BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf ). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi : 1. Teori biologis (somatik),mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi (ECT). 2. Psikoterapeutik. 3. Terapi Modalitas. Psikofarmakologi psikoterapi.
Beberapa
adalah hal
komponen
yang
termasuk
kedua
dari
management
Neurotransmiter
adalah
Dopamin,Neuroeprineprin, Serotonin dan GABA (Gama Amino Buteric Acid),dll. Meningkatnya dan menurunnya kadar / konsentrasi neurotransmiter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat – obatan psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmiter.
2.2 Klasifikasi Obat Psikofarmaka
Psikofarmaka dalam arti sempit, yang utama digunakan untuk penanganan gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yakni : a. Anti-Psikotis (dahulu disebut neuroleptika atau major tranquilizer) yang bekerja sebagai antipsikosis dan sedatif. Obat ini digunakan khusus untuk berbagai jenis antipsikosis misal schizofernia dan mania. b. Anti-Depresan, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa terutama digunakan pada keadaan depresi, panik dan fobia. 3
c. Anti-Mania, digunakan untuk mengendalikan kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil ( kleptomania). d. Anti-Ansietas,
digunakan
untuk
mengatasi
kecemasan
dan
juga
mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan antiepileptic. e. Anti-Insomnia, digunakan untuk pesien yang mengalami gangguan susah tidur f. Anti-Panik g. Anti-Obsesif Kompulsif
Tabel 1. Klasifikasi Psikofarmaka dan Obat Acuan yang digunakan
4
2.3 Anti-Psikotika
2.3.1 Definisi
Antipsikotika (major transquilizer) adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan apat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayal (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia dan psikosi mania depresif.
2.3.2 Klasifikasi
Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis. 1. Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif. pada umunya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut: a. Derivat-fenotiazin: triflupromazin, flufenazin,
klopromazin,
thiorizidin,
perazin,
dan
levomepromazin periciazin,
trifluoperazin,
perfenazin
proklorperazin,
dan dan dan
thietilperazin. b. Derivat-thioxanthen : klorprotixen, dan zuklopentixol. c. Derivat-butirofenon : haloperidol, bromperidol, pimpaperon dan droperidol. d. Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen, penfluridol. 2. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan quetiapin) bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan extrapiramidal dan dyskinesia tarda. Sertindol setela dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari peredaran di eropa, karena dari beberapa kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian mendadak. Obat atypis lainnya yang sudah tersedia dinegara lain yag sudah tersedia dinegara lain sejak 1988 adalah zotepin dan ziprasidon. 5
2.3.3 Mekanisme Kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal dan obat-obat ini melakukan kegiatnnya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau anatar keseimbangannya. Antipsikotika menghambat agak kuat reseptor dopamin disistem limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor, serotonin, muskarin dan histamin. Tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade D2 tidak selalu cukup untuk menanggulangi schizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin, glutamat, GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi. Mulai kerjanya blokade D2 cepat, begitupula efeknya pada keadaan gelisah. Sebaliknya kerjanya terhadap gejala psikosis lain, seperti waham, halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin efek lambat ini disebabkan sistem reseptor dopamin menjadi kurang peka. *antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D1 dan D2 sehingga lebih efektif dari pada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda. a) sulpirida terutama menghambat resptor D2 dan praktis tanpa afinitas bagi reseptor lain. Pada dosis rendah (dibawah 600 mg/hari) terutama bekerja antagonistis terhadap reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih lebih tingi (diatas 800 mg/hari) juga terhadap reseptor D2 postsinaptis, seperti obat-obat klasik. Efek antipsikotis terutama dicapai pada dosis lebih tingi dan dosis rendah berguna pada psikosis dengan tertutama simtom negatif.
6
Gambar 1. sulpirida b) Klozapin ikatannya pada resptor D2 agak ringa (± 20%) dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya kuat, yang bisa dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relatif tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari resptor D2, D4 dan -5HT. blokade reseptor muskarin dan
D4
disuga
mengurangi
GEP,
sedangkan
blokade
5HT2
meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin diotak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D2, tetapi mengurangi ri siko GEP.
Gambar 2. Klozapin
a. Risperidon juga terutama menghambat reseptor D2 dan -5HT, dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor –α1, – α12, –H1. Blokade α1 dan α12 dapat menimbukan masingmasing hipotensi dan depresi sedangkan blokade H1, berkaitan degan sedasi.
7
Gambar 3. Risperidon c) Olanzapin menhambat semua reseptor dopamin (D1 s/d D5) dan reseptor H1, -5HT2, adrenergis dan kolinergis, dengan afinitas lebih itnggi untuk reseptor -5HT2 dibandingkan D2.
Gambar 4. Olanzapin d) Reboxetin (Edronax) yang secara selektif menghambat reuptake noradrenalin.
Gambar 5. Reboxetin 2.3.4 Cara Penggunaan
Umumnya
dikonsumsi
secara
oral,
yang
melewati
“first-pass
metabolism” di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi shortacting Intra muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 8
minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti -psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping, sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap skizofrenia. Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM). Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil 3- 4x2 mg/hari.
