Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Soal 1 Pemerintah memberikan subsidi energi dan non-energi dengan jumlah yang berfluktuasi berfluktuasi tiap tahunnya.
Sumber: Informasi APBN 2016
A. Proporsi Belanja subsidi energi dan non-energi dari total belanja pemerintah pusat untuk tahun 2011-2015.
Ket. % Subsidi Energi Subsidi NonEnergi Total
87%
13% 100%
2011 APBN
%
2012 APBN
%
2013 APBN
2014 % APBN
%
2015 APBN
Rp255,60
88%
Rp306,5
87%
Rp310
87%
Rp341,8
65%
Rp137,8
Rp39,70
12%
Rp39,90
13%
Rp45,10
13%
Rp50,20
35%
Rp74,30
Rp295,30
100%
Rp346,40
100%
Rp355,10
100%
Rp392
100%
Rp212,10
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
B. Apakah alokasi untuk subsidi energi dan non-energi sudah tepat untuk tahun 20112015?
Menurut saya, alokasi untuk subsidi energi dan non-energi untuk tahun 20112014 tidak tepat. Besarnya anggaran untuk subsidi energi sangat jauh berbeda untuk subsidi non-energi. Selain itu, selama beberapa tahun besarnya anggaran untuk kebijakan subsidi energi maupun non-energi seringkali tidak tepat sasaran. Sehingga pemberian subsidi jadi tidak efektif. Jika kembali pada defini subsidi itu sendiri merupakan upaya pemerintah melalui penyaluran anggaran kepada produsen barang dan jasa dalam rangka pelayanan publik sehingga masyarakat khususnya ekonomi lemah dapat memenuhi hajat hidupnya dengan harga beli yang lebih terjangkau atas barang dan jasa publik yang disubsidi tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa subsidi adalah bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada produsen dan konsumen suatu bisnis atau sektor ekonomi atas barang/jasa tertentu. Namun, pada praktiknya subsidi disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, kebijakan pemerintahan yang baru pada tahun 2015 untuk memangkas anggaran untuk subsidi sangatlah bijak. Pemerintahan yang baru sebaiknya mengkaji ulang sistematika pemberian subsidi agar tepat sasarn sehingga tujuan pemberian subsidi dapat tercapai dan dapat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah.
Referensi:
Republik Indonesia. Informasi APBN 2016.
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Soal 2 Belanja modal dalam bentuk infrastruktur beberapa tahun ini terus ditingkatkan hingga ke desa-desa. A. Pemerintah mengalokasikan belanja untuk infrastruktur secara besarbesaran bahkan hingga ke desa-desa.
Menciptakan stabilitas ekonomi yang kuat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menjadi visi besar setiap pemerintahan, yang tercermin dari APBN yang dipersiapkan
dalam
mendukung
visi
Pemerintahan.
Dalam
mendukung
visi
Pemerintahan Jokowi, utamanya dalam membangun kemandirian ekonomi serta memastikan
bergeraknya
sektor-sektor
produktif,
sebagaimana
kita
ketahui,
Pemerintahan Presiden Jokowi melalui draf APBNP-2015 tengah melakukan reformasi kebijakan fiskal di sektor penganggaran pembangunan. RAPBN-P 2015 menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengurangi anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan kesejahteraan rakyat dan pemerataan dengan menggeser atau merealokasi sebagian anggaran bendahara umum negara ke anggaran infrastruktur. Kebijakan reformasi fiskal ini merupakan langkah mendasar dan sebagai bagian penting dari reformasi struktural memperkuat fundamental perekonomian Indonesia, di antaranya dengan memacu pembangunan infrastuktur dasar guna memacu sektor-sektor produktif dan meningkatkan daya saing ekonomi, penyaluran bantuan kepada masyarakat untuk memitigasi penurunan daya beli sehingga tetap dapat kondusif bagi pertumbuhan konsumsi. Selain untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing menghadapi MEA, pemerintah juga fokus terhadap pembangunan infrastruktur di desa melalui pemberian dana desa. Hal ini disebabkan karena saat ini pertumbuhan ekonomi desa
tengah
mengalami
perlambatan.
