PANCASILA DALAM LINTASAN SEJARAH
Dyah Dhea Ningsih1),Safari Hasan,S.IP,MMRS2)
1)lmu Kesehatan Masyarakat,Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
2)Staff Pengajar Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
Jl. K.H Wachid Hasyim no 65, Kediri, Jawa Timur , Indonesia
Email :
[email protected]),
[email protected]
Abstrak
Pancasila sebagai dasar negara telah mendapat tempat di hati para pemimpin bangsa ini. Sebaliknya, pancasila belum mendapat tempat dalam kehidupan bersosial dan berpolitik bangsa ini. Konflik sosial, politik masih terjadi dibawah kepakan sayap Pancasila, masalah muncul ketika Pancasila dipahami sebagai instrumen negara, tetapi belum menjadi paham negara. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai ritualitas Pancasila yang belum menyentuh keyakinan berbangsa dan bernegara masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan upaya menggeser pemahaman Pancasila dari bentuk instrumental dengan sekadar menghafal sila Pancasila, menuju bentuk kontestasi dengan terlibat dalam "arena" Pancasila.
Kata Kunci : Pancasila, Ideologi, Kontestasi, Studi Budaya
Abstract
Pancasila as the foundation of the country has gained a place in the hearts of the leaders of this nation. On the contrary, the Pancasila has not yet gotten a place in the life of socializing and politics of this nation. Social conflict, politics still occurs under the flutter of the Pancasila wing, a problem arises when the Pancasila is understood as a state instrument, but has not yet become a state understanding. This is indicated by a variety of Pancasila rites that have not touched the beliefs of the nation and state. Therefore, efforts are needed to shift the understanding of Pancasila from its instrumental form by simply memorizing the principles of Pancasila, towards the form of contestation by being involved in the "arena" of Pancasila.
Keywords: Pancasila, Ideology, Contestation, Cultural Studies
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perjalanan hidup suatu bangsa sangat tergantung pada efektifitas penyelenggaraan suatu negara. Pancasila sebagai dasar negara dalam mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun pertahanan-keamanan. Berdasar pada latar belakang historis yang sulit dibantah , bahwa 1 Juni 1945 yang disebut sebagai lahirnya pancasila, Ir. Soekarno sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila tidak pernah berbicara ataupun menulis tentang pancasila, baik dalam sebagai pandangan hidup, atau apalagi sebagai dasar negara. Dalam pidatonya, beliau menyebutkan atau menjelaskan bahwa gagasan tentang pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat mengenai apa yang akan dijadikan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk?
Lima dasar atau sila yang buliau ajukan itu dinamakan filosofische grondslag yaitu nilai-nilai esensial yang terkandung dalam pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV dan ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII ketika timbulnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur dan lainnya.
Dasar-dasar pembentukan Nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada sumpah pemuda pada tahun 1928.
Rumusan Masalah
Mengetahui pengertian Pancasila.
Mengetahui rumusan awal Pancasila.
Mengetahui rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta.
Mengetahui rumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
Mengetahui proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian Pancasila.
Untuk mengetahui rumusan awal Pancasila.
Untuk mengetahui rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta.
Untuk mengetahui rumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
Untuk mengetahui proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan buku ini adalah bisa digunakan sebagai sumber informasi dan bahan bacaan dalam memahami sejarah munculnya dan berkembangnya Pancasila sampai masa reformasi saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pancasila
Pancasila adalah landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi ideologi tetap bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila merupakan ideologi bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang mementingkan semua komponen dari Sabang sampai Merauke.
Asal Mula Kata Pancasila
Secara etimologi kata "Pancasila" berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) yaitu panca yang berarti "lima" dan sila yang berarti "dasar". Jadi secara harfiah, "Pancasila" dapat diartikan sebagai "lima dasar".
Sejarah Istilah Pancasila
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dimana sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat maupun kerajaan meskipun sila-sila tersebut belum dirumuskan secara konkrit. Menurut kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, Pancasila berarti "berbatu sendi yang lima" atau "pelaksanaan kesusilaan yang lima".
Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli
Beberapa pengertian Pancasila menurut para tokoh pendiri bangsa sebagai berikut
Muhammad Yamin
Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik.
