ANALISIS MAKANAN DAN MINUMAN “Analisis Lemak”
OLEH :
LUH PUTU DEVI KARTIKA (P07134014006) KOMANG NINA SHINTARINI (P07134014009) AGNES ANGGITA PERMATA SARI (P07134014024) NI MADE PARWATI (P07134014034)
JURUSAN ANALIS KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR Tahun Akademik 2015-2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Lehninger (1982), lemak merupakan bagian dari lipid yang mengandung asam lemak jenuh bersifat padat. Lemak dapat larut dalam pelarut tersebut karena lemak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut. Lemak merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung lemak esensial. Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan penting dalam diet karena beberapa alasan. Namun konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya kolesterol dan lemak jenuh. Dalam berbagai makanan, komponen lemak memegang peranan penting yang menentukan karakteristik fisik keseluruhan, seperti aroma, tekstur, rasa, dan penampilan. Karena itu sulit untuk menjadikan makanan tertentu menjadi rendah lemak (low fat), karena jika lemak dihilangkan, salah satu karakteristik fisik menjadi hilang. Lemak juga merupakan target untuk oksidasi, yang menyebabkan pembentukan rasa tak enak dan produk menjadi berbahaya. Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak (contohnya A, D, E, dan K), monogliserida, digliserida, fosfolemak, glikolemak, terpenoid (termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Lemak secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa. Untuk mengetahui kadar lemak yang terdapat pada bahan pangan dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi lemak. Namun mengekstrak lemak secara murni sangat sulit dilakukan, sebab pada waktu mengekstraksi lemak, akan terekstraksi pula zat-zat yang larut dalam lemak seperti sterol, phospholipid, asam lemak bebas, pigmen karotenoid, khlorofil, dan lain-lain. Pelarut yang digunakan harus bebas dari air (pelarut anhydrous) agar bahan-bahan yang larut dalam air tidak terekstrak dan terhitung sebagai lemak dan keaktifan pelarut tersebut menjadi berkurang.
1.2 Tujuan 1.2.1 Untuk mengetahui definisi dari lemak. 1.2.2 Untuk mengetahui sifat-sifat dari lemak. 1.2.3 Untuk mengetahui cara analisis lemak secara kualitatif, kuantitatif, dan instrumentasi. 1.2.4 Untuk mengetahui penyebab kerusakan lemak.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air. Sifat kelarutan ini yang membedakan lipida dari golongan senyawa alam penting lain seperti protein dan karbohidrat yang pada umumnya tidak larut dalam pelarut nonpolar. Lemak tersusun atas rantai hidrokarbon panjang berantai lurus, bercabang, atau membentuk struktur siklis. Lemak esensial merupakan prekursor pembentukan hormon tertentu seperti prostaglandin, lemak juga berperan sebagai penyusun membran yang sangat penting untuk berbagai tugas metabolisme, lemak juga dapat melarutkan berbagai vitamin, yaitu vitamin A, D, E dan K (Setiadji, 2007). Lipid atau lemak adalah senyawa yang merupakan ester dari asam lemak dengan gliserol yang kadang-kadang mengandung gugus lain. Lipid tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, kloroform, dan benzene. Lipid tidak memiliki rumus molekul yang sama, akan tetapi terdiri dari beberapa golongan yang berbeda. Berdasarkan kemiripan struktur kimia yang dimiliki, lipid dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu asam lemak, lemak dan fosfolipid ( Salirawati et al,2007). Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein (F.G Winarno, 2004). Lemak merupakan bahan padat pada suhu ruang disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang lebih tinggi, sedangkan minyak merupakan bahan cair pada suhu ruang disebabkan tingginya kandungan asam lemak yang tidak jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap diantara atom-atom karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah (F.G Winarno, 2004). 2.2 Sifat Lemak Menurut Buckle (1987), lemak dalam tubuh mempunyai peranan yang penting karena lemak cadangan yang ada dalam tubuh dapat melindungi berbagai organ yang penting seperti ginjal,
