BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang penyebabnya ialah Mycobacterium leprae dan bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari penyakit kusta sangat bervariasi, yaitu antara 40 hari sampai 40 tahun dan pada umumnya penyakit ini membutuhkan waktu antara tiga hingga lima tahun (Kosasih dkk., 2007). Pada sebagian besar orang yang telah terinfeksi dapat teridentifikasi dengan tanpa gejala atau asimptomatik , namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Penyakit kusta dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe Multi tipe Multi Basiler dan Pausi Basiler (Amirudin dkk., 2003). Prevalensi penyakit kusta di Indonesia sejak tahun 2000-2008 tidak banyak mengalami perubahan. Pada tahun 2008 ada sedikit penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2007 prevalensinya sebanyak 1,05% menjadi 0,94% pada tahun 2008. Namun, persebarannya hampir terdapat di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus kusta yang berbeda-beda. Jumlah kasus kusta terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan (Depkes, 2008). Angka prevalensi penyakit kusta per10.000 penduduk pada tahun 2007 di Provinsi Jawa Timur sebanyak 1,62%, Provinsi Jawa Barat sebanyak 0,81%, dan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 1,86%. Dari data tersebut diketahui prevalensi penyakit kusta di Jawa Timur masih berada di atas standar yang telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu prevalensi rate kurang dari satu per 10.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2008 jumlah kasus baru di Provinsi Jawa
1
Timur sebanyak 4.912 dengan tipe Multi Basiler sebanyak 4.323 dan mengalami cacat tingkat 2 sebanyak 527 dengan kasus terdaftar sebanyak 6.863, kasus kambuh sebanyak lima kasus, dan jumlah kasus yang telah selesai menjalani pengobatan atau Release atau Release From Treatment (RFT) pada tipe Pausi Basiler sebanyak 97 dan pada tipe Multi tipe Multi Basiler sebanyak 93 (Depkes, 2008). Berdasarkan penelitian Fitri (2003), diketahui bahwa umur, pendidikan dan pekerjaan serta pengetahuan tentang lama pengobatan dan waktu harus kembali ke pelayanan setelah pengobatan pertama (faktor predisposisi) predisposisi) cenderung berhubungan dengan Drop Out (DO) (DO) pengobatan kusta. Akses biaya dan efek samping obat (faktor pemungkin) memiliki kecenderungan berhubungan dengan DO pengobatan kusta. Keterampilan petugas (faktor penguat) memiliki kecenderungan berhubungan dengan DO pen gobatan kusta. Faktor penguat lainnya yaitu, supervisi terhadap petugas kesehatan yang telah dilakukan kurang baik, insentif yang diterima informan dokter kebanyakan bukan bersumber dari program kusta. Sementara insentif yang diterima informan paramedis sudah cukup. B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kusta? 2. Bagaimana etiologi dari kusta? 3. Bagaimana patofisiologi kusta? 4. Bagaimana cara penularan kusta? 5. Bagaimana tanda dan gejala kusta? 6. Bagaimana Klasifikasi kusta? 7. Bagaimana dampak kusta
C. Tujuan
1. Memahami definisi kusta 2. Memahami etiologi kusta
2
3. Memahami patofisiologi kusta 4. Memahami cara penularan penyakit kusta 5. Memahami tanda dan gejala kusta 6. Memahami klasifikasi kusta 7. Memahami dampak kusta 8. Memahami
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Myco Mycobacte cteri um lep leprae ( M. M. leprae) leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf s araf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya(WHO, 2010; Noto & Schreuder, 2010). Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang dapat menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). Masalah yang timbul tidak hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis, ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin,2006). B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi
tipe paucibacillary
(PB)
dan
multibacillary
(MB).
Tipe
paucibacillary atau tipe kering memiliki ciri bercak atau makula dengan warna keputihan, ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan (pipi,punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung kaki ), dan permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan kecacatan (Sofianty, 2009).
4
C. Etiologi
Penyebab munculanya penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan pertama kali oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka pada permukaan kulit atau bisa juga melalui droplet yangdihembuskan dari saluran pernafasan. Sehgal (dalam Putra, 2012) mengatakan bahwa Mycobacterium bahwa Mycobacterium leprae memiliki ciri-ciri yaitu tahan asam,bersifat gram positif, berbentuk batang, lebar 0,3-0,4 0,3 -0,4 mikrometer, panjang 2-7mikometer, dan hidup di dalam d alam sel yang banyak mengandung lemak dan lapisanlilin. Mycobacterium lapisanlilin. Mycobacterium leprae membelah dalam kurun waktu 21 hari, sehingga menyebabkan masa tunas yang sangat lama yaitu 4 tahun. Munculnya penyakit kusta tersebut ditunjang oleh cara penularan.