Seperti
berita
yang
dilansir
oleh
pamongreaders.com(2016) akibat turunnya harga komoditas di pasar internasional. Pertumbuhan ekonomi desa hingga pertengahan 2015 hanya sekitar 4,8 persen. Desa seakan terlupakan dari pembangunan selama ini. Tidak heran jika banyak penduduk desa mencari pekerjaan di kota besar yang ekonominya jauh lebih
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
berkembang. Akibatnya, kemajuan desa tidak begitu signifikan, bahkan diantaranya cenderung mengalami kemunduran. Hal inilah sebenarnya merupakan cikal bakal berbagai masalah di kota-kota tujuan urbanisasi, mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi. Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota sangat besar. Pe njelasan motivasi penduduk desa melakukan urbanisasi adalah pertumbuhan tenaga kerja di desa tidak menambah output desa. Karena itu, kebijakan dana desa yang baru ini berpotensi untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan tersebut. Pengelolaannya pun langsung diserahkan dan dikelola desa. Marwan yakin, dengan pola itu daya konsumsi masyarakat semakin meningkat. Sehingga, kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dari pedesaan. Ia berharap dana desa meningkatkan konsumsi masyarakat di pedesaan sehingga kesejahteraan terjamin. Pembangun infrastruktur, sarana dan prasarana desa merupakan program utama dalam penggunaan dana desa. Sebab infrastruktur ini menjadi penunjang aktifitas masyarakat desa di segala bidang. Pembangunan infrastruktur desa tak boleh dilakukan setengah-setengah. Terutama untuk infrastruktur jalan desa yang menentukan aksesibilitas sebuah desa. Infrastruktur jalan merupakan kebutuhan paling dasar yang bisa bermanfaat bagi komunitas desa. Dengan baiknya akses jalan, maka aktifitas perekonomian di wilayah itu akan semakin baik.
B. Cara pemerintah pusat untuk meminimalisir kemungkinan pemerintah daerah dan desa melakukan tindak pidana korupsi dalam belanja infrastruktur.
Besarnya dana untuk belanja infrastruktur ini sangat berpotensi memberikan peluang untuk korupsi. Proses pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh dana desa ini hendaknya transparan dan mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk mencegah mark up pengadaan, hendaknya menggunakan standard biaya umum/khusus yang diterbitkan melalui peraturan Menteri Keuangan. Jika tidak ada hendaknya pemerintahan daerah dan desa
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
mengusulkannya dalam rencana anggaran biaya kegiatan dengan persetujuan Badan Permusyaratan Desa lalu disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk disetujui. Melihat peluang korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyurati seluruh aparat desa di Indonesia untuk mengingatkan agar alokasi dana desa dimanfaatkan dengan benar dan tidak melanggar hukum, apalagi korupsi. Penggunaan dana belanja infrastruktur yang akan digelontorkan pemerintah pusat langsung kepada perangkat desa akan rawan penyelewengan bila pengelolaan dana tersebut tidak melibatkan fasilitator atau pendamping masyarakat desa. Kerawanan tersebut disebabkan minimnya pengawasan terhadap penggunaan dana desa dan rendahnya
kemampuan
perangkat
desa
dalam
pengelolaan
maupun
penataan
administrasi penggunaan dana desa tersebut. Tanpa fasilitator, rawan Penyelewengan meskipun itupun tidak ada jaminan mutlak. (kemenkeu.go.id , 2015) Tidak dapat dipungkiri bahwa perangkat desa biasanya hanya mampu mengerjakan proyek dan kerap mengabaikan pencatatan dan pelaporan penggunaan anggaran. Kondisi tersebut membuat dana pembangunan desa sering tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan menjadi temuan aparat pemeriksa keuangan. Tanpa bantuan fasilitator, masyarakat desa dan perangkat desa benar-benar bingung mengelola dana pembangunan desa. Untuk membuat rencana kerja pun terkadang perangkat desa bingung, sehingga dana pembangunan desa t idak bisa cair hingga akhir tahun anggaran anggaran pembangunan desa tersebut dikucurkan sesuai dengan amanat UndangUndang. Untuk itu sangat di butuhkan Sumber Daya Manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan dalam penglelolaan maupun penataan administrasi penggunaan dana untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus mengagendakan adanya pengawasan terpadu oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang merupakan kebijakan pengawasan yang harus disepakati bersama, serta disusun dalam suatu grand design atau pun framework tentang pengawasan terpadu yang dijabarkan ke dalam perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Implementasi pengawasan terpadu ini dilakukan dengan mengacu pada ketentuan:
