DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang.............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah......................................................................... 2 C. Tujuan Pembahasan...................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. B. C. D.
Pengertian Peradilan Agama......................................................... 4 Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia................. 4 Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama.................... 5 Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama
...................................................................................................... 7 E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama.............. 12 BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan.................................................................................... 14 B. Saran............................................................................................. 14 DAFTAR PUSTAKA
BAB I 0
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman1 telah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidahkaidah
yang
mengatur
hubungan
manusia
dengan
manusia
lain
(hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara paripurna. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. 2 Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3 Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.4
1 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57. 2 Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990, hlm. 71. 3 Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989. 4 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29. 1
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentukbentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. 5 Hal ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6 Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hokum yang berkembang dalam Masyarakat.7 sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan atau eksistensi Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga dengan pembahasan ini kita dapat memahami sejarah Peradilan Agama pada masa orde lama, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pemakalah pribadi. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah 1. Apakah Pengertian Peradilan Agama? 5 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama… 6 Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212. 7 Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35. 2
2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam di Indonesia? 3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama? 4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan Agama pada masa orde lama? 5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama? C. Tujuan Pembahasan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
Menjelaskan Menjelaskan Menjelaskan Menjelaskan
mengenai pengertian Peradilan Agama. bentuk Peradilan Agama di Indonesia. kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama. dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama pada
masa orde lama. 5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama.
3
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia. Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8 Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun 1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi. 8 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.17. 4
B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Peradilan Agama adalah sebutan resmi yang diberikan oleh peraturan perundangundangan di Indonesia. Akan tetapi, akan timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang dimaksud merupakan Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya Peradilan Islam di Indonesia? Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan Agama berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-orang yang beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.9 Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaannya, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah komplit mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang universal. Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia”
perlu digarisbawahi,
karena Peradilan Agama tersebut hidup di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan hukum Islam di satu pihak dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya. 9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama. 5
C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini dengan sengaja dibesarbesarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. 10 Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya. Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena politik kaum kolonialisme yang tidak mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap diberlakukan, baik menyangkut kompetensi absolutnya maupun menyangkut kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya, sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih tetap berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1964, eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah diterbitkan suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama
10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 204. 6
diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4 lingkungan Peradilan Negara.11 Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang dan tidak sempurna.12
D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai Peradilan khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi
wewenang
oleh
peraturan
perundang-undangan
negara,
untuk
mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas kekuasaannya. Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu kita ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan untuk mempertahankan keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun 1957, PP No. 45 Tahun 1957, dan UndangUndang No. 14 Tahun 1970 yang akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut. 1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957. a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957
11 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilanagama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013. 12 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”. 7
Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang bertugas mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam. Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak tanggal 1 Agustus 1946 atas tuntutan rakyat sebagai hasil revolusi kemerdekaan yang sesuai dengan hasrat masyarakat di Aceh, sehingga dibentuklah Mahkamah syar’iyyah yang diakui sah oleh wakil Pemerintah Pusat di Pemantang Siantar. Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya terdapat di Aceh, tetapi juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13 Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, 14 Mahkamah Syar’iyyah di Aceh berjalan lancar. Akan tetapi, ketika semua pegwai jawatan negara Republik Indonesia dipusatkan di kementerian agama dan Perdana Menteri Pemerintah Darurat meninggalkan Aceh, maka Mahkamah Syar’iyyah tidak ada lagi yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai dasar hukum yang kuat. Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah Syar’iyyah tersebut, menimbulkan pergejolakan di kalangan masyarakat. Dalam rangka meredakan pergejolakan serta untuk memberikan landasan yang kuat bagi eksistensi Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura, maka diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah untuk daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957. Menurut PP No. 29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada 13 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.73.