D. Patofisilogi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium lepraemenderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan geneticJuga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab (13,37) Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per tahun di Cebu,Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa
menunjukan
adanya
5
sejumlah
organismedi
dermis
kulit.
Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke k e permukaan pe rmukaan kulit. k ulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium lepraeyang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita.
6
Pathway Kusta
7
E. Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa ahli mengatakan bahwa penyakit kusta menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006). Agustin dan Nurjanti (2002dalam Susanto, 2006) menyatakan bahwa penyakit kusta tidak hanya ditularkan oleh manusia tetapi juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan mangabey. Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh manusiay ang memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn, 2010). Penyakit kusta yang telah menular akan menimbulkan tanda dan gejala pada penderita kusta.
F. Tanda dan gejala
Menurut
Departemen
Kesehatan
RI
(2006),
diagnosis
penyakit
kustaditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu: a. bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih(hypopigmentasi) putih(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous (erithematous), ), penebalan kulit ( plakinfiltrate) plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba,suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian; b. penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalam kelemahan otot ( parese) parese) dan kelumpuhan ( paralisis), paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak. Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan kadang-kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta juga mengalami sakit kepala, kemerahan pada testis, radang pada pleura, radang pada ginjal, terkadang disertai penurunan fungsi ginjal, pembesaran hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf (Zulkifli, 2003)
8
G. Dampak
1. Bagi penderita kusta Penyakit kusta akan berdampak kepada penderita kusta dari berbagai aspek dan juga berakibat pada kualitas hidup yang semakin menurun (Rao &Joseph, 2007). a. Fisik Aspek fisik penyakit kusta akan berdampak pada lesi di kulit dan kecacatan tubuh penderita (Suryanda, 2007). Mycobacterium 2007). Mycobacterium leprae sebagai bakteri penyebab penyakit kusta dapat mengakibatkan kerusakan saraf sensori, otonom, dan motorik. Pada saraf sensori akan terjadi anestesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas sendi pada penderita kusta (wisnu dan Hadilukito, 2003). b. Psikologis Paradigma masyarakat beranggapan bahwa penyakit kusta adalah penyakit keturunan, penyakit yang bisa menular lewat apapun, dan tidak bias disembuhkan. Stigma masyarakat yang seperti itu akan membuat penderita kusta mengalami depresi dan bahkan ada keinginan untuk bunuh diri (Bakrie,2010). Penelitian Tsutsumi (2003) mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara stigma yang dirasakan oleh penderita kusta dengan depresi padapenderita kusta. Sebagianbesar penderita kusta yang tidak bisa menerima keadaan cacat tubuhnya akibat penyakit kusta mengalami kecemasan, keputusasaan dan perasaan depresi (Brouwers et al., al., 2011). Pertolongan pertama yang harus diberikan kepada penderita kusta adalah pada kesehatan psikologisnya selanjunya baru pengobatan fisik (Bakrie, 2010).
