BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data terakhir, Indonesia memiliki kekayaan tumbuhan 5 (lima) besar di dunia. Tumbuhan merupakan bahan baku yang banyak digunakan sebagai obat herbal. Hal tersebut tentunya menjadi potensi besar yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menunjang sektor kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Berdasarkan
riwayat
penggunaan
tumbuhan,
obat
herbal
dapat
dikelompokkan menjadi obat herbal tradisional dan obat herbal nontradisional. Obat herbal tradisional Indonesia dapat berupa Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) serta Fitofarmaka, mengandung tumbuhan yang telah digunakan secara turun-temurun yang merupakan warisan budaya bangsa Indonesia. Obat herbal nontradisional mengandung tumbuhan yang tidak memiliki riwayat penggunaan turun-temurun, namun berpotensi memiliki manfaat bagi kesehatan masyarakat. (PerKBPOM,2014). Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengembangan obat. Untuk menghasilkan produk obat yang bermutu, aman dan berkhasiat diperlukan suatu tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan awal, proses pembuatan serta pengawasan terhadap mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene, sanitasi serta personalia yang terlibat di setiap proses produksi. Di Indonesia sendiri terdapat industri farmasi salah satunya industri fitofarmaka. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan bahan alam yang telah dibuktikan dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji uji praklinik dan ujiklinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Mendirikan industri industri farmasi dibidang fitofarmaka merupakan salah satu upaya penyediaan obat untuk menjaga program kesehatan nasional dan sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas sediaan
obat bahan alam. Terlebih lagi mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk fitofarmaka untuk untuk bersaing dengan produk sediaan farmasi yang menggunakan bahan – bahan sintetik. Dalam fitofarmaka, pengawasan secara menyeluruh disertai pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu tergantung dari bahan awal, proses produksi, uji klinis, pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani. Hal ini berkaitan dengan seluruh aspek produksi produksi dan periksaan mutu. Oleh karena itulah alasan sehingga kami membuat proposal ini, guna untuk dapat membahas tentang bagaimana proses untuk mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Industri Fitofarmaka ? 2. Bagaimana cara mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka ? 3. Bagaimana cara perizinan mendirikan Industri Farmasi Fitofarmaka ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Fitofarmaka. 2. Untuk mengetahui cara mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka. 3. Untuk mengetahui cara perizinan dalam mendirikan Industri Farmasi di bidang Fitofarmaka.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Farmasi 2.1.1
Pengertian Industri Farmasi
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat meliputi seluruh tahan kegiatan dalam
menghasilkan obat mulai dari
pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat yang didistribusikan. Proses pembuatan obat dan/atau bahan obatnya dapat dilakukan oleh industri farmasi.
2.1.2
Persyaratan Usaha Industri Farmasi
Setiap industri farmasi wajib memiliki izin industri farmasi dari Direktur Jendral. Wewenang Pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB). Persyaratan lain untuk memperoleh izin industri farmasi t erdiri atas: a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas. b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu. e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian. Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip yang diajukan secara tertulis kepada Direkur Jendral dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Pengajuan permohonan prinsip untuk pendirian usaha industri farmasi diajukan kepada Direktur Jendral. Permohonan persetujuan prinsip
dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan
urusan
penanaman
modal
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Persetujuan prinsip diberikan setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan. Setiap industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Bila industri farmasi menemukan obat dan atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/keamanan dan mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap berproduksi sesuai persyaratan CPOB. Izin industri farmasi diberikan kepada Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip, industri farmasi dapat mengajukan permohonan izin industri farmasi. Permohonan izin industri farmasi diajukan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Setempat. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh Direktur Utama dan Apoteker Penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut: a. Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi; b. Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri; c. Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan; d. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya; e. Fotokopi sertifikat upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan/Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; f. Rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari kepala dinas kesehatan provinsi; g. Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan; h. Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir;
4
i.
Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
j.
Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-rnasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan;
k. Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masingmasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu; dan l.
Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian. Persyaratan registrasi obat dalam negeri menurut persyaratan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 sebagai berikut: a. Registrasi obat produk dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri. b. Industri farmasi yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan CPOB. c. Pemenuhan persyaratan CPOB yang dimaksud dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan. Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. Industri farmasi yang menghasilkan obat atau bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi wajib menyampaikan laporan industri kepada Direktorat Jenderal BPOM mengenai kegiatan usahanya setiap 6 bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dan setiap 1 tahun untuk laporan lengkapnya.
