MAKALAH HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN
DI SUSUN OLEH
DWI AMELIA PERMATA (31115017)
EKA RISANTY PUTRI SUHARTO (31115039)
ELTAVIA FIRDA RIZKY (31115052)
KARISA LISTIA (31116078)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul "Prosedur Penghitungan
Uang Pesangon terhadap Karyawan yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja".
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu syarat
penilaian untuk tugas semester ini dalam mata kuliah Hukum Perburuhan dan
Ketenagakerjaan.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalamanan
pengetahuan yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan
kepada Dosen mata kuliah maupun rekan rekan pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Batam, September 2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I: PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II: PEMBAHASAN
A. HUKUM PERBURUHAN DAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
B. PROSEDUR PENGHITUNGAN PESANGON TERHADAP PEKERJA/BURUH YANG TERKENA
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
BAB III: PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja yang
disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan.[1] Dimana dengan
terjadinya suatu pemutusan hubungan kerja berarti berakhir pula lah kontrak
kerja antara si pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan.
Pemutusan hubungan kerja atau lebih sering dikenal dengan PHK merupakan
hal yang ditakuti oleh pekerja, dimana ancaman akan terjadinya PHK sangat
lazim terjadi seiring dengan tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi di suatu
daerah tertentu. Statistik PHK berbanding lurus dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi, dimana saat produksi melemah maka pengusaha atau suatu
perusahaan terpaksa melepaskan beberapa pekerja sekaligus untuk mengurangi
pengeluaran di saat ekonomi rentan.
Namun, PHK tidak hanya terjadi saat penurunan pertumbuhan ekonomi saja,
banyak ensio-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya PHK dalam suatu
perusahaan atau suatu hubungan kerja, antara lain akan di bahas di dalam
makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja dalam Undang-
Undang?
2. Bagaimana Prosedur Penghitungan Pesangon terhadap Pekerja/Buruh yang
terkena Pemutusan Hubungan Kerja?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami secara mendalam tentang
Pemutusan Hubungan Kerja serta Hak-Hak yang dimiliki Pekerja/Buruh yang
terkena Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Perburuhan Dan Ketenagakerjaan Di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya manusia, dimana
dengan jumlah penduduk yang mencapai 265 juta jiwa pada tahun 2018[2], dan
67,6% nya merupakan penduduk dalam usia produktif yakni sebanyak 179,13
juta jiwa, maka tenaga kerja bukanlah hal yang susah ditemui di Indonesia.
Dengan perkiraan tenaga kerja yang bekerja setiap triwulan sebanyak
127,07 juta jiwa, tentu banyak kendala yang dihadapi. Sehingga muncul
banyak pertanyaan. Bagaimana pengaturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
Apakah sudah bisa mencakup semua masalah tentang ketenagakerjaan di
Indonesia? Problematika apa saja yang muncul? Dari berbagai macam
pertanyaan diatas, salah satu problematika yang paling sering dihadapi
adalah Pemutusan Hubungan Kerja. Namun sebelum membahas hal tersebut ada
baiknya kita mengerti kedudukan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di
Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang terdahulu merupakan bentuk usaha
pemerintah dalam melindungi hak-hak yang dimiliki oleh tenaga kerja di
Indonesia, agar tidak terjadi kesenjangan antara kewajiban yang di kerjakan
dengan hak yang didapatkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan "Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja."
Menurut Pasal 1 Undang-undang No: 14 Tahun 1969 Ketentuan-Ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja "Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu
melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun di luar hubungan kerja guna
menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat."
Dimana ada tenaga kerja tentu ada hubungan kerja, menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
"Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah."
Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara pengusaha dengan pekerja
yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertyentu
maupun waktu yang tidak tertentu. Hubungan kerja disebut juga hubungan
perburuhan atau hubungan ension.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pengertian hubungan kerja diatas,
maka timbullah istilah Perjanjian Kerja.
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu yaitu
buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak lainnya yaitu majikan
untuk selama waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1601 a BW / KUH
Perdata).
Sedangkan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan "Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak."
Syarat-syarat Perjanjian Kerja antara lain :
- Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang menadakan perjanjian
itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan).
- Adanya kemampuan/ kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.
- Suatu hal tertentu.
Isi dari perjanjian kerja adalah hak=-hak dan kewajiban-kewajiban tenaga
kerja serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan.
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi :
a) Pembuatan perjanjian kerja
b) Kewajiban buruh
c) Kewajiban majikan dan pengusaha
d) Berakhirnya hubungan kerja.
e) Cara penyelesaian perselisihan antara pihak yang bersangkutan
Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, maka agar setiap perjanjian kerja itu
sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian antara buruh dan majikan
b) Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian
c) Suatu hal tertentu artinya isi perjanjian tidak bartentangan
dengan peraturan undang-undang, ketertiban maupun kesusilaan
Bentuk perjanjian kerja adalah bebas, artinya perjanjian kerja tersebut
dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis.
a) Jenis Perjanjian Kerja
b) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
c) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang
jangka waktu berlakunya ditentukan dalam perjanjian kerja tersebut,
sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu jangka waktu
berlakunya tudak disebutkan dalam perjanjian kerja, tidak menyebutkan untuk
berapa lama tenaga kerja harus melakukan pekerjaan tersebut.
Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau
perkumpulan pengusaha dengan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja
berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja
dan atau keadaan hubungan perburuhan.
Seorang tenaga pekerja atau sekumpulan tenaga kerja tidak dapat
menjadi pihak yang berselisih. Apabila yang menjadi salah satu pihak adalah
tenaga kerja atau sekumpulan tenaga kerja maka penyelesaiannya hanya bias
sampai tingkat perantaraan /pegawai perantara , dan tidak dapat dilanjutkan
kesidang P4D atau P4P.
