BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana yang cukup tinggi. Indonesia berada di jalur lempeng tektonik dan di jalur magma dunia. Hal ini membuat Indonesia seringkali mengalami gempa bumi, letusan gunung berapi, longsor, hingga tsunami. Ditambah lagi dengan terus bertambahnya jumlah penduduk yang berakibat pada semakin berkurangnya daerah resapan, kemudian diperparah dengan ketidakdisiplinan masyarakat mengenai sampah dan pendirian bangunan, sehingga menyebabkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di setiap musim penghujan.
Indonesia juga memiliki beragam suku bangsa, agama, tradisi, dan bahasa. Hal ini merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, sekaligus menjadi salah satu penyebab timbulnya bencana sosial seperti konflik antarsuku jika tidak disikapi dengan bijak.
Bagi mereka yang menjadi korban dari bencana yang terjadi, tentu akan mengalami goncangan baik dari segi fisik maupun psikisnya. Dengan tingkat terjadinya bencana yang cukup tinggi, maka perlu adanya peningkatan dalam hal pencegahan dan penanganannya, serta keterlibatan dari semua pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pekerja sosial.
Profesi pekerjaan sosial memang belum sepopuler profesi dokter atau psikolog, padahal wilayah praktik profesi pekerjaan sosial mencakup hampir di setiap lini kehidupan, termasuk dalam masalah kebencanaan ini. Oleh karena itu, kami rasa perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat dan ini juga sekaligus menjadi hal yang melatarbelakangi kami dalam pembuatan makalah ini.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan hal-hal yang berkaitan dengan praktik profesi pekerjaan sosial yang behubungan dengan masalah kebencanaan, kami merumuskan beberapa topik dan permasalahan sebagai berikut:
Apakah yang dimaksud profesi pekerjaan sosial?
Apakah yang dimaksud dengan bencana?
Apa saja akibat yang bisa ditimbulkan dari terjadinya bencana?
Masalah apa sajakah yang dialami oleh para pengungsi akibat dari terjadinya bencana?
Bagaimana cara menanggulangi bencana yang telah terjadi ataupun yang berisiko terjadi?
Bagaimanakah peran pekerja sosial dalam memberikan pelayanan-pelayanan kepada para korban bencana/pengungsi?
1. 3 Tujuan Penulisan
Berikut adalah beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan makalah ini, diantaranya:
Memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Mengetahui dan memahami tentang profesi pekerjaan sosial.
Mengetahui dan memahami tentang apa itu bencana, jenis-jenis bencana, akibat yang ditimbulkan, cara penanggulangannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebencanaan.
Mengetahui dan memahami masalah-masalah yang dialami para pengungsi dan cara mengatasinya.
Mengetahui dan memahami peran pekerja sosial dalam memberikan pelayanan-pelayanan kepada para korban bencana/pengungsi.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
Berikut adalah beberapa pengertian/definisi menurut para ahli mengenai profesi pekerjaan sosial:
Max Siporin menyatakan bahwa Pekerjaan Sosial adalah suatu metoda institusi sosial untuk membantu orang mencegah dan memecahkan masalah mereka serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial.
Charles Zastrow berpendapat bahwa Pekerjaan Sosial adalah kegiatan professional untuk membantu individu, kelompok, dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan.
Menurut Walter A. Friedlander bahwa Pekerjaan Sosial merupakan suatu pelayanan professional yang praktiknya didasarkan kepada pengetahuan dan keterampilan tentang relasi manusia sehingga dapat membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mencapai kepuasan pribadi dan sosial.
Allan Pincus menyatakan bahwa Pekerjaan Sosial berkepentingan dengan permasalahan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya, sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengurangi ketegangan, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.
Di dalam praktiknya, profesi pekerjaan sosial memiliki tiga kerangka profesi, yaitu: kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka nilai (body of values), dan kerangka keterampilan (body of skills).
PENGERTIAN BENCANA
Berdasarkan UU RI No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari pengertian mengenai bencana di atas, dapat diidentifikasi bahwa penyebab terjadinya bencana bukan hanya disebabkan oleh faktor alam, ada faktor-faktor lain seperti faktor nonalam dan faktor manusia, sehingga jenis-jenis bencana pun sangatlah beragam bergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Dari sumber yang lain, bencana (disaster) diartikan sebagai kejadian yang waktu terjadinya tidak dapat diprediksi dan bersifat sangat merusak. Pengertian ini mengidentifikasikan sebuah kejadian yang memiliki empat faktor utama, yaitu: (1) tiba-tiba, (2) tidak diharapkan, (3) bersifat sangat merusak, dan (4) tidak direncanakan.