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
1. Sinergi pengawasan sebagai kebutuhan profesi APIP agar terus dikembangkan serta koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) perlu ditingkatkan guna percepatan pemberantasan KKN; 2. sosialisasi kebijakan pengawasan kepada semua pihak agar jajaran birokrasi dan masyarakat dapat melaksanakan secara profesional dan proporsional; 3. meningkatkan kemampuan teknis dan intelektual pengawas sesuai tuntutan profesi dan kebutuhan masing lembaga APIP; 4. koordinasi pengawasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan agar kegiatan pengawasan mempunyai daya cegah, daya tangkal dan menimbulkan dampak jera kepada para pelaku penyimpangan dalam melaksanakan tupoksinya serta pengelolaan sumberdaya yang berada di bawah tanggung jawabnya; 5. mengkoordinasikan pengawasan masyarakat dan hasil pengawasan APIP dengan unsur Muspida yang terkait secara arif dan bijaksana agar semua pihak termotivasi untuk melaksanakan pemerintahan daerah ke arah terciptanya pemerintahan yang baikl dan bersih; 6. melaksanakan pemeriksaan khusus dan atau pemeriksaan serentak terhadap permasalahan yang menjadi per hatian pemerintah dan atau masyarakat dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan dan atau pemerintah daerah yang belum tertampung dalam program kerja pengawasan rutin/reguler.
Referensi:
Diunduh dari www.kemenkeu.go.id Diunduh dari www.pamongreaders.com
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Soal 3
Sebagian besar pemerintah daerah tidak merencanakan pinjaman daerah seperti obligasi daerah dalam penerimaan pembiayaan. Namun, dalam beberapa tahun belakangan
ini
terdapat
beberapa
daerah
yang
merencanakan
untuk
mengeluarkan obligasi daerah. A. Sebab pemerintah daerah memilih untuk menerbitkan obligasi daerah.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 105/2000 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 22/1999 memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan daerah. Pemerintah daerah, bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga legislatif, terlebih dahulu menentukan arah kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran sebagai guidance dalam pengalokasian sumberdaya dalam APBD. AKU dan prioritas anggaran merupakan sintesis dari hasil penjaringan aspirasi masyarakat sehingga diperoleh gambaran yang cukup tentang kebijakan jangka pendek (tahunan) dan kebijakan jangka panjang (lima tahunan) yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, membuka peluang Daerah untuk mendapatkan pendanaan alternatif melalui penerbitan Obligasi Daerah (OD). Penerbitan Obligasi Daerah menjadikan keadaan yang sangat menarik, seiring dibukanya keran otonomi daerah, terutama dengan adanya UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi OD. Pembiayaan melalui penerbitan obligasi memang merupakan alternatif pembiayaan yang relatif murah dan dana yang bisa diperolehnya cukup besar, tetapi itu semua akan disertai banyak konsekuensi yang harus dipenuhi oleh pemda sebagai issuer .
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Pemerintah daerah beranggapan bahwa obligasi daerah merupakan sarana pebiayaan yang paling tepat bagi pemerintah daerah dan sebagi salah satu alternatif pendanaan. Karena obligasi daerah memiliki manfaat antara lain: a.
Membiayai defisit anggaran .
Pemerintah daerah dapat memenuhi ketidakcukupan sumber pembiayaan sendiri yang diakibatkan oleh local tax income, minimya dana trnsfer dari pemerintah pusat, keterbatasan pinjaman dari lembaga keuangandalam atau luar negeri. b.
Sumber dana jangka panjang.
Pemerintah daerah mendapatkan suber pembiayaan jangka panjang yang dapat disesuaikan
dengan
kebutuhan
pembangunan,potensi,
serta
kemampuan
pembayaran, yang pada akhirya akan membawa kemakmuran bagi masyarakat di daerah tersebut. c.