Pegawai perantara adalah Pegawai Departement Tenaga Kerja yang
ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan perantaraan dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan. Tidak adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja adalah karena perselisihan hak.
Salah satu penyebab umum yang terjadi pada berakhirnya suatu kontrk
kerja adalah pemutusan hubungan kerja.
Selanjutnya pemutusan hubungan kerja itu sendiri terdapat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga
kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
pekerja meninggal dunia
jangka waktu kontak kerja telah berakhir
adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang
ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Selain dari ahl-hal diatas, Perusahaan dilarang melakukan PHK dengan alasan
:
Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
Pekerja menikah
Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya
Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau
di dalam jam kerja atas kesepakatan perusahaan, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama
Pekerja yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai
perbuatan perusahaan yang melakukan tindak pidana kejahatan
Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
B. Prosedur Penghitungan Pesangon terhadap Pekerja/Buruh yang Terkena
Pemutusan Hubungan Kerja
Banyak kesalahpahaman yang terjadi saat Pemutusan Hubungan Kerja
dialami oleh Pekerja/Buruh, dimana perusahaan seringkali dengan liciknya
tidak memberitahukan hak hak yang dimiliki buruh/pekerja yang sebenarnya
telah diatur dalam undang-undang.
Adapun Hak-Hak yang wajib diberikan oleh Pengusaha atau Perusahaan
kepada Buruh/Pekerja sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.
Prosedur penghitungan nya kemudian diatur pada ayat selanjutnya yaitu
Pasal 156 ayat (2)
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun,
2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun,
3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (ension) bulan upah.
Selain Pesangon, Hak yang selanjutnya berhak di dapatkan oleh
Buruh/Pekerja ialah Uang Penghargaan, yang kemudian diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal
156 ayat(3) yaitu :
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)
tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (ension)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (ension) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan
upah.
Selanjutnya ada pula Uang Penggantian hak yang diatur dalam Ayat (4)
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Selanjutnya perubahan terhadap prosedur perhitungan hak hak diatas
ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Selanjutnya untuk lain lain hal yang menyebabkan terjadinya pemutusan
hubungan kerja diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diantaranya :
1. Pasal 158 ayat (1)
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Selanjutnya dalam ayat (2) :
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan
bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi
Bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan atas
alasan diatas menerima hak sebagaimana ditentukan dalam ayat (3) dan ayat
(4) yaitu :
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4)
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang
pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
3. Pasal 160 ayat (1) sampai dengan ayat (7)
13) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga
melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan
kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari
upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus)
dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh
perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama
6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan
oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam)
bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh
dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh
kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam)
bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)
3. Pasal 161 ayat (1) sampai dengan ayat (3)
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing
berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
4. Pasal 162 ayat (1) sampai dengan ayat (4)
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,
selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan
sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
5. Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan,
atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan
perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
6. Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa
(force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan ensio.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2
(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur)
tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
7. Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh
karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
8. Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia,
kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama
dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
9. Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena memasuki usia ension dan apabila pengusaha telah
mengikutkan pekerja/buruh pada program ension yang iurannya dibayar penuh
oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat ension yang diterima sekaligus
dalam program ension sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih
kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka
selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program
ension yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh,
maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang ension yang
premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia ension pada program ension maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) ension manfaat ension sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas
jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
10. Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih
berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan
bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut
dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh
masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
11. Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan
pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3).
12. Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151
ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3),
Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang
seharusnya diterima.
13. Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui
batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan
diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa prosedur penghitungan
pesangon yang diterima Pekerja/Buruh dalam Pemutusan Hubungan Kerja berbeda-
beda. Dimana kemudian perosedur pengitungannya akan disesuaikan dengan
jenis pemutusan hubungan kerja serta alasan yang melandasi terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, sebagai contoh adalah apabila Pemutusan
Hubungan Kerja tadi di dasari alasan bahwa Buruh/Pekerja melakukan tindak
pidana, maka Prosedur penghitungan yang digunakan ialah Pasal 158 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Begitu pula halnya dengan Pemutusan Hubungan Kerja selain dari contoh,
maka prosedur penghitungannya tinggal di sesuaikan saja dengan undang-
undang yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja yang
disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan
2. Masih banyak kesalahpahaman dan ketidak tahuan tentang hak hak yang
diterima buruh/pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja yang
kemudian dimanfaatkan perusahaan besar maupun kecil untuk mengurangi
pengeluaran
3. Hak-hak yang berhak diterima Buruh/Pekerja yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja ialah Uang Pesangon, Uang Penghargaan masa kerja, serta
Uang Penggantian Hak.
4. Prosedur penghitungan uang pesangon tidak di samaratakan, melainkan
ada 13 jenis kategori prosedur penghitungan uang pesangon yang
diterima buruh/pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
5. Semua ketentuan-ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dan
penghitungan pesangon terdapat dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
H. Manulang, Sendjun, 2001, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Husni, Lalu, 2003, Pengantar Hukum KetenagaKerjaan Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar
Grafika,Jakarta, 2009.
Dede Agus, Hukum Perburuhan Konvensi ILO, Dinas Pendidikan Provinsi
Banten, Serang, 2012.
Ikomatussuniah, Diktat Hukum Ketenagakerjaan, Serang, 2013.
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan
Kerja, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007.
Zainal Asikin, dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2014.
-----------------------
[1] Wikipedia; https://id.wikipedia.org/wiki/Pemutusan_hubungan_kerja
[2] Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia, 2018.