9
c. Ekonomi Kemiskinan adalah salah satu dampak dari penyakit kusta yang begitu besar. Perilaku penderita kusta cenderung cenderun g negatif, diantaranya penderita kusta banyak yang manjadi pengemis dan pengangguran. Pengemis
adalah
pekerjaan
utama
mereka
untuk
memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Penelitian juga menunjukkan bahwa penderita kusta yang menjadi pengemis akan berpotensi sebagai reservoir penularan infeksi penyakit kusta (Kaur & Van Brakel, 2002 ). Penderita kusta yang yang berusia produktif yang mengalami kecacatan
akan
memberikan
dampak
yang
negatif
seperti
pengangguran (Djaiman, 1999). d. Sosial Penelitian di China yang memfokuskan pada masalah sosial menunjukkan
bahwa
penderita
kusta
sering
terisolasi
dari
masyarakat, hidup sendiri, dan memiliki kesulitan dalam melakukan perawatan diri, aktivitas sehari-hari, penurunan produktivitas dan partisipasi sosial (Brouwers et al. , 2011). Masalah sosial muncul akibat ketakutan yang dialami penderita kusta dimasayarakat (leprophobia) (leprophobia),, rendahnya pengetahuan, kurang bersosialisasi dimasyarakat, dan stigma buruk di masyarakat, sehingga berakibat pada kurangnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyakit kusta (Suryanda, 2007). 2. Bagi keluarga Depkes RI (2006) menyatakan bahwa penyakit kusta akan berdampak pada kelangsungan hidup keluarga. Dampak yang yan g muncul dalam keluarga k eluarga diantaranya keluarga panik saat salah satu anggota keluarga mendapat diagnose penyakit kusta, berusaha untuk mencari pertolongan ke dukun,keluarga takut akan tertular penyakit kusta sehingga tidak jarang penderita kusta diusir dari rumah, keluarga takut diasingkan oleh masyarakat dan jika anggota keluarga yang menderita kusta adalah kepala
10
keluarga, akan berdampak pada sosial ekonomi keluarga tersebut. Dampak yang dirasakan oleh keluarga akan mempengaruhi keluarga dalam memberikan perawatan kepada penderita kusta. 3. Bagi masyarakat Depkes RI (2006) menyatakan bahwa selain berdampak pada keluarga, penyakit kusta juga akan berdampak pada lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal penderita kusta. Dampak yang muncul yaitu masyarakat merasa jijik dan takut terhadap penderita kusta, masyarakat menjauhi penderita kusta dan keluarganya, dan masyarakat merasa terganggu dengan adanya penderita kusta sehingga berusaha untuk menyingkirkan dan mengisolasi penderita kusta. Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat penyakit kusta sangat kompleks, baik bagi penderita, keluarga maupun masyarakat. Hal ini akan memicu timbulnya stress dan depresi pada penderita kusta. H. Penatalaksanaan
1. Terapi medik Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program
Multi
Drug
Therapy
(MDT)
dengan
kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
11
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya. 2. Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral. a. Perawatan mata dengan lagophthalmos -
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
-
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
-
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa -
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tandatanda luka, melepuh
-
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
-
Keadaan basah diolesi minyak
-
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
-
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
-
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa -
Penderita memeriksa kaki tiap hari
-
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
-
Masih basah diolesi minyak
-
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
-
Jari-jari bengkok diurut lurus
-
Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka -
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
12
-
Luka dibalut agar bersih
-
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
-
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian a. Biodata Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. b. Riwayat penyakit sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh c. Riwayat kesehatan masa lalu Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi. d. Riwayat kesehatan keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular. e. Riwayat psikososial Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
13
f.
Pola aktivitas sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. Pemeriksaan fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. 1) Sistem persarafan : a) Kerusakan fungsi sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. b) Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
14
c) Kerusakan fungsi otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. 2) Sistem muskuloskeletal : Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. 3) Sistem integumen : Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak. 2. Diagnosa keperawatan a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis b) Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi. c) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik. d) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh 3. Intervensi No
Diagnosa
NOC
NIC
Keperawatan
1
Nyeri
akut 1. Pain Level
1. Pain Management
berhubungan dengan 2. Pain Control agen injury biologis
Adapun kriteria hasil yang didapat setelah 1 Jam yaitu : a. Mampu
15
a. Lakukan pengkajian nyeri setiap 1 jam sekali b. Observasi nonverbal
mengontrol
ketidaknyaman
reaksi dari
nyeri b. Mampu
c. Kontrol melaporkan
bahwa
yang
dapat mempengaruhi nyeri
nyeri
seperti
berkurang c. Mampu
lingkunga
suhu
ruangan,
pencahayaan mengenali
nyeri
dan
kebisingan. d. Observasi
tanda-tanda
vital setiap 8 jam sekali e. Ajarkan
teknik
non
farmakologi,
teknik
relaksasi dan distraksi. 2. Analgesic Administration a. Tentukan karakterisitik,
lokasi, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian obat b. Cek riwayat alergi c. Pilih
analgesic
yang
diperlukan d. Kolaborasi
dengan
dokter dalam pemeberian analgetik
2
Integritas kulit yang 1. Tissue Integrity : skin
Pressure ulcer prevention wound
berhubungan dengan
care
lesi
dan
and mocus
proses 2. Wound healing 1. Jaga kulit agar tetap bersih
inflamasi. Setelah
dilakukan
tindakan
dan kering
keperawatan 2. Mobilisasi pasien setiap 2 jam
selama 8 jam, integritas
sekali
jaringan klien membaik, 3. Monitor kulit akan adanya dengan kriteria hasil:
kemerahan pembengkakan
16
dan
4. Monitor status nutrisi pasien a. Jaringan
secara
umum tampak utuh dan
bebas
tanda-tanda dan,
dari infeksi
tekanan
dan
trauma.