Bencana terjadi dengan frekuensi yang tidak menentu dan besar kecilnya akibat yang ditimbulkannya bergantung pada kesiapan masyarakat mengatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya bencana tersebut.
Berikut adalah jenis-jenis bencana berdasarkan faktor penyebabnya, antara lain:
Bencana Alam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana Nonalam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana Sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
AKIBAT YANG DITIMBULKAN OLEH BENCANA
Sebagaimana telah dipaparkan mengenai pengertian bencana di atas, tentunya bencana yang terjadi menimbulkan dampak yang tidak sedikit dan sebagian besarnya adalah merugikan. Tidak hanya merusak sarana dan prasarana umum seperti listrik dan gedung-gedung, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan.
Berikut adalah kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh beberapa bencana khususnya bencana alam, diantaranya:
Akibat gempa bumi dan/atau tsunami
Gempa bumi merupakan peristiwa bergesernya lempengan bumi di daratan maupun di dasar laut yang merambat sampai ke permukaan bumi. Gempa bumi disebabkan oleh aktifitas gunung berapi (vulkanik) maupun aktifitas tektonik sepanjang jalur-jalur rawan bencana. Gempa bumi yang berpusat di dasar laut dapat menyebabkan tsunami atau disebut gelombang pasang besar dan mampu menghancurkan wilayah pesisir.
Gempa bumi yang berpusat tidak jauh dari kota atau pusat permukiman penduduk akan mengakibatkan kerusakan besar seperti:
Hentakan gempa yang besar dapat mengakibatkan tanah longsor, bangunan roboh atau retak.
Merusak waduk atau tanggul sehingga air meluap dan bisa menimbulkan bajir besar.
Menyebabkan kebakaran karena rusaknya installasi listrik bangunan.
Tanah, jalan raya atau jembatan merekah atau ambruk.
Memakan korban jiwa makhluk hidup karena tertimpa reruntuhan atau tersapu oleh gelombang tsunami.
Akibat badai silikon
Badai silikon atau disebut juga angin topan yang terjadi dapat menghancurkan segala objek yang dilaluinya. Badai silikon yang berkekuatan besar mampu melewati daerah secara lebih luas. Apabila melewati daratan dan terutama pemukiman penduduk maka kerusakan besarlah yang terjadi seperti kerusakan bangunan dan sebagainya.
Akibat letusan gunung merapi
Gejala alam seperti letusan gunung berapi terjadi karena aktifitas magma di dalam perut bumi dan biasanya terjadi dengan disertai gempa. Kita hanya dapat memprediksi terjadinya letusan gunung berapi.
Letusan gunung berapi tentu menimbulkan kerusakan-kerusakan seperti:
Abu vulkanik dan awan panas yang mengancam keselamatan jiwa makhluk hidup.
Aliran lahar atau lava panas dapat menghanguskan apapun yang dilaluinya serta mendangkalkan sungai, apabila disertai hujan, kemungkinan banjir pun tidak dapat dihindari.
Setelah dingin, bekas aliran lava ini akan membeku dan membatu, tentu tidak dapat kembali diolah menjadi lahan pertanian yang maksimal dalam waktu dekat.
Robohnya bangunan, jalan, jembatan dan sebagainya, akibat aliran lava panas dan/atau akibat gempa vulkanik yang menyertainya.
Dampak dari bencana tersebut juga memunculkan berbagai macam masalah bagi para korban (manusia) baik masalah fisik seperti luka-luka dan kematian maupun psikis. Para korban bencana ini nantinya biasa disebut pengungsi.
Sebelumnya kami akan paparkan terlebih dahulu mengenai pengertian dari pengungsi itu sendiri.