5
Jika industri farmasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. Peringatan secara tertulis; b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; d. Penghentian sementara kegiatan; e. Pembekuan izin industri farmasi; atau f. Pencabutan izin industri farmasi.
2.1.3
Perizinan Usaha Industri di Daerah
Mendirikan sebuah industri di suatu daerah wajib memiliki izin dari pemerintah daerah setempat. Pemberian Izin Usaha Industri melalui Persetujuan Prinsip. 1. Persetujuan Prinsip diberikan kepada perusahaan industri untuk melakukan persiapan
dan
usaha
pembangunan,
pengadaan,
pemasangan
instalasi/peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. 2. Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut : a. Copy Izin Gangguan. b. Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. c. Dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Peraturan. 3. Perundang-Undangan
bagi
industri
tertentu.
Persetujuan
Prinsip
sebagaimana dimaksud pada huruf a bukan merupakan Izin untuk melakukan produksi komersial.
6
4. Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri yang bersangkutan wajib menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi sesuai dengan Persetujuan Prinsip setiap 1 (satu) Tahun sekali paling lambat 31 Januari Tahun berikutnya. 5. Pemegang
Persetujuan
Prinsip
yang
tidak
dapat
menyelesaikan
pembangunan pabrik dan sarana produksi dalam waktu 3 (tiga) Tahun dapat mengajukan permintaan Perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selambat-lambatnya 1 (satu) Tahun. 6. Perusahaan Industri yang telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, wajib mengajukan permintaan Izin Usaha Industri dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut : a. Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, Akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. b. Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB) c. Copy Surat Persetujuan Prinsip. d. Informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi (proyek). e. Copy Izin Gangguan. f.
Copy Izin Lokasi.
g. Copy dokumen penyajian informasi tentang usaha-usaha pelestarian lingkungan yang meliputi : 1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ; 2) Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. h. Dokumen tambahan yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan bagi industri tertentu. 7. Pejabat sesuai dengan kewenangannya harus mengadakan pemeriksaan lokasi pabrik guna memastikan bahwa pembangunannya telah selesai. 8. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf g pejabat yang berwenang : a. Memberikan Izin Usaha Industri.
7
b. Menundanya dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan pabrik dan sarana produksi b elum selesai dan atau belum memenuhi persyaratan. Permohonan perizinan industri farmasi kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) memiliki Izin Lokasi. b. Memiliki Izin Gangguan. c. Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). d. Telah selesai membangun pabrik dan sarana produksi. Pencabutan izin pendirian industri farmasi juga dapat terjadi jika: a. Perusahaan Industri yang melakukan perluasan tanpa memiliki Izin Perluasan. b. Perusahaan Industri yang melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu. c. Perusahaan Industri yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran akibat kegiatan usaha industri terhadap lingkungan hidup melampaui batas baku mutu lingkungan. d. Perusahaan Industri yang melakukan kegiatan usaha industri tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Izin yang diperolehnya. e. Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan informasi industri atau dengan sengaja menyampaikan informasi industri yang tidak benar.
2.1.4
Pembinaan dan Pengawasan
Permohonan terhadap perkembangan industri farmasi dilakukan oleh Direktur Jendral dan pedoman mengenai pembinaan ditetapkan oleh Kepala BPOM. Pengawasan terhadap industri farmasi dilakukan oleh Kepala BPOM. Dalam melakukan pengawasan, tenaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan seperti berikut: a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat untuk memeriksa, meneliti,
8
dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat. b. Membuka dan meneliti kemasan obat dan bahan obat. c. Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut. d. Mengambil gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan, perdagangan obat dan bahan obat. 2.1.5
Pencabutan Izin Industri Farmasi
Izin usaha industri farmasi dicabut dalam hal: a. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapatkan izin usaha industri farmasi melakukan pemindahtanganan hak milik izin sesuai dengan ketentuan dalam surat keputusan. b. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi tidak menyampaikan informasi industri farmasi secara berturut-turut 3 ( tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar. c. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Menteri. d. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat iz in usaha industri farmasi dengan sengaja memproduksi obat jadi dan atau bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku. e. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam izin usaha industri farmasi yang ditetapkan dalam surat keputusan.