Membiayai suatu proyek yang strategis.
Dana hasil penjualan oligasi daerah dapat digunakan untuk membiayai proyek proyek
yang
besifat
strategis
untuk
kepntingan
pelayanan
publik
atau
medantangkan pendapatan bagi pemerintah daerah, yang karena keterbatasan anggaran tidak dapat dibiayai oleh APBD. d.
Mempercepat pembangunan daerah.
Pemerintah daerah dapat memicu dan memacu pembangunaan di daerahya. Pembangunaan tersebut akan meciptakan multiplier effect (pelipatgandaan manfaat ekonomi) antara lain dalam bentuk penciptaan lapangan pekerjaan, tersediaya sarana prasarana yang dapat mempercepat perputaran roda perekonomian sehingga akan menigkatkan kesejahreraan masyrakat. e.
Terciptaya instrumen investasi baru.
Adaya obligasi daerah, selain memberikan mafaat langsung dengan dibangunya infrastruktur, masyarakat juga dapat menikmati imbal hasil ( yield ) dan mugkin juga insentif lain atas investasiya dalam obligasi daerah.
Pemerintah Daerah akan mendapatkan banyak keuntungan dan manfaat dari penerbitan Obligasi Daerah dengan mekanisme penawaran umum obligasi daerah melalui pasar modal, sebab mekanisme yang berlaku di pasar modal akan
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
memungkinkan lebih banyak lagi pihak yang terlibat untuk memberikan pinjaman dalam bentuk obligasi. Selain itu melalui Obligasi Daerah, pemeritah daerah akan dimungkinkan mendapatkan pinjaman dari investor asing, mengingat pinjaman secara langsung tidak diperbolehkan bagi Pemerintah Daerah. Dengan penerbitan obligasi daerah melalui pasar modal akan berdampak konstruktif dalam dimensi sosial dan keuangan di Indonesia. Selain itu, bagi masyarakat atau investor, obligasi daerah merupakan pilihan yang tepat karena obligasi daerah dalam hal resiko memiliki resiko yang paling kecil karena dilihat dari aspek regulasi maupun dalam
penerapan
pelaksanaan obligasi
pemerintah daerah undang-undang telah mensyartkan obligasi daerah diperuntukan hanya untuk pembangunan daerah dan digunakan untuk kemanfaatn masyarakat jadi peruntukan obligasi sudah jelas karena dijamin oleh proyek-proyek APBD. Bagi para investor pasar modal obligasi derah merupakan instrumen investasi baru setelah obligasi pemerintah pusat, obligasi korporasi, obligasi dana pensiun ataupu asura nsi, apalagi jika nanti obligasi daerah tersebut menawarkar tingkat keutungan yang menarik, di pastikan minat investor akan tinggi.
B. Cara meningkatkan minat masyarakat untuk membeli obligasi daerah.
Agar dapat meningkatkan minat masyarakat untuk membeli obligasi daerah, pemerintah daerah harus mengadakan sosialisasi maupun publikasi baik melalui media cetak maupun media elektronik. Pemerintah daerah juga dapat mengambil alternatif untuk memperkenalkan obligasi daerah kepada masyarakat melalui social media. Hal ini untuk memeberitahukan kepada masyarakat mengenai obligasi daerah dan manfaat apa yang akan didapatkan oleh masyarakat jika membeli obligasi daerah. Manfaat tersebut antara lain: 1. Kupon Masyarakat akan mendapatkan kupon sebagai hasil dari berinvestasi pada Obligasi Daerah yang akan diterima secara berkala sesuai dengan kesepakatan.
