BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya memuat berbagai informasi tentang seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. Karena memang Al-Qur’an diturunkan untuk umat manusia, sebagai sumber pedoman dan sumber ilmu pengatahuan. Salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Metode Pendidikan dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pengajaran. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di jelaskan sedikit tentang beberapa metode pengajaran dalam perspektif Al-Qur’an. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja Ayat Al-Quran mengenai metode pendidikan? 2. Bagaimana penjelasan ayat-ayat Al-Quran mengenai metode pendidikan? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui ayat Al-Quran yang berkaitan dengan metode pendidikan. 2. Untuk mengetahui penjelasan dan maksud ayat tersebut.
BAB II
1
2
METODE PENDIDIKAN Q. S. AL-MAIDAH: 67, Q. S AN-NAHL: 125 Q. S IBRAHIM: 24-27, DAN Q.S AL-A’RAF: 175-177 A. Q.S AL-MAIDAH: 67
Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah SWT memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. 1. Asbabun Nuzul Ayat Ada beberapa riwayat dengan turunnya surat AlMaidah ayat 67 ini diantaranya: “Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku dengan risalah
kerasulan.
Hal
tersebut
menyesakkan
dadaku
karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah SWT memerintahkan kepadaku, untuk menyampaikannya dan kalau tidak, Allah SWT akan menyiksaku”. Maka turunlah ayat ini yang mempertegas perintah
penyampaian
risalah
disertai
jaminan
akan
keselamatannya.1 Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa Siti Aisyah r.a. menyatakan bahwa Nabi SAW biasanya dijaga oleh para pengawalnya sampai turun ayat “wallahu ya’shimuka minnannas”. Setelah ayat itu turun Rasulullah menampakan dirinya dari kubbah sambil berkata: “Wahai 1 Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hal.189.
3
saudar-saudaraku
pulanglah
kalian,
Allah
SWT
telah
menjamin keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat tidur masing-masing.2 Riwayat lain menjelaskan
ketika
ayat
ke-67
diturunkan kepada Rasulullah SAW beliau bersabda: “Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku perbuat, padahal aku hanya
seorang
diri.
Sedangkan
orang-orang
kafir
bergerombol dalam menghadapi diriku?”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi: Wa illam taf’al famaaballaghta risaalatahuu. Wallaahu ya’shimuka minan-naasi. Innallaha laa yahdil-qaumal kaafiriin. Artinya
“Dan
jika
tidak
kamu
kerjakan
(apa
yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah SWT memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. Ayat ini pada pokoknya memberikan
perintah
dengan
tegas
atas
kewajiban
menyampaikan risalah kenabian kepada ummat manusia sekalipun mereka menentang. Di samping itu merupakan jaminan dari Allah SWT untuk menjaga keselamatan Rasulullah SAW dalam menjalankan tugas dakwahnya.3 2. Penjelasan Ayat Dalam ayat ini Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad saw., supaya menyampaikan semua yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia. Dan tidak boleh disembunyikan atau ditinggalkan satu ayatpun. 2 Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, hal. 189. 3 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 332.
4
Hal itu telah dilaksanakan oleh Nabi dengan sebaik-baiknya, yaitu menyampaikan Al-Quran dengan lisan dan tulisan kepada sahabatsahabatnya. Kemudian sahabat-sahabatnya dan alim ulama, sebagai pewaris Nabi menyampaikan pula kepada seluruh umat manusia. Berkata Nabi SAW: Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.4 Nabi saw juga berkata: Sampaikanlah dari padaku, meskipun satu ayat. Maka kewajiban kita sekarang menyampaikan AlQur’an kepada seluruh penduduk Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya. Dengan demikian baru kita menyampaikan risalah Allah SWT. Imam Syafi’i berkata. “Allah SWT berfirman, “Allah SWT memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. Maksudnya, memeliharamu dari pembunuhan mereka, sebelum kamu menyampaikan apa yang diwahyukan kepadamu. Maka, sampaikan apa yang diperintahkan.5 B. Q. S AN-NAHL: 125
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 1. Asbabun Nuzul Ayat Para mufasir berbeda pendapat seputar Asbab annuzul
(latar
belakang
turunnya)
ayat
ini.
Al-Wahidi
menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW 4 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), hal. 162. 5 Majdi bin Manshur bin Syyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hal. 167.
5
menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.6 AlQurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.7 Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan Asbab annuzul-nya.