2.2
Fitofarmaka
2.2.1
Pengertian Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah, protokol uji yang telah disetujui, pelaksana yang
9
kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah. Adapun prioritas pemilihan untuk fitofarmaka, yaitu: a. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh. b. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia. c. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar. d. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita. e. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan. Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman. Standar Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Material Indonesia harus mendapat persetuiuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. Untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan tentang rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain sebagainya. Penggunaan zat kimia berkhasiat (tunggal murni) dalam fitofarmaka dilarang. Fitofarmaka harus didukung oleh hasil pengujian, dengan protocol pengujian yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengujian meliputi toksisitas, uji efek, farmakologik, uji klinik, uji kualitas dan pengujian lain yang
10
dipersyararkan. Setiap fitofarmaka harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Pada analisis terhadap ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya. Secara bertahap industri harus mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia simplisia yang digunakan.
2.3 Lokasi dan Bangunan
Lokasi pabrik/industri obat tradisional bebas dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan. Menurut BPOM tahun 2005, bangunan industri obat tradisional hendaklah menjamin aktifitas industri dapat berlangsung dengan aman. 1. Bangunan industri obat tradisional hendaklah berada di lokasi yang terhindar dari pencemaran, dan tidak mencemari lingkungan. Bangunan industri obat tradisional hendaklah memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. 2. Bangunan untuk pembuatan obat tradisional hendaklah memiliki rancangan, ukuran dan konstruksi yang memadai agar: a. Tahan terhadap pengaruh cuaca, serta dapat mencegah masuknya rembesan dan masuk bersarangnya serangga, binatang pengerat, burung atau binatang lainnya; b. Memudahkan dalam pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan. 3. Bangunan industri obat tradisional hendaklah memiliki ruangan-ruangan pembuatan yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk, sifat dan jumlah produk yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang digunakan, jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi ruangan, seperti: a. Ruangan atau tempat administrasi; b. Ruangan atau tempat penyimpanan simplisia yang baru diterima dari pemasok; c. Tempat sortasi; d. Tempat pencucian; e. Ruangan, tempat atau alat pengeringan; f.
Ruangan atau tempat penyimpanan simplisia termasuk bahan baku lainnya yang telah diluluskan;
11
g. Tempat penimbangan; h. Ruangan pengolahan; i.
Ruangan atau tempat penyimpanan produk antara dan produk ruahan;
j.
Ruangan atau tempat penyimpanan bahan pengemas;
k. Ruangan atau tempat pengemasan; l.
Ruangan atau tempat penyimpanan produk jadi termasuk karantina produk jadi;
m. Laboratorium atau tempat pengujian mutu; n. Jamban / toilet; o. Ruangan atau tempat lain yang dianggap perlu.
2.4 Struktur Organisasi
Industri fitofarmaka dipimpin oleh seorang direktur, dikepalai oleh seorang Manager operasional yang membawahi beberapa departemen, yaitu: Produksi, Quality Control (QC), Quality Assurance (QA), Research and Development (R&D), Production Planning and Inventory Control (PPIC), Personalia, Gudang, Teknik, Registrasi, Document Control dan Extraction Centre.
2.5 Biaya Investasi dan Operasional
Struktur biaya yang diperlukan untuk industri fitofarmaka terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi ada lah biaya awal yang diperlukan sebelum kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses produksi mulai dilakukan. Biaya investasi diperlukan untuk memulai industri fitofarmaka yang meliputi biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi ini bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha. Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi fitofarmaka. Besarnya biaya operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah bahan baku yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu, biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya bahan baku dan
12
biaya tenaga kerja langsung. Tetapi selain biaya tidak tetap, biaya operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak langsung.