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
2. Capital Gain Capital gain adalah selisih antara harga jual dengan harga beli Obligasi Daerah. Jadi masyarakat sebagai investor dapat menikmati keuntungan dengan adanya selisih lebih antara harga jual dengan harga beli, walaupun mungkin saja mendapatkan kerugian kalau selisihnya adalah kurang. 3. Risiko yang kecil Obligasi Daerah mempunyai risiko yang sangat kecil atau bahkan tidak ada untuk gagal bayar baik kupon maupun pokok obligasi daerah. Obligasi Daerah dapat dikatakan merupakan sekuritas yang bebas risiko gagal bayar karena dianggarkan pemda dalam APBD sesuai dengan UU No 33 th 2004. Selain itu Obligasi Daerah juga memiliki risiko yang rendah atas perubahan kurs dan perubahan kebijakan pemerintah. 4. Sebagai Jaminan Obligasi Daerah dapat dijadikan sebagai agunan dan dapat dijual setiap saat apabila pemegang obligasi membutuhkan dana, dengan menjualnya ke pasar modal. 5. Partisipasi dalam pembangunan Dengan adanya Obligasi Daerah yang nominalnya dapat terjangkau oleh masyarakat umum, investasi masyarakat dalam Obligasi Daerah merupakan wujud nyata partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Referensi:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Soal 4
Rencana tax amnesty dari aspek manajemen keuangan publik.
Untuk
mendorong
kebijakan tax amnesty. Tax
penerimaan
negara
pemerintah
mengusulkan
Amnesty atau amnesti pajak adalah pengampunan atau
pengurangan pajak terhadap properti yang dimiliki oleh perusahaan yang akan segera diatur dalam UU Pengampunan Nasional. Hal-hal yang berkaitan dengan draft UU tersebut dikatakan jika pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana pada bidang perpajakan, maupun sanksi pidana tertentu yang diharuskan membayar dengan uang tebusan. Pengampunan pajak ini objeknya bukan hanya yang disimpan di luar negeri, tetapi juga yang berasal dari dalam negeri yang laporannya tidak diberikan secara benar.( Kemenkeu.go.id , 2016) Berdasarkan berita yang dilansir oleh Kompas.com(2016) menyatakan bahwa Kementerian Keuangan mencatat ada sekitar 6.519 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyimpan dananya di luar negeri dan pundi-pundi harta milik warga negara Indonesia yang parkir di luar negeri sungguh fantastis. Berdasarkan kajian Bank Indonesia (BI), nilainya mencapai Rp3.147 triliun. Hal ini menjadi bukti bahwa lemahnya sistem pengelolaan keuangan negara. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa penerimaan pajak merupakan andalan pendapatan dalam APBN. Untuk itu diperlukan upaya intensifikasi dan ekstensifikas i penerimaan pajak, oleh karena itu kini pemerintah mengambil kebijakan tax amnesty sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak. kebijakan tax amnesty harus dilihat sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar, jadi tidak semata-mata kebijakan terkait fiskal apalagi khususnya pajak. Jadi ini kebijakan yang dimensinya lebih luas, kebijakan ekonomi secara umum. Karena pertama dari sisi pajaknya sendiri, dengan adanya tax amnesty maka ada potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN kita baik di tahun ini atau tahun-tahun sesudahnya yang akan membuat APBN kita
lebih sustainable.
APBN
lebih sustainable dan
kemampuan
pemerintah
untuk spending atau untuk belanja juga semakin besar sehingga otomatis ini aka n
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
banyak membantu program-program pembangunan tidak hanya infrastruktur tapi juga perbaikan kesejahteraan masyarakat. Jadi dari satu sisi adanya tax amnesty tahun ini dan seterusnya akan sangat membantu upaya pemerintah memperbaiki kondisi perekonomian, pembangunan dan mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan serta memperbaiki ketimpangan. Tetapi disisi lain, di sisi yang di luar fiskal atau pajaknya, dengan kebijakan amnesty ini yang diharapkan dengan diikuti repatriasi sebagian atau keseluruhan aset orang Indonesia di luar negeri maka akan sangat membantu stabilitas ekonomi makro kita. Apakah itu dilihat dari nilai tukar rupiah, apakah itu dilihat dari cadangan devisa, apakah itu dilihat dari neraca pembayaran kita atau bahkan sampai kepada likuiditas dari perbankan. Jadi kebijakan ini sangat strategis karena dampaknya dampak yang sifatnya makro, menyeluruh dan fundamental bagi pereko nomian Indonesia. Dengan adanya tax amnesty atau amnesti pajak ini dapat memberikan manfaat untuk beberapa pihak, baik itu untuk pemerintah, pengembang, maupun untuk investor. Berikut ini manfaat adanya tax amnesty untuk beberapa pihak: 1.