Sebab,
ungkapan
yang
ada
memberikan
pengertian umum.8 Ini berdasarkan kaidah ushul:
ب مصوم ب الل س ف ب ظ بل ب ب ص ن ال ف ب ف ب أ س عب فبرةب ل ب ص ص ال س ع ص سب ب ب خ ص صصو ب
Artinya: “Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”. Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek
(maf‘ûl
bih)-nya.
Ini
adalah
uslub
(gaya
pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (liat-ta’mîm). Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah SWT kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. 2. Penjelasan Ayat 6 Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir, (Mesir: t.p, tt.), juz 1, hal. 440. Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb anNuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, (t-tp: tp, tt.), juz 1, hal. 191. 7 Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, (Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, 1420 H.), Juz IV, hal. 613. 8 Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (tp, tt, t-tp), hal. 12.
6
Pada awalnya Surat An-Nahl ayat 125 ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah SAW. Kalimat yang digunakan adalah fiil amr “ud’u” (asal kata dari da’a-yad’u-da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil. Dalam kajian ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip dalam menggunakan metode dakwah yang meliputi hikmah, mauzdhoh hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar menjadi prinsip dari berbagai sistem, berbagai metode termasuk komunikasi juga pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal menjadi sebuah “metode”.9 “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pendidikan yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (pangkal ayat 125). Ayat ini mengandung ajaran .kepada Rasulullah s.a.w. tentang cara melancarkan dakwah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah. Dengan demikian ada tiga cara dalam metode berdakwah menurut ayat 125 Surah An-Nahl, yaitu: a. Kata "Hikmah" itu kadang-kadang diartikan
orang
dengan Filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi Hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup, kadang-kadang lebih berhikmat "diam" daripada "berkata". b. Yang kedua ialah Al-Mau'izhatul Hasanah, yang diartikan pendidikan yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasehat. 9 Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hal.
7
c. Yang
ketiga
ialah
"Jadilhum
billati
hiya
ahsan",
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakan lagi pilihlah jalan yang sebaikbaiknya. Diantaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah.10 C. Q. S IBRAHIM: 24-27
Artinya: 24. tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, 25. pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaanperumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. 26. dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.
10 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hal. 321322.
8
27. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. 1. Penjelasan “Tidakkah kamu, wahai manusia, mengetahui secara yakin bagaimana Allah SWT telah membuat perumpamaan dan meletakkannya pada tempat yang tepat”. Sesungguhnya, Allah SWT yang Maha Kuasa telah membuat perumpamaan bagi kalimat yang baik, yaitu iman yang tetap di dalam kalbu mu’min, yang yang karena itu amalnya diangkat ke langit, sebagaigaman firman Allah SWT: “Kepada-Nyalah naik perkataanperkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (Fatir, 35: 10) Dan karena iman itu pula berkah serta pahala amalnya senantiasa diterima. Sebab, setiap kali orang mu’min mengucapkan “La ilaha ilahaillah”, dibawalah ucapan itu naik ke langit, lalu datanglah berkah dan kebaikannya.11 Allah SWT mengumpamakan kalimat yang baik itu dengan pohon yang baik, berbuah, indah dipandang, harum baunya, pokonya tertancap kokoh di dalam tanah, yang karenanya tidak mudah tumbang, dan cabangcabang menjulang tinggi ke udara. Keadaan ini menunjukkan kepada kokohnya pokok, kuatnya akar, dan jauhnya pohon dari benda-benda busuk yang ada di dalam tanah serta kotoran bangunan. Maka, pohon itu mendatangkan buahnya yang bersih dari segala kotoran, dan berbuah pada setiap musim dengan perintah serta izin penciptanya. Jika seluruh sifat tersebut dimiliki oleh pohon ini, maka akan banyak manusia yang menyukainya. Allah SWT mengumpamakan kalimat iman dengan sebuah pohon yang akarnya tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah bersemayam di dalam satu kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim, karena buahnya tidak 11 Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994), hal. 278.