2.6 Penetapan BEP
Menurut Marwan Asri (1991: 316), Break Even Point adalah suatu titik yang menunjukkan volume penjualan tertentu tanpa menimbulkan laba maupun rugi bagi penjual. Penetapan BEP dalam suatu perusahaan tentu sangat diperlukan agar produsen dapat mengetahui berapa penjualan yang harus tercapai dalam kurun waktu tertentu sehingga perusahaan tersebut berada pada keadaan dimana perusahaan tersebut tidak mengalami untung atau rugi dalam pemasaran. Apabila kita menginginkan keuntungan maka kita harus memproduksi lebi h dari BEP yang telah ditentukan. Menurut
Basu Swastha dan Ibnu Sukatjo (2001: 271), ada
beberapa konsep yang perlu diketahui untuk dapat melakukan perhitungan dengan BEP yaitu : 1. Biaya tetap Biaya tetap adalah biaya-biaya yang tidak berubah-ubah (konstan) untuk setiap tingkatan/jumlah hasil yang dproduksi, misalnya gedung, pabrik, sewa tanah, gaji karyawan tetap. 2. Biaya variabel atau biaya tidak tetap Biaya variabel adalah biaya yang berubah – ubah disebabkan karena adanya jumlah hasil produksi misalnya bahan mentah, bahan baku, gaji karyawan tidak tetap dan kemasan.
3. Biaya total Biaya total adalah seluruh biaya yang akan dikeluarkan oleh perusahaan atau biaya total adalah jumlah dari biaya variabel dan biaya tetap. Rumus perhitungan untuk menentukan titik break even adalah sebagai berikut :
13
Keterangan : BT : Biaya Tetap. H : Harga jual per unit. BV: Biaya Variabel
Jenis Break Point Event (BEP) 1. BEP Unit : titik pulang poko (BEP) yang dinyatakan dalam jumlah penjualan produk dinilai tertentu. 2. BEP Rupiah : BEP atau titik pulang pokok yang dinyatakan dalam jumlah penjualan atau harga penjualan (P). Rumus menghitung BEP
= ℎ − ℎ = 1 − ℎ Keterangan: a) BEP Unit / rupiah = BEP dalam unit (Q) dan BEP dalam rupiah (P) b) biaya tetap = biaya yang jumlahnya tetap walaupun usaha anda tidak sedang berproduksi. c) biaya variable = biaya yang jumlahnya meningkat sejalan peningkatan jumlah produksi seperti bahan baku, bahan baku pembantu, listrik, bahan bakar dan lain-lain. d) harga per unit = harga jual barang atau jasa per unit yang dihasilkan.
14
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Visi dan Misi
Visi dari PT. Fitofarmaka yaitu menjadi perusahaan penghasil produk herbal yang memberikan solusi terhadap masalah kesehatan. Selanjutnya upaya PT. Fitofarmaka untuk mewujudkan visi tersebut tertuang dalam misinya yaitu menyediakan produk yang aman, berkualitas, berkhasiat, lengkap, merata dan harga terjangkau melalui manusia, inovasi dan teknologi.
3.2 Lokasi dan Bangunan
PT. Fitofarmaka bagian produksi sediaan berlokasi di Jalan Raya Banjaran Kabupaten Bandung. Bangunannya memiliki luas total 5.030 m 2 yang berdiri di atas lahan seluas 7.300 m 2 dan terdiri atas tiga lantai mencakup kantor, prasarana produksi dan prasarana pendukung.
Lantai pertama terdiri dari beberapa area, yaitu : 1. Kantor (ruang direktur, ruang manager, ruang staff, ruang administrasi, ruang R&D, ruang tamu dan ruang meeting). 2. Prasarana produksi :
kelas E (produksi : tablet; pengemasan primer; ruang In Process Control / IPC; Work In Process/WIP).
kelas F (pengawasan sekunder, gudang bahan baku dan bahan kemasan I).
3. Prasarana pendukung :
-
Pengolahan limbah
- Dapur
- Ruang laundry
-
Pengolahan air RO
- Kantin
- Ruang ganti
-
Lapangan parkir
- Toilet
- Mushola
Lantai kedua terdiri dari : 1. Kantor (ruang R&D. ruang QC dan ruang meeting). 2. Prasarana produksi :
kelas E : produksi untuk granul tablet, pengemasan primer dan WIP.
kelas F : gudang bahan kemas II.
