23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin banyak orang yang melakukan olahraga rekreasional dapat mendorong dirinya sendiri diluar batas kondisi fisiknya dan terjadi lah cedera olahraga. Cedera terhadap sistem mukoluskletal dapat bersifat akut (sprain, strain, dislokasi, fraktur) atau sebagai akibat penggunaan berlebihan secara bertahap (kondromalasia, tendinitis, fraktur sterss). Atlet profesional juga rentan terhadap cedera, meskipun latihan mereka disupervisi ketat untuk meminimalkan terjadinya cedera. Namun sering kali atlet tersebut juga dapat mengalami cedera muskoluskletal, salah satunya adalah dislokasi.
Dislokasi atau keseleo merupakan cedera umum yang dapat menyerang siapa saja, tetapi lebih mungkin terjadi pada individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas berulang, dan kegiatan dengan resiko tinggi untuk kecelakaan. Ketika terluka ligamen, otot atau tendon mungkin rusak, atau terkilir yang mengacu pada ligamen yang cedera, ligamen adalah pita sedikit elastis jaringan yang menghubungkan tulang pada sendi, menjaga tulang ditempat sementara memungkinkan gerakan. Dalam kondisi ini, satu atau lebih ligamen yang diregangkan atau robek. Gejalanya meliputi nyeri, bengkak, memar, dan tidak mampu bergerak.
Dislokasi biasanya terjadi pada jari-jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi menjadi tidak stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah.
Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplet / lengkap (Jeffrey m.spivak et al,1999), terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi, dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain, sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan me lindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menyediakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.
Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang disebut dengan dislokasi ?
2. Apa penyebab terjadinya dislokasi ?
3. Apa tanda dan gejala dislokasi ?
4. Bagaimana anatomi dan fisiologi dislokasi ?
5. Menjelaskan klasifikasi disloaksi ?
6. Menjelaskan patofisiologi dislokasi ?
7. Bagaimana WOC dislokasi ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dislokasi ?
9. Menjelaskan komplikasi dislokasi ?
10. Bagaimana askep teoritis dislokasi ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dislokasi
2. Untuk mengetahui etiologi dislokasi
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dislokasi
4. Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi dislokasi
5. Untuk mengetahui klasifikasi dislokasi
6. Untuk mengetahui patofisiologi dislokasi
7. Untuk mengetahui woc dislokasi
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dislokasi
9. Untuk mengetahui komplikasi dislokasi
10. Untuk mengetahui askep teoritis dislokasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dislokasi adalah cedera struktur ligameno di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau memutar / keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan, secara anatomis (tulang lepas dari sendi). (Brunner & Suddarth. 2001).
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, 2000).
Dislokasi merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam (Kowalak, 2011).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini terdapat hanya kepada komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
2.2 Etiologi
1. Umur, faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan jaringan. Misalnya pada umur 30 - 40 tahun kekuatan otot akan relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia 30 tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan, misalnya dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut mengalami dislokasi.
3. Pukulan, misalnya dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan menyebabkan dislokasi.
4. Tidak melakukan pemanasan, misalnya pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
5. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
6 Cedera olahraga, misalnya pemain basket dan kiper pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
7.Terjatuh, misalnya terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
8. Kongenital, misalnya terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2.3 Manifestasi Klinis
1. Adanya bengkak / oede
2. Mengalami keterbatasan gerak
3. Adanya spasme otot(kekauan otot)
4. Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
5. Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
6. Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri
7. Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan sekitarnya (tampak kemerahan).
8. Perubahan kontur sendi
9. Perubahan panjang ekstremitas
10. Kehilangan mobilitas normal
11.Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
2.4 Anatomi dan Fisiologi
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan. Komponen utama sistem meskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sitem ini terdiri atas tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, dan jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam :
1. Tulang panjang : misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus.
Didaerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah.
2. Tulang pendek : misalnya tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih : misalnya tulang parietal, iga, skapula dan pelvis.
4. Tulang tak beraturan : misalnya tulang vertebra.
5. Tulang sesamoid : misalnya tulang patela
6. Tulang sutura : ada di atap tengkorak.
2.4.1 Histologi tulang :
1. Tulang imatur : terbentuknya pada perkembangan embrional dan tidak terlihat lagi pada usia 1 tahun. Tulang imatur mengandung jaringan kolagen.
2. Tulang matur : ada dua jenis, yaitu tulang kortikal (compact bone) dan tulang trabekular (spongiosa).
Secara histologi, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, dan jaringan kolagen.
2.4.2 Fisiologi sel tulang
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel : osteoblas, osteosit, osteoklas.
1. Osteoblas, membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi.
2. Osteosit, sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
3. Osteoklas, sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran darah.
Dalam keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak yang lebih banyak terjadi pembentukan dari pada absorpsi tulang. Proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan mencegah terjadi patah tulang.
Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk menanggung kekuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan membantu mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organi yang sudah tua berdegenerasi sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru sehingga memberi tambahan kekuatan pada tulang.
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang,yang menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan meneyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteklas sehingga terjadi demineralisasi. Metabaolisme kalsium dan fosfat sangat berkaitan erat. Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh fosfat tubuh.
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absropsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D,hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang,antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.
2.4.3 Anatomi Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua tulang atau lebih. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara,misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot. Ada 3 tipe sendi sebagai berikut :
1. Sendi fibrosa (sinartrodial),merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa tidak memiliki lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa.
2. Sendi kartilaginosa (amfiartrodia), merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak. Sendi kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh tulang rawan hialin, disokong oleh ligamen, dan hanya dapat sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas. Sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak, serta sinovium yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening , tidak membeku, dan tidak berwarna, jumlah yang ditimbulkan dalam tiap-tiap sendi relatif kecil (1-3ml).
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe,atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen dan pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau ketika usia bertambah.beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe satu yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Aliran darah kesendi banyak yang menuju sinovium. Pembuluh darah mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal dibagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan didalam plasma berdifusi dengan mudah kedalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol disinovium karena didaerah tersebut banyak mendapat aliran darah dan juga terdapat banyak sel mast dan sel lain serta zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respon peradangan.
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah yang berdekatan terutama adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada jaringan penyambung ( seperti sel mast, sel palsma, limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear).
Serat- serat yang terdapat pada substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Serat-serat elastin memiliki sifat elastis, serat ini terdapat dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh enzim yang disebut elastase.
2.5 Klasifikasi
a. Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik : Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
b. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
2. Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
c. Berdasarkan tempat terjadinya :
1. Dislokasi Sendi Rahang, dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
a. Menguap atau terlalu lebar.
b. Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya kembali.
1. Dislokasi Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
2. Dislokasi Sendi Siku
Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
3. Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung tangan.
4. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum (dislokasi sentra).
5. Dislokasi Patella
a. Paling sering terjadi ke arah lateral.
b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
c. Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
d. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
2.6 Patofisiologi
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang disebut dengan dislokasi yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami kerusakan serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total ligamen akan mengalami robek dan ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema. Sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2 sampai 3 jam setelah cedera akibat membengkak dan pendarahan yang terjadi maka menimbulkan masalah yang disebut dengan dislokasi.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan
a. Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
R : Rest = Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
I : Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa nyeri.
C : Compression = Membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
E : Elevasi = Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema (pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1. Kompres dingin
Teknik: potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air lalu kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh – tiga puluh menit dengan interval kira-kira sepuluh menit.
2. Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus dengan lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh menit.
3. Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh menit.
4. Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke bagian tubuh yang cedera.
c. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan medis : Farmakologi
1. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut contoh obat analgetik :
a. Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa 1tablet atau 3tablet perhari, anak > 5tahun setengah sampai 1tablet, maksimum 1 ½ sampai 3tablet perhari.
b. Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet, Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot, Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal, efek samping : mual muntah, agranulositosis, aeukopenia, Dosis: dewasa awal 500 mg lalu 250 mg tiap 6 jam.
2. Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).
3. Pemasangan pembalut elastis atau gips, atau jika keseleo berat, pemasangan gips lunak atau bidai untuk imobilisasi sendi.
4. Pembedahan yang segera dilakukan untuk mempercepat kesembuhan, termasuk penjahitan kedua ujung potongan ligamen agar keduanya saling merapat.
2.8 Komplikasi
Komplikasi dislokasi meliputi :
1. Komplikasi dini
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat mengerutkan oto deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tersebut.
b. Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
c. Fraktur dislokasi
d. Kerusakan arteri, pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya nadi,CRT (capillary refill time) menurun, sianosis pada bagian distal,hematoma melebar,dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan darurat spilinting,perubahan posisi pada yang sakit,tindakan reduksi,dan pembedahan.
2. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menentukan otot, saraf dan pembuluh darah, atau karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat
3. Komplikasi lanjut
4. Kekakuan sendi bahu, Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
5. Kelemahan otot
6. Dislokasi yang berulang, terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.
BAB III
ASKEP DISLOKASI TEORITIS
3. 1 Pengkajian
1. Identitas
Nama ,umur , pendidikan , suku bangsa , pekerjaan , penanggung jawab, agama, status kawin , alamat , no medical record , ruang rawat , tanggal masuk , diagnosa medic , yang mengirim/merujuk , tinggi badan/berat badan , sumber informasi.
