BAB VIII
HUKUM KEPAILITAN
1. Kompetensi Dasar:
Mahasiswa mampu memahami materi tentang hukum kepailitan.
2. Indikator Pencapaian:
1. Pengertian Kepailitan.
2. Pengaturan Kepailitan.
3. Verifikasi
4. Rehabilitasi.
5. Penundaan Pembayaran.
3. Uraian Materi
Di dalam dunia perniagaan, apabila debitur tidak mampu ataupun tidak mau
membayar utangnya kepada kreditur (disebabkan oleh situasi ekonomi yang
sulit atau keadaan terpaksa), maka telah disiapkan suatu "pintu darurat"
untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yaitu dikenal dengan lembaga
"kepailitan" dan "penundaan pembayaran".
8.3.1 Pengertian Kepailitan
Bila ditelusuri lebih mendasar, bahwa istilah "pailit" dijumpai di
dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan
istilah yang berbeda-beda.
Di dalam bahasa Perancis, istilah "faillite" artinya pemogokan atau
kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu orang mogok atau macet
atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli.
Untuk arti yang sama di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failliet.
Sedangkan di dalam bahasa Inggris dikenal istilah "to fail" dan di dalam
bahasa latin dipergunakan istilah "fallire.
Pailit, di dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai
keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar (tidak membayar)
utang-utangnya. Hal itu tercermin dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 4 tahun 1998,
yang menentukan;
"Debitur yang mempunyai dua tau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang…". Baik
atas permohonann sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.
Berhubung pernyataan pailit terhadap debitur itu harus melalui proses
pengadilan (melalui fase-fase pemeriksaan), maka segala sesuatu yang
menyangkut tentang peristiwa pailit itu disebut dengan istilah "kepailitan"
8.3.2 Pengaturan Kepailitan
Kepailitan mula-mula diatur 2 buku, yaitu : Buku III WWK (KUHD) dan
Titel III Burgerlijke Rechtsveroordering (RV). Mengingat pengaturan
kepailitan di dalam kedua buku tersebut dirasakan kurang praktis, maka pada
tahun 1883 di negeri Belanda dikeluarkan Peraturan Kepailitan
(Faillissementsverordering).
Akhirnya dengan adanya kemungkinan untuk menundukan diri terhadap
hukum perdata Eropa maka kepailitan ini berlaku juga untuk golongan Timur
Asing Cina dan non Cina. Adapun setelah itu kepailitan dimasukkan ke dalam
peraturan tersendiri yang diletakkan pada bagian belakang KUHD.
A. Dasar Hukum Kepailitan
Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah Kitab
hukum Perdata (KUH-Perdata), khususnya pasal 1131 dan 1132. Sedangkan dasar
hukum yang khusus tentang kepailitan di Indonesia saat ini diatur dalam "UU
No. 4 tahun 1998.
B. Pernyataan Kepailitan
1. Kepailitan harus dinyatakan dengan putusan hakim atau prngadilan.
Seorang debitur (yang berhutang) baru dapat dikatan dalam keadaan
pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu
keputusan hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan keputusan
kepailitan itu telah ditentukan secara tegas di dalam pasal 2 UU no. 4
tahun1998.
Campur tangan pemerintah (pengadilan) dipandang sangat perlu oleh
pembentuk undang-undang, karena dengan demikian pengadilan dapat melakukan
langkah-langkah prevebtif-dapat melakukan pensitaan umum (eksekusi massal)
terhada harta kekayaan debitur-demi kepentingan kreditur.
2. Syarat-syarat Untuk Dinyatakan Pailit
Agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka pasal 1 UU no. 4 tahun 1998
telah menentukan syarat seorang debitur untuk dapat dinyatakan pailit
yaitu :
a. debitur memiliki dua atau lebih kreditur;
b. debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
atau dapat ditagih.
Yang menjadi persoalan ialah, apakah yang menjadi ukuran bagi "keadaan
tidak dapat membayar/berhenti membayar". Di dalam beberapa yurisprudensi
telah diinterpretasikan arti "keadaan berhenti membayar" secara lebih luas,
yakni :
a. keadaan berhent membayar tidak sama sekali dengan keadaan bahwa
kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar utangnya yang sidah dapat
ditagih, melainkan bahwa debitur tidak membayar utangnya itu (Putusan
HR, 22 Maret 1946, 233);
b. debutur dapat dianggap dalam keadaan berhenti membayar walaupun utang-
utangnya itu belum dapat ditagih pada saat itu (Putusan HR, 26 Januari
1940, 515).