Untuk pemerintah Dengan diberlakukannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini maka akan
menambah penghasilan penerimaan baru dimana penambahannya dirasa cukup efektif dalam
mengurangi
penerimaan
negara
yang
semakin
berkurang.
Dengan
diterapkannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini maka secara otomatis akan menarik dana yang terdapat di luar negeri ke Indonesia yang menjadikannya masuk ke dalam pencatatan untuk sumber pajak baru. Amnesti pajak yang diasumsikan oleh pemerintah sebanyak Rp.60 triliun yang tercantum pada APBN 2016. Nominal tersebut berasal dari tarif tebusan sebesar 3% dari dana yang masuk yaitu sekitar Rp.2.000 triliun. 2.
Untuk pengembang Dengan diberlakukannya amnesti pajak atau pengampunan pajak ini maka akan
membuat sektor properti mengalami pertumbuhan untuk tahun berikutnya. Kebijakan
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
ini berhubungan dengan pajak yang menjadikan indikator untuk kebangkitan sebuah bisnis properti yang ada di Indonesia. Tax amnesty ini sangat dipercaya untuk memberikan sebuah pengaruh terhadap pengembang untuk dapat terus berhubungan dengan para investor. Para investor selama ini merasa tidak mau untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena negara Indonesia mempunyai pajak properti yang tergolong sangat tinggi. 3.
Untuk investor Bukan hanya dari pemerintah dan pengembang saja yang merasa senang dengan
kabar ini, hadirnya tax amnesty atau pengampunan pajak ini juga sangat disambut baik oleh para investor. Dengan adanya tax amnesty atau pengampunan pajak ini akan memberikan keuntungan terhadap kegiatan bisnis. Amnesti pajak ini dapat membuat para konsumen serta investor untuk lebih berani lagi melakukan pembelian terhadap properti. Dengan demikian, para investor tidak merasa lagi takut untuk melakukan pembelian properti.
Referensi:
Diunduh dari www.kemenkeu.go.id Diunduh dari www.kompas.com
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
Soal 5
A. Problematika yang dihadapi pemerintah daerah dalam memungut pajak kos.
Problematika yang terjadi yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam memungut pajak kos, yang saya temukan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak yang belum terdaftar Pajak Hotel atas rumah kos merupakan suatu jenis pajak yang baru diterapkan di Kota Palembang, sehinnga masih ada pengusaha rumah kos yang belum mendaftarkan usahanya sebagai objek pajak, padahal seharusnya rumah kos miliknya tersebut sudah terdaftar sebagai objek pajak, mengingat jumlah kamar kos yang dimilikinya diatas 10 (sepuluh) kamar. Pemilik rumah kos yang belum terdaftar, mereka beranggapan bahwa proses pendaftaran pajak itu rumit. Sehingga mereka enggan untuk mendaftarkannya. Masih adanya pengusaha rumah kos yang belum mendaftarkan usahanya, membuat pihak DISPENDA harus mengarahkan petugasnya untuk mendata di lapangan mengenai rumah kos yang lebih dari sepuluh kamar yang belum terdaftar. Lokasi rumah kos yang kurang strategis cukup menyulitkan petugas untuk mendata rumah kos tersebut. 2. Pemahaman Pemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan adalah cara wajib pajak dalam memahami peraturan perpajakan yang telah ada. Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat. Pengusaha rumah kos memiliki alasan mengapa ia tidak mendaftarkan usahanya, alasannya antara lain ia takut bahwa uang pajak yang ia bayarkan akan dikorupsi oleh petugas pajak serta ia tidak tahu dan tidak paham mengenai jenis pajak ini. Umumnya masyarakat masih sinis dan kurang percaya terhadap keberadaan pajak karena masih merasa sama dengan upeti, memberatkan, pembayarannya sering mengalami kesulitan, ketidak mengertian masyarakat apa dan bagaimana pajak serta kesulitan dalam menghitung dan melaporkannya.
