MENELAAH KASUS PAILIT PT DIRGANTARA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) (Indonesian Aerospace Inc.) adalah perusahaan pertama dan satusatunya yang di miliki Indonesia yang bergerak di bidang industri pesawat terbang. Bahkan PT DI tidak memiliki pesaing di kawasan Asia Tenggara sampai dengan saat ini. PT DI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keseluruhan sahamnya di miliki oleh Pemerintah Indonesia. PT DI mulai berdiri pada tanggal 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direkturnya. Pada tanggal 11 Oktober 1985 perusahaan ini berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia pada tanggal 24 Agustus 2000. Kegiatan usaha PT DI tidak hanya memproduksi berbagai macam pesawat namun juga helikopter, senjata serta menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan untuk mesin-mesin pesawat. PT DI juga menjadi sub-kontraktor untuk untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tahun 1997 ternyata juga berdampak pada kinerja perusahaan PT DI. Tahun 2000 - 2003, PT DI yang pernah memiliki karyawan sampai dengan 16 ribu orang, harus melakukan rasionalisasi jumlah karyawannya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 6.600 karyawannya. Dalam proses PHK ini para karyawan merasa di rugikan dengan tidak adanya pemenuhan pembayaran kompensasi pensiun kepada karyawan yang di PHK. Kondisi ini menyebabkan beberapa karyawan menempuh jalur hukum dengan mengajukan permohonan pailit atas PT DI kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
BAB II LANDASAN TEORI
Definisi Pailit Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu “Failiet” yang berarti mogok atau berhenti membayar. Sedangkan dalam dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bangkrupt” adalah : “the state or condition of e person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bangkrupt” UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK – PKPU) pasal 1 ayat 1 menjelaskan mengenai definisi kepailitan yaitu : Kepailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya di lakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah. Kreditor adalah pihak (orang/perseorangan atau badan hukum) yang mempunyai tagihan karena suatu perjanjian yang di bentuk dengan pihak lain (orang/perseorangan atau badan hukum, Pihak ini di sebut sebagai debitor) atau karena adanya Undang-undang sehingga tagihan ini dapat di tagih di muka pengadilan.Kreditor dapat terbagi dalam tiga golongan :
1. Kreditor Separatis Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditor separatis. 2. Kreditor Preferen Kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. UUK-PKPU menggunakan istilah hak-hak istimewa, sebagaima yang diatur dalam KUH Perdata. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. 3. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Istilah yang digunakan dalam Bahasa Inggris untuk kreditor konkuren adalah unsecured creditor. Debitor adalah pihak (orang/perseorangan atau badan hukum) yang utang karena suatu perjanjian yang di bentuk dengan pihak lain (orang/perseorangan atau badan hukum, Pihak ini di sebut sebagai kreditor) atau karena adanya Undang-undang sehingga pelunasan utang ini dapat di lakukan di muka pengadilan. Yang di maksud dengan Sita umum dalam kepailitan adalah sita dan eksekusi yang di lakukan bersamasama untuk kepentingan seluruh kreditor, kecuali kreditor separatis dan preferen, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan sepihak dari masing-masing kreditor. Sesuai dengan Pasal 1132 KUH perdata bahwa harta benda milik debitor merupakan jaminan bersama para Kreditor yang sesuai dengan asas keadilan kecuali terdapat sebab-sebab yang sah yang menyebabkan salah satu kreditor di dahulukan. Syarat – syarat pengajuan pailit Berdasarkan UUK – PKPU pasal 2 ayat 1, permohonan pailit dapat di ajukan oleh :
1. 2. 3. 4.
Debitor sendiri Atas permintaan seorang atau lebih kreditor. Kejaksaan untuk kepentingan umum. Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia. 5. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpangan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 6. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri Keuangan. UUK – PKPU Pasal 2 ayat 3 dan ayat 5 menyatakan tentang pengertian debitor Bank, debitor perusahaan efek dan debitor perusahaan asuransi : -
Bank : Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
-
banyak. Perusahaan Efek : pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara
-
Pedagang Efek dan atau Manager Investasi Perusahaan asuransi : perusahaan asuransi dan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai usaha perasuransian.