3. Pihak-Pihak yang Dinyatakan Pailit
Bila disimak ketentuan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan maka yang
dapat dinyatakan pailit adaah "debitur". Dengan mempergunakan istilah
debitur itu maka yang dapat dinyatakan pailit adalah:
a. Siapa saja/setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak
menjalankan perusahaan;
b. Badan hukum, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi,
Perusahaan Negara dan badan-badan hukum lainnya;
c. Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia, dapat dinyatakan
pailit, apabila orang yang meninggal dunia semasa hidupnya berada
dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannnya pada
saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar
utangnya.
d. Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan
suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan
sendiri.
4. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Kepailitan
Apabila dilihat pada ketentuan pasal 1 s/d 3 UU No. 4 Tahun 1998 maka yang
dapat mengajukan permohonan kepalitan, adalah:
a. Debitur sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditur ( pasal 1 ayat
1). Melihat etentuan itu maka berarti debitur yang hanya memiliki
seorang kreditur tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan; Apabila
debitur itu adalah seorang suami/istri yang sudah menikah maka
permohonan itu hanya dapat diajukan dengan persetujuan satu pihak,
kecuali tidak ada percampuran harta kekayaan (pasal 3);
b. Seorang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama. Jika kreditur tersebut adaah satu-satunya kreditur maka
permohonan kepailitan tidak dapat diajukan oleh kreditur.
c. Jaksa atau penuntut umum.
5. Acara dan Tata Cara Permohonan Kepailitan
a. Sebagai awal dari pemeriksaan kepailitan didahului dengan adanya
"permohonan kepailitan" oleh pihak-pihak yang berwenang 9debitur,
kreditur maupun kejaksaan). Permohonan itu diajukan kepada Pengadilan
melalui panitera pengadilan negeri yang berwenag di tempat kediaman
debitur (pasal 2 ayat 1)
Panitera pengadilan setelah menerima permohonan itu melakukan
pendaftaran dalam registernya dengan memberikan nomor pendaftaran ,
dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang ditanda
tangani panitera. Tanda bukti penerimaan itu harus sama dengan
tanggal pendaftaran permohonan. Selanjutnya dalam waktu 1 X 24 jam
Panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada Ketua
Pengadilan untuk mempelajari selama 2 X 24 oleh ketua pengadilan
dan menetapkan hari persidangannya.
b. Setelah Ketua Pengadilan mempelajari permohonan kepailitan itu, maka
para pihak (permohonan dan termohon) dipanggil untuk menghadiri
pemeriksaan kepailitan itu. Pemeriksaan itu harus sudah dilangsungkan
paling lambat 20 hari sejak permohonan didaftarkan di kepaniteraan.
c. Apabila di dalam pemeriksaan itu terbukti secara sumier bahwa debitur
berada dalam keadaan berhenti membayar, maka hakim akan menjatuhkan
putusan kepailitan terhadap debitur. Vonis kepailitan itu harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 6 ayat 5) dan putusan
itu harus telah diputuskan paling kambat 30 hari sejak tanggal
permohonan didaftarkan. Putusan kepailitan bersifat konstitutif, yaitu
putusan yang meniadakan keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum
yang baru.
d. Di dalam 2 X 24 jam Pengadilan wajib menyampakan salinan putusan hakim
itu pada debitur, kreditur, kurator dan hakim pengawas. Putusan
Pengadilan disamping memuat alasan hukum yang mendasari putusan itu,
juga berisi pengangkatan seorang hakim pengawas dan kurator sepanjang
diminta oleh debitur atau kreditur. Akan tetapi apabila debitur atau
kreditur tidak meminta maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak
selaku kurator (pasal 13 ayat 1 dan 2).
e. Setelah putusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, maka
Pengadilan Negeri dalam waktu 2 x 24 jam memberitahukan dengan surat
dinas tercatat atau melalui kurir tentang putusan itu beserta salinan
utusannya kepada :
1. Debitur yang dinyatakan pailit;
2. Pihak yang mengajukan permohonan pailit;
3. Kurator serta Hakim Pengawas
Selanjutnya dalam waktu paling lambat 5 hari setelah tanggal
diputuskannya permohonan kepailitan, maka kurator mengumumkan dalam
Berita Negara RI serta sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) surat kabar
hariannya ditetapkan oleh Hakim Pengawas (pasal 13 ayat 3).
Dalam pengumuman itu dikemukakan pula hal-hal yang menyangkut :
a. Ikhtisar keputusan kepailitan;
b. Identitas, pekerjaan dan alamat debitur;
c. Identitas, pekerjaan dan alamat anggota sementara kreditur (apabila
telah ditunjuk);
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat peertama kreditur;
e. Identitas hakim pengawas.
Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, maka demi hukum Kurator
atau Balai harta Peninggalan (BHP) akan bertindak menjadi kuratif
(pengampu) si pailit. Oleh karena itu Kurator atau Balai Harta
Peninggalan yang bertugas mengurus harta (boedel) si pailit dan segala
hubungan surat menyurat yang dialamatkan kepada pailit akan diteruskan
kepada Balai Harta Peniggalan.