Menurut United Nation High Commission for Refugees (UNHCR) pengungsi adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya karena adanya unsur pemaksa, seperti bencana alam (banjir, kekeringan, kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, gelombang pasang air laut/tsunami, wabah penyakit) dan peperangan, baik peperangan antarbangsa maupun antaretnik. Pengungsi mencakup dua pengertian yaitu pengungsi yang tidak melewati batas negara (internally displaced persons) dan pengungsi antarnegara (refugees).
Dalam pengertian yang lain, pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berupa banjir, tanah longsor, gempa, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung seperti peperangan, gagal teknologi, ledakan bom, dan sebagainya. Setiap pengungsi biasanya di tempatkan di sebuah tempat penampungan untuk memudahkan para relawan termasuk pekerja sosial mengurusi dan menolong mereka. Lama pengungsi berada di sebuah tempat penampungan tidak dapat diprediksi. Bergantung dari kondisi atau situasi itu sendiri. Biasanya pengungsi diurus oleh pemerintah setempat, tapi tidak menutup kemungkinan para relawan datang untuk membantu mereka.
Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya bencana tersebut, khususnya yang dialami oleh para korban dalam hal ini para pengungsi kebanyakan adalah masalah psikologis seperti stress dan depresi karena kehilangan sanak saudara dan harta benda atau karena mengalami masalah pada anggota tubuhnya seperti patah kaki dan sebagainya. Mereka juga mengalami keputusasaan, tidak ada lagi motivasi untuk melanjutkan hidup, menyerah pada keadaan, dan sebagainya.
MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PENGUNGSI
Masalah-masalah yang dihadapi pengungsi, kami bagi menjadi tiga kategori masalah, yaitu: masalah pada saat pra-bencana, pada saat bencana, dan pasca bencana.
Prabencana
Masyarakat di sekitar wilayah bencana menerima kebijakan dan program Pemerintah untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman namun evakuasi tersebut tidak menyelesaikan masalah mereka. Di satu sisi mereka memperkecil risiko terkena bencana entah letusan gunung berapi, longsor, banjir, dan sebagainya, utamanya kemungkinan terluka atau meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan, lumpur panas atau terseret air. Di sisi lain, timbul beberapa permasalahan baru, yaitu:
kehilangan mata pencaharian;
kehilangan tempat tinggal (untuk sementara atau bisa terjadi untuk seterusnya apabila bencana yang terjadi sangat merusak);
sebagian berpisah dengan Kepala Keluarga karena ayah atau suami banyak yang memilih untuk tetap tinggal di rumahnya masing-masing dengan alasan menjaga rumah (harta) miliknya dan tetap bekerja (petani, berkebun atau peternak);
pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, tempat tinggal sementara/ kamp penampungan, sarana air bersih, dll) yang tidak memadai;
anak-anak tidak bisa sekolah;
tingginya resiko penyakit-penyakit ringan (batuk dan flu) ataupun penyakit menular (misalnya diare) karena kondisi kamp dan lingkungan penampungan yang kurang bersih dan tidak kondusif serta sarana pelayanan kesehatan yang kurang memadai;
terganggunya fungsi dan peranan keluarga karena dalam satu kamp tinggal beberapa keluarga sekaligus;
hilangnya harga diri dan kemampuan baik sebagai individu maupun sebagai keluarga karena dalam kamp pengungsian mereka menerima belas kasihan dari pihak lain dan bahkan seringkali menjadi tontonan;
terhambatnya pelaksanaan fungsi dan peranan sosial dalam kekerabatan serta pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam kemasyarakatan, misalnya: kegiatan arisan, dan kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat dilaksanakan di lokasi pengungsian;
kejenuhan akibat ketidakpastian berapa lama harus mengungsi, perasaan tidak berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan putus asa menghadapi kemungkinan bencana yang tidak mungkin dihindari (tidak dapat melawan kehendak Tuhan); dan
berfikir tidak realistis dan mencari kekuatan supranatural untuk mencegah terjadinya bencana.