Notonegoro
Pancasila adalah dasar falsafah negara indonesia, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
Ir. Soekarno
Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
ZAMAN PRA SEJARAH
Ahli Geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi dalam pertengahan Zaman Tersier, kira-kira 60 juta tahun silam. Baru pada Zaman Quarter yang dimulai sekitar 600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh manusia berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Berdasarkan artefak yang mereka tinggalkan, mereka mengalami hidup tiga zaman yaitu: Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum. Pada masa pra sejarah tersebut, sebenarnya inti dari kehidupan mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu :
Nilai Religious
Adanya sistem penguburan mayat diketahui dari ditemukannya kuburan serta kerangka di dalamnya. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang digunakan untuk aktivitas religi seperti upacara mendatangkan hujan, dll. Adanya keyakinan terhadap pemujaan roh leluhur juga dan penempatan menhir (kubur batu) di tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai tempat roh leluhur, tempat yang penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia manusia dan roh leluhur.
Nilai Perikemanusiaan
Tampak dalam perilaku kehidupan saat itu misalnya penghargaan terhadap hakikat kemanusiaan yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi terhadap manusia meskipun sudah meninggal. Hal ini menggambarkan perilaku berbuat baik terhadap sesama manusia, yang pada hakekatnya merupakan wujud kesadaran akan nilai kemanusiaan. Mereka juga sudah mengenal sistem barter antara kelompok pedalaman dengan pantai dan persebaran kapak. Selain itu mereka juga menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini menandakan bahwa mereka sudah bisa menjalin hubungan sosial.
Nilai Kesatuan
Adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun bahasa Austronesia, sehingga muncul kesamaan dalam kosa kata dan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan teori perbandingan bahasa menurut H. Kern dan benda- benda kebudayaan Pra Sejarah Von Heine Gildern. Kecakapan berlayar karena menguasai pengetahuan tentang laut, musim, perahu, dan astronomi, menyebabkan adanya kesamaan karakteristik kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lautan juga merupakan tempat tinggal selain daratan. Itulah sebabnya mereka menyebut negerinya dengan istilah Tanah Air.
Nilai Musyawarah
Kehidupan bercocok tanam dilakukan secara bersama-sama. Mereka sudah memiliki aturan untuk kepentingan bercocok tanam, sehingga memungkinkan tumbuh kembangnya adat sosial. Kehidupan mereka berkelompok dalam desa-desa, klan, marga atau suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih secara musyawarah berdasarkan Primus Interpares (yang pertama diantara yang sama).
Nilai Keadilan Sosial
Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara gotong-royong berarti masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola hidup foodgathering menuju ke pola hidup foodproducing. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bersama sudah ada.
ZAMAN KERAJAAN KUTAI
Menurut Ismaun, Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukan prasasti yang berjumlah tujuh buah yang berbentuk yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Raja Mulawarman merupakan keturunan dari Raja Aswawarman dan keturunan dari Raja Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan memberikan kepada para Brahmana dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih para Brahmana kepada Raja Mulawarman yang sangat dermawan. (Kaelan, 2014 : 20).
Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya dengan menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan Raja ini tampak dalam kerajaan yang muncil kemudian di pulau Jawa dan Sumatera.
ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Menurut Mr. Muhammad Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap. Pertama, zaman kerajaan Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400) yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan pada zaman kerajaan Majapahit (1239-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara kebangsaan Indonesia lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. (Sekretariat Negara RI, 1995 : 11).
Pada abad ke- VII muncullah sebuah kerajaan di daerah Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang Sumatera Selatan yang bertahun 605 Caka atau 683 M dalam bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa.
Kerajaan Sriwijaya ini adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan armada lautnya. Kunci-kunci lalu lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti Selat Sunda (686 M), kemudian Selat Malaka (775 M). Pada zaman itu, Kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan pedagang perajin dengan pegawai kerajaan sehinggga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya. (Keneth R. Hall, 1976 : 75-77).
Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak terlepas dari nilai Ketuhanan. (Suwarno, 1993 : 19).
Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu universitas agama Buddha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak para musafir dari negara lain misalnya dari Cina yang belajar terlebih dahulu di universitas tersebut terutama agama Buddha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari India yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi marvuat vanua Criwijaya siddhaya subhiksayang berarti suatu cita-cita negara yang adil dan makmur. (Sulaiman, tanpa tahun : 53).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata Pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara konkret. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardji, 1974 : 22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu :
Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
ZAMAN KERAJAAN-KERAJAAN SEBELUM KERAJAAN MAJAPAHIT
Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai sebuah kerajaan yang memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti. Keraja Holing pada abad ke- VII, Sanjaya pada abad ke- VIII yang ikut membantu membantu candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Buddha didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke- VII dan abad ke- IX). Refleksi puncak dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Buddha pada abad ke- IX), dan candi Prambanan (candi agama Hindhu pada abad ke- X).