3.3 Struktur Organisasi
PT. Fitofarmaka dipimpin oleh seorang direktur yang sekaligus sebagai pendirinya. Kegiatan produksi yang berlokasi di jalan Raya Banjaran Kabupaten Bandung, dikepalai oleh seorang Manager operasional yang membawahi beberapa departemen, yaitu: Produksi, Quality Control (QC), Quality Assurance (QA), Research and Development (R&D), Production Planning and Inventory Control (PPIC), Personalia, Gudang, Teknik, Registrasi, Document Control dan Extraction Centre. Bagan struktur organisasi indutri dapat dilihat pada gambar 1. 3.3.1 Tugas Tiap Bidang
1. Produksi Bagian yang memproduksi sediaan; tablet. kegiatan produksi meliputi alur proses pembuatan dimulai dari pengadaan bahan awal (IPC) termasuk penyiapan bahan baku (gudang), pengolahan sampai dengan pengemasan untuk menghasilkan produk jadi. 2. Quality Control (QC) Pengawasan mutu (QC) merupakan bagian yang paling penting dalam pelaksanaan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) di industri farmasi, karena bagian inilah yang berwenang untuk meluluskan atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk jadi. sehingga produk yang dihasilkan selalu dapat memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan melalui serangkaian pengujian dan penanganan. Syarat mutu tersebut adalah spesifikasi, identitas dan karakteristik sesuai standard yang telah ditetapkan. Bagian pengamasan mutu (QC) di industri fitofarmaka terdiri dari 1 orang KaBag, 2 orang staff, 1 analis, 1 analis IPC kelas E, 2 analis kelas F, 1 analis kimia-fisika dan 2 analis mikrobiologi. 3. Research and Development (R&D) Bagian yang sangat diperlukan bagi sebuah perusahaan untuk selalu melakukan penelitian yang dapat menghasilkan produk-produk baru. 4. Production Planning and Inventory Control (PPIC) Bagian PPIC merupakan bagian yang melakukan perencanaan pengadaan barang-barang dan perhitungan kebutuhan produksi sehingga
16
yang bekerja dibagian ini adalah orang yang sudah mengetahui dan pernah menjalani kegiatan dibagian produksi. 5. Personalia Bagian personalia di industri fitofarmaka terdiri dari 1 kasie. kegiatan personalia meliputi: -
Pengadaan serta pengendalian sumber daya manusia (SDM) mencakup sistem rekruitmen tenaga kerja, perjanjian kontrak kerja, cuti, pendataan pegawai dll.
-
Perencanaan program pelatihan pegawai beserta pengelolaan sertifikat pelatihan.
-
Koordinasi antar unit kerja.
-
Sistem penggajian.
-
Pelaksanaan evaluasi/penilaian kinerja serta penetapan insentif dan sanksi (surat peringatan). Bagian personalia selalu berhubungan dengan bagian lain dalam
pelaksanaan kegiatannya, yaitu bekerjasama dengan supervisor dan tim CPOTB dalam pelaksanaan pelatihan CPOTB, bekerjasama dengan PPIC terkait penempatan karyawan, serta bekerjasama dengan supervisor produksi dan bagian mekanik dalam penempatan operator. 6. Gudang Bagian gudang memiliki peran penting dalam kegiatan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran bahan baku kemasan maupun produksi jadi. pelaksanaan kegiatan tersebut berdasarkan dengan bagian lain, yaitu: -
Bagian PICC dalam proses perencanaan pembelian/pengadaan material.
-
Bagian pruchasing dalam proses pembelian/pengadaan material.
-
Bagian QC dalam proses pemeriksaan bahan baku, bahan kemasan dan produk.
-
Bagian produksi dalam proses pelayanan material dan penerimaan produk jadi.
17
Gambar 1. Struktur Organisasi PT. Fitofarmaka Banjaran Bandung kelas I
Kasie Produksi I Staff Gudang Rempah
Kabag Produksi Kasie Kasie Packing kelas II
Kabag QC
Staff QC
Kabag QA
Staff QA Kasie R&D
Operasional manager
Staff R&D Kemasan Kasie
Koordinator AMI
Kasie Gudan Kasie Teknik Staff PPIC Prod & Inf.Control
PPIC
Direktur Staff PPIC Material Control Staff Registrasi Staff Doc. Control Kabag BEC
Ka.Div. Finance & Purchasing
Finance & Purchasing Manager
Kasie Produksi & Teknik
Kabag Purchasing Kabag Fin & Acc Manager Luar Pulau Manager Export
GM Marketing
Kasie Gudang
Marketing Manager Manager Cabang Manager Produksi
18
3.4 Biaya Investasi dan Operasional
Struktur biaya yang diperlukan untuk PT. Fitofarmaka terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah bia ya awal yang diperlukan sebelum kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses produksi mulai dilakukan. 3.4.1 Biaya Investasi
Biaya investasi diperlukan untuk memulai PT. Fitofarmaka yang meliputi biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi ini bersifat tetap dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha. Jumlah biaya investasi yang diperlukan pada tahun ke-0 adalah sebesar Rp. 5.217.000.000,-. Secara lebih rinci jenis investasi dan kebutuhan biaya masingmasing investasi dapat dilihat pada Tabel 5.2. berikut. No.
