKI Jakarta
Timur
: Laut Jawa
Barat
: Wilayah Prov. Lampung
Utara
: Laut Jawa
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 5
LAPORAN AKHIR
2.2.
Karakteristik Lingkungan Fisik (Abiotik)
2.2.1.
Karateristik Topografi Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam satuan morfologi dengan kemiringan lereng 0-0,5% dan ketinggian kurang dari 10 meter di daerah pantai hingga 70 meter di bagian selatan Jakarta mendekati Bogor. Jakarta memiliki 13 sungai utama yang mengalir di dalamnya, dengan sungai-sungai utama yang mengalir di wilayah DKI Jakarta adalah Sungai Angke, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Grogol, Sungai Sunter, Sungai Cipinang, dan Sungai Cakung. Tata letak DKI Jakarta pada daerah dataran rendah pantai menimbulkan beberapa kendala fisik yaitu sekitar 5% dari luas areal luas DKI Jakarta berada pada ketinggian kurang dari 10 meter diatas permukaan laut dan kemiringan berkisar 0- 0,5%. Selain itu 13 sungai yang mengalir melalui DKI Jakarta mengakibatkan terbentuknya dataran banjir. Seperti pada Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.
2.2.2.
Karakteristik Tanah dan Geologi DKI Jakarta yang didominasi oleh jenis batuan berupa batuan sedimen (aluvial) yang berasal dari endapan gunung berapi di selatan Kabupaten Bogor. Membentuk Cekungan air tanah yang terdiri atas endapan laut, sungai, rawa, dan endapan yang berasal dari gunung berapi. Endapan penyusun cekungan air tanah Jakarta tersebut terdiri atas perselingan lempung, pasir dan kerikil, endapan jenis ini terdapat hampir di seluruh daerah di Jakarta. Sementara itu terdapat pula jenis endapan penyusun air tanah dengan jenis yang sedikit berbeda dengan endapan yang mendominasi daerah di Jakarta, yakni endapan yang dinamakan endapan pantai dan rawa. Endapan pantai dan rawa tersusun oleh lempung, lumpur, dan pasir. Jenis endapan pantai dan rawa ini berada di sepanjang pantai utara DKI Jakarta. a.
Pasir Lempungan dan Lempung Pasiran Merupakan endapan aluvial sungai dan pantai berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lanau lempungan, lanau pasiran dan lempung pasiran.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 6
LAPORAN AKHIR
Semakin ke arah Utara mendekati pantai berupa lanau pasiran dengan sisipan lempung organik dan pecahan cangkang kerang, tebal endapan antara perselang-seling lapisannya berkisar antara 3-12 m dengan ketebalan secara keseluruhan diperkirankan mencapai 300 m. Lanau lempungan tersebar secara dominan di permukaan, abu-abu kehitaman sampai abu-abu kecoklatan, setempat mengandung material organik, lunak-teguh, plastisitas sedang-tinggi. Lanau pasiran, kuning keabuan, teguh, plastisitas sedangtinggi. Lempung pasiran, abu-abu kecoklatan, teguh, plastisitas sedangtinggi. Pada beberapa tempat nilai qu untuk lanau lempungan antara lanau pasiran antara 2 - 3 kg/cm2 dan lempung pasiran antara 1,5 – 3 kg/cm2, tebal lapisan lanau lempungan antara 1,5 – 5 m, lanau pasiran antara 0,5 – 3 m, dan lempung pasiran antara 1 – 4 m dengan nilai tekanan konus lanau lempungan sekitar 2 – 20 kg/m2, lanau pasiran antara 15 – 25 kg/m2, dan lempung pasiran antara 10 – 40 kg/m2. b. Satuan Pasir Lempungan Merupakan endapan pematang pantai berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari perselang-selangan lanau pasiran dan pasir lempungan. Tebal endapan antara 4,5 – 13 m. Di permukaan didominasi oleh pasir lempungan, dengan warna coklat muda dan mudah terurai. Pasir berbutir halus-sedang, mengandung lempung, setempat kerikilan dan pecahan cangkang kerang. Lanau pasiran berwarna kelabu kecoklatan, lunak, plastisitas sedang. Pada beberapa tempat nilai qu untuk pasir lempungan antara 0,75 – 2 kg/cm2 dan lanau pasiran antara 1,5 – 3 kg/cm2, tebal lapisan pasir lempungan antara 3 - 10 m dan lanau pasiran antara 1,5 - 3 meter dengan kisaran nilai tekanan konus pasir lempungan antara 10 - 25 kg/m2 dan lanau pasiran antara 2 10 kg/m2
c.
Satuan Lempung Pasiran dan Pasir Lempungan Merupakan endapan limpah banjir sungai. Satuan ini tersusun berselangselang antara lempung pasiran dan pasir lempungan. Lempung pasiran umumnya berwarna abu-abu kecoklatan, coklat, dengan plastisitas sedang, konsistensi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 7
LAPORAN AKHIR
lunak-teguh. Pasir lempungan berwarna abu-abu, agak lepas, berukuran pasir halus-kasar, merupakan endapan alur sungai dengan ketebalan 1,5 – 17 m.
d. Lempung Lanauan dan Lanau Pasiran Merupakan endapan kipas aluvial vulkanik (tanah tufa dan konglomerat), berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lempung lanauan dan lanau pasiran dengan tebal lapisan antara 3 – 13,5 m. Lempung lanauan tersebar secara dominan di permukaan, coklat kemerahan hingga coklat kehitaman, lunak-teguh, plastisitas tinggi. Lanau pasiran, merah-kecoklatan, teguh, plastisitas sedang-tinggi. Pada beberapa tempat nilai qu untuk lempung antara 0,8 – 2,85 kg/cm2 dan lanau lempungan antara 2,3 – 3,15 kg/cm2, tebal lapisan lempung antara 1,5 - 6 m dan lanau lempungan antara 1,5 – 7,5 m. Kisaran nilai tekanan konus lempung antara 2 – 50 kg/m2 dan lanau lempungan antara 18 – 75 kg/m2. Tufa dan konglomerat melapuk menengah – tinggi, putih kecoklatan, berbutir pasir halus-kasar, agak padu dan rapuh. Pada Gambar 2.4. berisikan informasi mengenai jenis batuan di Jakarta dapat dilihat sebarannya. Jenis batuan lempung pasiran dan lempung organik sebagian besar tersebar di bagian utara Jakarta dan berbatasan langsung dengan laut. Namun jenis batuan ini juga tersebar di bagian tengah dan barat Jakarta, namun sebarannya tidak terlalu mendominasi di bagian ini. Untuk jenis batuan berupa pasir lanauan tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis batuan ini terdapat di bagian barat laut dan timur laut Jakarta. Pasir lempungan dan lempung pasiran merupakan jenis batuan yang sebarannya tidak terlalu luas di Jakarta. Jenis batuan ini hanya berada di bagian timur Jakarta.Untuk jenis batuan lempung lanauan dan lanau lempungan sangat mendominasi di Jakarta, jenis batuan ini tersebar sebagian besar di Jakarta bagian utara dan sedikit di bagian selatan Jakarta. Jenis batuan lain yang juga mendominasi di Jakarta adalah Lempung Pasiran dan lanau Pasiran. Sebaran jenis batuan ini berada di bagian tengah hingga selatan Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 8
LAPORAN AKHIR
DAS hulu Ciliwung dari sekuen paling atas mempunyai tanah berbahan pasir volkan muda, kedalaman tanah dalam, tekstur kasar, kelolosan air atau porositas tinggi (jenis tanah Regosol atau Udipsamments) berasosiasi dengan tanah dangkal, halus, dan berbatu (Litosol atau Udorthents). Jakarta bagian selatan, merupakan wilayah yang kompleks dengan tanah bersifat sedang-dalam, tekstur halus, teguh, porositas rendah, berwarna kemerahan (Latosol coklat kemerahan dan Latosol merah atau Inceptisols/Ultisols) seperti dapat kita lihat Tabel 2.2. dan Gambar 2.5. Tabel 2.2. Jenis Tanah Di Kawasan DKI Jakarta Luas Tanah (Km²) No
Jenis Tanah
1 2
Aluvial Hidromorf Aluvial Kelabu Tua Asosiasi Glei Humus Rendah, Aluvial Kelabu Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan Regosol Coklat DKI Jakarta
3 4 5
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Total (km²)
-
-
12,40
0,09 59,53
33,32 69,42
33,41 141,35
-
26,12
1,96
-
12,69
40,77
145,53
159,44
33,78
53,46
0,82
393,03
145,53
185,56
48,14
12,65 125,73
11,44 127,69
24,09 632,65
Sumber: Jakarta Coastal Defence Strategy Project (JCDS), 2011
2.2.3.
Karakteristik Klimatologi Keadaan iklim di wilayah Jakarta menurut stasiun pengamatan Jakarta tahun 2011 memiliki suhu udara rata-rata 28,4°C dengan kelembaban udara 74 persen, tekanan udara 1009,6 mbs, arah angin 270 point, kecepatan angin 2 mill/h, penyinaran matahari 45 persen dan curah hujan rata-rata 2.395 mm2. Curah hujan yang terjadi di Jakarta cukup bervariasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika secara umum DKI Jakarta memiliki curah hujan bulanan dengan kisaran kurang dari 50 mm hingga lebih dari 300 mm. Secara umum, Provinsi DKI Jakarta tidak terlepas dari dampak fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 9
LAPORAN AKHIR
sosial dan budaya. Pada akhirnya perubahan iklim juga akan merubah pola kehidupan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika
pada
titik
pemantauan
Stasiun
Meteorologi
Kemayoran
menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta setiap bulannya berubahubah. Selama tahun 2011 suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 27,3°C dan tertinggi pada bulan Oktober yaitu sebesar 29,2°C, dan apabila dibandingkan dengan tahun 2010, rata-rata suhu terendah terjadi pada bulan Januari yaitu 27,4°C dan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 29,7°C, menunjukan bahwa telah adanya perubahan iklim di Indonesia untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.6. – Gambar 2.7.
Tabel 2.3. Suhu Rata-rata dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2011 No
Kabupaten/ Kota Adm.
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hari)
Temperatur / Suhu (°C)
Kelembaban Udara (%)
14 143 13 153 129 129
25,00 28,1 28,46 28,47 28,04 28,43
77,00 76,06 74,07 74,06 75,00 74,75
1 Jakarta Selatan 98,2 2 Jakarta Timur 138,1 3 Jakarta Pusat 97,8 4 Jakarta Barat 230,70 5 Jakarta Utara 100,6 6 Kep. Seribu n/a Sumber: BPS – Kab/Kota Dalam Angka 2012
Tabel 2.4. Statistik Data Temperatur Rata-rata Bulanan Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Rata-Rata
2006
27,3
27,7
28,1
28,5
28,7
28,7
28,7
28,3
28,7
29,6
29,7
28,7
28,6
2007
28,6
27,1
28,0
28,3
28,8
28,5
28,7
28,6
28,6
28,7
28,5
27,4
28,3
2008
28,1
26,3
27,4
28,1
28,9
28,5
28,4
28,5
28,9
29,0
28,1
27,7
28,2
2009
27,1
27,2
28,3
28,9
28,5
28,9
28,7
29,0
29,4
29,4
28,4
28,5
28,5
2010
27,4
28,1
28,6
29,7
29,3
28,5
28,3
28,7
27,9
27,9
28,4
27,7
28,4
2011 27,3 27,6 27,9 28,6 28,8 Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
28,7
28,3
28,8
29,0
29,2
28,9
28,5
28,5
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 10
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.5. Statistik Data Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Rata-Rata
2006
390
289
300
316
85
31
53
0
0
11
27
112
134,5
2007
211
675
178
166
189
101
35
67
60
76
86
513
196,2
2008
227
678
212
218
26
51
10
36
97
86
114
154
159,1
2009
548
232
141
93
223
74
10
7
88
63
304
189
164,4
2010
377
223
243
27
88
134
250
151
256
381
143
124
199,6
71
18
2
53
80
45
177
106,2
2011 146 231 148 107 199 Sumber: Meteorologi Kemayoran, BMKG 2012
2.2.4.
Karakteristik Hidrologi Berdasarkan letaknya Kota Jakarta termasuk dalam kota delta (delta city) yaitu kota yang berada pada muara sungai. Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup rentan terhadap perubahan iklim. Kota delta Jakarta dialiri oleh 13 aliran sungai dan dipengaruhi oleh air pasang surut. Tiga belas sungai dan dua kanal yang melewati Jakarta sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan bermuara di Teluk Jakarta. Tiga belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan 2 (dua) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Peta sungai dan kanal yang melewati wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.8. di bawah ini
2.3.
Karakteristik Lingkungan Hayati (Biotik)
2.3.1.
Karakteristik Hutan Hutan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan ini perlu didukung bersama untuk mewujudkan, karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk mewujudkan harapan tersebut. Nilai peran hutan ditentukan oleh luas, jenis, watak pertumbuhan, keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Ekosistem hutan juga dipengaruhi oleh keadaan iklim, geologi, watak tanah dan geomorfologi, sehingga di dalam membangun hutan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan masalah kependudukannya. Prioritas pembangunan yang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 11
LAPORAN AKHIR
dilakukan Pemda DKI Jakarta pada bidang kehutanan meliputi pemeliharaan hutan alam yang sudah ada dan pengembalian fungsi lahan ke rencana tata ruang yang sudah ada. DKI Jakarta hanya mempunyai 2 jenis hutan yaitu hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan kota yang tersebar di beberapa lokasi tidak dimasukkan dalam salah satu kategori diatas, tapi dimasukkan dalam klasifikasi tersendiri. 1.
Hutan Lindung Hutan lindung mempunyai fungsi khusus sebagai pelindung tata air, pencegah erosi, banjir, abrasi pantai dan pelindung terhadap tiupan angin. Kawasan hutan lindung yang ada di DKI Jakarta seluruhnya merupakan hutan payau/bakau, pada tahun 2010 luasnya mencapai 44,76 Ha dan tidak mengalami perubahan selama kurun waktu 2011.
2.
Hutan Konservasi Hutan konservasi di DKI Jakarta pada tahun 2011 mencapai 225.5 Ha terdiri dari hutan cagar alam seluas 88,02 Ha dan hutan taman wisata alam seluas 137.48 Ha,dan tidak mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan tahun 2010.
3.
Hutan Kota Hutan kota di Jakarta tersebar di 59 lokasi dan luasnya sekitar 644.38 Ha. Luas hutan kota ini jauh lebih besar dibandingkan dengan luas hutan alami (hutan lindung dan hutan konservasi) yang ada di DKI Jakarta atau sekitar 60.05 persen dari total luas hutan di DKI Jakarta (1.072,99 Ha). Pada tahun 2011 ada penambahan hutan kota seluas 3,45 Ha di Jakarta Timur dan Jakarta Utara yaitu hutan kota di Munjul Cipayung sebesar 0,72 Ha dan di Semper Timur sebesar 5,73 Ha. Sedangkan hasil inventarisasi diperoleh hasil bahwa selama tahun 2011 tidak terjadi perubahan luas. Secara lengkap lokasi dan luas hutan kota adalah sebagai berikut :
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 12
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.6. Luas Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 Kotamadya
Nama/Lokasi Hutan
Luas (Ha)
Jakarta Selatan -
Kampus UI Depok Kel. Srengseng Sawah Kec Jagakarsa Kebun Binatang Ragunan Situ Mangga Balong Blok P Pondok Indah Kampus ISTN Kali Pesanggrahan Yonzikon 13 Kelurahan Ciganjur
-
Arhanud SE-10 Sespolwan Kebayoran Lama Seskoal Marinir Cilandak TMP Kalibata Kelurahan Cipedak Kec. Jagakarsa GOR Ragunan Kelurahan Cipedak Hutan Kota Jagakarsa
-
Mabes TNI Cilangkap Komplek Linud Halim PK Arboretum Cibubur PT. JIEP Pulogadung Situ Rawa Dongkal Komplek Kopasus Cijantung Gedung Pemuda Cibubur Bumi Perkemahan Cibubur Fly over Kampung Rambutan Museum Purnabakti, TMII Viaduct Klender Kelurahan Pondok Kelapa BPLIP Pulogadung Kawasan Pulomas Kelurahan Kelapa Dua Wetan Kelurahan Cawang Kawasan Mabad. Kalisari Waduk Bea Cukai IPAK Cakung Munjul
-
Manggala Wana Bhakti Gelora Bung Karno Masjid Istiqlal Yayasan Said Naum
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
357,45 55,40 0,60 140,00 2,02 1,64 3,90 11,10 10,00 2,88 22,56
9,82 30,00 8,75 28,50 5,00 0,35 4,00 19,75 1,18 146,05 14,43 3,50 25,00 8,90 3,28 1,75 10,00 27,32 3,00 3,00 4,00 6,00 3,00 3,00 8,00 5,85 1,00 2,30 12,00 0,72 14,38 4,30 4,80 1,08 1,20
II - 13
LAPORAN AKHIR
Kotamadya
Nama/Lokasi Hutan
Luas (Ha)
- Cempaka Mas Jakarta Barat - LPA. Srengseng - Rawa Buaya - Kembangan Utara Jakarta Utara Waduk Pluit Danau Sunter PT. Jakarta Propertindo Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Kuburan Belanda, Ancol Kali Karang (Seratus Kota) PT. Astra Honda Motor Eks Babeks Sungai Bambu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, marunda - Gudang Peluru Marinir - Kemayoran - Semper Timur JUMLAH LUAS HUTAN KOTA -
1,80 17,89 15,00 1,09 1,80 108,62 6,00 8,20 2,49 1,59 3,00 2,00 4,00 3,00 3,00 65,00 4,60 5,75 644,38
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2011 Keterangan : Laporan Sementara
2.3.2.
Karakteristik Flora dan Fauna Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut. Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun. Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan fauna banyak terdapat di wilayah tersebut. Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 14
LAPORAN AKHIR
burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), dan
Garangan
(Herpetes
javanicus)
juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain Biawak (Varanus salvator), ular Belang (Boiga dendrophila), ular Sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996). Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), Bintayung (Freagata andrew-si), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kowak merah (Nycticorax caledonicus), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Ibis hitam (Plegadis falcinellus), Bangau hitam (Ciconia episcopus), burung Duit (Vanellus indicus), Trinil
tutul
(Tringa
guitifer),
Blekek
Asia
(Limnodromus
semipalmatus),
Gegajahan Besar (Numenius arquata), dan Trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, Kuntul perak (E. intermedia), Kuntul putih besar (E. alba), Bluwok (Ibis cinereus), dan Cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988). Keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di DKI Jakarta secara umum tidak berbeda jauh dengan keadaan flora dan fauna lainnya di pulau Jawa. Hal ini karena adanya kesatuan geografis meskipun saat ini sudah banyak mengalami pengurangan akibat tingginya pembangunan di DKI Jakarta. 2.4.
