290 SINDROM METABOLIK Sidartawan Soegondo, Dyah Purnamasari
Di US, peningkatan kejadian
PENDAHULUAN
obesitas mengiringi Prevalensi metabolik. prevalensi sindrom peningkatan
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor
sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25Yo dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%o. Pandemi
risiko pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik. Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah
sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok
(2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik,
(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,l3oh dan menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kglm2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3Yo dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan
kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut. Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik.
Peneliti Budhiarta
2004
Bali
Denpasar D. Sangsit D. Sembiran
Arifin
2003
N (usia)
Daerah
Tahun
Bandung Medical check up
terdapat
pada 25.7Yo pria dan 25Yo wanita. Penelitian Soegondo
Prevalensi (%) (ATP lll Asia)
888 354
20,3 24,8
443 90 (30-60)
7,8
Komponen sindrom metabolic Terbanyak (%) J Kolesterol HDL (39,1)
19,2
22,94 (bukan modifikasi)
497 C)
190 (> 50)
'16,6
1230 (> 30)
20,3
100 (-)
34
Obesitas sentral Hipertrigliseridemia (85,29)
12't9 (21-82)
33,4
Obesitas sentral (58,2)
Suhartono
2005
Semarang (poli RS) Pekajangan
1
Pranoto
2005
Surabaya (general check up)
Adam
2002-2004
Makasar (general check up)
Hipertensi (89,7)
Dikutip dari Purnamasari. Gambaran Resistensi lnsulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis 2006.
186
1866
prevalensi sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan sindrom, namun secara r[num
penatalaksanaan sindrom metabolik sejauh ini masih merupakan penatalaksanaan masing-masing komponennya. Masih menjadi perdebatan apakah sebutan sindrom ini masih memiliki arti klinis mengingat tidak ada perbedaan penatalaksanaan pada tiap komponennya. Pada akhirnya tampilan klinis sindrom metabolik ini
MEf,ABOLIKENDOIRIN
istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi laiteriaATP III. IDF menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan
resistensi insulin, sehingga memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-offyang digunakan juga dipengaruhi oleh etnik. UntukAsia dipakai cut-offlingkar perut > 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita. Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada Tabel2. Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.
sangat dipengaruhi oleh faktor etnik dan herediter, sehingga pola klinis di setiap populasi berbeda. PATOFISIOLOGI KRITERIA Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organiza-
tion (WHO) merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998. Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandangi DM mengingat penyandang
DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda
dengan WHO, EGIR lebih memlih qbesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahr.rn 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria
baru yang tidak mengharuskan adanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut-offlingkar perut diambil dari National Institute of Health Obesity Clinical Guidelines; > 102 cmuntukpriadan > 88 cmuntukwanita. Untuketnik tertentu seperti Asia, dengan cut-off lingkar perut lebih rendah dari AIP III, sudah berisiko terkena sindrom metabolik. Pada tahun 2003, American Association o/ Clinical Endocrinologrsls (AACE) memodifikasi definisi dari AIP III. Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.
Obesitas sentral Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh
tidak begitu sensitif dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan
metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis-
ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu
obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas. Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis factor d (TNF-
a), Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi
adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini diprcaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi
leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan risiko kejadian
1867
SINDROMMEIABOUK
Kriteria Klinis
wHo (1e98)
ATP
EGIR
il
(2001)
AACE (2003)
Resistensi insulin
TGT, GDPT, DMT2, atau sensitivitas insulin menurun* Ditambah 2 dari kriteria berikut
lnsulin plasma > persentil ke-75 Ditambah dua dari kriteria berikut
Tidak ada, tetapi mempunyai 3 dari 5 kriteria berikut
badan
Pria: rasio pinggang panggul > 0,90 Wanita: rasio pinggang panggul > 0,85 dan/atau IMT > 30
LP > 94 cm pada pria atau > 80 cm pada wanita
LP > 1 02 cm pada pria atau > 88 cm pada wanitaf
TG > 150 mg/dL dan/atau HDL-C < 35 mg/dL pada pria atau < 39 mg/dl pada wanita
TG > 150 mg/dl dan/atau HDL-C < 39 mg/dl pada pria atau wanita
TG
> 140/90 mm Hg
> 140/90 mmHg atau
> 130i85 mmHg
> 130/85 mmHg
2 110 mg/dl
TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes)
Berat
TGT atau GDPT Ditambah salah satu dari kriteria berikut berdasarkan penilaian klinisIMT > 25 kg/m'
kg/m2
Lipid
2150 mg/dl
HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita
TG > 150 mg/dL dan HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita
!DF (2005) Tidak ada
LP yang
meningkat (spesifik tergantung populasi) ditambah dua dari kriteria berikut TG > 150 mg/dl atau dalam pengobatan TG HDL-C < 40 mg/dL pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita atau dalam pengobatan HDL-
c Tekanan
darah
Glukosa
dalam pengobatan hipertensi
TGT, GDPT atau DMT2
TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes)
(termasuk penderita
> '130 mm Hg sistolik atau > 85 mm Hg diastolik atau dalam pengobatan hipertensi > 100 mg/dL (termasuk diabetes)
diabetes)f
Lainnya
Kriteria resistensi insulin lainnya$
Mikroalbuminuria
DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, lingkar pinggang; lMT, indeks massa tubuh; dan TG, trigliserida, semua singkatan lainnya terdapat dalam teks. * Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang diteliti
ng in.
04
ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan etnis tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe 2. Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. circulation 2005
kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi
CRP.
Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada
pengukuran secara anatomi dala memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.
Resistensi lnsulin Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada
berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan
jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan nrmus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.
sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
Dislipidemia
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 1 0% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Checklndex (QUICKI) dibuktikan
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya nornal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati
1868
METABOLIKENT'OI(RIN
sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun
studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemakbebas ke hati. Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke HDL.
Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan pemrmnan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-1) oleh
hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subyek dengan resistensi insulin. Studi pada hewan
menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi
perubahanprofil lipid.
Peran sistem imunitas pada resistensi insulin Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko
yang telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya (Tabet 3) Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturan
energi, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan klinik. Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik. Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 btlan, dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari ditunjang dengan aktifitas fisik yang sesuai. Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari. Untuk subyek dengan
komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olah raga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah
sibutramin dan orlistat. Dengan mempertimbangkan
kardiovaskular.
peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin
Hipertensi Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat
menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2
TERAPI
dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping yang mungkin timbul. Cara ke{anya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan turun dapat memberikan efek tidak hanya
untuk penurunan berat badan namun juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan beratbadanpemberian sibutramin setelah 24 minggu yang
disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko serius akibat obesitasnya.
Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Untr.rk mencegah
komplikasi kardiovaskular pada individu
Hipertensi juga mengakibatkan mikroalbuminuria yang
1869
SINDROMMETABOUK
Rekomendasi terapi
Target dan tujuan terapi
Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes melitus tipe 2
Faktor risiko gaya hidup Obesitas abdomen Mengurangi berat badan sebanyak 77o hingga 10% selama satu tahun pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan (lMT<25 kg/m')
Secara konsisten memberikan semangat agar berat badan terjaga / berkurang
kesehatan yang signifikan.
lnaktivitas fisik
Aktivitas fisik intensitas sedang secara
teratur; setidaknya
30 menit
secara
kontinu maupun intermiten (dan lebih baik bila > 60 menit), 5 hari/minggu,
tetapi lebih baik lagi bila setiap hari.
akut atau revaskularisasi, GJK) Diet aterogenik
Mengurangi asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol
e O k
lori total; kurangi lemak trans
25% hingga 35% kalori total' emak tidak jenuh; gula seder
Faktor risiko metabolik
dibatasi. Pencegahan jangka pendek terhadap penyakit KVR atau terapi diabetes melitus tige 2
Dislipidemia aterogenik Target primer: LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya)
LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya)
Target sekunder: non-HDL-C meningkat
non-HDL-C meningkat
Pasien risiko tinggi': < 130 mg/dl (3,4 mmol/L) {Pilihan: < 100 mg/dl) [2,6 mmoUL] untuk Pasien yang berisiko sangat tinggif)
Mengikuti strategi di Tabel 4 untuk mencapai target LDL-C Pilihin pertama untuk mencapai target non-HDL-C: Perkuat terapi penurunan LDL Pilihan kedua untuk mencapai target non-HDL-C: Tambahkan fibrat [lebih disukai fenofibratl atau asam nikotinat bila kadar non-HDL-C tetap relatif tinggi setelah terapi dengan obat penurun LDL diberikan
Pasien berisiko tinggi-sedangt: mg/dl (4,1 mmol/L)
<1 60
Pilihan terapi: <130 mg/dl (3,4 mmol/L) Pasien berisiko sedang$: < 160 mg/dl (4,1 mmol/L)
Beri saran untuk menambah fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi Beri saran untuk menghindari penambahan fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi sedang atau pasien berisiko sedang Semua pasien: Bila TG:500 mg/dl, mulai dengan fibrat atau asam nikotinat tujuan setelah {sebelum terapi penurun LDL; terapi non-HDL-C untuk mencapai memberikan terapi menurunkan TG)
Pasien berisiko rendahll: <190 mg/dL (4,9 mmol/L) Target tersier: HDL-C berkurang Tidak ada target spesifik: tingkatkan HDL-C sebisa mungkin disertai terapi standar dislipidemia aterogenik ia r-J 1c
HDL-C berkurang Maksimalkan terapi gaya hidup: penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik Pertimbangkan menambahkan fibrat atau asam nikotinat setelah terapi obat penurun LDL-C sebagaimana telah disebutkan untuk non-HDL-C yang meningkat
1870
MMABOIJKENDOIRIN
TD meningkat Turunkan TD serendah mungkin hingga <140/90 setidaknya mencapai
mmHg (atau
<
TD
130i80 mmHg
bila
terdapat diabetes). Kurangi TD lebih
lanjut sebisa mungkin
melalui
Untuk TD > 120180 mmHg: awali atau jaga modifikasi gaya hidup pada semua pasien dengan sindrom metabolik: pengendalian berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, meredam kebiasaan alkohol, pengurangan kadar garam dan menekankan banyak makan buah dan sayuran segar, dan produk-produk susu rendah lemak
perubahan gaya hidup Untuk TD > 140/90 mmHg (atau > 1 30/80 mmHg untuk individu dengan penyakit ginjal kronik atau diabetes); Bila dapat ditoleransi, tambahkan pengobatan tekanan darah sebagaimana diperlukan untuk mencapai TD target
Kadar glukosa meningkat Untuk GDPT, tunda perkembangan ke arah diabetes melitus tipe 2. Untuk diabetes, hemoglobin A1.<7,0o/o
Untuk GDPT, dorong semangat untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik Untuk diabetes melitus tipe 2, bila perlu, terapi gaya hidup dan farmakoterapi perlu dipakai agar HbAIC mendekati normal (< 7%). Modifikasi faktor{aktor risiko lainnya dan modifikasi perilaku (yakni obesitas abdominal, inaktivitas fisik, TD meningkat, abnormalitas lipid)
Kondisi Protrombotik Kurangi faktor-faktor risiko trombotik dan fibrinolitik
Pasien-pasien berisiko tinggi: mulai dan teruskan terapi aspirin dosis rendah; pada pasien dengan KVRAS, pertimbangkan klopidogrel bila aspirin merupakan kontraindikasi. Pasien berisiko tinggi sedang: pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah Rekomendasi: tidak ada terapi spesifik yang melebihi terapi gaya hidup
Kondisi proinflamasi
TG menunjukkan trigliserida; TD, tekanan darah, KVR, penyakit kardiovaskular; GJK, gagal jantung kongestif; lMT, indeks massa tubuh, GDPT,
glukosa darah puasa terganggu dan KVRAS, penyakit kardiovaskular aterosklerotik * Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis KVRAS, diabetes, atau risiko 10 tahun terhadap penyakitjantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, kondisi berisiko tinggi meliputi TIA atau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid > 5b% tPasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis bergantung pada penilaian klinis. Faktor-faktor yang dapat turut berkontribusi pada risiko sangat tinggi ini meliputi sindrom koroner akut yang baru saja terjadi, dan diagnosis penyakitjantung koroner + salah satu dari hal berikut ini: faktor-faKor risiko mayor multipel (terutama diabetes), f;ktorfaktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan r,nerokok sigaret yang terus berlanjut) dan sindroma metabolik +Pasien berisiko tinggi-sedang adalah pasien dengan risiko 10 tahun terhadap penyakit jantung koroner sebesar 10% hingga 20% FaKor-faktor yang mendukung pilihan terapi non-HDL-C < 100 mg/dl adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan individu hingga masuk ke kisaran atas risiko tinggi sedang meliputi: faktor-faKor risiko mayor multipel, faktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama liebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut), sindroma metabolik dan penyakit aterosklerotik subklinis yang nyata (yaitu ketebalan kalsium koroner atau lapisan media tunika intima karotid > persentil ke-75 yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin). $ Pasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun < '10% ll Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10% Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. Circulation 2005
dipakai sebagai indikator independen morbiditas
penghambat beta adrenergik, diuretik dan antagonis
kardiovaskular Fada pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan crbrah berbeda antara subyek dengan DM dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit
kalsium. Valsartan, suatu penghambat reseptor
ginjal, target tekanan darah adalah
<
130/80 mmHg,
sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg. Untuk
mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap
diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik. Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan, berolah raga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak mengkonsurnsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk mencegah komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan sffoke. Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor
angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi hipertrofr ventrikel kiri dibandingkan dengan
angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibltor. Meski pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.
Gangguan Toleransi Glukosa .ir--. Intoleransi glukosa merupakan safdh satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu
diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada
1871
SINDROMMEIABOIJK
Tujuan Terapi
Pasien berisiko tinggi*:
< 100 mg/dl (2,6 mmol/L)
pasien berisiko sangat tinggif lainnya < 70 mg/dl)
(untuk dalam kategori ini, target
Rekomendasi Terapi Pasien berisiko tinggi: terapi gaya hidupf ditambah obat penurun LDL-C untuk mencapai target yang direkomendasikan.
Bila kadar LDL-C dasar
> 100 mg/dl,
mulailah terapi obat
penurun LDL.
Bila dalam pengobatan kadar LDL-C > 100 mg/dL, tingkatkan terapi obat penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat penurun LDL)
Bila kadar LDL-C dasar < 100 mg/dl, mulai terapi penurun kadar LDL berdasarkan penilaian klinis (yakni penilaian yang menunjukkan bahwa pasien termasuk yang berisiko sangat tinggi)
Pasien berisiko tinggi-sedang$: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L) (untuk pasien berisiko lebih tinggi)ll dalam kategori ini, target lainnya adalah < 100 mg/dL (2,6 mmol/L)
Pasien berisiko tinggi-sedang: terapi gaya hidup + terapi obat
penurun LDL bila dibutuhkan untuk mencapai target yang > 130 mg/dL (3,4 mmol/L)
direkomendasikan bila kadar LDL-C setelah terapi gaya hidup
Bila kadar LDL-C adalah 100 hingga 129 mg/dl, terapi penurun LDL dapat dimulai saat risiko pasien dinilai berada di kisaran atas Pasien berisiko sedangtl: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L)
Pasien berisiko rendah#: < 160 mg/dL (4,9 mmol/L)
dari kategori risiko tersebut Pasien berisiko sedang: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C: 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya hidup diberikan Pasien berisiko rendah: terapi gaya hidup + obat penurun LpL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C > 190 mg/dl setelah terapi gaya hidup (untuk kadar LDL-C 160 hingga 189 mgidL, obat penurun LDL bersifat opsional)
*Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis ASCVD, diabetes atau risiko '10 tahun penyakit iantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, t
jl
Oapat terko (yaitu
mayor multipel, faktorpenyakit aterosklerotik dengan usia dan jenis
< flPasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun 10% #Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10%
sindrom metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif dapat menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jampascaprandial dan
hidup yang diikuti dengan medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan
konsentrasi insulin.
untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. Menurut AIP III, setelah kolesterol LDL sudah
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas. Pada Di ab etes P rev ention Pro gram, penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 3lo/o dan efektifpada pasien muda dengan obesitas.
meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan
DISLIPIDEMIA Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya
mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida + 200 m! dl,maka target terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenohbrat juga dapat menunrnkan konsentrasi frbrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan LDL.
1872
Target terapi berikutriya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukkan apoB lebih baik dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan konlesterol non HDL sehingga
menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian, AIP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai target terapi mengingat di beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.
Apabila konsentrasi trigliserida + 500 mg/dl, maka target terapi pertama adalah pemrrunan trigliserida untuk mencegah timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi
trigliserida < 500 mgldL, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL,
untuk kolesterol HDL tidak adatargetterapi tertentu, hanya dinaikkan saja. Panduan terapi untuk dislipidemia dapat
dilihat pada Tabel3.
KESIMPULAN Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Obesitas
sentral memiliki korelasi paling erat dengan sindrom metabolik dibandingkan dengan komponen yang lain. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang berbeda bila dibandingkan dengan komponen secara
individual.
MEDABOIJKENDOKRIN
Hughes
K, Aw T, Kuperan P, Choo M. Central obesity, insulin
X, ipoprotein (a), and cardiovascular risk in Indians, Malays, and Chinese in Singapore. J Epidemol Community Health 1997 ;5 I :39 4-9. Indriyanti R, Harijanto T. Optimal cut-off value for obesity: using resistance, sindrom
anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in
A, Soegih R, Soegondo A, Sutardo B, Tridjkaja B, et a1., editors. 3rd National Obesity Symposium (NOS IID 2004 Jakafta: Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI); 2004. p. l-13. Kahn R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolik sindrom: time for a critical appraisal Joint statement from the American Indonesian population. In: Tjokroprawiro S, Wijaya
Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetologia 2005.
National Cholesterol Education Program-ATP III. Executive summary of the third report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel III). JAMA 2002;285:2846-97. National Institute of Health. Clinical guidelines on the identifrcation, evaluation, and treatment of overweighty and obesity in adults: the evidence report. Obes Res 1998;6(suppl 2):51S-209S. Nestel P. Nutritional aspect in the causation and management of the metabolik sindrom. Endocrinol Metab Clin N Am
2004;33:483-92. Pan W. Metabolik sindrom-an important but complex disease entity for Asians. Acta Cardiol 2002;18:24-6. Reaven GM. The metabolik sindrom: requiescat in pace. Clin Chem
2005;51(6):931-8.
Sy R, Punzalan F. The prevalence of dyslipidemia, diabetes, h,?ertension, stroke and angina pectoris in the Philipines. Phil J Intern Med 2003;163:427-36. Soegondo S. Hubungan leptin dengan dislipidemia atherogenik pada obesitas sentral: kajian terhadap sma1l dense low density
lipoprotein. Disertasi 2004.
REFERENSI Dekker JM, Girman C, Rhodes ! Nijpels Q Stehouwer CD, Bouter LM, et al. Metabolik sindrom and 10-year cardiovascular disease risk in the Hoom Study. Circulation 2005;112(5):666-73, Eckel R, Krauss R. American Heart Association call to action: obesity as a major risk factor for coronary heart disease. AHA nutrition committee. Circulation 1998;97 (21):2099- 1 00. Einhom D, Reaven G, Cobin R, Ford E, Ganda O, Handelsman Y, et al. American college of endocrinology position statement on the insulin resistance sindrom. Endocr Prac 2003;9(3):237-52. Ford E, Giles W, Dietz W. Presence of the metabolik sindrom among US adults: findings from the Third National Health and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002;287 :356-9. Grundy S, Cleeman J, Daniels S, Donato K, Eckel R, Franklin B. Diagnosis and management of the metabolik sindrom. an American Heart Association/ National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement. Circulation 2005;112. Grundy SM, Hansen B, Smith SC, Jr., Cleeman JI, Kahn RA. Clinical management of metabolik sindrom: report of the American Heart Association,il.{ational Heart, Lung, and Blood Institute/ American Diabetes Association conference on scientific issues
to management. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004;24(2):el9-24.
related
Tan C, Tai E. Genes, diet and serum lipid concentrations: lessons from ethnically diverse populations and their relevance to their relevance to the coronary hjeart disease in Asia. Curr Opinion Lipidol 2004;15:5-12.
World Health Organization. Definition, diagnosis,
and
classification of diabetes mellitus and its complications:report of a WHO consultation. In: Part 1: diagnosis and classification
of diabetes mellitus: WHO; 1999. Soewondo P, Pumamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S. Prevalence of Metabolik Sindrom Using NCEP/ATP III Kriteria in Jakarta, Indonesia. The Jakarta Primary Non-Communicable Disease Risk Factor Surveillance 2006. Unpublished. Purnamasari. Gambaran Resistensi Insulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis. 2006. Reilly MP, Rader DJ. The metabolic syndrome: more tlan the sum
of its part? Circulation 2003;108:1546-51. Park YW, Zhu S, Palaniappan L, Heshka S, Carnethon MR, Heymsfield SB. The metabolic syndrome. Prevalence and associated risk factor findings in the US population from the Third National Helth and Nutrition Examination Survey 19881994. Arch Intern Med. 2003',163:427-36.
29t DIABETES MELITUS DI INDONESIA Slamet Suyono
Melanesia dan Eskimo.
EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi
epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba
menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan
mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.
Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal tersebut te{adi tidak saja di Indonesia tetapijuga di negararregara lain yang sedang berkembang.
Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan olehpemerintah dalam kurunwaktu 60 tahun merdeka, polapenyakit di Indonesia mengalami pergeseren yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan
enza, ttberkulosis dan penyakit kelamin, yang
gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa angka
meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu.
Periode
II.
penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka
kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi'dan akhirakhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD), antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai ini. Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di antatanya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan
19.
Dengan"perbglkan gizi, higiene serta sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau Jawa nampak bertambah.
III. Periode ini merupakan erapenyakit degeneratif dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik
Periode
dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat,
penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakitpenyakit tersebut umumnya jarang ditemukan. Dari penelitian Zimmet (1978) dapat dilihat bahwa beberapa golongan etnik mempunyai semacam proteksi terhadap efek buruk pengaruh barat, antata lain bangsa
samudera Pasifik, diabetes
ke daerah perkotaan.
Periode I. Era pestilence datkelaparan. Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit-penyakit menular s.eperti pes, kolera, influ-
Pandemi berkurang pada akhir abad ke
Di
melitus sangatjarang terdapat pada orang Polinesia yang masih melakukan gaya hidup tradisional, beda dengan daerah urban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dan negaranegara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti, di mana jumlah pasien diabetes sangat tinggi. Begitu pula banyak penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi diabetes pada penduduk emigran seperti pada orang Yahudi yang berasal dari Yaman dan pindah ke Israel, masyarakat India di Afrika Selatan, orang Indian di Amerika Serikat dan penduduk asli di Australia yang ber"migrasi"
serat dari sa) ran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung .
protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda. Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore bahkan kadang-kadang
187
1874
METABOIJKENDOIGIN
sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan
tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu makananbaratyang 'aduhai'. Pola hidup berisiko seperti inilah yang menyebabkan tinggiiiya kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia. Menarik sekali apa yang dimu at dalam majalah Fortune edisi bulan Juni 1991 yang menganalisis perkembangan ekonomi di Asia. Dikatakan bahwa perkembangan ekonomi di kawasan ini sangat menggembirakan. Yang aneh tetapi nyata adalah di antaraparameter untuk mengukur kemajuan ekonomi itu adalah j umlah re stor at Mc D o nal d. Di Thalland ada 6 buah, di Malaysia 23buah, di Singapura 37 buah, di Filippina 34btnhdan di Jepang 809 buah dan dua rregara yang mempunyai hanya 1 buah restoran McDonald yaitu Indonesia dan Cina. Pada tahun 1996hanya dalam waktu
5 tahun saja di Indonesia sudah ada 40 gerai. 33 di antaranya berada di Jakarta. Data terakhir tahun 2006 jumlah restoran McDoanld di Indonesia sudah mencapai 120 gerai. Akibat lain dari cara hidup berisiko'ini adalah biaya kesehatan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh, dapat dikemukakan angka-angka di bawah
inil. Di
Massachussetts AS, seorang laki-Iaki berumur 80 tahun
DIABETES MELITUS DI MASA DATANG
Di antarapenyakit degeneratif, diabetes adalah
salah satu
di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah sau ancaman utama bagi kesehatan umat manusia
pada abad 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300juta orang. Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang
tidak pernah mendapat perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang dilakukan di negara berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukkan justru peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara tennasuk Indonesia
(Gambarl).
gelisah menghadapi biaya kesehatan yang makin
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di flegara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya
membengkak ini. Anggaran biaya kesehatan tahun I 991 di negara ini mencapai 671 miliar dollar (12 % GNP AS).
hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti
Anehnya adalah, meskipun sudah sedemikian besarnya biaya yang dikeluarkan, tarafkesehatan mereka tetap tidak
penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Data epidemiologis di negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.
dirawat karena sakit jantung. Biaya perawatannya mencapai 800.000 dollar. Masyarakat AS memang mulai
lebih baik daripada negara maju lain, seperti Kanada, Inggris, Jerman, Swedia dan Jepang. Keadaan ini dapat dilihat pada angka kematian bayi (tiap 1000 kelahiran) misalnya diAS 10,4, jauh lebih tinggi daripada di Kanada 7,3, Inggris 7,3, Jermat 5,6, Swedia 5,9 dan Jepang 4,5. Begitu juga dengan usia harapan hidup di AS baru mencapai 75,6 tahun, sedangkan di Kanada 79,2 tahw, Inggris 76,3 tahun, Jerman 77,2tahln, Swedia 77,7 tahw dan Jepang 79,3 tahun. Ironisnya adalah bahwa biaya kesehatan di negara-negara itu jauh lebih murah.
Diakui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah banyak menyelamatkan nyawa manusia. Penyakit-penyakit yang selama ini tidak terdiagnosis dan
terobati sekarang sudah banyak yang teratasi. Tetapi untuk memperbaiki taraf kesehatan secara global tidak dapat mengandalkan hanya pada tindakan kuratif, karena penyakit-penyakit yang memerlukan biaya mahal itu sebagian besar dapat dicegah dengan pola hidup sehat dan menjauhi pola hidup berisiko. Artinya para pengambil kebij akan harus mempertimbangkan untuk mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan kepada segi preventif daripada kuratif. Rupanya inilah keunggulan negara-negara maju di luar AS yang tadi disebut.
DIABETES MELITUS TIPE2 Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara3-6Yo dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umrunnya. Misalnya di
negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding dengan l0 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok
ehik di beberaparregaruyar,g mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makrnur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada diAS, bangsa Creole di Mauritius
1875
DIABETES MELITUS DI INDONESIA
1
Afrika
995
f 2ooo I
zoos
Amerika Mediteranian Eropa
Asia
tenggara
Pasifik barat
timur
Sumber: World Health Organization The World Health Report'1997
Gambar 1. Prediksi perkembangan rata-rata pasien DM di dunia
dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan. Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya juga ada kekecualiannya, misalnya suatu penelitian di Wadena AS2, mendapatkan bahwa prevalensi pada orang kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan baku emas tadi (Eropa) yaitu sebesar 23,2yo untuk semua gangguan toleransi, terdiri dari 15,lo/o TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) danS,lYo DM Tipe 2.Dengan kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat berperan. Hal ini dapat dilihat pada studi Wadena tadi bahwa secara genetik mereka sama-sama kulit putih, tetapi di Eropa prevalensinya lebih rendah. Di sinijelas karena orang-orang- di Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih
santai. Hal ini akan berlaku bagi bangsa-bangsa lain, terutama di negara yang tergolong sangat berkembang seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia. Contoh lain yang baikbahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius, suatu negara kepulauan, yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik. Pada suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di sana
dengan jumlah responden sebanyak 5080 orang, didapatkan prevalensi TGT dan DMTTI seperti tertera pada tabel 3. Dari tabel tersebut tampak bahwa pada bangsa-bangsa India, Cina dan Creole (campuran Afrika, Eropa dan India) prevalensi DM jauh lebih tinggi daribaku emas, padahal di negara asalnya prevalensi DM sangat
rendah. Perlu diketahui bahwa keadaan ekonomi di Mauritius untuk golongan etnik tadi jauh lebih baik dibanding dengan di negara asalnya. Dari data ini semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa merupakan faktor
kuat yang akan meningkatkan kekerapan diabetes. Keadaan ini tentu saja harus diantisipasi oleh pembuat kebijaksanaan di tiap negara berkembang supaya dalam menentukan rencana j angka panj ang kebij akan.pelayanan
kesehatan
di negaranya, masalah ini
harus
dipertimbangkan.
DM TIPE 2 DI INDONESIA Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini
dilaksanakan
di Indonesia, kekerapan diabetes di
Indonesia berkisar antara 1,4 dengart l,6%0, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3Yo dandiManado 6%o (Gambar 2). Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orangorang yang datang dengan sukarela, jadi agaklebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geograf,r dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipinajuga tinggi yaitu sekitat 8,4Yo sampai l2oh di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% didaerah rural. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun I 993,
kekerapan DM
di
daerah urban yaitu
di kelurahan
Kayuputih adalah 5,69yo, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin6 di suatu daerah di Jawa Barat tahun 199 5, angka itu hanya l,lyo. Di sini j elas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yait:u 1,43 %o di daetah urban dan 1,47o/o di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21 ,2% dari seluruh
diabetes di daerah itu. Penelitian antara tahun 200 I dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar l4.7Yo, sua1ut angka yang sangat mengejutkan. Demikianjuga di Makasar
1876
METABOLIKENT'OKRIN
Gambar 2. Prevalens DM di lndonesia
prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 125%. Pada tahun 2006, Departemen IlmuPenyakitDalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama
bayi menurun dan usia harapan hidup orang Indonesia makin panjang. Piramida penduduk akan mengalami
dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen
lebih berbentuk panjang, mendekati stasioner di mana penduduk usia dewasa dan lanjut usia lebih banyak dari pada keadaan tahun 1990. Dari segi diabetes hal ini sangat
Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM (unadjusted) dilima wilayah DKI Jakarta sebesar l2,lo/o detgan DM yang terdeteksi sebesar 3,8olo dan DM yang tidak terdeteksi sebesar ll,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang
belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hamper 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suafu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu I atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel 2, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 jtrta orang pada tahun 2025, nak 2 tingkat dibanding tahun I 995. Untuk dapat meramal keadaan diabetes di masa datang baiknya kita menyimak sedikit apa yang dilakukan oleh ahli-ahli demografi di Indonesia. ada
Ananta menyatakan bahwa revolusi demografi di Indonesia adalah salah safu contoh di mana perubahan
demografik tidak perlu menunggu perubahan sosioekonomi. Intervensi pemerintah secara langsung dalam memperbaiki angka fertilitas dan mortalitas jelas mempercepat proses transisi demografi. Angka kematian
perubahan dari yang berbentuk kerucut (ekspansif) menjadi
menarik karena seperti tadi sudah dikatakan bahwa umumnya DM Tipe 2 timbul setelah dekade 4. Ini berarti bila nanti pada tahun 2020 menjadikenyataan jumlah pengidap diabetes akan mengalami ledakan yang luar biasa besarnya.
Kenaikan
ini sungguh sangat besar dibandingkan
kenaikan seluuh penduduk dari I 80,3 8 3,697 orang meniadi 253,667,565 orang atau kenaikan hanya sebesar 40,6oh. Selain itu penduduk perkotaan yang pada tahun 1990 berjumlah 51,932,467 orang atau 28,79yo dari penduduk, pada tahnn 2020 akan meningkat menjadi 132,465,221 oratg
1
2 J
Negara {995 Urutan Negara (Juta) 19.4 lndia lndia 2 Cina Cina 16.0 3 Amerika Amerika 13.9 1
Serikat
2025 (Juta) 57 2 37 6 21
I
8.9
4
Pakistan
14 5
5
Federasi Russia Jepang
6.3
5
lndonesia
12.4
6
Brazil
4.9
6
Federasi
12.2
4
7 o o 10
lndonesia Pakistan Meksiko Ukraine Semua
4.5 4.3 3.8 3.6 49.7 135.3
Russia
7 8
I
10
Meksiko Brazil Mesir Jepang
11.7 11 6
8.8 8.5 103.6
t877
DIABETES MELITUS DI INDONESIA
atau 52,2%o dari semua penduduk. Hal lain yang menarik
Langkah-langkah yang Dapat Dikerjakan
adalah jumlah usia lanjut. Penduduk 65 tahun akan bertambah daiT ,ljuta pada tahun 1990 menjadi 18,5 juta pada tahun 2020. Jadi selama 30 tahun itu jumlah penduduk
Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan.
dengan usia lanjut akan bertambah sebanyak ll,4 jutayang menurut Ananta jumlah itu sama dengan jumlah penduduk
Jakarta ditambah penduduk Yogya,saat ini. Kekerapan diabetes pada usia lanjut jauh lebih tinggi lagi bisa 4 kali
lipat darirata-rdta. Dari angka-angka tadi dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40o/, dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138o/o, yang disebabkan oleh karena: . faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2). Pendudukusia lanjut bertambah banya( 3). Urbanisasi makin takterkendali gaya hidup yang ke barat-baratan: 1)'Penghasilanper capita tinggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi
.
canggih menimbulkan sedentary life, ktttang getak
. .
badan berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi meningkafirya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.
DM TIPE LAIN Salah satu jenis ini adalah Diabetes Melitus Tipe Lain. Jenis ini sering ditemukan di daerah tropis dan rrcgara berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutirisi disertai kekurangan protein yang nyata. Diduga zat sia:nidayang terdapat pada cassava atau singkong yang menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia dan
Afrika berperan dalam patogenesisnya. Di Jawa Timur
sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi
diabetes di pedesaan adalah l,47yo sama dengan di perkotaan (1,43%). Sebesar 2l,2yo dari kasus diabetes di pedesaan adalah jenis ini. Diabetes jenis ini di masa datang masih akan banyak, mengingat jumlah penduduk yang masih berada di bawah kemiskinan yang masih tinggi. Dulu jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), teapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka jenis ini pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai MRDM tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.
Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini meliputi 2-5o/o dalrr seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya padajanin
kurang baik bila tidak ditangani dengan benar. Adam mendapatkan prevalensi diabetes gestasi sebesar 2-2,6'h dari wanita hamil. Karena pentingnya. masalah ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab tersendiri.
Menurut WHO tahun 1994, tpaya pencegahan pada diabetes adatigajenis atau tahap yaitu: Pencegahan primer.' Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes ata.upadapopulasi umum. Pencegahan sekunder.' Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada
populasi risiko tinggi, Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel,
Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu' Usaha ini meliputi:
. .
mencegahtimbulnyakomPlikasi
.
mencegah kecacatan tubuh
mencegah progresi dari padakomplikasi itu suptiyatidak menj adi ke gagalan organ
Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah menyusun dan memberlakukan
konsensus pengelolaan diabetes
di Indonesia yang
ditandatangani oleh seluruh ahli dibidang diabetes. Di dalam buku konsensus itu sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai
ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam
pencegahan
konsensus yang mengacu ke pada WHO 1985, pencegahan
ada 3 jenis yaitu pencegahan primer berarti mencegah timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah komplikasi sedangkan pencegahan tersier mencegah kecacatan akibat komplikasi. Menurut laporan WHO 1994 pada pencegahan sekunder termasuk deteksi dini diabetes
dengan skrining, sedangkan mencegah komplikasi dimasukkan ke dalam pencegahan tersier.
Strategi Pencegahan Dalam menyelenggarakan rtpaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal' Seperti juga pada pencegahan penyakit menul al ada2macam strategi untuk dij alankan, antara lain
:
opulasi/masy ar akat (p op ulatio n/c omm unily approach). Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankart cata hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak Pendekatan
p
1878
hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk
METABOLIKENI'OKRIN
mencegah penyakit lain sekaligus.IJpaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus. dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segaia lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masy arakat dan agama)
selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara nonfarmakologis dulu secara
Pedekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya
maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidbk berhasil baru
pencegahan yang ditakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur >40
tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi>4kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.
Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah caru yatg paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinyamereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggungjawab bukan hanya profesi tetapi
seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak
taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, temyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol. Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olah ragateraix. Dengan menganjurkan olah raga kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah.
Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang memadai.
Pencegahan Sekunder Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah beroSat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan
bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus
menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan
yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang
sudah dapat pelatihan untuk
Usaha
ini
itu (diabetes educator).
akan"lebih berhasil bila cakupan pasien
diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama
ini
sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien
diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan risiko tinggi. Kelompok yang
tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang terdiagnosis, bisa dibayangkan keadaan di Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Untuk r,egara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilalcnkan upaya bagaimana carartya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder
Pencegahan Tersier Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap:
. . .
pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus
dimasukkan sebagai pencegahan sekunder mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ tfrencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan Dalamupayaini diperlukanke{a sama y4ng baik sekali
1879
DIABETES MELITUS DI INDONESIA
baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yalg terkait dengan komplikasinya. Dalam hal peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk
keperluan
itu yaitu penyuluh diabetes
(diabetes
educator).
PENYULUH DIABETES
KESIMPULAN Jumlah pasien diabetes dalam kurun waktu 25-30 tahun
yang akan datang akan sangat meningkat akibat peningkatan kemakmuran, perubahan pola demografi dan urbanisasi. Di samping itu juga karena pola hidup yang akan berubah menjadi pola hidup berisiko. Pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier merupakan upaya yang paling tepat dalam mengantisipasi ledakan jumlah ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, LSM, guru-guru dan lain-lain. Dari segi teknis, karena cakupannya sangat luas dalam pelaksanaannya perlu dibantu oleh para penyrluh diabetes yang trampil
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi terutama PJK, tadi sudah diuraikan upaya pencegahan, baik primer, sekunder maupun tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu sangat berat, adalah tidak mungkin dilakukan hanya oleh
dokter ahli diabetes atau endokrinologis. Oleh karena itu diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis itu. Di luar
negeri tenaga itu sudah lama ada disebut diabetes educator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi atau pekerja sosial dan lainJain yang berminat. Di Indonesia atau tepatnya di Jakarta oleh Pusat Diabetes dan Lipid FKUV RSCM melalui SIDL-nya (Sentral lnformasi Diabetes dan Lipid) sejak tahun 1993 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai saat ini masih berlangsung secara teratur. Kursus ifu ternyata mendapat sambutan luar biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia, bahkan di beberapa kota misalnya di Bandung, Surabaya, Bali, Ujung
Pandang, Manado dan lain-lain. Mereka sudah melaksanakan sendiri kursus itu. Unfuk sementara kursus itu dibatasi hanya unhrk dokter, perawat dan ahli giziyang merupakan satu-kesatuan kerja di rumah sakit masingmasing. Sampai tahun 2006 sudah dididik sebanyak 1000
orang penyuluh, tersebar di 80 rumah sakit di seluruh Indonesia. Karena kegiatan ini sudah dianggap mapan, mulai tahun 1996 kursus ini dilaksanakan oleh Diklat RSCM bersama dengan SIDL, hingga dengan demikian secara formal keberadaan penyuluh diabetes tidak diragukan lagi.
Ini penting untuk yang bersangkutan dalam pengembangan kariernya. Bila tenaga penyuluh diabetes
sudah banyak, maka penyuluhan akan lebih banyak ditalarkan oleh mereka dari pada oleh dokter spesialis yang
jumlah dan waktunya terbatas. Dalam pelaksanaannya para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral informasi yang bekerja 24 jamsehari dan akan melayani pasien atau
siapapun yang ingin menanyakan seluk-beluk tentang diabetes terutama sekali tentang penatalaks arraanly a termasuk diet dan komplikasnya.
REFERENSI Adam JMF. Diabetes melitus gestasi. Cara skrining
dan
penatalaksanaan. Acta Med Indones, 1991; XXIII: 87-94' Agusta A YL. Deskripsi pasien Diabetes di suatu masyarakat di Jawa
Barat. Buku Program dan Kumpulan Ringkasan Simposium Nasional Endokrinologi
II
Bandung 1995; 3.
Ananta A, Adioetomo SM. Perkembangan Penduduk Indonesia Menuju tahun 2005. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
UI. Jakarta, 1990. Cheah JS, Yeo PPB, Thai AC, Lui KF, Wang KW, Lee KO, Tan YT, Ng YK Tan BY. Epidemiology of diabetes melitus in Singapore: comparison with other ASEAN countries. J AFES 1982; 2: 3947. Dowse GK, Gareeboo H, Zimmet P. et a1. The high prevalence of glucose intolerance in Indian, Creole, and Chinese Mauritians' Diabetes 1990; 39: 390-6. French LA, Boen JR, Martirrcz AM et al .Population-based study of impaired glucose tolerance and type II diabetes in Wadena, Minnesota. Diabetes 1990; 39: 1131-7' Konsensus Pengelolaan diabetes melitus di In- donesia PERKENI
t993. Samsuridjal. Catatan dari Salzburg. Dari orientasi penyakit ke perilaku sehat. Anikel opini pada harian Pelita tgl 11 Oktober 1991. Soegondo S, Pumamasari D, Waspadji S, Saksono D. Prevalence of ' diabetes mellitus in Jakarta. The Jakarta Primary Non-Commu-
nicable Disease Risk Factors Surveillance 2006. Unpublished' Sugijarto, Suyono S, Waspadji S, Budisantoso A, Soegondo S. Pengaruh tempe kedelai terhadap profrl lipid pasienhiperkolesterolemia
yang berobat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta. Kumpulan makalah KOPAPDI
VIII
Yoyakarta,(1990),
Jilid I,551-61. Tjokroprawiro A. Prevalensi dan profil klinik diabetes melitus di pedesaan Jawa Timur. Naskah Lengkap Simposium Nasional Perkembangan Mutakhir Endokinologi Metabolisme. 1991 ; 3347. Waspadji S. Penelitian diabetes melitus suatu tinjauan tentang hasil penelitian dan kebutuhan penelitian masa yang akan datang. Acta Med Indonesiana 1988; XX: 87-98' WHO Technical Report Series No 844: Prevention of Diabetes
Melitus 1994,
292 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI DIABETES MELITUS Dyah Purnamasari
PENDAHULUAN
lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terl'adi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka p anjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus
dan
hiperinsulinemia. Semua falctor ini berinteraksi derrgan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2. Selain itu karena diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan malahan menurut P. Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, banyak penelitian dilakukan
untuk mencoba mengatasinya. Saat irri lsldapat berbagai penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, adayangberusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di dunia.
