KATA PENGANTAR
Puji syukur syukur kami rahmatNya sehingga sehingga kami
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Esa atas berkat berkat dan dapat menyelesaikan menyelesaikan referat yang yang berjudul “intubasi” pada
waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu Anestesi Fakultas kedokteran UKRIDA Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara dr.Esnawan Antariksa, Jakarta Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada: dr. Hendro , SpAn SpAn selaku pembimbing dalam penyusunan makalah ini dan teman-teman serta
semua pihak yang ikut membantu dan
menyelesaikan laporan ini sehingga dapat selesai dan dikumpulkan tepat pada waktunya. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Jakarta, september 2012
Penulis
1
Daftar Isi
PENDAHULUAN
3
Definisi
4
Jenis
4
Tujuan
4
Indikasi dan Kontraindikasi
5
Persiapan pasien
5
Alat
6
Obat-obatan yang dipakai
10
Tehnik intubasi
11
Kesulitan intubasi
13
Komplikasi
15
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
17
2
PENDAHULUAN
Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. (Anonim, 1989) Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya jalannya acara operasi. (Anonim, 1986). Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya tindakan bedah, yang lebih luas, mudah serta manusiawi. (Anonim, 1986). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain : 1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau prosedur medik lain. 2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga. 3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah
dapat
melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestes i adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik.
3
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Bahkan,
menurut Halliday (2002)
penggunaan
intubasi
endotrakheal
juga
direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.
Definisi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002).
JENIS INTUBASI a.
Intubasi oral -Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien dalam keadaan
emergency,
resiko
terjadinya
trauma
jalan
nafas
lebih
kecil
-Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman. b.
Intubasi nasal -Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada pasien sadar, tidak akan tergigit -Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi ( sinusitis )
Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal : a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. 4
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain : a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri. c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal ata u sebagai bronchial toilet. d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain : a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Persiapan pasien
• Beritahuk an pasien tentang tindakan yang akan dilakukan • Mintakan persetujuan keluarga / informed consent • Berikan support mental • Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube. • Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar 5
Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu disiapkan yang disingkat dengan STATICS. 1. S = Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat. 2. T = Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tubeumumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii. Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
6
Usia
Diameter (mm)
Skala French
Jarak Sampai Bibir
Prematur
2,0-2,5
10
10 cm
Neonatus
2,5-3,5
12
11cm
1-6 bulan
3,0-4,0
14
11 cm
½-1 tahun
3,0-3,5
16
12 cm
1-4 tahun
4,0-4,5
18
13 cm
4-6 tahun
4,5-,50
20
14 cm
6-8 tahun
5,0-5,5*
22
15-16 cm
8-10 tahun
5,5-6,0*
24
16-17 cm
10-12 tahun
6,0-6,5*
26
17-18 cm
12-14 tahun
6,5-7,0
28-30
18-22 cm
Dewasa wanita
6,5-8,5
28-30
20-24 cm
Dewasa pria
7,5-10
32-34
20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa cuff Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil: Diameter dalam pipa trakea (mm)
= 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm)
= 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm)
= 12 + ½ umur (tahun)
Pipa
endotrakea
adalah
suatu
alat
yang
dapat
mengisolasi
jalan
nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
7
Gambar 4. Pipa endotrakea
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat 8
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari
Size
Size
PLAIN
CUFFED
hendaknya
2.5 mm
4.5 mm
beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi
3.0 mm
5.0 mm
3.5 mm
5.5 mm
4.0 mm
6.0 mm
4.5 mm
6.5 mm 7.0 mm
dipertimbangkan
trakeostomi,
bahkan
pada
bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien
7.5 mm
sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka
8.0 mm
panjang
8.5 mm
kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi
9.0 mm
dilakukan lebih dini.
mungkin
merasa
lebih
nyaman
dan
diberi
3. A = Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
9
5. I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dim asukkan. 6. C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun peralatan anestesia. 7. S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
Obat-Obatan yang Dipakai.
Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain : a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang
paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 – 100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi. b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision
intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak. c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar. d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi pernafasan. e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi. f.
Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
- Menghisap lozenges anagesik. 10
- Spray mulut, faring, cord. - Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior. - Suntikan trans tracheal. Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubai tanpa anestesi.
Teknik Intubasi Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4. Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita suara. Kelebihan dari bladeMiller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3. Pasien diposisikan dalam posisi “ sniffing ”, dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut.
11
Gambar 8. Sniffing Position Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antara handle dan blade. Setelah memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik “cross finger ” dari jari tangan kanan, laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30 cmH2O.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus
12
ditarik perlahan hingga suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera dengan menggunakan plester.
Gambar 9. Intubasi Orotrakeal
Intubasi Nasotrakeal
Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya, ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk lakilaki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.
Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal. Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan insidensi dari sinusitis dan bakteremia.
Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal ( Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan : a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
13
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth). e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine. f.
Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher. h. Fraktur servical i.
Rahang bawah kecil
j.
Osteoarthritis temporo mandibula joint
k. Trismus. l.
Ada masa di pharing dan laring
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan
14
napas. Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984): 1.
Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat
2.
Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat
3.
Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4.
Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat
Komplikasi Intubasi Endotrakheal .
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989) 1. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff . 2. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. 3. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. 4. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff .
Komplikasi pemasukan pipa endotracheal. 1.
Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
2.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung
3.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.
15
PENUTUP
Penggunaan intubasi endotrakeal pada anestesi umum adalah penting, mengingat perlu tetap dipeliharanya pernapasan yang adekuat. Pemasangan intubasi harus mengikuti prosedur yang baik agar tujuan dari penggunaannya dapat tercapai tanpa timbul efek samping. Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal adalah suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway) dengan cara memasukkan selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen dan lain-lain. Sebelum melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus melakukan persiapan pasien dan keluarga (informed consent ),persiapan obat-obatan(obat emergency,induksi,pelumpuh otot), dan persiapan alatalat ( Ambu bag , sungkup oksigen,laringoscop handle dan blade,mesin suction dan suction catheter,oropharingeal airway ,endotracheal tubessesuai ukuran pasien dan stylet ,plester dan gunting,spuit 10 cc, xylocaine jell ,stetoskop,serta hand scoon. Indikasi intubasi endotrakheal antara lain untuk menjamin oksigenasi yang adekuat(terutama pada orang dengan penurunan kesadaran dan obstruksi saluran pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher / posisi tengkurap yang menghalangi jalan nafas.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Protap
pemasangan
ETT
( Endotrakeal
tube)
available
from:http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/ Diunduh pada tanggal 22 September 2012. 2. Anastesi adalah seni available from: http://www.scribd.com/doc/51439743/menguak-
misteri-kamar-bius/ Diunduh tanggal 22 September 2012. 3. Kriteria intubasi. Available from : http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasi-
ekstubasi/ Diunduh pada tanggal 22 September 2012. 4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 2:3-45 5. Intubasi Endotrakeal. Availeble from : http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-
endotrakeal.html/ Diunduh tanggal 22 September 2012. 6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi.
Stanford University School of Medicine. Diakses
dari: http://emedicine.medcape.com 7. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi
Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id
17
MAKALAH INTUBASI
Pembimbing: dr. Hendro SpAn
Disusun oleh: Andri Fransis Liong (11-2011-197)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Udara Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
18