Uraian
Jumlah Biaya (Rp)
1.
Perizinan
7.000.000
2.
Tanah/Lahan
450.000.000
3.
Bangunan
800.000.000
4.
Alat transportasi
580.000.000
5.
Mesin dan Peralatan
380.000.000
Total
2.217.000.000
3.4.2 Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi PT. Fitofarmaka. Besarnya biaya operasional ini ter gantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah bahan baku yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu, biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost ) yang terdiri dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Tetapi selain biaya tidak tetap, biaya operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak langsung. Biaya overhead termasuk didalamnya biaya untuk tenaga kerja karena tenaga kerja yang ada merupakan tenaga kerja tetap. Kebutuhan biaya operasional per bulan :
19
No.
Uraian
Jumlah Biaya (Rp)
1.
Biaya bahan baku
115.000.000
2.
Biaya bahan pembantu
17.000.000
3.
Biaya bahan pengemas
35.000.000
4.
Biaya overhead
75.000.000
5.
Instalasi listrik dan komunikasi
15.000.000
Total
225.500.000,-
Total anggaran biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.442.500.000,Biaya tetap per bulan Rp. 55.000.000,Harga jual per unit : Rp. 40.000,Harga produksi per unit : Rp. 20.000,-
3.5 Penetapan BEP
Unit mencari BEP dalam unit adalah sebagai berikut :
Rp.55.000.000 = 2.750 = Rp.40.000−.20.000 ) 1 − (ℎ = Rp.55.000.000 1 − .20.000 .40.000 = 110.000.000,−
ℎ=
Jadi BEP tercapai ketika penjualan mencapai 4000 unit atau penjualan mencapai nilai Rp. 120.000.000,-. Untuk membuktikan kedua hasil tersebut dengan : BEP = Unit BEP x harga jual unit = 2.750 x Rp. 40.000 = Rp. 110.000.000,-
20
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Industri merupakan suatu kegiatan manufaktur. 2. Industri farmasi dapat memproduksi obat jika industri tersebut memiliki surat izin dari Menteri Kesehatan. Perpanjangan surat izin tersebut dilakukan selama 5 tahun sekali. 3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk industri fitofarmaka adalah Rp 2.217.000.000 dan Biaya operasional yang dibutuhkan adalah Rp 225.500.000. 4. Jadi BEP tercapai ketika penjualan mencapai 2.750 unit atau penjualan mencapai nilai Rp. 110.000.000,-. 4.2 Saran
Industri fitofarmaka yang ada di indonesia sebaiknya memproduksi obat herbal dengan standar yang telah ditentukan oleh BPOM lebih banyak lagi karena indonesia memiliki tanaman obat herbal yang melimpah, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menciptakan obat herbal terstandar yang baru dan bermutu. Industri fitofarmaka perlu mendapatkan pembinaan dan dukungan dalam hal permodalan, teknis produksi, pemasaran dan manajemen usaha secara umum, baik dalam bentuk kebijakan maupun pembinaan lain yang lebih bersifat teknis, dari pihak perbankan, pemerintah daerah, departemen terkait, maupun tokoh masyarakat.
21
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal . Jakarta : Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Basu Swastha. (2003). Manajemen Pemasaran Modern, Yogyakarta : Liberty. Kementrian Kesehatan Republik Indonesian. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesian Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. Jakarta: Jendral Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Marwan Asri. (1991). Marketing. Yogyakarta. Fakultas Ekonomi: Universitas Gajah Mada. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan Usaha Obat Tradisional . Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pramono, S., 2002, Kontribusi bahan obat alam dalam mengatasi krisis bahan obat di Indonesia, Jurnal Bahan Alam Indonesia, 1(1), 18-20. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005 Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik Nomor :HK.00.05.4.1380. Jakarta: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
22