PENAPISAN DAN DIAGNOSIS
menerus terjadi baik oleh WHO maupw American
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan
Diabetes Association (ADA). Parapakar di Indonesiapun bersepakat melalui PERKENI @erkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar
konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis,
melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun I 998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitan lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe2 akan
(whole blood), vena ataupun kapiler
dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
meningkat 5- 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untukpemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada
1880
1881
DIAGNOSIS DAT{ KI.AITIFII(AIII DTABETES MELITUS
mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. (Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.) PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua
bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia
dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus rulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabilatidak ditemukan gejalakhas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 1.
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2
Atau
Gejala klasik DIV + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
:
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1 994): 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa 8 j am (mulai malam hari) sebelum
berpuasa paling sedikit
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 grarnlkgtsB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
<
140mg/dl )
normal
140-<200mgldL )
>200mgldL
)
toleransi glukosa terganggu diabetes
GD 2 jam pasca pem
Gambar 1. : Langkah diagnostik DM dan TGT dari TTGO Pemeriksaan penyaring dikelakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kglm2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative),3) masuk kelompok etnik risiko tinggi (AfricanAmerican, Latino, Native American,
Asian American, Pacific Islander),4). Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5). Hipertensi (tekanan darah > l4}lg0 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi), 6) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida> 250 mgdL,7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit kardiovaskular. Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masingmasing pasien. Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian
istirahat dan tidak merokok
pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
1882
METABOLIKENDOKRIN
glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, ll3 tetap TGT dan l/ 3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hiperlensi dan dislipidemia. Peran aktif para
pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa orat (TTGO) standar. - Evaluasi Penyulit Dl\,4 - Evaluasi dan Perencanaan [,,lakan sesuai Kebutuhan
Konsentrasi
glukosa
Darah sewaktu
Bukan Belum DM DM pasti DM < 100 100 - 199 ?-200 <9 90-'199 :200 < 100 100 - 125 > 126 <90 90-99 :100
Plasma vena
(mg/dL) Darah kapiler
Konsentrasi glukosa Plasma vena darah puasa (mg/dL) Darah kapiler
Nilai atau Indeks Diagnostik Lainnya Definisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna dalam memnentukan subklas, penelitian epidenmiologi, dalam menentukan mekanisme dan perjalanan alamiah diabetes.
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2bagian
:
Indeks penentuan derajat kerusakan selbeta. Hal ini dapat
-
Nasihat Umum Perencanaan makan latihan iasmani Beral ldaman - belum Pedu Obat Penurun clukosa
GDP = Glukosa Darah Puasa GDS = Glukosa Darah Sewaktu GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu = Toleransi Glukosa Terganggu
TGT
Gambar 2. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu
1
Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau 2 Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dl atau 3. Konsentrasi glukosadarah > 200 mg/dl pada2jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO..
t
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat ** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama
dinilai dengan pemeriksaan konsentrasi insulin, pro-insulin, dan sekresi peptida penghubung (C-peptide).
Nilai-nilai "Glycosilated hemoglobin" (WHO memakai istilah " G ly c I at e d h e m o gl o b in "), nllai deraj at gliko silasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
Indeks proses diabetogenik. Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans
(islet cell antibodies), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan. sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas; ditemukannya
susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.
Perkembangan Klasifikasi Diabetes Melitus Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik maupun laboratorik menunjukkan bahwa diabetes melitus
merupakan suatu keadaat yatg heterogen baik sebab maupun macamnya. Selama bertahun-tahun hal ini telah digumuli oleh banyak ahli temama dengan tujuan mencapai persejutuan internasional tentang prosedur diagnostik,
kiteria
dan terminologi. Dahulu terdapat banyak perbedaan dalam masing-masing bidang walaupun telah diusahakan untuk mendapat suatu konsensus Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenamya ada yang berpendapat diabetes hanya
merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total
1883
DIAGNOSIS DAN KI.ASIFIKAITI DIABETES MELITUS
dikatakan sebagai diabetes "Juvenile onset" atalu "insulin dependenl" atat "ketosis prone", karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang "stable" atan "maturity onset" ata,u "noninsulin dependent". Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walapun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin (1nsa-
lin requiring), tidak akan terjadi kematian
karena
ketoasidosis walapun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan/ atau inaktifitas fisik. Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas kelompok kecil. Pada satu
kelompok besar "IDDM" atau Diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell -mediated. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebutsebut berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada percobaan binatang, virus dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan proses auto-imunitas ini. Kelompokbesar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe 2) tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya mem-punyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup. Dalam terminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak lagi terdapat istilah tipe I dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal umum maka untuk tidak membingungkan maka kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai arti khusus seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian kembali digunakan olehADApada tahun 1997 sampai2005, sehingga DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang NIDDM (DMTTD dan IDDM (DMTD.
l.
Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) A. Melalui proses imunologik B. ldiopatik
ll.
Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin disertai diefisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin) Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek genetik fungsi sel beta - kromosom 12, HNF- o (dahulu MODY 3)
-
kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) kromosom 20, HNF o (dahulu MODY 1) kromosom 13, insulin promoier factor (lPF dahulu MODY 4) kromosom 17, HNF-18 (dahulu MODY 5) kromosom2, Neuro D1(dahulu MODY 6) DNA Mitokondria lainnya B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,l eprechaunrsm, sinrdom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnYa C. Penyakit Eksokrin Pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, ldinnya
-
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnYa E. Karena Obat I Zal kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya F. lnfeksi : rubella congenital, CMV, lainnya G. lmunologi (jarang) : sindrom "Stiffman", antibodi anti reseptor insulin, lainnya H. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram's, ataksia Friedreich's, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofl miotonik, porfiria' sindrom Prader Willi, lainnYa Diabetes Kehamilan
REFERENSI Stadtes dan
Lipid RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoiFakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2005 : hal 17-28 WHO. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus
and its
Complications. World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveil;lance. Geneva 1999.
293 FARMAKOTERAPI PADA PENGENDALIAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2 Sidaftawan Soegondo
PENDAHULUAN
dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakitgnaka
Kegagalan pengendalian glikemia pada diabetes mellitus
produksi insulin ini berangsur menurun meninmbulkan klinis hiperglikemia yar,9 Lyata. Hiperglikemia awalnya
(DM) setelah melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat menghambatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat diperlukan peran serta para pengelola kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Pedoman pengelolaan diabetes sudah ada dan disepakati bersama oleh para pakar diabetes di Indonesia dan dituangkan d6lam suatu Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang mulai disebarluaskan seiak tahun 1994 danbeberapa kali mengalami revisi dan yang terakhir pada tahun 2006. Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah dia-
terjadipada fase setelah makan saat otot gagal melakukan ambilan glukosa dengan optimal. Pada fase berikutnya dimana produksi insulin semakin menurun, maka terjadi produksi glukosa hati yang berlebihan dan mengakibatkan
meningkatnya glukosa darah pada saat puasa. Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah ada dan disebut dengan fenomena glukotoksisitas. Selain pada otot, resistensi insulin juga terjadi pada jaringan adiposa sehingga merangsang proses lipolisis
dan meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga
betes melitus tipe 2, yang ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
mengakibatkan gangguan proses ambilan glukosa oleh sel
otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Fenomena ini 'yang disebut dengan lipotoksisitas.
Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat
hiperinsulinemia dan glukosa darahmasih normal ataubaru
sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidak
tergantung pada fase mana diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut seperti (Gambar 1) : . Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati . Kenaikan produksi glukosa oleh hati. . Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.
sanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus. Otot adalah pengguna glukosa
yang paling banyak sehingga resistensi insulin mengakibatkan kegagalan ambilan glukosa oleh otot. Fenomena resistensi insulin ini terjadi beberapa dekade sebelum onset DM dan telah dibuktikan pada saudara kandung DM tipe 2yangnormoglikemik. Selain genetik, faktor lingkungan juga mempengaruhi kondisi resistensi insulin. Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan
non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiirtan j asmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran
1884
FARMAKOTERAPI PAT'A PENGENDALIAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
1885
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan.
Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui peningkatan penggunaan
glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP acticated protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas Acetyl Co-A karboksilase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi ensim lipogenik. Gambar 1. Sebab hiperglikemia pada DM
pengendalian DMbelum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan perlu penambahan terapi medikamentosa atau
intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktif,rtas fisik yang sesuai. Dalam
melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan
Gambar2. Pada beberapa kondisi saat kebuflthan insulin sangat meningkat akibat adanya infeksi, stres akut (gagaljantung, iskemi jantung akut), tanda-tanda defisiensi insulin yang
berat (penurunan berat badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) atau pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak terkontrol dengan perencanaan makan, maka pengelolaan farmakologis umumnya memerlukan terapi insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
MACAM{/IACAM OBATANTI HIPERGLIKEMIK ORAL
Golongan lnsulin Sensitizing Biguanid Farmakokinetik dan Farmakodinamik Saat
ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya
Metformin jnga dapat menstimulasi produksi Glucagon like Peptide-I (GLP-1) dari gastrointestinal yang
dapat menekan fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan glukagon serum dan mengurangi hiperglikemia saat puasa. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Penggunaan Dalam Klinik dan EfekHipoglikemia Metformin tidak memeiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat
menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin. sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonylurea (SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan gTitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20o/o dan konsentrasi inqulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian klinikmemberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dl) dan IIbAl c (l-2%) dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh SUnya. Pengobatan terapi kombinasi dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan llbAlc 3-4Yo. Efektivitas meiformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Mengingat
keunggulan metformin dalam mengurangi resistensi
diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktuparuh2 5 jam.
insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
Mekanisme kerja
dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti
Metformin menurunkan glukosa darah melalui
diabetik lain.
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga
monoterapi pilihan utama pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai
cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
1886
METABOLIKENDOIRIN
pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
sudah berkurang. Pada pasien yang akan menggunakan radiokontras disarankan untuk menghentikan metformin
Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan
24 jam sebelum dan 48 jam sesudah tindakan.
glukosa darahyang lebih banyak.
hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan hanya 50Yo pasien DM tipe 2 yang
Metforminjuga dapat menganggu absorbsi vitamin B 12 dan dapat menurunkan konsentrasi vitamin Bl2 serum dengan mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya. Pada suatuuji klinik didapatkan anemiapada7% pengguna metformin dan kondisi ini membaik dengan cepat dengan
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal
penghentian obat. Oleh karena itu disarankan untuk
metformin atau SU sampai dosis maksimal.
melakukan monitor hematologi.
Pemakaian kombinasi dengan SU sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan SU lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Efek Samping dan Kontraindikasi
Efek samping gastrointestinal tidak jarang (-50%) didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis
laktat, meski kejadiannya cukup jarang (0,03 per 1000 pasien) namun dapat berakibat fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat
proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3 mgl dL pada perempuan dan > 1,5 mg/dl pada laki-laki). Metformin juga dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan serta
penyandang gagal jantung yang memerlukan terapi. Pemberian metformin perlu pemantauan ketat pada usia lanjut (> 80 tahun) dimana masaa otot bebas lemaknya
Glitazone Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah l-2 jam. Makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara3-4 jambagi rosiglitazone dart 3-7 jambagi pioglitazon.
MekanismeKerja.
Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR6) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Sama seperti metfomin, glitazon tidak menstimulasi
produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitazon dapat meningkatkan efisiensi dan
respons sel beta pankreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas.' Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti gluco s e transp orter-1 (GLUTl), GLUT 4, p856PI-3K dan uncouplingprotein-2 (UCP-2). Selain itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resistensi insulin, seperti TNF-6 dan leptin. Glitazon dapat meningkatkan berat badan dan edema p ada
3 - 5o/o
pasien akibat beberapa mekanisme antara lain
:
.
penumpukan lemak subkutan
.
pengurangan lemak viseral meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor
.
di perifer
dengan
PPARadiginjal edema dapat disebabkan penurunan ekskresi natrium
di ginjal sehingga terjadi peningkatan natrium dan retensi cakat. ..-
Troglitazone
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah
Rosiglitazon dan pioglitazon memiliki efek pada profrl lipid pasien. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol LDL dan HDL namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazon memiliki efek netral pada kolesterol LDL, menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL. Baik rosi maupun pioglitazon dapat menurunkan small dense LDL.
FARMAKOTERAPI PADA PENGENDAIJAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
Glitazon dapat sedikit menurunkan tekanan darah, meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel. Penggunaan Dalam Klinik dan EefekHipoglikemia Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Kemasan rosiglitazon terdiri dari 4 dan 8 mg sedangkan pioglitazon 15 dan 30 mg. Pemakaian bersama dengan insulin tidak disarankan karena dapat mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan retensi cairan. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa
puasa sampai 55
mg/dl dan HbAlc sampai l,5oh
dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila
digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis maksimal45 mgldl dosis tunggal.
Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mgldL dan IIbAlc 1,4-2,6oh drbandingkan dengan plasebo (ekuivalen dengan metformin dan SU).
Efek Samping dan Kontraindikasi Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema.
Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb) sekitar I grldl) juga dilaporkan. Insiden fraktur eksftemitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal. Pemakaiannya harus hati-hati pada pasien dengan
riwayat penyakit hati. sebelumnya, gagaljantung kelas 3 dan 4 (klasifrkasi New york Heart Association,I.IYHA) dan pada edema. Meski pada hasil meta analisis dilaporkan risiko kematian akibat kardiovaskular meningkat 43o/o dan infark miokard 43Yo, belum ada simpulan yang jelas mengenai hal tersebut.
Golongan Sekretagok lnsulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid).
Sulfonilurea Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi
farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
1887
relatifmurah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Efek akut obat golongan sulfonilureaberbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanj ang sampai 12 jam. @ahkan sampai >20 j am pada
pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan unflrk memakai glibenklamid sehari sekali.
MekanismeKerja Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan , sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes melitus tipe 1. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada AIP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Penggunaan Dalam Klinik Beberapa obat golongan SU yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel l. Semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Berdasarkan lama kerjanya, SU
dibagi menjadi tiga golongan yaitu generasi pertama generasi kedua dan ketiga. SU generasi pertama adalah acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide. SU generasi kedua adalah glibenclamide, glipizide dan gliclazide. SU generasi ketiga adalah glimepiride. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36%dan2l%. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. Pemberian SU sebagai terapi tunggal dapat menurunkan [Ib Alc 1,5-2o/o. Pada pernakaian sulfonilureaSU, umumtya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan SU dengan dosis yang
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
hari sudah dapat diperoleh efekklinis yangjelas dan dalam I minggu sudah te{adi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah dan sesuaikan dosisnya.
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasukhipoglikemia) dan
1888
MEI]ABOLIKENDOKRIN
Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mgldL, SU sebaiknya dimulai denganpemberian dosis
kecil dan titrasi secara bertahap setelah l-2 minggt sehinggatercapai glukosa darahpuasa 90-130 mg/dl Bila glukosa darah puasa > 200 mgldL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
Kombinasi'SU dengan insulin diberikan berdasarkan rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar
glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian SU seperti biasanya.
Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini temyata lebih baik daripada insulin sendiri, dosis insulin yang diperlukan pun temyata lebih rendah dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multi injeksi.
Nama dagang Biguanid
hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, ganguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan makan yang kurang danjika dipakai bersama obat sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan
lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjangan jika diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagalhati. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim
hati danflushing. Pemakaiannya dikontraindikasikan pada DM tipe hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea
(SUR) dan mempunyai struktur yar,g mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa
Kerja
mg/tab
Dosis arian
500-850
250-3000
6-8
1-3
500 500-750 500 4
500-3000
6-8
2-3
500-2000
24
1
Rosiglitazon
Glumin Glucophage-XR Glumin-XR Avandia
4-8
24
1
Pioglitazon
Actos
5-30
24
1
Lama
FreU hari
I
glitazone
Sulfonilurea
Klorpropamid Glibenklamid Glipizid Gliklazid Glikuidon Glimepirid
Deculin Diabenese Daonil Euglukon Minidiab Glucotrol-XL Diamicron Diamicron-MR Glurenorm Amaryl Gluvas
Amadiab Glinid Penghambat
15,30
1
15,30 100-250 2,5-5
15-45 1 00-500
24
I
24-36
1
2,5-15 5-20
12-24 10-16
1-2 1-2
5-1 0 5-1 0
5-20
12-16*
1
80 30 30 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4
80-240 30-120 30-120
10-20
1-2
0,5-6
24 24 24 24
1,5-6 360
3
00-300
3
1-6 1-6 1-6
Repaglinid Nateglinid
Metrix NovoNorm Starlix
0.5, 1,2
Acarbose
Glucobay
50-1 00
Metformin + Glibenklamid
Glucovance
Metformin + Rosiglitazon
Avandamet
120 1
3
Glukosidase q Obat Kombinasi Tetap
l,
Glinid
Glucophage
Metformin Metformin XR
Tiazolidindion/
Efek Samping dan Kontraindikasi Hipoglikemi merupakan efek samping terpenting dari SU terutama bila asupan pasien tidak adekuat. Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikem ia, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat SU dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua,
1-2
25011,25
500t2,5 500/5
2mgl500 4mg/500
mg mg
4mg/1000 mg 8mg/1000 mg
12
FARMAKOTERAPI
PATTA
1889
PENGENDALIAI{ GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama ke{anya yang
mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa posl
pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial.
prandial.
Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga
Monoterapi dengan acarbose dapat menurunk an talarata glukosa post prandial sebesar 40-60 mgldl- dan glukosa puasarata-rata10-20 mgldL dan IIbAlc 0.5-l %. Dengan terapi kombinasi bersama SU, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap A I C sebesar 0,3 -0,5Yo dan rata'rata glukosaposl prandial sebesar 20-30 mgldL dari keadaan sebelumnya.
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen
HbAlc pada SU.
Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sedang
Sehinga keduanya merupakan sekretagok yang khusus
menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Mengingat efeknya terhadap glukosa puasa tidak begitu baik maka glinid tidak begitu kuat menurunkan
IIbAlc.
Penghambat Alfa Glukosidase
Efek Samping dan Kontraindikasi Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti; meteorismus, flatulence dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada hampir 50% pengguna obat ini. Penghambat alfa glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal. Acarbose dikontraindikasikan pada kondisi irritable bowel syndrone, obstruksi saluran cerna, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas ensim pencemaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira -kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Obat ini bekerja secara kompetitifmenghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cema sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini beke{a di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
MekanismeKerja Obat ini memperlambat dan pemecahan dan penyerapan karbohirat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan te{adi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah postprandial, dan mempengaruhi respons insulin plasma. Hasil akhimya adalah penurunan glukosa darah post prandial. Sebagai monoterapi tidak akan
merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan hipoglikemia. Penggunaan dalam
klinik
Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonilurea. Unhrk mendapat efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya
15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan
Golongan lncretin Terdapat 2 hormon incretin yang dikeluarkan oleh'saluran cerna yaitu glucose dependent insulinotropic polyeptide (GIP) dan glucagon-like peptide- 1 (GLP -l) . Kedua hormon ini dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan sehingga meningkatkan sekresi insulin. GIP diekspresikan oleh sel K yang banyak terdapat diduodenum dan mukosa usus halus. GLP- 1 diekspresikan di sel L mukosa usus dan juga di sel alfa pancreas. Selain membantu meningkatkan respon sekresi insulin oleh makanan, GLP-1 juga menekan
sel alfa pankreas dalam mensekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan memiliki efek
anoreksia sentral sehingga menurunkan hiperglikemia. Studi melaporkan penurunan GLP-I dan respons GLP-I sebagai respons terhadap makanan. Penghambat Dipeptidyl peptidase
lY (Penghambat DPP-
1[) GLP- I endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek (< I menit) akibat proses inaktivasi oleh enzim DPP-IV.
Penghambatan enzim DPP-IV diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-I sehingga membantu
menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam penghambatDPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vitdagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunakn llbAl c sebesar 0 ,79-0,94Yo danmemiliki efek pada glukosa puasadanpost prandial. Penghambat DPPIV dapat digunakan sebagai terapi alternatifbila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut.
DPP-N tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
1890
MEIABOLIKENDOIRIN
kemih dan sakit kepala. Rbaksi alergi yang berat jarang ditemukan.
GLP-I Mimetik dan Analog Mengingat waktu paruh GLP-I yang pendek, penggunaan GLP-I alamiah tidak banyak membantu, namun begitu terdapat GLP-I mimetik dan analog yang memiliki ketahanan terhadap degradasi oleh enzim DPP-IV. Berbeda
dengan penghambat DPP-IY GLP-I mimetik diberikan dalam bentuk injeksi subkutan satu atau dua kali sehari. Obat golongan ini masih belum beredar di Indonesia.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memllih Obat Hipoglikemik Oral
a.
b.
Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara beriahap. Harus diketahui betul bagaimana c arukeqa,lama kerja
dan efek samping obat-obat tersebut. (misalnya
c. d.
klorpropamid jangan diberikan 3 kali I tablet, karena lamaket'anya24 jam) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik
oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan
e.
lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin. Usahakan agar harga obat teq'angkau oleh pasien.
Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian glikemia pada diabetes melitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia dapat dicapai, sehingga pada gilirannyananti komplikasi kronik diabetes melitus iuga dapat dicegah dan pasien diabetes melitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang disandangnya.
REFERENSI
American Diabetes Association: Clinical
Practice
Recommendations, 2006 American Diabetes Association: Medical Management of Type 2 Diabetes, fifth edition, 2004 Bailey CJ. Biguanide in the treatment of type II diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995;2:348-54.
Edelman SY White D, Henry RR. Intensive insulin therapy for patients with type II diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995;2: 333-40. Holst JJ, Orskov C. The incretin approach for diabetes treatment. Modulation of islet hormone release by GLP-1 agonism. Diabetes2O04: 53 (3): Sl97-204
Inzucchi SE. Oral antihyperglycemic therapy for type
2
diabetes:scientific review. JAMA 2002; 287 (3): 360-72 Joshi. Oral hypoglycaemic drugs and newer agents use in type diabetes mellitus. SA Fam Practice 2009; 51(1): 10-6.
2
Lebovitz HE. Stepwise and combination drug therapy for the treatment of NIDDM. Diabetes Care 1994;17:1542-44. Olefsky JM. Insulin resistance in NIDDM. Curent Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995; 2:290-9. Pengurus Besar PERKENL Konsensus Pencegahan dan Pengeloaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, 2006 Peters AL, Davidson MB. Sulfonylurea in the ffeatment of type II
Sedang Glukosa darah (ms/dL) - puasa
-2jam
postprandial A1c (%) Kol.total (mg/dL) Kol LDL (mg/dl) Kol.HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL)
80 - 100
80 - 144 < 6.5
100 145
- 125
-
179
6.5-8
> 126 > 180
:8
< 200
200 - 239
< 100
100
-
129
> 240 > 130
< 150
150
-
199
> 200
>45
IMT(kg/m'z)
18.5 - 23
23 -25
>25
Tekanandarah (mmHg)
< 130/80
30140/80-90
140t90
1
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2, Perkeni 2006
Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapijuga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan prof,rl lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian diabetes melitus yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinolo gi Indonesia).
Diabetes. Curent Opinion
in Endocrinology and Diabetes
1995;2:325-32.
Saltiel A, Horikoshi H. Thiazolidinediones are novel insulin sensitizing agents. Current Opinion in Endocrinolgy and Diabetes 1995;2:341-7. Soegondo S. Prinsip pengobatan diabetes, obat hipoglikemik oral dan insulin. Dalam. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I Eds. Diabetes Melitus: Penatalaksanaan Terpadu. Balai Penerbit
FKUI 2005, ttt-29. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, Intensive bloodglucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33).Lancet 1998: 352:837. Widen E, Groop L. Biguanide: metabolic effects and potensial use in the treatment of insulin resistance syndrome. The Diabetes Annual 8. Eds. Marshall SM and Home PD. Amsterdam, Elsevier Publication 994; 227 -241
294 TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS Em Yunir, Suharko Soebardi
PENDAHULUAN
Tujuan Terapi Gizi Medis Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes
mencapai dan mempertahankan : 1. kadar glukosa darah mendekati normal, . glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang
meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit
. .
2. 3.
diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non
glukosadarah2jamsetelahmakan< l80mg/dl
kadarAlc <7
%o
tekanandarah < 130/80mmHg profil lipid: . kolesterolLDL < l00mg/dl . kolesterol IIDL > 40 mg/dl . Trigliserida < 150 mgldl berat badan senormal mungkin
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat
4.
mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak
individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan Pada tingkat
meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.
TERAPIGIZIMEDIS
sederhana.
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melalcrkan perubahan pola makan diabetisi antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkanpada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dai terapi gizi medis ini antara lain: 1). Menurunkan berat badan; 2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik; 3). Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki profil lipid; 5). Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.
pertumbuhan, gangguan pencemaan pada usia tua, dan lain lain. Pada keadaan infeksi berat dimana tet'adi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi, lingkungan,
kebiasaan atau tradisi
di dalam lingkungan
yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.
189
1892
MEIABOLIKENDOIRIN
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehing ga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
JENIS BAHAN MAKANAN
Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dai 55-65 % dari total kebuhrhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 7 0 % jka dkombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA : monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. Rekomendasi pemberian karbohidrat
jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri 2. dari total kebutuhankaloriperhai, 60 - 70yo diantaranya berasal dari sumber karbohidrat. 3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 7 0%o dai total kebutuhan
kaloriperhari
4. jumlah serat25-50 gramper hari 5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu
7.
dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih
dari
10
gram/hari
8. fruktosa tidak boleh lebih,dari 60 gram/hari 9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15 % dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian protein : 1. kebutuhanprotein 15 -20% dari total kebutuhan energi
2.
4. 5.
Ppada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0, 8- 1,0 mglkg berut badan/ hari pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg berat badanlhari dan tidak kurang dari 40 gram jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9
kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbomya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid
tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated
fatty acid : MUFA), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan
profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi :
1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh
6.
3.
dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (ltolyunsaturated fatty qcid : PUFA) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Rekomendasi pemberian lemak : 1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak j enuh, jumlah maksimal lUyo dat', total kebutuhan kalori
2.
perhari. jika kadar kolesterol LDL > 100 mgldl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7%o dai1rrral
kaloriperhari
3. 4. 5.
6.
konsumsi kolesterol maksimal 300 mglhari, jika kadar kolesterol LDL > 100 mgldl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikomsumsi 200 mg per hari batasi asupan asam lemak bentuk trans
konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang asupan asam lemak tidakjenuh rantaipanjangmaksimal l0%o dari asupan kalori per hari.
PERHITUNGAN JUMLAH KALORI
per hari
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,
pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi
ada tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau
glukosa darah.
rumus Brocca.
1893
TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS
Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT
Pasien seorang lakilakiberusia48 tahun, mempunyai tinggi
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter)
160 cm dan berat badan 63 kg, mempunyai pekerjaan sebagai penjaga toko.
kuadrat.
Perhitungan kebutuhan kalori
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT
. Berat badan kurang < 18,5 . BBnormal 18,5-22,9 . BBlebih >23,0 dengan
obes obes
.
:
:(160cm- 100)kg- l0%
.
risiko 23 - 24,9 >30
Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus : beratbadan idaman ( BBI kg ): ( TB
cm- 100)- 10%. Untuk laki-laki < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi l0 %. Penentuan status gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman)x 100%
. . . .
Berat badan kurang Berat badan normal Berat badan lebih
Gemtk
BB <90%BBI BB 90- 110% BBI BB 110 -120%BBt BB >I2O%BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan rumus Brocca. Penentuan kebutuhan kalori per hari : 1. kebutuhan basal : . Irki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalor
. Wanita
2.
3.
:
BB idaman (kg) X 25 kalori
koreksi ataupenyesuaian : . IJmur diatas 40 tahun :-5Yo . Aktivitas ringan :+ lUYo (duduk-duduk, nonton televisi dll) . Aktivitas sedang :+20o/o (ke{a kantoran, ibu rumah tang ga, peraw at, dokter)
.
Aktivitas berat
. . .
(olahragawan, tukang becak dll) Berat badan gemuk Berat badan lebih Berat badan kurus
metabolik (infeksi, operasi, stroke, dll) Stres
4. kehamilan 5. kehamilan
trimester I dan II trimester III dan menyusui
.
:60kg-6kg 54kg.
(BBaktual: BBideal)x 100% (63kg:54kg)x100% 116 % ( termasuk berat badan lebih)
Jumlah kebutuhan kalori perhari : - kebutuhan kalori basal : BB ideal x 30 kalori
:
-
54 x 30
kalori:
1620 kalori
kebutuhan unirk aktivitas ditambah 20%: 20oh x 1620 kalori : 324kaloi koreksi karena kelebihan berat badan dikuran gi l0%
:
llo/ox1620: l62kaloi
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1 620
kalori + 324 kalori - 162 kalori: 1782 kalori. Untuk mempermudah perhitungan dalam konsultasi gizi digenapkan menj adi 1 700 kalori.
Distribusi makanan : l. Karbohidrat 60%o : 60Yo x I 700 kalori : 1 020 kalori dari karbohidrat yang setara dengan 255 gramkarbohidrat (1 020 kalori : 4 kalorilgram karbohidrat) 2. Protern2}Yo:2}%ox 1700 kalori : 340 kalori dari protein yang setara dengan 85 gram protein (340 kalori : 4 kalori/ gramprotein) 3. Lemak 20Yo : 20o/, x 1 700 kalori : 340 kalori dari lemak yuang setara dengan 37,7 gram lemak (340 kalori : 9 kalorilgramlemak)
LATIHAN JASMAN!
:+30Yo :
-20%o
:
- l0%o
:+20%o
:+
10-30o/o
: +300Kalori : + 500 Kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makanpagi (20%), makan siang (30%), makan malanQ5o/o) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturanjadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.
Contoh:
Status gizi
: :
25 - 29,9
I II
:
Beratbadanideal: (TB cm - 100) kg - l0%
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4pllar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar
yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerj a, bekerj a, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa
disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tanlatgan, diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan milik masing-masing
1894
MEIABOLIKENDOIRII{
diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan
dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu
istirahat membutuhkan insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedatgpada otot aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tak meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan jasmani.Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.
persamaan, bahwa mereka harus melakukankegiatan fisik.
Aajuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih
terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (ipe I maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Kemajuan teknologi
agak berseberatgan dengan anjuran untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang ter-rencana dengan baik dan teratur bagi diabetisi.
FISIOLOGI KEGIATAN FISIK Bila seseorang sehat melakukan kegiatan fisik dinamik yang berat dengan melibatkan kelompok otot-otot utamanya, maka akan terjadi peningkatan ambilan oksigen sebesar 15-20 kali lipat, karena peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler dan juga terjadi pengumpulan cairan, baik intra maupun ekstra selular. Ventilasi pulmoner dapat melewati angka 100 Vmenit dan keluaran janhurg meningkat
hingga 20-30 Vmenit, untuk memenuhi kebutuhan otot yang aktif. Bersamaan dengan itu, akan terjadi penurunan aliran darah ke otot yang tak aktif, daerah splangnik dan ginjal. Panas yang ditimbulkan akan terkumpul pada tubuh dan sebagian besar akan terbuang lewat proses evaporasi. Pada kegiatan fisik dalam keadaan panas dan lembab, dapat dihasilkar
oleh proses pemecahan glikogen intramuskular, cadangan trigliserida dan juga peningkatan sediaan glukosa hati dan asam lemak bebas dari cadangan trigliserida ekstramuskular. Latihan jasmani pada diabetisi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan dan tingkat kebugaran, juga oleh kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton
MANFAAT, RISIKO DAN HAL.HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN DENGAN LATIHAN JASMANI SEORANG DIABETISI Pada diabetes lipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki
kendali glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbAlc, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes dan kematian.
Selain mengurangi risiko, latihan jasmani akan memberikan pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteriil, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yan g endoth elium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil perbandingan artara denyut jantung dan
tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif), hiperhigliseridemi dan fibrinolisis. Angka kesakitan dan kematian pada diabetisi yang aktil 50 % lebih rendah dibanding mereka yang santai. Pada DM tipe l, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik, hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan endurance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi endotel vaskular. Dari penelitian epidemiologi retro dan prospektif,
juga terbukti bahwa latihan jasmani yang teratur akan mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta
meningkatkan harapan hidup. Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan memperbaiki kapasitas latihan aerobik,
kekuatan otot dan mencegah osteoporosis.
dan imbangan cairan tubuh. Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan
jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang dapat berakibat
RISIKO LATIHAN JASMANI
fatal. Satu penelitian mendapati bahwa pada kadar glukosa
Diabetisi yang mendapat terapi insulin, hipoglikemia
darah sekitar 332 mgldl, bila tetap melakukan latihan jasmani, akan berbahayabagi yang bersangkutan. Jadi sebaiknya, bila ingin melakukan latihan jasmani, seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih dari 250 mg/dl.
disertai kadar insulin yang berlebihan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, terutama pada saat pemulihan. Bila insulin disuntikkan pada lengan atau paha, akan memperbesar kemungkinan terjadi hipoglikemia karena
peningkatan hantaran insulin melalui darah akibat
1895
TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS
pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi. Sehingga dianjurkan penyuntikan di daerah abdomen sebelum latihan jasmani. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihanjasmani yang dikerjakan dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali, akan menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati, disertai peningkatan produksi benda-benda keton.
PRINSIP LATIHAN JASMANI BAGI DIABETISI Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. . Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per
.
mmggu
Intensitas
:
. Durasi . Jenis
;
ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
:
30-60menit latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi
seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi
serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. Latihan jasmani bagi diabetisi tipe l, sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum Heart Rate (MHR) yaifil.220 -umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan Target Heart Rate (THR). Sebagai contoh : suatu latihan bagi seorang diabetisi berumur 50 tahun disasarkan sebesar 7 5o/o,maka THR:75% X (220-60):120. Dengan demikian, diabetisi tersebut dalam melakukan latihan jasmani, sasaran denyut nadinya adalah sekitar l20lmenit.
Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatkan hal-
mungkin malah bisa mendapatkan risiko yang tak diinginkan.
Pendinginan (cooling-down). Setelah selesai melakukan latihan j asmani, sebaiknya dilakukan pendinginan.Tahap ini dilakukan untuk mencegah penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melalcukan
latihan jasmani, atau pusing akibat masih terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Bila latihan bentpa iogging, maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap berjalan untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap
mengayuh sepeda,tetapi tanpa beban.Pendinginan dilakukan selama kurang-lebih 5-10 menit, hingga deryut jantung mendekati denyrt nadi saat istirahat.
Peregangan (stretching). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut. Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang, karena akan: . memberikan lebih banyak tenaga . membuat jantung lebih kuat
. . . . . . . . . .
meningkatkansirkulasi memperkuat otot meningkatkankelenturan meningkatkankemampuanbemafas membanfu mengatur berat badan memperlambat proses penuiuul
memperbaikitekanandarah memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain
mengurangi stress melawanakibat-akibatkekuranganaktivitas
REFERENSI American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Clinical practice recommendation 2004. Diabetes carc2004;27 (Suppl. 1): S5-S10. American Diabetes Association. Screning for type 2 diabetes. Clinical practice recommendation 2004. Diabetes care 2004;27 (suppl. 1): S11-S14.
hal sebagai berikut: Pemanasan (warm-up). Bagian kegiatan
latihan.Bila THR tak tercapai, maka diabetisi tak akan mendapat manfaat latihan.Sedang bila lebih dari THR,
ini dilakukan
sebelum memasuki latihan yang sebenarnya, dengan tujuan
untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan.Pemanasan juga perlu untuk menghindari cedera akibat latihan.Pemanasan cukup dilakukan selama 5-10 menit.
Latihan inti (conditioning). Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai THR,agar mendapatkan manfaat
American Diabetes Association. Nutrition principles and recommendations in diabetes.Clinical practice recommendation 2004' Diabetes care. 2004; 27 (Suppl.l) : 536-546. Flores JVPG, Tan KM, Palanca A, Salvador MVC, Roman JA,Bongo SSJ. An evidance approach to type 2 diabetes management for health care professionals (a learning module series). Jonhson and jonhson Pte.
Ltd. 2003.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2002. Jakana2003.
295 INSULIN: MEI(ANISME SEKRESI DAN ASPEK METABOLISME Asman Manaf
PROSES PEMBENTUKAN DAN SEKRESI INSULIN
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel
Insulin merupakan hormon yang terdili dari rangkaian asam
amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi
yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kendaraan" pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon
glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul AIP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada
pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin Qrecursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi
membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan
dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui
terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana
membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa
ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. (Gambar 1)
yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi
di atas, terjadinya aktivasi K channel tidak hanya disebabkan oleh
Seperti disinggung
rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino
penutupan
memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat
tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan
rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel,
dan obat-obatan, dapat pula
tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama
dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor
dipahami secarajelas.
(SUR) pada membran sel beta.
1896
1897
INSULIN: MEKAI\ISME SEKRESI DAII ASPEK METABOLISME
K+ channe
lnsulin
shut
Release
GLUT-24 L,J +
O,ri*
,r
\
lr
@
I
ATP Glucose signaling
insulin. Jadi, terjadi
semacam mekanisme 1
I tidak adekuat, terjadi
I
Depolarization of membrane
resistensi
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase
@ Glucose-6-phosphate
berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor
+ C peptide
l.I
ct""r.g. enzymes
Proinsulin
t
Preproinsulin lnsulin Synthesis
Gambar 1. Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi Glukosa ( Kramer,95 )
sebelumnya. Apabila sekresi fase mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase I . Pada gambar dibawah ini ( Gambar 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance : IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
DINAMIKA SEKRESI INSULIN Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua
fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yan g biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang
berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua
fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batasbatas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang
fisiologis.
Gambar 2, Dinamika sekresi lnsulin setelah beban glukosa
Sekresi fasel (acute insulin secretion responce: AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir
intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta (Ward, 84)
juga cepat. Sekresi fase I (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi
Biasanya, dengan kinerja fase I yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas
regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang
normoglikemia. Ini adalah keadaan f,rsiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja
normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang
normal untuk dapat mempertahankan keadaan
dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.
berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan
segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif. Selanjutnya, setelah sekresi fase I berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhimya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil
atih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang
AKSIINSULIN Insulin mempunyai fungsi pentingpada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutamapada otot, lemak, dan hepar. Pada j aringan perifer seperti j aringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin recep-
1898
MEf,ABOIJKENDOIRIN
tor substrate : IRS) yairg terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan attara insulin dan reseptor akan
EFEK METABOLISME DAR! INSULIN Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada
menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan
dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2
(DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (def,rsiensi insulin) dan kurang sensitifnya j aringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan (environmenr). Sedangkan pada
glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gambar 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2. Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer,
diabetes tipe
I (DMTI), gangguan tersebut
oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa I sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara gangguan pada fase
tapi juga di jaringan hepar dimana GLrJT-2 berfungsi
langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeo-
sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati
stasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (IIAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum). Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, peqalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung
membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin
sempurna pada gilirannya secara
klinis
L GLUCOSE
INSULIN
??
c Obo
o o
RECEPTOR
3
INSULIN
RECEPTOR
.C (-)O + LUT.4
Gambar
3.