6. Upaya Hukum Terhadap Putusan Kepailitan
Seperti diketahui, bahwa upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang
diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, untuk memperoleh keputusan
yang adil (keadilan).
Di dalam hukum acara dikenal tiga upaya hukum, yaitu:
a. Perlawanan (verzet);
b. Banding (hoger beroep);
c. Kasasi (cassatie).
Upaya hukum di atas dalam hukum kepailitan (yang lama) dapat diajukan
oleh:
a. Debitur;
Terhadap suatu keputusan pengadilan kepailitan yang dijatuhkan
bukan atas permohonan debitur sendiri, maka debitur dapat mengajukan
upaya hukum berupa:
1. Perlawanan (verzet), yaitu suatu upaya hukum yang diajukan akibat
tidak didengarnya keterangan "debitur " di depan sidang pemeriksaan
kepailitan tersebut, baik karena debitur tidak dipanggil di
persidangan maupun telah dipanggil. Perlawanan tersebut harus diajukan
dengan mengajukan permohonan ke paniteraan pengadilan negeri yang
menjatuhkan putusan kepalitan. Tenggang waktu mengajukan perlawanan
selama 14 hari sejak putusan itu diucapkan.
2. Banding, yaitu suatu upaya hukum yang diajukan oleh debitur apabila:
1. Perlawanan yang diajukan di atas ditolak atau tidak diterima
oleh pengadilan. Banding atas penolakan perlawanan itu diajukan
dalam tenggang waktu 8 hari terhitung sejak putusan penolakan itu
dinyatakan oleh hakim.
2. Debitur telah didengar dalam pemeriksaan dan dinyatakan palit
oleh pengadilan negeri, maka banding pun dapat diajukan olehnya
dalam tenggang waktu 8 hari setelah putusan kepailitan itu
diucapkan.
b. Kreditur;
Kreditur dapat mengajukan upaya hukum berupa banding, apabila
setelah mengajukan permohonan kepailitan, tetapi permohonan itu
ditolak oleh pengadilan. Upaya banding itu harus diajukan dalam
tenggang waktu 8 hari sejak penolakan itu dijatuhkan oleh pengadilan.
Selain itu, bandingpun dapat diajukan oleh kreditur apabila ternyata
putusan itu dibatalkan oleh pengadilan akibat adanya perlawanan oleh
debitur.
c. Jaksa demi kepentingan umum;
Jaksa dapat mengajukan upaya hukum banding apabila permohonan
kepailitanyang diajukannya ditolak oleh pengadilan, atau putusan
kepailitan yang diajukannya diterima oleh pengadilan, tetapi
dibatalkan kembali oleh pengadilan karena adanya perlawanan oleh
debitur. Banding ini pun harus dilakukan dalam tenggang waktu 8 hari
setelah ditolaknya permohonan kepailitan atau setelah dibatalkannya
putusan kepailitan itu.
d. Para kreditur yang tidak memohon kepailitan dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Kreditur-kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan
maupun pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
putusan kepailitan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Perlawanan
itu harus diajukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah putusan
diucapkan.
7. Tindakan-Tindakan Setelah Pernyataan Kepailitan
Jika dilihat dari bunyi pasal 48PK, tersurat dengan jelas, bahwa
pengadilan negeri dengan keputusan kepailitan atau pada setiap waktu dapat
memrintahkan penahanan si debitur (si pailit). Penahanan terhadap si pailit
(setelah keluarnya putusan kepailitan itu), hanya dapat dilakukan apabila
hal itu diusulkan oleh hakim komisaris, atau dimohon oleh Balai Harta
Peninggalan, seorang atau lebih kreditur.
Pelaksanaan penahanan itu dilakukan oleh para jaksa pada penjara atau
rumah si pailit sendiri dibawah pengawasan pejabat yang sah. Masa penahanan
itu tidak boleh lebih dari 30 hari dengan kemungkinan dapat diperpanjang
lagi untuk masa 30 hari. Dalam undang-undang (PK) tidak dijelaskan mengapa
diperlukan upaya penahanan, padahal sebagaimana diketahui, sejak keputusan
kepailitan harta kekayaan (boedel) si pailit telah diurus oleh BHP untuk
dijadikan jaminan pelunasan utang-utangnya. Sehingga tentunya tidak ada
alasan bagi debitur untuk tidak memenuhi kewajibannya dalam kepailitan.
