REDING TASK EKSIBIONISME
DISUSUN OLEH
BQ. PRITA RIANTIANI W. RYAN KHARISMA LOJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL AZHAR MATARAM 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah hasil diskusi kami di semester ganjil pada modul KESEHATAN JIWA ini dengan bahasan “EKSIBIONISME” . Dimana dalam
penyusunan makalah ini bertujuan agar mahasiswa Kedokteran Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi mahasiswa. Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada para dosen yang menjadi tutor yang
membimbing kami selama melaksanakan diskusi ini,juga
teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat diselesaikan. Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangannya sehingga kami menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan makalah ini.
Mataram, September 2012
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalahan Dewasa ini terdapat berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks yang akibatnya dapat mempengaruhi psikis ataupun fisik. Dan hubungan atau interaksi individu dengan individu yang lain terkadang terjadi hubungan yang tidak harmonis serta menyebabkan perilaku yang berbeda atau lazimnya disebut kelainan. Manusia merupakan makhluk yang unik dan menarik untuk dipelajari seluk-beluknya. Hal ini mencakup semua aspek yang membentuk pribadi individu, baik dari segi individunya sendiri, ataupun kehidupan sosialnya. Dalam menjalani kehidupannya manusia pasti mempunyai permasalahan dan dari permasalahan ini harus dicari penyelesaiannya. Permasalahan
yang
akan
diangkat
dalam
makalah
ini
adalah
permasalahannya tentang “Gangguan Seksual” khususnya eksibionisme. Dalam
dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual merupakan ruang lingkup di dalamnya. Berdasar DSM IV TR (dari Asosiasi Psikiatrik Amerika) diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual, Parafilia dan Gangguan Identitas Gender.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui gangguan abnormalitas seksual jenis eksibionisme di masyarakat. C. Manfaat
Penulisan makalah ini bermanfaat menambah wawasan tentang perilaku menyimpang seksual eksibionisme sehingga dapat memberikan informasi kepada pembaca.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Eksibionisme adalah kepuasan yang diperoleh dengan memperlihatkan bagian tubuh lain, pada lawan jenis atau anak-anak. Memperlihatkan alat kelamin sering dilakukan di tempat umum seperti kereta, taman, perpustakaan, halaman sekolah, bus, depan bioskop, di jalan raya. Setelah memamerkan alat genitalnya, penderita tidak bermaksud melakukan aktivitas seksual lebih lanjut terhadap korban misalnya memperkosa. Oleh sebab itu gangguan ini tidak berbahaya secara fisik bagi korban. Diantara orang-orang dewasa memperlihatkan alat kelamin yang patologik lebih sering dilakukan oleh laki-laki sedangkan memperlihatkan bagian tubuh dengan batas-batas tertentu sering dilakukan eksibinisme oleh perempuan.
B. Etiologi dan Patofisiologi
Eksibionisme termasuk kedalam kelainan seksual parafilia. Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan. Parafilia mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa (Feray, 1990). Ada beberapa etiologi dan factor yang mempengaruhi kelainan seksual parafilia: 1. Faktor psikososial Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah penyesuaian heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik. Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode yang dipilih oleh
seseorang
(biasanya
laki-laki)
untuk
mengatasi
kecemasan
yang
disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun
kacaunya
manifestasi,
perilaku
yang
dihasilkan
memberikan jalan keluar untuk dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam perilaku seksual yang tepat. Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud dan koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses mating pada pria dan wanita. Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual intercourse pada tahap awal perkembangan seksual. Fase Definitif Courtship a. Locating partner potensial fase inisial dari courtship. b. Pretactile interaction berbicara, main mata dst. c. Tactile interaction memegang, memeluk, dst. (foreplay). d. Effecting genital union sexual intercourse
2. Faktor organik Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai respon stimulasi parafilia dan nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat menekan respon erektilnya.
3. Teori Behavioural (kelakuan) Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika objek nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya dorongan positif tapi bisa disebabkan
oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak laki-laki suka membanggakan
penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya. Akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal. Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning
bukan
satu-satunya
hal
yang
berperan
pada
perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah kepercayaan diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia.
4. Teori Dawkin (teori transmisi gen) Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prepubertas tetapi ada beberapa orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya stimulus eksternal bias mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak- anaknya.
5. Teori Darwin Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas jika dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive. Kualitas yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik dapat menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung jawab untuk kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya sedangkan pria cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan banyak
wanita (tidak memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia sering terjadi pada pria. Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 12-19 tahun memikirkan seks 20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit Pria usia 30-39 tahun, memikirkan seks 4 kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan, mengapa parafilia biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.