hati, dan sebagainya. Tidak saja sebagai isolator, tetapi juga kerusakan fisik yang mungkin terjadi pada waktu kecelakaan. Lipid terdiri atas lemak dan minyak yang banyak dihasilkan hewan dan tanaman. Lipid umumnya berupa trigliserida yang merupakan ester asam lemak dan gliserol maupun gugus senyawa lain/komponen non lipid lain. Lipid memiliki sifat kimia dan sifat fisik yang berbeda-beda, seperti: Sifat fisik lipid: Pada suhu kamar, lemak berwujud padat dan minyak berwujud cair, lemak padat berwarna putih kekuningan, dapat membentuk kristal lemak, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non polar seperti eter, alkohol, aseton, khloroform, benzene. Lemak bersifat plastis, lipid jenuh (sedikit ikatan rangkap) dan memiliki titik lebur tinggi. Sedangkan minyak merupakan lipid tidak jenuh (banyak ikatan rangkap) yang memiliki titik lebur rendah, serta dapat melarutkan beberapa jenis vitamin, yaitu vitamin A, D, E, dan K. Sifat kimia lipid: Lipid tersusun atas rantai hidrokarbon panjang berantai lurus, bercabang, atau berbentuk siklis, terdiri atas ester asam lemak dengan gliserol atau dengan gugus senyawa lain, lemak banyak mengandung asam lemak jenuh (sedikit ikatan rangkap), minyak banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (banyak ikatan rangkap), reaksi dengan alkali akan menghasilkan asam lemak dan gliserol, sehingga mudah teroksidasi. 2.3 Uji Kualitatif Lemak Penentuan adanya lipida atau lemak dalam suatu bahan dapat dilakukan dengan berbagai macam analisa. Salah satunya adalah dengan menggunakan analisa kualitatif untuk menentukan adanya lipida atau tidak yaitu: a. Uji Kelarutan Lipid Uji ini terdiri atas analisis kelarutan lipid maupun derivat lipid terhadap berbagai macam pelarut. Dalam uji ini, kelarutan lipid ditentukan oleh sifat kepolaran pelarut. Apabila lipid dilarutkan ke dalam pelarut polar maka hasilnya lipid tersebut tidak akan larut. Hal tersebut karena lipid memiliki sifat nonpolar sehingga hanya akan larut pada pelarut yang sama-sama nonpolar.
b. Uji Acrolein Uji kualitatif lipid lainnya adalah uji akrolein. Dalam uji ini terjadi dehidrasi gliserol dalam bentuk bebas atau dalam lemak/minyak menghasilkan aldehid akrilat atau akrolein. Menurut Scy Tech Encyclopedia (2008), uji akrolein digunakan untuk menguji keberadaan gliserin atau lemak. Ketika lemak dipanaskan setelah ditambahkan agen pendehidrasi (KHSO4) yang akan menarik air, maka bagian gliserol akan terdehidrasi ke dalam bentuk aldehid tidak jenuh atau dikenal sebagai akrolein (CH 2=CHCHO) yang memiliki bau seperti lemak terbakar dan ditandai dengan asap putih. c. Uji Ketidakjenuhan pada Lipid Uji ketidakjenuhan digunakan untuk mengetahui asam lemak yang diuji apakah termasuk asam lemak jenuh atau tidak jenuh dengan menggunakan pereaksi Iod Hubl. Iod Hubl ini digunakan sebagai indikator perubahan. Asam lemak yang diuji ditambah kloroform sama banyaknya. Tabung dikocok sampai bahan larut. Setelah itu, tetes demi tetes pereaksi Iod Hubl dimasukkan ke dalam tabung sambil dikocok dan perubahan warna yang terjadi terhadap campuran diamati. Asam lemak jenuh dapat dibedakan dari asam lemak tidak jenuh dengan cara melihat strukturnya. Asam lemak tidak jenuh memiliki ikatan ganda pada gugus hidrokarbonnya. Reaksi positif ketidakjenuhan asam lemak ditandai dengan timbulnya warna merah asam lemak, lalu warna kembali lagi ke warna awal kuning bening. Warna merah yang kembali pudar menandakan bahwa terdapat banyak ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon asam lemak. Trigliserida yang mengandung asam lemak yang mempunyai ikatan rangkap dapat diadisi oleh golongan halogen. Pada uji ketidakjenuhan, pereaksi iod hubl akan mengoksidasi asam lemak yang mempunyai ikatan rangkap pada molekulnya menjadi berikatan tunggal. Warna merah muda yang hilang selama reaksi menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh telah mereduksi pereaksi iod hubl. d. Uji Ketengikan Uji kualitatif lipid lainnya adalah uji ketengikan. Dalam uji ini, diidentifikasi lipid mana yang sudah tengik dengan yang belum tengik yang disebabkan oleh oksidasi lipid. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan.
Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan antioksidan akan menghambatnya. Penyimpanan lemak yang baik adalah dalam tempat tertutup yang gelap dan dingin. Wadah lebih baik terbuat dari aluminium atau stainless steel. Adanya antioksidan dalam minyak atau lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan terdapat secara alamiah dalam lemak nabati, dan kadang-kadang sengaja ditambahkan ke dalam minyak atau lemak (F.G Winarno,2004). Proses kerusakan lemak berlangsung sejak pengolahan sampai siap konsumsi. Terjadinya peristiwa ketengikan tidak hanya terbatas pada bahan pangan berkadar lemak tinggi, tetapi juga dapat terjadi pada bahan berkadar lemak rendah. Sebagai contoh ialah biskuit yang terbuat dari tepung gandum tanpa penambahan mentega putih akan menghasilkan bau yang tidak enak pada penyimpanan jangka panjang disebabkan ketengikan oleh oksidasi. Padahal kadar lemaknya lebih kecil dari 1% (F.G Winarno,2004). Antioksidan terdiri dari antioksidan primer dan sekunder: Antioksidan Primer Antioksidan primer yaitu suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan. Antioksidan alam diantaranya tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam askorbat. Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E. Tokoferol ini mempunyai banyak ikatan rangkap yang mudah dioksidasi sehingga dapat melindungi lemak dari oksidasi. Antioksidan sintetik ditambahkan ke dalam lemak atau bahan pangan untuk mencegah ketengikan. Antioksidan yang banyak digunakan sekarang adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun, oleh karena itu penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat dan ekonomis. Pada bahan makanan pemakaiannya harus dicantumkan. Empat antioksidan yang sering digunakan adalah Butylated
Hydroxyanisole (BHA), Butylated
Propylgallate (PG), dan NDGA (Nodrihidroquairetic Acid).
hydroxytoluene (BHT),
Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam. Misalnya satu asam sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang kedelai. EDTA (Etildiamin tetraasetat) adalah squestran logam yang sering digunakan dalam minyak salad. Penentuan uji ketengikan yang dapat dilakukan adalah bilangan peroksida, jumlah karbonil, oksigen aktif, uji asam tiobarbiturat, dan uji Oven Schaal. 1) Bilangan Peroksida Bilangan peroksida ditentukan berdasarkan jumlah iodin yang dibebaskan setelah lemak atau minyak ditambahkan KI. Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut asam asetat dan kloroform (2:1), kemudian iodin yang berbentuk ditentukan dengan titrasi memakai Na2S2O3 (F.G Winarno,2004). 2) Jumlah Karbonil Jumlah karbonil ditentukan tidak secara langsung dengan menambahkan senyawa tertentu yang dengan karbonil membentuk warna, lalu dititrasi. Cara Kreiss memakai pereaksi floroglusinol, sedangkan cara Lappin Clark memakai pelarut 2,4dinitrofenilhidrazin (F.G Winarno,2004). 3) Oksigen Aktif Oksigen aktif dihitung dengan cara melewatkan udara dengan keadaan tertentu pada lemak yang dipanaskan pada suhu tetap 100°C. Kemudian diukur waktu yang diperlukan sampai dihasilkan 20 miliekuivalen peroksida. Cara ini sering dipakai untuk menentukan keadaan awal lemak dengan atau tanpa antioksidan (F.G Winarno,2004). 4) Uji Asam Tiobarbiturat Uji asam tiobarbiturat dipakai untuk menentukan adanya ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan (F.G Winarno,2004).