Dasar Hukum dan Asas – Asas Hukum Kepailitan Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH – Perdata), khususnya pasal 1131 dan 1132. Sedangkan dasar hukum yang khusus tentang kepailitan di Indonesia saat ini di atur dalam Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan Asas – asas hukum kepailitan adalah : 1. Asas Keseimbangan
UU ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil maupun materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Pengertian Badan Umum Milik Negara (BUMN) BUMN, khususnya persero pada dasarnya adalah sebuah korporasi, sebuah badan usaha berbadan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Dengan memahami makna dan konsekuensi badan hukum, akan didapat pemahaman yang utuh tentang persero. Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak melakukan suatu perbuatan sebagai manusia, memiliki kekayaan sendiri, serta digugat dan menggugat di depan Pengadilan. Korporasi sebagai badan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni : 1. Terbatasnya tanggung jawab.
Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Jika badan usaha itu adalah PT, maka tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggung jawab. 2. Perpetual succession. Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya. Bahkan dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang dia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan, jika PT yang bersangkutan adalah PT Terbuka dan sahamnya sudah terdaftar di bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut. 3. Memiliki kekayaan sendiri. Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri, tidak oleh pemilik, oleh anggota atau pemegang saham adalah kelebihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham. 4. Memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri. Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut dimuka Pengadilan. Apabila melihat ketentuan Pasal 1 Undang-Undang BUMN, bahwa disebutkan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan : a) b) c) d)
Badan usaha atau perusahaan; Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dikuasai oleh negara; Negara melakukan penyertaan secara langsung; Modal penyertaan dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN, penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari : 1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara Termasuk dalam APBN yaitu proyek-proyek Pemerintah yang dikelola oleh BUMN atau piutang negara yang dijadikan penyertaan modal; 2. Kapitalisasi cadangan Kapitalisasi cadangan ini adalah penambahan modal disetor yang berasal dari cadangan; 3. Sumber lainnya. Termasuk dalam kategori ini antara lain keuntungan revaluasi aset. BUMN menjalankan tugas pokoknya dalam melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Dengan telah terbitnya Undang-Undang BUMN, maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah : 1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Disini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2. Mengejar keuntungan. Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 ayat 1 huruf a, meskipun maksud dan tujuan persero adalah mengejar keuntungan, namun dalam hal tertentu untuk melaksanakan pelayanan umum , persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan Pemerintah harus disertai dengan pembiayaan berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial sedangkan untuk Perum yang bertujuan menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang baik.
3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap usaha BUMN baik barang maupun jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
BAB III PEMBAHASAN MASALAH
PT DI merupakan hasil karya anak bangsa yang menjadi bagian dari tonggak sejarah penerbangan di Indonesia. Berikut adalah kronologi berdirinya PT DI : Tahun 1914
Deskripsi Bagian Uji Terbang yang bertugas untuk meneliti prestasi
1930
pesawat
udara
didirikan di Surabaya. Bagian Pembuatan
untuk
Pesawat
daerah
tropis
Udara
yang
memproduksi pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL, dengan modifikasi badan dibuat dari 1937 - 1938
tripleks lokal di bangun di Sukamiskin Pembuatan pesawat terbang rancangan
LW.