Karakteristik Lingkungan Kultural
2.4.1.
Karakteristi Kependudukan Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8.961.680 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penduduk bertambah menjadi 10.187.595 juta jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut, penduduk laki-laki adalah sebanyak 5.252.767 jiwa dan perempuan sebanyak 4.934.828 jiwa, dengan seks Rasio
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 15
LAPORAN AKHIR
106. Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada periode 2000 - 2010 sebesar 1,42 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990 – 2000 hanya sebesar 0,78 persen per tahun. Tabel 2.7. Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Luas Wilayah (Km2) 1 Jakarta Selatan 141,27 2 Jakarta Timur 188,03 3 Jakarta Pusat 48,13 4 Jakarta Barat 129,54 5 Jakarta Utara 146,66 6 Kep. Seribu 8,70 DKI Jakarta 662,33 Sumber: BPS - Jakarta Dalam Angka 2012 No
Kab/Kota Administrasi
Penduduk (Jiwa) 2.135.571 2.926.732 1.123.670 2.260.341 1.716.345 24.936 10.187.595
Kepadatan Pertumbuhan Penduduk Penduduk (Jiwa/Km²) (%) 14.598 1,46 14.327 1,38 18.761 0,32 17.615 1,83 11.220 1,49 2.423 2,03 13.158 1,42
Penduduk di Jakarta tersebar di lima wilayah kota administrasi dan satu Kabupaten Kepulauan Seribu. Perkembangan jumlah penduduk di lima wilayah kota administrasi dan satu Kabupaten Kepulauan Seribu terlihat pada Peta Gambar 2.9. Distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari terendah sebesar 0,22 persen di Kabupaten Kepulauan Seribu hingga yang tertinggi sebesar 28,02 persen di Kota Jakarta Timur.
Gambar 2.10. Grafik Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/ Kabupaten Administrasi Tahun 2007 - 2010
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 16
LAPORAN AKHIR
2.4.2.
Karakteristik Penggunaan Lahan Secara garis besar penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi: pertanian, hutan,
pemukiman dan penggunaan lainnya. Pada umumnya, penetapan
penggunaan lahan didasarkan pada
karakteristik lahan dan daya dukung
lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji melalui proses evaluasi sumber daya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumber daya lahan untuk
berbagai penggunaannya seperti dapat kita lihat pada Gambar
2.11. di bawah ini Dapat dilihat luas wilayah administrasi pada penggunaan lahan di Prov. DKI Jakarta dengan wilayah terbesar atau terluas pada daerah pemukiman yaitu pada wilyah kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 157,35 km² dan wilayah terkecil terdapat pada wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu yang memiliki luas pemukiman 5,90 km² yang secara rinci dapat kita lihat pada Tabel 2.8. di bawah ini. Sedangkan grafik penggunaan lahan di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2.12. Tabel 2.8. Luas Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan No 1 2 3 4 5 6
Kab/Kota Administrsi Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta
Luas Wilayah Pemukiman Pertanian Hutan dan Lain (Km²) (Km²) (Km²) Hutan Kota Lain 141,27 114,33 21,98 3,57 1,39 188,02 157,32 23,54 1,47 5,69 48,13 45,98 1,32 0,14 0,69 129,55 107,96 20,40 0,18 1,01 146,66 130,18 10,13 4,31 2,04 8,71 5,89 1,79 1,03 662,34 561,66 79,16 10,70 10.82
Sumber: SLHD 2012
Dalam beberapa dekade terakhir perkembangan fisik wilayah DKI Jakarta ditandai oleh semakin luasnya lahan terbangun. Perkembangan lahan terbangun berlangsung dengan pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya. Kecenderungan tersebut mengindikasikan bahwasanya ketersediaan lahan menjadi permasalahan yang penting bagi pembangunan Provinsi DKI Jakarta.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 17
LAPORAN AKHIR
Gambar 2.12. Grafik Wilayah Administrasi dan Penggunaan Lahan di DKI Jakarta Pembangunan fisik di Jakarta terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai oleh pembangunan gedung perkantoran, sarana ekonomi dan sosial serta infrastruktur kota lainnya. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya pembangunan dan perekonomian Jakarta. Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar, yaitu 48,41 persen dari luas daratan utama DKI Jakarta. Sedangkan yang diperuntukkan bangunan industri , perkantoran dan perdagangan hanya mencapai 15,68 persen.
2.5.
Kondisi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah DKI Jakarta
2.5.1.
Potensi dan Ketersediaan Air Permukaan Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk didalamnya adalah sungai dan situ/waduk. Potensi sumber daya air permukaan (sungai, waduk dan danau/situ) memerlukan upaya pengelolaan yang baik dan terencana. Aspek yang ditekankan adalah tinjauan terhadap kualitas dan sekaligus upaya perlindungan badan air penerima (BAP) dari resiko pencemaran yang dikaitkan dengan upaya pemanfaatan potensi air permukaan itu sendiri sebagai sumber air bersih perkotaan dan sumber air bersih untuk keperluan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 18
LAPORAN AKHIR
industri atau niaga lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku. DKI Jakarta dihadapkan pada kondisi yang sangat kritis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, khususnya dalam hal ketersediaan air. Setiap tahunnya, Jakarta senantiasa menghadapi ancaman banjir pada musim hujan, sementara itu hampir sepanjang waktu selalu mengalami krisis air baku untuk keperluan air minum. Dilihat dari aspek sanitasi lingkungan perkotaan, rendahnya tingkat
penanganan
limbah
cair
perkotaan
telah
memberikan
dampak
pencemaran yang serius terhadap badan air (air permukaan) sehingga tidak memungkinkan lagi dapat dimanfaatkan sebagai (alternatif) sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang terus meningkat.
Tabel 2.9. Panjang dan Luas Badan Air di DKI Jakarta Badan – Badan Air Situ Waduk Sungai Melalui 2 Provinsi Sungai Di DKI Jakarta Banjir Kanal Sub Makro Drain Mikro Drain Saluran Irigasi Jumlah Total
Panjang dan Luas Badan Air Panjang (m) Luas (m²) 1.114.200 2.308.300 290.860 5.325.020 96.610 1.566.440 38.550 2.237.000 578.455 2.036.053 6.622.102 3.827.715 272.112 1.605.394 7.898.689 20.020.122
Sumber: BPS – Jakarta Dalam Angka, 2012
A. Sungai Sungai adalah alur atau wadah air alami berupa drainase alam, yang secara gravitasi alirannya mengalir dari hulu ke hilir, dengan dibatasi kanan dan kiri di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan sungai (garis maya batas luar perlindungan sungai). Sungai memiliki potensi yang dapat memberikan manfaat atau pun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. Bentuk lain sungai yaitu berupa palung dengan bagian dasarnya mengalirkan air dengan kedalaman atau dengan debit tergantung pada musim (kemarau dan hujan). Badan air penerima (BAP) dalam bentuk sungai/kali yang melewati wilayah DKI Jakarta sebanyak 13 sungai besar pada dasarnya sungai/kali itu sejak awal diperuntukan atau digunakan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 19
LAPORAN AKHIR
sebagai sumber air baku untuk air bersih/minum (PAM Jaya maupun masyarakat), saluran pematusan (drainase) kota, sebagai sumber air untuk usaha perikanan dan usaha-usaha perkotaan lainnya. Namun karena sangat minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah serta belum tersedianya
sarana
dan
prasarana
pengelolaan
air
limbah,
telah
menyebabkan kondisi kualitas badan air penerima tersebut dalam kondisi tercemar dan tidak layak lagi untuk dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk keperluan PAM Jaya dan masyarakat langsung. Penurunan kualitas badan air permukaan ini semakin mengkuatirkan, sementara upaya signifikan untuk mengendalikannya dan apalagi untuk memulihkan kondisinya masih berhadapan dengan banyak kendala, mulai dari kebijakan, penegakan sanksi, penyediaan prasarana dan sarana, kelembagaan, pembiayaan, serta partisipasi masyarakat. Sangat ironi sekali potensi sumber daya air yang begitu besar tidak mampu dikelola agar dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat dan untuk pertumbuhan Kota Metropolitan DKI Jakarta ini. Kecuali Kali Krukut di bagian hulu yang masih bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku Instalasi Pengolahan Air Cilandak milik PAM Jaya, 12 sungai/kali lainnya dalam kondisi tidak layak sebagai sumber air baku. Berikut pada Tabel 2.10. dapat diihat luas dan debit DAS di DKI Jakarta. Karakteristik ke-13 sungai tersebut diketahui dalam kondisi tercemar berat. Tidak ada sungai yang memiliki indeks pencemarannya dengan kondisi yang baik. Keadaan ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dan memerlukan upaya nyata untuk perbaikan kondisi sunga-sungai tersebut. Tabel 2.10. Luas dan Debit Daerah Aliran Sungai di DKI Jakarta No.
Sungai/ Kali
Panjang (km)
2,40 1,40
Debit (m³/dtk) Max Min 61,81 28,31 3,49 3,25
9,00
2,20
27,47
7,41
9,60 2,00 3,00
2,34 0,95 1,40
2,53 3,56 5,84
1,31 2,78 0,86
Lebar (m)
1 2
Ciliwung Cipinang
46,20 27,35
Permukaan 70,00 24,40
Dasar 10,00 10,00
3
Angke
12,81
17,90
4 5 6
Mookervart Grogol Sunter
7,30 23,60 37,25
38,50 20,40 10,00
Kedalaman (m)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 20
LAPORAN AKHIR
Sungai/ Kali
No. 7 8 9 10 11 12 13
Panjang (km)
Krukut Kalibaru Timur Kalibaru Barat Buaran Cakung Pesanggrahan Jati Kramat
28,75 30,20 17,70 7,90 20,70 27,30 3,80
Lebar (m) Permukaan 20,00 31,60 7,00 11,00 25,00 14,00 11,20
Dasar 3,40 3,60 2,80 3,20 10,00 3,50 4,00
Kedalaman (m) 1,10 0,85 0,45 1,30 1,80 2,60 0,68
Debit (m³/dtk) Max Min 13,97 4,56 3,69 2,25 2,17 0,02 5,87 0,38 6,73 0,72 22,00 10,14 17,56 0,877
Sumber : BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011 Ket: Lebar dan kedalaman dihitung rata-rata
B. Danau/Waduk/Situ Sebagai salah satu bentuk air permukaan, selain berfungsi sebagai sumber air, waduk/situ juga berfungsi sebagai bagian dari suatu sistem pengendali banjir, penampung air, resapan air, irigasi, dan budi daya perikanan. Situsitu di wilayah DKI Jakarta yang tersebar di beberapa wilayah dengan luasan yang berbeda mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam hal struktur dan tekstur tanah, sifat kimia air, plankton/periphyton, tumbuhan air dan berbagai jenis ikan dan mahkluk hidup lainnya. Kondisi situ-situ tersebut mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Sekarang ini keberadaan situ-situ di Provinsi DKI Jakarta seperti dilihat pada Table 2.11 nama dan luas danau/waduk/situ yang cenderung berkurang jumlahnya dan keadaannya sudah banyak yang tercemar maupun beralih fungsi. Hal ini disebabkan akibat pembangunan yang sangat pesat di berbagai
sektor
pembangunan,
permukiman,
gedung-gedung
perkantoran/perhotelan, industri ditambah lagi pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang sedikit banyak memerlukan lahan. Tabel 2.11. Nama dan Luas Danau/Waduk/Situ di Wilayah DKI Jakarta No 1
NamaDanau/Waduk/Situ JAKARTA SELATAN - Situ Kalibata - Situ Ragunan - Situ Babakan - Situ Sigura-gura - Situ Kantor Walikota Selatan
Luas (Ha)
Volume (m³)
6,00 10,00 27,00 1,00 0,50
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
120.500 210.000 540.000 21.000 78.000
II - 21
LAPORAN AKHIR
No 2
3
4
NamaDanau/Waduk/Situ
Luas (Ha)
Volume (m³)
JAKARTA TIMUR - Situ Rawa Pendongkelan - Situ Ria Rio - Situ Tipar/Arman - Situ Kelapa Dua Wetan - Situ Skuadron - Situ Taman Mini - Situ Rawa Dongkel - Situ Rawa Bandung - Situ Sunter Hulu - Situ Bea Cukai - Situ Elok - Situ Rawa Rorotan
3,50 5,00 14,00 8,00 1,00 5,00 9,00 3,00 2,50 2,00 1,20 1,50
95.000 110.000 280.000 192.000 25.000 100.000 270.000 60.000 62.000 40.000 32.000 24.000
JAKARTA PUSAT - Situ Taman Ria - Situ Lembang - Waduk Melati - Menara Jakarta - Pademangan - Situ Manggala Wanabakti
6,00 0,40 3,50 4,00 4,50 0,80
150.000 8.500 87.500 60.000 101.000 10.500
JAKARTA BARAT - Waduk Cakra Buana Lestari - Waduk Bojong Indah - Waduk Tomang Barat - Waduk Jelambar Wijaya Kusuma - Waduk Slipi Hankam I - Waduk Pondok Badung - Waduk Rawa Kepa - Waduk Grogol - Empang Bahagia - IPAK Duri Kosambi
0,20 2,00 6,00 2,50 1,00 0,09 0,50 3,00 4,00 2,00
4.500 47.000 148.000 52.000 21.000 900 10.000 75.000 92.000 45.000
3,00 3,00 27,40 29,00 0,75 4,50 85,00 18,00
67.000 80.000 822.000 725.000 15.000 90.000 2.550.000 360.000
5
JAKARTA UTARA - Waduk Pantai Indah Kapuk Utara - Waduk Pantai Indah Kapuk Selatan - Waduk Sunter I - Waduk Sunter II - Situ Teluk Gong - Situ Pademangan - Waduk Pluit - Waduk Rawa Kendal Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 22
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.12. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Sumber Air Minum Kab/ Kota Adm. Ledeng Sumur Sungai Hujan Kemasan Jakarta Selatan 6.663 209.418 2.856 329.358 Jakarta Timur 57.493 255.198 587 395.998 Jakarta Pusat 77.759 13.266 151.844 Jakarta Barat 193.222 40.624 1.562 389.049 Jakarta Utara 93.645 752 3.385 348.629 Kep. Seribu 232 757 2.410 1.498 TOTAL 429.014 520.015 587 10.213 1.616.376 Sumber: BPS Prov. DKI Jakarta, 2011
Lainnya 950 204 521 1.675
Sungai memiliki aneka fungsi, yaitu fungsi dimanfaatkan untuk menunjang berbagai kebutuhan serta fungsi sebagai badan air penerima limbah cair, sampah serta bantarannya dipakai untuk hunian ilegal.
Air Baku Air Minum PDAM Beberapa sungai dimanfaatkan untuk air baku air minum PDAM, yaitu: -
Kali Ciliwung untuk air baku Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPAB) PDAM Condet.
-
Kali Krukut untuk air baku IPAB PDAM Taman Kota, kapasitas 200 L/det, dioperasikan sejak tahun 1975, namun sejak Nopember tahun 2005 operasi dihentikan karena buruknya kualitas air (Palija,2009).
Fungsi Mandi Cuci Penduduk Sepanjang Sungai Penduduk sekitar sungai memanfaatkan air sungai untuk keperluan mandi dan cuci, seperti antara lain dilakukan masyarakat Krukut untuk air baku IPAB PDAM Cilandak,kapasitas 400 L/det, yang dioperasikan sejak tahun 1977 (Palija, 2009) Kali Pesanggrahan sekitar Kali Ciliwung, di Kelurahan Kampung Melayu, maupun di Kelurahan Manggarai.
Sarana Transportasi Diantara sungai tersebut ada juga yang berfungsi sebagai sarana transportasi, yaitu Kali Ciliwung seperti dilakukan masyarakat sekitar di Kampung Melayu.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 23
LAPORAN AKHIR
Tempat Hunian Liar Permukiman liar terdapat di sepanjang bantaran Kali Ciliwung sebagai tempat hunian seperti di Kelurahan Manggarai.
Tempat Buangan Limbah Cair Penduduk dan Industri Sungai berfungsi sebagai penampung limbah cair penduduk maupun industri, di daerah studi terdapat bantaran sungai yang digunakan sebagai bangunan MCK, sehingga limbah penduduk langsung masuk ke sungai, diantaranya terjadi di Kali Ciliwung Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Manggarai.
Tempat Pembuangan Sampah Badan sungai semakin menyempit, yang diakibatkan oleh timbunan sampah rumah tangga yang terus menumpuk dan memakan lebar badan sungai, kondisi demikian antara lain terjadi
pada Kali Ciliwung di Kelurahan
Kampung Melayu.
2.5.2.