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
3. Kepatuhan Beberapa wajib pajak mempunyai kepatuhan yang buruk dengan tidak membuat dan menyampaikan laporan kegiatan usaha secara periodik, baik laporan bulanan maupun tahunan.Yang memprihatinkan adalah wajib pajak semacam ini berjumlah paling banyak dari seluruh wajib pajak terdaftar. Ketidakpatuhan wajib pajak yang lebih buruk dari sekedar tidak menyampaikan SPT tepat waktu adalah ketidakpatuhan dengan sengaja hanya melaporkan sebagian kegiatan usaha. 4. Keberatan tarif pajak Besaran pajak yang dikenakan dari Subjek Pajak adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah nilai bruto persewaan, maka setiap penghasilan yang merupakan nilai yang didapatkan dari persewaan dimaksud, wajib dikenakan Pajak Penghasilan yang besarnya 10% (sepuluh persen). Penjelasan mengenai Pajak Penghasilan di atas, menunjukan bahwa usaha menyewakan kamar-kamar kos merupakan salah satu Objek Pajak. Banyak pengusaha rumah kos mengeluh karena merasa keberatan dengan tarif yang telah ditetapkan sebesar 10%. Mereka beranggapan bahwa rumah kos tidak bisa disetarakan dengan hotel yang mempunyai fasilitas mewah. Mereka mengaku bahwa penghasilan mereka tidak besar untuk usaha rumah kos ini, jika membayar pajak sebesar 10%, berapa lagi keuntungan yang mereka dapatkan. B. Solusi untuk Mengatasi Problematika tersebut:
1. Pemerintah daerah dalam hal ini DPPKA sebagai pihak pemungut pajak kos harus melaksanakan sosialisasi mengenai ketentuan pajak kos ini. Para Wajib Pajak diberi pemahaman yang lebih mengenai manfaat pajak dan kemana uang pajak akan diguanakan melalui sosialisasi, dan dilakukan pendekatan terhadap Wajib Pajak agar para Wajib Pajak lebih merasa dekat dan tidak takut membayar pajak. 2. Pemerintah daerah dalam hal ini DPPKA sebagai pihak pemungut pajak kos harus melakukan penyisiran ke kos-kosan agar dapat melakukan pendataan usaha koskosan. Agar lebih memudahkan petugas, pihak DPPKA sebaiknya mengadakan pendaftaran secara online, dan para petugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan lebih ketat terhadap para pemilik rumah kos yang belum terdaftar.
Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135
3. Pemberian sanksi yang tegas kepada wajib pajak yang tidak menaati kewajiban membayar pajak. 4. Pemerintah daerah dapat mengkaji ulang mengenai besaran tarif tersebut. Pajak rumah kos, seharusnya mempunyai peraturan yang berdiri sendiri dan tidak disetarakan dengan hotel. Sehingga tarifnya bisa disesuaikan dan para Wajib Pajak bisa lebih menerima karena usaha rumah kosnya tersebut tidak disetarakan dengan Pajak Hotel.
C. Apakah dasar pengenaan tarif pajak kos berdasarkan jumlah kamar sudah tepat? Berikan penjelasan mendalam mengenai pendapat anda!
Menurut saya, pemerintah mungkin perlu untuk mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mana mengatur bahwa kriteria indekos yang terikat untuk melakukan kewajiban membayar pajak adalah yang memiliki lebih dari 10 (sepuluh) kamar, sedangkan yang kurang dari ketentuan tersebut bebas dari kewajiban membayar pajak. Menurut saya, pajak itu didasarkan pada nilai yang melekat pada objek pajak tersebut, dalam hal ini adalah omzet, bukan pada jumlah kamar. Dan oleh ketentuan inilah, banyak pengusaha indekos mendirikan bangunan indekos dengan kamar kurang dari 10 (sepuluh), akan tetapi dilengkapi dengan fasilitas mewah untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Jadi dengan adanya ketentuan omzet sebagai tolok ukur ditetapkannya wajib pajak, maka unsur keadilan dan optimalisasi pajak hotel kategor i kos akan terwujud.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.