Walvaren dan MV. Patisi dengan nama PK KKH di lakukan di salah satu bengkel di Jl Pasirkaliki dan 1945
Jl Kebon Kawung Bandung Agustinus Adisutjipto merancang,
menguji
terbangkan dan menerbangkan dalam pertempuran
yang sesungguhnya pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang yang di modifikasi menjadi versi serang darat. Pesawat ini di terbangkan 1946
pertama kali pada Oktober 1945 di Tasikmalaya Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo dan J Sumarsono membuka sebuah bengkel di Magetan untuk memproduksi pesawat layang jenis Zogling
1948
dengan nama NWG – 1 Wiweko Soepono membuat pesawat terbang bermotor dengan menggunakan mesin motor Harley Davidson dengan nama WEL – X, yang
1953 - 1958
kemudian di kenal dengan register RI - X Nurtanio dkk melanjutkan proyek pembuatan pesawat dan membuahkan hasil berupa “Si
1960 - 1966
Kumbang”, “ Belalang 89” dan “Kunang 25” 1 Agustus 1960 Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP
(yang
kemudian
menjadi
LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) di bentuk. Tahun 1961 LAPIP mengadakan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Polandia untuk membangun pabrik pesawat PZL – 104 Wilga (Gelatik). Tahun 1966, LIPNUR memproduksi pesawat
terbang
membangun 1976
latih bengkel
dasar
LT-200,
serta
after-sales-service,
maintenance, repair & overhaul. Tanggal 28 April 1976 berdasarkan Akte Notaris No 15 di Jakarta, PT IPTN (PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio) secara resmi berdiri dengan
1985 dan 2000
Direktur Utama Dr. BJ Habibie Tanggal 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN. Tanggal 24 Agustus 2000. IPTN merubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT DI) atau Indonesian Aerospace/IAe
yang
diresmikan
Presiden
Abdurrahman Wahid
Memasuki Masa Sulit Prospek cemerlang PT DI saat itu ternyata harus pupus bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi Asia 1997-1998. Krisis tersebut seolah ‘menjegal’ kiprah PT. DI sebagai industri penerbangan saat itu. Pemerintah Indonesia mengurangi alokasi dana government spending, salah satunya dengan tidak lagi memberi suntikan dana bagi PT DI, demi menanggulangi krisis ekonomi. Akibatnya, krisis keuangan terjadi dalam tubuh PT DI, sehingga harus melakukan rasionalisasi anggaran dengan melakukan pengurangan jumlah karyawannya 6.600 orang. Berikut adalah kronologis peristiwa pemailitan PT DI oleh para mantan karyawannya : Tanggal 11 Juli 2003
Deskripsi Dirut PT DI, Edwin Sudarmo yang merumahkan semua
19 Agustus 2003
karyawannya
yang
berjumlah
9.600
karyawan RUPSLB PT DI mengukuhkan SK Dirut dan menyetujui PHK 6.000 karyawannya. BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) menjadi
3 September 2003 6 Oktober 2003
pemilik 92,7% saham PT DI Ratusan karyawan PT DI unjuk rasa di Jakarta Dirut PT DI mencabut SK merumahkan karyawan.
Sebagai
gantinya,
diterbitkan
2
SK
baru:
permohonan izin PHK 3.900 karyawan yang tidak mengikuti
seleksi
ulang
dan
merumahkan
sementara 2.600 karyawan yang menunggu hasil seleksi. Pada tahun 2003 karyawan PT DI hanya 4 November 2003
menerima 10 % – 25% gaji. Rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) memutuskan BPPN akan menalangi pesangon
13 November 2003
karyawan. Sidang kabinet terbatas menyetujui PHK 6.600 karyawan dan di targetkan selesai pada 21
1 Desember 2003
November 2003. Perundingan bipartit karyawan dan manajemen PT
23 Desember 2003
DI buntu. Depnaker mengambil alih kasus ini PT DI tidak mampu lagi membayarkan gaji karyawan
30 Desember 2003
yang
terkena
PHK.
Karyawan
memblokir perusahaan. Dirut Dirgantara Indonesia Edwin Soedarmo menolak anjuran Menaker membayar pesangon 2
13 Januari 2004
kali ketentuan UU. Sidang pertama perundingan
15 Januari 2004
manajemen PT DI di Depnaker gagal. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
karyawan
dan
(P4P) meminta manajemen dan karyawan PT DI melakukan negosiasi ulang, dan 718 karyawan 29 Januari 2004
setuju PHK. P4P meluluskan rencana PHK terhadap 6.600
12 Februari 2004
karyawan. Serikat Pekerja PT DI mengajukan banding atas putusan P4P ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
23 Februari 2004
Negara (PTTUN). Pesangon untuk diberhentikan
2006
sebesar
Rp
karyawan 440
miliar,
yang akan
dibayarkan. Dialokasikan dana sebesar Rp. 40 milyar oleh pemerintah
3 Juli 2007
6.600
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2006 Permohonan pernyataan pailit PT DI diajukan oleh beberapa
mantan
karyawan
PT
DI
kepada
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Putusan Pailit dan Penyelesaiannya Permohonan Pailit Melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Surat Permohonan Pernyataan pailit di ajukan oleh Heryono, Nugroho dan Sayudi yang merupakan mantan karyawan PT DI, bersama kuasa hukumnya Ratna Wening Purbawati, kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 3 Juli 2007. Ketiga orang ini dianggap sebagai Kreditor yang selanjutnya di sebut sebagai Pemohon. Pihak termohon adalah PT Dirgantara Indonesia (persero) (PT DI) yang beralamat di Jln Pajajarn No. 154, Bandung. Fakta – fakta yang diungkapkan Pemohon dalam kasus ini adalah : 1. Adanya Utang yang Jatuh waktu dan dapat ditagih a. Pemohon adalah termasuk dari 6.561 orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh termohon berdasarkan putusan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4 Pusat) No: 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap. b. Berdasarkan amar putusan P4 pusat menyebutkan bahwa PT DI wajib memberikan kompensasi pensiun dengan mendasarkan pada upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992.