2. TTV
a. Nadi : 100 x/ menit
b Pernapasan : 28 x/menit
c. Tekanan darah : 130/80 mmHg :
d. Suhu : 36,50 C
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses penyembuhan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluhkan nyeri pada bagian yang terjadi dislokasi, pergerakan terbatas, klien melaporkan penyebab terjadinya cedera. Biasanya dislokasi terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, benturan benda keras pada sendi, jatuh dari pohon, dll.
c. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya. Dan penyakit ini bukan merupakan penyakit turunan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut dan hygiene kepala
- Warna rambut : Hitam
- Keadaan rambut : Bersih, tidak rontok.
- Kulit kepala : Bersih, tidak ada ketombe.
- Bau : Rambut pasien tidak berbau.
b. Wajah
Mata
- Posisi : Simetris kiri kanan
- Konjungtiva : Menutupi pupil , anemis.
- Sklera : Putih, tidak ikterik, tidak ada pembesaran palpebrae.
- Pupil : Isokor kiri kanan = 3 mm
Respon cahaya baik.
Hidung : Biasanya normal, simetris kiri kanan
Tidak ada peradangan polip, Tidak ada sekret,
Tidak ada perdarahan
Telinga
- Bentuk : Simetris kiri kanan.
- Pendengaran : Normal.
- Serumen : Tidak ada.
Bibir : Biasanya normal, tidak ada oedema, Mukosa bibir lembab.
Tidak ada stomatitis dan apthae (Sariawan),Mulut tidak berbau
Gigi : Biasanya normal, Tidak ada caries gigi, karang gigi.
Tidak ada abses dan gusi tidak meradang.
Lidah : Biasanya normal, bersih.
c. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid & getah bening.
JVP : 5 - 2 cm air (normal).
d. Dada dan Thorax
- Inspeksi : biasanya dada simetris kiri kanan , tidak ada edema , tidak ada kelainan bentuk dada.
- Palpasi : biasanya getaran dada kiri kanan sama (vocal fremitus)
- Perkusi : biasanya bunyi suara nya sonor
- Auskultasi : bunyi nafasnya vesikuler (inspirasi lebih panjang dari ekspirasi)
e. Jantung
- Inspeksi : Biasanya ictus cordis terlihat.
- Palpasi : Biasanya ictus cordis teraba.
- Perkusi : Biasanya bunyi jantung redup atau pekak.
- Auskultasi : Biasanya tidak didapatkan bunyi jantung tambahan.
f. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk perut , Biasanya tidak membuncit, Dinding perut, Sirkulasi kolateral ada.
- Auskultasi : Bising usus 5-35x/i (normal)
- Palpasi : Tidak ada pembesaran pada abdomen, hepar tidak teraba.
Turgor kulit : normal, kulit tampak bagus.
- Perkusi : Tympani (normal).
g. Ekstremitas
Biasanya ektremitasnya bermasalah karena terjadi pergeseran antara tulang dan sendi
h. Pemeriksaan saraf kranial
1. Saraf : pada klien dislokasi fungsi saraf I tidak ada kelainan, fungsi penciuman tidak ada kelainan .
2. Saraf II : setelah dilakukan tes ,ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
3. Saraf III , IV dan V : biasanya tidak ada gangguan mengangkat , kelopak mata dan pupil isokor.
4. Saraf VI : klien dislokasi umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan biasanya refleks kornea tidak ada kelainan.
5. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris .
6. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tulikonduktif dan tuli persepsi .
7. Saraf IX dan X : kemapuan menelan baik.
8. Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
9. Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi . indra pengecapan normal.
10. Pemeriksaan refleks : biasanya tidak didapatkan refleks patologis.
11. Pemekriksaan sensorik : biasanya fungsi sensorik tidak ada kelainan.
Analisa Data
Symptom
Etiologi
Problem
DS :
Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas-
Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat
Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi
DO :
Wajah Nampak meringis
Skala nyeri 5 (0-10
Pembengkakan local
Adanya trauma
Pergeseran frakmen tulang
Terputusnya kontinuitas tulang
Deformitas tulang
Gangguan bentuk dan pergeseran
Proses inflamasi
Nyeri dipersepsikan
Nyeri Akut
Nyeri Akut
DS :
Klien mengatakan sangat lemas
Klien mengatakan susah bergerak
Klien mengatakan terjadi kekauan pada sendi
DO :
Klien nampak lemas
Keterbatasan mobilitas
Adanya trauma
Dislokasi pada sendi (Kelainan kongenital,infeksi dari penyakit lain)
Trauma dislokasi sendi
Deformitas tulang
Gangguan bentuk dan pergerakkan
Kesulitan dalam menggerakkan sendi
Gangguan mobilitas fisik
Gangguan mobilitas fisik
DS :
Klien bertanya-tanya tentang penyakitnya
DO :
Klien nampak cemas
Adanya trauma
Pergeseran frakmen tulang
Terputusnya kontinuitas tulang
Kurang terpaparnya informasi tentang penyakitnya
Kurang pengetahuan
Ansietas
Ansietas
3.2 Diagnosa Keperawatan
Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cidera fisik ditandai oleh adanya diskontinuitas jaringan
Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit ditandai oleh pasien bertanya-tanya tentang sakit yang di alaminya.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai oleh deformitas dan nyeri saat mobilisasi
Intervensi
No
DIAGNOSA KEPERAWATAN DITEGAKKAN / KODE DIAGNOSA KEPERAWATAN
NOC DAN INDIKATOR
SERTA SKOR AWAL DAN SKOR TARGET
URAIAN AKTIVITAS RENCANA TINDAKAN (NIC)
1.