Pada Saat Bencana/Tanggap Darurat
Dengan asumsi bahwa bencana yang diprediksi pasti terjadi sebagaimana dikemukakan oleh Tim dari Balai Konservasi atau pihak yang bertanggung jawab di situ dan diasumsikan bahwa bencana tersebut sangat merusak maka masyarakat tetap harus tinggal di kamp penampungan untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Permasalahan yang timbul sebagai akibat terjadinya bencana tersebut secara fisik hampir sama dengan kondisi yang dialami saat pra bencana. Masalah-masalah sosial psikologis tambahan yang mungkin terjadi adalah:
ketakutan yang luar biasa (selalu ada kemungkinan tempat pengungsian mereka juga akan terkena dampak bencana);
kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian bahkan mungkin kehilangan anggota keluarga atau kepala keluarga yang tidak sempat menyelamatkan diri;
kekecewaan spiritual (dengan pertanyaan : mengapa Tuhan membiarkan hal itu terjadi; mengapa Tuhan memberikan ujian atau hukuman seperti itu bahkan mengapa Tuhan memberi cobaan kepada orang-orang yang merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama);
pasrah pada keadaan;
kecewa pada Pemerintah atau pihak-pihak lain yang tidak dapat meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi;
marah, stress atau frustasi dengan situasi dan kondisi yang serba tidak menentu;
putus asa; dan
ketidakpastian akan masa depan.
Pascabencana
Kondisi dan permasalahan pengungsi bencana alam pasca bencana dibagi atas 2 (dua) tahap, yaitu masa rehabilitasi dan pemulihan ketika masih berada di lokasi penampungan/pengungsian serta masa pemberdayaan dan pengembangan ketika pengungsi dipulangkan atau kembali ke tempat tinggal/daerahnya semula atau ke lokasi baru (relokasi).
Gambaran kondisi dan permasalahan pengungsi pada tahap pasca bencana adalah sebagai berikut:
MASA REHABILITASI DAN PEMULIHAN
Masalah-masalah Fisik seperti,
pemenuhan kebutuhan makan minum, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan yang tidak memadai;
tidak tersedia atau terbatasnya fasilitas umum maupun fasilitas sosial; dan
sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan bibit penyakit.
Masalah-masalah Sosial dan Psikologis seperti,
kekhawatiran akan terjadinya bencana susulan;
rasa sedih dan kehilangan yang mendalam apabila ada anggota keluarganya yang meninggal;
halusinasi mengenai kejadian bencana baru yang akan menimpa mereka di tempat pengungsian;
stress (ringan, sedang, berat);
frustasi dan trauma;
kecewa dan putus asa dengan situasi dan kondisi kehidupan yang mereka alami di pengungsian;
potensi timbulnya konflik dengan sesama pengungsi akibat jenuh, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, tidak optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran keluarga dan kemungkinan-kemungkinan hilangnya pengendalian diri;
kekecewaan terhadap pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah yang berpotensi menjadi aksi sosial;
hilangnya harga diri dan rasa percaya diri;
pasrah, putus asa, merasa tidak berdaya dan ketidakpastian terhadap masa depan;
menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka;
ketergantungan terhadap bantuan dari Pemerintah dan pihak-pihak lainnya;
menyalahkan Tuhan; dan
menolak direlokasi ke tempat baru (apabila tempat tinggal/daerahnya semula sudah tidak dapat dihuni lagi).
MASA PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN
Pada masa pemberdayaan dan pengembangan, permasalahan masyarakat korban bencana dari lokasi pengungsian dibagi atas dua jenis, yaitu eks pengungsi yang kembali ke tempat tinggal atau daerahnya semula dan eks pengungsi yang direlokasi (dipindahkan ke tempat baru). Masalah-masalah yang timbul pada masa ini dapat digambarkan sebagai berikut:
pemenuhan kebutuhan fisik yang kurang memadai akibat rusaknya tempat tinggal, lingkungan permukiman dan mata pencaharian;
perasaan khawatir atau trauma yang berkepanjangan karena suatu saat bencana tersebut akan terulang lagi;
tidak optimal dalam membangun kembali tempat tinggal dan lingkungan permukimannya karena sesuai ramalan para ahli mengenai periode tertentu bencana tersebut akan terjadi lagi, sehingga menyebabkan mereka merasa tidak perlu membuat yang terbaik;
merasa tidak tahu dan tidak berdaya memulai dari mana untuk membenahi kembali kehidupan mereka;
kecewa kepada Pemerintah yang tidak optimal membantu untuk membangun kembali tempat tinggal dan lingkungan permukiman mereka;
mencari kekuatan gaib atau supranatural untuk membantu percepatan pemulihan kehidupan mereka serta mencegah terulangnya kejadian bencana;
apabila kejadian bencana menyebabkan kehilangan kepala atau anggota keluarga maka beban hidup dirasakan lebih berat; dan
kesulitan untuk beradaptasi di tempat tinggal yang baru (apabila direlokasi).