c. Terdapat perhitungan dana pensiun yang menjadi kewajiban termohon untuk membayar kepada pemohon yang besarnya adalah: pemohon I: Rp. 83.347.862,82, pemohon II: Rp. 69.958.079,22, pemohon III: Rp. 74.040.827,91. d. Kewajiban termohon untuk membayar kompensasi pensiun kepada pemohon adalah merupakan hutang termohon kepada pemohon sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK – PKPU). e. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan P4 Pusat tanggal 29 Januari 2004. 2. Adanya kreditor lain Disamping pemohon, termohon juga mempunyai hutang kepada: a. Nelly Ratnasari, sebesar Rp. 12.701.489,25. b. Sukriadi Djasa, sebesar Rp. 79.024.764,81. c. Para pekerja lain yang totalnya 3500 orang dengan total piutang sejumlah kurang lebih Rp. 200.000.000.000,00. akan hadir dan akan mengikuti persidangan selaku para kreditur dari termohon. d. Bank Mandiri, dengan piutang sebesar Rp. 125.658.033.228,00 Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga untuk memutus sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Menyatakan termohon, PT. DI pailit dengan segala akibat hukumnya. Menunjuk Taufik Nugraha,S.H sebagai kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit Menunjuk Hakim pengawas dari pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini. Atau. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon yang seadil - adilnya.
Termohon kemudian menyampaikan Surat Tanggapan tertanggal 7 Agustus 2007 yang mengatakan sebagai berikut: “Termohon pailit menolak dan membantah permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit” dengan alasan-alasan yaitu sebagai berikut: 1. Permohonan pailit cacat hukum karena pemohon pailit tidak mempunyai kepastian hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap termohon pailit. Termohon pailit adalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (UUK – PKPU), yang dapat mengajukan kepailitan terhadap termohon pailit selaku BUMN hanyalah Menteri keuangan. 2. Termohon pailit menyangkal adanya utang karena termohon pailit tidak memiliki utang atau kewajiban dalam bentuk apapun kepada pemohon pailit. 3. Permohonan Pailit diajukan berdasarkan Putusan P4P padahal atas Putusan P4P tersebut proses hukumnya belum selesai. 4. Unsur Utang dapat di tagih dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK PKPU tidak terpenuhi karena yang didalilkan tidak ada 5. Unsur jatuh tempo dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK - PKPU tidak terpenuhi karena tidak ada utang yang telah jatuh tempo atau utang yang menyatakan waktu pembayaranya dari termohon pailit kepada pemohon pailit. 6. Unsur pembuktian sederhana dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK - PKPU tidak pernah terpenuhi karena utang yang didalilkan tidak pernah ada. 7. Permohonan pailit cacat hukum karena utang yang didalilkan oleh pemohon pailit masih dalam taraf perselisihan dan saat ini perselisihan yang dimaksud sedang ditangani oleh Pusat Mediasi Nasional. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Hakim Ketua Ny. Andriani Nurdin, SH. MH yang mengadili kasus ini membacakan hasil putusannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 4 September 2007. Isi dari putusan dengan Nomor 41/Pailit/2007/PN.Niaga/jkt.Pst adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan bahwa PT. Dirgantara Indonesia (persero) pailit dengan segala akibat hukumnya. Mengangkat Taufik Nugroho,SH sebagi curator dalam kepailitan ini. Menunjuk H. Zulfahmi, SH, M.Hum, Hakim Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. Membebankan kepada Termohon Pailit untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.000,00.
Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung Dalam menghadapi hasil putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini, PT DI bersama dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) kemudian mengajukan Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Pemohon Kasasi I adalah PT DI, sedangkan Pemohon II/Kreditor adalah PT Perusahaan
Pengelola Aset (Persero). Heryono, Nugroho dan Sayudi merupakan Pihak Termohon dalam pengajuan kasasi ini. Alasan-alasan yang di kemukakan para Pemohon adalah sebagai berikut : Pemohon I : 1. Judex Facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai kepastian hukum para termohon kasasi dengan menyatakan bahwa para termohon kasasi dapat mengajukan permohonan pailit sebagimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UUK - PKPU beserta penjelasannya. 2. Judex facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK – PKPU. 3. Judex Facti tidak berwenang atau melampaui batas wewenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo karena terbukti bahwa pembuktian perkara a quo tidak memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan oleh Pasal (8) Ayat 4 UUK – PKPU. 4. Judex Facti telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan perUndangUndangan terkait dengan kompetensi absolut atas putusan P4P yang menjadi dasar pengajuan permohonan pailit a quo yang seharusnya masih dalam proses pemeriksaan perkara di peradilan umum. 5. Judex Facti tidak mempertimbangkan asas-asas yang mendasari Undang-Undang Kepailitan sebagimana dimaksud dalam Penjelasan UUK - PKPU. Pemohon II/Kreditor : 1. Bahwa Pemohon Kasasi II selaku Kreditor Lain dari PT DI sangat keberatan atas segala pertimbangan hukum Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengajukan Permohonan Kasasi berikut memori kasasi berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UUK - PKPU. 3. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengatakan kasasi dan menyerahkan memori kasasi pada tanggal 12 September 2007, yaitu dalam tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UUK – PKPU. 4. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain sangat keberatan atas dijatuhkannya status kepailitan terhadap PT DI. 5. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain memiliki hak tagih. 6. Bahwa terhadap pinjaman tersebut telah diberikan jaminan-jaminan.
7. Bahwa sejak tahun 2003 Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain bersama sama dengan kementrian BUMN telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan guna menjaga keberlangsungan usaha dan menjaga kesinambungan bagi penyediaan lapangan kerja sebagai bagian dari sasaran pembangunan nasional. 8. Bahwa dalam putusannya, judex facti sama sekali tidak memperhatikan asas-asas yang mendasari UUK – PKPU. 9. Judex Facti tidak memperhatikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Judex facti jelas tidak mempertimbangkan kreditor-kreditor lain yang mendukung kelangsungan usaha PT DI. 10. Bahwa disamping itu PT DI adalah merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri strategis penerbangan berskala internasional yang telah membawa harum nama bangsa dan Negara di dunia internasional. Pengajuan kasasi oleh Pemohon I dan II akhirnya di putuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada tanggal 22 Oktober 2007, dengan ketua majelis Mariana Sutadi, SH dengan isi seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt. Sus/2007, sebagai berikut : “Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dan PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) tersebut: Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.41/Pailit/PN>Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September 2007”. Mengadili Sendiri: “Menolak Permohonan Para Pemohon; Menghukum para termohon kasasi/ para pemohon untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kasus di atas dapat di tarik kesimpulan – kesimpulan sebagai berikut : 1. Terjadi perbedaan penafsiran antara Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung, khususnya dalam menilai kepemilikan modal dalam PT DI. Menurut Mahkamah Agung PT DI memenuhi klasifikasi sebagai BUMN yang seluruh sahamnya adalah milik Negara, dan juga merupakan perusahaan yang sangat dibutuhkan karena merupakan objek vital nasional. Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik berbentuk Perusahaan Umum (Perum) atau Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan (Menkeu) sesuai dengan UUK - PKPU pasal 2 ayat (5) 2. Putusan pailit terhadap PT DI dirasa terlalu dini, karena Hakim seharusnya memperhatikan asas kelangsungan usaha dan asas keadilan yang ada pada UUK - PKPU Saran yang bisa saya sampaikan dalam menanggapi kasus pailit PT DI ini adalah sebaiknya system hukum di Indonesia untuk beberapa kasus dilakukan common law. Sehingga tidak terjadi kontroversi terhadap hukum yang sudah tertulis dengan keputusan hukumnya.