Selain kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur muncullah kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke- IX), Darmawangsa (abad ke- X), demikian juga kerajaan Airlangga pada abad ke- XI. Raja Airlangga membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Buddha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai. (Toyibin, 1997 : 26).
Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Hal ini menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan batin di hutan dan tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan rakyat yang merupakan nilai-nilai sila kelima. (Toyibin, 1997 : 28-29).
Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada abad ke- XIII), yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.
ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu, agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah "Pancasila". Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang bunyi lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda namun satu jua adanya sebab tidak adanya agama yang dimiliki Tuhan yang berbeda.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut: "Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan.". (M. Yamin, 1960 : 60).
Dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa, dan Kamboja. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad ke- XV, maka sinar kejayaan Kerajaan Majapahit berangsur-angsur melalui memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan "Sinar Hilang Kertaning Bumi" pada permulaan abad ke- XVI (1520).
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budhahidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah "Pancasila". Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua", artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan baik dengan kerajaanTiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar " Mitreka Satata".
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
ZAMAN PENJAJAHAN
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad ke- XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu berkembang pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara,. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada akhir abad ke- XVI, bangsa Belanda datang juga ke Indonesia. Untuk menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah "Kompeni".
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawananan dan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J. P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu.
Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh Kompeni tahun 1667 dan timbullah perlawanan dari rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Banten (Sultan Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh Kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke- XVII, nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan Kompeni pada saat itu. Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke- XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaan di Indonesia. Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat di berbagai wilayah Nusantara, antara lain : Pattimura di Maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1837). Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830), I Ketut Gusti Jelanntik, Panglima Polim, Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam Perang Aceh (1860), Anak Agung Made dalam Perang Lombok (1894-1895), Sisingamangaraja XII di Tanah Batak (1900) dan masih banyak perlawanan lainnya.
Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Soekarno pernah mengatakan "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan "Historia Vitae Magistra", yang bermakna, "sejarah memberikan kearifan". Pengertian yang lebih umum yaitu "Sejarah merupakan guru kehidupan". Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, "No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization" (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar "confirm and deepen" identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang "tertidur" dan yang "terbius" selama kolonialisme" (Abdulgani, 1979: 22).
ZAMAN KEBANGKITAN NASIONAL
Pada abad ke- XX di panggung politik Internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatan sendiri. Partai Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu Kebangkitan Nasional (1908) dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan Nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuasaannya sendiri.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang merupakan pergerakan Nasional, sehingga segera setelah itu muncullah organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan nasional itu antara lain : Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti namanya menjadi Sarekat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S. Cokroaminoto.
Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang di pimpin oleh Tiga Serangkai yaitu : Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (yang kemudian lebih di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro), Partai ini sejak awal menunjukkan keradikalannya, sehingga tidak dapat berumur panjang karena pemimpinnya di buang di luar negeri (1913).
Dalam siuasi yang mengguncangkan itu muncullah Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927 yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya. Perjuangan Nasional Indonesia di titik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan Indonesia Merdeka. Tujuan itu kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh-tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan Nasional kemudian diikuti dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat ini pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan kesadaran berbangsa.
Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti bentuknya dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta, dan St. Syahrir mendirikan PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan Kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI
Sebagai realisasi janji dari Pemerintahan Jepang maka pada hari ulang tahun Kaisar Hirohito tanggal 29 April 1945 Jepang memberi semacam hadiah ulang tahun kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kedua dari pemerintahan Jepang berupa kemerdekaan tanpa syarat. Tindak lanjutnya, pada tanggal 29 Mei 1945 dibentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai.
Pada hari itu juga di umumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para anggota sebagai berikut.
Ketua : Dr. K.R.T. Radjiman
Wediodiningrat
Ketua Muda : Itibangase
Ketua Muda : R.P. Soeroso
Enam puluh anggota biasa bangsa Indonesia tidak termasuk ketua dan ketua muda dan mereka kebanyakan berasal dari Jawa, tetapi juga ada yang berasal dari Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan beberapa peranakan Eropa, Cina, dan Arab.
Sidang BPUPKI I dilakukan untuk menentukan dasar Negara Indonesia. Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut :
a. Mr. Muh Yamin (29 Mei 1945)
Dalam pidatonya 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut :
Peri Kebangsaan
Peri Kemanusiaan,
Peri Ketuhanan,
Peri Kerakyatan (Permusyawaratan, Perwakilan, Kebijaksanaan)
Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial).
b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori sebagai berikut.