14 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74. 8
Pengadilan Negeri di Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari sekurang-kurangnya seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 8 orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. b. Wewenang
Pengadilan
Agama
Menurut
Peraturan
Pemerintah No. 29 Tahun 1957. Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi: 1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam. 2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh, serta hadhanah. 3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal, dan lain-lain berhubungan dengan itu. 4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik talak sudah berlaku.15 Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan dasar hukum Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat beragam. 1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957. 2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut Majelis Agama Islam didasarkan ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tanggal 1 Agustus 1950 No. 350 yang telah diaktivir dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1953. 3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 15 Tahun 1952.16
15 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia… 16 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75. 9
Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan serta ditambah
dengan
penampungan
banyak
pejabat-pejabat
Badan
Peradilan Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus, sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga, untuk melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, maka daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No. 45 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama dengan PP No. 29 Tahun 1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957 ternyata tidak dapat memberikan penyelesaian bagi daerah-daerah yang lain secara integratif, maka PP No. 29 Tahun 1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga digantikan oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.17 2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957. a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di daerah luar Jawa dan Madura. Peraturan Pemerintah ini menjelaskan bahwa pelaksanaan
dari
peraturan
ini
diatur
oleh
Menteri
Agama
sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 12. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan memerhatikan Surat Penetapan Menteri Kehakiman pada tanggal 27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6
tentang
Pengadilan
Kedudukan
Negeri,
pada
Pengadilan
13
November
Negeri 1957
dan
Kejaksaan
Menteri
Agama
17 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia… 10
menetapkan Penetapan Menteri Agama No.58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah
Provinsi,
kemudian
disusul
dengan
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi di Banjarmasin dan 34
Pengadilan
Agama/
Mahkamah
dan
1
Pengadilan
Agama/
Mahkamah Provinsi di Makassar.18 Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan Agama di daerah-daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-cabang kantor Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah, tidak hanya di luar Jawa dan Madura tetapi juga di daerah Jawa dan Madura. b. Wewenang
Pengadilan
Agama
Menurut
Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1957. Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-perkara yang dijelaskan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang berbunyi: “Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lainlain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga memutuskan
18 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77. 11
perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”19 Dari
penjelasan tersebut dapat kita
ketahui
bahwa
pada
hakikatnya isi dan wewenang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 sama dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan
peraturan
sebelumnya,
akan
tetapi,
pembentukan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif dan integratif, dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di seluruh penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak hanya di Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah lainnya. 3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan UndangUndang No. 14 Tahun 1970 Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Menurut undang undang ini, Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2) dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa: (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
19 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957. 12
a. b. c. d.
Peradilan Umum Peradilan Agama Peradilan Militer Peradilan Tata Usaha Negara
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.20 Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia, di samping tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan Peradilan Negara yang sah lainnya. Mahkamah Agung dan keempat lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah kekuasaan yang merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam undang undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan lain. Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di dalam pasal 2 Undangundang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: “Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain daripada yang tersebut di ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundangundangan.”21 Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan Agama adalah di bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain. Adapun hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Agama sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang organisatoris, administratif,
dan
20 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), hlm. 5. 21 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2. 13
keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: “ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1), organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan.”22 E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan Agama semakin kuat. Pada tahun 1972 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 34 Tahun 1972 terbentuk 4 kantor Peradilan Agama dan 6 cabang kantor Peradilan Agama/ Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah Provinsi Riau, Jambi, Aceh, dan Sumatera Utara.23 Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam suratnya tanggal 15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972 secara kuantitas jumlah Pengadilan Agama di seluruh Indonesia sampai dengan Tahun 1972 adalah sebagai berikut: a. b. c. d.
Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa, Madura 152 buah Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding untuk luar Jawa 60
buah e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding untuk wilayah Jawa 1 buah f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan Agama 11 buah.24 Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada masa orde lama kekuasaan Peradilan Agama sudah mulai kuat keberadaannya, hal ini disebabkan oleh adanya 22 UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1). 23 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82. 24 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia… 14
kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan tugasnya tanpa ada pengaruh dari kekuasaan pemerintah. Selain itu juga dapat kita liat perkembangan Peradilan Agama yang cukup pesat dengan ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan Indonesia.
BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada masa orde lama yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang Peradilan Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa orde lama, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 15
B. Saran Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai Peradilan Agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan Agama. Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang lebih baik, maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. , Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990. Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilanagama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982. Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta: Prenada Media, 2006. Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983. Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. 16
_______, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989. Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004. Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE LAMA Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam Dosen Pengampu: Bapak Malik Ibrahim.
17
Disusun oleh: 1. Zuni Syafitri 2. Khoirun Nisa
11350059 085643097964 11350065 085296319659
JURUSAN AL AHWAL AL- SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA 2013
18