Potensi dan Ketersediaan Air Tanah Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology cycle) yang terdiri rangkaian proses yang saling berkaitan antara proses atmosferik, proses hidrologi permukaan dan proses hidrologi bawah permukaan. Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui evaporasi, transpirasi, kondensasi dan presipitasi. Di luar sistem tersebut persoalan air tanah bahkan seringkali melibatkan aspek politik dan sosial budaya yang sangat menentukan keberadaan air tanah di suatu daerah. Siklus hidrologi menggambarkan hubungan antara curah hujan, aliran permukaan, infiltrasi, evapotranspirasi dan air tanah. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, air danau dan sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah/akuifer di daerah imbuhan (recharge area) dan mengalir menuju ke daerah lepasan (discharge area). Menurut Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan aliran air tanah di dalam akuifer dari daerah imbuhan ke daerah lepasan cukup lambat, memerlukan waktu lama bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Pada dasarnya air tanah termasuk sumber daya
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 24
LAPORAN AKHIR
alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu umur manusia air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang tidak terbaharukan. Di dalam tanah keberadaan air mengisi sebagian ruang pori-pori tanah yang bisa dimanfaatkan langsung oleh tanaman pada kondisi kelembaban tanah antara kapasitas lapang sampai titik layu permanen pada posisi zona aerasi. Di bawah zona aerasi terdapat zona penjenuhan yang menempatkan air mengisi seluruh ruang pori-pori tanah yang ada dengan kisaran tebal yang selalu berfluktuasi. Debit dan keberadaan muka air tanah pada zone penjenuhan ini sangat dipengaruhi oleh pasokan air dari daerah imbuhan (recharge zone) yang berada di atasnya, semakin banyak pasokan yang diimbuhkan semakin banyak debit yang tersimpan dalam zone ini. Keberadaan air tanah pada zone ini seringkali disebut sebagai air (tanah) bebas. Ketebalan air bebas yang ada dalam tanah bisa mencapai puluhan meter tergantung dari letak lapisan batuan padu (consolidated rock) yang ada di bawahnya. Lapisan batuan padu (batuliat, batupasir, batugamping, batuan kristalin, dan shale) yang mengandung air tanah dalam lubang pelarutan, atau di rekahan batuan (lapisan batuan pembawa air tanah) disebut sebagai akuifer. Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) di bawah permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah water table. Akuifer merupakan suatu lapisan, formasi atau kumpulan formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meluluskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis, serta bentuk dan kedalamannya terbentuk ketika terbentuknya cekungan air tanah. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Potensi air tanah di suatu cekungan sangat tergantung kepada porositas dan kemampuan batuan untuk meluluskan (permeability) dan meneruskan (transmissivity) air. Kelulusan tanah atau batuan merupakan ukuran mudah atau tidaknya bahan itu dilalui air. Air tanah mengalir dengan laju yang berbeda pada jenis tanah yang berbeda. Air tanah mengalir
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 25
LAPORAN AKHIR
lebih cepat melalui tanah berpasir tetapi bergerak lebih lambat pada tanah liat. Gambaran kualitas fisik air tanah di Propinsi DKI Jakarta yang meliputi TDS dan kekeruhan dapat dilihat pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Rata-rata Kualitas Fisik Air Tanah Prov. DKI Jakarta Tahun 2011 No. 1 2 3 4 5
Wilayah Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan Timur Pusat Barat Utara
TDS (mg/L) September Nopember 213.34 213.34 477.19 361.48 538.45 538.45 1,015.80 645.80 1,070.87 852.07
Kekeruhan (skala NTU) September Nopember 1.00 1.90 1.88 4.33 1.86 15.36 2.75 2.91 17.58 11.89
Sumber: BPLHD Prov. DKI Jakarta, 2011 Ket: BM TDS = 1500 mg/L ; BM Kekruhan = 25 NTU
Dari Tabel diatas Menunjukan bahwa nilai rata-rata untuk parameter zat padat terlarut (TDS) di lima wilayah di Propinsi DKI Jakarta Masih memenuhi baku mutu. Sebagai contoh pada bulan September 2011 rentan tertinggi terdapat pada wilayah Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara. Tabel 2.14. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Selatan No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) 5 Total Dissolved Solid (total padatan terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
TCU ºC mg/L
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C 1500 mg/L
1.90 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23 213.34
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.31 173.25
sel/ml
50 jml/100ml
597
NTU
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
2.85 0.02 0.10 0.22 50.9 16.62
II - 26
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.15. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Timur No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU TCU ºC
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C
4.33 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
361.48
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.62 201.71
sel/ml
50 jml/100ml
2,893
1.82 0.02 0.20 0.68 88.02 102.67
Tabel 2.16. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Pusat No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau Warna (color) 3 4
Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU
25 mg/L Tidak Berbau
TCU
Tidak berwarna
ºC
± 20-26°C
1.86 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
538.45
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
7.33 246.46
sel/ml
50 jml/100ml
201,359
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
0.67 0.01 2.04 1.04 95.19 67.23
II - 27
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.17. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Barat No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau Warna (color) 3 4
Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU
25 mg/L Tidak Berbau
TCU
Tidak berwarna
ºC
± 20-26°C
2.91 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
1,015.80
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
6.75 377.54
sel/ml
50 jml/100ml
15,388
2.45 0.04 0.27 0.96 319.65 196.75
Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Tabel 2.18. Data Air Tanah Wilayah Jakarta Utara No
Parameter
Parameter Fisik 1 Kekeruhan ( turbidity ) 2 Bau 3 Warna (color) 4 Suhu (temperatur) Total Dissolved Solid (total padatan 5 terlarut) Parameter Kimia 1 PH 2 Kesadahan (hardness) 3 Alkalinitas (alkalinity) 5 Nitrat (NO3-) 6 Nitrit (NO2-) 7 Besi (Fe) 8 Mangan 9 Khlorida 10 Sulfat (SO42-) Parameter Mikrobiologi 1 Bakteri E.Coli
Satuan
Baku Mutu
Hasil Maks.
NTU TCU ºC
25 mg/L Tidak Berbau Tidak berwarna ± 20-26°C
17.58 Tidak berbau Tidak berwarna 22-23
mg/L
1500 mg/L
1,070.87
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6.5 - 8.5 500 1000 mg/L 10 0.02 0,3 mg/L 0,1 mg/L 250 mg/L 400 mg/L
7.87 313.02
sel/ml
50 jml/100ml
252,662
1.15 0.03 0.99 1.12 333.92 90.69
Sumber: SLHD Jakarta Tahun 2011
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 28
LAPORAN AKHIR
Jenis yang Dimanfaatkan Secara umum pemanfaatan air tanah antara lain (Dandel 2011):
Kebutuhan pokok (air minum dan rumah tangga), lebih dari 70% penduduk masih memanfaatkan air tanah.
Kebutuhan industri, sekitar 90% masih menggantungkan pada air tanah.
Kebutuhan untuk pertanian, dibeberapa daerah banyak dikembangkan dari air tanah (P2AT);
Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan pedesaan banyak yang dipenuhi dari air tanah (PDAM, PPSAB, DGSDM);
Kebutuhan untuk perkebunan, banyak dikembangkan oleh perkebunan tebu, kelapa sawit, teh, karet;
Kebutuhan dalam pertambangan: pencucian, dewatering, dan untuk fasilitas umum;
Fasilitas umum (MCK, air minum), dibanyak perkantoran, peribadatan, rumah sakit, panti asuhan, dll.
2.5.3.
Potensi dan Ketersediaan Keaneragaman Hayati Keanekaragaman
hayati
menurut
UU
Nomor
5
Tahun
1994
adalah
keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk di dalamnya daratan, lautan dan ekosistem akuatik. Keanakeragaman hayati merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia karena dapat memberikan sumber
kehidupan,
penghidupan
dan
kelangsungan
hidup
manusia.
Keanekaragaman yang tinggi akan dapat menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
Keanekaragaman Ekosistem Di lingkungan manapun di muka bumi ini, maka akan ditemukan makhluk hidup. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu (uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat dilihat langsung oleh kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 29
LAPORAN AKHIR
batuan, air, tanah, dan kelembaban, ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman, dan kandungan mineral. Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungannya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem. Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang menempati suatu daerah akan membentuk ekosistem yang berbeda. Totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem
menunjukkan
terdapat
perbagai
variasi
bentuk,
penampakan,
frekuensi, ukuran dan sifat lainnya pada tingkat yang berbeda merupakan keanekaragaman hayati. Salah satu komunitas ekosistem yang ada di DKI Jakarta dan bermanfaat dalam menjaga kelangsungan hidup manusia adalah adanya komunitas mangrove yang merupakan ekosistem hutan yang khas dan unik yang berpotensi sebagai perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi, abrasi dan intrusi air laut. Erosi di pantai Marunda yang tidak bermangrove selama 2 bulan mencapai 2 meter, sedangkan yang bermangrove hanya 1 meter. Selain itu hutan mangrove dapat dimanfaatkan pula sebagai wahana rekreasi alam hutan wisata payau.
Keanekaragaman Spesies Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al., 1996). Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristatus), Bekantan (Nasalis larvatus), kucing Bakau (Felis viverrina), Luwak
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 30
LAPORAN AKHIR
(Paradoxurus
hermaphroditus), dan
Garangan
(Herpetes
javanicus)
juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain Biawak (Varanus salvator), ular Belang (Boiga dendrophila), ular Sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996). Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), Bintayung (Freagata andrew-si), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kowak merah (Nycticorax caledonicus), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Ibis hitam (Plegadis falcinellus), Bangau hitam (Ciconia episcopus), burung Duit (Vanellus indicus), Trinil
tutul
(Tringa
guitifer),
Blekek
Asia
(Limnodromus
semipalmatus),
Gegajahan Besar (Numenius arquata), dan Trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, Kuntul perak (E. intermedia), Kuntul putih besar (E. alba), Bluwok (Ibis cinereus), dan Cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988). Keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di DKI Jakarta secara umum tidak berbeda jauh dengan keadaan flora dan fauna lainnya di pulau Jawa. Hal ini karena adanya kesatuan geografis meskipun saat ini sudah banyak mengalami pengurangan akibat tingginya pembangunan di DKI Jakarta. Jenis tumbuhan yang terdapat di DKI Jakarta cukup bervariasi mulai dari jenis tumbuhan pantai sampai dengan jenis tumbuhan dataran/pegunungan dan palawija. Akan tetapi sampai dengan tahun 2010 ini belum dapat diketahui jumlah seluruh jenis tumbuhan yang ada di DKI Jakarta, hanya jenis tumbuhan pantai khususnya yang ada di kepulauan Seribu yang sudah terdeteksi yaitu ada sekitar 86 jenis. Untuk jenis tumbuhan pantai umumnya didominasi oleh jenis pohon Kelapa, Cemara laut, Ketapang, Rutun, Mengkudu dan Pandan laut. Disamping itu di beberapa pulau di Kepulauan Seribu banyak ditemukan Sukun. Dari gambaran tersebut diatas bahwa keanekaragaman hayati baik flora dan fauna banyak terdapat di wilayah tersebut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 31
LAPORAN AKHIR
2.6.
Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.6.1.
Umum Berdasarkan Inventarisasi dan Analisis masing-masing Aspek Lingkungan Hidup yang ada di DKI Jakarta, maka dapat diidentifikasi permasalahan masing-masing aspek tersebut jika dikaitkan dengan Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di DKI Jakarta. Aspek Lingkungan yang dimasukkan sebagai pembahasan adalah yang paling tinggi tingkat permaslahannya dan sangat erat dampak serta erat kaitannya secara langsung dengan kehidupan ekosistem lain di Wilayah DKI Jakarta.
2.6.2.
Konflik dan Penyebab Konflik A. Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan tata guna lahan juga dapat menjadi penyebab pencemaran air tanah. Air hujan yang seharusnya masuk ke dalam tanah untuk menambah kuantitas air tanah dapat menyebabkab menurunnya konsentrasi pencemar tidak dapat diserap oleh tanah karena sudah tertutup oleh pelapisan dan fungsi lainnya. Selain kuantitas air yang menurun masuk ke dalam tanah, kualitas air tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang mempunyai kualitas air tanah paling buruk adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan. B. Geologi Beberapa konflik/permasalahan terjadi dalam pembangunan di DKI Jakarta, di akibatkan masalah keretakan bangunan, amblesan tanah, banjir,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 32
LAPORAN AKHIR
runtuhnya jalan dan sebagainya. Permasalahan tersebut erat hubungannya dengan kondisi geologi teknik di DKI Jakarta. Seperti yang telah disebutkann sebelumnya, daratan DKI Jakarta secara geologi memiliki tanah alluvium yang sangat bervariasi sifat keteknikannya baik pada sebaran ke arah vertikal maupun mendatar.Berdasarkan identifikasi morfologinya, garis pantai purba DKI Jakarta 5000 tahun yang lalu berada di sepanjang Jl. Daan Mogot – Grogol - Monas – Senen - Pulo Gadung, sehingga di beberapa tempat di sepanjang jalan tersebut dijumpai tanah endapan pematang pantai dan di belakangnya dijumpai tanah endapan rawa yang bersifat lunak. Tanah aluvium di DKI Jakarta bagian utara mempunyai umur baru 5.000 tahun belum mengalami pemampatan yang maksimal, sehingga adanya pembangunan infrastruktur dan dipacu oleh pengambilan air tanah dalam secara berlebihan telah menyebabkan terjadinya amblesan tanah secara regional. Amblesan tanah telah mencapai kecepatan > 5 cm/tahun bahkan di beberapa tempat mencapai >10 cm/tahun (di Rawa Buaya-Kapuk-Kamal). Dampak amblesan tanah menimbulkan semakin meluasnya banjir dari tahun ke tahun, terganggunya dan bahkan tidak berfungsinya sistem drainase dan infrastruktur di DKI Jakarta. Di bagian selatan dari Jakarta yang tersusun oleh aluvium volkanik pada umumnya mempunyai sifat keteknikan tanah yang lebih baik di banding tanah aluvium yang ada di Jakarta bagian utara, sehingga pembangunan infrastruktur maupun konstruksi bangunan berat tidak mengalami kendala seperti yang ada di Jakarta bagian utara. Saat ini kebutuhan lahan dipermukaan mulai terasa sudah terbatas, sehingga pemanfaatan ruang bawah permukaan mulai dilakukan untuk menampung permasalahan yang tidak dapat terpecahkan di permukaan tanah sehingga muncul persoalan penataan ruang bawah tanah,
dan isu
dampak
lingkungannya. C. Udara Pencemaran udara merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh DKI Jakarta. Pada penelitian ini dipelajari zat-zat polutan yang terdapat dikawasan pemukiman, industri dan komcrsil serta kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien dan unsur-unsur meteorologis
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 33
LAPORAN AKHIR
yang mempengaruhinya. Konsentrasi udara ambien tertinggi sebagian besar tejadi di kawasan komersi!. Polutan SO, tertinggi lerdapat di kawasan Komersil yaitu 12 ppb konsentrasi tersebut masih berada di bawah baku mulu yaitu 91 ppb. Parameter CO tertinggi juga terjadi di kawasan komersil yailu 28.1 ppm, nilai [ersebut sudah melebihi baku mutu yaitu 7.2 ppm. Konsentrasi NO, dan Hidrokarbon tertinggi juga terjadi di kawasan komersil, konsentrasi NO, tertinggi adalah 140 ppb yang nilainya melcbihi baku mutu yailu 69 ppb dan konsentrasi Hidrokarbon tertinggi yaitu 3840 ppb juga melebihi baku mutu yaitu 240 ppb. Scdangkan untuk parameter PM-IO Konsentrasi tertinggi teljadi di kawasan industri Yaitu 113 ~g/m3, nilai tersebut masih berada di bawah baku mutu yaitu 150 mg/m3 Kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien untuk wilayah Pluit adalah tidak sesuai sebagai peruntukkan Garis isoline menunjukkan bahwa di wilayah Pluit konsentrasi pencemarnya sama dengan wilayah komersil untuk parameler SO, dan NO2 sedangkan untuk parameter CO dan HC konsentrasinya sama dengan wilayah industri.
D. Kependudukan, Sosial, Perekonomian Kota
Permasalahan Interaksi Sosial dan Kemasyarakatan Sebagaimana umumnya kota megapolitan, kota yang berpenduduk di atas 10 juta, Jakarta memiliki masalah stress, kriminalitas, dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan dan privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup individualistik juga menjadi penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif
dan
tidak
humanis
menyisakan
ruang-ruang
sisa
yang
mengundang tindak laku kriminal. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan usaha informal oleh pemerintah DKI adalah penyebab aktif kemiskinan di DKI Jakarta. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat bahwa penduduk DKI Jakarta berjumlah 9,6 juta jiwa. Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 34
LAPORAN AKHIR
etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan Pulo Gadung. Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta. Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina. Permasalahan lingkungan sosial lebih dikarenakan karena interaksi antar penduduk. Jakarta sendiri memiliki jumlah penduduk komuter lebih banyak di siang hari dan lebih sedikit pada malam hari. Namu hal ini bukan berarti Jakarta tidak memiliki amsalah. Sebagai kota megapolitan yang menjanjikan keberhasilan dan hidup yang lebih baik, Jakarta harus bertahan menghadapi serbuan pendatang yang bersaha mengadu peruntungan dengan mencari pekerjaan.
Beberapa
masalah
yang
dapat
diidentifikasi
antara
lain
kesenjangan sosial, krimiinalitas, kemiskinan dan pemukiman kumuh.
Dampak Pencemaran Lingkungan Hidup Bagi Kehidupan Sosial Aspek Lingkungan yang paling banyak memberikan dampak social bagi masyarakat Kualitas
udara
adalah Udara. Dalam hal ini adalah Pencemaran Udara. di
Jakarta
sudah
cenderung
tercemar
dan
mulai
terkonsentrasi di beberapa titik. Berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 1999,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 35
LAPORAN AKHIR
terdapat satu indikator kualitas udara berdasarkan partikel debu maksimum 60 mikrogram per meter kubik. Sementara kondisi udara di Jakarta saat ini, mencapai 150 mikrogram per meter kubik. Standar WHO bahkan 20 mikrogram per meter kubik. Ini tandanya tujuh kali lipat dari kondisi yang ada di Jakarta. Sangat jauh dari bersih. Belum lagi indikator lain seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan hydro karbon. Konsentrasi hydro karbon di Jakarta sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari bau bahan bakar yang sangat pekat tercium apabila kita mengendarai motor. Karena itu, Pemprov DKI harus kembali melaksanakan apa yang diamanatkan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang penanganan pencemaran udara. Selain itu, juga perlu penanganan terkait sistem transportasi publik.
Reaksi dari Masyarakat Terhadap Pencemaran Udara Dalam kondisi yang tidak bersahabat tersebut tentu saja mengundang berbagai reaksi atau respon dari masyrakat. Respon tersebut dapat berupa:
Melihat kondisi udara di ibu kota negara kita ini sudah sangat tercemar, reaksi masyarakat di Jakarta melihat kondisi tersebut adalah dengan menggunakan masker yang dapat mengurangi mengurangi rasa tidak nyaman ketika menghirup nafas karena cuaca yang sudah tercemar asap kendaraan bermotor dan juga untuk mencegah timbulnya berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat asap kendaraan ini.
Selain
menggunakan
masker,
masyarakat
juga
beraksi
dengan
mengaspirasikan suaranya kepada pemerintah DKI Jakarta untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor di wilayah Jakarta karena salah satu penyebab utama dari pencemaran udara di Jakarta adalah jumlah kendaraan bermotor melebihi kapasitas penduduk Jakarta itu sendiri atau juga masyarakat dapat menyuarakan untuk menggunakan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor baik itu untuk kendaraan pribadi ataupun umum yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan polusi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 36
LAPORAN AKHIR
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Lingkungan Sosial Hasil dari pencemaran udara ini tentunya bersifat negatif karena sangat merugikan bagi masyarakatnya.Salah satunya yang merugikan adalah dari segi kesehatan. Penyakit yang dapat ditimbulkan dari pencemaran udara ini antara lain :
Kanker paru - paru dan kanker liver (hati).
Bronchitis, ashma, dan gangguan nafas.
Iritasi mata, iritasi pada selaput lendir di hidung, dan iritasi kulit
Sakit kepala, tenggorokan kering, dan batuk.
Selain berbahaya bagi kesehatan, pencemaran akibat asap kendaraan bermotor ini pun dapat berdampak pada lingkungan seperti :
Aspek rumah kaca. Dapat menyebabkan peningkatan panas di bumi karena gas – gas dalam rumah kaca seperti uap air dan karbondiosida tidak terlepas ke angkasa luar melainkan terperangkap didalam lapisan bumi.