\.J
Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport
sering
memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yaflg noflnal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin (i ns u I in s e cr e t a go gu e)
tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
+
murni
disebabkan defisiensi insulin secara absolut. Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali
O-q GLUCoSE
glukosa jaringan perifer (Girard, 1995)
:1,
1899
INSULIN: MEKAMSME SEKRESI DAN ASPEK METABOLISME
atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping
obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer). Tidak adekuatnya fase l, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal
belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap
respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian
keadaan yang dinamakan
kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta
Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi
berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.
dekompensas
i, dapatterdeteksi
sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi
yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa
REFERENSI
terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar
diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100-26
m!
dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ). Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial
yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara
jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity)
yang
diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity)
bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas. Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak
perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat te{adi. Kerusakanjaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gqngguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya
tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun pos@randial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya
terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis,
menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar. Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kine{a fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terj adi tidak hanya
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya
Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. AlP-sensitive K-l- channels and insulin secretion: Their roie in health and disease. Diabetologia
42:903-19. Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. Differential sensitivity of beta-cell and extrapancreatic K ATP channeis to gliclazide. Diabetologia 42: 845-8. Cerasi E,2001.The islet in type 2 diabetes: Back to center stage. Diabetes 50: S1-S3. Ceriello A,2002. The possible role of postprandial hyperglycemia in the pathogenesis of diabetic complications' Dialetologia 42:117 -22. '14, Kramer 1995. Ttrc molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 - 80 Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin defrciency in
non insulin dependent diabetes mellitus: Problems
and
prospects. Endocrine Reviews 19: 47'7 -90. Gerich JE, 1998. The genetic basis of type 2 diabetes me[litus: impaired insulin secretion versus impaired insulin sensitivity. Endocrine Reviews 19: 491-503. Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed ) NIDDM and glucose transport in cells. Molecular Endocrinology and Development CNRS Meudon, France: 6-16. Kramer W, 1995 Ttrc molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 - 80 Nielsen MF, Nyholm B, Caumo A, Chandramouli V, Schumann WC,
Cobelli C, el a\,2000. Prandial glucose effectiveness and fasting gluconeogenesis in insulin-resistant first-degree relatives of patients with type 2 diabetes. Diabetes 49: 2135-41. Prato 5D,2002. Loss of early insulin secretion leads to postprandial hyperglycaemia. Diabetolo gia 29'. 47 -53. Suryohudoyo P, 2000. Ilmu kedokteran molekuler. Ed I, Jakarta: Perpustakaan Nasionai, hlm 48-58' Suzuki H, Fukushima M, Ussmi M, Ikeda M, Taniguchi A, Nakai \ et al,2003.Factors responsible for development from normal glocose tolerance to isolated postchallenge hyperglycemia. Diabetes Care 26: l2ll-5. Tjokroprawiro A, 1999. Diabetes mellitus and syndrome 32 (A step forward to era of globalisation-2003). JSPS-DNC symposium, Surabaya: 1-6.
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin dependent diabetes mellitus. Diabetes Carc 7 : 491 - 502 Weyer C, Bogardus C, Mort DM, Tataranni PA, Pralley RE,2000. Insulin resistance and insulin secretory dysfunction are independent predictors of worsening of glucose tolerance during each stage
89-94.
of type 2 diabetes development. Diabetes Cate 24:
296 HIPOGLIKEMIA IATROGENIK Djoko Wahono Soemadji
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe I (DMT l) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
hipoglikemia timbul karena pada diabetes dan akibat terapi mekanisme homeostasis endogen tersebut terganggu.
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Dokter dan tenaga kesehatan yang lain harus memahami benar tentang hal ini dan pasien diabetes serta keluarganya harus diberi informasi tentang masalah hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia
DEFINISI, DIAGNOSTS DAN KLASIFIKAS!
sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah keterganfungan jaringan sarafpada asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma. Dalam keadaan puasa dan makan, istirahat dan aktivitas jasmani, masuknya glukosa ke sirkulasi serta ambilan dari sirkulasi sangat bervariasi. Untuk mempertahankan kadar glukosa plasma dalam rentang batas yang sempit terdapat mekanisme yang sangat peka dan terelaborasi. Kadar glukosa plasma yang tinggi mengganggu keseimbangan air di jaringan, menimbulkan glukosuria dan meningkatkan glikosilasi j aringan, sebaliknya kadar yang terlalu rendah
Definisi dan diagnosis. Hipoglikemia secara harfi ah berarti kadar glukosa darah di bawah harga normal. Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmoVL),tetzpikadar<108 mgolo (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira l0% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruh an (whole bloo d) karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedang kadar glukosadarahkapiler di antarakadar arteri dan vena. Pada individu normal, sesudah puasa semalam kadar glukosa darah jarang lebih rendah dari 4 mmoVL, tetapi kadar kurang dari 50 mg% (2,8 mmoUl) pemah dilaporkan dijumpai sesudah puasa yang berlangsung lebih lama.
Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin terjadi pada tumor yang mensekresi insulin atat insulin-like growthfactor (IGF). Dalamhal ini diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar gukosa <50 mg% (2.8 mmol/L) atau
bahkan <40 mgYo (2,2 mmollL). Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjulkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mgYo (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa darah 55 mgo/o (3 mmol/L) yang te{adi berulangkali
merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat.
menyebabkan disfungsi otak, koma dan kematian.
Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia
individu normal yang sehat, hipoglikemia yang sampai menimbulkan gangguan kognitif yang bermakna tidak tet'adi karena mekanisme homeostasis glukosa endogen Pada
dimulaipada kadar glukosa daratr 63-65 m{/o Q,5-3,6 mmol/L).
Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa
berfungsi dengan efektif. Secara klinis masalah
plasma< 63 mg% (3,5 mmol/L).
1900
1901
HIPIOGIJIGMIA IITTROGENIK
Klasifikasi Pada diabetes, hipoglikemia jluga sering didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Wipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a). keluhan yang menunjukkan adarrya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b). kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmoVl hipoglikemia pada diabetes), dan c). hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi.
Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi,
hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang danberat (Tabel 1).
Ringan Sedang Berat
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri 1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memerlukan terapi parenteral 2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskular atau glukosa intravena) 3. Disertai dengan koma atau kejang
PENYEBAB HIPOGLIKEMIA Pada pasien diabetes hipoglikemia
timbul akibat
peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah
penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan tertentu di mana
pasien diabetes mungkin akan mengalami kejadian hipoglikemia. Sampai saat ini pemberian insulin masih b elum s epenuhnya dap at menirukan(m i m i cki n g) p ola sekresi insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan kadar glukosadaghdalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah I jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat (insulin analog rapid-acting) bila diberikan subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak
konsentrasi insulin l-2 jam sesudah disuntikkan. Oleh sebab itu pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktumakanyang berikutnya. Oleh sebab itu waktu dimana risiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makanberikutnya dan malam hari.
Hampir setiap pasien yang mendapat terapt,insulin, dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan di mana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi sementarakadar glukosa darah sudah
di bawah normal. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani
EPIDEMIOLOG! Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk mencatat kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya hipoglikemia dan ciri-ciri klinik yang menyebabkan pasien berisiko dapat
terhadap kadar glukosa darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Risiko hipoglikemia terkait dengan penggunaan sulfonilurea dan insulin dapat dilihat dalam Gambar 1. Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh tebih sedikit. Dari the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UWDS), pada kadar HbAlc yang setara
dengan DCCT, dalam 10 tahun pertama kejadian
dibandingkan. Dalam the Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanankan pada
hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada 0,4%o, gllbenklamid0,6Yo dan insulin 2,3o/o (Gamb* l).
pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi
penggunaan insulin yang makin lama.
Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan
insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi konvensional. Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia
PROTEKSI FISIOLOGIS MEI-ATTVANHI POGLIKEMIA
berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional.
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai
Mekanisme kontra regulator. Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati' Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan
konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak
kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan
dapat dihindari.Walaupun demikian, hipoglikemia ringan
tidak boleh diabaikan, karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih berat.
glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis danproteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis,
1902
METABOLIKENDOKRIN
o
E40
-o d
.s o
30
-q .^ ;zv
310 L 0
2 diterapi
DM tipe yang
DN4 tipe 2 yang diterapi
dengansulfonilurea denganinsulin
DM tipe 1 yang dlerapr dengan ig1" insulin
DM tipe 1 yang diterapi secara intensif (DCCT)
i".,in riii![iitcir standar
i i
Gambar 1. Risiko hipoglikemia berat terkait dengan berbagai terapi diabetes (Heler, 2003)
Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi hipoglikemia adalah: 1. Kadar insulin berlebihan o Dosis berlebihan: kesalahan dokter, farmasi, pasien; ketidak sesuaian dengan kebutuhan pasien atau gaya hidup; deliberate overdose (factitious hipoglikemia) Peningkatan bioavailibilitas insulin: absorbsi yang lebih cepat (aktivitas jasmani, suntik di perut, perubahan ke human insulin; antibodi insulin; gagal ginjal (clearance insulin berkurang); 'honeymoon' periode 2 Peningkatan sensitivitas insulin Defisiensi hormon counter-regulatory : penyakit Addison;
.
.
.
3
h
ipop itu ita ris me;
Penurunan berat badan o Latihan jasmani, postpartum; variasi siklus menstruasi Asupan karbohidrat kurang o Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang Diet slimming, anorexia nervosa o Muntah, gastroparesis Menyusui
.
4
.
Lain-lain
Gambar 2. Pgngaruh metabolik respons kontra regulator terhadap hipoglikemia akut. Glukagon yang bekerja di hati dan epinefrin yang bekerja di hati, jaringan lemak dan otot merupakan dua hormon utama yang berperan dalam mekanisme kontra regulator pada hipoglikemia akul. Growth hormone dan kortisol berperan pada hipoglikemia yang berlangsung lama (Heller, 2003)
Bila sekresi glukagon dihambat
secara farmakologis,
pemulihan kadar glukosa setelah hipoglikemia yang
diinduksi insulin (insulin-induced hipoglikemia) berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi. Sel b pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan turunnya kadar insulin di daam sel b berperan dalam sekresi glukagon oleh sel a Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respons fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak di neuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif bila kadar glukosa meningkat, sebagian responsif terhadap
Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot Alkohol, obat (salisilat, sulfonamid meningkatkan kerja sulfonilurea; penyekat p non-selektif; pentamidin)
hipoglikemia. Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang bekaitan dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistim simpatis. Tampaknya respons fisiologi utama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang
serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku (p r e cur sor) glukoneo genesis hati (Gamb ar 2 ). Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal,
sensitif terhadap glukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan sistem saraf otonomik dan melepaskan
.
o
yang pada keadaan tertentu mempakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walupun kecil hati juga menunjukkan kemampuan
hormon-hormon kontra regulator (Gambar 3).
KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA
otoregulasi. dan growth hormon berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara melawan
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantunganjaringan saraf
kerja insulin di jarigan perifer (lemak dan otot) serta
terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan
Kortisol
meningkatkan glukoneogenesis. Defisien si growth hor-
(interruptior) asupan glukosa yang berlangsung
mone (panhipopituitarisme) dan kortisol (penyakit Addison) pada individu menimbulkan hipoglikemia yang
beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistim saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung (coffision),dan koma. Seperti jaringan yang lain,
umumnyanngan
1903
HIFOGI.IKEMIA IAIROGEMK
Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan darr' gejalayatg terkait dengan
gangguan sistim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan
dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilag. Hal
tersebut menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik. Pengenalan hipoglikemia. Respons pertama
pada saat kadar glukosa darah turun di bawah normal adalah peningkatan akut Gambar 3. Komponen utama respons simpatis dan counter-regulatory terhadap hipoglikemia (Heller, 2003)
sekresi hormon caunter-regulatory (glukagon dan epinefrin); batas kadar glukosa terseb ut adalah
jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi altematif, yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tefiekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSR sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif. Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon hsiologis terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipogLkemia dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa
oral atau bentuk karbohidrat 'refined' yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai dengan komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda (Tabel 3).
65
-68 mgo/o (3,6-3, 8
mmoVl). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan b etbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L. Pada individu yang masih memiliki
kesiagaan (awareness) hipoglikemia, aktivasi sistem simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakna timbul. Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan
mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.
HIPOGLIKEMIA YANG TIDAK DISADARI (UNAWARENESS) Kegagalan respons proteksi lisiologis dan timbulnya
hipoglikemia yang tidak disadari. Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang mendapat terapi insulin mengalami gangguan pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia yang berat.
DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan. Pada saat diagnosis DM dibuat, respons glukagon
Pada pasien
terhadap hipoglikemia umumnya normal. Pada pasien DMT 1 mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun, dan
sesudah 5 tahun hampir semua pasien mengalami
Otonomik
Neuroglikopenik
Berkeringat Jantung berdebar Tremor Lapar
Bingung (confusion) Mengantuk Sulit berbicara lnkoordinasi Perilaku yang berbeda Gangguan visual Parestesi
Malaise Mual
Sakit kepala
gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali
glukosa darah yang ketat. Sel a secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti
alanin. Hipotesis yang paling meyakinkan adalah
1904
MEIABOIJKENDOKRIN
gangguan tersebut timbul akibat terputusnya paracrine-
insulin cross-talk di dalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun. Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yangberkurang walaupun dengan tingkat
gangguan yang bervariasi. Respons epinefrin terhadap rangsang yang lain, seperti latihan jasmani tampaknya normal. Seperti pada gangguan respons glukagon, kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selektif. Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan terhadaf hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari
Keadaan klinis Diabetes yang lama Kendali metabolik yang ketat Alkohol Episode nokturnal
karena hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respons simpatoadrenal.
Hipoglikemia yang tidak disadari Hipoglikemiayang tidak disadari merupakan masalah yang sering te{adi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Sigi epidemiologis melaporkan sekitar sekitar 25%opasienDMT I mengalami kesulitan mengenal hipoglikemia yang menetap atau b ese lang- sel ing (in t erm i t t e nt). Kemampuan mengenal hipoglikemia mungkin tidak absolute, dan keadaan hipoglikemia unowareness yang parsial juga dijumpai. Dari sekitar 25o/o pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak mengalami hipoglikemia unawareness temyata wakhr menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila didapatkan hipoglikemia yang tidak disadari kemungkinan pasien mengalami episode hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat; peningkatan tersebutjuga terjadi pada terapi standar. Pada
pasien-pasien tersebut selayaknya tidak diberi terapi intensif, tidak diijinkan untuk memiliki ijin mengemudi, dan mungkin juga tidak diperkenankan untuk menjalankan
Usia muda (anak) Usia lanjut
Kemungkinan mekanisme Tidak diketahui Hipoglikemia yang berulang merusak neuron yang glukosensitif (?) Regulasi transpor glukosa neuronal yang meningkat Peningkatan kortisol dengan akibat gangguan jalur utama transmisi neuron Penekanan respons otonomi perifer Gangguan kognisi Tidur menyebabkan gejala awal hipoglikemia tidak diketahui Posisi berbaring mengurangi respons simpatoadrenal Kemampuan abstrak belum cukup Perubahan perilaku Gangguan kognisi Respons otonomik berkurang Sensitivitas adrenergik berkurang
Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan pusing (dizzy spelt) atau serangan iskemiayang sementara
(transient ischemic attact). Hipoglikemia akibat sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamid. Pada usia lanjut respons otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang. Pada otak yang menua gangguan kognitif
mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan. Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama tidak digunakah pada pasien 2 yang berusia lanjut.
pekerjaan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien selayaknya
DMT
hipoglikemia berat dan cara penanggulan ganny a. Berbagai keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari dapat dilihat dalam Tabel 4.
Obat penghambat B (p-blocking agents) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan karena menghambat lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh reseptor B2, penghambat F yung selektif dapat digunakan dengan
juga diberitahu tentang kemungkinan terjadinya
Alkohol. Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahaya alkohol. Alkohol meningkatkan
aman.
kerentanan terhadap hipoglikemia dengan cara menghambat glukoneogenesis dan mengurangi hipoglikemi a awareness. Episode hipoglikemia sesudah minum alkohol mungkin lebih
TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES
lama dan berat, dan mungkin karena dianggap mabuk hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya,
Glukosa oral. Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-20 g glukosa
Usia muda dan usia lanjut. Pasien diabetes anak, remaja
oral harus segera diberikan. Idialnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa sepertijus buah segar dan nondiet cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat abSorbsi glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam l-2jam perlu diberikan tambahan 10-20 g
dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan kebiasaan makanyang kurang teratur serta
aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang besarbagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia yang berulang, terutama yang disertai kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di
kemudianhari.
karbohidrat kompleks.
Bila pasienmengalami kesulitan menelan dan keadaan tidakterlalu gawat, pemberianmadu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal) mungkin dapat dicoba.
1905
HIPOGLIIGMIA IATROGENIK
Glukagon intramuskular. Glukagon I mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesional yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam I 0 menit. Kecepatan kerj a
glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemborian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efelctifrtas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
Glukosa intravena. Glukosa intravena harus diberikan dengan berhati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi
50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa l)Yo dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50%o dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi. 20Yo atau 150-200 ml glukosa
sekresi glukagon yang sering didapatkan pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Hipoglikemia akut harus segera diterapi dengan pemberian glukosa oral 10-20 g dalam bentuk larutan. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian glukagon I mg i.m atau 75-100 ml larutan glukosa intravena 20oh mentpakan terapi yang
efektif.
REFERENSI Amiel SA. 'Iatrogenic Hipoglikemia. In: Joslin's Diabetes Mellitus, Kahn CR, Wear GC, King GL, Jacobson AM, Moses AC, Smith RJ (Eds.), Lippincot Williams & Wilkinson, p. 671-86, 2005 Clement SC, Braithwaite SS, Magee MR Ahmann A, Smith EP et al. Management of Diabetes and Hyperglycemia in Hospitals. Diabetes Care 2004;
27
:553-91.
Cryer PE, Davis SN, Shamoon H. Hypoglycemia in Diabetes. Diabetes:Care 2003
;
26:19O2-12
Heller SR. Hipoglikemia and diabetes. In:Textbook of Medicine, Pickup GC and Williams G (Eds.), Blackwell Publishing, 33"1-
33.19,2003
KESIMPULAN Untuk mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama tlalam kendali glikemi pada pasien DMT I dan DMT 2 yang mendapat ter4p.i insulin. Dengon mengenal gejala awal hipoglikemia pasien.dan keluarga dapat mencegah kejadian hipoglikernia yang lebih berat. Ketidakmampuan pasien mengenal gejala dini hipoglikemia (hipoglikemia un aw ar
eness) menyebabkan pasien rentan terhadap
kejadian hipoglikemia. Hipoglycemia unawan4eness timbul akibat gangguan respon fisiologis simpatoadrenal dan
A, George E, Tuoker GT, Hellor SR. The use of tolbutamid-indrrced hypoglycemia to examine the intra islet role of insulin in mediating glucagon release n normal humans. J Clin eudocrinol Metab 1997; 82: 1458-61 The Diabetes Control and Complication Trials Researoh Group. Peacey SR, Rostami-hodjegan
The Effect of intensive treatrnent of diabetes on
the development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med 1993; 329: 683 -9
UK Prospective Diabetos Study (UKPDS) Group.
Intgnsive
blood-glucose controi with sulfonyluqea or insulin cor4pared
with conventional treatment and risk of complications in patient with type 2 diabetes. Lancet 1998;152: 857-3.
297 KETOASIDOSIS DIABETIK Pradana Soewondo
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan
pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengob atan y ang tepat dan rasional, serta
dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD
memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.
Tahun '1983
EPIDEMIOLOGI
1984
- 84 ( 9 bulan) - 88 (48 bulan)
1995 ( 12 bulan) 1997 ( 6 bulan) 1998 - 99 ( 12 bulan)
Data komunitas diAmerika Serikaq Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per
tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000
Jumlah
Kasus
14
55
Angka Kematian % 31,4 40
17
23 37
18,7 51
Dari data yang ada tampak bahwa jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relatiftetap/tidakberkurang dan angka
pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di
Indonesia belum ada, agaknya insidens KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe-1 yang rendah. Laporan insiden KAD
kematiannyajuga belum menggembirakan. Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan dalam mencegah
di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien DM tipe-2. Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antarag-l}Yo,sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun tampaknya belum ada perbaikan (Tabel 1). Selama periode 5 bulan (January-May 2002) terdapat 39 episode KAD dengan angka kematian l5oh. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, konsentrasi glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan konsentrasi keasaman darah yang rendah. Kematian pada
KAD
dan diagnosis dini KAD.
FAKTOR PENCETUS
Ada sekitar 20o/o pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%o dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.
906
1907
reTOASIDOSISDIABETIK
Menghentikat alau mengurangi dosis insulin
dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber
pencetus terjadinya KAD. Data seri
energi utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan
merupakan salah satu kasus KAD tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5olo kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di daerah perkotaan. Di antara 56 kasus tersebut, 75%o telah diketahui DM sebelumnya dan 67oh faktor pencetusnya adalah menghentikan dosis insulin.
asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin
Adapun alasannya adalah sebagai berikut: 50% tidak mempunyai uang untuk membeli, 2lYo nafsu makan menurun, l4o/o masalah psikologis, 14% tidak paham
PERANAN INSULIN
mengatasi masa-masa sakit akut. Pada seri kasus di atas
Pada
55% menyadai adanya gejala hiperglikemia, walaupun demikian hanya 5o/o yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah tersebut.
KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra regulasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan).
Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut,
PATOFISIOLOGI
menyebabkan 3 proses patofrsiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahan yang
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defrsiensi
terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak dan
insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan) ; keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
karbohidrat (Gambar 1).
(Gambarl):
. .
akibathiperglikemia akibat ketosis Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa,
sistem homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama epinefriq mengaktivasi hormon lipase sensitif pada j aringan
Gambar 1. Patofisiologi KAD
lemak. Akibatrya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidoksi butirat.(3HB); dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputiT 5-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan
Peranan Glukagon Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah s;rlat:.t penghambat c arnitine acyl transferases (CPT I dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis (Gambar2). Pada pasien DM tipe l, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi dengan baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.
1908
,MplAEOrilSUr*D9I(REr
kebanlaakan,pasienr tak m€ng4lami. denram. rBila drjumpai
adanya,nyeri abdomen, perlu dipikirkan,ksmungkiqan kolesistitis, iskemia, usus, apendisi[is, divertikulitis,, atau perforasi usr.r.s. Bila, ternyata pasien tidak menunjukkan
Glikogen
respons yang"baik terhadap pengobatan,KAD, maka perlu dicari, kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, ab ses
I
+ Glukosa-6:POa
gigi, absesperirektal).
DIAGNOSIS Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis
Gambar 2. Proses ketogenesis di rhati
Hormon .Kontra Regulator tlnsu lin
rLai.n
Konsentr.asi epinefrin dan kortisol.darah meningkat pada KAD. Hormon perturribuhan (GH)"pada;awa1 terapi K,AiD
konsentrasinya kadang=kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin. ,Keadaan stres sendiri meningkatkan honnon kontra
regulasi yatg pada akhirnya akan menstimulasi pembenfukan benda,benda keton, glukoneogenesis serta
potensial sebagai'pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stres yang berkepanjangan.
GEJALA KLINIS
diab.etik ata.upun hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia,.ketonemia, dan asidosis dapat
dipakai dengan kriteria diagnosis fAD (.Tabel 2). Walaupun demikian penilaian kasrls per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama yang harus diambil pada pasien
dengan KAD terdiri dari anamnesis dan perneriksaan fisik yang cepatrdan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. I.augkah-langkah ini
harus dapat meuentukarr jenis. pemeriksaan laboratorium yang harus sqgera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat sggerar dimulai tanpa 4lanya penunda.an. Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan
mudah uutuk segera dilakukan setelah dilakukannya
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepatsebagdikomplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pemapasan.cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudahtercium.
anamnesis dan pemeriksaan
pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip wfiuk melihat secara kualitatifjumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan labor.atonum leqgkap untrrk dapat menilai.karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi konsentrasi HCOy anion gap, pH darah dan
juga idealpya dilakukan pemeriksaan konsentrasi AcAc dan laktat serta 3HB.
Areataeus menjelaskan gambaran klinis,KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului
Kadarglukosa >25Omg%
KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik
.HC03 rendah
insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada,KliD anak. Dapatpula dijumpai nyeriperut yangmenonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering,
Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, faktor
pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia.Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi,
fisik adalah pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dalt
pH<7,35
:Anion gap yang,ti4ggi Keton serum positif
FRINSIPPENGOBATAN
Begitu mas.alah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi, sehingga qebaiknya dirawat di ruaqg perawatan intensif. Prinsip:prinsip pengelolaan KAD ialah : l). penggantian cairan dan garam yang hilaqg; 2). menekan lipolisis sol lemak d.an menekan glukoneogenesis .sel hati dengan pemb€rian insulin;
1909
I(EIIOASIDO$SI'IABE-TIK
3). mengatasi stres sebagai pencetus KAD; 4)' mengembalikan ksadaan, fisiologi norma'L dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan' Pengobatan K-AD tidak terlalu'mmit. dda 6 hat yang harus diberikan; 5 dil antaranya ialah: cailan', gararll., insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan yang terakhir tetapi sangat rnenenflrl
KAD teratasi dan stabil.
mencapai mengatasi
konsentra diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih
Cairan Untuk rnengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fi siologis. Berilasarkafl perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 1'00 mI per kg berat badan, maka pada jam pertama diborikan I sampai 2 liter, jam kedua diberikan I liter dan'selanjutnya sesuai protokol. Ada dua keuntungan
rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan
menurunkan horrnon kontraregulator insulin' Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mgolo maka perlu diberiltntr larutan rrengandung glukosa (dekstrosa
glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Kesalahar yattg iering terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang. Tujuan
5olo
atau
rcra
kernbali.
Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo cara pengobatan KAD
kejadian hipoglikemia 3,6-7,1o/o dankejadian hipokalemia 7,LYo.
Kalium
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion
K
serum
Terapi Insulin harus segera dimulai sesaat setelah
meningkat. Hiperkalemia yang fatalsangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat' Bilapada eleklrokardiogram ditemukan gelombang T yang
diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkari konsentrasi hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asain leniak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam arnino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya
KAD, ionKbergerakke luar sel dan selanjutrryadfteluarkan melalui urin. Total defrsit K yang terjadi selama KAD
lnsulin
secara bolus melalui intravena, intramuskular, ataupun
subkutan. Sejak pertengahn tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis
tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
diperkirakanmencapai 3-5 mEq/kg BB. Selamaterapi KAD
f
kembali ke dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan
ion
rendah mulai digunakan dart menjadi popular. (Soken et al,
konsentrasi K serum dalambatas normal, perlu pemberian
lg72). Cara irti dianjurkan oleh karena lebih mudah ntengontrol dosis insulirl, menurunkan konsentrasi
ditemukarmya gelombang T yang lancip dan tinggi pada
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang,
masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Butkeiwicz e/ al menSanalisis data pengobatan KAD sebelum dan sesudah tahun 1970 dan melaporkan bahwa pemberian insulin kontinu secara irltravena lebih jarang menyebabkan hipoglikemia dibandingkan cara bolus. Sedangkan untuk hipokalemia tldak berbeda. Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptot. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami intemalisasi dan insulin
akan mengalami destruksi. Dalarn keadaan hormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk mencegah terj adinya lipolisis dan ketogenesis, permberian insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan
beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia Iercapai
bersamaan dengan pemberian larutan menganndung
kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak
elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urin cukuP adekuat.
Glukosa Setelah rehidrasi awal 2 jampertama, biasanya konsentrasi glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian
insulin diharapkan terjadi pemrrunan konsentrasi glukosa sekitar 60 mgYoljam. Bila konsenhasi glukosa mencapai <200mg%omaka dapat dimulai infus mengandung glukosa' Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan
untuk menormalkan konsentrasi glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.
Bikarbonat Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama beberapa tahun. Pemberian bikarbonat'hanya
1910
MEXABOIJI(ENT'OIRIN
dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan
pemberian bikarbonat adalah:
l.
menurunkan pH
intraselular akibat difusi CO2yangdilepas bikarbonat, 2.
efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan, 3. hipertonis dan kelebihan natrium, 4. meningkatkan insidens hipokalemia, 5. gangguan fungsi serebral, dan 6. terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demii
PENGOBATAN UMUM
pada saatpenyandang DM mengalami sakit akut (misalnya
batukpilek, diare, demam, luka). Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada
DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penatalaksanaan
penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia,
program edukasi perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicema, Yang paling penting ialah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum tak kalah penting. Pengobatan umum KAD terdiri atas : l). antibiotik yang adekuat, 2). oksigenbllapO2< 80 mmHg,3). heparin
hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat terraga kesehatan yang
bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)
profesional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan
PEMANTAUAN Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan : l). konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer;2). elektrolit setiap 6 jam selama24 jam selanjutnya tergantung keadaan; 3). analisis gas darah; bila pH< 7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1 selanjubrya setiap hari sampai stabil; 4). tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur setiap jam; 5). keadaan hidrasi, balans cairan;6). waspada terhadap kemungkinan DIC.
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.
KOMPLIKASI Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai berikut edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi
iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah
hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia.
PENCEGAHAN
melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri. Di sinilah pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan sulit.
PENUTUP Telah dibicarakan mengenai insidens, patofisiolo gi, gej ala
klinis, dan diagnosis KAD. Prinsip pengobatan KAD ialah pemberian cairan,menekan lipolisis dan glukoneogenesis
dengan pemberian insulin, mengatasi stres, serta pemantauan yang ketat. Komplikasi iatrogenik dapat dicegah dengan pemantauan cermat dengan menggunakan lembar penatalaksanaan ketoasidosis diabetik yang baku. Program edukasi DM, khususnya bagaimana penyandang DM menghadapi sakit akut, dapat mencegah KAD ataupun KAD berulang.
REFERENSI
Batubara M. Faktor-faktor yatg mempengaruhi hasil di UPF Penyakit Dalam RSCM tahun 1984-88. Makalah akhir FKUI 1989. Butkeiwicz EK, Leibson CL, O'Brien PC, Palumbo PJ, Rizza RA. Insulin therapi for diabetecs ketoacidosis: bolus insulin injection continuos insulin infusion. Diabetes Caare 1995;188: 1187penatalaksanaan ketoasidosis diabetik
1
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama
190.
Delaney MF, Zisman A and Kettyle WM. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinology and Metab Clin of North Am 2000; 29: 683-705.
Fleckman AM. Diabetic Ketoacidosis. Endokrinol and Metab Cin of North Am 1993; 232: 183-205. Fulop M, Muthy V, Michilli A, Nalamati J, Qian Q and Saitowitz A.
1911
IGTOASIDOSISDIABETIK
Serum b-hydroxybutyrate measurement in patients with uncontrolled diabetes mellitus. Arch Intern Med 1999; 159: 381-4'
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, Malone JI et al. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Diabetes Care 2001; 24(l):131-53' K:uzuya T. Diabetic Ketoacidosis and Non-ketotic Hyperglycemia' Dalam: Turtle JR, Kaneko T dan Osato S ed. Diabetes in the
new millennium. The endocrinology and Diabetes Research Foundation of The University of Sydney. Sydney 1999: 297305. Musey VC, lee JK, Crowford R, Klatika MA, Adam DM, Philips LS'
Diabetes in Urban African-Americans. Cessation of Insulin Therapy is the Major precipitating Cause of Diabetic Ketoacidosis. Diabetes Cate 19995;184: 483-89' Noor R. Makalah akhir FKUI 2000 PERKENL Konsesus pengeloaan Diabetes Melitus di Indonesia' Denpasar 1998. Protokol ketoasidosis Diabetik. Prosedur pelayanan baku lnstalasi Gawat Darurat RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo-Jakarta, 1997
.
Ranakusuma
AB, Suyono S, Supartondo. Pengobatan Ketoasidosis
Diabetikum dengan skema sederhana pada periode tahun 1971-
74 di RSCM. Naskah Lengkap KOPAPDI III Bandung, 197 5 .p.128-35
.
Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Penatalaksanaan Kedaruratan
di Biclang Ilmu Penyakit Dalam. Prosiding Simposium, April 2 000. Supartondo. Ketoasidosis. Dalam: Sjaifoellah Noer MH et al' ed' Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, edisi ketiga lakarta, Balai penerbit FKUI, 1996: 622-626. Suyono S, Waspa ji S, Soegondo S' Ranakusuma AB, Supartondo, Sukaton U. Pengalaman pengobatan ketoasidosis Diabetik dengan Infus Insulin Dosis Rendah. Dalam: Markum MS et al' ed, Naskah
lengkap KOPAPDI VI. 1984: 1004-14. Thompson CJ, Cumming F, Chalmers J, Newton RW' Abnormal Insulin Treatment Behaviour: a Major Cause of Ketoasidosis in the Young Adult. Diabetic Medicine 1995;12: 429-432 American Diabetes Association. Hyperglycemia crises in patients with diabetes mellitus. Diabetes Care 2001; 24(l): 154-60' Wiggam MI, O'Kane MJ, Harper R, Atkinson AB, Hadden DR' Trimble ER et al. Treatment of diabetic ketoacidosis using normalization of blood b-hydroxybutyrate concentration as the endpoint of emergency management. Diabetes Cere 1997;,20(9): 1347 -52.
298 KOMA HIPEROSMOLAR HIPERGTIKEMIK NON KETOTIK Pradana Soewondo
Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar
EPIDEMIOLOGI
hiperg{ikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berut dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Data di Amerika menunjukkan bahwa insidens HHNK sebesm
17
,5 per 100.000
parduduk. Insiden ini sedikit lebih
tinggi dibanding insiden KAD. HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakiJaki.
HHNK lebih sering ditemukan pada orang lanjut usia,
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus
dengan rala-rala usia onset pada dekade ketujuh. Angka mortalitas pada kasus HHNK cukup tinggi, sekitar lO-20%.
disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari I 0% kasus.
FAKTORPENCETUS
Ditinjau dari sudut patofisiologi, HHNK dan KAD merupakan suatu spektrum dekompensasi metabolik pada pasien diabetes; yang berbed a adalahawitan (onset),derajat dehidrasi, dan berabrya ketosis. (Tabel
HHNK biasanya te{adi pada orang tua dengan DM, yang
mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan
l)
menurunnya asupan makanan.r Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta (Tabel 2). Infeksi merupakan
Kadar clukosa Plasma (mri/dL) Kadai pH arteri Kadar Bikarbonat Serum (mEq/L) Keton peda Urlrle atau Serum
>250
>250
7,25-7,30 7,O0-7,24
>250
> 600
<7,00
15-18
10-<15
<10
> 7,30 > 15
Positif
Positif
positif
SedikiU
PATOF!SIOLOGI
negatif Beruariasi
Bervariasi
Beruari a3t
> 320
Anion gap
> 10
>'12
Beruariasi
Kesaderan
Sadar
12 Sadar, drowsy
Stupor,
Stupor, koma
Osmolaritas Serum Efektif (mosrh/ko)
penyebab tersering (57.1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK(21%).
>
koma
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diwesis glukosuria. Glukosuria mengakibatk an kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. pada keadaan normal, ginjal berfirngsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
Dikutip dari Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, i,{alone Jl, et al. Hyperglycemic crises in diabetes. Diabetes Care 2004;27(suppl 1 ):S95.
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
9
1913
KOMA HIPEROSMOIAR HIPERGLIKEMIK NON I(ETOTIK
hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan Penyakit Penyerta lnfark miokard akut Tumor yang menghasilkan hormon adrenokortikotropin Kejadian
serebrovaskular Sindrom cushing Hipertermia Hipotermia Trombosis mesenterika Pankreatitis Emboli paru Gagal ginjal Luka bakar berat
Tirotoksikosis lnfeksi Selulitis lnfeksi gigi
Pengobatan
Antagonis kalsium Obat kemoterapi Klorpromazin (thorazine) Simetidin (tagamet) Diazoxid (hyperstat) Glukokortikoid Loop diuretics Olanzapin (zyprexa) Fenitoin (dilantin) Propranolol (inderal) Diuretik tiazid Nutrisi parenteral total Noncompliance Penyalahgunaan obat Alkohol Kokain DM tidak terdiagnosis
Pneumonia Sepsis lnfeksi saluran kemih Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician, http://www.aafp.org/afpl20050501 11723 html
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin. Tidak seperti pasein dengan KAD, pasien HHNKtidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh
adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon. Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneo gsnesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan konsenffasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral. Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan rnengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormone anti diuretik. Keadaa hiperosmolar ini juga akan memicu tirnbulnya rasa haus. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini j ika
kehilangan cairan tidak dikornpensasi dengan masukan
cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudain hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.
GEJALA KLINIS Pasien dengan HFINK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretik. Keluhan pasien IIHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan rmral dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma-
Pada pemeriksaan
fisik ditemukan
tanda-tanda
dehidrasi berat seperti hrgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhutubuhyang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada stafus m€ntal dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas semmmencapai lebih dari 350 mOsmperkg (350 mmolper kg). Kejang ditemukan pada25%opasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun miokJonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit calran. Secaraklinis HHNK akan sulit dibedakan denganKAD terutama bila hasil laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan : . Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin berkutang, dan pada
. .
anak belum pemah ditemukan.
Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien
1914
MEf,ABOUKENDOKRIN
mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah
ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit Cushing. Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid,
mEq per L (145 mmol per L) dan konsentrasi glukosa darah I . I 00 mg per dL (61 . 1 mmol per L) maka konsentrasi natrium
(2xsodium(mEqperL)-l-
furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik). Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardi ovaskular, aritmia, p endarahan, gang guan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.
W
koreksi:
Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat digunakan rumus: (2
x
150)
* t.lP
= 300 + 61
:361 mOsm/kg
18
PEM ERI KSAAN LABORATORIUM
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK
adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal :290 + 5]), dengan pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau
Misalkan, konsentrasi natrium 150 mEqperL (150 mmol per L), dan konsentrasi glukosa darah 1,100 mg per dL. Maka osmolaritas serum efektifnya :
PENATALAKSANAAN
tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10 - 12). Jika
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan hipotonis (l/2N, 2A).
anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respons penurunan konsentrasi glukosa darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai kelainan organ-organ lainnya. Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring ketat terhadap kondisi pasien dan responsnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan
diferensial asidosis laktat ataupenyebab lain. Muntah dan penggnnaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN),
dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit. Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentrasi glukosa darah pasein sangat meningkat. Jenis cairan yang
sebagian besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate. Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan:
Sodium + 165 x (Glukosa darah (mg per dL)
(mEqlL)
-
100)
100
diberikan tergantung dari konsentrasi natrium yang sudah dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus : Misalkan, konsentrasi natrium hasil pemeriksaan 145
I ).
Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian elektrolit; 3). Pemberian insulin intravena; 4). Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta; 5). Pencegahan.
Cairan Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan
HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana 14t
*
165 x (1.1_09100
100)
:
A5 +
16,5:
161,5 mEq/L
sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau
totalrata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik Elektrolit Natrium Klorida Kalium Fosfat Kalsium Magnesium Air
Hilang 7 - 13 mEq per kg
3-7mEqperkg
- 15 mEq per kg 70 - 140 mmol per kg 50 - 100 mEq per kg 50 - 100 mEq per kg 100 - 200 mL per kg 5
Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician, html
mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan lL normal saline per j am. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemilg mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada orang dewasa, risiko edema serebri rendah sedangkan konsekuensi dari terapi yang tidak memadai meliputi oklusi vaskular dan peningkatan mortalitas.
1915
KOMAHIPEROSMOI.AR HIPERGLIKEMIKNON KETOTIK
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnyaterapi cairanyang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal.
pasien dengan hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini,
peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien
denganHHNK.
KOMPLIKASITERAPI Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi
Elektrolit Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor. Jika konsentrasi kalium awal <3 3 mEq per L (3 3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/ 3 kalium klorida dan l/3 kalium fosfat sampai tercapai .
konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per
.
vaskular, infark miokard, low-flow syndrome, disseminated
intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyeb abkan adult respiratory distress syndrome datedema serebri, yangjarang ditemukan namun fatal pada anak-anak dan dewasa muda. Edema serebri ditatalaksana dengan infus mnitol dengan dosis 1-2glkgBB selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena. Memperlambat koreksi hiperosmolar pada anak-anak, dapat mencegah edema serebri.
L). Jika
L (5.0 mmol sampai di diturunkan per L), konsentrasi kalium harus kakonsentrasi per L, namun sebaiknya bawah 5.0 mEq jam. awal perlu konsentrasi tiap Jika lium ini dimonitor dua kalium antara 3.3-5.0 mEqperL, maka20-30mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kaliumkloridadanl/3 kalium fosfat) untuk konsentasi kalium lebihbesar dari 5.0 mEqper
mempertahankan konsentrasi kalium antaru 4.0 mEq per (4.0 mmol per L) dan 5.0 mEqper L.
L
lnsulin Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pemberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,1su/kgtsB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,lU/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13.9 mmol per L) sampai3OO mg per dL. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mgldL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai di bawah 300 mgldL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
PENCEGAHAN
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga
perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasein tinggal sendiri, teman atau
anggota keluarga terdekar sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokterjika hal
tersebut ditemui. Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam
perawatan harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat.
PROGNOSIS Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh
penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%o.Dircgaru maju dapat dikatakan penyebab utama lematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematian dapat ditekan menjadisel
IDENTIFIKASI DAN MENGATASI FAKTOR PENYEBAB
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami
infeksi, namun terapi antibiotik dianjurkan sambil menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan pada
REFERENSI Boedisantoso Asman. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non
Ketotik. Dalam : Sjaifullah Noer Mh et al Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
1916
FKUI, 1996. 62'.t-30. Delaney MF, Zisman A and Kettyle WM. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endoctinol and Metab Clin North Am 2000 ; 29 : 683-705. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, Malone JI, et al. Hyperglycemic crises in diabetes. Diabetes Carc 2004;27 (suppl 1):595.