9
pernah terputus. Setiap kalbu menerima dari kalbu serupa dan mengambil dengan cepat, lebih cepat daripada kobaran api pada kayu bakar yang kering, atau aliran listrik pada logam, atau cahaya pada senter. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang baik itu ialah ucapan “La Ilaha illah”, dan pohon yang baik ialah pohon kurma.12 “Pernah (suatu ketika)kami berada di sisi Rasulullah SAW. beliau bersabda, ‘Beritahukanlah padaku sebuah pohon yang menyerupai orang muslim, yang daunnya tidak pernah berguguran, tidak pada musim panas dan tidak pula pada musim dingin, serta mendatangkan buahnya pada setiap musim dengan izin Penciptanya’. Ibnu Umar berkata, ‘Kemudian terbetik dalam hatimu bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Namun aku enggan untuk berbicara. Tatkala mereka tidak berkata sepatah pun, Rasulullah SAW. bersabda, ‘Pohon kurma’, menakala kami bengkit, aku berkata kepada Umar, ‘Wahai ayahku demi Allah SWT sungguh telah terbetik dalam hatiku bahwa ia adalah pohon kurma’. Umar bertanya, lantas apa yang menghalangimu untuk berbicara, maka saya enggan berbicara
atau
mengucapkan
sesuatu’.
Umar
berkata,
‘Kamu
mengucapkannya adalah lebih aku sukai daripada begini dan begini. Kemudian, Allah SWT mengisyaratkan keagungan perumpamaan ini, agar ia menjadi pendorong untuk memikirkan dan mengetahui maksudnya: Pembuatan perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan manusia terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat mengeluarkan makna dari yang tersembunyi kepada yang jelas, dan dari yang dapat diketahui dengan pikiran kepada yang dapat diketahui dengan tabiat. Dengan perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang sesuatu yang diumpamakan.13 12 Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, hal. 279-280. 13 Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, hal. 280.
10
Allah SWT mengumpamakan perkataan yang baik, (seperti kalimat tauhid, nasehat, dan sebagainya) seperti sepohon kayu yang baik, pokoknya tetap dibumi dan cabangnya menjulang kelangit. Ia berubah pada tiap-tiap waktu dengan izin Allah SWT. Umpama perkataan yang keji (seperti perkataan syirik, umpat, gunjing, fitnah, dan sebagainya) seperti sepohon kayu yang buruk yang terbongkar uratnya dari muka bumi, hingga ia tiada dapat tegak dimuka bumi. Allah SWT menetapkan hati orang-orang yang beriman dengan perkataan yang kokoh, yakni dengan dalil dan keterangan, sehingga tetap keimanannya dalam hatinya di dunia dan diakhirat. Allah SWT menyesatkan orang-orang yang aniaya dan memperbuat apa-apa yang dikehendaki-Nya menurut hikmah-Nya (kebijaksaan-Nya), yaitu menetapkan hati orang-orang mukmin dan menyesatkan orang-orang yang zalim. Begitulah sunnatullah.14 Dengan demikian, garis besar yang dapat ditarik dari penjelasan Q.S. Ibrahim ayat 24-25, dalam ruang lingkup pendidikan menggunakan 2 metode, yaitu: a. Metode perumpamaan Dalam dunia pendidikan, membuat perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan peserta didik terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaanperumpamaan. Dengan perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang sesuatu yang diumpamakan. b. Metode kontemplasi Dalam ayat ini memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi dan mentafakuri ciptaan Allah SWT agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Dengan metode kontemplasi, pendidik dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari kandungan ayat-ayat Allah SWT yang memiliki kandungan-kandungan makna yang tersirat, sehingga dapat menyampaikannya kepada peserta didik. Metode pendidikan yang baik dalam kegiatan belajar mengajar harus: 14 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, hal. 364.
11
1) Menggunakan
perumpamaan
yang
baik-baik
saja
agar
mendapatkan contoh yang baik sehingga peserta didik dapat menirunya. 2) Menggunakan kata-kata yang baik dan benar agar peserta didik mampu menyerap manfaat darinya. 3) Tidak diperbolehkan menggunakan kata-kata buruk yang dapat mempengaruhi perilaku siswa. 4) Senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan dalam kegiatan belajar mengajar.15 D. Q.S AL-A’RAF: 175-177
Artinya: 175 “dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. 176. dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
15 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 5, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 144-145.