Penipisan lapisan ozon. Zat – zat dalam asap kendaraan bermotor dapat menyebabkan tipis dan berlubangnya lapizan ozon sehingga menyebabkan Global Warming dan juga meningkatkan jumlah penyakit kanker kulit, penyakit katarak, kanker kulit, menurunkan immunitas tubuh serta produksi pertanian dan perikanan.
Hujan asam.
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Lingkungan Sosial Pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor ini dapat berdampak secara psikologis bagi masyarakatnya, gangguan yang dapat ditimbulkan antara lain : Gangguan emosional. Gangguan gaya hidup. Gangguan kecerdasan. Gangguan kejiwaan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 37
LAPORAN AKHIR
E.
Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Banyak fenomena masalah lingkungan seperti banjir, dan polusi udara muncul di Jakarta karena masalah kurangnya ruang terbuka hijau dan menurunnya Tata Guna Lahan misalnya yang berfungsi sebagai hutan, baik hutan di darat, maupun hutan di lingkungan perairan. Untuk itu, salah satu elemen ruang terbuka hijau yang harus dipertahankan di dalam kota adalah Hutan Kota. Hutan Kota adalah suatu areal yang ditumbuhi pohon-pohon dalam wilayah perkotaan pada tanah negara atau tanah hak masyarakat dan dapat berfungsi sebagai pembentuk iklim mikro baik didalam maupun diluar lingkungan sekitarnya, mengatur tata air dan udara, sebagai habitat burungburung serta memiliki estetika dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota dengan luas minimal 0,25 Ha. Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hutan Kota memiliki fungsi sebagai berikut :
Dapat
dijadikan
obyek
penelitian,
kawasan
konservasi,
tempat
pariwisata ataupun sebagai salah satu ruang aktivitas publik bagi masyarakat kota
Pelestarian Plasma Nutfah
Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara, Timbal, Debu Semen, Karbon-monoksida
sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya
Penghasil Oksigen
Peredam Kebisingan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 38
LAPORAN AKHIR
Mengurangi Bahaya Hujan Asam
Penyerap dan Penapis Bau
Mengatasi Genangan air
Mengatasi Intrusi Air Laut
Pelestarian Air Tanah
Penapis Cahaya Silau
Meningkatkan Keindahan/estetika
Sebagai Habitat Burung
Mengurangi Stres dan Depresi ( sarana refreshing)
Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi
PP No 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota pasal 8 menyatakan Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan. Jakarta mempunyai persentase luas hutan kota sebesar 0,4 persen dari total luas wilayah. Masih Kurang 9,6% dari luas Jakarta atau sebesar 63,5 km2.
F.
Air Permukaan Seperti sudah diuraikan dan rekapiltulasi pada Sub Bab E.5.1, tentang inventarisasi
Air Permukaan,
bahwa hampir semua badan
air (Air
Permukaan: Sungai, Kali, Waduk, Situ, dan lain-lain) di DKI Jakarta sudah mengalami pencemaran dari yang berat sampai ringan. Selain itu, dari berbagai macam literatur yang ada, dan juga dari Inventarisasi data yang didapat dari BPLHD DKI Jakarta ( seperti sudah diuraikan pada Bab IV) , beberapa tahun belakangan ini pencemaran air baku, baik air tanah maupun air permukaan semakin meningkat. Pencemaran tersebut disebabkan masuknya air limbah domestik maupun industri, dan sampah akibat penanganan sanitasi yang tidak baik. Disadari, saat ini permukaan yang dapat dijadikan sebagai air baku sudah semakin langka. Fenomena tersebut melatarbelakangi ditetapkannya tahun 2008 oleh PBB sebagai Tahun Sanitasi Internasional dalam rangka Hari Air Dunia 2008.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 39
LAPORAN AKHIR
Permasalahan
banjir
pada
umumnya
sangat
terkait
erat
dengan
berkembangnya kawasan perkotaan yang selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir. Terkait dengan permasalahan tersebut diatas, bencana banjir yang terjadi di DKI
Jakarta,
pada
hakekatnya
memiliki
korelasi
dengan
pesatnya
perkembangan kawasan perkotaan di Jabodetabek Punjur, yang pada kenyataannya
tidak
lagi
sesuai
dengan
fungsi
yang
seharusnya. Penyimpangan atau ketidak sesuaian perkembangan kawasan ini didapati pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur. Pada Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang secara geografis merupakan daerah
hulu,
pertambahan
penyimpangan
tersebut
tercermin
daerah terbangun secara signifikan.
dari
adanya
Seharusnya, fungsi
kawasan Bopunjur merupakan kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya (KepPres No. 114, tahun 1999).
G. Air Tanah Memperhatikan uraian tentang Air Tanah yang membahas tentang inventarisasi dan ketersediaan Air Tanah di DKI Jakarta, maka dapat diidentifikasi pencemaran air tanah disebabkan oleh :
Limbah Industri dan Interusi
Penurunan Muka Air Tanah
Pencemaran Fisik, Kimia , dan Biologi
Perubahan Tata Guna Lahan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 40
LAPORAN AKHIR
H. Keanekaragaman Hayati Kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan Keanekaragaman Hayati. Kondisi ini, sebagai contoh yang sedang marak, adalah ditandai dengan maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta pertambangan tanpa izin. Permasalahan lain adalah belum jelasnya pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik (transgenik) yang mengancam keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, serta permasalahan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya fosil. Tapi pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah dan limbah. Minimnya sarana pengolahan limbah dan sampah, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam menangani sampah dan limbah secara baik dan benar telah menjadikan laut ini sebagai sasaran buangan limbah dari berbagai macam aktivitas manusia. Kesalahan Pengelolaan Limbah saat ini mengakibatkan pencemaran laut oleh limbah dan sampah telah menjadi masalah serius. Di wilayah DKI Jakarta saja, misalnya, pencemaran air laut Jakarta telah mencapai radius 60 km atau seluas kawasan Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu. Pencemaran itu disebabkan dari limbah domestik perkotaan maupun industri, kemudian mencemari Sembilan sungai di Jakarta yang bermuara di Teluk Jakarta. Beberapa penelitian mengungkapkan perairan Teluk Jakarta terindikasi mengandung logam berat Pb (timbal), Cd (cadmium), dan Cu (tembaga). Dalam hal mutu, kualitas air laut di sekitar Kepulauan Seribu nilai rata-rata kandungan organiknya antara 20,88-38,46 mg/I. Kandungan amonia yang tidak terdeteksi mencapai 0,38 mg/I, sedangkan baku mutu air laut untuk amonia <0,3 mg/l. Kandungan logam berat untuk Cu berkisar 0,03-0,08 mg/I dan Zn (seng) berkisar 0,15-0,40 mg/I. Sedangkan kandungan nikel, timah hitam, cadmium, chromium, dan fenol tidak terdeteksi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 41
LAPORAN AKHIR
Dengan kondisi air seperti ini maka mutunya menjadi tidak layak untuk di minum. Akar penyebabnya adalah pengelolaan limbah yang salah. Kesalahan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai yang masih tradisional, tapi juga oleh fasilitas pariwisata yang sudah dikelola dengan cara modern. Banyak hotel, tempat penginapan, cottage modern, namun tetap tradisional dalam pengelolaan limbah.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
II - 42
LAPORAN AKHIR
BAB – III METODOLOGI
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – III METODOLOGI
3.1.
Umum Di dalam bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai konsep dasar dan metodologi dalam mempersiapkan, melaksanakan dan menyelesaikan penugasan pekerjaan ”Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahap II (RPPLH Tahap II) DKI Jakarta”.
3.2.
Konsep Dasar Konsep ekoregion dalam pemetaan ekoregion mengacu pada Undang‐Undang No.32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No.32/2009, ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografi yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam lingkungan hidup. Dengan
pendekatan
konsep bentang lahan, ekoregion
dapat dipetakan
berdasarkan kesamaan ciri morfologi dan morfogenesa bentuklahan yang ada pada sistem lahan. Aspek morfologi mencirikan bentuk permukaan lahan yang dicerminkan oleh ketinggian relief lokal dan kelerengan, sedangkan aspek morfogenesa mencirikan proses asal‐usul (genetik) terbentuknya bentuklahan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, klasifikasi lahan dengan konsep sistem lahan adalah berdasarkan pada prinsip ekologi, yang mengasumsikan adanya hubungan erat yang saling mempengaruhi antara agroklimat, tipe batuan, bentuklahan, tanah, kondisi hidrologi, dan organisme (tanaman, hewan, dan manusia). Dengan diintergasikan dengan peta iklim dan tipe vegetasi, peta ekoregion dengan pendekatan bentanglahan ini dapat mencerminkan sebaran spasial batas ekosistem yang mendekati dengan definisi ekosistem Yang diamanatkan dalam UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 1
LAPORAN AKHIR
3.3.
Metoda Penentuan Batas Ekoregion Ada beberapa metoda untuk menentukan batas ekoregion, antara lain yang dikutip dari Robert G Bailey (2009) disini adalah sebagai berikut: a.
Metoda Gestalt Metoda ini bertolak dari penelisikan secara menyeluruh, tidak per bagian atau per unsur, terhadap seluruh wilayah. Metoda gestalt menarik batas secara intuitif berdasarkan tangkapan visual dari lapangan, potret udara atau citra satelit. Metoda ini tidak mempertimbangkan faktor misalnya lereng, karakter tanah dan batuan, DAS dan iklim secara sendiri-sendiri, tetapi apa yang tertangkap secara visual sekaligus. Metoda ini tentu lebih cepat tetapi memerlukan wawasan dan keahlian yang mencukupi untuk bisa menentukan ekoregion berbasis intuisi.
b.
Metoda Tumpangsusun (overlay) Metoda
ini
menggunakan
berbagai
peta
tematik
yang
kemudian
ditumpangsusunkan dan kemudian dari tumpangsusun tersebut ditentukan batas ekoregion. Pemilihan peta tematik telah didasarkan pada suatu konsep mengenai tema apa yang menentukan ekoregion. Metoda ini bukan memerlukan tematik memang bisa ditumpang tindihkan karena itu skala dan formatnya mesti sama. Selain itu juga dibutuhkan kerangka dan konsep yang mendasari penentuan batas ekoregion dan juga keahlian untuk melakukan tumpang letak tersebut.
c.
Metoda Faktor Kendali Untuk suatu kondisi alam
yang rumit tumpang letak tidak bisa
membuahkan klasifikasi yang jelas. Karena batas ekoregion juga tidak bisa ditentukan dari begitu banyak peta tematik oleh karena itu karena itu muncul pemikiran untuk memilih faktor kendali (controlling factors). Ini yang juga disebut deliniator. Deliniator tersebut antara lain: sebaran flora fauna, karakter tanah (tanah, soil), daerah aliran sungai, fisiografi. Faktor
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 2
LAPORAN AKHIR
kendali tersebut dipilih dan ditentukan berdasarkan tujuan penentuan ekoregion. Dalam kajian ini dilakukan menggunakan kombinasi ketiga metoda tersebut. Metoda gestalt, tumpang letak maupun analisis faktor kendali digunakan silih berganti ataupun bersamaan yang membuahkan klasifikasi kawasan ekologi dan ekodistrik DKI Jakarta.
3.3.1.
Parameter Deliniasi Pemetaan Ekoregion Pasal 7 UU No. 32 tahun 2009 menetapkan bahwa terdapat 8 (delapan) pertimbangan untuk penetapan ekoregion, yaitu: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c. iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h. hasil inventarisasi lingkungan hidup. Berdasarkan analisis dan kesepakatan para ahli terhadap 8 faktor tersebut di atas, telahdisepakati bahwa dalam menetapkan ekoregion ditetapkan parameter sebagai deliniasi dan parameter sebagai atribut. Parameter yang digunakan dalam deliniasi untuk penetapan ekoregion adalah parameter yang sifatnya statis, maka telah ditetapkan parameter deliniasi ekoregion adalah bentang alam yaitu morfologi (bentuk muka bumi) dan morfogenesa (asal usul pembentukan bumi). Parameter lainnya terutama yang sifatnya dinamis digunakan sebagai atribut untuk mendeskripsikan karakter ekoregion tersebut. Penentuan bentang alam sebagai deliniator utama untuk batas ekoregion ini didasarkan pada pertimbangan bahwa karakteristik bentang alam dan iklim akan terkait erat dengan tipe tanah, karakter flora fauna, potensi SDA bahkan terhadap pola kehidupan manusia dalam memanfaatkan suatu wilayah. Namun parameter yang sifatnya statis dapat digunakan sebagai deminiasi sepangjang datanya tersedia. Oleh karena itu ketersediaan kelengkapan data menjadi pertimbangan dalam penentuan parameter yang digunakan dalam delineasi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 3
LAPORAN AKHIR
3.4.
Metode Pendekatan Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, maka yang perlu untuk dipahami bahwa kerangka dasar utama satuan ekoregion adalah kesatuan wilayah secara geografis yang mempunyai kesamaan sifat secara bentang alam (natural landscape) atau dalam istilah geografi disebut sebagai bentanglahan (landscape). Dengan demikian, identifikasi bentanglahan geografis memegang peranan penting dalam semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan pengelolaan, hingga pengendaliannya. Dengan kata lain bahwa satuan ekoregion dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dapat dideskripsikan sebagai satuan ekosistem berbasis bentanglahan (geoekosistem) yang diintegrasikan dengan batas wilayah administrasi (regional), seperti pada Gambar 3.1. Istilah bentanglahan berasal dari kata landscape (Inggris) atau landscap (Belanda) atau landschaft (Jerman), yang secara umum berarti pemandangan. Arti pemandangan mengandung 2 aspek, yaitu: aspek visual dan aspek estetika pada suatu lingkungan tertentu (Zonneveld, 1979). Ada beberapa penulis yang memberikan pengertian tentang bentanglahan berikut ini. (i)
Bentanglahan
merupakan
gabungan
dari
bentuklahan
(landform).
Bentuklahan merupakan kenampakan tunggal, seperti sebuah bukit atau sebuah lembah sungai. Kombinasi dari kenampakan tersebut membentuk suatu bentanglahan, seperti daerah perbukitan yang bervariasi bentuk dan ukurannya dengan aliran air sungai di sela-selanya (Tuttle, 1975). (ii)
Bentanglahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdepen-densi antara bentuklahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi dan manusia dengan segala aktivitasnya
yang
secara
keseluruhan
membentuk
satu
kesatuan
(Surastopo, 1982).
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 4
LAPORAN AKHIR
(iii)
Bentanglahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya, yang mencakup: bentuklahan, tanah, vegetasi, dan atributatribut lain yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
Gambar 3.1. Kerangka Dasar Penyusunan Peta Ekoregion Provinsi
3.4.1.
Kegiatan Identifikasi dan Deskripsi Walaupun kegiatan identifikasi dan deskripsi dilakukan lebih awal daripada sisntesisnya, tetapi kedua kegiatan tersebut bukan merupakan sekuen yang bisa dipisahkan secara tajam. Ketika melaksanakan analisis sudah harus dibayangkan bagaimana sintesisnya.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 5
LAPORAN AKHIR
Dengan
demikian
kegiatan
ini
secara
keseluruhan
merupakan
kegiatan
multidisiplin dan transdisiplin dan bukan hanya kumpulan disiplin. Selanjutnya muatan masing-masing kegiatan analisis dan telaah tersebut diuraikan sebagai berikut: a.
Review Peta Tematik Yang Sudah Ada Kegiatan ini merupakan me-review terhadap peta-peta tematik yaitu: 1.
peta topografi;
2.
peta gunung api;
3.
peta satuan lahan dan tanah;
4.
peta lereng;
5.
peta ketinggian;
6.
peta curah hujan;
7.
peta geologi;
8.
peta daerah aliran sungai.
Peta tersebut telah ditumpang letakkan dengan yang dalam kajian tersebut sebagai kawasan ekologi. Peta tersebut akan diperiksa serta dipelajari kembali dan apabila diperlukan dilakukan penyempurnaan.
b.
Penambahan Peta Tematik, Khususnya Peta Tutupan Lahan dan Kependudukan Peta tematik yang akan ditambahkan adalah peta tutupan lahan dan peta sebaran serta kepadatan penduduk, yang telah disiapkan dalam rangka penyusunan rencana tata ruang. Dari peta tutupan lahan ditafsirkan penggunaan lahan dan dengan memperhatikan sebaran serta kepadatan penduduk akan ditelaah kekuatan yang menekan lingkungan alam DKI Jakarta.
c.
Penyesuaian dengan Pemikiran Tentang Ekoregion Nasional Pada bulan Juni 2011, telah ditanda tangan peta ekoregion nasional berskala 1:1.000.000 yang tampaknya akan digunakan sebagai peta dasar penetapan ekoregion selanjutnya. Pendekatan dan dasar penetepan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 6
LAPORAN AKHIR
ekoregion tingkat nasional tersebut tidak berbeda dengan apa yang akan dikembangkan di DKI Jakarta, tetapi peristilahan yang digunakannya berbeda. Juga oleh karena skala yang digunakannya berbeda bisa jadi deliniasi kawasan ekoregion Nasonal tidak persis sama dengan apa yang telah dibuat untuk DKI Jakarta. d.
Pengumpulan,
Klasifikasi,
Identifikasi
dan
Deskripsi
Data,
Informasi serta Pengetahuan yang Relevan Kajian ini merupakan identifikasi dan deskripsi data spasial, karena itu peta tematik merupakan bahan pokok untuk mengidentifikasi potensi dan masalah. Walaupun demikian peta saja tentu tidak cukupi karena dinamika dan besaran (magnitude) tidak mudah tidak mudah dipetakan. Peta sangat penting untuk menunjuk masalah dan potensi dimana, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan pertanyaan apa dan mengapa. Oleh karena itu data statistik, identifikasi dan deskripsi data numerik atau informasi yang berupa uraian tetap diperlukan.
e.
Identifikasi dan Deskripsi dan Tumpangsusun Peta Tematik, Penetapan/Penamaan Ekoregion Provinsi Tumpangsusun antara unit fisiografi, daerah aliran sungai, dan kehutanan sudah dilakukan pada kajian tahun 2010. Karena kajian yang sekarang ini lebih ditujukan penyempurnaan dan untuk pemberian identitas atas hasil tumpang
letak
tersebut.
Identitas
dengan
karakter,
potensi
dan
masalahnya diuraikan lebih lanjut dalam analisis masing-masing ekoregion.
f.