Pengamanan dalam bentuk pengurusan, penguasaan dan pemberesan harta
kepailitan oleh BHP merupakan tindakan preventif (pasal 67), untuk mencegah
jangan sampai harta kekayaan su pailit dialihtangankan kepada pihak yang
tidak berhak. Berkenaan dengan hal itulah, maka BHP harus melakukan
tindakan-tindakan berikut:
a. Mengupayakan penyimpanan boedel si pailit.
b. Mengupayakan penyegelan boedel bila dianggap perlu, tentunya
penyegelan itu dilakukan oleh panitera pengadilan negeri dengan
disaksikan oleh dua rang saksi.
c. Menjual benda-benda si pailit (sebelum tahap insolevensi), bila benda-
benda tersebut tidak tahan lama untuk disimpan. Hasil penjualan itu
dipandang perlu, dapat dipakai untuk membiayai kepailitan.
d. Mengadakan akor setelah mendapat saran-saran dari Panitia Para
Kreditur (kalau ada), serta mendapat persetujuan dari Hakim Komisaris.
e. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka
meningkatkan nilai harta pailit (pasal 67 ayat 2b).
Ada bebraa harta yang tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:
a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari;
b. Alat perlengkapan dinas;
c. Alat perlengkapan kerja;
d. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan;
e. Buku-buku yang dipakai bekerja;
f. Gaji, upah, pensiun, uang jasa dan honorarium;
g. Hak cipta;
h. Sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya
(debitur);
Begitupula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan
kekayaan, atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di
tangan si pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya: hak pakai dan
hak mendiami rumah.
8.3.3 Verifikasi
A. Rapat Para Kreditur
Seperti yang kita ketahuai, bahwa Hakim Pengawas/ Panitia Kreditur
Tetap menentukan waktu dan tempat diadakanya Rapat Kreditur yang
pertama,yang waktunya paling lambat 15 hari setelah putusan pernyataan
pailit. Rencana penyelenggaraan rapat itu baru diberitahukan juga kepada
kurator. Segala keputusan yang dikeluarkan dalam Rapat Kreditur itu harus
dilakukan dengan suara terbanyak dari kreditur /kuasannya yang hadir dalam
rapat itu (pasal 78 UU No.4 Tahun 1998).
Rapat-rapat yang dapat dilakukan oleh pra klreditur terdiri dari :
1. Rapat verifikasi;
2. Rapat untuk membicarakan akkoord,bila hal ini diajukan oleh si pailit
dan belum sempat diajukan dalam rapat verifikasi;
3. Rapat luar biasa, apabila hal itu dipandang perlu oleh hakim pengawas
(pasal 81 ayat 1 PK);
4. Rapat untuk membicarakan perusahaan si pailit, apakah perlu
dilanjutkan atau tidak. Hal ini perlu apabila si pailit tidak
menawarkan akkoord pada rapat verifikasi atau akkoord ditolak (pasal
168a PK);
5. Rapat untuk membicarakan pemberesan boedel dan memverifikasi tgihan-
tagihan yang terlambat masuk (pasal 173 PK).
Rapat para kreditur di atas diketahui dan dipimpin oleh Hakim
Pengawas dengan seorang panitera pengadilan negeri sebagai notulen. Balai
Harta Peninggalan diwajibkan hadir pada rapat-rapat tersebut (pasal 77 PK),
dan segala keputusan pada rapat tersebut diambil dengan suara terbanyak,
kecuali yang menyangkut mengenai perdamaian (akkoord) dan hal-hal yang
dimaksud dalam pasal 168b.
Pada rapat-rapat itulah, para kreditur hadir untuk membela
kepentingannya.Agar kreditur dapat hadir tepat pada waktunya, maka BHP
harus menyampaikan panggilan rapat melalui surat, iklan atau surat kabar
resmi yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Di dalam undangan rapat itu
dijelaskan pula tentang acara/agenda yang akan dibahas dalam rapat
tersebut.
Adapun kewenangan dari rapat para kreditur itu meliputi beberapa hal,
yaitu :
1. Mengambil keputusan tentaang akkoord yang ditawarkan oleh si pailit;
2. Memberikan suara tentang perlu tidaknya pengangkatan panitia para
kreditur tetap;
3. Menunda pembicaraan akkoord sampai adanya rapat verifikasi;
4. Memutuskan tentang verifikasi tagihan-tagihan dengan syarat
mempertangguhan nilai/harga pada saat dinyatakan pailit.
B. Arti Verifikasi
Verifikasi diartikan dengan pencocokan atau pengujian atas utang-utang
si pailit atau piutang-piutang kreditur yang harus dimasukkan ke Balai
Harta Peninggalan. Hal itu tidak salah, karena dalam verifikasi itulah
diadakan pemeriksaan, pencocokan, pengujian atas tagihan-tagihan kreditur
dan pembukuan-pembukuan yang dimiliki oleh si pailit. Diterima tidaknya
tagihan-tagihan itu oleh Balai Harta Peninggalan tergantung dari alat-
alat bukti yang diajukan kreditur. Oleh sebab itu, ketika kreditur
memasukkan tagihannya ke Balai Harta Peninggalan, ia harus menyertakan
perhitungan-perhitungan atau keterangan tertulis yang menunjukkan sifat
dan jumlah tagihannya, serta alat-alat bukti yang mendukung tagihan itu.