PENANGGULANGAN BENCANA
Di dalam pasal 3 ayat 2 UU RI No.24 Tahun 2007 terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam melakukan proses penanggulangan bencana. Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana tersebut, yaitu:
cepat dan tepat;
prioritas;
koordinasi dan keterpaduan;
berdaya guna dan berhasil guna;
transparansi dan akuntabilitas;
kemitraan;
pemberdayaan;
nondiskriminatif; dan
nonproletisi.
Terdapat empat prinsip lain dalam penanganan bencana. Berikut adalah keempat prinsip tersebut yang dalam pelaksanaannya harus dikoordinasikan dengan baik, tidak bisa seenaknya, yaitu: (1) one commando, (2) one rule, (3) one team, (4) one goal.
One commando, artinya harus satu koordinasi atau satu perintah di dalam pengaturan dan pendistribusian bantuan kepada para korban bencana termasuk pengaturan dan pemanfaatan tenaga-tenaga sukarelawan yang terlibat.
One rule, artinya harus satu aturan yang disepakati bersama, misalnya bagaimana mekanisme penyaluran bantuan yang akan diberikan.
One team, artinya bahwa semua lembaga/ unit yang ada harus satu misi yaitu misi kemanusiaan atau misi pertolongan. One team menuntut suatu kerjasama yang baik antar lembaga yang ada. Pertolongan kesehatan harus didukung dengan penyediaan tenda yang memadai, harus didukung dengan penyediaan air bersih, juga harus didukung dengan penyediaan sarana transportasi yang memadai, komunikasi yang lancar dan lain sebaginya.
One goal, artinya semua lembaga yang ada harus bekerja untuk satu tujuan yaitu pertolongan kemanusiaan. Karena itu, tidak ada perhitungan materi.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: (1) tahap prabencana, (2) saat bencana/tanggap darurat, dan (3) pasca bencana.
Prabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi:
Perencanaan penanggulangan bencana oleh pemerintah dan pihak terkait seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Pengurangan risiko bencana melalui pengenalan dan pemantauan risiko bencana; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana; peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan penerapan upaya fisik, nonfisik, serta pengaturan penanggulangan bencana.
Pencegahan yang meliputi identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana; pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana; penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan penguatan ketahanan sosial masyarakat.
Pemaduan dalam perencanaan pembangunan dari berbagai pihak.
Analisis risiko bencana oleh BNPB.
Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.
Pendidikan dan pelatihan; dan
Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi:
Kesiapsiagaan, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Peringatan dini, yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
Mitigasi bencana, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Saat bencana/tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Pascabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi:
Rehabilitasi melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana; perbaikan prasarana dan sarana umum; pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; pemulihan sosial psikologis; pelayanan kesehatan; rekonsiliasi dan resolusi konflik; pemulihan sosial ekonomi budaya; pemulihan keamanan dan ketertiban; pemulihan fungsi pemerintahan; dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Rekonstruksi melalui kegiatan pembangunan kembali prasarana dan sarana; pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Penanggulangan bencana itu sendiri bertujuan untuk:
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
menghargai budaya lokal;
membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan
menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
MODEL-MODEL PELAYANAN BAGI PENGUNGSI
Secara umum, permasalahan pengungsi sejak masa prabencana sampai dengan pascabencana hampir sama namun model-model pelayanan yang diberikan tidak dapat diseragamkan. Pemberian pelayanan dapat diberikan secara generalis untuk jenis masalah tertentu namun untuk kasus-kasus tertentu diperlukan model pelayanan yang khusus pula. Model-model pelayanan bagi pengungsi korban bencana alam dalam masing-masing tahapan adalah sebagai berikut :
Tahap Prabencana
Pada tahap ini, pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah dan semua pihak termasuk Profesi Pekerjaan Sosial bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang sudah diperkirakan. Langkah-langkah dan kegiatan yang dilaksanakan antara lain:
Pendataan Daerah Rawan Bencana
Pendataan Masyarakat
Inventarisasi dan penyediaan kebutuhan sarana dan prasarana penanggulangan bencana (bahan makanan, bahan sandang, kamp penampungan, sarana pelayanan kesehatan dan sarana penunjang lainnya).
Memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana serta upaya meminimalisir kerugian yang mungkin timbul.
Memberikan latihan dan simulasi bagi masyarakat dalam menghadapi kejadian bencana
Menetapkan daerah atau lokasi evakuasi
Memindahkan atau mengevakuasi masyarakat ke lokasi yang telah ditetapkan.
Dalam tahap ini Pekerja Sosial perlu melakukan intervensi terhadap keluarga-keluarga yang enggan untuk mengungsi karena berbagai alasan. Penguatan kapabiltas kelompok dengan menggunakan pengaruh stakeholder juga sangat diperlukan. Pada kasus prabencana biasanya, sebagian masyarakat menolak untuk dievakuasi sekalipun sudah dihimbau oleh Tokoh Masyarakat yang ada.
Bagi masyarakat yang bersedia untuk dievakuasi ke daerah yang aman diberikan pelayanan-pelayanan yang sesuai, antara lain:
ADVOKASI
Yaitu memberikan perlindungan dan mewakili kepentingan pengungsi melakukan koordinasi dengan pihak terkait (utamanya Pemerintah) agar hak-hak pengungsi dan kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan layak.
MEDIASI
Yaitu membantu pengungsi dalam berhubungan dengan sistem sumber yang berkompeten dalam memenuhi kebutuhannya.
MEMBENTUK KELOMPOK-KELOMPOK BANTU DIRI (SELF HELP)
Pembentukan kelompok ini dimaksudkan agar pengungsi dapat saling mendukung di antara mereka sendiri dalam menghadapi situasi dan kondisi kehidupan di kamp penampungan, memikirkan dan merencanakan alternatif-alternatif pemecahan masalah dan langkah-langkah yang ditempuh apabila bencana benar-benar terjadi dan menginventarisasi kebutuhan maupun sistem sumber yang diharapkan dapat membantu untuk pelaksanaannya.
PARTISIPASI
Yaitu melibatkan pengungsi dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di kamp pengungsian, seperti dapur umum, membangun fasilitas umum atau perbaikan sanitasi lingkungan atau menciptakan beberapa kegiatan baru, misalnya latihan-latihan keterampilan yang sederhana, melibatkan para orang tua untuk ikut mendirikan dan mengajar di sekolah tenda dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan agar pengungsi dapat mengalihkan perasaan-perasaannya yang negatif (cemas, takut, dll) menjadi perasaan positif dalam kegiatan yang sifatnya gotong royong dan konstruktif.
Metoda yang digunakan dalam tahap ini adalah Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization) dan Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work).
Tahap Kejadian (Tanggap Darurat Bencana)
Pada tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah:
Evakuasi.
Pemberian bantuan bahan makanan, sandang dan penampungan sementara, dll bagi masyarakat yang sebelumnya menolak dievakuasi.
Menambah stok kebutuhan pengungsi.
Meningkatkan pelayanan kesehatan.
Dalam tahap ini yang paling utama yang perlu dilakukan oleh Pekerja Sosial adalah berempati terhadap korban bencana, melakukan pendataan terhadap pengungsi-pengungsi baru dan bekerja sama dengan semua pihak untuk menempatkan pengungsi di kamp-kamp yang sudah disediakan dan memastikan agar mereka berkumpul dengan keluarganya serta semua kebutuhannya terpenuhi.
Dalam kegiatan ini Profesi Pekerjaan Sosial biasanya tidak dapat menjadi Leading Sector karena dalam semua kasus bencana termasuk di Indonesia, peran Pemerintah (Satuan Penanggulangan Bencana yang terdiri dari Dinas Kimpraswil, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, BMG, TNI, POLRI dan Instansi terkait lainnya) lebih dominan. Pekerjaan Sosial dapat mengambil posisi penting sebagai manajer kasus apabila mempunyai data yang lengkap dan akurat mengenai jumlah pengungsi dan berbagai kebutuhannya mulai pada masa prabencana, mempunyai rencana program dan kegiatan penanggulangan yang memungkinkan untuk dilaksanakan serta dapat meyakinkan semua pihak terkait untuk melaksanakannya secara terkoordinasi. Metode yang digukan pada tahap ini adalah Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization).