Identifikasi dan Deskripsi Ekoregion: Lingkungan Fisik, Hayati, Kultural
dan
Jasa
Lingkungan
Masalah
di
Masing-masing
Ekoregion Dalam identifikasi dan deskripsi ini masing-masing wilayah ekoregion diuraikan karakter fisiknya dan jasa lingkungan yang berada didalam
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 7
LAPORAN AKHIR
ekoregion tersebut. Jasa yang dimaksud adalah jasa pengaturan, jasa produksi dan jasa budaya. Jasa pengaturan yang ditelaah disini adalah jasa yang sifatnya alami dan diutamakan pada jasa pengaturan daur hidrologi yaitu tata air permukaan maupun air tanah dalam. Jasa pengaturan daur carbon, daur nitrogen belum
dapat
dilakukan
karena
belum
tersedianya
informasi
dan
pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut. Produksi ekodistrik yang dimaksud adalah produksi oleh sistem alami dan bukan produksi oleh buatan manusia. Karena produksi buatan manusia tidak berkaitan dengan ekoregion seperti yang dimaksud dengan kajian ini. Sumberdaya panas bumi, migas, mineral dan batu bara termasuk dalam sumberdaya alam yang dimaksud sebagai produk ekoregion. Jasa budaya adalah fungsi dan kegunaan ekoregion tersebut dalam perkembangan budaya, seperti rekreasi, pengembangan pengetahuan, pemenuhan kebutuhan spiritual dan sebagainya.
3.4.2.
Kegiatan Sintesis Kegiatan ini merupakan hasil analisis yang membuahkan 3 dokumen berupa: Atlas Ekodistrik di Wilayah DKI Jakarta, Uraian Karakter, Potensi dan Masalah Ekodistrik di Wilayah DKI Jakarta dan Rekomendasi Untuk RPPLH DKI Jakarta. Gambaran tentang isi hasil sintesis tersebut adalah sebagai berikut: a.
Atlas Ekoregion Provinsi DKI Jakarta Dokumen ini merupakan hasil kajian tumpangsusun yang menggambarkan batas ekoregion di DKI Jakarta dan kumpulan peta tematik yang mendukung penentuan batas dan karaterisasi ekoregion.
b.
Uraian/Deskripsi Karakteristik Ekoregion Provinsi DKI Jakarta Dokumen ini merupakan penjelasan atlas dan uraian mengenai karakter, potensi dan masalah di masing-masing ekoregion. Dalam dokumen ini
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 8
LAPORAN AKHIR
masing-masing ekoregion akan dijelaskan dan diuraikan lebih lanjut antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1)
Posisi geografis ekoregion yang ditunjukkan dalam peta.
2)
Wilayah administrasi yang dicakup oleh ekoregion ini.
3)
Perkiraan luas.
4)
Karakter fisik dasar : bentang alam (termasuk elevasi dan lereng), sifat tanah dan batuan.
5)
Karakter iklim dan kecenderungan perubahannya.
6)
Tutupan dan penggunaan lahan saat ini.
7)
Fungsi pengaturan ekoregion ini terhadap tata air.
8)
Komponen utama pengendali air (waduk, embung, kanal,saluran).
9)
Keanekaragaman hayati yang belum maupun sudah dieksploitasi.
10) Sosial budaya. 11) Masalah sehubungan jasa lingkungan yaitu fungsi-fungsi ekoregion ini sebagai pengatur, produsen ekodistrik dan sarana pengembangan budaya. 12) Ancaman terhadap jasa lingkungan oleh perkembangan sosial, permukiman, perkotaan, aktivitas perekonomian (pertanian, industri), infrastruktur dan sebagainya di masa yang akan datang. Dalam menyusun deskripsi dari peta ekoregion yang telah disusun, maka parameter yang sifatnya dinamis telah ditetapkan sebagai atribut yang akan memberikan deksripsi dari Peta Ekoregion. Data atribut yang disajikan mencakup data atau informasi tentang karakteristik ekoregion yang sifatnya untuk memperjelas atau yang tidak dapat ditampilkan pada peta cetak karena alasan faktor kartografis. Ruang lingkup data atribut ekoregion disesuaikan dengan amanat dari UU No. 32/2009 tersebut, maka parameter deliniasi yang sesuai dengan pasal 7 ayat (2),: (a) daerah aliran sungai, (b) iklim, (c) flora dan fauna, (d) sosial budaya, (e) ekonomi, (f) kelembagaan masyarakat, dan (g) hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 9
LAPORAN AKHIR
Cakupan minimal data atribut (data deskripsi) ekoregion tersebut ditabulasikan pada table dengan format dibawah ini serta dapat diuraikan dengan informasi yang lebih detil untuk setiap karakter ekoregionnya.
Tabel 3.3. Format Tabel Deskripsi Ekoregion Berdasarkan Karaketristiknya Krakteristik Ekoregion Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi Geologi Geomorfologi Hidrologi Tanah dan Penggunaan Lahan Hayati (Flora-Fauna) Kultural (Sosial-Budaya) Kerawanan Lingkungan Potensi dan ketersediaan SDA Jenis pemanfaatan SDA Bentuk penguasaan SDA Bentuk kerusakan Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan SDA Jasa ekosistem
Penyediaan Pengaturan Budaya Pendukung
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 10
LAPORAN AKHIR
3.5.
Metode Pemetaan
3.5.1.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam pemetaan ekoregion skala 1 : 25.000 adalah:
3.5.2.
1.
Peta Sistem Lahan (Land System) wilayah DKI Jakarta skala 1:25.000
2.
Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 BAKOSURTANAL.
3.
Peta Iklim dari BMKG tahun 2013
Kompilasi dan Interpretasi Data Kompilasi data menggunakan berbagai data sekunder dalam bentuk digital, seperti peta RBI skala 1: 25.000, peta sistem lahan, peta topografi, peta tipe vegetasi dan iklim (curah hujan tahunan). Peta RBI skala 1: 25.000 digunakan sebagai peta dasar dan untuk menstandarkan peta ekoregion skala 1: 25.000 yang digunakan sebagai baseline untuk pemetaan yang lebih detil. Peta sistem lahan digunakan sebagai data tematik utama untuk mengklasifikan bentuklahan berdasarkan pada morfologi dan morfogenesa, dengan menggunakan data pendukung peta DAS, tanah dan administrasi. Identifikasi sebaran ekosistem dilakukan
dengan
menggunakan
parameter
elevasi,
status
air
pada
masing‐masing ekosistem, iklim yang mengacu pada peta iklim menurut Schmidt‐Ferguson. Dengan menyandingkan parameter elevasi, status air, iklim dengan data geofisik, dibuat kunci relasi antara data status air pada tipe vegetasi dengan data morfogenesa. Berdasarkan kunci relasi tersebut maka sebaran dan klasifikasi tipe‐tipe vegetasi di masing‐masing pulau dapat diidentifikasi. Data hasil kompilasi yang mencerminkan karakter lahan di setiap ekonusa pulau‐pulau besar tersebut diintegrasikan dengan batas Daerah Aliran Sungai (DAS), untuk tujuan pengelolaan jasa ekosistem. Kompilasi data menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). Pada tahap ini dilakukan rekonstruksi atau perbaikan batas sistem lahan melalui editing topologi, pengelompokkan dan generalisasi sistem lahan yang sesuai dengan klasifikasi morfologi dan morfogenesa bentuklahannya yang telah ditetapkan. Hasil pengelompokkan sistem lahan berdasarkan morfologi dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 11
LAPORAN AKHIR
morfogenesa tersebut ditampakkan pada item/field tabel data atribut yang menjadi satu kesatuan dengan topologi data spasial sistem lahan. Untuk pengisian data atribut menggunakan template struktur basisdata yang ada pada perangkat lunak SIG. Data atribut yang disajikan mencakup data atau informasi tentang karakteristik ekonusa yang sifatnya untuk memperjelas atau yang tidak dapat ditampilkan pada peta cetak karena alasan faktor kartografis. Ruang lingkup data atribut ekonusa tersebut disesuaikan dengan substansi UU No. 32/2009. Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa inventarisasi lingkungan hidup dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumberdaya alam, yang meliputi aspek‐aspek: (a) potensi dan ketersediaan; (b) jenis pemanfaatan; (c) bentuk penguasaan; (d) pengetahuan pengelolaan; (e) bentuk kerusakan; dan (d) konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: (a) karakteristik bentang alam, (b) daerah aliran sungai, (c) iklim, (d) flora dan fauna, (e) sosial budaya, (f) ekonomi, (g) kelembagaan masyarakat, dan (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup.
3.5.3.
Penyajian Peta Ekoregion Peta skala 1 : 250.000, dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis versi 10.1. Dalam penyajian peta ekonusa tersebut disajikan unsur unsur rupa bumi seperti perhubungan, perairan, batas administrasi dan toponimi (nama‐nama geografi). Teknik penyajian peta menggunakan pewarnaan standar morfogenesa dari ITC yang dipadukan dengan gradasi warna sesuai dengan morfologinya. Penyajian tersebut menggunakan latar belakang data DTM yang di‐generate dari garis kontur dan titik tinggi pada peta RBI.
3.6.
Rekomendasi Untuk RPPLH Dokumen ini merupakan rekomendasi untuk RPPLH DKI Jakarta. Menurut UU No. 32/2009 penyusunan RPPLH memang harus mengacu pada RPPLH Nasional yang belum diketahui kapan akan tersedia. Selain itu menurut UU No. 32/2009 itu pula RPPLH merupakan rencana induk karena harus memuat rencana tentang:
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 12
LAPORAN AKHIR
a.
pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b.
pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c.
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
d.
adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim;
e.
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
III - 13
LAPORAN AKHIR
BAB – IV SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION JAKARTA
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – IV SURVEY DAN PEMETAAN EKOREGION JAKARTA 4.1.
Konsep dan Definisi Bentanglahan adalah suatu bagian ruangan di permukaan bumi yang terdiri atas suatu sistem yang komplek yang terbentuk oleh pengaruh timbal balik antara batuan, air, tumbuhan, binatang dan manusia serta dari bentuk fisiognominya membentuk suatu kesatuan yang mudah dibedakan. Bentangalam merupakan respon terhadap kombinasi antara proses alam dan antropogenik. Bentangalam terbentuk melalui pengangkatan tektonik dan volkanisme, sedangkan denudasi terjadi melalui erosi dan mass wasting. Hasil dari proses denudasi diketahui sebagai sumber bahan sedimen yang kemudian diangkut dan diendapkan di daratan, pantai maupun lautan. Bentangalam dapat juga mengalami penurunan melalui peristiwa amblesan yang disebabkan oleh proses tektonik atau sebagai hasil perubahan fisik yang terjadi dibawah endapan sedimen. Proses proses tersebut satu dan lainnya terjadi dan dipengaruhi oleh perbedaan iklim, ekologi, dan aktivitas manusia. Berdasarkan pengertian bentanglahan tersebut, maka dapat diketahui bahwa terdapat 3 komponen utama yang terdiri atas 8 unsur penyusun bentanglahan, yaitu: komponen fisik (udara, batuan, tanah, air, bentuklahan), komponen biotik (flora dan fauna), dan komponen kultur (manusia dengan segala aktivitasnya). Kedelapan unsur bentanglahan tersebut merupakan faktor-faktor penentu terbentuknya bentanglahan, yang terdiri atas: faktor geomorfik, litologik, edafik, klimatik, hidrologik, oseanik, biotik, dan faktor antropogenik. Dengan demikian berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, bentanglahan (Ls) dapat dirumuskan sebagai: Ls = (G, L, E, K, H, 0, B, A) Keterangan:
Ls
(bentanglahan)
E
(edafik)
O
(oseanik)
G
(geomorfik)
L
(litologik)
K
(klimatik)
H
(hidrologik)
B
(biotik)
A
(antropogenik)
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 1
LAPORAN AKHIR
Jika diperinci lebih lanjut, seperti yang diungkapkan Tuttle (1975), bahwa bentanglahan merupakan kombinasi atau gabungan dari bentuklahan (landform). Mengacu pada definisi tersebut, maka dapat dimengerti bahwa bentuklahan merupakan unit analisis terkecil yang dipakai untuk inventarisasi dan analisis karakteristik
bentanglahan.
Oleh
karena
itu,
untuk
menganalisis
dan
mengklasifikasikan bentanglahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuklahan (landform).
4.2.
Metode Survey Identifikasi
bentuklahan
di
wilayah
DKI
Jakarta
dilakukan
berdasarkan
metodologi survei dan pemetaan melalui analisa secara deskriptif terhadap hasil interpretasi dan uji lapangan daerah kajian. Metode yang dilakukan pertama kali yaitu interpretasi peta dan citra daerah kajian sehingga diketahui kondisi geomorfologi daerah kajian dan peta tentatif bentuklahan. Metode selanjutnya yaitu pembuatan peta rancangan survei yang berisi titik pengamatan untuk pengecekan lapangan. Kegiatan lapangan dilakukan untuk mengecek hasil interpretasi terhadap kondisi nyata di lapangan melalui identifikasi bentuklahan pada titik sampel pengamatan. Pembuatan peta kerja diawali dengan pembuatan Peta Bentuklahan Sementara Jakarta skala 1 : 50.000 yang merupakan hasil dari interpretasi peta RBI skala 1 : 25.000 dan peta sistem lahan 1 : 250.000. Pengamatan lapangan dilakukan dengan menjelajahi daerah kajian berdasarkan jalur-jalur pengamatan yang telah direncanakan pada peta kerja sehingga batasbatas satuan lahan dapat terkoreksi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 2
LAPORAN AKHIR
Tabel 4.1 Koordinat Survey Bentanglahan Ekoregion Dki Jakarta No 1
Koordinat
Bentanglahan Dataran Banjir
X
Y
106O 51’ 34.30”
6O 15’ 10.13”
Keterangan Meander S. Ciliwung, Tanjungsanyang, Kramatjati -Jaktim
O
106 51’ 50.71”
O
6 13’ 50.14”
Meander S. Ciliwung, Sensus, Pancoran – Jaktim
106O 46’ 15.93”
6O 16’ 23.17”
Meander K.Pesanggarahan, Deplu, PesanggarahanJaksel
O
106 46’ 15.99”
O
6 15’ 48.00”
Meander K.Pesanggarahan, Muhi, PesanggarahanJaksel
2
Dataran Betinggesik dan
O
106 42’ 25.49”
O
6 07’ 31.86”
Lembah antargesik 3
Mangrove
Bulaksimpul, Kalideres - Jakbar
O
106 44’ 35.63”
O
6 06’ 07.77”
Mangrove, Kamalmuara, Penjaringan – Jakbar
106O 43’ 37.65”
6O 05’ 32.73”
Mangrove, Kamalmuara, Penjaringan – Jakbar
4
Dataran Fluviomarin
106O 57’ 17.40”
6O 06’ 19.16”
Marunda, Cilincing – Jakut
5
Dataran Rawa
106O 55’ 44.88”
6O 07’ 52.00”
Semperbarat, Cilincing - Jakut
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 3
LAPORAN AKHIR
4.3.
Pengolahan Data dan Pembuatan Peta Tematik Pengolahan data meliputi analisis, interpretasi dan evaluasi data lapangan secara morfogeneses dari setiap satuan peta bentuk lahan sementara (Peta kerja). Data pengamatan
lapang
yang
sudah
terkumpul
kemudian
dianalisis
dan
diinterprretasi ulang ke peta kerja untuk dilakukakn revisi. Selanjutnya data lapang, data sekunder dan data hasil revisi dikorelasikan dengan peta bentuklahan sementara maka dihasilkan data ekoregion. Berdasarkan data hasil pengkelasan ulang (reklasifikasi) ekoregion maka disusun legenda ekoregion skala 1 : 50.000 sedangkan sebarannya ditunjukkan dalam peta ekoregion 1 : 50.000.
4.4.
Dokumentasi Survey Ekoregion DKI Jakarta
Gambar 4.1. Dataran Banjir Kali Pesanggrahan Daerah Komplek Deplu Jakarta Selatan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 4
LAPORAN AKHIR
Gambar 4.2. Hutan Mangrove di Kawasan Ekowisata Mangrove Jakarta Barat
Gambar 4.3. Mangrove di Marunda Jakarta Utara
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 5
LAPORAN AKHIR
Gambar 4.4. Estuarine di Marunda Jakarta Utara
Gambar 4.5. Alih Fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing, Jakarta Utara
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
IV - 6
LAPORAN AKHIR
BAB - V WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA
PenyusunanRencanaPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup (RPPLH) Tahap II DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR
BAB – V WILAYAH EKOREGION DKI JAKARTA
5.1.
Deliniator Ekoregion DKI Jakarta Menurut para ahli dan juga apa yang telah diparaktekkan di Amerika, Australia, Cina serta berbagai lembaga internasional seperti IUCN, WWF dan juga UNESCO, deliniator
pada
tingkat
global
adalah
iklim.
Walaupun
iklim
tersebut
diidentikasikan dari flora dan fauna. Berdasarkan iklim inilah diklasifikasikan kontinen ekoregion yang disebut dengan istilah: polar domain, temperate
domain, dry domain, humaid tropical domain.1 Sampai sistem makro, seperti misalnya yang meliput seluruh wilayah Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) klasifikasikan masih didasarkan pada iklim. Tingkat makro ini dipresentasikan dengan peta paling detail berskala 1:3.000.000 dengan satuan wilayah sekurang-kurangnya 100.000 km2 atau sebesar pulau Jawa. Pada sistem meso yang dipresentasikan dengan peta paling detail berskala 1: 250.000 deliniatornya adalah bentuk permukaan tanah yang juga disebut dengan
landscape mozaik. Di Amerika Serikat ini dikategorikan sebagai level (paras) 4 yang meliputi negara bagian. Satuan wilayahnya sekitar 1000 km2. Lebih detail dari sistem meso yang dipresentasikan dengan berskala 1:100.00 atau lebih detail disebut dengan ekosistem, Luas satuannya sekitar 10 km2. Pemetaan ekoregion
meliputi
deliniasi
batas ekoregion, mendeskripsikan
karakteristik ekoregion dan penyajian data peta. Deliniasi batas ekoregion didasarkan pada generalisasi sistem lahan atau kumpulan sistem lahan dengan mempertimbangkan morfologi dan morfogenesa. Untuk mengetahui sebaran ekoregion, batas morfologi dan morfogenesa yang difungsikan sebagai satuan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-1
LAPORAN AKHIR
pemetaan diintegrasikan dengan peta iklim (isohiyet dan curah hujan tahunan) dan tipe vegetasi.
1
Robert G Bailey (2009), Ecosystem Geography: From ecoregions to sites, Springer
Penentuan deliniasi ekoregion DKI Jakarta berdasarkan peta kemiringan lereng dan peta sistem lahan skala 1 : 25.000. Analisa kemiringan lereng pada pemetaan ekoregion DKI Jakarta menggunakan data kontur yang berasal dari Peta RBI DKI Jakarta skala 1 : 25.000. Peta kemiringan lereng dan peta sistem lahan kemudian di tumpangsusunkan yang akhirnya akan didapatkan deliniasi ekoregion DKI Jakarta. 5.2.