Yang dimaksud dengan verifikasi dalam Peraturan Kepailitan ialah,
prosedur untuk menetapkan bak menagib. Hal itu berarti, verifikasi
menetapkan tentang tata cara kreditur menyampaikan tagihannya agar
tagihan itu dapat diakui dan ditetapkan. Bilamana tagihan-tagihan itu
(berdasarkan alat bukti yang ada) ditetapkan dengan pasti, maka tagihan-
tagihan itu disebut tagihan yang diakui atau tagihan yang diverifikasi,
dan krediturnya disebut kreditur yang diakui. Sedangkan tagihan yang
tidak cocok dengan catatan dari si pailit, akan ditolak oleh Balai Harta
Peninggalan dengan disertai alasan-alasannya.
Berkenaan dengan itulah, maka Balai Harta Peninggalan tentunya akan
membuat 2 daftar tagihan, yaitu tagihan yang diterima atau diakui dan
tagihan yang ditolak . Kedua daftar tagihan itu disediakan di kantor
Balai Harta Peninggalan selama tujuh hari sebelum diadakan rapat
verifikasi, agar setiap kreditur dan setiap orang yang berkepentingan
dapat melihatnya secara cuma-Cuma (pasal 110 PK)
Di dalam Peraturan Kepailitan dibedakan beberapa jenis tagihan atau
piutang,yaitu :
1. Tagihan yang diakui sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 117
ayat 1 Pk, sebagai berikut :
"Tagihan-tagihan yang tidak dibantah,dipindahkan dalam suatu daftar
penagih-penagih yang diakui yang dimasukkan dalam berita acara. .
."
2. Tagihan yang diakui dengan bersyarat, yaitu tagihan yang belum
definitif, tetapi dianggap definitive dengan syarat (pasal 117 ayat
2, pasal 121, pasal 126 ayat 2, pasal 131 ayat 2, pasal 132 ayat
2).
3. Tagihan yang dibantah, yaitu tagihan yang tidak diakui kebenarannya
baik oleh Balai Harta Peninggalan maupun oleh seorang kreditur atau
lebih (pasal 118 PK).
C. Rapat Verifikasi
Setelah tersusunnya daftar piutang atau tagihan oleh kurator/Balai
Harta Peninggalan, baik piutang yang diterima maupun ditolak, maka daftar
piutang itu belumlah berlaku secara hukum (belum mempunyai kekuatan hukum).
Dengan kata lain daftar itu sifatnya masih sementara yang nantinya akan
mendapat pengesahan pada rapat verifikasi.
Selambat-lambatnya 14 hari sesudah putusan kepailitan mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Hakim Pengawas menetapkan antara lain :
1. Hari dan tanggal terakhir tagihan-tagihan dimasukkan/diajukan ke Balai
Harta Peninggalan ;
2. Hari, tanggal, jam dan tempat rapat verifikasi akan diadakan.
Yang perlu diperhatikan disini ialah, bahwa tenggang waktu masuknya
tagihan dengan hari dilangsungkannya rapat verifikasi paling sedikit 14
hari (pasal 104 PK). Seperti yang diungkapkan di depan, bahwa rapat
verifikasi ini dipimpin oleh Hakim, serta dihadiri oleh Balai Harta
Peninggalan, para kreditur dan si pailit.
Kreditur dapat saaja tidak hadir pada rapat verifikasi asalkan
dikuasakan/diwakili oleh kuasanya. Sedangkan bagi si pailit, kehadirannya
mutlak diperlukan untuk didengar keterangannya mengenai sebab-sebab
kepailitan dan keadaan boedel. Apabila si pailit tidak hadir pada rapat
tersebut, padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka rapat verifikasi
dapat terus dilangsungkan dengan tanpa hadirnya si pailit.
Sebelum memutuskan status tagihan-tagihan itu, kurator/Balai Harta
Peninggalan akan memperhatikan status harta kreditur, oleh sebab itu para
kreditur harus digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Golongan khusus, yaitu kreditur yang mempunyai hak gadai dan hipotik,
yang mempunyai kewenangan bertindak sendiri terhadap obyek gadai/
hipotik (pasal 1178 KUH-Perdata);
2. Golongan istimewa (privilege), yaitu golongan kreditur yang piutangnya
mempunyai kedudukan istimewa: hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas
hasil penjualan (lelang) harta si pailit (pasal 1133, pasal 1134,
pasal 1139 dan pasal 1149 KUH-Perdata);
3. Golongan kongkuren (concurrent), yaitu kreditur yang tidak termasuk
golongan khusus dan golongan istimewa, yang perlunasan piutangnya
dicukupkan dari sisa hasil penjualan/pelelangan harta si pailit
setelah dipakai untuk melunasi piutang kreditur khusus dan istimewa
(pasl 132 KUH-Perdata).