Tahap Pasca Bencana
TAHAP REHABILITASI DAN PEMULIHAN
Tahap ini dilakukan pada saat pengungsi masih berada dalam kamp penampungan apabila mereka harus tinggal cukup lama di kamp karena mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana susulan. Apabila menurut pihak yang berkompeten bencana (letusan gunung, banjir, dan sebagainya) sudah selesai maka pelayanan rehabilitasi dan pemulihan dapat dilanjutkan di daerah asal masing-masing pengungsi atau di tempat tinggal mereka yang baru apabila mereka direlokasi.
Peran Pekerjaan Sosial dalam tahap ini sangat penting karena permasalahan yang timbul akan menjadi lebih kompleks bila bencana yang terjadi juga menimbulkan korban jiwa. Peran Pemerintah pada tahap ini lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan makan minum pengungsi dan sarana penunjang di kamp penampungan.
Pasca kejadian bencana, Pekerja Sosial perlu membiarkan para korban bencana alam atau pengungsi untuk beberapa waktu (1 – 3 hari) untuk meluapkan perasaan-perasaannya (marah, sedih, kecewa, dan sebagainya), mencari atau dikunjungi kerabatnya, menenangkan diri dan mulai beradaptasi dengan situasi dan kondisi di kamp penampungan. Model pelayanan yang dilakukan oleh Pekerja Sosial, diantaranya:
Advokasi
Yaitu memastikan agar semua kebutuhan pengungsi dapat terpenuhi secara layak dan memadai. Kebutuhan-kebutuhan yang belum mencukupi dikomunikasikan dengan pihak Pemerintah dan pihak-pihak lainnya agar dapat disediakan.
Intervensi Keluarga
Pelayanan ini utamanya dilakukan apabila keluarga yang bersangkutan mengalami kehilangan anggota keluarga (meninggal) atau ada anggota keluarga yang sakit fisik (karena terkena material letusan gunung atau benda-benda lainnya) atau mengalami keguncangan.
Terapi Krisis
Pelayanan ini diberikan kepada individu-individu yang mengalami stress atau trauma karena kejadian bencana itu sendiri, karena kehilangan harta bendanya atau karena kehilangan anggota keluarganya.
Partisipasi
Seperti halnya pada tahap pra bencana maka pada masa pasca bencana pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan di kamp penampungan (dapur umum, latihan keterampilan, dll) untuk mengalihkan perasaan-perasaannya yang negatif.
Menyusun Rencana Pemulihan bersama-sama dengan Pengungsi
Kegiatan ini adalah penyusunan alternatif rencana pemulihan yang akan dilakukan pengungsi pada saat kembali ke tempat tinggalnya semula atau ke lokasi yang baru. Pekerja Sosial perlu memberi gambaran dan membantu pengungsi untuk meningkatkan kesiapan mental dan sosialnya dalam menghadapi situasi terburuk yang mungkin akan dihadapi di daerah asalnya atau di lokasi yang baru. Umumnya pengungsi korban bencana alam telah mengetahui dan pasrah kehilangan tempat tinggal di daerah asalnya namun pada saat mereka melihat sendiri kerusakan yang terjadi maka tidak dapat dihindari akan timbul perasaan-perasaan kecewa, sedih yang mendalam dan putus asa.
Mediasi
Pekerja Sosial melakukan mediasi antara pengungsi dan Pemerintah atau pihak-pihak lain agar rencana pemulihan yang telah disusun oleh pengungsi dapat dilaksanakan secara sinkron dengan rencana pemulihan yang disusun oleh Pemerintah.
Fasilitasi
Apabila pengungsi dipindahkan ke lokasi yang baru (relokasi) maka Pekerja Sosial perlu melakukan fasilitasi agar pengungsi dapat beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat di daerah yang baru. Demikian pula sebaliknya, Pekerja Sosial perlu melakukan pendekatan, penyuluhan dan fasilitasi terhadap masyarakat di daerah tujuan yang baru agar dapat menerima kehadiran para pengungsi yang direlokasi ke daerah mereka.
Pelayanan-pelayanan yang diberikan pada tahap rehabilitasi dan pemulihan ini menggunakan metoda Pekerjaan Sosial dengan Individu (Social Case Work), Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work) serta Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (Community Organization/ Community Development).