Sagarin
M. Hyperosmolar Hyperglycemic nonketotic
coma. Accessed from: www.emedicine.com. Accessed at : November 20,2005. Last updated : January 13, 2005. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik. Dalam : Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2000.p. 89-96
Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state. American Academy of Fami ly Physician, Accessed from : http //www.aafp. org/afpl 2005050111723.htm1. Accessed at : 20rh Januari 2006. Trachtenbarg D. Diabetic ketoacidosis. Am Fam Physician. 2005 ; 71 (9) : 1705-14. :
Osama Hamdy. Diabetic ketoacidosiij. Accessed from: www.emediCirte.com. Accessed at : 2oth November 2005. Last updated : June 13, 2004. Waspadji Sarwono Kegawatan pada diabetes melitus Dalam: Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Infotmasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penydkit Dalam Fakultas Kedokteran UniVer'sitas Indonesia; 2000.p. 83-8.
299 A$IDOSIS LAKTAT Pradana Sogwgndo, l.lari l-,lendafto
sebesar 10-30%. Stabilitas konsentrasi asam laktat dalam
PENEAHT LTJAN
kead4a4 hasal merupakan garnbqp.n kqseimbangau antara
Asam laktat Eerupalcan zat perantara rnetabolik yang tidak toksik dan dapat diproduks!.oleh semua sel. Banyaknya asam laktat yang terdapat di'berbagaijaringan dan organ bervariasi tergantung pada keadaan hernodinamik maupun
metabolik seseorang. Asam laltat darah jpga telah lama dikenal sebagai ind-ikator-beratnya penyakit dan sebagai
prediktor prqglqsis. 'Peningkatan konsentrasi asarn laktat dalarn darah seriug dilhubungk4n dg'ngan de,tek pada rngta,lolisrne aerob, akibat hipoksia atau iskemia yang terjadi pada pasiensyok, atau sebagai petunjuk pasien berada dalam keadaan gawat.Untuk kebutuhan energi, eritrosit dan sel anaerob mempro duks 1 a de n o s in e t r ip h o sp h at e (ATP) melalui jalur glikolisis non oksidatif dengan melepas asam laktat. Melalui proses daur ulang, hati mensintesis glukosa
produksi flan penggunaaq asam laktat. Meskipun hampir semua jaringan dapat nrernproduksi asarn l{
Laklpt dehidrogenase
dari asam laktat, dengan menggunakanATP hasil oksidasi beta asam lemakbqbas.
Hipoksia yang terjadi pada keadaan
sepsis
NADI-I+
menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme, konsentrasi asam laktat darah akan meningkat dan ini produksi asam dianggap sebag laktat perifer
METAB
O-L!
dan
Laktat
Piruvat
H-
NADI
Gambar 1. Metabolisme laktat dan piruvat
am laktat di hati.
9UE ASAM LAKTAT
Asam laktat rnerupakan produk samp'ingan dari proses akhir glikolisis, oleh karena itu asam laktat dapat diprodrlksi oleh,s.enlua spl. Produksi asa4 laktat kurang lebih ,1400 rnmol per harinya d4n konsentrasinya dalam darah nolrqal .berkisar an-tara 0,4-1,2 rn'mol/L. Hati rner,upakan orgar,r:utama t€mp.at nretabolismp asam laktat, yaitusekitar40Tpd-ariasam-laktatyan€diproduksidalam keadaan basal, sedangkan penggunaan lainnya oleh ginjal
Reaksi ini akan qenyelabk41p{oses oksidasi NADH mgnjadi NAD* yang dibutuhkan untuk proses glikolisis. Pada keadaan anae.rob misal pada aktivitas fisik berat,
dimana oksiggn tidak mencukupr' untuk mengoksidasi pimvat untuk membqntuk AIP- NADH yang dihasilkan dari proses glikolisis tidak dapat direoksidasi karena kul4ngnyg oksigen untuk membqntuk NAD* sehingga pngkaian proges glikglisis akan berhenti. Pada keadaan
tersebut oksidasi glukosa oleh. sel otot tidak dapat berlangsung sempurna, tapi lahkan dalam keadaan demikianpun sejumlah kecil eneryi tetap dapa{ dikeluarkan ke sel melalui proses awal glikolisis karena reaksi kimia
1917
1918
METABOLIKENDOIRIN
pada pemecahan glukosa menjadi asam piruvat tidak memerlukan oksigen. Dalam keadaan darurat seperti ini,
sel akan tergantung sepenuhnya pada reaksi
pembentukkan asam laktat untuk memperoleh NAD * yang harus dibentuk melalui reaksi lain yaitu dengan meminjam elektron dari NADH melalui perubahan piruvat menjadi asam laktat sesuai reaksi di atas.
Jadi pada keadaan anaerob, proses pembentukkan energi melalui metabolisme piruvat terhambat, oksidasi aerobik pada siklus asam sitrat terblokade dan piruvat akhirnya terkonversi menjadi asam laktat. Perubahan NADH menjadi NAD* selama konversi piruvat menjadi asam laktat tadi menyebabkan proses glikolisis dapat berlangsung tanpa harus melalui oksidasi NADH oleh oksigen. Pada keadaan di atas jika kemudian oksigen perlahan kembali normal setelah otot diistirahatkan,
NADH
dan H* serta asam piruvat ekstra yang telah dibentuk
dengan cepat dioksidasi sehingga konsentrasi zat tersebut
berkurang. Sebagai akibatnya reaksi kimia untuk pembentukkan asam laktat berbalik, asam laktat kini diubah kembali menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis di hati.
Keseluruhan rangkaian proses mulai perubahan glukosa menjadi asam laktat dijaringan perifer dan asam
laktat kembali diubah menjadi glukosa di hati dikenal sebagai siklus Cori. Pada keadaan normoksia (Gambar 2), konsentrasi laktat yang dilepas oleh eritrosit biasanya tidak tinggi dan laktat terutama didaur ulang di hati melalui proses glukoneogenesis. Pada organ lain seperi otot atau jantung, dalam keadaan normoksia substrat utama adalah
glukosa yang akan dioksidasi menjadi CO, dan hanya sebagian kecil akan dilepas sebagai laktat. Pada keadaan hipoksia (Gambar 3), akan menyebabkan konsentrasi laktat menjadi lebih tinggi akibat inhibisi laktat
GLUKOSA GLUKOSA
PIRUVAT ---}
Gambar 2. Jalur laktat saat normoksia. Hampir semua laktat yang diproduksi akan dioksidasi di hati menjadi glukosa kemudian dipakai oleh organ-organ
PIRUVAT
---}
Gambar 3. Jalur laktat saat hipoksia. Akibat inhibisi phosphoenol pyruvate karboksikinase (PEPK), di hati laktat meningkat sehingga dapat digunakan oleh otot. Glukosa tetap digunakan oleh jantung dan organ vital lain.
ASTIDOSIS
1919
II\I(TAT
di hati. Di banyak tempat seperti di otot, kompetisi antara laktat dengan glukosa sebagai sumber karbohidrat untuk
yang dilaknkan oleh Mehta dkJr.. Nilai pH serum juga kurang sensitifunhrk menilai keadaan asidosis laktat karena dalam
oksidasi akan didominasi oleh laktat. Keadaan ini
beberapa kasus bisa didapatkan pH serum normal pada
memungkinkan glukosa dicadangkan untuk organ--organ yang penting seperti jantung. Pada manusia telah dibuktikan bahwa hipoksia kronis
pasiensakit berat, kemungkinan akibat kompensasi dari pernapasan atau pada saat bersamaan terjadi alkalosis
akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa di jantung, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan asam laktat adalah suatu kejadian yang
Peningkatan asam laktat sering dihubungkan dengan defek pada metabolisme aerob akibat hipoperfusi dan
memungkinkan oksidasi asam laktat atau glukosa sebagai substrat aerob sesuai dengan prioritas metabolisme pada pasien - pasien yang kritis.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa sulit untuk menentukan mekanisme peningkatan konsentrasi asam laktat darah hanya dari pemeriksaan biokimiawi rutin. Konsentrasi asam laktat yang tinggi dapat disebabkan peningkatan produksi asam laktat atau penurununan pemakaian asam laktat atau kedua-duanya sekaligus. Pemeriksaan asam laktat dan piruvat dapat memberikan estimasi defisit metabolisme oksidatif oleh karena rasio laktat piruvat menggambarkan akumulasi ekuivalen reduksi (NADH) dalam sel. Normal ratio L/P adalah 10 : I . Meskipun
metabolik.
hipoksia atau sebagai petunjuk terapi pasien dalam keadaan gawat. Walaupun demikian tidak semua asidosis laktat
disertai hipoksia. Cohen dan Wood kemudian mengklasifikan asidosis laktat menj adi 2 kelas, yaitu tipe A yang umumnya disebabkan hipoksia dan tipe B yang bukan disebabkan hipoksia dan masih dibagi lagi menjadi tipe Bl yang disebabkan adanya penyakit dasar tertentu, B2 jika penyebabnya obat-obatan atau intoksikasi dan 83 jika penyebabnya gangguan metabolisme sejak lahir.
PENGUKURAN ASAM LAKTAT DARAH
merupakan estimasi yang kasar, peningkatan rasio L/P menunjukkan gangguan oksidasi meskipun mungkin
Asam laktat darah telah lama diketahui sebagai indikator beratnya penyakit dan sebagai faktor prediktor prognosis. Asam laktat darah juga dapat digunakan sebagai
hanya terjadi pada gangguan oksidasi yang berat
monitor pengelolaan syok dan sebagai variabel
(kapasitas metabolisme tubuh terutama hati sangat tinggi unhrk mempertahankan keadaan aerob).
prognosis pada berbagai keadaan akut dan kritis. Misalnya dengan memantau laktat darah pada pasien infark miokard akut dapat diprediksi pasien yang akan jatuh ke dalam syok kardiogenik. Pada sebagian besar pasien yang masuk ke ruang darurat, nilai laktat sangat sensitif dan prediktif untuk menilai angka mortalitas di rumah sakit. Peretz dkk mendapatkan peningkatan angka kematian dari I 8 Yohingga73 %opadapasiensakit berat dengan nilai asam laktat > 4,4 mmoL. I b ert i d kk melaktkan penelitian terhadap 56 pasien dewasa yang dirawat di ICU dengan konsentrasi asam laktat > 2,5 mmol/L. Dari penelitian itu
DIAGNOSIS Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat dan nilai anion gap. Pada pasiensakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normal sampai < 2 mmoW. Batasan peningkatan konsenfrasi asam laktat yang digrurakan bervariasi drantara masing-masing peneliti antara 1,3-9,0 mmol/L sedangkan nilai pH bervariasi ar:dara7,37 -7,20 namunkriteria manapun yang digunakan temyata tetap didapatkan hubungan bermakna antara semakin
tingginya konsentrasi asam laktat dalam darah dengan
didapatkan bahwa peningkatan konsentrasi asam laktat dalam darah tanpa memandang berat ringannya asidosis yang terjadi, berhubungan dengan prognosis pasien yang dirawat di ICU. Broder & Weil mendapatkan 89 % dai
angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
pasiensyok dengan konsentrasi laktat > 4 mmol/L
Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion dan kation serum tak terukur dan bisa dihitung dengan rumus: Anion gap: Na - (Cl + HCO3). Peningkatan nilai anion gap sering terjadi akibat peningkatan anion tak
meninggal dunia. Pengukuran laktat untuk memprediksi kemungkinan timbulnya syok sepsis maupun gagal organ multipel juga dinilai lebih baik dibanding dengan pengukuran variabel - variabel transpor oksigen. Beberapa penulis mengatakan bahwa pemeriksaan konsentrasi asam laktat secara serial selama pengobatan merupakan parameter yang lebih bermakna untuk menilai prognosis penyakit dibanding pemeriksaan konsentrasi laktat non serial. Denganmemantaunilai laktat serial dapat dibedakan antara pasien yang prognosisnya baik atau buruk. Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita syok temyata pro gnosisnya lebih baik j ika
terukur, misal akibat peningkatan anion organik sepedi pada kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya adalatr sekitar 8 mM. Nilai az ion gapyargmeningkat disertai denganpenurunanpH serum lazim digunakan sebagai dasar diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering dijumpai keadaan dimana konsentrasi asam laktat meningkat dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan nilai anion gap. Ibefii dhk menunjukkan bahwa temyata anion gap b*an merupakan parameter yang sensitif untuk menilai tef adinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan penelitian
didapatkan penurunan konsentrasi laktat (5 -10 %) dalam
jam setelah mulainya pengobatan.
1
1920
METABOIJKENDOI(RIN
pada sepsis karena endotoksin menghambat enzim tersebut. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Tipe A : Syok (kardiogenik, sepsis, hipovolemi) Hipoperfusi setempat (hipoksia mesentrika) Hipoksemia berat Peningkatan karbon monoksida Asma berat Tipe B, terdiri dari : - Tipe 81: Diabetes melitus Gangguan fungsi hati Keganasan Sepsis Feokromasitoma Defisiensi tiamin - Tipe 82 : Biguanid Etanol Metanol Stilene glikol Fruktosa Sorbitol Xilitol Salisilat Asetaminofen Epinefrin Ritodrin Terbutalin Sianida Nitroprusid lsoniazid Propilen glikol - Tipe 83 : Defisiensi glukosa-6-fosfatase Defisiensi fruktosa-1,6.difosfatase Defisiensi piruvaf karboksilase Defisiensi pir:uvat dehidrogenase Gangguan fosforilasi oksidatif
-
-
-
peningkatan metabolisme aerob mungkin lebih penting daripada defek metabolisme atau metabolisme anaerob. Produksi serta oksidasi glukosa dan piruvat justru meningkat pada keadaan sepsis. Jika piruvat dehidrogenase distimulasi oleh dikloroasetat, konsumsi oksigen akan meningkat tetapi produksi glukosa dan piruvat akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hiperlaktatemia pada sepsis terjadi akibat peningkatan metabolisme aerob.
ASI DOSIS LAKTAT KARE NA OBAT
Biguanid Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalam pengobatan DM tipe II. Walaupun demikian, terdapat kekhawatiran akan efek samping dari metforminyang dapat menyebabkan timbulnya asidosis laktat, dimana angka mortalitasnya dapat mencap ai 50o/o. Penyakit hati dan ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia (misalnyapenyakit jantung dan paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan metformin. Faktor risiko lain asidosis laktatyang diinduksi oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan
usia tua. Asidosis laktat itu mungkin disebabkan oleh pengaruh biguanid menyebabkan naiknya produksi dan penumnan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan naiknya konsentrasi laktat seluler. Potensial redo.ks intraseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang
ASIDOSIS LAKTATPADA PASIEN SEPSIS
merupakan rate limiting enzyme pada pembentukan glukosa dari laktat dapat juga menurunkim metabolisme
Hubungan ar,tara perfusi jaringan dengan pH darah
laktat di hati. Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka
pertama kali dilaporkan oleh Cannon pada tahun 1918. Metabolisme oksidatif akan tertekan sebagai respon dari efek sitotoksik yang disebabkan oleh gangguan lintasan H* di mitokondria-sitoplasma. Hal ini akan.menyebabkan kebutuhan ATP tidak dapat dipenuhi melalui proses glikolisis dan menyebabkan terjadinya asidosis laktat.
Berdasarkan logika di atas, sehar,usnya peningkatan konsentrasi laktat akan berkurang sebanding dengan perbaikan oksigenasi selular. Namun dalam banyak kasus seringkali didapatkan konsentrasi laktat yang tetap meningkat meskipun oksigenasi selular membaik. Defek produksi energi oksidatif memang menyebabkan peningkatan laktat namun hal sebaliknya belum tentu benar, yaitu peningkatan laktat tidak harus merupakan akibat dari defek proses energi oksidatif. Saat ini asidosis laktat pada pasiensepsis diduga lebih banyak disebabkan oleh perubahan pada regulasi
metabolisme dibanding akibat hipoksia jaringan. Gangguan pada enzim piruvat dehidrogenase dapat terjadi
insidens dari asidosis laktat sebelum dan sesudah beredarnya Metformin di Amerika Serikat, mereka menemukan tidak ada perbedaan insidens. Sebelum ad,atya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per 100,000. Pada suatu meta analisis oleh Salpeteq insidens asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang menggunakan metformin sebesar 9;9 per 100.000, sedangkan yang tidak
menggunakan metformin sebesar 8,1 per 100.000. Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang benrrakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna Metform-in dengan insidens pada pasien dengan DM tipe II. Hal ini rnenunjukkan bahwa DM rnerupakan fakor risiko
untuk terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan metformin.
Sementara
itu pada penelitian lain diternukan
bahwa konsentrasi plasma metforrnin tidak berhubungan dengan konsentrasi, asam, laktat dalam darah. Temuan ini
tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal antara penggunaan mefformin dan asidosis laktat.
t92l
ASIDOSISLAKTITT
Etanol Penyebab penting dari asidosis laktat tipe B adalah intoksikasi etanol. Metabolisme etanol akan mengasilkan NADH dan akan mengakibatkan konversi dari piruvat menjadi laktat (Gambar 4).Keadaan ini biasanya ringan dan tidak membutuhkan pengobatan.
Guyton AC. Human physiology and mechanisms of disease. 3'd ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia 1982. Huckabee W. Relationships of pyruvate and lactate during anaerobic metaboiism: Effects of infusion of pymvate or glucose and of hyperventilation. J Clin Invest 1958; 37:244-54 Iberti TJ, Leibowitz AB, Papadakps PJ, Fischer EP. Low sensitivity of the anion gap as a screen to detect hyperlactatemia in criticaly
ilI
patients. Crit Care Med 1990; 18: 275-6-
Mc CarterFD, Fischer JE. Lactate is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury or sepsis. Lancet 1999; 354:505-8. Kitabchi AE, Fisher N, Murphy MB, Rumbak MJ. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic, hlperosmolar nonketotic state. In: Kahn CR & Weir GC, eds. Joslin's Diabetes, 2'd ed. A Waverly
James JH, Luchette FA,
Etanol NA Laktat
{-
-Asetildehid DH
+H-
Company 1994:738-770.
Piruvat
I
Glukosa Gambar 4. Etanol menyebabkan asidosis laktat
KESIMPULAN Asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Dalam keadaan normoksemia, asidosis laktat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti biguanid dan etanol. Tingginya konsentrasi asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolisme karbohidrat dan berat penyakit/kematian.
REFERENSI Bakker J, Coffemils M, Leon M, Gris B Vincent J-L. Blood lactate levels are superior to oxygen-derived variables in predicting outcome in human septic shock. Chest 1991; 99(4):956-62. Bakker J, Gris P, Coffernils M, Kahn RJ, Vincent J-L. Serial blood lactate levels can predict te development of multiple organ failure following septic shock. Am J Surg 1996; l7l(2):221-6. Broder G, Weil MH. Excess lactate : An index of reversibility of shock in human patients. Science, Match 7964; 143: 1457-9. Glycolysis and the catabolism of hexoses. In: Lehninger AL, Nelson DL, Cox M, eds. Principies of Biochrmistry, 2"d ed, Worth Publishers Inc 1993: 400-39.
Luft Friedrich. Lactic Acidosis Update for Critical Care Clinicians J Am Soc Nephrol 12:S15-S19, 2001. Disitasi dar\ : http:ll jasn.asnjournals.org/cgilcontent/full/12lsuppl-1/Sl 5 Disitasi tanggal 20 Januari 2006.
Luft FC. Lactic acidosis update for critical care clinicians. J Am Soc Nephrol 2A0l; 12: S15-S19. Luft D, Deichsel G, Schmulling RM, Stein W, Eggstein M. Definition of clinically relevant lactic acidosis in patients with internal diseases. Am J Clin Pathol 1983; 80: 484-9. McCormacUames, Kevin Johns, Hugh Tildesley. Metformin's contra indications should be contraindicated. Canadian Medical
Association. Journal. Ottawa: Aug 30, 2005. Vol.173, Iss.5; pg. 5o2,3 pgs. Disitasi dari : http://proquest.umi.com/
pqdweb?did: 893593471 &sid:1&Fmt= 3&clientld: 45625&RQT:309&VName:PQD Disitasi tanggal 15 September 2005. Mizock BA, Falk JL. Lactic acidosis in critical illness. Crit care med
1992;20:80-93. Mizock BA. Controversies in lactic acidosis: Implications in critically ill patients. Jama 1987;258(4): 497-501. Mustafa I. Pintas jantung paru pada bedah jantung menyebabkan gangguan metabolisme laktat di hati. Disertasi. Jakarta: Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000. Oh MS, Canoll HJ. Current concepts: The anion gap. N Engl J Med 197'1 ; 29'l(15): 814-7. Pillans. Metformin and fatal lactic acidosis. Centre for Adverse Reactions Monitoring (CARM), Dunedin. Disitasi dari http:// www.medsafe.govt.nzlProfs/Puarticles/5.Jrtm. Disitasi tanggal 20 Januari 2006.
The peripheral circulation during septic shock. In: Dhainaut JF, Thijs LG, Park G, eds. Septic shock, l"ted. WB Saunders 2000: 149-94.
300 KOMPLIKASI KRONIK DIABETES: MEKANISME TERIADINYA, DIAGNOSIS DAN STRATEGI PENGELOL L\N Sanryono Waspadji
PENDAHULUAN
primer sebagai mini klinik diabetes. Demikian pula beibagai rumah sakit dengan saranapengelolaan yang lebih canggih akan disibukkan dengan rujukan untuk kasus yang lebih kompleks. Baik apabilapara penyandang diabetes melitus tersebut di kelola pada tingkat pelayanan kesehatan primer maupun kemudian di tingkat pelayanan kesehatan yang
Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti
bahwa insidensi diabetes melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat di bumi kita ini. penelitian epidemiologis yang dikerjakan di Indonesia dan terutama di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesiajugajelas
lebih lengkap peralatannya, jelas tidak diragukan lagi perlunya identilftasi dini orang yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi dan kemudian perlunya ditegakkan diagnosis dini komplikasi kronik DM. Semua hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi beban biaya yang harus dipikul masyarakat dibandingkan dengan mengelola komplikasi yang sudah terjadi. Walaupun jelas akan terjadinya beban komplikasi kronik DM yang semakin menggunung di depan kita, saat ini agaknya nasib para penyandang DM mungkin akan lebih cerah. Dari berbagai penelitian berskala besar sudah dapat dibuktikan bahwa dengan cara pengelolaan yang modern, disertai dengan pemantauan yang juga lebih baik akan dapat dicapai pengendalian keadaan metabolik yang lebih baik lagi. Demikian pula halnya dengan pengaruh yangjelas nyata dan baik dari pendidikan dan penyuluhan,
menunjukkan kecenderungan serupa. Peningkatan insidensi diabetes melitus yang eksponesial ini tentu akan
diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif j elas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Retinopati merupakan sebab kebutaan yang paling mencolok pada penyandang diabetes melitus. Penyandang diabetes melitus semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa dekade sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penyakit jantung koroner. Tentu saja pengaruh terhadap kesehatan masyarakat terutama jika ditinjau dari sudut biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengelola komplikasi kronik tersebut akan sangat membengkak. Berbagai penelitian baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Republik Rakyat Cina jelas menunjukkan peningkatan biaya yang harus dikeluarkan jika komplikasi kronik diabetes sudah terjadi. Mengelola penyandang diabetes merupakan tugas yang akan menjadi semakin penting pada pelayanan kesehatan saat ini. Pengelolaan diabetes melitus akan banyak dilaksanakan pada tingkat pelayanan kesehatan
semuanya bersama secara bermakna akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM, setidaknya
mengurangi laju perburukan komplikasi DM yang sudah terjadi.
Mengingat adanya berbagai kemajuan dalam bidang ilmu biologi kedokteran dan juga teknologi informasi, para klinisi dan para peneliti ditantang untuk selalu menambah khasanah pengetahuannya dan menerapkan apa yalg diketahuinya sedemikian rupa sehingga bermanfaat untuk efisiensi dan keberhasilan pengelolaan kesehatan terutama
1922
t923
KOMPLIKAITI KRONIK DIABETES
untuk penyandang diabetes. Diabetes memberikan pengaruh terhadap terjadinya komplikasi kronik melalui
adanya perubahan pada sistem vaskular. Pada penyandang diabetes melitus terjadi berbagai macam perubahan biologis vaskular dan perubahan-perubahan tersebut meningkatkan kemungkinan terj adinya komplikasi kronik diabetes melitus. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya baik mengenai mekanisme terjadinya, metoda deteksi dini maupun strategi pengelolaannya menjadi penting unhrk dimengerti dan diketahui.
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons terhadap
berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain adanya hiperinsulinemia seperti yang tanpak pada DM tipe 2 alao pun juga pemberian insulin eksogen tetuyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang
terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metabolikberperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskular diabetes. Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain
yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik,
baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal
merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan
terjadi pada para penyandang diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penlumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan meyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal.
Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothetial Gr ow th F actor : VE GF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah- Pada
nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutny a yang mengarah ke terj adinya glomerulosklerosis. Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyrmbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom koroner akut semuanya sudah dibicarakan dengan
lebih rinci pada berbagai kesempatan lain.
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
diabetes (aringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan
sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitarke dalam sel tanpa harus memerlukan ins dtn (in s ul in i n d ep en d ent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup teqadi down
regulation dari sistem transportasi glukosa yP+g noninsulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai
hiperglisolia.
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi unflrk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbenfliknya spesies glikosilasi lanjut intraselular.
Jalur Reduktase Aldosa Padajalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa,
dengan adarrya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida
teroksidasi (NAD*), sorbitol akan dioksidasi menjadi
fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat sangat hidrofi lik, sehing ga
lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya te{adi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan kembang, bengkak akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang
secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait. Aktivasi jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH, diikuti dengan menurunnya raslo NADPH sitosol bebas terhadap NADP*. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP* ini sangat penting dan laitikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH
1924
MEIABOLIKENDOI(RIN
sitosol terhadap NADP*
ini dikenal
sebagai keadaan
pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula adalah bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans. Glutation reduktase juga memerlukan sitosolik NADPH untuk menetralisasikan berbagai oksidans intraselular. Menurunnya rasio NADpH
terhadap NADPT dengan demikian menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan
pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti terj adinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi protein kinase C.
Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ekstraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifrkasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada
sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan {hngsi sel secara langsung, dapatjuga secara
tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri. Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh
reseptorAGE (RAGE : Receplorfor Advanced Glycation End Product) mungkinmerupakan hal yangpenting untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi
aktivasi mitogen aclivated protein kinase (MAPK) dan transformasi
inti dari faktor traskripsi NF-kB, sehingga
terjadi perubahan transkripsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan.
Jalur Protein Kinase Hiperglikemia intraselutar (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut
kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas
melalui keadaan meningkatnya endotelin
I
dan
menunmnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan
proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua
Jalur Stres Oksidatif Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem penetralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan
stres oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa dan
berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stres oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor transkripsi (NF-rB), peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi tanjut. Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies : ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi
pembentukan spesies oksigen reaktif, sebaliknya spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies okigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi meningkatnya
produksi AGE. Sebaliknya produksi AGE juga akan memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan struktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membran sel dsb) Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai proses patobiologik seperti proses inflamasi, prokoagulasi
dan sistem renin angiotensin. PPAR juga dikatakan mungkin terlibat pada proses patobiologik terjadinya komplikasikronikDM.
lnflamasi Dari pembicaraan di atas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antaru lain aktivasi jalur
reduktase aldosa, stres oksidatif, terbentuknya produk akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktivasi PKC, yang semuanya itu akan menyebabkan te{adinya disfungsi endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti TGF-B danVEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM, VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses
keadaan tersebut akan menyebabkan perubahanperubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada
inflamasi yaitu CRP danNF-rB padapenyandang DMjuga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi Alc. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya
proses angiopati diabetik.
komplikasikronikDM.
1925
KOMPLII(AIII KRONIK DIABETES
Peptida Vasoaktif Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh
darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakari peptida pengatur
yang terutama mengatur konsentrasi glukosa darah.
Setelah melihat berbagai kemungkinan j alur mekanisme
terjadinya komplikasi kronik DM serta selanjutnya keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vaskular diabetes adalah
konsentrasi yang biasa didapatkan pada penyandang DM
hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apa pun jalur mekanisme
dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya
yang terjadi dan proses lain yang terlibat yang terpenting
Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada
hormon vasoaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari
adalah adanya hiperglikemia kronik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia)' Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan
endotel, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menwunkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent).
komplikasi kronik DM? Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan
proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai
Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun. Peptida vasoaktifyang lain adalah angiotensin II, yang
dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan
II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor AI I dan reseptor
jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin
AT2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap angiotensin berjalan melalui reseptor AI1. Penghambatan
terhadap kerja angiotensin II memakai Ace inhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular.
Prokoagulan Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan terjadi penurunan
fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh darah. Pada penyandang DM denganadanya
Liperglikemia melalui UerUagai mekanisnG akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.
PPAR Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan
vaskular dan berbagai kelainan vaskular, terutama pada sel otot polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasi dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbukti dapat menghambat signal proinflamatori akibat rangsangan sitokin dari NF-kB dan APl. Dari beberapakenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga dengan terjadinya komplikasi kronik DM.
dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperglikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunldn komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskul ar, yatgmerupakan komplikasi kronik khas DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makr.ovakular banyak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti faktor tekanan darah danjuga faktor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunkan tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang
nyata bermakna terhadap penurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi
kronik DM, termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi laonik DM. Pada pembicaraan berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.
CARADIAGNOSIS DINI Mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Pemeo ini juga sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik DM. Biaya yang diperlukan akan sangat membengkak
sekiranya sudah terjadi komplikasi kronik DM. Oleh karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha menegakkan diagnosis dini menjadi sangat penting maknanya.
Retinopati Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan
retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.
1926
Pada
MEf,ABOIII(ENDOKRIN
praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk
memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya Ada beberapa cara untuk memeriksa retina:
Penyakit Jantung Koroner Kewaspadaan untuk kemungkinan terj adinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yatgmempunyai risiko tinggi terjadinya
kelainan aterosklerosis seperti mereka yang
. .
Fotografi Retina (cara penjaringan yang paling
.
Kelainan yang ada pada retina sangat bervariasi.
mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner atau pun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak-nyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penjaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adany a penyakit pembuluh darah koroner,paling sedikit dengan pemeriksaan EKG
Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli penyakitmata.
pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana
.
. . .
Cara Langsung dengan memanfaatkan oftalmoskop standard Oftalmoskopi Indirek dengan slit lamp bio-microscope dianjurkan)
Rujukanharus sesegeramungkin: retinopatiproliveratif rubeosis iridis/glaukoma neovaskular, perdarahan
vitreous, retinopati lanjut
Rujukan sedini mungkin: Perubahan-perubahan pre-proliveratii Makulopati, Menurunnya tajam penglihatan lebih dari 2barispada karhr Snellen
Rujukan Rutin: katarak, retinopati diabetik non proliferatif yang tidak mengancam makula./ fovea
Nefropati Kelainan yang terjadipada ginjalpenyandang DM dimulai
dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolSan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya
mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat
saat istirahat, kemudian dilanjutkan
dengan
konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini CAD. Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang DM.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll.), neurupati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang
harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar dapat mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal sederhana terkait terbentuknya ulkus kaki diabetes maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan
jasmani, infeksi saluran kemih, hematuria, minum
hal yang sangat penting untuk dilewatkan begitu saja. Penggunaan monofilamen SemmesWeinstein yang sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan untuk mendeteksi insensitivitas pada kaki yang
berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat danjuga
potensial rentan untuk menyebabkan terjadinya
semen. dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang
masalah kaki diabetes dan ulkus diabetes. Demikian juga pengukuran rutin indeks ankle-brachial merupakan hal yang harus dilakukan pada setiap pengunjung poliklinik
lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor
DM.
risiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok.
Pendekatan multidisipliner dengan mengaktifkan tim multidisiplin pengelola kaki sangat penting dikembangkan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang
memberikan hasil positif palsu, seperti misalnya latihan
Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong
Penyandang
DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya
dikelola oleh dokter yang berpengalaman
dan
mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik DM. Penyandang DM dengan
laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin < 30 mLl menit seyogyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.
DM seyogyanya mendapatkan pencerahan
dan
kemudahan untuk mendap at lay anan tim multidisipliner tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah
terjadinya kaki diabetes/ulkus-gangren diabetes yang merupakan salah satu kompliksai kronik DM yang paling
ditakuti para penyandang DM maupun para pengelola DM.
t927
KOMPT,IKAIII KRONIK DIABETES
STRATEGI PENGELOI.AAN BERBAGAI KOMPLIKASI
KRONIKDM Dengan mengetahui berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus secara umum maupun faktorrisiko khusus kompikasi kronik diabetes melitus yang
tertentu seperti mikroalbuminuria untuk nefropati atau pun deformitas kaki untuk penyakit pembuluh darah perifer, kemudian dapat segera dilakukan berbagai usaha umum untuk pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi
kronik diabetes melitus.
Pengendalian Konsentrasi Glukosa ini pilar utama pengelolaan DM meliputi penyuluhan, pengaturan makan, kegiatan jasmani dan pemakaian obat hipoglikemiak oral maupun insulin, baik sendiri maupun dengan cara kombinasi berbagai obat hipoglikemiak. Usaha menggabungkan berbagai sarana pengelolaan tersebut sudah terbukti dapat dengan bermakna menurunkan Saat
insidensi komplikasi kronik DM, seperti yang sudah dibuktikanpada studi UKPDS, dan studi Kumamoto pada serta studi DCCT pada penyandang DM tipe l.Banyak sekali ditemui berbagai algoritma dan petunjuk praktis pengelolaan DM, termasuk yang diajukan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia pada tahwr 2002. Mengenai sasaran pengelolaan konsentrasi glukosa darah untuk dapat menghasilkan pencegahan komplikasi kronik yang maksimal juga banyak didapatkan pada berbagai buku dan sumber/ bacaan lain.
DM tipe 2
Tekanan Darah Untuk mendapatkan tekanan darah yang sebaik-baiknya guna mencegah komplikasi kronik DM, sudah banyak buku
petunjuk dan algoritma yarrg dikemukakan, juga oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Obat penghambat sistem renin angiotensin (Inhibitor ACE, ARB atau pun kombinasi keduanya) dapat dipergunakan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya dan kemungkinan semakin bertambah beratnya mikroalbuminuria. Cara menurunkan tekanan darah dan sasaran tekanan darah yang harus
dicapai pada penyandang DM juga sudah dibicarakan dengan lebih rinci pada bagian lain buku ini.
Pengendalian Lipid Mengenai pengelolaan lipid pada penyandang diabetes melitus juga sudah dibicarakan secara ekstensif. Pada pengelolaan dislipidemia, DM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner, sehingga adanya DM pada dislipidemia harus dikelola secara lebih agresif dan sasaran pengelolaan lipid untuk penyandang DM seyogyanya lebih rendah daripada orang yang normal, non-DM, yaitu konsentrasi kolesterol
LDL kurang dari
100
mg/dl. Dianjurkan unflrk menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL sampai 70 mgldLpada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner yang disertai DM atau dengan berbagai komponen sindrom metabolik lain seperti konsentrasi kolesterol HDL yang rendah, dan konsentrasi trigliserida yang tinggi. Demikian juga dengan adanya faktor risiko lain yang kuat, seperti misalnya pada
perokok berat.
Faktor Lain Pola hidup sehat: Pengubahan pola hidup ke arah pola hidup yang lebih sehat merupakan dasar penting utama usaha pencegahan dan pengelolaan komplikasi kronik DM. Pola hidup sehat harus selalu diterapkan dan dibudayakan sepanjang hidup. Walaupun belum ada bukti yang meyakinkan, merokok dikatakan dapat mempercepat timbulnya mikroalbuminuria
dan kemudian perkembangan lebih lanjut ke arah makroproteinuria. Merokok juga sudah dengan sangat jelas berperan penting pada terjadinya kelainan makrovaskular pada penyandang DM. Oleh karena itu berhenti merokok merupakan satu anjuran yang harus digalakkan bagi semua penyandang DM dalam. rangka pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM secara umum.
Perencanaan makan: Perencanaan makan yang sesuai dengan anjuran pelaksanaan pola hidup meliputi anjuran mengenai jumlah masukan kalori secara keseluruhan
maupun persentase masing komponen diet baik makronutrien maupun mikronutrienny a, y ang tercakup secara keseluruhan dalam anjuran gizi seimbang bagi penyandang DM. Walaupun hubungan antara masukan protein tinggi dengan risiko terjadinya mikroalbuminuria maupun perburukan lebih lanjut mikroalbumiuria belum secara konklusif terbukti, pada metanalisis sudah dapat ditunjukkan bahwa paling sedikit pada penyandang DM tipe 1 yang disertai nefropati, restriksi masukan protein terbukti dapat memperlambat perburukan laju frltrasi glomerular. Saat ini dianjurkan untuk memberikan masukan protein sebanyak 0,8 g /kg berat badan idaman bagi penyandang DM dengan nefropati. Dianjurkan untuk memberikan protein dengan nilai
biologis yang tinggi. Sebagai pencegahan primer terjadinya komplikasi
konik DM, Aspirin sebanyak 75-162 mg terbukti bermanfaat dan dianjurkan pada semua penyandang DM di atas umur 40 tahun yang mempunyai risiko tambahan untuk terjadinya komplikasi seperti riwayat keluarga yang kuat, adanya hipertensi, dislipemia, merokok dan mikroalbuniuria.
Alfa tokoferol, asam alfa lipoik, dan asam askorbat merupakan zat yang dikatakan dapat mengurangi efek negatif stres oksidatif dan inflamasi pada penyandang DM.
1928
MEIABOLIKENT'OKRIN
CARA KHUSUS PENCEGAHAN DAN PENGELOI.AAN BERBAGAI KOMPLIKASI KRONIK DM
Di samping usaha pencegahan primer komplikasi kronik DM secaraumum seperti yang sudah dikemukakan di atas, berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk masingmasing komplikasi kronik DM, baik berupa pencegahan primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.
diperhatikan bahwa berbagai aspek pengelolaan harus dicermati dengan baik: kendali metabolik, kendali infeksi, kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki untuk tidak mendapat beban, penyuluhar, agar penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM dapat bekerja sama mencapai tujuan untuk menyelamatkan kaki, semua harus dikerjakan secara menyeluruh. Pendekatan pengelolaan dengan memanfaatkan kerja sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan usaha penyelamatan kaki diabetes ini.
Retinopati Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemudian mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi dapat dikerjakan secara pan-retinal. Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai macam cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti
perbaikan ablasio retinanya dapat dilakukan untuk menolong mencegah perburukan fungsi mata.
Nefropati Setelah berbagai cara pencegahan konservatif tidak berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular, dan kemudian sudah mencapai tahap gagal
ginjal-penyakit
ginjal tahap terminal, dapat dilakukan pengelolaan pengganti untuk membantu fungsi ginjal, baik berupa hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua modalitas tersebut di atas, transplantasi ginjal merupakan
pilihan lain terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.
Neuropati Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan. Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula diberikan, namun umumnya tidak banyak menj anjikan hasil yang baik. Saat ini didapatkan berbagai sarana yangdapat diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang hebat pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai
obat untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan, Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzactn) dapat dipakai pada penyandang DM dengan neuropati yang menyakitkan. Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya
komplikasi kronik DM, dan berbagai cara baru untuk
Penyakit Pembuluh Darah Koroner
mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah,
Pengelolaan konservatif untuk penyakit pembuluh darah koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai
memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang DM
obat tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara baik semi-invasif maupun invasif yang dapat dipakai untuk menolong penyandang DM dengan penyakit pembuluh darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah koroner secara peniupan dengan balon dan pemasangan
gorong-gorotg (stent) merupakan cara yang banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah koronerjantung. Beberapa kasus lain memerlukan tindakan operatif bedah pintas koroner untuk memperbaiki fungsi
jantungnya.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer Usaha mencegah terjadinya ulkus dan gangren kaki diabetik sering gagal dan penyandang DM jatuh ke keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai gangren yang dapat merenggut nyawa. Usaha untuk menyelamatkan kaki dengan meng-optimalisasikan pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Pada pengelolaan ulkus/gangren kaki diabetik harus selalu
diharapkan akan lebih cerah.
KESIMPULAN DAN SARAN
. . .
Insidensi DM dan komplikasi kronik akibat DM meningkat dengan pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia Mekanisme terjadinya komplikasi kronik DM sangat kompleks, mencakup beberapa jalur mekanisme biokimiawi dan beberapa proses patobiologik Deteksi dini berbagai komplikasi laonik DM seyogyanya
merupakanbagianrutin
.
praktik pengelolaan DM
sehari-hari Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM
seyogyanya dilakukan dengan cermat dan sedini mungkin, yaitu dengan melakukan pengelolaan DM
sedemikian rupa sehingga tercapai sasaran pengendalian metabolik DM secara komprehensif
d
a
n
1929
KOMPLIKASI KRONIK DIABETES
holistik (mencakup bukan hanya mengenai konsentrasi
.
tetapijuga
mengenai tekanan darah, lipid, kegemukan dan mencegah merokok serta berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi DM yang lain) Kemungkian terjadinya komplikasi kronik DM harus glukosa darah,
diantisipasi sedini mungkin dengan usaha deteksi dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul segera dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan cara yang mungkin dilakukan baik cara yang non invasif maupun kemudian jugaberbagai carayang invasif .