Bentuk Permukaan Tanah Sebagai Deliniator Ekoregion DKI Jakarta Apabila digunakan sistem makro, jelas bahwa seluruh wilayah DKI Jakarta dapat disebut ekoregion tropika basah, tanpa ada pembagian lain. Karena itu identifikasi dan penetapan ekoregion DKI Jakarta sekurang-kurangnya harus ditinjau dari sistem meso. Dengan demikian deliniatornya adalah bentuk permukaan tanah. Bentuk permukaan tanah ini mencirikan, dicirikan dan menentukan flora, fauna, budidaya bahkan juga iklim lokal. Bentuk permukaan tanah DKI Jakarta, yang juga disebut sebagai bentang alam, fisiografi adalah produk proses tektonik pertemuan
lempeng
Samudera
Hindia
Australia
yang
menunjam
yang
bertumbukan dan menunjam dibawah lempeng Eurasia. Tumbukan yang juga disebut proses geologi makro inilah yang membuahkan perbukitan patahan, perbukitan lipatan, gunung api dengan rangkaiannya. Selanjutnya terjadi proses meso dan mikro seperti penggenangan, pengeringan pengendapan, erosi, yang membentuk dataran yang cukup luas juga. Bentuk permukan tanah terutama keberadaan gunung api inilah yang secara alami mengatur aliran air permukaan dan tata air tanah. Jenis dan karakter flora faunapun ditentukan oleh bentuk permukaan tanah tersebut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-2
LAPORAN AKHIR
Oleh karena itu dipertimbangkan untuk mendeliniasi ekoregion DKI Jakarta berdasarkan bentuk permukaan atau bentang alamnya yang secara garis besar terdiri dari kawasan yang juga disebut sebagai unit fisiografi sebagai berikut : 1. Unit fisiografi 1:pedataran pantai utara, 2. Unit fisiografi 2: perbukitan lipatan dan patahan utara. Iklim, flora, fauna, sosial budaya yang terejawantahkan dalam satuan permukiman adat, dapat menjadi deliniator ekoregion tetapi tidak pada sistem meso. Selain itu tidak bisa memberikan batas yang jelas juga dinamikanya tinggi untuk bisa memberi batas yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang. 5.3.
Ekoregion DKI Jakarta Dalam Konteks Pengelolaan Air Permukaan Seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya, penetapan ekoregion adalah dalam rangka penyusunan RPPLH. Maksud disusunnya RPPLH adalah untuk digunakan sebagai acuan pengendalian sumberdaya alam, perlindungan dan pengelolaan lingkungan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk DKI Jakarta dipertimbangkan agar pengendalian sumber daya alam muatan RPPLH lainnya terfokus pada pengelolaan air permukaan. Karena sumberdaya alam yang menentukan kehidupan seluruh masyarakat DKI Jakarta dan yang menghadapi masalah adalah air permukaan. Pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan maupun adaptasi terhadap perubahan iklim berkaitan dengan air permukaan. Air juga sangat dipengaruhi oleh
penggunaan
lahan.
Dengan mempertimbangkan air
sebagai
fokus
perlindungan dan pengelolaan lingkungan, daerah aliran sungai dipilih sebagai deliniator ekoregion. Secara garis besar aliran sungai di DKI Jakarta mengalir ke pantai utara. Daerah aliran sungai tersebut meliputi kawasan fisografi yang memberikan ciri ketersediaan air, sifat aliran, sedimen yang diangkut dan juga pemanfaatannya. Nama sungai terus dibawa karena tujuannya adalah untuk menyusun RPPLH terfokus pada air permukaan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-3
LAPORAN AKHIR
5.4.
Uraian Ekoregion DKI Jakarta
5.4.1.
Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta Kelas ekoregion ini meliputi wilayah pesisir bagian utara DKI Jakarta, dengan luas mencapai 62,84 Km2. Kondisi klimatologi relatif beriklim sedang dengan curah hujan sebesar 1750 – 2000 mm/tahun. Marin Jakarta merupakan wilayah dengan agak kering hingga sangat kering.
Tabel 5.1 Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur, Typic Endoaquepts,
1
Curah Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan
2.402,76
Hutan Kota, Penjaringan - Pademangan – Koja Dataran Pasang Surut Berlumpur, Typic Endoaquepts, 2
Curah Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan
40.64
Pertanian, Penjaringan - Pademangan – Koja Dataran Pasang Surut Berlumpur, Typic Endoaquepts, 3
Curah
Hujan
1.750
-
2.000
mm/tahun,
Kawasan
2.100,07
Terbangun, Penjaringan - Pademangan – Koja Dataran Pasang Surut Berlumpur, Typic Endoaquepts, 4
Curah Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan
1741,25
Lainnya, Penjaringan - Pademangan - Koja
Secara umum di Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta tersusun atas material aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun atas endapan pematang pantai, seperti di pantai timur Jakarta Utara. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-2%, pada beberapa lokasi agak miring (2-8%). Pada Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta, terbentuk oleh proses pengendapan marin (gelombang) yang berkerja sama dengan aliran sungai (fluvial) yang bermuara ke laut, sehingga dapat disebut sebagai pesisir yang terbentuk akibat pengendapan material daratan oleh sungai (sub aerial
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-4
LAPORAN AKHIR
deposition coast). Ciri dari proses ini adalah pola saluran sungai yang berkelokkelok (meandering) dan dibagian muara sungai dapat membentuk cabangcabang lagi, yang disebut berpola creak. Di Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air tanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata diseluruh satuan Dataran yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Berdasarkan litologi-nya Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta memiliki karakteristik endapan aluvial laut; endapan aluvial estuarin baru; lunak. Karena letaknya yang berada di pinggiran pantai dengan topografi datar sistem lahan Kajapah memiliki air permukaan air asin. Kesuburan kimia tanah rendah – sedang, kesuburan fisik tanah baik, kesuburan biologi dan kesuburan klimatik tanah baik. Vegetasi yang umum tumbuh adalah vegetasi mangrove. Tanah dan penggunaan lahan di Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta, dengan material penyusun berupa bahan aluvium lempungan, pada umumnya membentuk tanahtanah berbahan induk endapan liat dan endapan liat dan pasir. Pemanfaatan lahan secara
umum
berupa
pertanian,
perikanan
tambak,
hutan
mangrove,
permukiman (kota), dan industri. Sementara pada daerah yang tersusun atas endapan pematang pantai, umumnya tanah-tanah yang berupa dataran pasang surut lumpur dengan tekstur pasiran halus-kasar dan kurang subur, sehingga umumnya dimanfaatkan sebagai daerah pertambakan. Pada Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta tanah kurang berkembang dengan potensi topografi dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata alam. Secara umum keanekaragaman hayati di kawasan ini berupa Ekosistem Hutan Mangrove, ikan, ular, kera ekor panjang, dan burung, sementara di pansela keanekaragaman hayati umumnya berupa ekosistem Lahan Kering Pesisir, Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-5
LAPORAN AKHIR
pertanian lahan kering, pandanus, rumput-rumputan, kaktus, cemara udang, dan ketapang laut. Kawasan ekoregion ini terdiri dari kawasan mangrove, nipah dan jenis bakau lainnya. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Gambar 5.2. Dataran Pasang Surut berlumpur yang ditumbuhi oleh Mangrove di wilayah Marunda Cilincing – Jakarta Utara
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi. Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-6
LAPORAN AKHIR
pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering. Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup apiapi hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia
caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Kondisi sosial budaya masyarakat yaitu: sebagian besar masyarakat industri, pedagang, dan nelayan, dengan pertumbuhan penduduk tinggi, dan kebanyakan usia produktif. Ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta memiliki kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri. Daerah hilir (low land) berupa dataran dengan material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-7
LAPORAN AKHIR
Material lempung mempunyai gaya kohesi dan kemampun menjebak mineralmineral elektrolit yang tinggi, sehingga menyebabkan air tanah berasa payau hingga asin, dengan salinitas yang tinggi pula, yang disebut sebagai air fosil
(connate water) dan bukan intrusi air laut. Material lempung juga bersifat plastis dengan daya dukung rendah, sehingga apabila terlalu besar mendapatkan beban di atasnya, dapat menyebabkan amblesan (subsidence), yang dapat memicu kejadian banjir pasang (banjir rob). Sifat material lempung yang lain adalah daya kembang-kerut (shear strenght) yang tinggi, yang menyebabkan lembek saat penghujan, sehingga mudah mengalami rayapan (soil creep); sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak dan retak-retak, sehingga bangunan rumah, jalan, jembatan, dan sejenisnya cepat rusak dan hancur. Material lempung juga bersifat akuitard (semi-permeable) atau akuiklud
(impermeable),
yang
keduanya
bersifat
tidak
mudah
melewatkan
air
(permeabilitas rendah), drainase permukaan buruk, dan mudah menjebak pencemar, sehingga menyebabkan lingkungan kumuh dan kotor, yang pada akhirnya menimbulkan wabah penyakit, seperti: malaria, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit, dan ISPA saat kemarau. Secara spesifik pada daerah rataan lumpur dan delta, sering terjadi alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak atau bentuk budidaya lainnya, konflik kepemilikan lahan pada tanah-tanah timbul atau bentukan-bentukan lahan baru. Wilayah ekoregion ini dulunya merupakan kawasan hutan bakau, sekarang merupakan daerah yang berkembang pesat sebagai kawasan permukiman dan industri. Material pasir marin yang bersifat lepas, mempunyai pori-pori yang besar-besar, sangat memungkinkan untuk diterobos air laut apabila penurapan air tanah di wilayah pesisir dan marinnya melebihi kemampuan daya simpan akuifernya, sehingga dapat menyebabkan intrusi air laut.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-8
LAPORAN AKHIR
Ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem penyediaan : pengembangan lahan tambak bandeng, udang, dan garam. Dalam hal pengaturan ekoregion Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta memiliki jasa ekosistem: penyerapan karbon, pemelihara siklus air, dan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan mangrove. Sedangkan jasa ekosistem berupa budaya adalah : pengembangan pendidikan dan estetika lingkungan, pengembangan wisata. Jasa ekosistem pendukung pada ekoregion ini berupa perlindungan plasma nutfah dan habitat mangrove.
NO
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi
Geologi
Geomorfologi
Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta Hidrologi
Tanah dan Penggunaan Lahan
Meliputi wilayah pesisir utara DKI Jakarta dengan luasan 62,84 Km2 Beriklim sedang, suhu udara rata-rata 2628OC. Curah hujan tahunan 1750 – 2000 mm/tahun Secara umum di Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta tersusun atas material aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun atas endapan pematang pantai dan tuf banten. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%, pada beberapa lokasi agak miring (3-8%). Pada Kajapah DKI Jakarta, terbentuk oleh proses pengendapan marin (gelombang) yang berkerja sama dengan aliran sungai (fluvial) yang bermuara ke laut. Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air tanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di seluruh satuan Dataran yang berlumpur (endapan aluvium). Dataran Pasang Surut Berlumpur Jakarta, umumnya berupa tanah-tanah berbahan induk endapan liat dan endapan liat dan pasir. Pemanfaatan lahan secara umum berupa pertanian, perikanan tambak, hutan mangrove, permukiman (kota), dan industri. Sementara pada daerah yang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V-9
LAPORAN AKHIR
NO
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta Paramater
Hayati Fauna)
(Flora-
Kultural Budaya)
(Sosial-
Kerawanan Lingkungan
Jasa ekosistem
5.4.2.
tersusun atas endapan pematang pantai, umumnya tanah-tanah yang berupa datan pasang surut lumpur dengan tekstur pasiran halus-kasar dan kurang subur, sehingga umumnya dimanfaatkan sebagai daerah pertambakan. Ekosistem Hutan Mangrove pertanian lahan kering, pandanus, rumput-rumputan, kaktus, Vegetasi Air Masin, Vegetasi Air Masin Pamah, Vegetasi Monsun Air Pamah Sebagian besar masyarakat industri, pedagang, dan nelayan, dengan pertumbuhan penduduk tinggi, dan kebanyakan usia produktif. Lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri, sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak dan retak-retak, drainase permukaan buruk, dan mudah menjebak pencemar, sehingga menyebabkan lingkungan kumuh dan kotor, yang pada akhirnya menimbulkan wabah penyakit, seperti: malaria, penyakit saluran pencernakan, penyakit kulit, dan ISPA saat kemarau. Penyediaan Pengembangan lahan tambak bandeng, udang, dan garam Pengaturan Penyerapan karbon, pemelihara siklus air, dan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan mangrove Budaya Pengembangan pendidikan dan estetika lingkungan Pendukung Perlindungan plasma nutfah dan habitat mangrove
Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta Kelas ekoregion ini meliputi wilayah pesisir bagian utara Jakarta Barat, dan timur laut Jakarta Utara dengan luas mencapai 50,88 Km2. Kondisi Klimatologi relatif beriklim sedang dengan curah hujan sebesar 1750 – 2000 mm/tahun. Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta merupakan wilayah dengan iklim sedang hingga kering.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 10
LAPORAN AKHIR
Tabel 5.2 Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta No
Kode
Wilayah Ekoregion
Luas (Ha)
Dataran Beting Gisik, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 1
- 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan Kota,
303.46
Kalideres - Tamansari - Cilincing Dataran Beting Gisik, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 2
- 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Pertanian, Kalideres
167.93
- Tamansari - Cilincing Dataran Beting Gisik, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 3
- 2.000 mm/tahun, Kawasan Terbangun, Kalideres -
1.489,76
Tamansari - Cilincing Dataran Beting Gisik, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 4
- 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Lainnya, Kalideres -
80,14
Tamansari - Cilincing Dataran Lembah Antar Gisik, Typic Epiaquepts, Curah 5
Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan
1.175,86
Kota, Kalideres - Tamansari - Cilincing Dataran Lembah Antar Gisik, Typic Epiaquepts, Curah 6
Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan
772,33
Pertanian, Kalideres - Tamansari - Cilincing Dataran Lembah Antar Gisik, Typic Epiaquepts, Curah 7
Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Kawasan Terbangun,
968,86
Kalideres - Tamansari - Cilincing Dataran Lembah Antar Gisik, Typic Epiaquepts, Curah 8
Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan
130,39
Lainnya, Kalideres - Tamansari - Cilincing
Kawasan ekoregion Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta tersusun atas material aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun atas endapan liat dan pasir. Topografi berupa punggung/ beting gisik (beach
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 11
LAPORAN AKHIR
ridge) dan cekungan/ lembah Gisik (swale) pesisir subresen, dengan morfologi relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%, pada beberapa lokasi agak miring (3-8%). Pada Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta, terbentuk oleh proses pengendapan marin (gelombang) yang berkerja sama dengan aliran sungai (fluvial) yang bermuara ke laut, sehingga dapat disebut sebagai pesisir yang terbentuk akibat pengendapan material daratan oleh sungai (sub aerial
deposition coast). Ciri dari proses ini adalah pola saluran sungai yang berkelokkelok (meandering) dan dibagian muara sungai dapat membentuk cabangcabang lagi, yang disebut berpola creak. Di Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air tanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata diseluruh satuan Dataran yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Tanah dan penggunaan lahan di Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta, dengan material penyusun berupa bahan aluvium lempungan, pada umumnya membentuk tanah-tanah berbahan induk endapan liat dan endapan liat dan pasir. Pemanfaatan lahan secara umum berupa pertanian, perikanan tambak,
hutan mangrove, permukiman (kota), dan industri. Sementara pada daerah yang tersusun atas endapan pematang pantai, umumnya tanah-tanah yang berupa datan pasang surut lumpur dengan tekstur pasiran halus-kasar dan kurang subur, sehingga umumnya dimanfaatkan sebagai daerah pertambakan. Pada Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta tanah kurang berkembang dengan potensi topografi dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata alam. Secara umum keanekaragaman hayati di kawasan ini berupa ikan,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 12
LAPORAN AKHIR
ular, kera ekor panjang, dan burung, sementara di pansela keanekaragaman hayati umumnya berupa ekosistem Lahan Kering Pesisir, pertanian lahan kering, pandanus, rumput-rumputan, kaktus, cemara udang, dan ketapang laut Kondisi sosial budaya masyarakat yaitu: sebagian besar masyarakat industri, pedagang, dan nelayan, dengan pertumbuhan penduduk tinggi, dan kebanyakan usia produktif. Ekoregion Dataran Beting Gisik dan lembah Antar Gisik Jakarta memiliki kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri.
Daerah hilir (low land) berupa
dataran dengan material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan. Material lempung mempunyai gaya kohesi dan kemampaun menjebak mineralmineral elektrolit yang tinggi, sehingga menyebabkan air tanah berasa payau hingga asin, dengan salinitas yang tinggi pula, yang disebut sebagai air fosil
(connate water) dan bukan intrusi air laut. Material lempung juga bersifat plastis dengan daya dukung rendah, sehingga apabila terlalu besar mendapatkan beban di atasnya, dapat menyebabkan amblesan (subsidence), yang dapat memicu kejadian banjir pasang (banjir rob). Sifat material lempung yang lain adalah daya kembang-kerut (shear strenght) yang tinggi, yang menyebabkan lembek saat penghujan, sehingga mudah mengalami rayapan (soil creep); sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak dan retak-retak, sehingga bangunan rumah, jalan, jembatan, dan sejenisnya cepat rusak dan hancur. Material lempung juga bersifat akuitard (semi-permeable) atau akuiklud
(impermeable),
yang
keduanya
bersifat
tidak
mudah
melewatkan
air
(permeabilitas rendah), drainase permukaan buruk, dan mudah menjebak pencemar, sehingga menyebabkan lingkungan kumuh dan kotor, yang pada akhirnya menimbulkan wabah penyakit, seperti: malaria, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit, dan ISPA saat kemarau.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 13
LAPORAN AKHIR
Secara spesifik pada daerah rataan lumpur dan delta, sering terjadi alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak atau bentuk budidaya lainnya, konflik kepemilikan lahan pada tanah-tanah timbul atau bentukan-bentukan lahan baru. Material pasir marin yang bersifat lepas, mempunyai pori-pori yang besar-besar, sangat memungkinkan untuk diterobos air laut apabila penurapan air tanah di wilayah pesisir dan marinnya melebihi kemampuan daya simpan akuifernya, sehingga dapat menyebabkan intrusi air laut. Ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem penyediaan : pengembangan lahan tambak bandeng, udang, dan garam. Dalam hal pengaturan ekoregion dataran ujungpetang memiliki jasa ekosistem: penyerapan karbon, pemelihara siklus air, dan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan mangrove. Sedangkan jasa ekosistem berupa budaya adalah : pengembangan pendidikan dan estetika lingkungan, pengembangan wisata.