5) Uji Oven Schaal Uji ove schaal sering dilakukan pada industri biskuit. Bahan dimasukkan dalam gelas bersih dengan tutup yang agak longgar supaya udara masih bisa masuk. Kemudian dipanaskan sampai 65°C. Dalam selang waktu tertentu diukur bau dan rasanya (F.G Winarno,2004). e. Uji Salkowski untuk Kolesterol Uji Salkowski merupakan uji kualitatif yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan kolesterol. Kolesterol dilarutkan dengan kloroform anhidrat lalu dengan volume yang sama ditambahkan asam sulfat. Asam sulfat berfungsi sebagai pemutus ikatan ester lipid. Apabila dalam sampel tersebut terdapat kolesterol, maka lapisan kolesterol di bagian atas menjadi berwarna merah dan asam sulfat terlihat berubah menjadi kuning dengan warna fluoresens hijau. f. Uji Lieberman Buchard Uji Lieberman Buchard merupakan uji kualitatif untuk kolesterol. Prinsip uji ini adalah mengidentifikasi adanya kolesterol dengan penambahan asam sulfat ke dalam campuran. Sebanyak 10 tetes asam asetat dilarutkan ke dalam larutan kolesterol dan kloroform (dari percobaan Salkowski). Setelah itu, asam sulfat pekat ditambahkan. Tabung dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Mekanisme yang terjadi dalam uji ini adalah ketika asam sulfat ditambahkan ke dalam campuran yang berisi kolesterol, maka molekul air berpindah dari gugus C3 kolesterol, kolesterol kemudian teroksidasi membentuk 3,5-kolestadiena. Produk ini dikonversi menjadi polimer yang mengandung kromofor yang menghasilkan warna hijau. Warna hijau ini menandakan hasil yang positif (WikiAnswers 2008). Reaksi positif uji ini ditandai dengan adanya perubahan warna dari terbentuknya warna pink kemudian menjadi biru-ungu dan akhirnya menjadi hijau tua. 2.4 Uji Kuantitatif Lemak
Penentuan adanya lipida atau lemak dalam suatu bahan dapat dilakukan dengan berbagai macam analisa. Salah satunya adalah dengan menggunakan analisa kuantitatif untuk menentukan adanya lipida yaitu: a. Bilangan Iodium Bilangan iodium merupakan ukuran derajat ketidakjenuhan, menunjukkan jumlah ikatan rangkap C=C dalam sejumlah lemak atau minyak. Bilangan iodium dinyatakan sebagai gram iodium
yang diserap per 100 g sampel. Semakin tinggi derajat
ketidakjenuhan, semakin banyak iodium terserap dan semakin tinggi nilai bilangan iodium. Prosedur untuk menentukan bilangan iodium yaitu sejumlah lemak atau minyak yang sudah dilarutkan dalam solven, direaksikan dengan sejumlah iodium (bisa digunakan I2, ICl atau IBr), sehingga terjadi adisi halogen pada ikatan rangkap. Kalau digunakan ICl atau IBr, larutan KI ditambahkan untuk mereduksi sisa ICl menjadi iodium (I2) bebas. Iodium yang terlepas dititrasi dengan Natrium tiosulfat standar menggunakan indikator amilum dan bilangan iodium dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Dimana :
b. Bilangan Penyabunan Penyabunan adalah proses pemutusan lemak netral menjadi gliserol dan asam lemak dengan adanya alkali. Bilangan penyabunan merupakan jumlah basa yang
diperlukan untuk menyabunkan sejumlah lemak atau minyak, dinyatakan sebagai miligram KOH yang dibutuhan untuk menyabunkan 1 gram sampel. Bilangan penyabunan merupakan indeks rata-rata berat molekul triasilgliserol dalam sampel. Semakin kecil bilangan saponifikasi, semakin panjang rata-rata rantai asam lemak. Prosedur untuk menentukan bilangan penyabunan yaitu larutan alkoholik kalium hidroksida berlebih ditambahkan ke dalam sampel dan larutan dipanaskan
untuk
menyabunkan lemak. KOH yang tidak bereaksi dititrasi dengan HCl standar menggunakan indikator fenolftalein dan bilangan penyabunan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana :
c. Penentuan Angka Asam Angka asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau minyak. Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH/KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terrdapat dalam satu gram lemak atau minyak. Angka asam Angka asam
ml NaOH x N NaOH x BM NaOH gram contoh