12
177. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. 1. Asbabun Nuzul Ayat Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa “dia” adalah seorang laki-laki dari Bani Israel yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Riwayat lain mengatakan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki dari Palestina yang diktator. Riwayat lain juga mengatakan bahwa dia adalah orang Arab yang bernama Umayyah bin Shalt. Adapula riwayat yang mengatakan bahwa “dia” adalah seseorang yang hidup sezaman dengan masa Rasulullah, yang bernama Amir al-Fasik. Dan, ada pula riwayat yang mengatakan bahwa orang tersebut semasa dengan Nabi Musa a.s. Ada lagi riwayat yang mengatakan bahwa dia hidup sepeninggal Nabi Musa a.s, yaitu sezaman dengan Yusya’ bin Nun yang memerangi para diktator Bani Israel sesudah mereka kebingungan dan terkatung-katung di padang pasir selama empat puluh tahun. Yakni, sesudah Bani Israel tidak mau memenuhi perintah Allah SWT untuk memasukinya dan berkata kepada Nabi Musa a.s.,”Maka pergilah engkau bersama Tuhanmu, lalu perangilah mereka, sedang kami menunggu di sini.” 2. Penjelasan Ayat Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kehendak Allah SWT itu mengikuti amal kita. Dalam penciptaan, kita diberi kemampuan (potensi) untuk berikhtiar (berusaha dan memilih). Dengan potensi ikhtiar kita bisa berbuat sesuatu amal yang berpahala atau yang mengandung dosa. Jika seseorang memilih kebajikan, Allah SWT memberi jalan-jalan yang memudahkannya, demikian pula sebaliknya, bagi mereka yang memilih kejahatan (kemaksiatan) juga diberi jalan untuk itu.16 Firman Allah SWT, “Maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, maka diulurkannya lidahnya. Dan jika kamu membiarkannya, maka ia mengulurkan lidahnya pula”. Yakni, dia menjadi 16 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 1512.
13
seperti anjing dalam hal kesesatannya dan kesinambungannya dalam kesesatan itu. Hal ini karena di antar kebiasaan anjing ialah menjulurkan lidahnya, apakah ia itu dihalau maupun tidak. Demikian pula dengan Bal’am. Tidak lagi berguna baginya adanya ajakan kepada keimanan maupun tiadanya ajakan itu. Dalam kedua hal itu tidak berguna nasihat dan seruan kepada keimanan bagi Bal’am, atau tiadanya nasihat dan seruan itu kepadanya. Hal ini seperti firman Allah SWT Ta’ala, “Sama saja bagi mereka, apakah kamu memberi peringatan kepada mereka atau kamu tidak memperingatkan mereka, mereka tidak beriman”.17 Firman Allah SWT, “Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka”. Yakni agar Bani Israel dan seluruh manusia “berpikir” terhadap kejadian akhir Bal’am, penyesatan Allah SWT terhadap dirinya, dan penjauhannya dari rahmat-Nya karena dia menggunakan nikmat Allah SWT, yaitu diajari nama yang agung yang tidaklah dia meminta melalui nama itu melainkan diberi. Dan tidaklah menggunakannya untuk berdo’a melainkan dipenuhi pada jalan yang bukan ketaatan kepada Tuhan-nya, bahkan dia menggunakannya untuk mendo’akan buruk kepada golongan ar-Rahman, rakyat beriman, dan pengikut hamba dan rasul-Nya, yaitu Nabi Musa a.s. pada masa itu. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, “Agar mereka berpikir”, yakni mudah-mudahan kaum musyrikin Quraisy yang memperoleh cerita Bal’am melalui al-Qur’an menjadi takut dan mengambil pelajaran dari kejadiannya. Sesungguhnya mereka, yakni kaum musyrikin Arab dan Yahudi yang hidup pada zaman itu, mengetahui Muhammad seperti mereka mengetahui anaknya sendiri, merekalah manusia yang paling pantas dan paling utama untuk mengikutinya, menolongnya, dan memuliakannya. Dan sesungguhnya barangsiapa yang berpaling, diantara kaum musyrikin dan Banim Israel, dari mengimani Rasulullah SAW., menyalahi sifat Nabi yang terdapat dalam Taurat, dan menyembunyikan sifat17 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah SWT: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 453.
14
sifatnya, maka Allah SWT akan menimpakan kepadanya kehinaan di dunia yang berlanjut hingga kehinaan di akhirat. Firman Allah SWT, “Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan
ayat-ayat
kamu.
“Yakni,
seburuk-buruknya
perumpamaan ialah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat Allah SWT. Maka meraka diserupakan dengan anjing yang tidak memiliki keinginan kecuali terhadap makanan dan syahwat. Barangsiapa yang keluar dari kerangka ilmu dan petunjuk, menuju kepada syahwat dirinya, dan memperturutkan hawa nafsunya, maka dia menyerupai anjing. Seburuk-buruknya perumpamaan adalah perumpamaan itu. Firman Allah SWT, “Dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim”, yakni Allah SWT tidak menzalimi mereka dari mengikuti petunjuk, cenderung kepada negeri cobaan, dan meperturutkan hawa nafsu.18 Dengan demikian, garis besar yang dapat ditarik dari penjelasan Q.S.