NO
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta Paramater Lokasi dan Luas Area
meliputi wilayah pesisir bagian utara Jakarta Barat, dan timur laut Jakarta Utara dengan luas mencapai 50,88 Km2.
Klimatologi
Beriklim sedang, suhu udara rata-rata 2628OC. Curah hujan tahunan 1750 – 2000
mm/tahun Geologi
Geomorfologi
Dataran Beting Gisik dan Lembah Antar Gisik Jakarta Hidrologi
Secara umum tersusun atas material aluvium lempungan, dengan beberapa lokasi tersusun atas endapan pematang pantai dan tuf banten. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%, pada beberapa lokasi agak miring (3-8%). Terbentuk oleh proses pengendapan marin (gelombang) yang berkerja sama dengan aliran sungai (fluvial) yang bermuara ke laut. Kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi air
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 14
LAPORAN AKHIR
NO
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta Paramater
Tanah dan Penggunaan Lahan
tanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di seluruh satuan dataran yang berlumpur (endapan aluvium). Umumnya berupa tanah-tanah berbahan induk endapan liat dan endapan liat dan pasir. Pemanfaatan lahan secara umum berupa pertanian, perikanan tambak, hutan mangrove, permukiman (kota), dan industri. Sementara pada daerah yang
tersusun atas endapan pematang pantai, umumnya tanah-tanah yang berupa datan pasang surut lumpur dengan tekstur pasiran halus-kasar dan kurang subur, sehingga umumnya dimanfaatkan sebagai daerah pertambakan. Hayati Fauna)
(Flora-
Kultural Budaya)
(Sosial-
Kerawanan Lingkungan
Jasa ekosistem
Pertanian lahan kering, pandanus, rumputrumputan, kaktus, Vegetasi Air Masin, Vegetasi Air Masin Pamah, Vegetasi Monsun Air Pamah Sebagian besar masyarakat industri, pedagang, dan nelayan, dengan pertumbuhan penduduk tinggi, dan kebanyakan usia produktif. Lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri, sedangkan saat kemarau menjadi kering mutlak dan retak-retak, drainase permukaan buruk, dan mudah menjebak pencemar, sehingga menyebabkan lingkungan kumuh dan kotor, yang pada akhirnya menimbulkan wabah penyakit, seperti: malaria, penyakit saluran pencernakan, penyakit kulit, dan ISPA saat kemarau. Penyediaan Pengembangan lahan tambak bandeng, udang, dan garam Pengaturan Penyerapan karbon, pemelihara siklus air, dan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan mangrove Budaya Pengembangan pendidikan dan estetika lingkungan Pendukung Perlindungan plasma nutfah dan habitat mangrove
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 15
LAPORAN AKHIR
5.4.3.
Dataran Fluviomarin Jakarta Tersebar hampir di seluruh bagian utara DKI Jakarta dengan luas mencapai 189,48 Km2. Kondisi iklim ekoregion ini relatif agak basah dengan variasi curah hujan 1.750 – 2.000 mm/tahun. Umumnya diseluruh bagian utara Jakarta mempunyai curah hujan sedang hingga agak basah. Tabel 5.3. Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Fluviomarin Jakarta
No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Fluviomarin, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan Kota,
1
4.246,81
Cengkareng - Sawahbesar - Kelapagading Dataran Fluviomarin, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 -
2
2.000
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Pertanian,
1.924,16
Cengkareng - Sawahbesar - Kelapagading Dataran Fluviomarin, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 - 2.000 mm/tahun, Kawasan Terbangun, Cengkareng -
3
11.505,01
Sawahbesar - Kelapagading Dataran Fluviomarin, Typic Epiaquepts, Curah Hujan 1.750 -
4
2.000
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Lainnya,
1.272,08
Cengkareng - Sawahbesar - Kelapagading
Secara genetik, material penyusun umumnya berupa aluvium lempungan, dengan komposisi lempung, laman, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang seimbang, yang terbentuk akibat aktivitas pengendapan aliran sungai. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng
secara
umum
0‐3%,
pada
beberapa
lokasi
berombak
hingga
bergelombang (3‐8%). Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan fluvial (aliran sungai). Kondisi hidrologi satuan ini dibangun oleh material aluvium yang mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 16
LAPORAN AKHIR
menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial, sehingga membentuk resevoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Material aluvium merupakan material yang mudah untuk mengalami pengikisan oleh aliran sungai, sehingga pada umumnya satuan ini dicirikan oleh pola aliran seperti cabang pohon (dendritik). Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar, karena mendapat input dari air hujan dan aliran air tanah yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai
(effluent). Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah
Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan‐lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), dengan fauna sawah (katak, ikan air tawar, dan burung). Kondisi sosial budaya/kultural dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi. Perkembangan wilayah yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, menyebabkan kebutuhan lahan permukiman semakin tinggi, yang berakibat terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Aktivitas perkotaan dan kehidupan manusia semakin menghasilkan bahan‐bahan pencemar yang menyebabkan pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 17
LAPORAN AKHIR
Ancaman
bencana
alam
dapat
berupa
potensi
luapan
aliran
sungai
(penggenangan). Satuan ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem sebagai penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya; pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah; budaya : pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya; dan pendukung berupa : perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi
Geologi
Geomorfologi
Hidrologi
Dataran Fluviomarin Jakarta
Tanah dan Penggunaan Lahan
Tersebar di wilayah utara jakarta dengan luas mencapai 189,48 Km2 Bertipe iklim agak basah hingga sedang, hutan rimba dan hutan musiman, Suhu udara rata-rata 22-32OC. Curah hujan tahunan 1.750 – 2.000 mm / tahun. Material penyusun umumnya berupa aluvium, dengan komposisi lempung, laman, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang seimbang. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secaraumum 0‐3%, pada beberapa lokasi berombak hingga bergelombang (3‐8%). Material Aluvium mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial. Material aluvium merupakan material yang mudah untuk mengalami pengikisan oleh aliran sungai, sehingga pada umumnya satuan ini dicirikan oleh pola aliran seperti cabang pohon (dendritik). Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar, karena mendapat input dari air hujan dan aliran air tanah yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai (effluent). Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan-lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 18
LAPORAN AKHIR
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater
Hayati (Flora-Fauna)
Kultural Budaya)
(Sosial-
Kerawanan Lingkungan
Jasa ekosistem
lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), Vegetasi Monsun Rawa Air Tawar, Vegetasi Rawa Air Tawar Pamah. Dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya. Ancaman bencana alam dapat berupa potensi luapan aliran sungai (penggenangan). Penyediaan
Pengaturan
Budaya
Pendukung
5.4.4.
Penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya. Pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah. Pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
Dataran Banjir Jakarta Tersebar hampir di seluruh wilayah sungai di DKI Jakarta dengan luas mencapai 38,41 Km2. Kondisi iklim ekoregion ini relatif agak basah dengan variasi curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun. Umumnya dibagian selatan Jakarta mempunyai curah hujan agak basah hingga basah.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 19
LAPORAN AKHIR
Tabel 5.4. Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Banjir Jakarta No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Banjir, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 2.000 -
1
2.500
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Hutan
Kota,
856,22
Pesanggrahan - Pancoran - Makasar Dataran Banjir, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 2.000 2
2.500
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Pertanian,
757,91
Pesanggrahan - Pancoran - Makasar Dataran Banjir, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 2.000 3
2.500 mm/tahun, Kawasan Terbangun, Pesanggrahan -
2.026,82
Pancoran - Makasar Dataran Banjir, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 2.000 4
2.500
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Lainnya,
200,64
Pesanggrahan - Pancoran - Makasar
Secara genetik, material penyusun umumnya berupa kipas aluvium, dengan komposisi tuf halus berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan yang terbentuk akibat aktivitas pengendapan aliran sungai.
Gambar 5.3. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 20
LAPORAN AKHIR
Gambar 5.4. Permukiman pada meander K. Pesanggrahan yang merupakan dataran banjir
Tuf halus, kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah dari satuan ini; tebal yang tersingkap +/- 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan perairan sejajar. Tuf konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka, pemilahan buruk, membundar tangung-membundar sempurna, berbutir 1-3 cm, tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal 1,5 m. Tuf pasiran, kelabu muda, pemilahan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggungmembundar, bersusun andesitan, berselang-seling dengan tuf konglomeratan. Tuf batupaung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkreksi besi (2-3 cm) dan fragmen batuapung, membundar tanggung sampai membundar, garis tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa yang bundar, menindih langsung tuf konglomeratan. Tebal +/- 3 m. Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan pola aliran “dischotomic”. Pengendapannya diduga pada lingkungan darat, bahkan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran Tinggi Bogor. Umur satuan ini diduga plistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini diduga +/- 300 m. Satuan ini terlampar sangat luas, dari selatan ke utara; di selatan,
membentuk
Aluvium;
sedangkan
di
utara
merupakan
Satuan
Konglomerat dan batuapasir tufan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 21
LAPORAN AKHIR
Topografi berupa dataran bergelombang hingga landai, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secara umum 0‐3%, pada beberapa lokasi berombak hingga bergelombang (3‐8%). Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan fluvial (aliran sungai). Kondisi hidrologi satuan ini dibangun oleh material aluvium yang mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial, sehingga membentuk resevoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Material aluvium merupakan material yang mudah untuk mengalami pengikisan oleh aliran sungai, sehingga pada umumnya satuan ini dicirikan oleh pola aliran seperti cabang pohon (dendritik). Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar, karena mendapat input dari air hujan dan aliran air tanah yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai
(effluent). Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan‐lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), dengan fauna sawah (katak, ikan air tawar, dan burung).
Kondisi sosial budaya/kultural dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi. Perkembangan wilayah yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 22
LAPORAN AKHIR
tinggi, menyebabkan kebutuhan lahan permukiman semakin tinggi, yang berakibat terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Aktivitas perkotaan dan kehidupan manusia semakin menghasilkan bahan‐bahan pencemar yang menyebabkan pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya. Ancaman
bencana
alam
dapat
berupa
potensi
luapan
aliran
sungai
(penggenangan). Satuan ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem sebagai penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya; pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah; budaya : pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya; dan pendukung berupa : perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi
Geologi
Dataran Banjir Jakarta
Tersebar di wilayah utara jakarta dengan luas mencapai 38,41 Km2 Bertipe iklim agak basah hingga sedang, hutan rimba dan hutan musiman, Suhu udara rata-rata 22-32OC. Curah hujan tahunan 2.000 – 2.500 mm / tahun. Material penyusun umumnya berupa kipas aluvium, dengan komposisi tuf halus
berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan yang terbentuk akibat aktivitas pengendapan aliran sungai. Geomorfologi
Hidrologi
Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief bergelombang hingga sangat landai, dan kemiringan lereng secara umum 0‐3%, pada beberapa lokasi berombak hingga bergelombang (3‐8%). Material Aluvium mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial. Material aluvium merupakan material yang mudah untuk mengalami pengikisan oleh aliran sungai,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 23
LAPORAN AKHIR
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater
Tanah dan Penggunaan Lahan
Hayati (Flora-Fauna)
Kultural Budaya)
(Sosial-
Kerawanan Lingkungan
Jasa ekosistem
sehingga pada umumnya satuan ini dicirikan oleh pola aliran seperti cabang pohon (dendritik). Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar, karena mendapat input dari air hujan dan aliran air tanah yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai (effluent). Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan-lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), Vegetasi Monsun Rawa Air Tawar, Vegetasi Rawa Air Tawar Pamah. Dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya. Ancaman bencana alam dapat berupa potensi luapan aliran sungai (penggenangan). Penyediaan
Pengaturan
Penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya. Pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 24
LAPORAN AKHIR
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater Budaya
Pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
Pendukung
5.4.5.
Dataran Rawa Jakarta Tersebar hampir di seluruh bagian utara DKI Jakarta terutama di Timur Laut DKI Jakarta dengan luas mencapai 16,76 Km2. Kondisi iklim ekoregion ini relatif sedang hingga agak kering dengan variasi curah hujan 1.750 – 2.000 mm/tahun. Tabel 5.5. Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Rawa Jakarta
No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Rawa, Typic Endoaquepts, Curah Hujan 1.750 -
1
2.000
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Hutan
Kota,
388,90
Cengkareng - Tanjungpriok - Cilincing Dataran Rawa, Typic Endoaquepts, Curah Hujan 1.750 2
2.000
mm/tahun,
Penggunaan
Lahan
Pertanian,
981,63
Cengkareng - Tanjungpriok - Cilincing Dataran Rawa, Typic Endoaquepts, Curah Hujan 1.750 3
2.000 mm/tahun, Kawasan Terbangun, Cengkareng -
92,18
Tanjungpriok - Cilincing Dataran Rawa, Typic Endoaquepts, Curah Hujan 1.750 4
2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Lainnya, Cengkareng
213,28
- Tanjungpriok - Cilincing
Secara genetik, material penyusun umumnya berupa aluvium lempungan, dengan komposisi lempung, laman, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang seimbang, yang terbentuk akibat aktivitas pengendapan aliran sungai.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 25
LAPORAN AKHIR
Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng
secara
umum
0‐3%,
pada
beberapa
lokasi
berombak
hingga
bergelombang (3‐8%).
Gambar 5.5. Alih fungsi Lahan Dataran Rawa di Cilincing – Jakarta Utara Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan fluvial (aliran sungai). Kondisi hidrologi satuan ini dibangun oleh material aluvium yang mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial, sehingga membentuk resevoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan‐lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), dengan fauna sawah (katak, ikan air tawar, dan burung).
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 26
LAPORAN AKHIR
Kondisi sosial budaya/kultural dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi. Perkembangan wilayah yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, menyebabkan kebutuhan lahan permukiman semakin tinggi, yang berakibat terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Aktivitas perkotaan dan kehidupan manusia semakin menghasilkan bahan‐bahan pencemar yang menyebabkan pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya. Ancaman
bencana
alam
dapat
berupa
potensi
luapan
aliran
sungai
(penggenangan). Satuan ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem sebagai penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya; pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah; budaya : pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya; dan pendukung berupa : perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi
Geologi Dataran Rawa Jakarta Geomorfologi
Hidrologi
Tersebar di wilayah utara jakarta dengan luas mencapai 254.53 Km2 Bertipe iklim sedang hingga agak kering, hutan musim dan hutan sabana. Suhu udara rata-rata 22-32OC. Curah hujan tahunan 1.750 – 2.000 mm / tahun. Material penyusun umumnya berupa aluvium, dengan komposisi lempung, laman, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang seimbang. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar, dan kemiringan lereng secaraumum 0‐3%, pada beberapa lokasi berombak hingga bergelombang (3‐8%). Material Aluvium mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 27
LAPORAN AKHIR
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater
Tanah dan Penggunaan Lahan
Hayati (Flora-Fauna)
Kultural Budaya)
(Sosial-
Kerawanan Lingkungan
Jasa ekosistem
morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan air tanah dangkal sangat potensial. Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar, karena mendapat input dari air hujan dan aliran air tanah yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai (effluent). Material aluvium akan berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah menjadikan tanah ini sangat subur, yang disebut tanah Alluvial. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan-lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan pertanian tanaman semusim yang potensial dan produktif, serta permukiman dapat berkembang dengan pesat, sehingga membentuk wilayah perkotaan yang semakin padat. Flora dominan berupa tanaman budidaya semusim (pertanian), Vegetasi Monsun Rawa Air Tawar, Vegetasi Rawa Air Tawar Pamah. Dominan pedagang, dan pegawai perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi. Didukung lagi oleh migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Pencemaran lingkungan semakin tinggi (udara, air, tanah), yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, dan sebagainya. Ancaman bencana alam dapat berupa potensi luapan aliran sungai (penggenangan). Penyediaan Penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya. Pengaturan Pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah. Budaya Pengembangan budaya,
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 28
LAPORAN AKHIR
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater
Pendukung
5.4.6.
agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
Dataran Vulkanik Jakarta Kawasan ini tersebar di selatan DKI Jakarta. Luas total satuan ini mencapai 298,25 Km2. Kondisi iklim relatif basah dengan curah hujan sedang hingga tinggi yang berkisar antara 2.000 – 2.500 mm/tahun, yang merata di seluruh satuan ekoregion ini. Tabel 5.6. Jenis dan Luas Wilayah Ekoregion Dataran Vulkanik Jakarta
No
Kode
Wilayah Ekoregion
Luas (Ha)
Dataran Bergelombang, Typic Dystrudepts, Curah Hujan 1
2.250 - 2.500 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan Kota,
780,37
Jagakarsa - Ciracas - Cipayung Dataran Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah Hujan 2
2.250 - 2.500 mm/tahun, Penggunaan Lahan Pertanian,
492,03
Jagakarsa - Ciracas - Cipayung Dataran Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah Hujan 3
2.250 - 2.500 mm/tahun, Kawasan Terbangun, Jagakarsa -
2.494,68
Ciracas - Cipayung Dataran Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah Hujan 4
2.250 - 2.500 mm/tahun, Penggunaan Lahan Lainnya,
48,42
Jagakarsa - Ciracas - Cipayung Dataran Agak Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah 5
Hujan 2.000 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan
1.228,48
Kota, Cilandak - Pasarrebo - Cipayung
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 29
LAPORAN AKHIR
No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Agak Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah
6
Hujan 2.000 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan
621,63
Pertanian, Cilandak - Pasarrebo - Cipayung Dataran Agak Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah 7
Hujan 2.000 - 2.250 mm/tahun, Kawasan Terbangun,
4.575,71
Cilandak - Pasarrebo - Cipayung Dataran Agak Bergelombang, Typic Dystrudept, Curah 8
Hujan 2.000 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan
61,99
Lainnya, Cilandak - Pasarrebo - Cipayung Dataran Landai/ Berombak, Typic Dystrudept, Curah Hujan 9
1.750 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan Kota,
1.194,13
Pesanggarahan - Pancoran - Makasar Dataran Landai/ Berombak, Typic Dystrudept, Curah Hujan 10
1.750 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan Pertanian,
259,05
Pesanggarahan - Pancoran - Makasar Dataran Landai/ Berombak, Typic Dystrudept, Curah Hujan 11
1.750
-
2.250
mm/tahun,
Kawasan
Terbangun,
5.940,20
Pesanggarahan - Pancoran - Makasar Dataran Landai/ Berombak, Typic Dystrudept, Curah Hujan 12
1.750 - 2.250 mm/tahun, Penggunaan Lahan Lainnya,
167,63
Pesanggarahan - Pancoran - Makasar Dataran Sangat Landai, Typic Dystrudept, Curah Hujan 13
1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Hutan Kota,
1.948,43
Kembangan - Setiabudi - Durensawit Dataran Sangat Landai, Typic Dystrudept, Curah Hujan 14
1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Pertanian,
515,79
Kembangan - Setiabudi - Durensawit Dataran Sangat Landai, Typic Dystrudept, Curah Hujan 15
1.750
-
2.000
mm/tahun,
Kawasan
Terbangun,
9.295,72
Kembangan - Setiabudi - Durensawit
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 30
LAPORAN AKHIR
No
Kode
Luas (Ha)
Wilayah Ekoregion Dataran Sangat Landai, Typic Dystrudept, Curah Hujan
16
1.750 - 2.000 mm/tahun, Penggunaan Lahan Lainnya,
202,11
Kembangan - Setiabudi - Durensawit
Secara genetik, material penyusun umumnya berupa kipas aluvium yang tersusun dari tuf halus berlapis, tuf pasir berseling dengan tuf konglomeratan, dengan proses pengendapan dibantu oleh aktivitas aliran sungai. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar hingga landai, dan kemiringan
lereng
secara
umum
0-3%,
berombak
(3-8%),
hingga
bergelombang (8-15%). Ekoregion ini terbentuk sebagai hasil proses erupsi (letusan) gunung berapi yang penyebarannya dibantu oleh proses aliran sungai (fluvial), yang membentuk struktur berlapis horisontal dan tersortasi baik (lapisan tebal dengan material kasar di bagian bawah, dan semakin ke atas semakin halus). Material piroklastik dengan komposisi pasir, kerikil, dan kerakal, merupakan komposisi material yang mampu melalukan air dengan baik (permeabilitas tinggi), sehingga membentuk akuifer yang sangat potensial. Dukungan morfologi datar hingga cekung, menjadikan satuan ini sebagai daerah cadangan atau ketersediaan
air
tanah
sangat potensial, sehingga
membentuk resevoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Sungai-sungai mengalir searah dengan kemiringan lereng dan relatif saling sejajar, sehingga membentuk pola aliran semi paralel hingga paralel, dengan debit aliran bervariasi mengikuti kondisi aliran mata air di bagian hulunya sebagai input. Aliran sungai bersifat mengalir sepanjang tahun (perrenial) dengan debit aliran relatif besar dan fluktuasi tahunan kecil, karena mendapat input dari air hujan dan aliran mata air yang masuk ke dalam badan atau lembah sungai (effluent). Proses perkembangan tanah sangat intensif, yang dapat membentuk Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 31
LAPORAN AKHIR
jenis tanah Kipas Aluvial (Dystrudepts). Tanah ini merupakan tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal, dengan tekstur pasir bergeluh hingga geluh berpasir, struktur remah hingga pejal, dan mampu meresapkan air hujan sebagai imbuh air tanah dengan baik. Tanah Aluvial mempunyai warna hitam yang lebih muda. Tanah ini potensial untuk pengembangan lahan lahan pertanian tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan secara umum berupa lahan sawah yang biasanya dirotasi dengan tanaman palawija. Flora dominan berupa tanaman budidaya perkebunan, tanaman semusim (pertanian), dan kebun campur (tanaman pekarangan), dengan fauna katak, ikan air tawar, reptilia, burung, dan hewan hewan domestik. Dominan
masyarakat
sebagai
pedagang,
pengusaha,
dan
pegawai
perkantoran, dengan komposisi penduduk membentuk pola piramida (jumlah usia produktif mampu menopang usia muda dan tua), pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi dengan penyebaran merata. Didukung lagi oleh arus migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi ulang alik (commuter). Perkembangan wilayah yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi,
menyebabkan kebutuhan lahan permukiman semakin tinggi, yang
berakibat terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman. Aktivitas perkotaan
dan
kehidupan
manusia semakin menghasilkan
menyebabkan pencemaran lingkungan semakin tinggi
limbah
yang
(udara, air, tanah),
yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi lingkungan global, seperti efek rumah kaca, hujan asam, penurunan kualitas air, banjir kota, penurunan muka air tanah dan debit aliran mata air, dan sebagainya. Ancaman bencana alam dapat berupa daerah ancaman aliran lahar dan hujan abu vulkanik (bahaya sekunder) ketika gunung berapi meletus. Secara alami pada daerah ini kemungkinan sangat kecil untuk terpengaruh oleh perubahan iklim global. Ekoregion ini mempunyai jasa ekosistem berupa : penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan
bahan
dasar
lainnya;
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
pengaturan
sistem
V - 32
LAPORAN AKHIR
pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah; pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya; perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
NO
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Paramater Lokasi dan Luas Area Klimatologi
Geologi
Geomorfologi
Hidrologi
Dataran Vulkanik Jakarta
Tanah dan Penggunaan Lahan
Hayati (Flora-Fauna)
Kultural Budaya)
Kerawanan Lingkungan
(Sosial-
Kawasan ini tersebar di selatan DKI Jakarta. Luas total satuan ini mencapai 298,25 Km2. Kondisi iklim relatif basah dengan curah hujan sedang hingga tinggi yang berkisar antara 2.000 – 2.500 mm/tahun material penyusun umumnya berupa kipas aluvium yang tersusun dari tuf halus berlapis, tuf pasirn berseling dengan tuf konglomeratan, dengan proses pengendapan dibantu oleh aktivitas aliran sungai. Topografi berupa dataran, dengan morfologi atau relief datar hingga landai, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%, berombak (3-8%), hingga bergelombang (8-15%). Sungai-sungai mengalir searah dengan kemiringan lereng dan relatif saling sejajar, sehingga membentuk pola aliran semi paralel hingga paralel, dengan debit aliran bervariasi Jenis tanah Aluvial (Epiaquepts). Tanah ini merupakan tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal, dengan tekstur pasir bergeluh hingga geluh berpasir, struktur remah hingga pejal, dan mampu meresapkan air hujan sebagai imbuh air tanah dengan baik. Flora dominan berupa tanaman budidaya perkebunan, tanaman semusim (pertanian), dan kebun campur (tanaman pekarangan), dengan fauna katak, ikan air tawar, reptilia, burung, dan hewan hewan domestik. Dominan masyarakat sebagai pedagang, pengusaha, dan pegawai perkantoran, pertumbuhan penduduk pesat, dan kepadatan tinggi dengan penyebaran merata. Didukung lagi oleh arus migrasi masuk yang tinggi, karena aspek urbanisasi ulang alik (commuter) Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman, pencemaran lingkungan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 33
LAPORAN AKHIR
NO
SATUAN EKOREGION DKI JAKARTA
Karakteristik Ekoregion DKI Jakarta Paramater Jasa ekosistem
Penyediaan
Pengaturan
Budaya
Pendukung
5.4.7.
Penyedia lahan pertanian, sumberdaya air bersih, dan bahan dasar lainnya. Pengaturan sistem pemanfaatan air, kualitas udara, dan limbah Pengembangan budaya, agama, dan pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
Ekoregion dan Wilayah Administrasi Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan pendekatan ekoregion, memang tidak akan sesuai dengan pendekatan wilayah administratif. Ekoregion bisa berada dalam lintas wilayah tetapi bisa juga berada dalam satu wilayah. Pendekatan ekoregion untuk perlindungan dan penegelolaan lingkungan memang lebih tepat, karena bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, kawasan hutan dan satuan lingkungan lainnya tidak sama dengan wilayah administrasi. Pengelolaan dan perlindungan berbasis ekoregion mempunyai keunggulan dua keunggulan yaitu pertama: suatu aksi pengendalian atau pemulihan lingkungan menjadi lebih jelas efek berantainya. Misalnya apa efek pencemaran apa yang disebut kerusakan lingkungan yang menjadi fokus perlindungan dan pengelolaan menjadi jelas dengan mengacu jasa ekosistem. Secara luas telah dipahami bahwa ekosistem secara alami berproduksi, mengatur daur (daur air, daur karbon, daur nitrogen dan matarantai makanan). Selain itu juga memberi jasa bagi pengembangan budi daya manusia, memberi kenyamanan estetik dan peluang bagi manusia untuk belajar. Apa yang disebut pencemaran adalah masuknya berbagai zat asing yang menggangu jasa ekosistem tersebut. Sedang kerusakan lingkungan adalah perubahan yang menyebabkan lingkungan (secara alami) tidak mampu memberikan jasa lagi.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 34
LAPORAN AKHIR
Kedua dengan berbasis ekoregion menjadi jelas juga dasar koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Karena ada kabupaten kota yang mempunyai tanggung jawab bersama atas suatu ekoregion Secara umum hal ini sesungguhnya juga sudah diketahui juga. Persoalannya adalah bahwa ada nilai dan kepentingan yang berbeda antara berbagai daerah yang meliputi ekoregion yang sama tersebut. Penentuan ekoregion merupakan upaya mengikuti logika penyusunan RPPLH seperti yang diamanatkan undang-undang. Pengelolaan lingkungan dengan pendekatan ekoregion ini dapat dimengerti dan diterima tetapi persoalannya adalah bahwa pendataan, perencanaan, pelaksanaan tindak pengawasan tidak diselenggarakan
dalam
batas
ekoregion.
Pelaksana
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan adalah penyelenggara wilayah administrasi yang memang tidak mempertimbangan pewilayahan berdasarkan ekoregion. Oleh karena itu bagaimanapun pewilayahan ekoregion harus dialihkan kedalam wilayah administrasi. Dengan menumpang letakkan (overlay) peta administrasi wilayah kabupaten/kota dengan peta ekoregion diperoleh gambaran hubungan antara wilayah dengan ekoregion. Dari tumpang letak tersebut tampak bahwa ada ekoregion yang dicakup oleh satu wilayah administrasi saja dan ada yang dicakup oleh beberapa wilayah administrasi kabupaten/kota. Tabel 5.7 menunjukkan kedudukan dan luas ekoregion menurut wilayah kabupaten /kota per kecamatan.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap II
V - 35
Tabel 5.7 Luas Wilayah Ekoregion DKI Jakarta Berdasarkan Kecamatan NO I
II
III
KOTA JAKARTA BARAT
JAKARTA PUSAT
JAKARTA SELATAN
IV JAKARTA TIMUR
V
JAKARTA UTARA
PROVINSI DKI JAKARTA
KECAMATAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Tambora Kebonjeruk Tamansari Kembangan Cengkareng Grogolpetamburan Palmerah Kalideres
1 2 3 4 5 6 7 8
Tanahabang Senen Kemayoran Gambir Menteng Sawah besar Johar baru Cempaka putih
(Ha)
M1.1
540 1,798 773 2,416 2,654 999 751 3,023 931 422 725 759 653 616 238 469
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kebayoran lama Setia budi Kebayoran baru Mampangprapatan Tebet Pancoran Pesanggrahan Jagakarsa Cilandak Pasarminggu
1,627 885 1,293 773 904 853 1,276 2,487 1,816 2,169
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jatinegara Matraman Pulogadung Cakung Duren sawit Makasar Kramatjati Pasarrebo Ciracas Cipayung
1,025 488 1,561 4,228 2,265 2,185 1,300 1,298 1,608 2,845
Tanjungpriok Pademangan Penjaringan Kelapa gading Cilincing Koja
2,252 1,192 4,541 1,487 3,970 1,225
1 2 3 4 5 6
KAWASAN EKOREGION
LUAS M1.2 -
M1.3
M1.4
1.41 20.12 21.53 187.42 455.10 1,369.18 204.66 164.86 2,381.23
1.26 25.27 14.11 40.64
23.27 10.41 33.68 513.83 185.51 610.23 306.66 450.15 2,066.39
2,402.76
40.64
2,100.07
M2.1
M2.2
M2.3
9.85 27.44 37.29 238.73 158.34 1,011.38 229.27 66.23 1,703.96
119.54 43.44 162.98 60.85 76.59 3.04 140.48
34.93 125.26 160.19 2.60 5.14 7.74
465.92 602.10 1,068.02 153.83 115.12 152.79 421.74
1,741.25
303.46
167.93
1,489.76
M2.4
KAWASAN EKOREGION
M3.1
M3.2
M3.3
M3.4
F1.1
F1.2
6.27 1.98 8.26 44.63 25.26 2.00 71.88
271.45 311.84 583.29 463.58 119.61 9.38 592.57
127.60 591.32 718.92 29.59 23.82 53.41
295.51 493.55 789.06 116.60 34.48 28.72 179.80
12.37 34.52 46.89 37.47 43.21 2.82 83.50
20.86 124.37 91.45 194.70 255.77 124.26 26.84 126.80 965.05 40.14 28.88 120.91 209.81 50.57 132.44 5.66 32.80 621.21 31.40 0.19 31.58 0.04 151.14 844.89 996.08 328.36 205.43 136.27 474.84 345.29 142.69 1,632.89
0.02 2.49 535.14 537.65 1.92 2.57 111.72 754.88 19.05 890.13
80.14
1,175.86
772.33
968.86
130.39
4,246.81
1,924.16
11.32 182.56 150.76 151.73 496.37 -
F1.3 463.43 763.98 593.43 515.57 760.91 802.43 215.42 388.43 4,503.60 276.87 220.73 569.62 510.63 242.54 403.53 161.00 307.39 2,692.31 33.46 0.02 33.49 1.59 23.98 683.90 907.62 0.15
F1.4 21.15 17.98 24.03 0.33 21.82 30.04 5.81 16.38 137.54 13.97 2.41 6.51 29.22 6.12 68.31 1.23 127.76 11.78 0.30 12.09
F2.1 36.45 91.17 4.96 25.02 5.13
1,617.24 827.45 131.85 369.88 707.73 464.05 157.40 2,658.37
0.08 28.44 313.51 342.03 147.55 28.49 92.98 153.28 223.85 6.52 652.67
162.72 31.78 4.46 1.36 1.77 5.35 44.72 48.85 12.25 15.20 18.83 2.66 10.60 48.39 58.00 62.46 56.94 334.18 17.49 1.68 5.87 13.60 60.16 89.20 30.22 36.66 20.36 36.82 312.06 2.54 2.54
11,505.01
1,272.08
856.22
F2.2 26.16 53.56 4.15 83.87 22.02
F2.3
F2.4
F3.1
F3.2 1.79 1.79 0.78 273.77 274.55 29.86 675.42 705.29 981.63
101.22 77.92 1.35 3.46 34.27
12.81 7.27 2.14 4.29 5.48
-
218.21 80.27 35.68 5.38 79.59 0.48 201.41 106.04 17.70 127.08 101.27 93.95 48.89 122.89 104.19 117.79 166.99 1,006.79 83.09 48.31 35.02 4.67 57.80 76.96 68.15 98.24 93.23 34.10 599.57 0.84 0.84
31.99 7.72 5.38 2.59 5.57 2.07 23.34 13.13 1.28 1.52 7.10 9.72 4.87 11.76 24.35 1.20 8.71 83.63 3.71 3.02 7.54 0.18 0.18 8.78 11.62 15.38 1.89 6.77 59.07 2.62 2.62
0.05 8.01 8.07 17.73 0.10 17.83 0.32 230.24 230.57 4.46 15.13 8.42 2.19 84.12 18.11 132.44
757.91
2,026.82
200.64
388.90
5.35 10.80 9.10 69.43 115.30 48.64 64.91 345.55 7.06 10.55 51.66 15.50 54.35 41.35 148.03 328.49 -
F3.3
F3.4
V1.1
V1.2
2.52 9.02 9.13 3.74 12.87 0.13 13.64 13.78 1.73 0.56 0.47 0.14 52.37 1.25 56.51
5.06 0.19 5.25 1.10 1.10 5.09 12.44 17.53 0.54 7.77 7.77 1.24 172.08 189.40
283.88
252.99
5.09 288.97 63.03 134.20 294.17 491.40 -
92.18
213.28
780.37
6.09 0.41
V1.3
1.63 254.62 62.55 111.69 63.17 237.40 -
1,068.03 18.03 40.62 1,126.68 351.29 551.26 464.85 1,367.40 -
492.03
2,494.08
V1.4 11.26
KAWASAN EKOREGION V2.1
V2.2
V2.3
V2.4
V3.1
29.11
2.47
153.76
0.89
0.36 0.36 107.42
11.26 18.20 17.54 1.42 37.16 -
1.30 100.24 127.92 246.35 504.91 110.93 29.46 65.60 85.80 431.79 723.57 -
6.26 35.07 71.60 47.95 163.35 9.03 20.56 40.40 55.73 332.56 458.27 -
81.77 419.38 964.85 816.70 2,436.46 67.70 272.65 473.82 487.65 837.03 2,138.85 -
1.75 3.40 15.73 21.77 0.95 0.07 0.09 6.26 32.84 40.22 -
57.16 7.83 30.59 83.72 61.25 3.57 25.96 38.12 415.61 16.51 24.75 607.28 116.68 5.29 7.65 778.16 -
48.42
1,228.48
621.63
4,575.31
61.99
1,194.13
V3.2 -
V3.3
V3.4
11.66 11.66 793.66
9.98
8.33 55.26 5.08 28.94 108.82 0.64 11.55 70.23 19.72 0.79 47.31 150.23 -
584.74 340.21 217.43 595.70 598.59 6.31 367.48 602.56 4,106.69 163.04 256.53 686.75 601.14 10.25 1.05 103.09 1,821.84 -
9.96 0.34 1.37 13.31 3.45 1.60 1.72 41.73 0.49 0.53 116.78 4.70
259.05
5,940.20
9.55 1.67
V4.1
V4.2
30.52 368.91 6.98 0.09 35.85 33.45 475.80 375.54 6.86 19.21
9.34 179.48 21.38 26.91 237.11 2.96 3.58 2.34 0.46
2.63 5.22 409.44 44.44 251.29 92.54 10.46 50.94 10.64 28.66 0.42
3.13 9.64 0.26 22.36 1.27 1.04
V4.3
V4.4
644.92 932.64 90.19 3.95 422.10 62.43 2,156.24 219.58 117.51 247.48
0.12 0.35 10.88 37.79 0.09 0.14
68.73 121.34 774.64 274.73 515.92 386.01 258.25 484.04 63.99 175.91 2.26
1.02 39.04 8.00 6.35 9.45 17.46 12.79 0.70 1.45 0.01 56.21 3.45 0.17 17.97 29.74 9.68 34.80 0.16 0.01 95.97 202.11
3.40 125.90 -
1.73 491.12 85.07 13.23 86.52 182.17 140.54 54.31 9.86 0.37 572.07 -
110.88 52.34 88.47 1.02 1.30 256.31 -
24.08 2,185.18 648.67 396.44 535.78 748.45 1,640.25 111.16 98.51 0.42 4,179.67 -
167.63
1,948.43
515.79
9,295.72
6.90 3.52