Nyeri Akut yang berhubungan dengan Agens cidera fisik ditandai oleh adanya diskontinuitas jaringan
Kode Diagnosa Keperawatan : (00132)
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam gangguan rasa nyeri akut pasien teratasi dengan
Kriteria Hasil:
Tingkat Nyeri(2102)
Kode
Indikator
S.A
S.T
210212
210208
210221
210206
Tekanan darah
Tidak bisa beristirahat
Menggosok area yang terkena dampak
Ekspresi nyeri wajah
2
2
2
2
5
5
5
5
Keterangan : 1:Berat, 2:Cukup berat, 3: Sedang, 4: Ringan, 5: Tidak ada( TD:120/80 mmHg, mampu beristirahat, tidak menggosok area yang sakit, ekspresi wajah tidak meringis
Manajemen Nyeri
Aktivitas :
1.) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, beratnya nyeri/faktor pencetus
2.) Gali bersama pasien faktor – faktor yang dapat menurunkan/ memperberat nyeri
3.) Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyeri nya dengan tepat
4.) Dukung istirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri
5.) Kolaborasi pemberian analgesik(antarin)
3.4 Implementasi dan Evaluasi
NO
TGL/ JAM
DIAGNOSA KEPERAWATAN DITEGAKKAN /KODE DIAGNOSA KEPERAWATAN
IMPLEMENTASI
EVALUASI
(PERBANDINGAN SKOR AKHIR TERHADAP SKOR AWAL DAN SKOR TARGET)
NAMA DAN TTD PERAWAT
1.
14-09-2016/
Jam 09.00
Tgl/Jam
15-09-2016
/ jam 08.30
Jam12.00
Nyeri Akut yang berhubungan dengan Agens cidera fisik ditandai oleh adanya diskontinuitas jaringan
1. Melakukan pengkajian nyeri pada pasien secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Respon: Pasien tampak memegangi area yang nyeri, skala 5, rasa nyeri sering timbul
2.)Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Respon : Pasien tampak meringis kesakitan
1.) Membantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
Respon: Pasien dan keluarga mengikuti arahan perawat dengan baik
2.) Mengajarkan tentang teknik non farmakologi seperti relaksasi (nafas dalam)
Respon : Pasien mengikuti dengan baik dan benar
3.) Memberikan analgetik (antrain) sesuai tingkat nyeri melalui IV dengan dosis 2 x 50 mg untuk mengurangi nyeri
Respon : Pasien tampak tidak meringis, dan skala nyeri berkurang skala 3
4.)Memantau adanya tanda – tanda vital dan nyeri
Respon : Nadi 90 x/ menit, RR : 22x/ menit, TD: 120/80 mmHg, T: 36,5 0 C, skala nyeri 2
1.)
S : " Pasien mengatakan bahwa rasa nyeri sudah berkurang
O : "Nadi 90 x/ menit, RR : 22x/ menit, TD: 120/80 mmHg, T: 36,5 0 C, skala nyeri 2, pasien tidak tampak meringis, pasien tidak memegangi area yang sakit/nyeri
Kode
indikator
S.A
S.T
C
210212
210208
210221
210206
Tekanan darah
Tidak bisa beristirahat
Menggosok area yang terkena dampak
Ekspresi nyeri wajah
2
2
2
2
5
5
5
5
5
5
5
5
Nyeri akut teratasi
P : Intervensi dihentikan
Penkes :
- Anjurkan banyak istirahat
- Anjurkan minum obat secara teratur
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan me lindungin beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menye diakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.
Dislokasi terjadi saat ligamen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).
4.2 Saran
Dengan diberikannya tugas ini mahasiswa dapat lebih memahami dan mengerti tentang bagaimana penyakit dislokasi dan dapat melakukan perawatan yang baik dan tepat serta menegakkan asuhan keperawatan yang baik. Dengan adanya hasil tugas ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan untuk menambah wawasan dari ilmu yang telah didapatkan dan lebih baik lagi dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC
NANDA NIC NOC International. 2013 Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Arif Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskululoskeletal. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC
Arif Muttaqin. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta : EGC