REFERENSI Devaraj S, Vega-Lopez S, Jialal I. Antioxidants, oxidative stress and inflammation in diabetes. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p.
t9-29.
LaRosa JC et al. N Engl J Med 2005;352:e-pages. Maclsaac RJ, Watts GF. Diabetes and the Kidney. In: Shaw
KM
and
Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. 2005.p. 21-41. Marrero MB, Stem DM. Structure and Function of the Vessel Wall. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular
Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia:Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p. 3-18. Meeking D, Holland E, Land D. Diabetes and Foot Disease. In: Shaw KM and Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005.p. 2l-41. Shotliff K, Duncan G. Diabetes and the Eye. In : Shaw KM and Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. 2005.p. l-21. The Indonesian Society of Endocrinology. Guidelines for the Management of Diabetes in Indonesia. Jakarta 2002. The American Diabetes Association. Standard of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 2004; 27(1); S15-35.
The American Diabetes Association. Nutrition Principles and Recommendation in Diabetes. Diabetes Care. 2004;27(1); 53646. The American Diabetes Association Preventive foot care in
Fisher M, Shaw KM. Diabetes and the heart. In: Shaw KM and Cummings MH, Eds Diabetes Chronic complications, Second Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005.p. l2l-41. Grant PJ, Lucinda K, Summers M. Diabetes, impaired fibrinolysis and thrombosis. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Liphcot Williams & Wilkins; 2004.p.269-85.
diabetes 2004; 27(l); S$'4. The American Diabetes Association. Dyslipidemia danagement in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(l); 568-71.
Grundy SM, et al. Circulation 2004;110:227 -39. He Zhiheng, Ma RCW, King GL. Role of Protein Kinase C Isoforms in Diabetic Vascular Dysfunction. In: Marso SR Stem DM, Eds.
The American Diabetes Association Nephropathy in diabetes Diabetes Care 2004;27(1); 579-83. The American Diabetes Association. Retinopathy in Diabetes. Diabetes Carc 2004; 27(1); 584-87. The American diabetes association. Hypertension Management in Adults with Diabetes Mellitus. Diabetes Care 2004; 27(l): 565-7. West IC. Radicals and oxidative stress in diabetes Diabetic Medicine. 2000; 17: 171-80.
Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p. 37 -48. Kelly R, Steinhubl SR. Platelet Dysfunction. In: Marso SR Stem DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams& Wikins;
2004.p.251-61.
The American Diabetes Association. Smoking and,diabetes. Diabetes Carc. 20O4;27(1); 574-5. The American Diabetes Association. Aspirin Carc. 2004; 27(1); 572-3.
in
diabetes. Diabetes
301 RETINOPATI DIABETIK KarelPandelaki
PENDAHULUAN
Jalur Poliol Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kati lebihmudah
produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan sarafoptik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel. Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim
mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada wal:tu diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5Yo pasien. Setelah 1 0 tahun, prevalensi meningkat medadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%o pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25Yo sudah menderita retinopati diabetik nonp roliferatif (b ackground retinop athy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60Yo dalamberbagai derajat. DiAmerika Utara, 3,6ohpasiendiabetes tipe I dan 1,60lo pasien diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar
aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan poliol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopati diabetik. Namun, uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifitas retinopati. Penggunaan sorbinil dalam penelitian Sorbinil Retinopathy Trialterhadap 497 pasien diabetes tipe I yang diamati selama 3-4 tahun tidak memberi pengaruh terhadap timbulnya retinopati dan neuropati. Sampai saat ini masih
terus diupayakan penelitian dengan menggunakan
1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian
penghambat enzim aldose reduktase yang lebih kuat.
atau total setiap tahun. Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini telah mengalami perkembangan yang
Glikasi Nonenzimatik Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam
sangat pesat sehingga risiko kebutaan banyak berkurang. Namun demikian, karenaangkakejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin meningkat maka retinopati diabetik masih tetap menjadi masalah penting.
deoksiribonukleat @NA) yang te{adi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel. Penggunaan
ETIO.PATOGENESIS
aminoguanidin, yaitu suatu bahan yang menghambat pembentukan advanced glycation end product (AGE),
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaaan hiperglikemia yarrg berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi
pada tikus diabetes dilapurkan dapat mengurangi pengaruh diabetes terhadap aliran darah di retina, permeabilitas dan parameter mikrovaskular yang lain. Juga dilapurkan bahwa
pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi
vasoaktif oksida nitrat. Beberapa efek lain dari
nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C.
aminoguanidin kemungkinan bukan hanya disebabkan oleh
aminoguanidin dapat menghambat produksi senyawa
1930
1931
RETINOPAIIDIABETIK
penghambatan terhadap pembentukan AGE. Penelitian dengan menggunakan penghambat pembentukan AGE saat ini juga masih terus dilakukan.
Protein Kinase C Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa. Diasilgliserol terbukti diproduksi dalam jumlah yang banyak di retina mata dari anjing dengan galaktosemia yang disertai retinopati. Saat ini sedang dilakukan uji klinik penggunaan ruboxistaurin, suatu penghambat PKCaisoform, pada pasien retinopati diabetik. Frank RN,
Mekanisme Aldose reduktase lnflamasi
Protein kinase C
ROS
AGE
mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenesis retinopati diabetik dan kemungkinan terapi
Nitrit oxide
yang dapat dilakukan (Tabel 1). Selain pengaruh
Menghambat ekspresi gen
hiperglikemia melalui berbagai jalur metabolisme, sejumlah faktor lain yang terkait dengan diabetes melitus seperti peningkatan agregasi trombosit, peningkatan agregasi
eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak darah dan faktor pertumbuhan, diduga turut juga berperan dalam timbulnya retinopati diabetik.
synthase
Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina VEGF
PEDF
PATOFISIOLOGI Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang
disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke
GH dan IGF-l
Terapi
Cara kerja Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan kerusakan sel Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema makula Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG Pada hiperglikemia Menyebabkan kerusakan enzim dan komponen sel yang penting Mengaktifkan enzim-enzim yang merusak Meningkatkan produksi radikal bebas, meningkatkan VEGF Menyebabkan hambatan terhadap jalur metabolisme sel Penurunan aliran darah ke retina, meningkatkan hipoksia Meningkat pada hiPoksia retina, nenimbulkan kebocoran, edema makula, neovaskular Menghambat neovasku larisesi, menurun pada hiperglikemia Merangsang neovaskularisasi
Aldose reduktase inhibitor Aspirin
lnhibitor terhadap PKC Bisoform Antioksidan
Aminoguanidi n
Amioguanidin
Belum ada
Belum ada
Fotokoagulasi pan-retinal
lnduksi produksi PEDF oleh gen PEDF Hipofisektomi, GH- receptor blocker, octreotide.
p116= protein kinase C; VEGF= vascular endothel grovtth factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigment-
epithetium-derived factor; 651= grovih factor; IGF-l= isulinlike grovtth factor l.
dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang
terdapat pada membran sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah
sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah l:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan
tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan
permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatar, erat satu sama lain dan bersamasama dengan matriks ekstasel dari membran basalis
kapiler retina. Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membran basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10: I . Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu: l) pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah, 3) penyumbatan pembuluh daruh,4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di retina, 5) kontraksi dari jaringan
membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa
fibrosis kapiler dan jaringan vitreus. Penyrmbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua
jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluoresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit
komponen darah. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut: 1). edema
1932
makula atau nonperfusi kapileq 2). pembentukan pembuluh
METABOLIKENDOKRIN
diameter antara 15-60 im dan sering kelihatan pada bagian
darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment), 3). pembuluh darah baru yang
posterior. Meskipun belum jelas penyebabnya, namun
terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus, 4). pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma.
dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra luminal kapiler. Kelainan morfologi lain ialah penebalan membran basalis, perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetik proliferatif dan merupakan penyebab utama dari kebutaan pernanen. Selain itu, kontraksi dari jaringan
fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina (terlepasnya lapisan retina) juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada retinopati diabetik proliferatif.
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
terjadinya mikroaneurisma diduga berhubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan
bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak
sebagai cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terj adi akibat keboco ran dan
deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan plasma. Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetik iskemik, obstruktif atau preproliferatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok
tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Namun dalam klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan unhrk skrining. Ada banyak klasifftasi retinopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan ada atau tidakadanya pembentukan pembuluh darah baru di retina. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif. pertemuan Airlie House membagi retinopati diabetik atas 3 stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik digolongkan sebagai retinopati diabetik
nonproliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina. Kelainan fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan
intraretina yang disebut intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) akibat peningkatan permeabilitas kapiler. Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang secara klinik ditandai dengan perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina akibat hambatan perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular). Neovaskular merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif (RDP).
Retinopati Diabetik Nonproliferatif Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala.
cotton wool spot, yaiit daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Dalamwaktu 1-3 tahun, RDNP berat (retinopati preproliferatif) sering berkembang menjadi retinopati diabetik proliferatif sehingga merupakan calon untuk mendapat terapi fotokoagulasi, baik disertai maupun tidak disertai edemamakula.
Retinopati Diabetik Proliferatif Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut yatgat berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkanperdarahan di sana dan dapat menimbulkan kebutaan. Perdarahan kedalam vitreus akan menghalangi transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi penampakan berupa bercak warna merah, abu-abu atau hitam pada lapangan penglihatan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik retina sampai terlepas
sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment). Pembuluh darahbaru dapatjuga terbentuk di dalam stroma dari iris dan bersama dengan jaringan fibrosis yang terjadi
dapat meluas sampai ke sudut dari chamber antrior. Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari qqueous humor dan menimbulkan glaukoma neovaskular yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokular.
Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan menggunakan foto fundus dan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus,
baru yang meliputi
mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dengan
vitreus.
Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan pembuluh darah Y+ daerah diskus, adanya perdarahan pre-retina, pembuluh darah baru yang terjadi di mana saja (neovas cul arization els auhere) yang disertai perdarahan, atau perdarahan di lebih dari separuh daerah diskus atau
1933
RETINOPAIIDABETIK
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Retinopati diabetik nonproliferatif Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat > 1 tanda berupa dilatasi vena, mikoroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras Retinopati nonproliferatif rin$an sampai sedang: terdapat > 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA Retinopati nonproliferatif berat: terdapat > 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan > 2 tanda pada retinopati non-proliferatif berat.
1.
2.
Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan juga untuk memperlambat perburukan retinopati. Tujuan
utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk
3.
mencegah terjadinya kebutaan permanen. Pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ahli diabetes, perawat edukator, ahli gizi, spesialis mata, optometris dan dokter
4.
umum, akan memberi harapan bagi pasien untuk
Retinopati diabetik proliferatif Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < lo dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru di mana saja di retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup > % daerah diskus, d) perdarahan vitreus Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan risiko tinggi.
1
2.
EIDRS= Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD= new vesse/s on disc; NVE= new vesse/s elsewhere
Makulopati Diabetik Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik. Makulopati diabetik cenderung berhubungan dengan diabetes tipe 2 usia
lanjut, sedangkan retinopati proliferatif cenderung ditemukan pada usia muda. Tergantung perubahan utama yang terjadi pada kapiler retina, makulopati diabetik dapat
dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik, makulopati eksudatif dan edema makula.
mendapatkan pengobatan yang optimal sehingga kebutaan
dapat dicegah. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah timbulnya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabetik yang sudah
ada. Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik saat ini meliputi:
. . .
.
kontrol glukosa darah kontrol tekanan darah ablasikelenjarhipofisismelaluipembedahanatauradiasi (jarang dilakukan) fotokoagulasi dengan sinar laser:
.
fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau gfuukoma
neovaskular fotokoagulasi fokal untuk edema makula vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina.
-
Pasien dengan retina normal atau RDNP minimal perlu
diperiksa setiap tahun karena pasien yang sebelumnya tanpa retinopati pada waktu diagnosis diabetes ditegakkan, 5%- lo%akan mengalami retinopati setelah 1 tahun. Pasien
RDNP derajat sedang dengan mikroaneurisma, perdarahan yalng jarang, atat ada eksudat keras tetapi tidak disertai edema makula perlu pemeriksaan ulang setiap 6-l2buJatt karena sering progresif. Suatu penelitian terhadap pasien diabetes tipe I ditemukan 16%o dari RDNP derajat sedang yang hanya ditandai eksudat keras dan mikroaneurisma, berkembang kearah stadium proliferatifhanya dalam waktu 4 tahun.
Makulopati iskemik terjadi akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti pada RDNP. Makulopati akesudatif
KontrolGlukosa Darah Untuk mengetahui pengaruh kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melakukan penelitian pada 1441 pasien diabetes tipe I yang belum disertai retinopati
perlu segera dilakukan terapi fotokoagulasi untuk
dan yang sudah menderita RDNP. Kelompok pasien yang
mencegah hilangnya visus secara permanen. Edema
belum disertai retinopati dan mendapat terapi intensif
makula terjadi akibat kebocoran yang difus. Apabila
dengan insulin selama 36 bulan mengalami penurunan risiko tejadi retinopati sebesar 76%. Demikian juga pada kelompok
keadaan tersebut menetap, maka akan terbentuk kista berisi
cairan yang dikenal sebagai edema makula kistoid. Bila keadaan ini terjadi maka gangguan visus akan menetap dan sukar diperbaiki. Dibanding dengan metode diagnostik yan glain, optical coherence tomography (OCT) merupakan metode yang paling baik untuk mendiagnosis makulopati diabetik.
yang sudah menderita retinopati, terapi intensif dapat mencegah risiko perburukan retinopati sebesar 54%. Efek perlindungan melalui mengendalikan glukosa darah juga terlihat dari hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UI(JDS) terhadap diabetes tipe 2. Pasien diabetes yang diterapi secara intensif, setiap penurunan
1934
lo/o
HbAlc akan diikuti
MEIABOLIKENDOKRIN
dengan penurunan risiko
komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian dari
DCCT dan UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik dan
memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.
Kontrol Hipertensi Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik, UKPDS menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang dilakukan konhol tekanan darah secara ketat dibanding dengan konhol tekanan darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan resiko progresifitas retinopati sebanyak 3 4Yo. Ap r opr i at e
Blood Control in Diabetes (ABCD) Study melakttkan penelitian terhadap kelompok pasien diabetes yang mendapat terapi hipertensi dengan target tekanan diastolik <75 mmHg dibanding dengan kelompok dengan target tekanan darah diastol antara 80-89 mmHg. Sebanyak 470 pasien diberi terapi nisoldipin atau enalapril secara acak kemudian dilakukanpengamatan selama 5 tahun. Tekanan darahrata-rata yang dicapai pada kelompokpertama adalah 132178 mmHg sedangkan kelompok kedua mencapai
tekanan darah rata-rata 138/86 mmHg. Hasil analisis statistik menunjukkar arfiara kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam mencegah progresifitas retinopati.
Fotokoagulasi Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National Institutes of Health diAmerika Serikatjelas menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan
edema makula. Indikasi terapi fotokoagulasi ialah retinopati diabetik proliferatif, edema makula dan neovaskular yang terletak pada sudut chamber anterior. Ada tiga metode terapi fotokoagulasi dengan laser, yaitu: l). s catter (p anretinal) p hoto co agulation, dilakukan pada kasus dengan kemunduran visus yang cepat dan untuk
menghilangkan neovaskular pada saraf optikus dan permukaan retina atau pada sudut chamber anteioq 2). fo c al p h o to c o agu I ati on, ditujukan pada mikroaneurisma di fundus posterior yang mengalami kebocoran untuk mengurangi atau menghilangkan edema makula; 3). grid photocoagulation, suatt teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema.
Terapi edema makula sering dilakukan dengan menggunakan kombinasi/oc al dan grid photocoagulation.
Vitrektomi Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan (opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami proliferasi fibrovaskular. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.
Ablasi Kelenjar Hipofisis Dugaan adanya hubungan antara growth hormone dan retinopati diabetik didasarkan laporan dari sarjana Poulsen mengenai kasus retinopati diabetik pada pasien
PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS
diabetes wanita yang mengalami infark hipofisis sewaktu
Pasien RDNP minimal dengan hanya ditandai
melahirkan. Setelah dilakukan hipofisektomi ternyata
mikroaneurisma yar.g jarang, memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap I
retinopati diabetik yang sudah ada mengalami perbaikan. Sejak itu tindakan hipofisektomi sering dilakukan pada pasien diabetes yang sudah disertai retinopati diabetik proliferatif dan memberikan hasil yang baik . P erun growth
hormone terhadap timbulnya retinopati diabetik
didasarkan atas fakta bahwa retinopati diabetik berkembang cepat selama usia pubertas. Pada masa tersebut kepekaan jaringan terhadap growth hormone sangat tinggi. Bukti lain yang memperkuat hipotesis
tersebut ialah pasien kerdil akibat defisiensi growth hormone yang juga menderita diabetes tidak pernah mengalami retinopati diabetik dan penyakit mikrovaskular yang lain. Meskipun demikian, hipofisektomi pada pasien diabetes dengan retinopati diabetik saat ini sudah sangat
jarang dilakukan.
tahun. Pasien yang tergolong ItDI.tP sedang tanpa disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan oleh karena sering bersifat progresif. Pasien RDNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema makula yang secara klinik tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalamwaktu 4-6 bulan oleh karenamemiliki risiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara klinik signifikan (CSME). Untuk pasien RDNP dengan CSME harus dilakukan terapi fotokoagulasi. Risiko kebutaan pada stadium ini akan berkurang sampai 50% apabila dilakukan terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat memiliki risiko tinggi menjadi RDP. Separuh dari pasien RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam I tahun di mana l5Yo diantaranya tergolong RDP dengan risiko
193s
RETINOPAIIDIABETIK
tinggi. PasienRDNP sangatberat, risko menjadi RDP dalam 1 tahun adalah 75o/o dimata 45o/o diarrtaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu pasien RDNP sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan. Pasien dengan RDP risiko tinggi harus segera diterapi
dengan fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan ialah dengan scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang disertai dengan CSME, terapi fotokoagulasi mula-mula dengan menggunakan metode focal dan panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi panretinal dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema makula, maka untuk terapi dengan metode panretinal (scatter) perlu dibagi dalam2 tahap atau lebih.
Gambar 1. BDR with the white fluffy lesions called cotton wool spots (CWS), microaneurysms (red dots), and macular edema
Gambar 2. Background diabetic retinopathy
Gambar 3. Exudative maculopathy
Gambar 4. Advanced background retinOpathy with clinically significant macular edema
Gambar 5. Preproliferative retinopathy with venous beading' cotton wool spot, and some hard exudate
Gambar 6. Advanced background retinopathy
Gambar 7. Proliferative diabetic retinopathy neovascularization
1936
MEIABOLIKENDOIRIN
REFERENSI Aiello LM and Cavallerano JD. Ocular complication. In: Lebovitz HE (Ed.). Therapy for Diabetes and Related Disease. Alexandria, American Diabetes Associalion, 1991.p. 226-240. Brownlee M. The pathobiology of diabetic compliations a unifliing mechanism Diabetes 2005, 54 1615-25 Chalam KV, Lin S, Mostafa S. Management of diabetic retinopathy in the twenty-frrst century. Northeast Florida Medicine, Spring,
2005, p. 8-15
Gambar 8. Proliferative diabetic retinopathy with optic disc subhyaloid and haemorrhage
Chew EY Pathophysiology of diabetic retinopathy. In: LeRoith D et al (Eds.). Diabetes Mellitus a Fundamental and Clinical Text. 2'd edition, Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2000. p. 890-98 Constable IJ. Diabetic retinopathy: pathogenesis, clinical feature and treatment. In: Turtle JR et al (Eds.). Diabetes in the New Millennium. Sydney: University of Sydney; 1999.p.365-76 Fing SD, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship Q Cavallerano JD, Fenis FL, Klein R. Retinopathy in diabetes. Diabetes Care 2004,27: suppl. 64-87 Frank RN. Diabetic retinopathy. N Engl J Med. 2004; 35): 48-58 Heaven CJ and Boase DL. Diabetic retinopathy. In: Shaw KN (Ed.). Diabetic Complications. Baffins Lane, John Wiley & Son, 1996.
p.
Gambar 9. FFA of the left eye in patient with pDR
1-26.
Oishi N, Kubo E, Takamura Y, Maekawa K, Tanimoto T, Akai Y. Correlation between erythrocyte aldose reductase level and human diabetic retinopathy. Br J Ophthalmol 2002;86: 136l-6 The Diabetes Control and Complications Trial Rechearch Group. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulindependent diabetes mellitus. N Eng J Med. 1993; 329:977'86
UK Prospective Diabetes Srudy (UIGDS) Group. Intensive bloodglucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patient
with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 7998; 352:837-53 Watkins PJ. ABC of diabetic retinopathy. BMJ 2003, 326:924-26
Gambar 10. PDR with fibrovascular causing a localized traction retinal detachment
Gambar 11. Panretinal photocoagulation in pDR with vitreous bleeding
302 KOMPLIKASI KRONIK DM PENYAKIT JANTUNG KORONER Alwi Shahab
PENDAHULUAN Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe I maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Janrung
Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifbstasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (antung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia,
Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa: 1). Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada pasien DM dibanding populasi non DM; 2). Pasien DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi; 3). Pada pasien DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah.
Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada pasien DM mulai terjadi sebelum timbul onsef klinis DM. Studi epidemiologi juga
dalam proses koagulasi dan frbrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali.
menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada pasien DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol glukosa darah yang buruk dalam waktu yang lama. Disarnping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah
Peningkatan risiko
jantung dan strok pada pasien DM, antara lain hipertensi,
stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemia dat/atau
hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan
ini tidak hanya disebabkan
karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun
resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipidemia, dan gangguan sistem koagulasi serta
pula mempengaruhi otot jantung secara independen.
hiperhomosisteinemia. Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah s indrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Lesi aterosklerosis pada pasien DM
terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri kororter
yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis interstisial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahanperubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan
dapat terjadi akibat
:
Hiperglikemia Hiperglikemia kronik menyebabkan disfungsi endotel
relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan md4fustalic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.
melalui berbagai mekanisme antara lain : . hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul sepedi DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik
PATOFISIOLOGI Dasar terjadinya peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada pasien DM belum diketahui secara pasti.
dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nihat Oksida (NO) dan prostaglandin'
1937
1938
. . .
.
hiperglikemia meningkatkan aktivasi pKC intraselular sehingga akan menyebabkan gangguat NADpH pool yang akan menghambat produksi NO. overekspresi growth foclors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi. hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur glikolitik. peningkatan konsentrasi DAG akan meningkatkan aktivitas pKC. Baik DAG maupun PKC belperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi. sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutam a small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
. hiperglikemia akan disertai dengan tendensi
METABOLIKENT'OKRtr{
endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak hanya memiliki efek vasodilatasi akut melainkan juga memodulasi tonus pembuluh darah. Toksisitas insulin (hiperinsulinemi/hiperproinsulinemi) dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan stadium awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor AT-l dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-l di dalam sel-sel beta pankreas dan didalam sel-sel endotel kapiler pulau-pulau Langerhans pankreas. Jadi, hiperinsulinemi mempunyai hubungan denganAng-Il dengan akibat akan terjadi peningkatan stres oksidatif didalam pulau-pulau Langerhans pankreas akibat peningkatan konsentoasi insulin, proinsulin dan amilin.
Hiperamilinemi Amilin
jugals/e/ Amyloid Polpeptide (IApp) merupakan polipeptida yang mempurtyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh sel-sel beta pankreas atau disebut
bersama-sama dengan
insulin. Jadi
keadaan
protrombotik dan agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penumnan produksi NO dan penumnan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan konsentrasi pAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan
hiperinsulinemi akan disertai dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan konsentrasi insulin akan disertai pula dengan hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insu-
aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylation end
amiloidosis (penumpukan endapan amilin) didalam islet
products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat. walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan tef adi disfungsi endotel.
lin/ sindrom metabolik dan DM tipe 2. Terjadinya
diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi
pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. peneliti ini
insulin dan DM tipe 2. Sebaliknya, penumpukan endapan amilin didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan kawankawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada pasienDM tip e 2,pednglatan stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP di dalam sel-sel beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super Oxide Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan pemrrunan massa sel beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif dan pembentukan IApp serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas.
menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses terjadinya komplikasi vaskular pada pasienDM. Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan konsentrasi total protein kinase C (pKC) dandiacylglycerol (DAG). Insulin juga mempunyai e ap jaringanpembuluhdarah. Padapene an
dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat terjadinya peningkatan konsentrasi renin dan aldosteron. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikelpartikel amiloid (intermediate sized loxic amyloid particles
.
Resistensi lnsulin dan Hiperinsulinemia Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu IGF-I dan IGF-II pada sel-sel
Amilinjuga
:
resistensi terhadap sinyal PI3-kinase. Temuan ini
ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara
membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. King dan kawan-kawan dalam penelitiannya menggunakan konsentrasi insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon ini dapat meningkatkan konsentrasi dan aktivitas mRNA dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel
Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya menimbulkan komplikasi sindrom koroner akut, tetapi juga merupakan penyebab utama dalam proses
pembuluh darah dari obese Zucker rat didapalkanadanya
merusak membran sel beta pankreas.
lnflamasi
1939
KOMPI,IKASI KRONIK DM PEITYAKIT JANTUNG KORONER
terj adinya dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai
pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara lain sitokin dan growthfactors yar.g
dilepaskan oleh makrofag dan T cel/s. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor (PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul-molekul adhesi dan
upregulasi sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan di dalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya. Pelepasan
sitokin lebih banyak terjadi pada pasienDM, karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag (dan pelepasan sitokin), antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid. Pelepasan sitokin yang
dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi berbagai growthfactors seperti :
. . .
PDGF (Platelet Derived Growth Factor) IGF I (Insulin Like Growth Factor I) GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating
.
Sindrom KoronerAkut. Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebihfibrous dan calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada
pasienDM tipe 2 setelah sudden death, didapatkat area nekrosis, kalsifrkasi dan ruptur plak yang luas. S edangkan pada pasienDM tipe I ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikitfoam cells didalamplakyang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil'
Trombosis/Fibrinol isis
Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu perubahan-perubahan proses trombosis dan frbrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada
pasienDM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula
Faclor)
ditemukan pada pasienDM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan PAI-I baik di dalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan
TGF-a(Transforming Growth Factor-a)
penurunan urokinase dan meningkatkan agregasi
Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh darah. Di samping itu terjadi pula
peningkatan pembentukan kompleks imun yang mengandung modifted tipoprolein. Tingginya konsentrasi kompleks imun yang mengandung modihed LDL, akan
meningkatkan risiko komplikasi makrovaskulat pada pasienDM baik DM tipe I maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metal loproteinas e- I (NfivIP- I ) tanpa merangsang sintesis inhibitomya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun
tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor-a (TNF-cr) , yang menyebabkan up regulasi sintesis
C-reactive protein. Baru-baru ini telah ditemukan Creactive protein dengan konsentrasi yang cukup tinggi pada pasiendengan resistensi insulin. Peningkatan konsentrasi kompleks imun pada pasien DM tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung Koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada pasienDM mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makrofag kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya konsentrasi sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada pasien DM akan meningkatkan aktivasi sel T
yang akan meningkatkan pelepasan interferon-1. Pelepasaninterferon g akan menyebabkan gangguan
homeostasis sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan
vulnerable plaque,sehingga menimbulkan komplikasi
platelet. Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas faktor VII yang berhubungan
dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial' Over ekspresi PAI-1 diduga terjadi akibat pengaruh
langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi PAI- I setelah pengobatan DM tipe 2 dengan tiazolidinedione menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses terjadinya over ekspresi PAI-I. Peningkatan PAI-I baik did alam plasma maupun di dalam plak aterosklerotik tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah,
melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah dan plak aterosklerotik' Terjadinya proteolisis pada daerahfibrous cap dari plak yang menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya ruptur plak dengan akibat terjadinya
sindrom koroner akut. Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada pasienDM dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.
Dislipidemia Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatifumum terjadi pada keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai lipid triad, melipnli : 1. peningkatan konsentrasi VLDL atau trigliserida, 2. penurunan konsentrasi kolesterol HDL , 3'
terbentukny a small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik. Peningkatan konsentrasi VLDL, trigliserida dan small dense LDL kolesterol serta penurunan konsentrasi HDL kolesterol yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan dan
1940
anti inflamasi akan mengurangi cadangan anti oksidan alamiah. Lipoprotein mempunyai fungsi mengangkut lipid keseluruh tubuh, dimana LDL terutama berperan dalam transport apolipoprotein (Apo) B 100; VLDL berperan dalam transpor trigliserida yalg mengandung Apo E, sedangkan.HDL berperan dalam mengangkut kembali
kolesterol yang mengandung anti inflamasi dan anti oksidan alamiah yaitu Apo A. Molekul protein dari
Angina pektoris. Rasa nyeri dada dan sesak napas yang disebabkan karena gangguan suplai oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan otot jantung. Keadaan ini terutama terjadi pada saat latihan fisik atau adanya stres.
Angina pektroris tidak stabil. Dikatakan Angina Pektoris tidak stabil bila nyeri timbul untuk pertama kali, atau bila Angina Pektoris sudah ada sebelumnya namun menjadi lebih berat. Dan biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih
ringan dibanding sebelumnya. Keadaan ini harus
lipoprotein ini akan mengalami modifftasi karena proses oksidasi, glikosilasi dan glikoksidasi dengan hasil akhir akan terj adi peningkatan stres oksidatif dan terbentuknya Spesies Oksigen Radikal. Di samping ifi modijied
bahkan menj adi infark miokard.
lipoprotein akan mengalami retensi didalam tunica intima
arteri koroner yang terjadi secara total dan mendadak.
yang memicu terjadinya aterogenesis.
Biasanya terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis didalam arteri koroner. 2). Secara klinis infark miokard ditandai dengan nyeri dada seperti pada Angina Pektoris, namun lebih berat dan berlangsung lebih lama sampai beberapa jam. Tidak seperti pada AP yang dicetuskan oleh latihan dan dapat hilang dengan pemakaian obat nitrat di bawah lidah, pada infark miokard biasanya te{adi tanpa dicetuskan oleh latihan dan tidak hilang dengan pemakaian nitrat. 3).Kadang-kadang gejala bisa berupa sesak napas, atau
Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi
insulin/ sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada pasienDM tipe l, hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan
fungsi ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan risiko te{adinya hipertensi. Penelitian tertaru mendapatkan adanya peningkatan konsentrasi amilin (hiperamilinemia) pada individu yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi dan dengan resistensi insulin.
diwaspadai karena kelainan bisa berlanjut menjadi berat,
Infark miokard.
1). Kerusakan
ototjantung akibat blokade
sinkop (kehilangan kesadaran). 4). Biasanya disertai komplikasi seperti; gangguan irama jantung, renjatan jantung (shock cardiogenic), gagal jantung kiri, bahkan kematian mendadak (sudden death). Sindrom koroner akut : Spekrum klinis yang terjadi mulai dari angina pektoris tidak stabil sampai terjadi infark miokard akut. Pada pasienDM, te{adinya iskemi atau infark miokard kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang khas
(angina pektoris). Keadaan ini dikenal dengan Silent Myocardial Ischaemia atau Silent Myocardial
Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada pasienDM diduga
Hiperhomosisteinemia PadapasienDMbaikDMtipe I maupunDMtipe 2 ditemukan polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang dapat menyebabkan hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada pasien yang
kekurangan asam folat
disebabkan karena: . Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri . Penurunan konsentrasi b endorphin . Neuropatiperiferyangmenyebabkan denervasi sensorik.
di dalam dietnya. Hiperhomo-
sisteinemi dapat diperbaiki dengan suplementasi asam folat.
DIAGNOSIS
Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi
gangguan fungsi ginjal. Peningkatan konsentrasi
Diagnosis Penyakit Jantung Koroner pada pasien
homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida melalui hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidas e (GPx).
Diabetes Melitus ditegakkan berdasarkan:
.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Pada pasienDM tipe l, yang umunnya datang tartpa
disertai faktor-faktor risiko tradisional, lamany a menderita DM dapat dijadikan sebagai prediktor
MANIFESTASI KLINIS Pada individu non
DM, Penyakit Jantung Koroner dapat memberikan manifestasi klinis berupa :
penting terhadap timbulnya Penyakit Jantung Koroner. Karena DM tipe I sering terjadi pada usia muda, Penyakit Jantung Koroner dapat te{adi pada usia antara 30 sampai 40 tahun. Sebaliknya pada pasienDM tipe 2, sering disertai dengan berbagai faktor risiko, dan PJK
t94l
KOMPLIKASI KRONIK DM PENYAKIT JAI{TUNG KORONER
biasanya terjadi pada usia 50 tahun keatas. Seringkali, DM baru terdiagnosis pada saat pasien datang dengan keluhan angina, infark miokard atau payah jantung' Sedangkan pada pasienDM dengan SMI, gejala yang
timbul biasanya tidak khas seperti mudah capek, dyspnoe d'effort atau disPePsia. PemeriksaanLaboratorium. Terdiriatas : l. darahrutin, 2. konsentasi gula darah puasa, 3. profil lipid : kolesterol
.
total, kolesterol HDL, kolesterol LDL , Trigliseida 4' Enzim-enzimjantung, 5. C-reactive protein (CRP), 6' Mikroalbuminuri atau Proteinuri Elektrokardiografi
. . . . .
Uji latih(treadmill test) Pemeriksaan ffoto dada
(kateterisasi) A)merekomendasi-
kan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut: . Elektrokardiografi (EKG) sebagai pemeriksaan awal
terhadap setiap Pasien DM
.
rJ
jilatth (Treadmill test) dilaicukan terhadap pasien DM
dengan: - Gejala-gejalaanginaPelctoris - Dyspnoe d'effort
-
Gejalagastrointestinal EKG istirahat menunjukkan tanda-tanda iskemi atau infarkmiokard
-
Disertai penyakit arteri perifer atau oklusi arteri karotis
Disertai adanya 2 atat lebih faktor-faktor risiko kardiovaskular sebagai berikut : kolesterol total > 240 mgldl,kolesterol LDL Z I 60 mgldl, kolesterol HDL < 35 mg/dl, tekanan darah > 140190 mmHg,
merokok, riwayat keluarga menderita PJK, mikroalbuminuria atau proteinuria
PENATAI-AKSANAAN Berdasarkan rekomendasi ADA, penatalaksanaan terhadap semua pasieh DM terutama ditujukan terhadap penurunan
risiko kardiovaskular secara komprehensif , yaitu meliputi . Pengobatan hiperglikemia dengan diet, obat-obat hipoglikemiak oral atau insulin . Pengobatanterhadapdislipidemia . Pemberianaspirin . Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah < 130/80 mmHg denganACE inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB) atau penyekat p
.
<7
o/o
- 7.2 mmol/l) < 180 mg/dl (< 10 0 mmol/l)
90
-'130 mgidl (5.0
< 130/80 mmHg < 100 mg/dl (< 2.6 mmol/l) < 150 mg/dl (< 1.7 mmol/l) > 40 mg/dl (>1.1 mmol/l)
REFERENSI
Ekokardiografi Pemeriksaan baku emas adalah angiografi koroner
The Americ an D iab etes As s o ciation (AD
2 3
Kontrol glikemik : . A1C Kadar glukosa darah preprandial Kadar glukosa darah postprandial Tekanan darah Lipid : LDL Trigliserida HDL
dan diuretik
Menasihati pasien untuk berhenti merokok' Rekomendasi ADA tentang target yang harus dicapai
dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam upaya menurunkan risiko kardiovaskular :
American Diabetes Association. Standards of Medical Care for Patients with Diabetes Mellitus (Position Statement)' Diabetes Care 2003; 26 (S1): 33-50. Aronow WS. Silent MI. Prevalence and prognosis in older patients diagnosed by routine electrocardiograms' Geriatrics 2003 ;58:24' 40. Calles-Escandon J,Mtrza SA, Garcia-Rubi E, Mortensen A'Type2 DM: one disease, multiple cardiovascular risk factors' Coron
Artery Dis 1999; 10'.23-30 Giugliano D, Ceriello A, Paolisso G' Oxidative stress and diabetic vascular complications. DM Care 1996; 19:257-67 '
Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Pydr?il[ K, Laakso M'
Mortality from coronary heart disease in subjects with Type 2 diabetes and in nondiabetic subjects wiih and without prior myocardial infarction. N Engl J Med 1998;339:229-34'
Hayden MR, Tyagi SC. "A" is for amylin and amyloid in type 2 DM mellitus. JOP. J Pancreas (Online) 2001;2:124-39' SuPiano Hogikyan RV Gal
ndent v
MA. SPecifi asodilation in
f
obesitY'
J Clin Endocrinol Metab 1998;83:1946-1952' Jialal l, Crettaz M, Hachiya HL, Kahn CR, Moses AC, Buzney SM' King GL. Charucteization of the receptors for insulin and the insulin-like growth factors on micro-and macrovascular tissues' EndocrinologY 1985;ll7 :1222-9' Krauss RM. Lipids and Lipoproteins in Patients With Type 2 Diabetes Diabetes Care 2004.27 :1496-504' Lauer MS. Coronary artery disease in diabetes: Which (if any) test is best? Cleveland Clin J Med 2005;72 (1):6-9' Bolton CH' HoPton M, Pinkney
Endo with
tion in
TYPo effec
and the
relationshiP Diabet Med
1999;16:993-999. and disease: new Quyyumi AA. Endothelial function in health Am J Med disease' of cardiovascular genesis the insights into 1 998;1 05:32S-39S. Steinberg HO, Chaker H, Leaming R, Johnson A, Brechtel G Baron AD. Obesity/insulin resistance is associated with endothelial
dysfunction. Implications for the syndromo of insulin
resistance. J CIin Invest 1996;9'l :2601-2610' Tabrbiazar R, Edelman S. Silent Ischemia in People With Diabetes: Condition That Must Be Heard. Clin Diab 2003;'21(l):5-9' Zellweger MJ,Pfisterer ME. Silent coronary artery disease in patients with diabetes mellitus- Swiss Med Wkly 2001;13l:421432.
A
303 NEFROPATI DIABETIK Hendromartono
PENDAHULUAN
melitus lebih banyak dipelajari pada diabetes melitus tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Tabel 1).
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mgl24 jam atau>200 ig/menit) pada minimal duakali pemeriksaan dalamkurun
Tahap 1. Terjadi hiperkofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju
waktu3sampai6bulan.
ekskresi albumin dalam urin meningkat.
Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe I dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe I karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2
Tahap 2. Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang
tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks
lebih banyak daripada tipe I . Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satupenyebab kematiantertinggi di antara
mesangium).
komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati daibetik, yang antara lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin serta umur saat diabetes timbul. semua
Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju frltrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20 - 200 ig/menit (30-300 mgl24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
KLASIFIKASI
Tahap 4. Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes
Tahap
1 2 3 4 5
pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
Kondisi Ginjal Hipertrofi Hiperfungsi Kelainan struktur Mikroalbuminuria persisten Makroalbuminuria Proteinuria
Uremia
AER = Albumin Excretion
Prognosis
N
Reversibel
N,lt Mungkinreversibel {./N mg/menit ,1. / N Mungkin reverdbel 6 > 200 mg/menit Rendah Hipertensi Mungkinbisastabilisasi Tinggi/ Rendah < 10 ml/ menit Hipertensi Kesintasan 2 tahun + 50%
20-
200
Rate , LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR),
N = normal, TD
42
=
Tekanan Darah
1943
NEFROPATIDIABETIK
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun' sekitar l0 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah. Tahap 5. Timbulnya gagal ginjal terminal.
Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian-pembagian lain seperti oleh National Kidney
Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney Disease),kementerian kesehatan Jepang dan lainJain yang
umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
MIKROALBUMINURIA Mikroalbumimria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai
prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik
Gambar 1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. (Disadur dari DeFronzo Diabetic Nephropathy, ADA, 2004)
(Thbel2).
Laju Ekskresi Albumin Urin
3OO 20 -2OO >200 >300
Mikroalbuminuria 30 -
Makroalbuminuia
Perbandingan Albumin Urin
30
-
300 (299)
>300
Internalional Society of Nephrolog,t (ISN) menganjurkan penggunaan perbandingan albumin
- kreatinine (albumin-
Gambar 2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari
Vora JP & lbrahim M: Clinical Manifestations and Natural History of Diabetic Nephropathy, 2003)
creatinine ratlo -ACR) untuk kuantifikasi proteinuria serta
sebagai sarara follow-up. Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang
juga sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi, serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi albumin urin.
Diagnosis ditegakkan jrka 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya milaoalbuminuria (Gambar 1).
Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuri a, antaralain: 1). milaoangiopati diabetik; 2). penyakit kardiovaskular; 3). hipertensi, 4). hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria, maka perlu
dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa
saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih
sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi' Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi
glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benal tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergafltung glukosa, yar,g diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,
(Gambar2).
prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemi a adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-p yang
PATOFISIOLOGI
termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang
sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
1944
METABOIIKENDOIRIN
dan protein (reaksi Mallard dan Browning). pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu tery'adi penyusunan ulang
untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses
ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti
ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan
mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada hewan diabetes menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/ angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus. Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah : . kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah
. .
puasa > 1 4G- I 60 mgl dl [7,7 -8, 8 mmot/l]
faktor-faktorgenetis
);
A I C >7 -8yo
pelepasan growth factors kelainan metabolisme karbohidrat / lemak/protein kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus) gangguan ion pumps (peningkatan Na*-H* pump dan
.
penumnan Ca2*-ATPase pump)
. .
hiperlipidemia(hiperkolester:rclemiadanhipertrlgliseridemia)
aktivasi protein kinase C
PATOLOGI Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstra seluler; penimbunan kolagen tipe
IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian
akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difu s (Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial (Tabel 3).
. .
o
.
o
o
Peningkatan material matriks mesangium Penebalan membrantasalis glomerulus Hialinosis arteriol aferen dan eferen Penebalan membran basalis tubulus Atrofi tubulus Fibrosis interstisial
kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan
. . . . . .
. . .
inhaglomerulus) hipertensi sistemik sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik) keradangan perubahan permeabilitas pembuluh darah asupan protein berlebih
gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
TATA!.AKSANA Evaluasi. Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya pemrrunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh
American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin (Tabel 4).
Penentuan
mikroalbuminuria
Evaluasi awal
Follow-up*
Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3
Diabetestipel:tiap
bulan
Klirens kreatinin
diagnosis ditegakkan) Saat awal diagnosis ditegakkan
tahun setelah 5 tahun Diabetes tipe 2; tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan
Tiapl-2tahun sampai laju filtrasi glomerulus <100 mllmenl1.73m2,
Kreatinin serum
Gambar 3. Patogenesis nefropati diabetik. (Disadur dari Cooper ME, Gilbert RE: Pathogenesis, Prevention, and Treatment of Diabetic Nephropathy, 2003)
Saat awal diagnosis ditegakkan
kemudian tiap tahun atau lebih sering* Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal
1945
NEFROPAIIDIABTITIK
Untuk mempermudah evaluasi, NKI menganjurkan perhitungan laju frltrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft -Gault yaitu: (140
-
umur) x Berat Badan
x (0,85untukwanita)
Klirens
Kreatinin*
72 x Kreatinin Serum
*Glomerular Filtration Rate I laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam mU merntl
1,7 3
rfi
Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus
tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik (hemahria makroskopik, casl sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati (terutama pada diabetes melitus tipe 1), atau pada kasus
proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasuskasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Gambar 4). Terapi. Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapantahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui : 1). pengendalian gula darah
(olahraga, diet, obat anti diabetes); 2). pengendalian
tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi); 3 ). perbaikan fungsi ginj al (diet rendah protein, pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor IACE-II danl
atatt Angiotensin Receptor Blocker [ARB]); a). pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas dll). Terapi non farmakologis nefropati diabetikberupa gaya
hidup yang sehat meliputi olah raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olah raga rutin yang dianjurkanADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10- 12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garamadalah4-5 gl hari (atau 68-85 meq/hari) serta asupan protein hingga 0,8
glkglberat badan ideal/hari. Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80 mmHg (Tabel 5). Obat antihipertensi yang dianjurkan adalahACE-I atauARB, sedangkan pilihan lain
adalah diuretika, kemudian beta-blocker
atau,
calcium-channel blocker. Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa
pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa 6fek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin dan
sintesa growth factor, disamping hambatan aktivasi, proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.
Gambar 4. Evaluasi klinis nefropati diabetik. (Disadur dari Vora JP & lbrahim of diabetic nephropathy, 2003)
M'.
Clinical manifestations and natural history
1946
MEIABOLIKENDOI(RIN
Tanpa
Mikro-
Albuminuria klinis/lnsufisiensi ginjal
<6-7o/o
<6-7o/o
<7-8o/o
20-1 30/80
'120-1 30/80
120-130t80 90-95 0,6-{,81
Mikroalbuminuria albuminuria 41C Tekanan Darah* Sistolik / Diastolik (mmHg) Mean Afteial Pressure (mmHg) Asupan protein (g/kg/hari)
1
90-95
90-95 0,8-1,0
>1,0-1 ,2
'jika
tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-'130/80- 85 mmHg, nilai ini dipakai sebagai endpointlercpi _ I jika pasien mendapat ACE-I, asupan diet bisa tebih tinggi (0,8-1,0 g/kg/hari) [ADA]
Pada pasien-pasien yang peilrrunan fungsi ginjalnya be{alan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai l0 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/ menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan
sebaiknya terapi pengganti ginjal
ini dimulai. Pilihan
pengobatan gagal ginjalterminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju
sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas sekaligus.
Rujukan. BaikADAmaupun ISN dan NKI menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetikjika laju frltrasi glomerulus mencapai < 60 mllmen/1,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi
hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologijika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 mVmen/l,73m2, atau lebih awal jika pasien berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien difagukan.
REFERENSI American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes (Position statement). Diabetes Carc, 2004; 27(Suppl. l):S 1 5. American Diabetes Association: Nephropathy in diabetes (Position statement). Diabetes Care, 2004; 27(Supp1. l):S79. Brownlee M: Mechanisms of hyperglycemic damage in diabetes, in: Kahn CR (ed): Atlas of diabetes. Science Press Ltn;2000, p.l2l. Car SJ: Management of end-stage renal disease in diabetes, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrol, 2"d ed. St Louis:Mosby; 2001. p.451. Chobanian AV et al: The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA 2003;
289:2560, Cooper ME, Gilobert RE: Pathogenesis, prevention, and treatment of diabetic nephropathy, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001,p.439. The DCCT / EDIC Research Group: Retinopathy and nephropathy in patients with type 1 diabetes four years after a trial of intensive therapy. N Eng J Med 2000; 342:381.
DeFronzo RA: Diabetic nephropathy, in Lebovitz HE (ed): Therapy for diabetes mellitus and related disorders, 4ft ed, American Diabetes Associatiot, 2004, p. 369. Haneda M, Koya D, Kikkawa: Mesangial cell dysfunction as a pathogenesis of diabetic nephropathy, in Tomino Y (ed): Diabetic nephropathy in Japan. From bench to bedside. Tokyo; Karger: 2001. p.16. The Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) Study Investigators: Effects of ramipril on cardiovascular and microvascular outcomes in people with diabetes mellitus: Results of the HOPE study and MICRO-HOPE study. Lancet 2000;355: 253. Lubis HR: Penanganan dini untuk memperlambat progresi penyakit ginjal diabetik. The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005. Mogensen CE: Nephropathy and hypertension in diabetic patient, in: Belfrore F, Mogensem CE (eds): New concept in diabetes and its treatment. Bazel, Karger,2000. p.52. National Kidney Foundation: K.TDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S1. National Kidney Foundation: IUDOQI Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis 2004;43:S1. Powers AC: Diabetes Mellitus, in Kasper DL et.al (eds): Harrison's Principles of Internal Medicine, 16ti ed. New York: McGraw
Hill;2005. p.2ls2. Roesli RMA: Peran faktor risiko pada progresivitas penyakit ginjal diabetik. The 5u Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005. Schrier et a1 (eds): The role of hypertension in progression of chronic renal disease, in: Essential atlas of nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.153. Situmorang TD: Perjalanan klinik penyakit ginjal diabetik. The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005.
Skyler JS: Microvascular complications, retinopathy nephropathy. Endocrinol. Metab. Clin. North.
The
and
Am 2001;30:833.
UK Prospective Diabetes Study Group: Tight blood
pressure
control and risk of macrovaScular and microvascular complications
in type 2 diabetes: UKPDS 38.
BMJ
1998;317:703 . Vora JP, Ibrahim AAH: Clinical Manifestation and natural history of diabetic nephropathy, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001. p.425. Wolf G Ritz E: Diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Prevention and patient management. J. Am. Soc. Nephrot 2003;14:2.
304 NEUROPATI DIABETIK Imam SubeKi
PENDAHULUAN
tidak mengurangi keluhan, sehingga kualitas hidup dapat diperbaiki.
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi
Dengan demikian, memahami mekanisme terjadinya ND dan faktor-faktor yang berperan, merupakan landasan
kronis paling sering ditemukanpada diabetes melitus @M). Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan
penting dalam pengelolaan dan pencegahan ND yang lebih
rasional.
bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya beaya pengobatan pasien DM denganND. Hingga saat ini patogenesis ND belum seluruhnya diketahui denganjelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunyayang bertanggung jawab terhadap terjadinya ND, tetapi beberapa teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dannerve growth factor. Studi prospektif oleh Solomon dkk, menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga berhubungan dengan risiko kardiovaskular yang
DEFINISI Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di SanAntonio, disebutkanbahwaND adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatik dan atau autonom dari sistem sarafperifer.
potensial masih dapat dimodifikasi. Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa
Berbagai studi melaporkan prevalensi ND yang bervariasi. Bergantung pada batasan definisi yang digunakan, kriteria
juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau
diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi yang
sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Mengingat terj adinya ND merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada banyak faktor, maka
diteliti, prevalensi ND berkisar dari 12-50%. Andkakejadian dan derajat keparahan ND juga bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati simtomatis ditemukan pada 28,syo dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester,
pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes secara
PREVALENSI
keseluruhan. Untuk mencegah agar ND tidak berkembang menjadi ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada kaki, diperlukan berbagai upaya khususnya pemahaman pentingnya perawatan kaki. Bila ND disertai dengan nyeri, dapat diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe
walaupun neuropati simtomatis ditemukan hanyapada l3o/o pasien DM, ternyata lebih dari setengahnya ditemukan
nyerinya, dengan harapan menghilangkan atau paling
neuropati hanya dijump ai pada 2,3Yo.
neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati
pada
1947
15,2%o
pasien DM baru, sementara tanda klinis
1948
PATOGENESIS
Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanj angan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis adyance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
MEIABOIJI(ENDOKRIN
Kelainan Vaskular Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi
berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran
vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya
mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis ; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan
mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.
Faktor Metabolik Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas j alur poliol meningkat, yaitu te{'adi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbi-
agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.
tol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan
Mekanisme lmun
fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22o/o dari 120 penyandang DM tipe 1 memiliki complement fi.xing
mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya
ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C
(PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi NaK-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting wtok glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan pennnman produksi nitric oxide Q\O).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya adyance glycosilation end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua
protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran
darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembalipulih dengan kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan
metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagt.
antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe
2
memperlihatkan hasil yang positip. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berperan pada patogenesis ND.
Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik ND adalah adanya antineurql anti-
bodies pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada
berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan kemungkinan peran proses imun pada patogenesis ND.
Peran Nerve Growth Factor(NGFI NGF diperlukan unruk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen
substance
P
dan calcitonin-gen-regulated peptide
(CGRP). Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada ND.
KLASIFIKAS! Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan berbagai ragam klasifikasi. Secara umum ND yang dikemukakan bergantung pada 2 hal, pertama, menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan kedua, menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi.
1949
NEI.JROPAIIDIABETIK
.
Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi: - neuropati fungsionaVsubklinis, yaitu gejala yang
dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak
muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel.
neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian
-
neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yan greversible.
-
kematian neuron/tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan ke padatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irueversible. Kerusakan
.
.
distal paling banyak ditemukan,
.
seperti
otonom (parasimpatis dan simpatis) atat diabetic autonomic neuropathy (DAN).
polineuropati simetris distal. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi:
Polineuropatisensori-motorsimetrisdistal, Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, Neuropati otonom kardiovaskular, Neuropati gastrointestinal, Neuropati genitourinaria
Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan
:
1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava; 2). Variasi denyut jantung (interval RR) selama
.
(denyutjantung maksimum-minimum Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan napas dalam
sistolik); 2). Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).
Neuropati lower limb motor simetris proksimal
Neuropati Fokal
. .
elektromiografi. Benhrk lain ND yang juga sering ditemukan ialah neuropati
(amiotopi)
.
terhadap: 1). refleks motoik;2). fungsi serabut sarafbesar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-Weinstein); 3). fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu; 4). unhrk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar sarafdapat dikerjakan
serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi
NeuropatiDifus
. .
cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya
Neuropatikranial Radikulopati/pleksopati Entrapmentneuropathy
PENGELOI-AAN Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati 3 bagian. Strategi pertama adalah
diabetik dibagi ke dalam
diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaikbaiknya, dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian
Klasifikasi ND di atas berdasarkan anatomi serabut saraf periferyang secaraumum dibagi atas 3 sistemyaitu sistem motorik, sensorik dan sistem autonom. Manifestasi klinis ND bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal
keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi
atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinis ND menjadi bervariasi, mulai kesemutan; kebas; tebal; mati rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk; disobeh ditikam.
metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara terus menerus.
kedua dike{akan.
Mengingat ND merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan
umum, pengendalian glukosa darah dan parameter
Perawatan Umum/Kaki kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati Jaga kebersihan
DIAGNOSIS
kompresi.
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN)
Pengendalian Glukosa Darah
merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai denganberkurangnya fungsi sensorik secara
Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah pengedalian glukosa darah dan
progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang
monitor HbAlc secara berkala. Disamping itu
berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah
pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Tiga studi epidemiologi besar, Diabetes Control and
proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya
1950
MEIABOLIKENDOIGIN
Complications Trial (DCCT), Kumamoto Study danlJ nited
Kingdom Prospective Diabetes .S/adl (UKPDS) membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah,
komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat dikurangi. Pada
DCCI
kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil menurunkan HbAlc dair 9 ke 7%o, telah menurunkan risiko timbul dan berkembangnya komplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko timbulnya neuropati sebesar 60Yo dalaml tahun. Pada studi Kumamoto, suatu penelitian mirip DCCT tetapi pada DM tipe 2,juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan kecepatan konduksi sarafdan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan UKPDS yang memberikan hasil sempa dengan 2 studi sebelumnya.
Terapi Medikamentosa Sejauh ini, selain kendali glikemik yangketat,belum ada bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah
neuropati diabetik.a Namun demikian, untuk mencegah
timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya
termasuk neuropati, saat
komplikasi kronik diabetes, yaitu: . golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa
. . .
penghambat ACE
neurotropin - Nerve growth factor - Brain-derived neurotrophic factor alpha Lipoic Acid, xratu antioksidan kuat yang dapat
membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan
. . . . .
peroksil serta membentuk kembali glutation. penghatrhat protein kinase C Gangiiosides, merupakan komponen utama membran sel
Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan ialah:
.
. . . .
NSAID (ibuprofen 600mg4xlhai, sulindac 200mg 2xl ha.i) antidepresan trisiklik (amitriptilin 50- l50mg malam hari, l0OngAari, nortriptilin 50- I 50mg malam hari, paroxetine 4Omg/hari) antikonvulsan (gabapentin 900mg 3xhar\ karbamazepin
2}fimg4x/harl) antiaritrnia(mexilletin 150450m9/hari) topikal: capsaicin 0,075Yo4x/hai,fliryhenazine lmg 3xl hati, lranscutaneous electrical nerve stimulation.
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadangkadang kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat
dilalokan.
Edukasi Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien
menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu
penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya ND pada pasien
DM.
Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membran
fosfolipid Aminoguanidin, bertrrngsi menghambat pembentukan AGEs
Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik maupun non neurologik akibat penyakit autoimun. Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri,
KES!MPULAN Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik
DM dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolilg vaskular, imrn danNGF)
yang berperan pada mekanisme patogenik ND,
sangat dianjurkan untuk memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post sinaptik spinal cord dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar; hiperalgesia; alodinia, nyeri menjalar dll. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat memberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi
hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik- merupakan dasar utama patogenesis ND. Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pada pasien DM, yang penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaikbaiknya. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit
nyeri neuropati diabetik pada dasamya bersifat simtomatis.
bisa dicapai.
NEUROPATIDIABTITIK
REFERENSI American Diabetes Association Position Statement: Implications of the United Kingdom Prospective Diabetes Study. Diabetes Care 2003 ;26(Suppl 1):S28-S32.
Boulton AJM. Management of diabetic peripheral neuropathy. Prescribers' Journal 2000;40:107 -12.
DCCT Research Group. N Eng J Med 1993;329:977-86. Duby JJ., Campbell RK., Setter SM., dkk. Diabetic neuropathy: an intensive review. Am J Health-Syst Pharm 2004;61(2):160t7 6. Feldman EL., Stevens MJ., Greene DA. Diabetic neuropathy. Dalam Diabetes ir the New Millennium. John R Turtle, Toshio Kaneko
and Shuichi Osato (ed). The Endocrinology and Diabetes Research Foundation of the University of Sidney, Sidney, NSW 2006, Australia 1999:387 -402. Jude EB., Boulton AJM. The diabetic foot. Dalam Diabetes Current Perspective. Betteridge DJ (ed). Martin Dunitz Ltd, United Kingdom 2000:179-196.
Lehtinen JM., UUsitupa M., Siitonen O., dkk. Prevalence of
19s1
neuropathy in newly diagnosed NIDDM and non diabetic control subjects. Diabetes 1989;38:1307-1313. Malik RA. Curent and future strategies for the management of diabetic neuropathy. Treat Endocrinol 2003;2(6):389-400. Report and Recommendation of the San Antonio Conference on Diabetic Neuropathy. Diabetes 1 98 8;37 : 1 000-4. Shichiri M., Kishikawa H., Ohkubo Y., dkk. Long-term results of the Kumamoto study on optimal diabetes control in type 2 diabetic patients. Diabetes Care 2000 ;23 (Suppl 2):B2l -829. Tesfaye S., Chaturvedi N., Eaton SEM., dkk. Vascular risk factors and diabetic neuropathy. N Engl J Med 2005;352:341-50. Thomas PK. Classification, differential diagnosis and staging of diabetic peripheral neuropathy. Diabetes 1997;46(suppl 2):554s57. Vinik AI., Park TS., Stansberry KB., dkk. Diabetic neuropathies.
Diabetologia 2000;43 :9 57 -7 3. Vinik AI. Diabetic neuropathy: pathogenesis and therapy. Am J Med 1999; 107(2B):17S-265. Vinik AI. Neuropathy: new concepts in evaluation and treatment. Shouth Med J 2002;95(l):21-3.
305 DIABETES MELITUS GESTASIONAL lohn M.F. Adam, Dyah Purnamasari
PENDAHULUAN
sebelumnya dan kemudian menjadi hamil (Diabetes Mellitus HamiV DMH/ DM pragestasional) dan 2) DM yang baru ditemukan saat hamil (Diabetes Mellitus Gestasional/ DMG). Diabetes melitus gestasional
Publikasi pertama mengenai diabetes melitus dan kehamilan dilaporkan oleh Duncan pada tahun 1982 yang melaporkan sebanyak 22 wanita diabetes melitus hamil. Peel dkkpada tahun 1909 mengumpulkan 66 kasus diabetes melitus hamil, dimana22o/o di antaranya meninggal saat hamil atau l-2 minggu setelah persalinan. Seperdelapan dari kehamilan berakhir dengan abortus, sedang sepertiga
dari kehamilan aterm melahirkan bayi yang mati. Kecenderungan kematian ibu dan janin yang tinggi berkurang setelah ditemukan insulin pada tahun 1922.
didehnisikan sebagai suatu intoleransi glukosa yang te{adi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi intoleransi
glukosa. Meskipun memiliki perbedaan pada awal
Setelah era insulin angka kematian ibu menurun dengan mencolok, dari 45% menurun sampai hanya 2%(garrrbarl). Namun demikian angka kematian perinatal menurun sangat lambat, dari angka kematian sekitar 80o/o menurun sampai mencapai sekitar 3-5% di sentra yang maju.
perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe I dan 2 yang hamil maupun DMG memiliki penatalaks ar:aar.yang kurang lebih sama. Prevalensi diabetes melitus gestasional sangat bervariasi
Menurunnya angka kematian perinatal disebabkan karena penatalaksanaan diabetes melitus yang semakin
terutama dari kriteria diagnosis yang digunakan. Dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu yang digunakan oleh American Diabetes Association prevalensi berkisar antara 2-3%o.Perclitian di Makassar menggunakan kriteria yang sedikit berbeda melaporkan angka prevalensi sebesar 2,0%. Ksanti melakukan studi retrospektif pada37 wanita hamil
baik, antara lain melalui penatalaksanaan terpadu, adanya insulin jenis baru, dan diperkenalkannya cara memantau glukosa darah sendiri oleh pasien untuk mencapai kendali glikemik yang ketat. Pada saat ini di sentra yang maju pasien diabetes melitus hamil diperlakukan sebagai kehamilan dengan risiko tinggi, karena itu perlu pentalaksanaan terpadu antara ahli penyakit dalam/endokrinologis, ahli obstetri-ginekologi, dan ahli gizi. Dengan penatalaksanaan diabetes melitus yang semakin baik, komplikasi perinatal akan lebih ditentukan oleh keadaan normoglikemi sebelum dan selama hamil.
dari
l4Yo, tergantung dari subyek yang diteliti dan
yang dikelola sebagai DMG di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dalam rentang tahun 2000-2003. DMG lebih banyak didapatkan pada usia di atas 32 tahun dan lebih dari 50% memiliki riwayat keluarga DM. Pada kelompok DMG dengan hasil pemeriksaan TTGO menunjukkan TGT (3 dari 37 subyek), semuanya dapat terkendali dengan pengaturan diet saja. Sedangkan pada kelompok yang memenuhi kriteria DM pada pemeriksaan awal (18 dai37 subyek), sebanyak 70%o mendapat terapi insulin. Sedangkan pada kelompok DMG yang meragukan (tidak memenuhi kriteria diagnosis ADA I 9 9 7 maupun Perke ni 2002 untuk DMG), sebanyak
DEFINISI DAN PREVALENSI Secara urnurn,
I-
80% dikelola dengan pengaturan diet saja. Tidak ada
DM pada kehamilan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 1) DM yang memang sudah diketahui
pemakaian insulin analog pada periode tersebut.
1952
1953
DIABETES MELITUS GESTASIOII,AL
B
s
:
s
E
3
E E
.g
e G
G
o
E
Y
o
Y
05 10 15
20
'25 '30
',35
40
',45 '50 ',55 ',60
'65
',70 ',75 '80
Tahun
85
05 10 15 20 25 30 35 40',45'50',55 60 65 70 75 80 Tahun
85
Gambar 1. GambarA memperlihatkan penurunan kematian ibu yang tajam setelah era insulin, dan gambar B tampak penurunan kematian perinatal yang lebih lambat setelah era insulin dibandingkan dengan kematian ibu
PATOFISIOLOGI Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat
peningkatan hofinone-hormon kehamilan (human placental lactogen/ HPL, progesterone, kortisol, prolaktin) yang
mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak berbeda pada patofisiologi DM tipe 2, pada DMG juga terjadi gangguan sekresi sel beta pancreas. Kegagalan sel beta ini dipikirkan karena beberapa hal diantaranya: 1)
autoimun, 2) kelainan genetic dan 3) resistensi insulin kronik. Studi oleh Xiang melaporkan bahwa pada wanita dengan DMG mengalami gangguan kompensasi produksi insulin oleh sel beta sebesar 67%o dlbandingkan kehamilan normal. Ada sebagian kecil populasi wanita ini yang antibody isclet cell (1,6-3,8%). Sedangkan sekitar 5o/o dari populasi DMG diketahuimemiliki gangguan selbeta akibat defek pada sel beta seperti mutasi pada glukokinase. Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adaptif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi ke janin. Resistensi insulin kronik sudah terjadi sebelum kehamilan pada ibu-ibu dengan obesitas. Kebanyakan wanita dengan DMG memiliki kedua jenis resistensi insulin ini yaitu kronik dan fisiologis sehingga resistensi insulinnya biasanya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini akan membaik segera setelah partus dan akan kembali ke kondisi awal setelah selesai masa nifas, dimana kotrsentrasi HPL sudah kembali seperti awal
PENJARINGAN DAN DIAGNOSIS
banyak dipakai diperkenalkan oleh American Diabetes Association dan umumnya digunakan di negara Amerika Utara, dan kriteria diagnosis dari WHO yang banyak digunakan di luarAmerika Utara.
Kriteria American Drabefes As sociation Americ an D iab etes As s ociation menggunakan skrining diabetes melitus gestasional melalui pemeriksaan glukosa darah dua tahap. Tahap pertama dikenal dengan nama tes tantangan glukosa yang merupakan tes skrining. Pada semua wanita hamil yang datang di klinik diberikan minum glukosa sebanyak 50 gramkemudian diambil contoh darah satu jam kemudian. Hasil glukosa darah (umumnya contoh darah adalah plasma vena) > 140 mg/dl disebut tes tantangan positif dan harus dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tes toleransi glukosa oral. Untuk tes toleransi
glukosa oral harus dipersiapkan sama dengan pada pemeriksaan bukan pada wanita hamil. Perlu diin gat apabila
pada pemeriksaan awal ditemukan konsentrasi glukosa plasma puasa > 126 mgldl atau glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl, maka mereka hanya dilakukan pengulangan tes darah, apabila hasilnya sama maka diagnosis diabetes melitus sudah dapat ditegakkan dan tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa oral. Unhrk tes toleransi glukosa oral American Diabetes Associationmengusulkan dua jenis tes yaitu yang disebut tes toleransi glukosa oral tiga jam, dan tes toleransi glukosa oral duajam. Perbedaan utama ialah jumlah beban glukosa, yaifi pada yang tiga jam menggunakan beban glukosa 100 gram sedang yang pada dua jam hanya 75 gram
(Gambar2) Berbeda dengan diabetes melitus yang sudah mempunyai
Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk
keseragaman kriteria diagnosis, diabetes melitus gestasional sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai kriteria diagnosis mana yang harus digunakan. Pada saat ini terdapat dua kriteria diagnosis yaitu yang
menyatakan diabetes melitus gestasional, baik untuk tes
toleransi glukosa tiga jam maupun yang hanya dua jam berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka yang abnormal (Tabel 1).
1954
METABOLIKENDOKRIN
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa
> 126 mg/dl danJatau 2 jam setelah beban glukosa > 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu. Definition, Diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complications. Report of a WHO Consulplasma puasa
Hasil tes toleransi glukosa oral 3 jam dengan beban glukosa 100 gr (mg/dl)
Hasil tes toleransi glukosa oral2jam dengan beban glukosa 100 gr (mg/dl)
Puasa 'l jam
OE
Puasa
95
tation. WorldHealth Organization, Geneva 1999 (TechRep
'180
1-jam
180
Ser 894).
2-
jam
155
2-
155
3-jam
140
-
jam
Diagnosis diabetes melitus gestasional ditegakkan apabila ditemukan dua atau lebih angka yang abnormal
Wanita dengan diabetes melitus gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan, sehingga perlu dilakukan skrining. Oleh karena hanya sekitar 3 -4% daiwanta hamil
Wanita hamil
I
yang menjadi diabetes melitus gestasional, menjadi
Glukosa 50 gr
< 140
Siapa yang Harus Diskrining dan Kapan Harus Diskrining
mgo/o
> 140 mg%
IJ
TTGO-2jam
Normat -
100 (75) gr glukosa
pertanyaan apakah semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus gestasional atau hanya pada mereka yang dikelompokkan sebagai risiko tinggi. Penelitian di Makassar olehAdamdari20T4 wanita hamil yang diskrining ditemukan prevalensi 3,0o/o pada mereka yang berisiko tinggi dan hanya 1,2%o pada mereka yang
tanpa risiko. Sebaiknya semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus gestasiohal. Gambar 2. Tes toleransi glukosa oral 2 jam dengan beban glukosa 75 g
KRITERIA DIAGNOSIS MENURUT WHO
WHO dalam buku Diagnosis and classification of Diabetes mellitus tahun 1999 menganjurkan untuk diagnosis diabetes melitus gestasional harus dilakukan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukos a 7 5 gram. Kriteria diagnosis sama dengan yang bukan wanita hamil yaitu puasa > 126 mgldl dan dua jam pasca beban > 200
mg/dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu didiagnosis juga sebagai diabetes melitus gestasional. (Tabel 2)
Beberapa klinik menganjurkan skrining diabetes melitus gestasional hanya dilakukan pada mereka dengan risiko tinggi diabetes melitus gestasional. Pada mereka dengan risiko tinggi, skrining sebaiknya sudah dimulai pada saat
pertama kali datang ke klinik tanpa memandang umur kehamilan. Apabila hasil tes normal, maka perlu dilakukan tes ulangan pada minggu kehamilan antara24-28 minggu. Sedang pada mereka yang tidak berisiko tinggi tidak perlu dilakukan skrining. Faktor risiko DMG yang dikenal adalah: a. Faktor risiko obstetri Riwayat keguguran beberapa kali Riwayat melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan Riwayat melahirkan bayi > 4000 gram Riwayatpre eklamsia
Polihidramnion
b. Riwayatumum Glukosa plasma puasa
Normal
Glukosa puasa Diabetes
<110 mgidl > 110 mg/dl - < 126 mg/dl > 126 mg/dl
terganggu
melitus
Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral
Normal
< 140 mg/dl Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl - < 200 mg/dl sedang puasa < 126 mg/dl Diabetes melitus
2 200 mg/dl
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa 2 126 mgldl dan/atau 2 jam setelah beban glukosa > 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu Definition, Daagnosls and classification of diabetes mellitus and its complications. Repoft of a WHO Consultation. World Health Organization, Geneva 1999 (Tech Rep Ser 894)
Usia saat hamil > 30 tahun Riwayat DM dalam keluarga Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya Infeksi saluran kemih berulang saat hamil Di Indonesia, untuk dapat meningkatkan diagnosis lebih
baik, Perkeni menyarankan untuk melakukan penapisan pada semua ibu hamil pada pertemuan pertama dan mengulanginya pada usia kehamllan26-28 minggu apabila hasilnya negatif.
Perkeni memodifikasi cara yang dianjurkan WHO dengan menganjurkan pemeriksaan TTGO menggunakan 75 gram glukosa dan penegakan diagnosis cukup melihat
1955
DIABETES MELXTUS GESTASIOI,TAL
hasil pemeriksaan glukosa d arah 2 jam pasca pembebanan glukosa. Seperti yang tercantum pada consensus Perkeni 2006, persiapan TTGO adalah sebagai berikut: - Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
-
Berpuasapaling sedikit delapanjam (mulai malamhari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diberikan glukosa 75 gramyatgdilarutkan dalam250 ml air dan diminum dalam waktu lima menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan dua jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa konsentrasi glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
beristirahat dan tidak merokok.
berolah ruEa agar dapat mendeteksi kontraksi subklinis dan bila ada segera menghentikan olah raganya. Namun, mengingat dampak positif yang didapat dengan berolah raga (penurunan Alc, glukosa puasadan I jam post prandial), ADA menyarankan untuk melanjutkan aktifits fisik sedang pada ibuhamil tanpa kontraindikasi medis maupun obstetric. Sasaran glukosa darah yang ingin dicapai adalah konsentrasi glukosa plasma puasa puasa < 105 mg/dl dan dua jam setelah makan < 120 mgldL Apabila sasaran tersebut tidak tercapai maka perlu ditambahkan insulin. Beberapa klinik menganjurkan apabila konsentrasi glukosa
plasma puasa > 130 mg/dl dapat segera dimulai dengan insulin (Gambar 3).
. cDP < 130
GDP > 130 mg/dl
I
Hasil pemeriksan TTGO dibagi menjadi 3 yaitu: - Glukosadarah2jam
- Glukosadarah2jam>2}}mgldL )
mg/dl
Perencanaan Makan 1 minggu
DM
Pada kehamilan, subyek dengan hasil pemeriksaan TTGO memrnjukkan TGT akan dikelola sebagai DMG
PENATALMSANMN DAN TARGET PENGENDALIAN Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit dalam, spesialis obstetric
ginekologi, ahli gizi dan spesialis anak. Tujuan penatalaksa naan adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Penggunaan obat hipoglikemi oral sejauh ini tidak direkomendasikan. Beberapa ahli tidak mutlak melarang penggunaan OHO pada kehamilan untuk daerah-daerah terpencil dengan fasilitas kurang dan belum ada insulin. Penatalaksanaan harus dimulai dengan terapi nutrisi medik yang diatur oleh ahli gizi. Secara umum, pada
trimester pertama tidak diperlukan penambahan asupan kalori. Sedangkan pada ibu hamil dengan berat badan normal secaraumum memerlukan tambahan 300 kcal pada trimester kedua dan ketiga. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30 kcal/berat badan saat hamil' Pada mereka yang
obes dengan indeks massa tubuh > 30 kglm2 maka pembatasan kalori perlu dilalarkan yaitujumlah kalori hanya 25 kcall kg berat badan. Asupan karbohidrat sebaiknya terbagi sepanjang hari untuk mencegah ketonemia yang berdampak pada perkembangan kognitif bayi' Aktifitas fisik selama kehamilan sempat menjadi topik yang kontroversial karena beberapa tipe olah raga seperti sepeda ergometer, senam erobik dan treadmill dapat memicu kontraksi uterus. Para ahli menyarankan pada setiap ibu hamil yang sedang berolah raga untuk meraba perut selama
GDP < 105 dan GD 2 jam setelah makan < 130
II
Teruskan perencanaan makan
GDP > 105 dan GD 2 jam setelah makan > '130
"'
Perencanaan makan + insulin
Gambar 3. Bagan penatalaksanaan diabetes melitus gestasional
Jenis insulin yang dipakai adalah insulin human. Insulin analog belum dianjurkan untuk wanita hamil mengingat struktur asam aminonya berbeda dengan insulin human. Perbedaan struktur ini menimbulkan perbedaan afinitas ar,tara insulin analog dan insulin human terhadap reseptor insulin dan reseptor IGF-I. Mengingat ke qa Human Placental Lactogez (HPL) melalui reseptor IGF- 1, maka perubahan afinitas ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi janin atau kehamilan. Beberapa studi tentang pemakaian insulin lispro menunjukkan dapat memperbaiki profil glikemia dengan episode hipoglikemia yang lebih sedikit, pada usia kehamilan 14-32 minggt. Namun dirasa masih perlu penelitian jangka penjang untuk
menilai keamanannya pada kehamilan dan FDA mengkategorikan keamanannya di tingkat B.
Dosis dan frekuensi pemberian insulin sangat tergantung dari karakteristik rerata konsentrasi glukosa darah setiap pasien. Berbeda dengan diabetes hamil pragestasional, pemberian insulin pada diabetes melitus gestasional selain dosis yang lebih rendahjuga frekuensi pemberian lebih sederhana. Pemberian insulin kombinasi
kerja singkat dan kerja sedang seperti Mixtard (Novo-Nordik) atau Humulin 30-70 (Eli Lilly) dilaporkan sangat berhasil.
1956
Kendali glikemik ketat sangat dibutuhkan pada semua wanita diabetes melitus dengan kehamilan. penting sekali memantau glukosa darah sendiri oleh pasien di rumah, terutama pada mereka yang mendapat suntikan insulin. Pasien perlu dibekali dengan alat meter (Reflectance meter)
untuk memantau glukosa darah sendiri di rumah. Penggunaan HbAlc sebagai pemantauan belum menunjukkan dampak yang signifikan dalam kendali glukosa darah.
METABOLIKENT'OKRIN
toleransi glukosa pasca melahirkan pada kelompok wanita
hamil dengan gangguan toleransi glukosa selama kehamilan. Hasil studi tersebut menyarankan untuk mengulang pemeriksaan skrining TTGO pada 6 minggu post parhrm dan setiap tahun setelahnya. Studi di Ujung Pandang dengan lama pemantauan selama 6 tahun pada 46 wanita pasca DMG melaporkan angka kejadian DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu sebesar 56,6%. Mengingat diabetes melitus gestasional mempunyai risiko tinggi untuk mendapat diabetes melitus di kemudian hari, maka disepakati agar enam minggu pasca persalinan
KOMPLIKASI PADA IBU DAN ANAK
harus dilakukan tes toleransi glukosa oral untuk mendeteksi adanya diabetes melitus, glukosa puasa
Dibandingkan dengan diabetes melitus pragestasional, komplikasi pada ibu hamil diabetes melitus gestasional sangat kurang. Komplikasi dapat mengenai baik ibu
terganggu, atau toleransi glukosa terganggu. Apabila hasil tes toleransi glukosa oral normal, maka dianjurkan untuk
maupun bayinya. Komplikasi yang dapat ditemukan pada ibu antara lain preeklamsi, infeksi saluran kemih, persalinan seksio sesaria, dan trauma persalinan akibat bayi besar. Hasil penelitiain di Ujung Pandang dari 40 pasien diabetes melitus gestasional yang dipantau selama3,5 tahun, seksio sesaria dilakukan sebanyak 17,5yo. Komplikasi pada bayi antara lain makrosomia, hambatan
pertumbuhan janin, cacat bawaan, hipoglikemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia, hiperbilirubinemia, polisitemia hiperviskositas, sindrom gawat napas neonatal. Komplikasi yang paling sering adalah terjadinya makrosomia, hal ini mungkin karena pada umumnya diabetes melitus gestasional didiagnosis agak terlambat terutama di negara kita. Selain komplikasi jangka pendek, juga teradapat komplikasi jangka panjang. Pada anak. dapat terjadi gangguan toleransi glukosa, diabetes dan obesitas, sedangkan pada ibu adalah gangguan toleransi glukosa sampaiDM.
PEMANTAUAN PASCA PERSALINAN Mestman et al (1972)meneliti kekerapankejadian gangguan toleransi glukosa pasca persalinan sampai dengan lima
tahun kemudian pada 360 wanita hamil. Pada masa kehamilan, sebanyak 51 subyek (14,2%) memiliki peningkatan glukosa darah puasa, l8l subyek (50,3%) memiliki hasil pemeriksaan TTGO abnormal, 90 subyek (25%) memiliki hasil positif pada Prednisolone Glucose Tblerance ksl (PGTT) dan 38 subyek (10,5%) sisanya normal. Pada kelompok dengan GDP menrns
PGTT positif dan normal, pada periode pemantauan, sebany ak 22,6Yo; 47,7 Yo dan 89%o tetap menunjukkan hasil normal. Ini menunjukkan tingginya kekerapan gangguan
tes ulangan setiap tiga tahun. Bagi mereka dengan glukosa puasa terganggu dan toleransi glukosa terganggu harus dilakukan tes ulangan setiap tahun. Perlu dilakukan studi epidemiologis untuk menghitung kekerapan kejadian TGT dan DM tipe 2 pada subyek DMG dan faktor-faktor yang dapat dijadikan prediktornya, mengingat ras Asia memiliki risiko kejadian DMG lebih tinggi dibandingkan ras kaukasia dan perubahat gaya hidup yang mengarah ke sedenter pada dekade terakhir.
REFERENS! Adam JMF. Diabetes melitus gestasional: inseidens, karakteristik ibu dan hasil perinatal. Penelitian Universitas Hasanuddin, 1989 American Diabetes Association. Clinical practice recommendations. Diagnosis and classifrcation of diabetes me1litus. Diabetes Care 2004;27 (suppl 1): Ss - S10. Buchanan T. Gestational diabetes mellitus. Therapy for diabetes mellitus and related disorders 4th ed. Lebovitz HE (ed), 1992:
20-8. Konsensus diagnosis dan penatalaksanaan diabetes melitus gestasional. Persatuan Endokrinologi Indonesia, 1997. Metzger BE, Coustan DR (Eds): Proceedings of the fourth international workshop - conference on gestational diabetes mellitus.
Daibetes Care 1998; 21 (suppl 2):Bl -8167. Reece EA. The history of diabetes mellitus. Diabetes mellitus in pregnancy 2nd ed. Reece EA, Coustan DR, 1995; 1 - 10.
Report of a WHO Consultation. World Health Organization, Geneva 1999 (Tech Rep Ser 894) Weiss PAM. Gestational diabetes: a survey and the graz approach to diagnosis and therapy. Weiss PAM, Coustan DR (eds). Gestational Diabetes 1988; I - 55. Mestman JH, Aaderson GV, Guadalupe V. Follow up study of 360 subjects with abnormal carbohydrate metabolism during pregnancy. Obstetric Gynecology 1972;39 (3): 421-5. Retnakaran R, Hanley AJG, Connely PW, Sermer M, Zinman B. Ethnicity modifies the effect of obesity on insulin resistance in pregnancy: A comparison ofAsian, South Asian and Caucasian women. J Clin Endocrinol Metab 2006; 9l:93-7. Setji TL, Brown AJ, Feinglos MN. Gestational Diabetes Mellitus. Clinical diabetes 2005; 23l.17-24
307 DIABETES MELITUS DALAM PEMBEDAHAN Supaftondo
PENDAHULUAN
TINDAKAN BEDAH MAYORDAN MINOR
Dengan bertambahnya jumlah penduduk berusia lanjut di seluruh dunia, jumlah pengidap diabetes melitus tipe 2
Tindakan bedah mayor menimbulkan reaksi stres yang besar, mengakibatkan penghentian makan dan biasanya berarti membuka rongga perut, dada dan tengkorbk.
yang terutama ditemukan pada usia dewasa tua juga
Tindakan bedah minor biasanya menggunakan bius
bertambah.
Hal ini terungkap pada survei diAmerika Serikat yang menghasilkan kenaikan prevalensi DM tipe 2 dai 8,9o/o (
1 976980) ke 12,3% (1988-1990).