Teori negara perseorangan (Individualis).
Paham negara kelas (Class Theory)
Paham negara Integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muler Hegel (Abad ke- 18 dan 19).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia Soepomo mengusulkan hal-hal mengenai kesatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, keadilan rakyat.
Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI I berikutnya adalah pidato dari Ir. Soekarno yang disampaikan lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut.
Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
Mufakat (Demokrasi)
Kesejahteraan Sosial
Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Sekarang banyaknya prinsip yaitu Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Oleh karena itu, ditetapkan pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.
Sidang BPUPKI kedua (10-16 Juni 1945)
Dalam sidang BPUPKI kedua ini pemakaian istilah hukum dasar diganti dengan istilah Undang Undang Dasar. Keputusan penting dalam rapat ini adalah tentang bentuk negara republik dan luas wilayah negara baru. Tujuan anggota badan penyelidik adalah menghendaki Indonesia Raya yang sesungguhnya, yang mempersatukan semua kepulauan Indonesia. Susunan Undang Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas tiga bagian yaitu:
Pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan dimuka dunia atas Penjajahan Belanda
Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila
Pasal-pasal Undang Undang Dasar.
ERA KEMERDEKAAN
Kemenangan sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa Indonesia.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 Jendral Terauci memberikan tiga cap kepada Ir. Soekarno yaitu:
Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai anggota.
Panitia persiapan sudah mulai bekerja pada tanggal 9Agustus1945.
Cepat atau tidak pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya oleh panitia.
Panitia persiapan kemerdekaan menyelenggarakan Undang Undang Dasar Negara republik Indonesia dan memilih presiden dan wakil presiden yang pada hakikatnya sebagai komite nasional memiliki sifat representatif, atau bersifat perwakilan seluruh rakyat Indonesia. Panitia persiapan kemerdekaan Indonesia merupakan badan bentukan Jepang, setelah Jepang jatuh badan berubah menjadi badan nasional.
Era kemerdekaan dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan dapat mengandung pengertian sebagai berikut.
Dari sudut ilmu hukum proklamasi merupakan saat tidak berlakunya tertib hukum kolonial, dan saat mulai berlakunya tertib hukum nasional.
Secara politis ideologi proklamasi mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbatas nasib sendiri dalam suatu Negara Proklamasi Republik Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda membuat diamankannya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengas Dengklok agar tidak dapat pengaruh dari Jepang. Setelah diadakan pertemuan di Pejambon Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 diperoleh kepastian bahwa Proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan di Jakarta, untuk mempersiapkan proklamasi tersebut Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi dan pada akhirnya konsep Soekarno yang diterima dan diketik oleh Sayuti Melik. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum'at Legi jam 10.00 WIB, Bung Karno dengan didampingi oleh Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi
Sidang PPKI
Sidang PPKI pertama (18 Agustus 1945)
Pada sidang pertama ini PPKI menghasilkan suatu kesepakatan tentang naskah pembukaan Undang Undang Dasar 1945, memilih presiden dan wakil presiden pertama.
Sidang PPKI kedua (19 Agustus 1945)
Sidang PPKI yang kedua menentukan tentang daerah propinsi dengan pembagian dareah propinsi Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil.
Sidang PPKI ketiga (20 Agustus 1945)
Pada sidang ketiga PPKI dilakukan pembahasan terhadap agenda tentang Badan Penolong Korban Perang. Adapun keputusan yang dihasilkan adalah terdiri atas delapan pasal, salah satu dari delapan pasal tersebut yaitu : pasal 2 dibentuklah suatu badan yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sidang PPKI keempat (22 Agustus 1945)
Pada sidang keempat PPKI membahas agenda tentang Komite Nasional Partai Nasional Indonesia, yang pusatnya berkedudukan di Jakarta.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bangsa Indonesia masih menghadapi kekuatan sekutu yang berupaya menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu pemaksaan untuk mengakui pemerintahan Nica (Netherland Indies Civil Administration). Selain itu Belanda secara licik mempropagandakan kepada dunia luar bahwa negara Proklamasi RI hadiah pasis Jepang.
Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, maka pemerintah RI mengelurkan tiga buah maklumat :
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa waktunya (seharusnya berlaku selama enam bulan).
Maklumat pemerintah tanggal 03 Nopember 1945, tentang pembentukan partai politik yang sebanyak –banyaknya oleh rakyat.
Maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, yang intinya maklumat ini mengubah sistem kabinet Presidental menjadi kabinet parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal.
Kemudian tanggal 18 Agustus pada rapat PPKI, ditetapkan UUD 1945 dan Presiden serta Wakilnya. Sesudah itu dimulailah pergolakan politik dalam negeri seperti berikut ini.
Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Sebagai hasil dari konferensi meja bundar (KMB) maka ditanda tangani suatu persetujuan (Mantel resolusi) oleh Ratu Belanda Yuliana dan Wakil Pemerintah RI di Kota Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, maka berlaku pulalah secara otomatis anak-anak persetujuan hasil KMB lainnya dengan konstitusi RIS, antara lain:
Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalis) yaitu 16 Negara. (Pasal 1 dan 2)
Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintah berdasarkan asas demokrasi liberal dimana mentri-mentri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah terhadap parlemen (Pasal 118 Ayat 2).
Mukadimah RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa dan semangat maupun isi pembukaan UUD 1945, proklamasi kemerdekaan sebagai naskah Proklamasi yang terinci.
Sebelum persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan, oleh karena itu persetujuan 27 Desember 1949 tersebut bukannya penyerahan kedaulatan melainkan "pemulihan kedaulatan" atau "pengakuan kedaulatan".
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1950
Berdirinya negara RIS dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap deklarasi Proklamasi yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu negara persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa Pemerintah Negara "..... yang melindungi segenap bangsa Indoneia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia ....." yang berdasarkan kepada UUD 1945 dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan rakyat untuk membentuk negara kesatuan yaitu menggabungkan diri dengan Negara Proklamasi RI yang berpusat di Yogyakarta, walaupun pada saat itu Negara RI yang berpusat di Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara bagian RIS saja.
Pada suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara bagian saja yaitu Negara Bagian RI Proklamasi, Negara Indonesia Timur (NIT), dan Negara Sumatera Timur (NST).
Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan Negara RI tanggal 19 Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan Konstitusi Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.
Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya masih berorientasi kepada Pemerintah yang berasas Demokrasi Liberal sehingga isi maupun jiwanya merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
Sistem multi partai dan kabinet Parlementer berakibat silih bergantinya kabinet yang rata-rata hanya berumur 6 atau 8 tahun. Hal ini berakibat tidak mempunyai pemerintah yang menyusun program serta tidak mampu menyalurkan dinamika Masyarakat ke arah pembangunan, bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
Secara Ideologis Mukadimah Konstitusi Sementara 1950, tidak berhasil mendekati perumusan otentik Pembukaan UUD 1945, yang dikenal sebagai Declaration of Independence Bangsa Indonesia. Demikian pula perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi penyimpangan. Namun bagaimanapun juga RIS yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.
Pada akhir era ini, terjadi pergolakan politik yang tidak berujung. Hal inilah yang mendorong Presiden Soekarno megeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden 05 Juli 1959
Pada pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan pada politik, sosial, ekonomi dan hukum. Hal ini disebabkan oleh konstituante yang seharusnya membuat UUD negara RI ternyata membahas kembali dasar negara, maka presiden sebagai badan yang harus bertanggung jawab mengeluarkan dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya :
Membubarkan Konstituante
Menetapkan kembali UUD 45 dan tidak berlakunya kembali UUD 50
Dibentuknya MPR dan DPR dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945 berlaku kembali di negara Republik Indonesia hingga saat ini. Dekrit adalah suatu putusan dari orang tertinggi (kepala negara atau orang lain) yang merupakan penjelmaan kehendak yang sifatnya sepihak. Dekrit dilakukan bila negara dalam keadaan darurat, keselamatan bangsa dan negara terancam oleh bahaya. Landasan hukum dekrit adalah "Hukum Darurat" yang dibedakan atas dua macam yaitu :
a. Hukum Tatanegara Darurat Subjektif
Hukum Tatanegara Darurat Subjektif yaitu suatu keadaan hukum yang memberi wewenang kepada orang tertinggi untuk mengambil tindakan-tindakan hukum.
b.Hukum Tatanegara Darurat Objektif
Hukum Tatanegara Darurat Objektif yaitu suatu keadaan hukum yang memberikan wewenang kepada organ tertinggi negara untuk mengambil tindakan-tindakan hukum, tetapi berlandaskan konstitusi yang berlaku.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 keadaan tatanegara Indonesia mulai stabil, keadaan ini dimanfaatkan oleh kalangan komunis dengan menanamkan ideologi yang belum selesai. Ideologi pada saat itu dirancang oleh PKI dengan ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom. Puncak peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 untuk merebut kekuasaan yang sah negara RI, pemberontakan ini disertai dengan pembunuhan para Jendral yang tidak berdosa. Pemberontakan PKI tersebut berupaya untuk mengganti secara paksa ideologi dan dasar filsafat negara Pancasila dengan ideologi komunis Marxis. Atas dasar tersebut maka pada tanggal 1 Oktober 1965 diperingati bangsa Indonesia sebagai "Hari Kesaktian Pancasila".