Singkatnya, rapat verifikasi mempunyai acara pokok, yaitu untuk
memeriksa dan mengesahkan tagihan-tagihan yang telah masuk (yang sebelumnya
telah disusun oleh kurator/Balai Harta Peninggalan).
Dari rapat verifikasi itu akan dihasilkan beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Tagihan yang tidak dibantah oleh Balai Harta Peninggalan maupun
seorang kreditur, yang merupakan tagihan yang diakui secara pasti dan
tetap dalam kepailitan;
2. Tagihan yang tidak dibantah oleh kurator / Balai Harta Peninggalan dan
seorang kreditur, akan tetapi diperlukan pengukuhan dengan sumpah;
3. Yagihan yang dibantah baik oleh kurator/ Balai Harta Peninggalan
maupun oleh kreditur.
8.3.4 REHABILITASI
Bila kepailitan telah berakhir, maka debitur pailit atau ahli warisnya
dapat mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan negeri.
Rehabilitasi dalam kepailitan yaitu pengembalian nama baik seseorang (bekas
pailit) pada keadaan sebelum terjadinya kepailitan. Dengan demikian si
bekas pailit tadi akan mendapat kepercayaan dari masyarakat kembali.
Permohonan rehabilitasi harus disertai dengan bukti-bukti pelunasan
utang kepada para kreditur. Permohonan itu diumumkan dalam surat-surat
kabar atau majalah-majalah. Terhadap permohonan rehabilitasi ini, kreditur
dapat mengajukan perlawanan yang diadakan dengan mengemukakan alasan-
alasannya. Bila tidak ada perlawanan maka pengadilan negeri akan menerima
atau menolak berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya.
8.3.5 PENUNDAAN PEMBAYARAN
Penundaan pembayaran adalah suatu lembaga dalah hukum kepailitan yang
berupa permintaan debitur untuk menunda pembayarannya, dengan tujuan untuk
menghindarkan kepailitan. Dengan penundaan pembayaran terdebut diharapkan
debitur dapat melanjutkan kembali perusahaannya agar dapat melumnasi
utangnya secara penuh kepada para kreditur.
1. Perbedaan Penundaan Pembayaran dengan Kepailitan
Adapun perbedaan antara penundaan pembayaran dan kepailitan adalah
bahwa dalam penundaan pembayaran debitur tidak kehilangan hak untuk
mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Permohonan atas penundaan
pembayaran ini akan mendapat izin sementara dari hakim. Izin tetap akan
diberikan oleh hakim setelah terciptanya musyawarah para kreditur.
Perbedaan lain yanag terjadi antara penundaan pembayaran dan kepailitan
yaitu:
a. Dilihat dari segi waktu pemberian penundaan pembayaran dan
kepailitan
Pada penundaan pembayaran, permohonan itu harus diajukan oleh
debitur sebelum ia dinyatakan bangkrut (pailit) oleh pengadilan.
Jadi debitur tidak diperkenenkan mengajukan permohonan penundaan
pembayaran apabila telah ada keputusan kepailitan.
b. Keadaan tertunda
Dalam kepailitan, kedudukan debitur sedemikian buruknya sehingga
kewenangan bertindak terhadap harta bendanya akan hilang. Sedangkan
dalam penundaan pembayaran, si tertunda masih berwenag untuk
berrtindak terhadap harta bendanya danbahkan masih berhak atas
hartanya itu.
c. Pengurus
Berkenaan dengan kedudukan si tertunda yang masih dianggap cakap
dan wenang untuk mengurus harta bendanya, maka untuk mengawasi
tindakannya itu harus mendapat izin dari seorang pengurus yang
dulunya disebut dengan pemelihara.
d. Balai harta peninggalan (BHP) dan kurator
Jika dalam kepailitan dibutuhkan campur tangan dan keterlibatan
Balai Harta Peninggalan atau curator untuk mengurus harat benda si
pailit (karena si pailit tidak berhak lagi mengurus harta
bendanya), maka dalam penundaan pembayaran, Ballai Harta
peninggalan tidak diperlukan lagi..
Sebagai gantinya, ialah Pengurus yang bertugas sebagia berikut:
a. Mengurus kepentinga si tertunda, yang meliputi seluruh harta
kelayaan. Pengurusan ini dilakukan bersama dengan debitur;
b. Melaksana tugas-tugas khusus yang dipercayakan kepadanaya
ketika ia diangkat. Pelaksanaan tugas khusus ini dilakukan
secara bebas (tanapa dipengaruhi oleh orang lain) dalam batas-
batas kewenangan khusus itu.