Al-A’raf
ayat
176-177,
dalam
ruang
lingkup
pendidikan
menggunakan metode cerita. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan. Al-Qur’an mempergunakan cerita sebagai alat pendidikan, seperti: cerita tentang Nabi atau Rasul terdahulu, cerita kaum yang hidup terdahulu baik yang ingkar kepada Allah SWT atau pun yang beriman kepada-Nya.19 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
18 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah SWT: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 454. 19 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 153.
15
Berdasarkan pemaparan pembahasan di atas mengenai metode pendidikan berdasarkan Al-Quran, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ayat Al-Quran yang menjelaskan metode pendidikan diantaranya adalah Surah Al-Maidah ayat 67; Surah An-Nahl ayat 125; Surah Ibrahim ayat 24-27; dan Surah Al-‘Araf ayat 175-177. 2. Penjelasan ayat a. Surah Al-Maidah ayat 67; ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad saw., supaya menyampaikan semua yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia. Dan tidak boleh disembunyikan atau ditinggalkan satu ayatpun. Hal ini juga sesuai dengan sabda Nabi saw: Sampaikanlah dari padaku, meskipun satu ayat. Artinya kita tidak boleh menyerah dalam menyampaikan risalah kebaikan kepada seluruh manusia walaupun halangan dan rintangan menghadang. b. Surah An-Nahl ayat 125; menurut ayat ini ada tiga hal dalam metode pendidikan, yaitu: Kesatu, kata "Hikmah" itu kadang-kadang diartikan orang dengan Filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahamkan
oleh
orang-orang
yang
telah
terlatih
fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi Hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup, kadang-kadang lebih berhikmat "diam" daripada "berkata". Kedua ialah Al-Mau'izhatul Hasanah, yang diartikan pendidikan yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasehat. Ketiga ialah "Jadilhum billati hiya ahsan", bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh agar dalam
16
hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakan lagi pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Diantaranya ialah
memperbedakan
pokok
soal
yang
tengah
dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. c. Surah Ibrahim ayat 24-27; berdasarkan ayat ini ada dua metode yang digunakan, yaitu 1) Metode perumpamaan, membuat perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan peserta didik terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Dengan perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang sesuatu yang diumpamakan. 2) Metode kontemplasi, memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi dan mentafakuri ciptaan Allah SWT agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Dengan metode kontemplasi, pendidik dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari kandungan ayatayat Allah SWT yang memiliki kandungan-kandungan makna yang tersirat, sehingga dapat menyampaikannya kepada peserta didik. d. Surah Al-‘Araf ayat 175-177; menurut ayat ini metode yang digunakan
dalam
pendidikan
diantaranya
dengan
metode. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan. Al-Qur’an mempergunakan cerita sebagai alat pendidikan, seperti: cerita tentang Nabi atau Rasul terdahulu, cerita kaum yang hidup terdahulu baik yang ingkar kepada Allah SWT atau pun yang beriman kepada-Nya. B. Saran-saran Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis juga menerima saran dan kritikan demi perbaikan makalah ini selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA
17
Al-Maliki, Muhammad bin ‘Alawi. Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm alQur’ân. tp, tt, t-tp. Al-Maragi, Ahmad Muastafa. Terj. Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994. Al-Wahidi. Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir. Mesir: t.p, tt., juz 1. An- Nasyabury, Al-Wahidi. Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab. t-tp: tp, tt., juz 1. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah SWT: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Asy-Syuri, Majdi bin Manshur bin Syyid. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992. Ibn
Katsir, Abu Al-Fida Ibn Umar. Tafsir Al-Qur’an Al – Adzim. Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah. Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, 1420 H., Juz IV.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 5. Jakarta: Lentera Abadi, 2010. Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Nata,
Abudin. Tafsir Ayat-ayat RajaGrafindo, 2002.
Pendidikan.
Jakarta:
PT
Shaleh, Qamaruddin, dkk.. Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV. Diponegoro, 1992. Uhbiyati, Nur. Ilmu Setia, 1997.
Pendidikan
Islam.
Bandung:
Pustaka
18
Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004.