ml KOH x N KOH x 56,1 gram contoh ( g )
d. Penentuan Angka Ester Penentuan angka ester angka ester menunjukkan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester. Angka ester dihitung dengan selisih angka penyabunan dengan angka asam. Angka ester = angka penyabunan –angka asam e. Bilangan Asam Lemak Bebas (FFA) Pengukuran keasaman suatu lemak menunjukkan jumlah asam lemak yang dihidrolisis dari triasilgliserol. Asam lemak adalah persentase bobot dari asam lemak tertentu (misalkan persen asam oleat). Bilangan asam didefinisikan sebagai mg KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak yang ada di 1 g lemak atau minyak. Bilangan asam sering digunakan sebagai indikator kualitas untuk minyak goreng, dengan nilai batas adalah 2 mg KOH/ g minyak. Prosedur untuk menentukan bilangan asam yaitu pada sampel lemak cair, ditambahkan etanol 95% netral dan indikator pp. Sampel kemudian dititrasi dengan NaOH dan persen asam lemak bebas dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana :
f. Bilangan Peroksida Bilangan peroksida didefinisikan sebagai miliequivalen (mEq) peroksida per kg sampel. Bilangan peroksida ditentukan dengan titrasi redoks. Diasumsikan bahwa senyawa yang bereaksi di bawah kondisi uji adalah peroksida atau produk sejenis dari oksidasi lipid.
Prosedur untuk menentukan bilangan peroksida yaitu lemak atau sampel minyak dilarutkan dalam asam asetat glasial-isooktan (3:2). Dengan penambahan kalium iodida berlebih (yang akan bereaksi dengan peroksida), akan diproduksi iodium. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Na thiosulfat standar dengan indikator amilum. Bilangan peroksida dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana :
Untuk penentuan dalam sampel makanan, kerugian dari metode ini adalah sampel yang digunakan sekitar 5 g, sehingga sulit mendapat jumlah yang cukup bila sampel akan rendah lemak. Makanan berkualitas baik, lemak dan minyak yang berbau segar akan mempunyai bilangan peroksida nol atau mendekati nol. Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak atau lemak yang sangat buruk, biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak. Untuk minyak kedelai, bilangan peroksida 1-5, 5-10 dan >10 menunjukkan berturut-turut tingkat oksidasi rendah, sedang dan tinggi. g. Bilangan Reichert Meisel (BRM) BRM adalah jumlah 0,1 N basa yang diperlukan setiap lima gram lemak untuk menetralkan asam-asam lemak yang mudah menguap pada distilasi, yaitu asam lemak dengan C4 dan C6 (butirat dan kaproat). Analisis ini banyak digunakan untuk menganalisis pemalsuan mentega yang dicampur minyak lain. Nilai BRM untuk mentega antara 24-34, lebih tinggi dari minyak lain. Angka Reichert-Meissel = 1,1 x (ts – tb) Dimana ts = jumlah ml NaOH 0,1 N untuk titrasi sampel tb = jumlah ml NaOH 0,1 N untuk titrasi blanko h. Bilangan Kirschner Baru (New Kischner Value – NKV)
BKB adalah jumlah ml basa 0,1 N yang diperlukan setiap 5 gram lemak/minyak untuk menetralkan asam lemak volatile yang garam-garam peraknya larut dalam campuran etanol air. Penentuan ini dapat digunakan untuk membedakan margarine dan mentega sehingga tidak terjadi pemalsuan. Distilat hasil penentuan BKB ditambah Ag2SO4 dan akan terbentuk garam perak yang larut dalam air. Kemudian diasamkan dengan asam sulfat dan didistilasi. Distilat dititrasi dengan 0,1 N NaOH, maka BKB dapat dihitung sebagai berikut. NKV
A x 121(100 B) 20.000
A = bilangan Kirschner B = ml alkali untik menitrasi 100 ml distilat pada BRM i. Bilangan Hehner Bilangan Hehner dipakai untuk menentukan jumlah asam lemak yang tidak larut dalam air. Lemak dengan berat molekul yang tinggi akan mempunyai bilangan Hehner yang rendah. Filtrat yang diperoleh dari uji bilangan penyabunan, diuapkan alkoholnya. Sabun dilarutkan dalam air panas dan ditambah HCl pekat sehingga terbentuk asam lemak bebas. Bila campuran tersebut segera didinginkan, diperoleh lapisan asam lemak yang tak larut dalam air. Lapisan ini disaring dan ditimbang.