TAHAP PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN
Dalam tahap ini, pelayanan yang diberikan oleh Pekerja Sosial antara lain:
Advokasi
Yaitu melindungi dan mengupayakan kepastian mengenai pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi secara layak dan memadai di tempat tinggalnya setelah keluar dari kamp penampungan, baik di daerah asalnya ataupun di daerah yang baru (relokasi).
Adaptasi
Bagi pengungsi yang direlokasi ke daerah yang baru maka Pekerja Sosial perlu memberikan pemahaman, pembelajaran dan mendukung mereka dalam proses penyesuaian diri.
Intervensi Keluarga
Keluarga-keluarga pengungsi yang kehilangan kepala keluarganya perlu mendapatkan pelayanan khusus karena seorang istri atau ibu harus mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah. Pengertian, dukungan dan partisipasi semua anggota keluarga sangat dibutuhkan agar masa transisi peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik agar fungsi keluarga dapat pulih kembali dan stabilitasasi peran keluarga dapat dicapai.
Pembentukan dan Terapi Kelompok
Dalam banyak kejadian bencana, banyak terjadi kasus adanya sekelompok orang yang menolak untuk dipindahkan ke daerah yang baru, tidak puas dengan situasi dan kondisi yang baru atau merasa tidak berdaya dengan situasi dan kondisi baru yang sangat berbeda dengan tempat tinggalnya semula. Perasaan-perasaan tersebut seringkali menimbulkan tekanan atau stress, frustasi dan selalu ada kemungkinan timbul aksi sosial atau konflik.
Untuk kasus seperti ini maka Pekerja Sosial perlu membentuk kelompok-kelompok khusus untuk mendapatkan terapi. Terapi yang dilakukan antara lain: pengungkapan perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan dengan pembelajaran sederhana mengenai cara membangun perasaan-perasaan yang positif dan bekerja bersama-sama dengan kelompok untuk menginventarisasi hal-hal positif yang dapat dilakukan di daerah yang baru dan menyusun rencana kegiatannya.
Metoda yang digunakan dalam pemberian pelayanan pada tahap ini adalah Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work) serta Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (Community Organization and Community Development).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan kami mengenai wilayah praktik profesi pekerjaan sosial khususnya mengenai kebencanaan. Kami menyimpulkan bahwa profesi pekerjaan sosial merupakan salah satu profesi yang turut andil dalam penanganan/ penanggulangan bencana mulai dari tahap prabencana hingga pascabencana. Para pekerja sosial juga sangat dibutuhkan di kamp-kamp pengungsian untuk melakukan pertolongan-pertolongan kepada para korban bencana agar mereka bisa bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
Dalam proses penanggulangan bencana ini juga memerlukan partisipasi dari semua pihak baik dari pemerintah pusat maupun daerah, kementerian-kementerian, masyarakat serta pihak-pihak yang terkait, karena ini adalah tanggung jawab kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Siporin, Max. 1970. Introduction to Social Work Practice. New York : Macmillah Publishing Co. Inc. London : Collier Macmillah Publisher.
Pincus, Allen & Minahan, Anne. 1970. Social Work Practice – Model and Method. University of Wisconsin, Madison. F. E. Peacock Publishers, Inc.
wikipedia - "natural disasters coping with calamity harvard review of latin america". revistaVI (2). WINTER 2007. Retrieved 10-8-2011.
wikipedia - "natural disasters: prepare, mitigate, manage, csa". Akses: 10-08-2011.
wikipedia - "natural disasters in indonesia: strengthening disaster preparedness, eastasiaforum". Akses: 10-08-2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Muhidin, Syarif. 2007. Fungsi dan Peranan Pekerja Sosial, Prinsip Panduan bagi Pekerja Sosial dan Teori atau Model Pekerjaan Sosial. Bandung : Bhinneka.
Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial – Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam. 2003. Pedoman Teknis Standardisasi Bantuan Sosial Korban Bencana Alam. Jakarta : Departemen Sosial RI.
National Association of Social Workers. 2003. Disasters. Social work speaks: National Association of Social Workers policy statements, 2003–2006 (6th ed., p.83). Washington, DC: NASW Press.
Departemen Kesehatan (2001) - Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana Dan Penanganan Pengungsi.
3