Pengurus diwajibkan membuat laporan setiap 3 bulan sekali
tentang keadaan kekayaan debitur, dan laporan ini diserahkan ke
Panitera pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak secara
cuma-cuma.
e. Hakim Pengawas
Dalam lembaga penundaan pembayaran keberadaan Hakim Pengawas masih
sangat diperlukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 214 ayat 2 UU
No. 4 tahun 1998. Hakim Pengawas dapat mengangkat Team ahli untuk
melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan
kekayaan debitur beserta rekomendasinya. Laporan ini harus
diserahkan pada Kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh
semua pihak.
f. Panitia Kreditur
Berkenaan dengan penundaan pembayaran hutang maka Hakim harus
mengangkat Panitia Kreditur apabila permohonan penundaan pembayaran
ini menyangkut kewajiban pembayaran utang dalam jumlah besar dan
bersifat rumit. Pengangkatan itu harus disetujui oleh paling kurang
½ kreditur dari seluruh tagihan yang diakui.
Tugas panitia krreditur ini adalah memberikan nasihat dan
rekomendasi kepada Pengurus terhadap berbagai hal yang berkaitan
dengan kebijakan yang menyangkut harta debitur.
Hakim tidak akan memberikan izin tetap penundaan pembayaran tertentu
apabila:
a. Permohonan itu ditolak oleh para kreditur yang memiliki ¼ dari jimlah
keseluruhan piutang yang diwakili dalam rapat atau ditolak oleh 1/3
dari jumlah kreditur.
b. Ada kekhawatiran bahwa debutur akan mencoba merugikan para
krediturnya.
c. Tidak ada harapan bahwa debitur akan dapat memenuhi kewajibannya
setelah lampaunya waktu penundaan.
Apabila permohonan penundaan pembayaran ini diajukan bersama-sama dengan
permohonan kepailitan, maka permohonan penundaan pembayran ini akan
diperiksa terlebih dahulu.
Adapun permohonan penundaan pembayaran yang telah diberikan oleh hakim
dapat dicabut berdasarkan alasan-alasann sebagai berikut:
a. Si tertunda telah bersalah melakukan tindakan yang tidak jujur trhadap
pengurusan harta bendanya.
b. Si tertunda berusaha merugikan kreditur-krediturnya.
c. Tertunda melakukan perbuatann hukum tanpa adanya pesetujuan caretaker.
d. Si tertunda lalai dalam menjalankan ketentuan-ketentuan yang
diharuskan
e. Penundaan plembayaran ternyata tidak berguna bagi pelunasan utang-
utangnya.
2. Hal-hal yang terjadi dengan adanaya penundaan pembayaran.
Dengan adanya penundaan pembayaran, maka dapat terjadi beberapa
kemungkinan, yaitu:
a. Piutang-piutang para kreditur akan dibayar/dapat dibayar seluruhnya
oleh debitur;
b. Pembayaran piutang kreditur itu dilunasi sebagian melalui pemberesan
tahap demi tahap;
c. Suatu perdamaian di bawah tangan;
d. Pengesahan perdamain apabila terjadi perdamain;
e. Pernyataan pailit, apabila tujuan ynag hendak dicapai dengan
pengunduran pembayaran itu tidak tercapai.
Selanjutnya debitur dapt pula melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan karyawannya berdasarkan perantara yang berlaku dan segala
utang yang berkkaitan dengan gaji dan biaya lainnya menjadi utang
debitur.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh dengan adanya penundaan pembayaran
ialah sebagai berikut:
a. Bagi debitur, dalam waktu yang cukup akan dapat memperbaiki dan
menagtasi kesulitan ekonominya, dan pada akhirnya kelakia dapat
membayar utang-utangnya secara penuh. Sebaliknya, apabila
debitur serta merta dijatuhi kapailitan, perusahaannya
dijual/dilelang untuk melunasi utangnya., maka harta debitur
akan lenyap dan tidak dapat melanjutkan usahanya lagi.
b. Bagi kreditur, dengan diberikannya penundaan pembayaran,
kemungkinan besar debitur akan dapat melunasi utangnya secara
penuh, sehingga kreditur tidak dirugikan.
Selain memiliki keuntungan, penundaan pembayran juga memiliki akibat-
akibat sebagi berikut:
a. Selama berlangsungny apenundaan pembayaran, si debitur tidak
boleh dipaksa untuk membayr utang-utangnya.
b. Si debitur masih tetap berhak dan berwenang mengurus an
menguasai harta bendanya.
c. Segala tindakan eksekusi yang telah dimuli untuk mendapatkan
perlunasan utang, harus ditangguhkan.
d. Si debitur (tertunda) masih diberikan kelekuasaan untuk membayar
utangnya. Tetapi apabila ia membayar, pembayaran itu haruslah
dilakukan secara berimbang dan merata kepada semua krediturnya.
e. Selama waktu penundaan pembayaran, si debitur tidak boleh
dimintakan pernyataan pailid begitu saja.