2.5 Metode Instrumentasi a. Metode Soxhlet Sampel dikeringkan, dihaluskan, dan diletakkan dalam thimble berpori. Thimble diletakkan dalam alat soxhlet yang dihubungkan dengan kondensor. Labu soxhlet dipanaskan, solven menguap, terkondensasi, dan masuk ke bejana ekstraksi yang berisi sampel, dan mengesktraksi sampel. Lemak tertinggal di labu karena perbedaan titik didih. Pada akhir ekstraksi, solven diuapkan dan massa lemak yang tersisa ditimbang. % lemak = 100 x (berat lemak / berat sampel)
b. Metode Babcock Bahan yang berbentuk cair, penentuan lemaknya dapat menggunakan botol Babcock. Penentuan lemak dengan Babcock sangatlah sederhana. Sampel yang telah ditimbang dengan teliti dimasukan kedalam botol Babcock. Pada lehernya telah dilengkapi dengan skala ukuran volume. Sampel yang dianalisa ditambah asam sulfat pekat untuk merusak emulsi lemak sehingga lemak akan terkumpul menjadi satu pada bagian atas cairan. Pemisahan lemak dari cairannya dapat lebih sempurna bila dilakukan sentrifugasi. Rusaknya emulsi lemak dikarenakan asam sulfat dapat merusak lapisan film yang menyelimuti globula lemak yang biasanya terdiri dari senyawa protein. Dengan rusaknya protein (denaturasi ataupun koagulasi) maka memungkinkan globula lemak yang satu akan bergabung dengan globula lemak yang lain dan akhirnya menjadi kumpulan lemak yang lebih besar dan akan mengapung di atas cairan. Setelah disentrifugasi lemak akan semakin jelas terpisah dengan cairannya dan agar dapat dibaca banyaknya lemak ke dalam botol ditambahkan akuades panas sampai lemak atau minyak tepat pada tanda skala bagian atas (Sudarmadji, 1996).
Contoh analis lemak dengan metode Babcock yaitu sejumlah sampel susu dipipet secara akurat ke dalam botol Babcock. Asam sulfat dicampur dengan susu yang akan mendigesti protein, menghasilkan panas dan merusak lapisan yang mengelilingi droplet lemak, sehingga melepaskan lemak. Sampel kemudian disentrifuse saat masih panas (55-60ºC) yang akan menyebabkan lemak cair naik ke leher botol. Leher botol telah diberi skala yang menunjukkan persen lemak. Metode ini membutuhkan waktu 45 menit, dengan presisi hingga 0,1%. Metode ini tidak menentukan kadar fosfolipid dalam susu, karena berada di fase air atau di antara fase lemak dan air.
Gambar botol Babcock c. Metode Goldfish Bahan sampel yang telah dihaluskan dimasukan kedalam thimbel dan dipasang dalam tabung penyangga yang pada bagian bawahnya berlubang. Bahan pelarut yang digunakan ditempatkan dalam beaker glass di bawah tabung penyangga. Bila beaker glass dipanaskan uap pelarut akan naik dan didinginkan oleh kondensor sehingga akan mengembun dan menetes pada sampel demikian terus menerus sehingga bahan akan dibasahi oleh pelarut dan akan terekstraksi, selanjutnya akan tertampung ke dalam kembali. Setelah ekstraksi selesai, sampel berikut penyangganya diambil dan diganti dengan beaker glass yang ukurannya sama dengan tabung penyangga. Pemanas dihidupkan kembali sehingga pelarut akan diuapkan lagi dan diembunkan serta tertampung ke dalam beaker glass yang terpasang di bawah kondensor, dengan demikian pelarut yang tertampung dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi yang lain (Sudarmadji, 1996).