5. Observasi dimensi,
luka
::
lokasi,
kedalaman
luka,
jaringan nekrotik, 6. Berikan
posisi
mengurangi
yang
tekanan
pada
luka
b. Luka yang terbuka berwarna
merah Insision site care
muda 1. Membersihkan,
memperlihatkan repitelisasi
dan
bebas dari infeksi. c. Luka
yang
baru
sembuh teraba lunak dan
licin.-
dan
memantau,
meningkatkan
penyembuhan
proses
luka
yang
ditutup dengan balutan 2. Monitor proses kesembuhan 3. Ganti balutan pada interval waktu yang dianjurkan
Bersihkan luka/ulkus
setiap
hari. 3
Intoleransi aktivitas Setelah yang dengan fisik.
dilakukan 1. Pertahankan
berhubungan tindakan
keperawatan
posisi
tubuh
yang nyaman.
kelemahan selama 8 kelemahan fisik 2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, dapat
teratasi
dan
kepekaan pada kulit.
aktivitas dapat dilakukan. 3. Lakukan gerak Kriteria : 1. Pasien melakukan sehari-hari
17
diawali dapat aktivitas
latihan secara
rentang konsisten,
dengan
pasif
kemudian aktif, 4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas
perawatan
untuk
2. Kekuatan otot penuh
memberikan
periode
istirahat. 5. Dorong bantuan
dukungan
dan
keluaraga/orang
yang terdekat pada latihan. 4
Gangguan
konsep setelah
diri (citra diri) yang
dilakukan 1. Kaji makna perubahan pada
tindakan
8
jam
pasien
berhubungan dengan keperawatan tubuh dapat 2. Terima dan akui ekspresi ketidakmampuan dan
berfungsi secara optimal
kehilangan dan
fungsi tubuh
konsep
frustasi, ketergantungan dan
diri
kemarahan.
meningkat
perilaku menarik diri. 3. Berikan
Kriteria hasil: 1. Pasien
Perhatikan
dalam
parameter situasi individu, jangan
menyatakan
penerimaan
harapan
memberikan
kenyakinan yang salah
situasi
4. Berikan penguatan
diri
5.
2. Memasukkan perubahan
dalam
konsep
tanpa
diri
harga diri negatif
18
Berikan pendukung terdekat
kelompok untuk
orang
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat menyebar menyerang organ lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata serta jika tidak diobati dengan tepat akan menimbulkan kecacatan fisik pada penderita. Penyakit kusta muncul diakibatkan karena adanya faktor penyebab.
Penyakit kusta merupakan penyakit menular. Tetapi cara penularannya tidak mudah dan masa penularannya lama. Penyakit kusta menular dengan adanya kontak langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini bisa menimbulkan kecacatan pada penderita karena bakteri menyerang saraf penderita kusta. Penyakit kusta ini bisa disembuhkan apabila ditemukan tanda-tanda kusta dan diobati sejak dini. Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh rendah. Rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta. B. Saran Terapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hindari kontak langsung dengan penderita kusta, memeriksakan diri apabila muncul tanda – tanda kusta. Bila ditemukan sejak dini, kusta dapat disembuhkan dan tidak sampai menimbulkan kecacatan pada tubuh.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M.D. (2012). Penyakit (2012). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Klinis. Surabaya : Brilian Internasional. Farida, Nur. “Kid and Global Disease, Penyakit - Penyakit Penyakit Saat Kini.” Jakarta: Grasindo, 2010. Hariana, Arief. “812 Resep Untuk Mengobati 236 Penyakit.” Penyakit.” Depok: Penebar Swadaya, 2006. Laksmintari, puspita. “Penyakit Kulit dan Kelamin.” Jakarta Kelamin.” Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka, 2007. Mansjoer, Arif, et.al . “Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (Jilid 2).” Jakarta:
Media
Aesculapius
Indonesia, 2000
20
Fakultas
Kedokteran
Universitas