C. Kriteria Diagnosis dan Gejala Klinis Eksibionisme
Eksibisionisme adalah dorongan berulang untuk menunjukkan alat kelamin pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya. Kegairahan seksual terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan tersebut, dan orgasme didapatkan melalui masturbasi selama atau setelah peristiwa. Dinamika laki-laki dengan eksibisonisme adalah untuk menegaskan maskulinitas mereka dengan menunjukkan penis dan dengan melihat reaksi korban — ketakutan, kaget, jijik. Kriteria diagnosis eksibisionisme menurut DSM-IV-TR adalah: A. Untuk periode waktu sedikitnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan atau perilaku seksual yang intens dan berulang yang melibatkan menunjukkan alat kelamin seseorang pada orang asing yang tidak menduganya. B.
Orang tersebut telah melakukan dorongan seksual ini, atau dorongan atau khayalan seksual menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
Sedangkan menurut PPDGJ-III, pedoman diagnosis eksibisonisme adalah:
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat utuk berhubungan lebih akrab.
Eksibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.
Pada beberapa penderita, eksibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan (simultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.
Kebanyakan penderita eksibisionisme mendapatkan kesulitan dalam mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat “ego -alien” (suatu benda asing bagi dirinya).
D. Terapi
1. Psikoterapi berorintasi tilikan Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya
sendiri
dan
peristiwa-peristiwa
yang
menyebabkan
perkembangan parafilia. Secara khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau dikhayalkan). Psikoterai juga
memungkinkan
pasien
meraih
kembali
harga
dirinya
dan
memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.
2. Terapi seks Adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang tidak menyimpang dengan pasangannya.
3. Terapi perilaku Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan bertindak atas dasar impulsnya.
4. Terapi obat Termasuk
medikasi
antipsikotik
dan
antidepresan,
adalah
diindikasikan sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan gangguan-gangguan tersebut. Antiandrogen, seperti ciproterone
acetate di
Eropa
dan medroxiprogesterone
acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara
eksperimental
pada
parafilia
hiperseksual. Medroxiprogesterone
acetate bermanfaat bagi pasien yang dorongan hiperseksualnya diluar
kendali atau berbahaya (sebagai contoh masturbasi yang hampir terusmenerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti Fluoxetin (prozac) telah digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan yang terbatas.
5. Terapi Aversi Aversion therapy yang dilakukan dengan cara kecemasan diberi
pada saat pasien parafilia mengalami rangsangan seksual (rangsangan abnormal). Sehingga pasien akan merasa cemas ketika terjadi rangsangan sexual yang tidak normal tersebut dan menyebabkan penurunan libido. Cara yang digunakan biasanya pasien memakai seperangkat elektroda yang dapat menghantarkan listrik. Dan pasien diberikan barang, gambar, atau apapun yang menjadi rangsangan abnormal baginya. Ketika pasien mulai berfantasi dengan barang yang diberikan, pada saat itu juga pasien diberi kejutan listrik yang menyakitkan. Dengan begitu akan timbul rasa cemas ketika pasien berhadapan dengan barang, gambar, atau apapun yang dapat membuat rangsangan abnormal tadi, sehingga libido pasien terhadap barang-barang tadi dapat berkurang. Untuk sebagian besar pasien yang telah diterapi mengalami perkembangan bagus dalam segi seksual normalnya. Tetapi ada beberapa pasien yang tidak mengikuti latihan selama 2 minggu mengalami spontaneous
recovery
atau
kambuh
mendadak
sehingga
pasien
memerlukan terapi kembali dan biasanya setelah itu pasien sembuh total.
6. Terapi pembedahan (kastrasi) Yaitu melakukan operasi dengan menghilangkan testikel yang menjadi sumber testosteron. Tetapi hanya digunakan pada orang-orang yang tingkah laku seksualnya membahayakan orang lain seperti para pemerkosa. Sebagaimana penelitian di Jerman Barat melaporkan bahwa 39 pemerkosa yang dikastrasi dan dibebaskan dari penjara, frekuensi fikiran tentang seks, masturbasi, dan persetubuhan sangat berkurang. Tetapi 50% dilaporkan masih mampu melakukan hubungan seksual.
E. Prognosis
Prognosisnya berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat. Perjalanan penyakit dan prognosisnya baik jika pasien memiliki riwayat koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat sendiri, bukannya dikirim oleh badan hukum.
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Eksibionisme adalah kelainan seksual dengan cirri kesenangan memperlihatkan alat kelamin atau bagian tubuh lain kepada lawan jenis atau anak-anak. Eksibionisme juga termasuk dalam kategori gangguan seksual parafilia yaitu sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa.
B. Saran
Jangan melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat khususnya Indonesia karena penyimpangan tersebut dapat merugikan diri sendiri dan kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Fausiah, Fitri. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Feray, Jean Claude, Herzer, Manfred. (1990). Homosexual Studies and Politics in th the 19 Century. Karl Maria Kertbeny. Journal of Homosexuality Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2002). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psiatri klinis. Jakarta : Binarupa Aksara. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2002). Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga. DSM-IV TR