2.3.5 Efek Samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan yang paling sering terjadi adalah: a)
Gejala ekstrapiramidal (GEP) GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya
gerak berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan kekakuan anggota tubuh, kadang-kadang tremor tangan dan keluar liur 9
berlebihan.
Gejala
lainnya
“rabbit-syndrome”
(mulut
membuat
gerakan mengunyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah beberapa munggu atau bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja antikolinergis. Insidensinya 2-10%.
Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala
miring, gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang. Guna menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis.
Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam
tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis: duduk, a: tidak, tanpa). Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan antikolinergika. Akathisia juga dapat diatasi dengan propranolol atau benzosiazepin.
Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya
otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi permanen. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan antara lain dengan dosis kumulatif(total) yang telah diberikan. Risiko efek samping ini meningkat pada penggunaan lama dan tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia, insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan menaikkan dosis , tetapi kemudian timbul kembali secara lebih hebat. Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.
Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan
GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia, berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak bergantug pada dosis, terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2 minggu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya sukar , tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.
b) Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang
identik dengan PIF( Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah banyak. 10
c) Sedasi
yang
bertalian
dengan
khasiat
antihistamin,
khususnya
klorpromazin, thioridazin., dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada zat-zat difenilbutilamin. d) Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor
, adrenergis, misalnya
∝
klorpromazin , thioridazin, dan klozapin. e) Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih dan tachycardia,
terutama
pada
lansia.
Efeknya
khusus
kuat
pada
klorpromazin,thioridazin dan klozapin. f) Efek antiseerotonin akibat blokade reseptot-5HT, yang berupa stimulasi nafsu makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia. g) Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya adiktif. Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut. Efek ini terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu penghentianya selalu perlu berangsur. h) Efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang karakteristik bagi obat-obat tertentu, yakni:
Fenotiazin: sering kali reaksi imunologis, seperti fotosensibilisasi, hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, jarang pada zat-zat thioxanten. Efek lainnya berupa kelainan mata dengan endapan
pigmen di lensa dan kornea, serta retinopati pada thioridazin(dosis diatas 800 mg/hari).
Klozapin:
dapat
menimbulkan
agranulositosis
(1-2%),juga
bradycardia, hipotensi ortostatis dan berhentinya jantung.
Olanzapin dan risperidon pada lansia yang menderita Alzheimer dapat mengakibatkan
kerusakan
cerebrovaskuler,
yang
meningkatkan
mortalitasnya dengan lebih dari dua kali, tidak tergantung dari lama dan dosisnya penggunaan.
11
2.3.6 Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran
2.4 Anti-Depresan
2.4.1 Definisi
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan fobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa (fluoxetine). Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan. Terapi jangka panjang dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake norepinephrine atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor beta pascasinaptik, dan berkurangnya pembentukan cAMP.
Gambar
6.
Skema
diagram
antidepresan
12
kemungkinan
tempat
kerja
obat
2.4.2 Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.
2.4.3 Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan: Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA) Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor) reversibel. Tabel 2
Tabel 3
13
Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan pada berbagai kondisi medik), spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat minimal, serta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongan trisiklik, yang spektrum anti depresinya juga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat. Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum anti depresi yang lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan dibandingkan trisiklik, yang teringan adalah golongan MAOI. Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk “washout period” guna mencegah timbulnya “serotonin malignant syndrome”.
2.4.4 Pemberian Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
efek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari). Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu: a.
Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
b.
Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
c.
Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
d.
Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
e.
Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari
14
selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari à 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu. Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan. Pemberian obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction potential”-nya sangat minimal.
Tabel 4. Klasifikasi Obat Anti-Depresan
15
2.4.5 Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi
. 2.4.6 Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi).
SSRI : nausea, sakit kepala
MAOI : interaksi tiramin Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic
syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya: Gastric lavage
Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
16
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf ). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi : 1. Teori biologis (somatik),mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi (ECT). 2. Psikoterapeutik. 3. Terapi Modalitas.
Antipsikotika (major transquilizer) adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan apat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu anipsikotika trutam digunakan psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia dan psikosi mania depresif.
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan fobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa (fluoxetine). Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter 17
biogenik amin memiliki mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan. Terapi jangka panjang dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake norepinephrine atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor beta pascasinaptik, dan berkurangnya pembentukan cAMP.
3.2 SARAN
Dengan adanya makalah ini semoga menjadi manfaat dan menambah ilmu kita semua, kami sangat mengharapkan saran dan komentar yang membangun demi perbaikan kedepannya
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care Untuk Penderita Gangguan Depresif. 2007. Jakarta 2. VR, Anggraini. Bab 2 Tinjauan Pustaka Xerostomia. 2010. Universitas Sumatera Utara. 3. Y, Yuniastuti. Bab 1 Obat Antidepresan. 2013. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 4. Dr.Endro nugroho,Agung M.si,Apt FARMAKOLOGI Obat-obat penting dalam ilmu pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan 5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21375/4/Chapter%20II.pdf 6. http://eprints.ums.ac.id/26195/2/BAB_1.pdf 7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40879/4/Chapter%20II.pdf
19