3. Prosedur (acara ) Permohonan Penundaan Pembayaran
a. Debitur dan kuasanya men gajukan pemohonan penundaan pembayaran kepada
Pengadilan Negeri (dalam wilayah hukum tempat tinggal debitur)
Permohonan itu harus dilampirkan surat-surat antara lain :
1. Jum;ah perincian aktiva dari harta bendanya beserta bukti-bukti yang
diperlukan.
2. Nama-nama kreditur beserta alamtnya, dan besar piutangnya masing-
masing.
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan
pengadilan negeri agar dapat dilihat oleh semua pihak yang
berkepentingan.
b. Seketika setelah pengadilan negeri menerima permohonan penundaan
pembayaran itu, mengabulkan permohonan itu untuk sementara dengan
memberika ixin sementara penundaan pembayaran.
Seiring dengan pemberian izin sementara itu, pengadilan akan mengankat
hakim nPengawas dan seorang atau lebih.
c. Hakim pengadilan negeri paling lambat 45 hari melalui paniteranya
memanggil kreditur yang bersangkutan, debitur dan Pengurus untuk
diadakan sidang pada jam, hari dan tempat tertentu. Pada musyawarah
itulah akan didengar pendapat para kreditur tentang permohonan
penundaan pembayaran tersebut secara akor. Selain itu Pengurus wajib
mengfumumkan putusan penundaan pembayaran . Sementara itu pada Berita
Negara paling lambat 21 hari sebelum sidang dilakssanakan.
d. Dalam rapat di atas akan ada pemungutab suara untuk memutuskan ,
apakah penundaan pembayaran itu dikabulkan atau ditolak. Berdasarkan
hasil pemungutan suara itulah, Pengadilan akan dapat memberikan
keputusan yang definitif terhadap penundaan pembayaran yang sebelumnya
masih bersifat sementara. Ermohonan penundaan pembayaran utang akan
dikabulkan apabila disetujui lebih dari ½ kreditur konkuran yang
haknya diakui atau sementara diakui yang hadir danmewakili paling
tidak 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementar
diakui dari kreditur atau kuasnya yang hadir dalam sidang tersebut.
Permohonan penundaan pembayaran utang tidak akan dikabulkan apabila:
a. Adanya alasan yang mengkhawatirkan, bahwa debitur selam penundaan
pembayran akan mencoba merugikan kreditur-krediturnya
b. Apabila tidak ada harapan bagi debitur, selam penundaan pembayaran dan
setelah itu, untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
e. Dalam putusan hakim yang mengabulkman penundaan pembayaran definitif,
ditetapkan pula lamanya waktu penundaan pembayran yaitu tidak boleh
melebihi 270 hari terhitung sejak putusan penunnndaan sementara
ditetapkan.
4. Pengakhiran penundaan Pembayaran
Bila penundaan pembayarann telah diberikan, penundaaan
pembayaran itu dapat diakhiri atas permintaan pengurus, kreditur,
hakim Pengawas atau atas prakarsa Pengadilan dengan alasan-alasan
sebagao berikut:
a. Debitur selama waktu penundaan pembayaran utang bertindak dengan
iktikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitur mencoba merugikan para krediturnya;
c. Debitur melakukan pelanggaran pasal 226 ayat 1 UU No 4 Tahun 1998;
d. Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh Pengadilan, dan
yang disyaratkan Pengurus;
e. Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkenkan
lagi bagi debitur untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya pada
waktunya;
Dengan dicabutnya penundaan pembayaran itu, hakim dapat menetapkan si
tertunda dalam keadaan pailit.
5. Akor pada Penunndaan Pembayaran
Debitur yang memohon penundaan pembayaran dalam mengajukan rencana
perdamaian (akor) meleui penngadilan. Akor itu diajukan pada saat atau
setelah pengajuan permohonan penundaann pembbayaran.
Akibat huku apabila akor penundaan pembayaran ditolak, ialah hakim
dapat lnasung, menyatakan debitur dalam keadaan pailit. Sedangkan
apabila akor diterima, maka harus dimintakan homologis (pengesahan)
kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui akor yang telah
disahkan, maka berakhirlah penundaan pembayaran itu.
Hakim dapat melekukan penolakan pengesahan (homologis) atas
perdamaian itu, apabila:
a. Harta debitur untuk mana termasuk barang-barang yang dijamin hak
retensi, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam
perdamaian;
b. Pelaksanaan perdamain tidak cukup terjamin;
c. Perdamaian itu tercapai karena penipuan atua sekongkol dengan atau
lebih kreditur atau pemakaian upaya-upaya lain yang tidak jujur.;
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus
belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.
Dengan ditolaknya homologis akor maka Pengadilan wajib menyatakan
debitur dalam keadaan pailit.