ERA ORDE LAMA
Era Orde Lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
ERA ORDE BARU
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, "Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila". Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, "Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan
beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh".
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu :
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
Saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposeliro.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Cinta tanah air dan bangsa.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
Kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Bersikap adil.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menghormati hak-hak orang lain.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
Tidak bersifat boros.
Tidak bergaya hidup mewah.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
Suka bekerja keras.
Menghargai hasil karya orang lain.
Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, "Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945" (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43).
Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan "Azas Tunggal" yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, Era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Di Era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di Era Orde Baru sendiri terkesan "menunggangi" Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di Era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.
Di Era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan, Nasionalisme dan Patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di Perguruan Tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pada Era Orde Baru sebagai era "dimanis-maniskannya" Pancasila. Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai "tuntunan hidup", menjadi "sumber tertib sosial" dan "sumber tertib seluruh perikehidupan", serta merupakan "sumber tertib negara" dan "sumber tertib hukum". Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, "Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!" Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam Era Orde Baru.
Meskipun dianggap Pancasila hal yang paling luhur dan diagung-agungkan, pada tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah banyak timbul KKN dan meningkatnya inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan ekonomi pun terpuruk. Puncaknya yaitu Mei 1998 yang akhirnya menyebabkan Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.
Meskipun pada awalnya Pancasila begitu diagung-agungkan, dan masa Orde Baru ini menunjukkan kinerja positif, tetapi lama kelamaan hanya menjadi alat untuk orang yang berkepentingan. Sehingga Indonesia mencapai masa terburuk pada tahun 1998. Peristiwa lengsernya Soeharto membawa Indonesia pada Era Reformasi.
ERA REFORMASI
Memahami peran Pancasila di Era Reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sebagai berikut :
Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Mementingkan kepentingan rakyat/ demokrasi dalam pengambilan keputusan.
Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk.
Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu (Philosophy of Science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di abad ke- XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jati diri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat "sein im sollen dan sollen im sein".
Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di Era Reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rezim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya "reformasi" di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah-olah "dikesampingkannya" Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.
Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa "Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara" (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, "Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945".
Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51).
Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52).
Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan "Empat Pilar Kebangsaan", yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah "Empat Pilar Kebangsaan" ini menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide, 'berbangsa dan bernegara' itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami Pancasila secara lengkap dan utuh tertama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa indonesia. Secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggung jawaban Ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan hidup bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian luruh bangsa indonesia pada waktu mendirikan negara.
Keputusan-keputusan lain adalah untuk membentuk panitia kecil yaitu: (1) Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Ir. Soekarno, (2) Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Moh. Hatta, (3) Panitia Pembelaan Tanah Air diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso.
Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara dan dijadikan sebagai dasar negara RI. Proses cara formal tersebut di lakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, bidang panitia 9, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia ini membentuk negara yang sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan. Dalam kenyataannya secara objektif telah di miliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Isi Tritura sebagai berikut:
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
Pembersihan kabinet dari unsure-unsur G30S PKI
Penurunan harga
Daftar Pustaka
http://mylife578.blogspot.com/2016/03/pancasila-dalam-konteks-lintas-agama.html
https://kuliahkumanajemenpendidikan.wordpress.com/2013/04/17/pancasila-dalam-sejarah-perjuangan-bangsa-indonesia/
http://diary-mybustanoel.blogspot.com/2012/02/makalah-pancasila-dalam-konteks-sejarah.html
http://shareilmurahma.blogspot.com/2016/03/pancasila-dalam-kajian-sejarah-bangsa.html
Biodata Penulis
Dyah Dhea Ningsih merupakan mahasiswa Ilmu Kesehatan IIK Bhakti Wiyata,Kediri tahun 2014.
Safari Hasan,S.IP,MMRS memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Airlangga Surabaya lulus tahun 2007. Memperoleh gelar Magister Manajemen Rumah Sakit (MMRS) dari Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang,lulus tahun 2011.Saat ini menjadi Dosen di IIK Bhakti Wiyata Kediri.