Metode Goldfish merupakan metode yang mirip dengan metode Soxhlet kecuali labu ekstraksinya dirancang sehingga solven hanya melewati sampel, bukan merendam sampel. Hal ini mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi, tapi dengan kerugian bisa terjadi “saluran solven” dimana solven akan melewati jalur tertentu dalam sampel sehingga ekstraksi menjadi tidak efisien. Masalah ini tidak terjadi pada metode Soxhlet, karena sampel terendam dalam solven.
Gambar alat Goldfish 2.6 Penyebab Kerusakan Lemak a. Oksidasi dan ketengikan Ketengikan disebabkan oleh adanya autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lipid. Autooksidasi ini dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor, seperti oksigen, panas, enzim lipoksidase, cahaya, hidroperoksida, logam berat Cu, Fe, Mn, Co, dan logam porfirin. Radikal asam lemak tidak jenuh yang kontak dengan oksigen dari udara akan membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek, seperti aldehid, asam lemak, dan keton yang bersifat volatil sehingga dapat menimbulkan bau tengik pada lipid (Winarno, 2004). b.
Hidrolisis Lipid dapat terhidrolisis menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis ini berlangsung karena adanya air dan dipercepat oleh adanya kondisi basa, kondisi asam, maupun enzim lipase. Jumlah asam lemak bebas yang meningkat pada bahan
dapat memudahkan terjadinya oksidasi sehingga akan menghasilkan cita rasa dan bau tengik yang tidak dikehendaki (Winarno, 2004). c. Penyerapan bau Lipid mudah sekali menyerap bau. Jika bahan pembungkus bahan dapat menyerap lipid, maka lipid yang terserap dapat teroksidasi oleh udara sehingga rusak dan berbau. Bau dari lipid yang rusak ini akan mudah terserap oleh lipid lain yang ada dalam bungkusan sehingga seluruh lipid akan menjadi rusak (Winarno, 2004).
BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 3.1.1
Lemak adalah senyawa yang merupakan ester dari asam lemak dengan gliserol yang kadang-kadang mengandung gugus lain yang bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, kloroform, dan benzene.
3.1.2
Sifat fisik lemak yaitu bersifat plastis, berwujud padat pada suhu kamar, dan memiliki titik lebur tinggi. Sementara sifat kimia lemak yaitu reaksi dengan alkali akan menghasilkan asam lemak dan gliserol, sehingga mudah teroksidasi.
3.1.3
Analisis lemak secara kualitatif dapat dilakukan dengan melakukan uji kelarutan lipid, uji Acrolein, uji ketidakjenuhan pada lipid, uji ketengikan, uji Salkowski untuk kolesterol, dan uji Lieberman Buchard.
3.1.4
Analisis lemak secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menentukan bilangan iodium, bilangan penyabunan, bilangan asam, bilangan ester, bilangan peroksida, bilangan Reichert Meisel (BRM), bilangan Kirschner Baru, dan bilangan Hehner.
3.1.5
Metode instrumentasi dalam analisis lemak diantaranya, metode soxhlet, metode babcock, dan metode goldfish.
3.1.6
Kerusakan lemak dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti oksidasi dan ketengikan, hidrolisis, dan penyerapan bau.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Dicki. 2014. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Lemak. [online]. Tersedia: http://dicki25.blogspot.co.id/2014/08/uji-kualitatif-kuantitatif-lemak.html. [Diakses: 1 Maret 2016 pukul 18.31 WITA] Puspita, Fika. 2014. Laporan Praktikum Analisis Pangan Lemak. [online]. Tersedia : http://fikapuspita.blogspot.co.id/2014/09/laporan-praktikum-analisis-pangan-lemak.html. [Diakses: 1 Maret 2016 pukul 18.42 WITA] Salirawati et al. 2007. Belajar Kimia Menarik. Jakarta: Grasind Satriyo, Ayu. 2014. Analisis Lemak. [online]. Tersedia: https://www.academia.edu/4894341/Analisis_lemak. [Diakses: 29 Februari 2016 pukul 20.28 WITA] Setiadji. 2007. Kimia Organik. Jember : FTP UNEJ. Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Zahro, Nurus. 2013. Laporan Analisa Lemak. [online]. Tersedia: http://nuruszahro.blogspot.co.id/2013/10/laporan-analisa-lemak.html. [Diakses: 1 Maret 2015 pukul 16.02 WITA]