KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO
DIREKTORAT PENGELOLAAN RISIKO KEUANGAN NEGARA
Gedung Frans Seda Lt. 1, Jalan Dr. Wahidin No. 1
Telepon 3505052 Fax 3447386 Kode pos 10710
NOTA DINAS
Nomor: ND- /PR.5/2016
Kepada : Yth. Direktur Jenderal Pengelolaan Risiko Keuangan Negara
Dari : Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara
Hal : Laporan Pelaksanaan Rapat atas Permohonan Keringanan Pengembalian Kelebihan Bayar Subsidi Listrik atas Tidak Diterapkannya ISAK 8 dan Penghitungan Pajak Bunga Obligasi Internasional sebagai komponen Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Subsidi Listrik
Tanggal : November 2016
Sehubungan dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pemeriksaan belanja subsidi listrik tahun 2015, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
A. Latar Belakang
Adanya surat permohonan Direktur Utama PT PLN kepada Dirjen Anggaran nomor S-0498/AGA.00.02/DIRUT/2016 tentang Permohonan Penegasan atas Surat Dirjen Anggaran No.S-22/MK.02/2016 dan keringanan pengembalian kelebihan bayar subsidi listrik atas tidak diterapkannya ISAK 8 berdasarkan hasil pemeriksaan BPK TA.2015
Terkait dengan hal tersebut, Dit. PNBP DJA melaksanakan rapat bersama PT PLN, DJPPR dan BKF pada tanggal 1 November 2016 dan rapat lanjutan pada 4 November 2016.
B. Pembahasan
BPK telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaaan atas belanja subsidi listrik tahun 2015 yang mengungkapkan adanya temuan akibat kebijakan korporasi yang tidak mengimplementasikan ISAK 8 pada Laporan Keuangan PT PLN 2014 sd 2012 yang disesuaikan (restatement) dengan Laporan Keuangan tahun 2015. Atas kondisi tersebut, terjadi kelebihan bayar subsidi listrik TA.2012 sd 2014 sebesar Rp6,27 T yang harus disetorkan pada kas negara atau diperhitungkan sebagai pengurang penerimaan subsidi listrik PT PLN tahun 2016.
Berkenaan dengan hal tersebut, Dirut PLN mengajukan surat permohonan kepada Dirjen Anggaran untuk dapat memperhitungkan pajak penghasilan atas bunga obligasi internasional sebagai komponen BPP dalam penghitungan subsidi 2012 sd 2014 sebesar Rp3,01 T untuk dapat diperhitungkan dengan lebih bayar subsidi hasil audit BPK.
Permintaan PT PLN atas perhitungan pajak penghasilan obligasi internasional sebagai komponen BPP didasarkan pada surat Dirjen Anggaran Nomor No.S-22/MK.2/2016 yang menjelaskan bahwa atas pajak penghasilan obligasi internasional dapat dimasukkan dalam komponen BPP subsidi listrik tahun 2015 dan 2016. Sehingga pihak PLN mengharapkan regulasi tersebut dapat diterapkan juga pada penghitungan BPP tahun 2012 sd 2014.
Selain itu, terhadap pembayaran sisa kelebihan pembayaran subsidi listrik TA 2012 sd 2014 sebesar Rp3.01 T (dalam hal perhitungan perhitungan pajak bunga obligasi internasional pada BPP 2012 sd 2014 disetujui) dapat diperhitungkan pada hasil audit subsidi listrik 2016, mengingat kondisi casflow PT PLN tahun berjalan yang tidak kondusif.
Menindaklanjuti hal tersebut, telah dilakukan 3 (tiga) kali rapat pembahasan antara DJA, DJPPR, BKF dan PT PLN pada tanggal 30 Oktober 2016, 1 November 2016 dan 4 November 2016 untuk menyiapkan kajian terkait ISAK 8 dan pajak bunga obligasi sebagai bahan pertimbangan Dirjen Anggaran dalam penetapan kebijakan terkait hal tersebut.
C. Pendapat
Terkait dengan permasalahan tersebut di atas, telah disampaikan masukan kepada DJA hal-hal sebagai berikut:
Permasalahan ISAK 8 dan perhitungan pajak penghasilan obligasi internasional merupakan dua hal yang berbeda. Perubahan kebijakan implementasi ISAK 8/non ISAK 8 tidak berpengaruh secara langsung pada perhitungan pajak penghasilan obligasi internasional di BPP subsidi listrik, sehingga kajian yang sedang disusun hendaknya difokuskan pada substansi permohonan penghitungan pajak penghasilan obligasi internasional sebagai komponen subsidi listrik.
Kajian yang disusun hendaknya difokuskan pada pertimbangan bisa tidaknya penghitungan pajak penghasilan obligasi internasional pada BPP diberlakukan secara restrospektif, dengan melihat dari aspek akuntansi dan hukum, mengingat adanya lebih bayar subsidi listrik 2012-2014 merupakan konsekuensi dari aksi korporasi PT PLN untuk tidak mengimplementasikan ISAK 8 dalam penyusunan laporan keuangan korporasi, dan tidak disebabkan oleh PMK 170 tahun 2013 dan Surat Dirjen Anggaran Nomor No.S-22/MK.2/2016.
Selain itu, dengan mempertimbangkan bahwa S-22/MK.2/2016 menyebutkan bahwa penghitungan pajak penghasilan obligasi internasional pada BPP hanya dapat dilakukan untuk rujukan subsidi listrik 2015 dan 2016, maka perlu dipertimbangkan untuk menerbitkan surat persetujuan/tidak persetujuan yang sifatnya permanen untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di tahun-tahun mendatang.
Hal lain yang disampaikan adalah terkait penetapan kurang bayar atas restropektif perhitungan pajak penghasilan obligasi internasional 2012 sd 2014 yang akan di sett-off dengan lebih bayar subsidi listrik 2012 sd 2014 harus tetap didasarkan pada hasil audit ulang BPK/penetapan dari BPK, mengingat hasil audit atas Laporan Keuangan PT PLN tahun 2012 sd 2014 yang menghasilkan lebih bayar subsidi listrik sebesar Rp6,2 triliun bersifat final.
D. Tindak Lanjut
Direktorat PRKN akan menunggu proses yang ada di DJA dan/atau PT PLN yang akan mengadakan rapat kembali untuk membahas finalisasi atas kajian yang sedang disusun sebelum disampaikan secara resmi kepada Dirjen Anggaran. Kajian tersebut akan menjadi bahan pertimbangan Dirjen Anggaran dalam menetapkan keberlakuan PPh Bunga Obligasi Internasional sebagai bagian dari BPP berdasarkan PMK 170/2013 untuk tahun 2012 sd 2014 atau PPh Bunga Obligasi Internasional tidak masuk dalam BPP.
Demikian kami sampaikan sebagai laporan, atas perhatian dan arahan Bapak kami ucapkan terima kasih.
Tony Prianto
NIP 19780411 2000011001