1
Walaupun menggunakan batas umur yang berbeda, survei epidemiologi di Jakarta juga menemukan peningkatan dai 1,7 Yoke 5,7 o/o dalamktrrnwaktu 1 0 tahun (1992 - 1993
dal200l-2002). Peran pengetahuan tentang patofisiologi yang makin
lengkap serta penggunaan obat antidiabetes yang baru seperti analog insulin (insulin lispro, insulin glargine) dan repaglinid, troglitason di samping obat lama, telah berhasil memperpanjang. umur pengidap diabetes. Di antaranya mungkin bertambah jumlah pasien yang pada suatu saat perlu mengalami pembedahan. Tanpa maksud mengecilkan segi persiapan mental pada seseorang yang akan mengalami pembedahan, tulisan ini mendahulukan aspek klinis operasi.
Tetap perlu diingatkan bahwa petunjuk yang
setempat atau endoskopi dan biasanya kesempatan makan
tidak terlalu lama mundumya. Sekarang tindakan dengan rawat siang kurang dari 14 jam juga termasukjenis minor. Penggolongan tindakan seperti ini berakibat cara kerja yang kurang ketat tentang penilaian pra bedah. Sebaiknya tindakan dianggap "berisiko tinggi" dan "rendah", bergantung pada tingkat pengendalian glukosa darah, jenis komplikasi yang ada dan sifat tindakan.
PENILAIAN PRA BEDAH Jenis Diabetes dan Tingkat Pengendalian Glukosa DM tipe
I
perlu insulin. Pada DM tipe 2 insulin kadang-
kadang dapat ditangguhkan sesudah tindakan singkat selesai.
Periksalah catatarr konsentrasi glukosa darah, konsentrasi glukosa sewaktu, fruktosamin (pengendalian 2-3 minggu sebelumnya), Hb^. (Pengendalian 2-3bulan
diterima oleh pasien yang akan menjalani tindakan di klinik
sebelumnya). Catatan glukosa darah sebaiknya berupa
siang seperti endoskopi usus (tumor ganas?),
konsentrasi puasa, postprandial dan sebelum makan' Bila pengendalian tidak baik, pembedahan mungkin perlu diundur untuk menetapkan dosis baru insulin atau dosis insulin sesudah beralih dari obat hipoglikemiaa oral
angiografi koroner, pemasangan stent, umumnya menyebutkan supaya pasien datang dalam keadaan puasa, menghentikan semua obat (termasuk insulin !). Dengan sendirinya timbul hiperglikemia sesudah tindakan yang disebut tadi, suatu akibat yang tidak perlu.
Segi persiapan mental akan membahas perlunya menghubungi dokter primer yang biasa menangani pasien diabetes ini.
(oHo).
OHO kerja panjang seperti klorpropamid dan glibenklamid harus diganti dengan OHO kerja pendek tanpa metabolit yang bersifat hipoglikemiaa seperti gtipizia, gliklazid,atau OHO kerja sangat singkat seperti repaglinid.
1957
1958
MEf,ABOI.JKENT'OKRIN
Komplikasi Diabetes
Cara Pemberian lnsulin
Pada tindakan ringan harus dipastikan penyakit jantung iskemia, hipertensi, nefropati, infeksi saluran kemih dan neuropati. Pemeriksaan klinis rutin dilengkapi pemeriksaan laboratorium sederhana termasuk EKCI tes fungsi ginjal
Para ahli mencatat4 carapemberian insulinpada anestesia
dan elektrolit.
Perlu diingat kemungkinan iskemia otak dan hipotensi
posturnal serta gangguan sirkulasi kaki. Pada tindakan bedah mayor seperti cangkok ginjal dan bedah vaskular, pemeriksaan jantung harus lebih lengkap seperti isotope exercise lesl untuk menyingkirkan penyakit jantung iskemia dan gated isotope heart scan atau USG jantung (ECHO) untuk menilai firngsi miokard. Pada bedah pintasjantung atau bedah vaskular dengan
dan pembedahan. . Infus insulin dan glukosa terpisah. . Infus glukosa - insulin - kalium kombinasi. . Secara intermiten bolus insulin kerja pendek i.v. atau subkutan.
.
Kombinasi insulin kerja pendek dan intermediet subkutan dengan dosis 30-50 % di bawah dosis seharihari bila pasien makan.
Cara dengan infus lebih sering dipakai dan terutama cara infus terpisah lebih luwes.
risiko hipotensi pemeriksaan Doppler Ultrasound lnsulin regular 25 U dalam 250 ml NaCl 0,9 % (lV / 10 ml) lnsulin diberikan dalam infus i.v 50 ml diguyurkan ke dalam tabung infus sebelum disambungkan pada pasien. lnfus insulin ini bermuara infus cairan pefloperasr lnfus cairan perioperasi harus berisi glukosa 5 % (laju 100 ml/jam). Glukosa darah (GD) ditetapkan tiap jam selama operasi
pembuluh darah leher juga perlu.
di
PENGENDALIAN METABOLISME SELAMA PEMBEDAHAN
Pengobatan
.
Yangmemerlukaninsulin.
-
Semua pasien yang menggunakan insulin sebelum pembedahan perlu meneruskan insulin selama
tindakan.
.
Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO dan glukosa darah puasa > 180 mg/dl, HbArc > 10olo.
.
Yang kadang-kadang perlu insulin. Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO, glukosadarahpuasa < 180 mgl
.
dL HbAIC < 10% lamapembedahar<2 jamruangtubuh
tidak dibuka boleh makan sesudah operasi
. Metformin
harus dihentikan 2-3 hari sebelum
.
GD < 80 mg/dl: hentikan insulin, bolus glukosa 50 % i.v. (25 ml). Sesudah GD > 80 mg, infus insulin mulai lagi. Mungkin perlu penyesuaian pedoman ini selanjutnya.
Kebutuhan insulin berkurang: pasien dengan diit saja, OHO atau insulin 50 U sehari, penyakit endokrin lain.
Kebutuhan insulin naik: obesitas, sepsis, terapi steroid, cangkok ginjal, pintas koroner jantung.
pembedahan untuk mencegah asidosis laktat dan dapat diganti dengan sulfonilurea sementara.
PEMBEDAHAN RAWATJALAN
Pemantauan Glukosa Selama pembedahan konsentrasi glukosa harus ditetapkan
: 1). Sebelum induksi anestesia; 2). 30 menit sesudah induksi; 3). Setiap 45 menit selama tindakan; 4). Pada akhir tindakan; 5). 30 menit sesudah sadar; 6). Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan. Pemeriksaan glukosa lebih sering (iap 30 menit) bila glukosa > 200 mg/dl dan tiap 1 5 muritjika < 80 mg/dl selama anestesia.
Cara ini dapat menguntungkan pasien, karena ia dapat pulang sesudah tindakan bedah selesai. Walaupun tindakan termasuk bedah minor, ada kemungkinan diperlukan anestesia umum. Dalam hal ini insulin perlu digunakan dan cara infus insulin sebaiknya dipakai. Jika anestesia umum tidak diperlukan, pasien sebaiknya mendapat giliran sepagi mungkin, jadi sebelum atau sesudah makan pagi. Kalau ia harus menunggu lama, penggunaan insulin lalu memakai cara infus insulin. Pedoman untuktindakan bedahminortertera di bawah ini.
lnfus Glukosa Tujuannya ialah pengendalian konsentrasi glukosa dan pencegahan hipoglikemiaa. Juga sebagai pemasok energi
ASUHAN PASCA.BEDAH
unhrkmenekanpembentukan gliserol dan asam lemak serta mengurangi katabolisme protein, yang dapat menghambat pemulihan. Laju infus 0,07 - 0,1 g glukosa/kg/jam temyata
Infus glukosa dan insulin dilanjutkan sampai pasien dapat makan lagi dan kemudian kembali ke cara pengobatan
memadai.
sebelumnya.
1959
DIABETES MELITUS DAI.AM PEMBEDAHAN
Bila infus insulin akan dihentikan, insulin subkutan
emosional menghadapi "serangan" terhadap tubuhnya. pengetahuan tentang kejadian pasca bedah yang dapat diperkirakan, menambah rasa mampu kendali pasien. penjelasan tentang tugas dokter dan karyawan rumah sakit selama masa pasca bedah dapat memberikan gambaran tentang pertolongan yang dapat diharapkan.
.
harus segera disuntikkan, karena insulin i.v. tidakberperan lagi sejak 30 menitpenghentian infus. Bagaimanakitamulai dengan terapi insulin pasca bedah ?
.
G avin memakai cara berikut : . Hitung jumlah insulin selama24 jam(:dosis lama) . Dosis baru ialah 80- 100 % jumlah ini, diberikan sebagai insulin reguler sebelum makan pagi (25 o/o), sebelum makan siang (25 %) sebelum makan malam (25 %), o/o) seb agai NPH. s eb elum tidur (2 5 . Tujuan : GD 120 -220 mg / dl. . Diteruskan untuk mendapat dosis insulin tepat, atau dosis sebelum pembedahan.
PROSES PENJAJAGAN PERSETUJUAN Diabetes melitus sudah sering ditemukan di Indonesia seperti dijelaskan sebelum ini. Pasien tanpa komplikasi biasanya dikelola oleh dokter umum atau spesialis penyakit dalam.
Bila timbul komplikasi akut dokter umum merujuk pasien Pasien dengan insulin
Pasien dengan OHO
DM tipe 1 dan DM tipe 2
Hentikan OHO pagi Periksa GD sebelum dan sesudah tindakan Berikan OHO petang Jarang perlu insulin Bila perlu berikan sesuai pedoman ini :
lnfus insulin GD diperiksa tiap 2-4 jam DM tipe 2 (< 50 U /hari) Hentikan insulin intermediet pagi, ganti dengan insulin requler GD
(mg / dl)
<'120 't20 161 201
-200
6
240 > 240
dokter primer (dokter umum atau - dokter konsulen (spesialis tercapainya persetujuan. akan mempermudah bedah) ke tiga unsur : pasien
-
spesialis penyakit dalam)
1.
0
4
-
sesudah penjelasan awal disampaikan. Kerja sama antara
lnsulin reguler (U) (subkutan tiap 6 jam)
160
-
ke spesialis penyakit dalam. Jika masalahnya perlu pembedahan rujukan diteruskan ke spesialis bedah
2.
8
10
3.
4. 5.
Arti dan tujuan tindakan akan ditentukan dan dijelaskan dalam bahasa awam. Risiko, kendala, budaya dan masalah masa pemulihan akan dibeberkan sehingga semua keterangan yang diperlukan untuk penetapan keputusan oleh orang wajar, disampaikan. Kemungkinan cara pengobatan lain akan dijelaskan. Semua pertanyaan pasien dijawab. Barulah, persetujuan tanpa tekanan dapat diberikan.
Rockwell, 1979 GD sebelum makan (mg / dl)
<80 81 121 181
- 120 - 180
- 240 241 -300 > 300
Dosis baru
(insulin reguler) Kurangi 4 U Kurangi 3 U Dosis lama Ditambah 2 U Ditambah 3 U Ditambah 4 U
PENUTUP Prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkat di seluruh dunia, juga di Indonesia.
Penggunaan obat baru a.l. generasi ke 2 dan ke 3 sulfonilurea, repaglinid, troglitazon berhasil mengatur
PERSIAPAN PASIEN SECARA PSIKOLOGIS Keadaan sakit merupakan sesuatu yang memberatkan pasien apalagi jika ia perlu menjalani pembedahan. Warga masyarakat yang sudah maju dengan mudah mendapat pengetahuan berbagai bidang dan akan meminta penjelasan tentang perlunya pembedahan. Pengetahuan akan menambah kekuatan ke arah positif, kata Maslow,
seorang psikolog dan mengurangi kemungkinan perjalanan pasca bedah yang buruk. Informed Consent (izin berdasarkan pemahaman) dari pasien membuka
.
3j
alan
:
pembahasan risiko dan manfaat tindakan bedah menolong pasien mempersiapkan dirinya secara
konsentrasi glukosa darah. Penambahan umur pasien diabetes menambah kemungkinan perlunya tindakan bedah karena suafu sebab suatu saat. Cara pengelolaan diabetes pdda tahap pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dijelaskan. Kerja sama antara pasien, dokter primer (dokter umum, spesialis penyakit dalam) dan dokter korlsulen (spesialis
bedah, anestetis) sangat penting.
REFERENSI Colagiuri S. Diabetes and surgery theory and practice. In Baba S et al (eds) Diabetes 1994. Proceedings l5ti IDF Congress, Kobe 1994. A 'dam : Elsevier, 1995,p,649 - 52.
1960
Diabetes towards the new Millennium (abstract), 3'd IDF Western Pacific reg. Congress 1996 Hongkong; 1996. p.9O - 4.
Gavin LA.Perioperative management of the diabetic patient.Endocrin Metab Clin North An 1992; 2l : 457- 471.
Kidson W. Surgery, Anesthesia and Diagnostic Procedures in Diabetes. In Diabetes in the New Millennium, Endocrin Diab Res Found, Univ Sydney 1999.p.495-504. NHANES II, Diabetes 1987 ; 36 : 523-534. b. NHANES III,
Diabetes Care 1998; 2l :518 -24. Rockwell DA and Papitone - Rockwell F. The emotional impact of surgery and the value of informed consent. Med Clin North Am
1979:63 : L34l-52.
METABOLIKENDOICtr{
307 KAKI DIABETES Sarwono Waspadji
PENDAHULUAN
usaha menormalkan konsentrasi glukosa darah unfuk mencegah terjadinya berbagai komplikasi DM tipe 2 sudah
Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja
terbukti pada berbagai penelitian epidemiologis skala besar dan lama seperti misalnya pada UKPDS. Hiperglikemia pada DM dapat terjadi karena hiasukan karbohidrat yang berlebih, pemakaian glukosa dijaringan
insulin atau keduanya. Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di kota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja
tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang
angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes, yang akan menj adi topik bahasan utama kali ini. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada
terjadinya hiperglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat dalam usaha untuk menurunkan
semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren
bertambah, serta akibat insulin berkurang jumlah maupun
kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme asal
konsentrasi glukosa darah sampai batas yang aman untuk menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.
Pilar pengelolaan diabetes terdiri dari penyuluhan, perencanaan makan yang baik, kegiatan jasmani yang
memadai dan penggunaan obat berkhasiat menurunkan konsentrasi glukosa darah seperti golongan sekretagog insulin (sulfonilurea, repaglinid dan nateglinid), golongan metformin, golongan inhibitor alfa glukosidase, golongan tiazolidindion dan insulin. Dengan mengkombinasikan berbagai macam obat berkhasiat menurunkan konsentrasi glukosa darah, akan dapat dicapai sasaran pengendalian konsentrasi glukosa darah yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik DM.
diabetes.
Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis terj adinya komplikasi DM. Di antaranya yang terkenal adalah teori jalur poliol, teori glikosilasi dan terakhir
KAKIDIABETES
semuanya masih berpangkal pada kejadian hiperglikemia, sehingga usaha untuk menurunkan terjadinya komplikasi DM harus dilakukan dengan memperbaiki, mengendalikan
Kaki diabetes merupakan salah satukomplikasi laonikDM yang paling ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masihmerupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit
dan menormalkan konsentrasi glukosa darah. Manfaat
sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum
adalah teori stress oksidatif, yang dikatakan dapat menj elaskan secara keseluruhan berbagai teori sebelumnya
(unifying mechanism). Apapun teori yang dianut,
t96r
1962
ada pendidikan khusus untuk mengelola kaki diabetes (podiatrist, chiropodistbelum ada). Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat
mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya masalah kaki diabetes.
Di negara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan
sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85o/o dari sebelumnya. Tahun 2005 International Diabetes Federation mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat
pentingnya pengelolaan kaki diabetes untuk dikembangkan. Di RSUPN dr CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16 %o dat25 %o (dataRSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3 Yo akan meninggal dalam setahun pasca amputasi,dan sebanyak 37 o/o akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
PATOFISIOLOGI KAKI DIABETES Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (gambar patofisiologi terjadinya kaki diabetes-lampiran).
KLASIFIKASI KAKI DIABETES Ada berbagai macam klasifrkasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kingb
College Hospital London, Klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga klasihkasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu
MEIABOIJKENDOICIN
klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic Fool (Klasifikasi PEDIS 2003-lihat lampiran). Adanya klasifrkasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudahpara
peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apayang lebih dominan,
vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat terhrju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya
kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitivefoot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan. Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes @dmonds 2004-2005):
. .
. . . .
Stagel:NormalFoot Stage 2: High Risk Foot Stage 3 : Ucerated Fool Stage 4: Infected Foot Stage 5 : Necrotic Fool Stage 6 : Unsalvable Foot
Unhtk stage I dan2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat dikefakan pada pelayanan kesehatan primer, baik olehpo diatrist/chiropodlst maupun oleh dokter umum/dokter keluarga. UnJl.k stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan
di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan perawatan
spesialistik.
Unitk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskularlahli bedah plastik dan rekonstruksi. Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat b erbagai faktor yang yang harus dikendalikan, yaitu:
' . . . . .
mechanical Control-Pressure Control metabolic Control vascular Control educational Control wound Control microbiological Control-Infection Control
Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya pada stadium I dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control behtm diperlukan, sedangkan untuk untuk stadium 3 dan selanjutnya tentu semua faktor tersebut harus dikendalikan, disertai keharusan adanya kerjasama multidisipliner yalg
1963
KAKIDIABETES
baik. Sebaliknya, untuk stadium I dan 2, peran usaha pencegahan untuk tidak terjadi ulkus sangat mencolok. Peran rehabilitasi medis dalam usaha mencegah te{adinya ulkus dengan usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki memakai alas kaki khusus, serta berbagai usaha unhrk zon weight bearing lain merupakan contoh usaha yang yang sangat bermanfaat untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang terjadi pada kaki diabetes.
terj adinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah.
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki yang kurang merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus meng€nai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.
Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
PENGELOLAAN KAKI DIABETES Pengelolaankaki diabetes dapat dibagimenjadi kelompok besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahat agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi). 2
memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus y ang complicated, tenlt saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha pencegahan sekunder yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
PENCEGAHAN SEKUNDER
PENCEGAHAN PRIMER
Pengelolaan HolistikUlkus/Gangren Diabetik Kiat-kiat Pencegahan Teriadinya Kaki Diabetes Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli
perawatan kaki, maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik. Berb agaikejadran/tindakan kecil yang tampak sepele dapat mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan yang tampaknya
sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar. Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan sepatu dan kausnya.
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar risiko terjadinya dan risiko besamya masalah yang
mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko terjadinya masalah (Frykberg): 1). sensasi normal tanpa deformitas; 2). sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi; 3). insensitivitas tanpa deformitas; 4). iskemia tanpa deformitas; 5). kombinasi/ complicated: (a) kombinasi insensitivitas, iskemia danlatau deformitas, (b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot. Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama'multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama:
. . . . . .
mechanical Control-Pressttre Control
wound Control microbiological Control-Infection Control vascular Control metabolic Control educational Control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal di bawah ini merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat
pencegahan sekunder dan tersier,yaitu pengelolaan optimal ulkus/gangren diabetik
Keadaan umum pasien harus Konsentrasi glukosa darah diperbaiki. dan diperhatikan
Kontrol metabolik.
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentasi glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki.
Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki , seperti konsentrasi albumin serum, konsentrasi Hb dan
derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki.
Kontrol vaskular. Keadaan vaskular yang buruk tentu akan
1964
MEIABOLIKENDOIGIN
menghambat kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan arteri Dorsalis Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta ditambah pengukuran tekanan darah; Di samping itu saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara non-invasifmaupun yang invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure,T:PO2, dart
pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan arteriografi.
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vakular, yaitu berupa:
Modifikasi Faktor Risiko
. .
Stop merokok
Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis . Hiperglikemia
. .
Hipertensi Dislipidemia
Walking Program - Latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi oleh jajaran rehabilitasi medik.
Terapi Farmakologis
bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya. Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun demikian masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes. Wound control. Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dike{akan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, danjuga letak luka tersebut. Dressingyarrg mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif. Demikian pula
hydrophilic
fiber dressing
atau
silver impregnated
dressing akan dapat bermanfaat unhk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa tindakan debridemen
yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan htka. Debridementyangbaik dan adekuattentu akan sangat
membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain fiantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan
mengurangi mikroba pada luka, sqlerti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara
bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi,
penyandang DM.
Revaskularisasi Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau
ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular - PTCA. Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal
debridemen non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
dressing seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja
untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranj ak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi. Unhrk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat perawatan kaki diabetes.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan untvk wound control seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat kesembuhan luka, Bahkan ada dilaporkan
1965
KAKIDIABETES
terapi gen nntuk mendapatkan bakteri E coli yang dapat menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pula dilaporkan pemakaian maggot (belatung) lalat (lalat hijau) untuk membantu membersihkan luka. Berbagai laporan tersebut umumnya belum berdasar penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.
Microbiologicul control Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda.
Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta data terakhir memrnjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar, umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob dan anerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RS. Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarla, umumnya didapatkan pola kuman
keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luk a y ang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi k6cacatan yang mugkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagipara amputee menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih
buruk daripada ulkus yang pertama.
yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus
diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metqnidazsl). Pressure controL Jkatetap dipakai untuk be{alan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian
plantar seperti luka pada kaki Charcot. Peran jajatan rehabilitasi medis pada tsaha pressure control ini juga sangat mencolok.
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing dapat dilakukan antara lain dengan: . Removable cast walker . Total contact casting
. . . . . .
Temporary shoes
Felt padding Crutches Wheelchair Electric carts
Craddled insoles
Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti: l). Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses, 2). Prosedur koreksi bedah seperti
operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
Education control. Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun
REFERENSI American Diabetes Association Expert Committee. Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Carc 1997 :20-1783American Diabetes Association. Peripheral Arterial Diseas.e,.in People
with Diabetes. Diabetes Carc 2003;26(12): 3333-41.
Boulton AJM. The Diabetic Foot. Medicine International 2002;2(1):36-40. Edmonds ME, Foster AVM, Sanders LJ. A Practical Manual of Diabetic Footcare. Blackwell Publishing Ltd. 2004. Edmonds ME, Foster AVM. Managing the Diabetic Foot. Second edition. Blackwell Pubiishing Ltd. 2005. Flakol PJ, Carlson M, Cherington A. Physiologic action of insulin. Dalam: Diabetes Mellltus. A Fundamental and Clinical Text. LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM (eds)' Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincot- Williams & Wilkins; 2000. p.148-61 Giugliano D, Ceriello A. Paulisso G Oxidative stress and diabetic vascular complications. Diabetes Care 1996;19(3):257 -61. International Working Group on the Diabetic Foot. International Consensus on the Diabetic Foot. Noordwijkerhout, the
Netherland 2003. Kusmardi Suma{o. Hubungan gambaran klinis pasiendan jenis kuman penyebab infeksi kaki diabetes. Tesis PPDS Ilrnu Penyakit Dalam
FKUI 2005. Levin ME. Pathogenesis and general management of foot lesions in the diabetic patients. Dalam: Levin ME, O'Neal LW, Bowker JH, Pfeifer MA, editors. The Diabetic Foot, Edisi 6, St Louis. The CV Mosby CompanY 2001.
Perkeni. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta:PB Perkeni; 2002. Retno Gustaviani. Data Perawatan Kaki Diabetes di Ruang Rawat Inap Kelas 2 dan 3 RSUPN dr. CiptoMangunkusumo 2003' Sarwono Waspadji. Pengelolaan Kaki Diabetes Sebagai Suatu Model Pengelolaan Holistik, Terpadu dan Komprehensif di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap IPD FKUI 2004 Sarwono Waspadji. Antibiotic choices in the infected diabetic foot/
ulcer. Acta Medica Indonesiam 2005;37(2): 94-101'
1966
MEIABOLIKENT'OKRIN
LAMPIRAN
Tingkat
Stadium Tanpa
tukak
Klasifikasi PEDIS ,nfernational Consensus on the Diabetic Foot20O3
Luka
Luka
i i
sampar
.
tendon atau kapsul sendi
Luka sampar tulang/ sendi
Dengan lnfeksl....
:
..Dengan lskemia...
D
Dengan infeksi dan iskemia
lmpaired Perfusion
1 =
None
2 3
PAD + but not critical Critical limb ischemia
l=
Superficial fullthickness, not deepdr than dermis Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon All subsequent layers of the foot involved including bone and or joint No symptoms or signs of infection lnfection of skin and subcutaneous tissue only Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous structure(s) No systemic sign(s) of inflammatory response lnfection with systemic manifestation: Fever, leucocytosis, shift to the left Metabolic instability Hypotension,azotemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth
2= != 'l= l=
lnfection
o-
4 =
1 =
lmpaired
Sensation
j nfeks
Lampiran 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik (Sumber: Boulton AJM. Diabetic Med. 1996:3;(Suppl.1)
2 =
Absent Present
Klasifikasi Wagner (Klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai)
0. Kulit intak / utuh 1. Tukak superfisial 2. Tukak Dalam (sampai tendo, tulang) 3. Tukak Dalam dengan lnfeksi 4. Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki 5. Tukak dengan gangren luas seluruh kaki Klasifikasi Liverpool Klasifikasi primer
Klasifikasi
sekunder
:
-
Vaskular Neuropati Neuroiskemik Tukak sederhana, tanpa komplikasi Tukak dengan komplikasi
309 DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT Wasilah Rochmah
PENDAHULUAN Umur merupakan salah faktor yang sangat penting dalam
pengaruhnya terhadap prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa. Dalam studi epidemiologi, baik yang dilakukan secara cross-sectional matpun longitudinal, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa naik bersama bertambahan umur, dan membentuk slntu plateau dan kemudian menurun. Waktu terjadinya kenaikan dan kecepatan kenaikan prevalensi tersebut serta pencapaian
cepat pula. Yang menjadi pefianyaan sekarang: Apakah pengelolaan diabetes yang timbul pada usia lanjut sama dengan diabetes yang telah diderita sejak usia muda? Hal ini perlu difrkirkan dan dicermati mengingat bahwa populasi ini umumnya telah disertai dengan berbagai penumnan baik fisis, psikis maupun finansial dengan segala akibat-
akibatnya.
TUADAN PROSES MENUA
puncak dan pemrrunannya sangat bervariasi diantara studi yang pemah dilakukan. Namun demikian tampaknya para
Menjadi tua atau menua (aging) adalah suatu keadaan yang terjadi karena suatu proses yang disebut proses
peneliti mensepakati bahwa kenaikan prevalensi didapatkan mulai sejak awal masa dewasa. WHO
menua. Proses menua merupakan fenomena universal,
menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapal umur 30 tahun, maka konsentrasi glukosa darah akan r.a;ik
l-2
mg%oltahw pada saat puasa dan akan naik sekitar 5,6-13 mgYopada2jam setelah makan. Berdasarkan hal tersebut tidaklah mengherankan apabila umur merupakan faktor utama te{adinya kenaikan prevalensi diabetes serta gangguan toleransi glukosa. Dalam dua dekade terakhir
ini dari pengamatan berbagai peneliti tentang perkembangan penduduk dunia, jumlah usia lanjut semakin bertambah, Pada saat ini statistik penduduk dunia menunjukkan
bahwa jumlah usia lanjut umur 65 tahun atau lebih, berjumlah sekitar 450 juta jiwa (7% dari jumlah total penduduk dunia). Diperkirakan bahwa jumlah tersebut pada tahun 2025 dapatmencapai dua kali lipat jumlah saat ini. Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan, usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai sekitar 50 - 92%. Dapat dibayangkan bahwa dengan laju kenaikan jumlah penduduk usia lanjut yang semakin cepat, maka prevalensi pasienganguan toleransi glukosa dan diabetes usia lanjut akan meningkat lebih
yang kecepatannya atau laju prosesnya bervariasi dari satu ke lain individu. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktorfaktor endogen (genetis dan biologis) serta faktor- faktor eksogen (lingkungan, gizi, pola dan gaya hidup, sosial, budaya, ekonomi dan penyakit). Menua adalah proses sepanjang hidup, yang dimulai sejak permulaan kehidupan itu sendiri, tidak dimulai dari umur 55 tahun, atau umur 60 tahun, atau dari umur 65 tahun sebagai batas umur usia
lanjut menurut WHO. Oleh karena itu proses menua merupakan suatu proses sepanjang hidup, yang dimulai dari sejak kehidupan janin, berkembang ke kehidupan bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa tua, dan akhirnya proses menua ini akan sampai pada segmen akhir kehidupan. Segmen akhir kehidupan menurut Krammer dan Schrier dibagi menjadi tiga subkelas, yaitu kelas young
old,mwantaru65-T4tahw,kelasaged(old)mwantata 75-84 tahun, dan yang terakhir oldest old atau extreme agedialahmereka yang berumur lebih dari 84 tahun. Proses menua yang berlangsung sebelum umur 30 tahun, akan berjalan bersama dengan proses-tumbuh kembang yang bersifat lebih dominan. Kedua proses yang berjalan bersama ini akan mengakibatkan perubahap
1967
1968
METABOLIKENDOKRIN
anatomis, fisiologis, dan biokimiawi menuju suatu titik kehidupan maksimal sebagai seorang manusia pada puncak kehidupan produktif. proses menua yang
mutasi DNA mitokondria (mtDNA), mengatakan bahwa telah lama diduga kalau metabolisme energi dan nutrisi yang berlangsung dalam mitokondria berperan penting
berlangsung sesudah umur 30 tahun akan mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis, fi siologis dan biokimiawi juga, tetapi menuju jalan penurunan kualitas hidup sebesar l%o tiap tahun. Selanjutnya Miller mengatakan bahwa
dalam proses menua. Manusia dapat dipandang sebagai suatu mesin dengan kehebatan susunan dan ketahanannya. Namun suatu mesin yang tanpa henti-hentinya menunaikan tugas yang menjadi bebannya, cepat atau lambat akhirnya akan
proses menua ini mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang tua yangrapvh (frall), yang mengalami penurunan
mengalami penyusutan, dan akhirnya cacat. Tingkat kecacatan atau kerusakal yalg terjadi pada suatu mesin
dari hampir seluruh sistem fisiologis tubuh. penurunan ini akan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit, dan akhirnya meninggal dunia. Pada usia 60 tahun, proses
tergantung kompleksitas komposisi mesin tersebut. Derajat paling rendah adalahkerusakan yang tidak dapat dielakkan karena umur suatu bahan dasar dari salah safu komponen,
menua berjalan lebih cepat; sehingga memperlihatkan
fisik yang tarnpak progresif. Menua, karakteristis ditandai oleh kegagalan tubuh dalam mempertahankan homeostasis terhadap suatu stres walaupun stres tersebut masih dalam batas-batas penurunan
sedangkan tingkat tertinggi adalah kerusakan dari beberapa komponen mesin yang mengampu satu fungsi. Demikian pula yang terjadi pada proses menua, ada tiga tingkatan sampai terjadinya kecacatan atau kerusakan. Kerusakan yang pertama pada tingkat sel, kedua pada tingkat jaringan, dan akhimya pada tingkaf organ. Tingkat
fisiologis. Kegagalan mempertahankan homeostasis akan
menurunkan ketahanan tubuh untuk hidup dan mengakibatkan meningkatnya kemudahan kerusakan pada
kerusakan tertinggi pada apabila terjadi pada berbagai organ yang mengampu satu fungsi. Salah satu contoh yang dapat diibaratkan fungsi pada suatu mesin adalah firngsi homeostasis glukosa.
diri individu tersebut. Tiga fakta yang penting dalam biologi menua yaitu: pertama sifatnya yang universal (semua yang hidup dimanapun juga akan mengalaminya), kedta deteriorative (makinlama akan makin memburuk), dan yang ketiga walaupun memburuk tidakmenyebabkan berhentinya fungsi suaru sistem secara total. Tua adalah suatu keadaan yang dapat dipandang dari tiga sisi, yaitu sisi kronologis, biologis, dan psikologis. Sesuatu dianggap atau dipandang tua apabila dinyatakan telah berumur lama. Hal tersebut pertama kali dilontarkan oleh Weismanir pada tahun 1882, kemudian dipelajari oleh Pearl tahun 1928 dan Wartin tah:on 1929, dan muncul
Toleransi tubuh terhadap glukosa merupakan manifestasi dari tanggung jawab beberapa komponen tubuh yang mengampu satu fungsi, yaitu fungsi ambilan glukosa. Komponen yang dimaksud di atas adalah sel-sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel
jaringan target yang menggunakan glukosa, sistem lain seperti sistem saraf dan peran hormon-hormon lain yang
diproduksi oleh berbagai organ seperti glukagon, kortikosteroid, epinefrin dan lain sebagainya. Walaupun demikian kompleksnya fungsi homeostasis glukosa
kemudian theories related to wear and tear. WHO
tersebut, tetapi tubuh selalu berusaha untuk
memberikan definisi bahwa seseorang disebut tua atau usia lanjut apabrla orang tersebut secara kronologis telah berumur 65 tahun atau lebih. Seseorang yang belum berumur 65 tahun, tetapi secara frsik sudah tampak setua usia 65 tahun karena suafu stres emosional, maka orang tersebut masuk dalam definisi tua psikologis; lain halnya apabila seseorang tampak tua karena menderita suatu penyakit kronik, maka orang tersebut termasuk tua fisik. Cox mengatakan bahwa tua kronologis disebut menua primer dan yang lainnya disebut menua sekunder. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Miller mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang tuayang bersifat rapuh. Apa yang terjadi dan apa yang bisa menyebabkan keadaan seperti itu, sampai saat ini belum ada satu teori ataupun pembuktian yang dapat menerangkan dengan jelas. Lebih dari 200 teori menua yang pemah diajukan, namun sekarang tinggal beberapa saja yang masih banyak pendukungnya,antara lain adalah: l. Teori radikal bebas Harmon, 2. Teori glikosilasi Monnier, 3. Teori laju reparasi
mempertahankannya. Namun demikian, seperti halnya mesin, akhirnya terjadi kecacatanyang dapat kita amati dengan timbulnya apa yarrg disebut gangguan toleransi glukosa (GTG). Dikatakan bahwa 50-92% usia lanjut menderita GTG. Gangguan toleransi glukosa yang timbul pada usia lanjut tersebut, ada yang masuk kriteria toleransi glukosa terganggu, ada yang masuk kriteria diabetes melitus. Hal tersebut menggambarkan adanyapenurunan kemampuan ambilan glukosa oleh sel-sel jaringan sasaran, khususnya otot rangka. Seperti disebutkan dalam teoriteori proses menua sebelumnya, kemampuan ambilan glukosa ini tidak lepas dari peran mitokondria, yang merupakan pusat metabolisme energi. Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan kemampuan ambilan glukosa tersebut adalah terjadinya kelambatan pembentukan molekul AIP (adenosintrifosfat) sebagai energi siap pakai. Hal ini akan mengakibatkan kelambatan aktivitas dalam sel,jaringan dan akhirnya organ dan manifestasinya dapat terlihat dari penampilan seorang usia lanjut, karena
penurunan fungsi sistem muskuloskeletal, neuromuskuler, dan berbagai penurunan fungsi sistem lain,
DNAHart dan Setlow, merupakan hasil penelitian Hartdan Setlow, 4. Teori pemendekan telomer Hastie dkk, 5. Teori
.
seperti sistem kardiovaskular dan respirasi.
1969
DIABETES MEIJTUS PADA USIA LANJUT
Proses menua yang berjalan setelah seseorang berusia 30 tahun, secara fisik memberikan akibat terhadap susunan komposisi tubuh. Pada saat umur di bawah 30 tahun, tubuh sel solid, 14% lemak, 6oh tulang lebih dai 65 tahun, komposisi tubuh tersebut berubah menjadi ait 53oh, sel solid l2%o,lemak
terdiri atas 6loh air, lgYo dan mineral. Pada usia
30o2, sedangkan tulang dan mineral memrrun I % sehingga
tinggal 5%. Perubahan fisik karena perubahan komposisi tubuh yang menyertai pertambahan umur umumnya bersifat fisiologis, seperti kulit yang keriput, turunnya tinggi badan; berat badan, kekuatan otot, daya llhat, daya dengar, kemampuan berbagai rasa (senses), dan penurunan frrngsi berbagai organ termasuk apa yang terjadi terhadap fungsi homeostasis glukosa.
diketemukan pada otopsi dari mereka yang meninggal dunia pada usia lanjut. Sedangkan ahli-ahli lain menemukan
konsentrasi insulin plasma yang cukup tinggipada2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan konsentrasi
glukosa yang tinggi pula, oleh karena itu kenaikan konsentrasi glukosa darah 2 j am setelah makan atau setelah pembebanan glukosa pada usia lanjut diduga disebabkan oleh karena adanyaresistensi insulin. Kedua pendapat di
atas merupakan pendapat yang bersifat kontroversial. Goldberg dan Coon menyebutkan bahwa umur memang
sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan konsentrasi glukosa darah, sehing ga pada golongan umur yang makin tua prevalensi gangguan toleransi glukosa akan meningkat dan demikian pula prevalensi diabetes melitus berdasarkan kriteria yang telah disetujui.
Timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut TUA DAN PERUBAHAN HOMEOSTASIS GLUKOSA Secara garis besar konsentrasi glukosa darah pada orang
dewasa normal merupakan manifestasi dari kemampuan
sekresi insulin oleh pankreas dan kemampuan ambilan glukosa oleh sel-seljaringan sasaran. Pada situasi tertentu konsentrasi glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti proses glukogenolisis pada saat puasa, glukoneogenesis apabila diperlukan sumber tenaga tambahan karena sumber tenaga dari karbohidrat tidak dapat memenuhi kebutuhan.. Gangguan toleransi glukosa (GTG) adalah suatu
keadaan perubahan homeostasis glukosa sehingga am sesudah makan tersebut konsentrasi lebih tinggi dari 140 mg/dl. Apabila tersebut keadaan mgldl gan200 lebih tinggi atau sama den didapatkan konsentrasi glukosa darah
2j
dimasukkan dalam kriteria diabetes melitus (DM)' WHO'?
menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu dekade umur, konsentrasi glukosa darahpuasa akannaik sekitar l-2mgl dl dan 5,6-13 mg/dl pada 2 jam sesudah makan' Morrow dan Halter, mengatakan bahwa KGD 2 jam sesudah
glukosa dltiappenambahan 1 melampaui umur 30
pembebanan
5mgl telah
hasil
kelompok umur, yaitu kelompok umur penelitian Sampai saat ini, belum ada laporan 6. dekade 4,5 dan di atas 30 tahun pada 3 jam setelah usia KGD bagaimana glukosa. Namun demikian setelahpembebanan atau makan terhadap 3
Morrow & Halter selanjutnya mengatakan bahwa patofisiologi gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut sampai saat ini belum jelas atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui. Selain faktor intrinsik, faktor ekstrinsik seperti memrrunnya ukuran masa tubuh dan naiknya lemak tubuh mengakibatkan kecenderungan timbulnya penurunan aksi insulin pada jaringan sasaran' Timbulnya gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut semula oleh sementara ahli diduga karena menurunnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Hal ini didasarkan atas adanya perubahan gambaran
histologis pankreas yang
disebabkan oleh 4 faktor yaitu pertama adanya perubahan komposisi tubuh sepeti telah diterangkan sebelumnya. Penurunan jumlah masa otot dari l9Yo menjadi l2Yo, disamping peningkatan jumlah jaringan lemak dai l4Vo
mengakibatkan menurunnya jumlah serta sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah
menjadi
300/o,
turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap"berikatan dengan insulin sehingga kecepatan translokasi GLUT-4 juga menurun. Kedua hal tersebut akan menurunkan baik
kecepatan maupun jumlah ambilan glukosa. Ketiga perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat adalah perubahan neuro-hormonal, khususny a insulinlike growth factor'l (IGF'L) dan dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Konsentras IGF-I serum turun sampar 50o/o pada usia lanjut. Penurunan hormon ini akan
mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena
menurunnya sensitivitas reseptor insulin serta menunxlnya aksi insulin. Hal ini didasarkan atas percobaan
in vitro serta in vivo bahwa IGF-I meningkatkan baik ambilan glukosa maupun kecepatan oksidasi. Demikian pula konsentrasi DHEAS plasma mentrun pada usia lanjut' Tampaknya penurunan DHEAS tersebut ada kaitannya dengan kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penurunan DHEAS mempunyai hubungan terbalik dengan tingginya konsentrasi insulin plasma puasa' Keempat faktor di atas menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi glukosa darah pada usia lanjut karena resistensi insulin. Barb\ei et almenemukan adanya penurunan resistensi insulin pada usia lanjut umur 90-100. Dari penemuan ini Barbieri et al.metgajukan suatu hipotesis yang isinya bahwa selama proses menua berjalan, tetjadi metabolic age remodeling yang menumbuhkan age related metabolic adaptallon sehingga pada usia lanjfi terdapat age related insulin action dar. preserved insulin action de-
1970
spite age. Wasilah pada studi tes toleransi glukosa terhadap usia lanjut sehat tanpa kelainan fungsi hati dan ginjal dengan bebanT5 gram yang diikuti sampai jam ke 3, menemukan bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia lanjut sehat tersebut lebih rendah dari konsentrasi glukosa darah puasanya, dengan konsentrasi insulin plasma dalam batas normal puasa. Sedangkan pada saat 2 jam setelah pembebanan masih didapatkan konsentrasi glukosa darah yang lebih tinggi dari l4}mg%o dengan konsentrasi insu-
lin rerata yang tinggi pula. Hasil tes klem euglikemik
menunjukkan bahwa kecepatan ambilan glukosa oleh sel
jaringan sasaran pada usia lanjut memang lebih rendah kecepatannya dibanding pada usia muda. Hasil studi tersebut memberikan kesan adanya suatu inefisiensi insulin. bukan resistensi insulin, karena fungsi homeostasis glukosa pada usia lanjut tersebut akhimya selesai walaupun diselesaikan sampai 3 jam. Berdasarkan teori proses menua baik teori radikal bebas yang menimbulkan stres oksidatif atau teori mutasi DNA mitokhondria serta hasil penelitian di atas, dapat dik atakan
MEIABOIII(ENDOKRIN
Selain terjadi gangguan metabolisme gula pada pasiendiabetes mengalami juga gangguan metabolisme lipid, sering disertai kenaikan berat badan samp aite4adinya obesitas dan tidak sedikit pula timbul gejala hipertensi. Kalau keadaan tersebut didapatkan pada seorang diabetes maka yang kita hadapi adalah seorang pasiensindroma metabolik. Patofisiologi diabetes tipe 2 secaragaris besar disebabkan oleh kegagalan kelenjar pankreas dalam memproduksi insulin danJ atau terj adinya resistensi insulin baik pada hati maupun pada jaringan sasaran. Kedua
hal tersebut mengakibatkan kegagalan hati dalam meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam tugas ambilan glukosa. Sampai saat ini masih merupakan pendapat yang bersifat kontroversi antara kemungkinan
penyebab diabetes usia lanjut. Apakah suatu resistensi insulin, inefisiensi insulin atau penurunan produksi insu-
lin? Penyebab tersebut memang akan memberikan penanganan yang agak berbeda modelnya, walaupun dasar dan tujuannya sama. Perlu ditentukan dahulu apakah dia-
terjadinya perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa
betes yang
pada usia lanjut cenderung karena proses pasca reseptor. Penelitian dasar tentang mitokhondria sehubungan dengan
dewasa, atau Qaru diderita pada saat menjelang/sudah tua (usia lanjut)?
metabolisme karbohirdat pada usia lanjut sangat diperlukan. Sedangkan di bidang klinis tampaknya perlu difikirkan apakah diagnosis diabetes pada usia lanjut memerlukan hasil konsentrasi glukosa darah 3 jam sesudah makan atau akan tetap seperti konsensus, mengingat bahwa proses menua memang berperan dalam terjadinya perubahan homeostasis glukosa. Hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan yang akan dilakukan, khususnya pada pemberian terapi medikamentosa yang sangat
berisiko terjadinya hipoglikemiaa. Di bidang Geriatric Medicine dapat diambil manfaat bahwa pada diabetes usia lanjut tidak harus diketemukan adanya resisitensi insulin, dan dari fakta bahwa pada diabetes usia lanjut terjadi preserved insulin action despite age atau ineficienfy insulin despite age menggambarkan suatu model gaya hidup yang baik yang merup akanciri successful metabolic agtng.
dideritausia lanjutmemang dimulai sejakwaktu
Untuk menentukan apakah diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan selalu dimulai dengan anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri
polidipsi dan polivagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti newopati, retinopati dan lain sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses menua, oleh karena itu memerlukan konfirmasi pemeriksaan fisik, kalau perlu dengan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisis, pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut dikatakan kebanyakan tidak diketemukan adanya kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetes serta tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu. Konsentrasi glukosa darah, sampai saat ini baik diabetes usia lanjut yang diderita sejak muda atau timbul setelah tua, kriteria yang dipakai adalah konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg%o mentrutAmerican Diabetes Association. Sedangkan menurut WHO konsentrasi glukosa darah puasa > 140 mgo/o dan/atart 2 jam sesudah makan >200 mg%. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi
TUA DAN DIABETES MELITUS
insulin plasma baik pada saat puasa dan 2 jam sesudah makan sangat membantu untuk menentukan penyebab
Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Hampir setiap studi epidemiologi baik yang bersifat cross-sectional maupun longitudinal
diagnosis tersebut, apakah produksi insulin yang menurun atau resistensi insulin. Namun di Indonesia pemeriksaan
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan toleransi glukosa dan diabetes meningkat bersama pertambahan umur. Umumnya diabetes orang dewasahampir 90% masuk diabetes tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan bahwa50%o adalah pasienberumur lebih dari 60 tahun. Kita menyadari
bahwa penyakit diabetes tidak hanya sekedar adanya kenaikan konsentrasi glukosa darah atau hiperglikemia.
insulin atau peptida-C belum lazim dilakukan untuk pendukung diagnosis. Berdasarkan hasil penelitian Wasilah, bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia lanjut pada 3 jam setelah pembebanan glukosa, tanpa perlakuan apapun menurun sendiri sampai setinggi sebelum pembebanan glukosa, walaupun pada 2 jam sesudah pembebanan masuk kriteria gangguan toleransi glukosa. Hai ini memberikan kesan bahwa pada usia lanjut tet'adi inefisiensi insulin.Oleh karena itu apakah prosedur
t97t
DIABETES MELITUS PADA USA LANJI.TT
guna menentukan apakah diabetes pada usia lanjut tersebut disebabkan oleh resistensi insulin atau karena
mengingat protein binding drug pada usia lanjut sangat menurun, agar tidak sampai terjadi hipoglikemiaa. Dari pembicaraan di atas tampaknya perlu dipertimbangkan
inefisiensi insulin. Hal ini akan lebih mendasar lagi apabila
sudtu konsensus khusus dalam menangani pasiendiabetes
dilakukan pemeriksaan insulin basal guna mendukung penilaian adanya resistensi insulin. Semua itu sangat penting untuk mempertimbangkan pemberian terapi
usia lanjut.
farmakologis, agar kemungkinan terjadinya hipoglikemiaa dapat dihindari.
RINGKASAN
Mengingat pola makan dan pola hidup usia lanjut sudah berbeda dengan usia muda, maka terapi diit dan latihan tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya.
Diabetes melitus usia lanjut, prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah usia
pemeriksaan
3
jam sesudah makan dapat dipertimbangkan
Namun demikian, bagaimanapun juga konsentrasi glukosa darah kapan saja lebih dari 165 mg%obaik akut maupun kronis akan memudahkan timbulnya berbagai Eauggluan, antara lain hemoreologi, vaskular atau neuropati. Oleh karena itu apabila konsentrasi glukosa darah seorang usia lanjut sewaktu atatt2 jampasca makan melampaui kriteria konsensus diagnosis diabetes, tentu saja hal ini akan membawa konsekuensi pemberian terapi. Menurut Orimo
indikasi pengobatan diabetes usia lanjut apabila konsentrasi glukosa darahpuasa sama atau lebih dari 140
mg%o, atau
HbAIC sama atau lebih dari lYo, alau
konsentrasi glukosa darah 2 jam pasca makan setinggi 250 mgolo dan pasienmemperlihatkan adanya retinopati diabetik atau mikroalbuminuria. Lain halnya dengan pendapat dari Edelman & Chau indikasi pengobatan diabetes pada usia lanjut memakai dasar kriteria ADA (American Diabetes
Association) Mengingat farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat pada usia lanjut mengalami perubahan, serta terjadinya perubahan komposisi tubuh, maka dianjurkan dosis obat yang diberikan dimulai dengan dosis rendah dan kenaikannya dilakukan secara lambat baik mengenai dosis maupun wakit (start low go slow).
Pemilihan obat didasarkan atas kasus perkasus, bisa
Ianjut yang makin meningkat pula. Jumlah pasiendiabetes usia lanjut terdiri atas pasiendiabetes yang telah dimulai sejak muda, karena umur harapan hidup yang makin tinggi sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pasiendiabetes yang timbul karena pertambahan usia. Patofisiologi diabetes yang timbul pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses
menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktivitas fisik, perubahan life- s tyle,faktor perubahan neuro-hormonal khususnya penurunan konsentrasi DHES dal'IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut
diduga terjadi age related.metabolic adaptation, oleh
karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena age related insulin resistance atat age related insulin inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age. Berdasarkan hal tersebut maka pada diabetes usia lanjut tidak harus diketemukan adanya resistensi insulin, sehingga seorang usia lanjut sehat merupakan contoh model gaya hidup dari su c c es sful met ab ol i c a gin g. D asat diagnosis diabetes usia lanjut perlu dikembangkan, serta perlu modifikasi terapi dari konsensus-konsensus yang telah ada.
dengan guar gum (belumberedar di Indonesia), alpha glu-
cosidase inhibitor (acarbose), bisa dengan biguanide (metformin) dan dapat juga dengan sulfonilurea. Acarbose dan metformin umumnya diberikan bersama dengan waktu makan, sedangkan usia lanjut pola makan sering mengalami
perubahan, baik waktu, jumlah maupun frekuensi. Mana yang makan pokok dan mana yang makan tambahan sulit
dibedakan. Oleh karena itu pemberian acarbose alau metformin masih memerlukan pertimbangan pula' Untuk sulfonilurea perlu dipilih yang mempunyai sifat menaikkan
sensitifitas insulin di perifir, efek hipogliglikemik yang rendah, meningkatkan glikogen sintase dan menurunkan pembentukan glukosa hepatik. Saat ini telah banyak sulfonilurea generasi kedua yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengatur konsentrasi insulin yang alami. Obat-obat tersebut diharapkan lebih aman bagi kedua jenis diabetes pada usia lanjut. Kliusus diabetes usia lanjut yang dimulai sejak umur lebih muda prinsipnya sama dengan
diabetes tipe 2, obat yang telah dipakai dan cocok dapat
dilanjutkan, hanya dosis mungkin perlu diturunkan
REFERENSI Aguilar-Salinas CA,Garcia-Garcia E, Lerman-Garber I, Perez FJG, Rull JA. Making Things Easier Is Not So Easy' The 1997 American Diabetes Association Criteria and Glucose Tolerance' Diabetes Carc 1998;21:1027 -8. Askandar Tjokropawiro, Diabetes Mellitus: Kapita Selekta-l999A (DM-Praktis dan OHO dalam Menyongsong Milenium Baru)'
Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Diabetes Mellitus 1999;1-45 Barbieri M, Rizzo MR, Manzella D, Paulisso G. Age-related insulin resistance: is it an obligatory finding? The lesson from healthy centerians. Diabetes Metab Res Rev 2001;17: 19-26' Brocklehurst JC & Allen SC. Theory on the nature of aging' Dalam
Geriatric Medicine for Student, 3'd ed. London New York: Churchill Livingstone;
198'7
:
3-12.
Broughton DL, Taylor R. Deterioration of Glucose Tolerance with
Age: The Role of Insulin Resistance. Age and Ageing, 199l:20:221-225. Carter RJM. Energy metabolism, nutrition and ageing' Congress of
1972
MEDABOLIKENT'OKRIN
Gerontology. Austr J Agoirig (Suppt), 1997;t7 (1):56-9. AD. Drug therapy: Current and Emerging Agents, in Sinclair AJ & Finucane p (Eds.) Diabetes in Old Age, 2"d ed. John Wiley & Son LTD Chichester New york Singapore, 2001: 199-214. Cox HG. Later Life. The Reality of aging. 2,d ed. New yersey: Prentice-Hall, Englewood Cliffs; 1 988.p. 1 -2 1. Cox GH, Cortright RN, Dohm GL, et al. Effect of aging on response to exercise training in humans: Skeletal muscle GLUT-4 and insulin sensitivity. J Appl physiol 1999;86:2019-25. Cusi K, De Fronzo RA. Treatment of NIDDM, IDDM and other insulin resistant state with IGF-1. physiological and clinical considerations. Diabetes Rev 1995;3: 206-36. Davidson, MB. The effect of aging on carbohydrate metabolism. A. review of the English literatue and a practical approach to the diagnosis of diabetes mellitus in elderly. Metabolism 1979;28 68 8-705. Davidson, MB. Diabetes Mellitus Diagnosis and Treatment. New York Brisbane Toronto: A Wiley Medical publication John & Sons; 1 98 1 .p. 3-24. Chechade JM and Mooradian
deFronzo RA. Glucose intolerance and aging: evidence for tissue in-
sensitivity to insulin. Diabetes, 1979; 2g:1095-101. Dimitriadis Q Parry-Billing M, Bevan S, et al. Effect of insulin like growth factor I on the rates of glucose transport and utilisation in rat skeletal muscle in vitro. Biochem J 1992,285:269-74.
Ebeling B Kolvisto PA. Physiological importance of dehydroepiandrosterone. Latcet 1994;343:1479-81. Edelman SV and Chau D. Clinical Management of Diabetes in the Elderly. Clinical Diabetes 2001 ;t9(4):t72-7 5. Fink R.I. Mechanism of insulin resistance on aging. J. Clin. Invest.
1983:71:1523-1535 Finucane P
1994.p.3- 18.
O'Sullivan, J.B. & Mahan, C. Relationship of age to diagnostic blood glucose level. Diabetes 7969;28:1039' 1042. Orimo H. Management of diabetes mellitus in the elderly. Asian Med. J. 1997:40(6):310-315. PERKINI, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia, 1
998.
A, Snehalatha C, Syiamak B Vrjay V & Viswanathan M. High prevalence of NIDDM & IGT in an Elderly South lndian population with low rates of Obesity. Diabetes Care, l994,Oct.;
Ramachandran
17(10):1190-2.
& Popplewell P. Diabetes Mellitus
and Impaired Glucose Regulation in Old Age: The Scale of the problem. In Sinclair AJ, Finucane P @ds.) Diabetes in Old Age, 2,d ed. New york Singapoe
Toronto: John Wiley & Sons, tTD Chichester; 2001.p. 3-14. Goldberg, AP & Coon PJ. Diabetes Mellitus and Glucose Metabolism in the Elderly dalam W. R. Hazzard, E. L. Bierman, J. p. Blass, W. H. Ettinger Jr., J. B. Halter (Eds.), R. Andres (Ed.Em.) principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 3.d ed. International Ed. New York Paris Sydney Tokyo: McGraw-HiI, Inc;
1994.p.82s-43. Haffner SM, Valdez RA, Mykkanen I, et al. Decreased testosteron and dehydroepiandrosterone sulfate cocentrations are associated
colorectal carcinoma and with ageing . Nature, 1990;346:g66. Katz P; Dube D. and Calkins E. Aging and Disease. Dalam Calkin E, Davis PJ, and Ford AB (Eds.) The Practice of Geriatrics. philadelphia Londoir Toronto: WB Saunders Company; 19g6.p.1-2. Kramer AM & Schrier RW. Demographic, Social, and Economic Issues. Dalam R. W. Schrier (Ed.) Geriatric Medicine. philadelphia London Toronto: W. B. Saunders Company; 1990.p.1-10. Meneilly GS. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly in Sinclair AJ & Finucane P (Eds.) Diabetes in Old Age, 2"d ed. New york Singapore: John Wiley & Son LTD Chichester; 2001.p.17-23. Merriman A. Handbook of International Geriatric Medicine_ Singapore Hongkong New Delhi Boston Auckland: pG publishing; 1989.p.117-123. Morrow LA and Halter JB. Treatment of the Elderly with Diabetes Mellitus dalam CR Kahn &CG Weir (Eds.) Joslin's Diabetes Mellitus 13tl ed. Philadelphia London Tokyo: Lea & Febriger, A Waverly Company; 1994.p.552-559Miller RA. The biology of aging and longevity. In: Hazard WR, Bieman EL, Blass JP, Ettinger Jr. WH, Halter JB (eds.) Principle of Geriar ric Medicine and Gerontology, 3'd ed. New York: McGraw-Hill Inc;
with
increased insulin and glucose concentrations in nondiabetic men. Metabolism 1994;43: 599-603. Haffner SM, Valdez RA,. Endogenous sex hormones: impact on lipids, lipoproteins and insulin. Am J Med 1995;98 (Suppl. lA):
40s-47S.
Hall DA. Theory of Ageing, The Biomedical Basic of Gerontology, 1984: 18-47 Harmon D. Aging: A theory based on free radical and radiation chemistry. J Gerontol, 1956;ll:298. Hart RW, and Setlow RB. Correlation between deoxyribonucleic acid excision repair and lifespan in a number of mammalian species. Proc Natl Acad Sci USA, 1974;71:2169. Hastie ND, Dempster M, Dunlop MG. Telomere reduction in human
& Wilcock GK. Hyperinsulinemia and Alzheimer Disease. Age and Ageing, 1994;Sep.23(5):396-9.
Razay G
Sell DR, Monnier VM. End-stage renal disease and diabetes catalyze the formation of a pentose-derived cross-link from aging human collagen. J Clin Invest 1990;85:380. Sinha B and Nattras SS. EfEcacy of New Drug Therapies for Diabetes in Elderly. Annals of Long-Term Care 2001;9(6):23-9. Troll LE. Continuations: Adult Development and Aging. Brooks Publishing Company Monterey, California 1982. Walker M. Obesity, Insulin Resistance and its link to Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus. Metabolism, 1995:Sep. 44 (9 Suppl.3): I 8-20.
Wasilah-Rochmah. Hubungan antara KoDsentrasi Insulin dan Kadar
Glukosa Plasma Darah pada Golongan Lanjut usia, Laporan
penelitian DPP UGM. 1994. Wasilah-Rochmah. Gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut lakilaki: Kajian pengaruh pembebanan glukosa terhadap sekresi insulin dan peran insulin dalam ambilan glukosa oleh sel jaringan sasaran (in vivo). Desertasi Universitas Gadjah Mada, 2002: Feb. 25. WHO Diabetes Mellitus. Report of a WHO Study Group. WHO Technical Report Series 727.1985. Williams DP, Boyden TW, Pamenter RW, et al. Relationship of
body fat percentage and fat distribution with dehydroepiandrosterone sulfat in premenopausal women. J Clin Endocrinol Metab 1993;77: 80-5.
310 OBESITAS Sidartawan Sugondo
orang-orang dengan obesitas masif dengan berat badan berkisar antara 280 hingga 485 kg. Sauvages dan Cullen pertama kali mencoba melalcukan klasifikasi obesitas. Istilah yang dipakai pada saat itu adalahpolysarcie. Padaabad ke lg kata "obesitds'" mulai
PENDAHULUAN Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang
terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka
menggantikan nama-nama sebelurnnya sep er'ti, polysarcie, embonpoint dan corpulence. Penelitian untuk mempelajari berbagai hormon dan
ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian
sistem neuroendokrin, yang mengatur keseimbangan
jumlahnya bertambah banyak. Di daerah antara Perancis dan Rusia (sekitar laut Hitam) diketemukan artefak mengenai obesitas dari zaman batu (era paleolitik, 23.000-25.000 tahun yang lalu), yang
energi dan lemak tubuh merupakan tantangan lama dalam
bidang biologi, dengan obesitas sebagai fokus kesehatan masyarakat yang penting. Saat ini kita hidup pada masadimanaberatbadan lebih (indeks massa tubuh (IMT) 23-24.9 kglm2) dan obesitas (IMT 25-30 kg/m2) sudah menjadi suatu epidemi, dengan dugaan bahwa peningkatan prevalensi obesitas akan mencapai 50 % pada tahun 2025baginegara-negaramaju' Dokter dan tenaga kesehatan yang berhubungan dari semua subspesialisasi, saat ini menghadapi dampak dari
umumnya terbuat dari gading, granit, atau terakota,. Venus dari Willendorf adalah artefakyang paling terkenal. Artefak tersebut berupa sebuah patung kecil setinggi 12 cm dengan gambaran obesitas abdominal dan buah dada yang besar. Desain serupa juga terdapat di seluruh daratan eropa yang diperkirakan berasal dari periode glasiasi. Berbagai artefak tersebut menggambarkan bahwa pada
peningkatan epidemi obesitas baik diklinik maupun rumah sakit. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang sukar diatasi. Kegagalan para dokter dan spesialis untuk secara sistematis dan efektif mengatasi peningkatan
sudah merupakan suatu fakta, setidaknya dialami oleh wanita Paleolitik. Selain itu, juga zamatt
itu obesitas
ditemukan artefak terbuat dari terakota, granit atau alabaster, dengan gambaran dada yang besar dan daerah abdominogluteal yang besar yang berasal dari era Neolitik (8000-5500 SM), dimana manusia mulai menetap dan
problem abad keduapuluh satu ini, telah membuat masyarakat berpaling pada banyak program yang
diiklankan, yang menjanjikan keadaan yang kurang pada tempatnya, karena mengklaim mempunyai efek yang cepat
bercocok tanam. Ketika kedokteran tradisional berkembang pada semua kultur di dunia, ditemukan pula bukti mengenai obesitas. Kedokteran Mesop0tamia, Mesir, India, Cina-Tibet, Mesoamerika, Greco-Roman danArab semua mempunyai cara-
dan menyembuhkan bagi masalah "kosmetik" yang menakutkan ini. Belum lagi, mass media didominasi oleh iklan pengobat an overweighl atau obesitas yang tidakjelas dan kurang memiliki bukti-bukti ilmiah. Saat ini sebenamya tenaga kesehatan harus bersama-sama lebih tampil dan lebih tahu mengenai regulasi berat badan, mekanisme perkembangn berat badan dan obesitas, dan banyaknya komorbiditas yang berhubungan dengan hampir semua subspesialisasi. Karena hanya dengan mendalami ini kita
cara mengobati obesitas. Pada masa kedokteran ilmiah (1500 hingga sekarang) obesitas dipelajari dengan menggunakan ilmu anatomi, hiStologi, fisiologi, kimia danbiokimia, genetika dan biologi molekular, farmakologi, ilmu syaraf, dan kedokteran klinik. Sebelum era ilmiah (awal 1500 M) dilaporkan adanya
L97
1974
dapat melakukan pendekatan komprehensif pengobatan yang efektif bagi obesitas.
SEL LEMAK DAN JARINGAN LEMAK Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi yang
paling besar bagi mamalia. Tugas utamanya adalah untuk menyimpan energi daiam bentuk trigliserida melalui proses
lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons terhadap kekurangan energi. pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat.
Jaringan lemak merupakan jaringan ikat yang mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserida. pada mamalia, jaringan lemak terdapat dalam 2 bentuk jaringan lemak putih dan jaringan lemak coklat. Keberadaannya, jumlah dan distribusi tergantung pada spesies. Jaringan lemak putih mempunyai 3 fungsi, yaitu isolasi panas, bantalan mekanik, dan yang paling penting sebagai sumber energi. Jaringan lemak subkutan yang terletak langsung di bawah kulit, merupakan penahan panas bagi tubuh, karena ia mempunyai daya konduksi sebesar l/3 dibandingkan denganjaringan lain. Kemampuan menahan panas tergantung pada tebal lapisan lemak. Jaringan lemak juga melapisi organ tubuh bagian dalam dan bertindak sebagai pelindung organ tersebut. Jaringan lemak coklat berfirngsl ,rotut mempertahankan panas tubuh (termogenesis). Fungsi utamajaringan lemak
adalah untuk tempat penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida dan melepaskannya sebagai asam lemak bebas dan gliserol yang merupakan sumber energi yang berasal dari lemak.
Tubuh manusia dibagi menja di 2 bagian yang saling berhubungan, yaitu bahan yang diperlukan untuk energi (lemak dan glikogen) dan air. Sebenarnya komposisi tubuh manusia jauh le5ih kompleks dan terdiri dari 4 macam
MEIABOLIKENIDIRIN
Komposisi selular. Komposisi selular terdiri dari
dan bagian yang aktif secara metabolik yaitu massa sel tubuh. Sehing ga pada akhirnya akan terdiri dai- bo dy cell mass, cairan ekstrasel dan solld ekshasel.
Komposisi jaringan dan organ. Sel akan membentuk jaringan dan organ tubuh, seperti jaringan adiposa, otot skelet, tulang, kulit, jantung, dan organ viseral lainnya. Jaringan dan organ tubuh akan membentuk tubuh manusia
yang merupakan perpaduan 5 komponen tubuh, yaitu atomik, molekular, selular, jaringan, dan organ serta fubuh secara keseluruhan.
Morfologi dan Perkembangan Jaringan Lemak Droplet lemak dalam jaringan lemak dapat berbentuk unilokular dar/atau multilokular. Sel unilokular merupakan suatu droplet lipid yang besar, yang akan mendorong inti sel ke arah membran plasma sehingga sel akan menyerupai sebuah cincin. Sel unilokular merupakan karakteristik jaringan lemak putih dan mempunyai berbagai ukuran yang
berkisar antara 20-200 mikron. Mitokondriany a terulama ditemukan pada daerah pinggir sel yang lebih tebal sitoplasmanya di dekat inti sel. Sel droplet lemak besar tidak mempunyai organel kecil intrasel. Sel multilokular yang umunnya didapat di sel lemak coklat mengandung banyak droplet yang lebih kecil.
Distribusi Jaringan Lemak Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara sintesis lemak (lipogenesis) dan pemecahan lemak (lipolisis - oksidasi asam lemak). Di samping kedua faktor tersebut, faktor lain yang juga berpengaruh adalah gender.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit adalah kelebihan lemak viseral dan bukan lemak subkutan pada tubuh.
komposisi: Komposisi atomik. Dari sudut pandang komposisi atomik, berat badan merupakan akumulasi sepanjang hidup dari 6 elemenutama, yaifu: oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen, kalsium, dan fosfor. Kurang dari 2yoberatbadanterdiri dari sulfur, kalium, natrium, klorida, magnesium dan40 elemen lain yang secara normal terdapat dalam jumlah kurang dari 10gram.
Komposisi molekular. Elemen terbagi dalam komponen molekular yang dapat dikelompokkan dalam 5 kategori besar, yaitu: lemak, protein, glikogen, air, dan mineral. Tingkat molekular ini secara praktis seringkali dibagi atas: lemak dan massa bebas lemak. Model yang lain adalah pembagian menurut lemak, lean soft tissue, dan mineral tulang. Komposisi molekular menyusun dasar untuk sel yang fungsional.
3
komponen: sel, cairan ekstrasel dan bagian padat ekstrasel. Massa sel dibagi lagi atas lemak (komponen molekular)
Metabolisme Lemak Pemahaman mengenai nutrisi, hormonal, dan terutama
regulasi transkripsional lipogenesis telah berkembang pesat. Lipogenesis dirangsang oleh diet tinggi karbohidrat, namun juga dapat dihambat oleh adanya asam lemak tak jenuh ganda dan dengan berpuasa. Efek tersebut sebagian diperantarai oleh hormon yang dapat menghambat (seperti
hormon pertumbuhan, leptin) atau merangsang (seperti insulin) lipogenesis. Sterol regulatory element binding protein- I adalah mediator penting pada kerja proJipogenik atau anti-lipogenik beberapa hormon dan nutrisi. Faktor transkripsi lain yang berhubungan dengan lipogenesis adalah peroxisome proliferator activated receptor-f. Kedua faktor transkripsi tersebut merupakan target menarik
untuk intervensi farmakologi pada kelainan seperti hipertrigliseridemia dan obesitas.
t975
OBESIIIPTS
baik dari yang masuk maupun yang akan keluar (Gambar 1). Insulinmungkin merupakan faktor hormonal terpenting
Lipogenesis. Lipogenesis harus dibedakan dengan adipogenesis yang merupakan proses diferensiasi pra-adiposit menjadi sel lemak dewasa. Lipogenesis adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam lemak dan kemudian sintesis kigliserida yang terjadi di hati pada daerah sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adiposa. Energi yang berasal dari lemak dan melebihi kebutuhan tubuh akan disimpan dalam jaringan lemak. Demikian pula dengan energi yang berasal dari karbohidrat dan protein yang berasal dari makanan dapat disimpan dalam jaringan
yang mempengaruhi lipogenesis. Insulin menstimulasi lipogenesis dengan cara meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan adiposa melalui transporter glukosa menuju membran plasma. Insulin juga mengaktivasi enzim
lipogenik dan glikolitik nielalui modifikasi kovalen (Gambar 2). Efek tersebut dicapai dengan mengikat insulin pada reseptor insulin di permukaan sel sehingga mengaktivasi kerja tirosin kinasenya dan meningkatkan efek downstream melalui fosforilasi tirosin. Insulin juga mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik, mungkin melalui faktor transkripsi Sterol Regulatory Elemmt Binding Protein-l (SREBP-I) (Gambar 2). Selain itu,
lemak(Gambarl). Asam lemak, dalam bentuk trigliserida dan asam lemak yang terikat pada albumin didapat dari asupan makanan atau hasil sintesis lemak di hati. Trigliserida yang dibentuk dari kilomikron atau lipoprotein akan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang dibentuk oleh adiposit dan disekresi ke
insulin menyebabkan SREBP-I meningkatkan ekspresi dan
kerja enzim glukokinase, dan sebagai akibatnya, meningkatkan konsentrasi metabolit glukosa yang dianggap menjadi perantara dari efek glukosa pada
dalam sel endotelial yang berdekatan dengannya (adjacent). Aktivasi LPL dilakukan oleh apoprotein C-II yang dikandung oleh kilomikron dan lipoprotein (VLDL).
ekspresi gen lipogenik.
Hormon pertumbuhan (growth hormonelGH) menurunkan lipogenesis di jaringan adiposa secara dramatis, sehingga terjadi penurunan lemak yang
Kemudian asam lemakbebas akan diambil oleh sel adiposit sesuai dengan derajat konsentrasinya oleh suatu protein transpor transmembran. Bila asam lemak bebas sudah
bermakna, dan berhubungan dengan penambahpu massa otot. Efektersebut diperantarai melalui dua jalur:
masuk ke dalam adiposit maka akan membentuk pool asam lemak. Pool imakan mengandung asam lemak yang berasal
.
Hormon pertumbuhan menurunkan sensitivitas
Pool
Asam Lemak bebas
Glukosa Ruang Ekstra selular
Sirkulasi Pool Substrat Gambar 1. Mekanisme keseimbangan lipolisis dan lipogenesis
1976
METABOLIKENDOKRIN
Asam Lemak Tidak
jenuh rantai Ganda
Glukosa
+
Asetil KoA Sitrat
Enzim I I
Asam lemak
Lias"
+
Malonil KoA
Asam Lemak
o*J",,0 KoA
I
TG
Gambar 2. Regulasi lipogenesis pada hepatosit dan adiposit
insulin sehingga terjadi down-regulatior ekspresi enzim sintetase asam lemak di jaringan adiposa. Mekanisme tersebut masih belum jelas, namun GII mungkin mempengaruhi sinyal insulin di thgkat po st-
.
reseptor.
GH dapat menurunkan lipogenesis dengan cara memfosforilasi faktor transkripsi Stat5a dan 5b. Hilangnya Stat5a dan 5b pada model knock-out memperlihatkan penurunan akumulasi lemak di jaringan
adiposa. Mekanisme bagaimana protein Stat5 meningkatkan penyimpanan lemak, masih belum diketahui.
Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan lipogenesis. Leptin membatasi penyimpanan lemak tidak hanya dengan mengurangi masukan makanan, tetapi juga dengan mempengamhi jalur metabolik yang spesifik di adiposa dan jaringan lainnya. Leptin merangsang pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan menstimulasi oksidasi asam lemak dan menghambat lipogenesis. Efek yang terakhir tercapai dengan down-regulatloz ekspresi gen yang berhubungan dengan asam lemak dan sintesis trigliserida, sebagaimana digambarkan pada oligonucleotide micro-array analysis. Target negatif leptin yang lain mungkin SREBP-1, karena faktor transkripsi ini mungkin ikut berperan dalam mediasi efek inhibisi leptin dalam ekspresi gen lipogenik. Faktor endokrin atau autokrin yang berhubungan dengan sintesis trigliserida setelah insulin, GH dan leptin adalah Acylation Stimulating Protein (ASP). ASP adalah peptida kecil yang sama dengan C3adesArg, suatu produk dari faktor komplemen q ASP diproduksi oleh jaringan
adiposa dan kemungkinan bekerja secara autokrin.
Beberapa studi in vitro menunjukkan bahwa ASp menstimulasi akumulasi trigliserida di sel adiposa. Akumulasi tersebut terjadi karena terdapat peningkatan sintesis trigliserida dan penurunan lipolisis jaringan adiposa pada saat yang bersamaan.
Lipolisis. Lipolisis merupakan suatu proses di mana terjadi dekomposisi kimiawi danpenglepasan lemak dari janngan lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka lipolisis merupakan proses yang predominan terhadap proses lipo-
genesis. Enzim Hormone Sensitive Lipase (I1SZ) akan menyebabkan teq adinya hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak yang dihasilkan akan masuk k e dalamp o o I
asam lemak, di mana akan terjadi proses re-esterifikasi, beta oksidasi atau asam lemak tersebut akan dilepas masuk
ke dalam sirkulasi darah untuk menjadi substrat bagi otot skelet, otot jantung, dan hati. Asam lemak akan dibentuk menjadi AIP melalui proses beta oksidasi dan asam lemak akan dibawa ke luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah untuk kemudian menjadi sumber energi bagi jaringan yang membutuhkan. Hormon insulin akanmengurangi mobilisasi asam lemak
dari jaringan lemak dengan cara menghambat enzim trigliserid lipase. Mekanisme penghambatan ini terjadi melalui proses pengurangan siklik AMP yang pada waktunya akan menghambat siklik ANIP dependent protein kinase. Supresi lipolisis ini akan mengurangi jumlah asam lemak ke hati dan jaringan perifer. Dengan berkurangnya asam lemak ke hati maka pembentukan asam keto berkurang. Insulinjuga akan merangsang penggunaan asam keto ini oleh jaringan perifer sehingga tidak akan terjadi akumulasi asam ini di darah.
1977
OBESII|PTS
Jaringan Lemak sebagai Keleniar Endokrin Adiposit yang sebelumnya dikenal hanya sebagai tempat penyimpanan trigliserida, sekarang diketahui dapat mensekresi beberapa peptida dengan berbagai efek kerja yang sebagian mempunyai sifat sebagai kelenjar endokrin. Sel endokrin akan mensekresi hormon untuk suatu efek
yang terletak jauh (efek endokrin) dan juga mempunyai efek lokal (parakrin). Selain itu, dapatjuga mempunyai efek terhadap dirinya sendiri (autokrin). Penetitian eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa hormon dan sitokin yang dihasilkan adiposit mempunyai efek terhadap susunan syarafpusat, hati, otot, dan fulang serta beberapa orgaujaringan lain.
Penemuan baru yang menggunakan pendekatan genomik dan proteomik telah mengidentifikasi berbagai faktor sekresi adiposit baru yang fungsinya belum jelas. Jaringan adiposa yang terlalu sedikit maupun terlalu
banyak menyebabkan gangguan metabolik seperti resistensi insulin. Obesitas sentral sangat berkorelasi dengan timbulnya diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.
OBESITAS
Definisi dan Klasifikasi Obesitas Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan
oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atauberlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.
Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/ hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, hiperuresemia, gangguan f,tbrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi. Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass in-
gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih kecil. Karena IMT menggunakan ukuran tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. IMT dapat memperkirakan jumlah lemak tubuh yang dapat dinilai
dengan menimbang di bawah air (r2: 79Yo) dengan kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin. Bila melakukan penilaian IMI perlu diperhatikan akan adanya perbedaan individu dan etnik.
Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi, terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena variasi lean body mass. Tabel 1, merupakan klasifikasi yan g ditetapkan World
Health Organization (WHO), nilai IMT3 30 kglm2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai lilldT 25-29,9 kglm2, sebagai "Pra Obese".
Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnikAmerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kglm2 danetnik Polinesia m6miliki
IMT lebih tinggi 4,5 kg/nf dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand adalah 1,9, 4,6, 3,2 dan2,9 kgl
m2
lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu
memperlihatkat adanya nilai cutoffIMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu.
WilayahAsia Pasifft pada
saat
ini telah mengusulkan
kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri (Tabel 2). Penelitian lainnya melaporkan bahwa orang Indonesia dengan berat badan, tinggi badan, umur, dan jenis kelamin o/olemak yang samaumumnyamemiliki 4,8 + 0,5 (SEM) tubuh lebih tinggi daripada otang Belanda. Dengan persentase lemak tubuh, umur, dan jenis kelamin yang sama, IMT antara orang Indonesia dan Belanda (etnik Kaukasia) berbeda sekitar 3 vilt(2,9 + 0,3 (SEM) kglm2. Mengacu pada angka-angka ini, maka titik cutoff IMT
dex (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi
tinggi dalam meter kuadrat (nf). Saat ini IMT merupakan
indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes. Orang yang lebih besar-tinggi dan
Klasifikasi Berat Badan Kurang Kisaran Normal Berat Badan Lebih
<'18,5 18,5
-
24,9
>25
35,0 -
Pra-Obes
25,O
29,9
Obes Tingkat
30,0
34,9
I
Obes Tingkat ll Obes Tingkat lll
Sumber : WHO fechnlcal serles, 2000
39,9
>40
1978
MEIABOLIKENT'OKRIN
Risiko Ko-Morbiditas Klasifikasi
Berat Badan Kurang
<19,5
Kisaran Normal Berat Badan Lebih Berisiko
18,5 -22p >_23,0
.
Obes
I
Obes ll Sumber
:
Lingkar Perut
IMT (kg/m2)
23,0 - 24,9 25,0 - 29,9 > 30,0
< 90 cm (Laki.Laki) < 80 cm (Perempuan)
> 90 cm (Laki-Laki) > 80cm (Perempuan)
rendah (risiko meningkat pada masalah klinis lain) sedang
Sedang
meningkat moderat berat
meningkat moderat berat sangat berat
WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacffic Perspective: Redefining Obesity and its Treatment (2OOO\
orang Indonesia seharusnya2T danbukan 30 kg/mr. Sebenarnya sangat sulit untuk mendapatkan angka
obesitas secara global dengan tepat karena sulit didapatkannya angka-angka yang akurat dan yang dapat saling dibandingkan. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih banyak. Pada dewasa muda laki-laki lemak tubuh > 25o/o dan perempuan > 35%o. Keadaan ini sesuai dengan indeks masa tubuh (IMT) : 30 kglrfi pada orang Kaukasia
berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara-negara ini, termasuk di Indonesia. Walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang baku mengenai obesitas, datayangada saat ini sudah menunjukkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk dengan obesitas, khususnya di kota-kota besar. Penelitian epidemiologi yang dilakukan di daerah sub urban di daerah
yang tidakjauh berbeda. Berat badan seseorang 40-70%
Koja, Jakarta Utara, pada tahun 1982, mendapatkan prevalensi obesitas sebesar 4,2%o; di daerah Kayu Putih, Jakarta Pusat, sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1992, prevalensi obesitas sudah mencap ai ll,lYo,di mana ditemukan prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan masing-masing, 10,9%o dan 24,lYo. Pada populasi obesitas ini, dislipidemia terdapat pada 19% lakilaki dan I 0, 8 o/o perempuan, dan hipertrigliseridem ia pada 16,60/o laki-laki. Pada penelitian epidemiologi di daerah
ditentukan secara genetik. Berat badan dipengaruhi
Abadijaya, Depokpada tahun 2001 didapatkan 48,6o/o,pada
lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya kegiatan fisik, dan kemiskinan/ kemakmuran. Obesitas pada perempuan berakar pada obesitas pada masa kecil, obesitas pada lakilaki terjadi setelah umur 30 tahun.
tahtn 2002 didapat 45Yo dan 2003 didapat 44oh orang dengan berat badan lebih dan obes; sedang IMT pada tahun 2 00 I adalah 2 5,1 kd m', tahttr, 2002 ; 24,8 kg rfi dan
muda.
Jumlah lemak tubuh dapat ditentukan in vivo dengan cara menimbang di bawah permukaan air, Dual
Energt X-
Ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan mengukur tebal
lipatankulit. Obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal. Kembar identik yang hidup terpisah akan mempunyai berat badan
Epidemiologi Obesitas Saat
ini diperkirakanjumlah orang di seluruh dunia dengan
IMT 3 30 kg/m? melebihi 250 juta orang, yaitu sekitar
7%o
dari populasi orang dewasa di dunia. Bila kita mempertimbangkan masing-masing negara, kisaran prevalensi obesitas meliputi hampir semua spektrum, dari < 5% di China, Jepang, dan negara-negaraAfrika tertentu sampai lebih dari 75% di daerah urban Samoa. Angka obesitas tertinggi di dunia berada di Kepulauan Pasifik
pada populasi Melanesia, Polinesia and Mikronesia.
Misalnya pada tahun 1991, di daerah urban Samoa diperkirakan 75Yo perempuan dan 60%o laki-laki diklasifikasikan sebagai obes. Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang
tahun 2003; 24,3kg1m2.
Pada tahun 1997 d,an 1998 dilakukan penelitian komposisi tubuh di beberapa daerah di Indonesia dan didapatkan bahwa pada umur, gender dan IMT yang sama dibandingkan dengan Kaukasia (Belanda), lemak tubuh orang Indonesia 5o/o lebih tinggi, sehingga seharusnya IMT juga 3 kglm2 lebih rendah. Dalam penelitian pada 6.3 I 8 orang pada tahun 2003-2004 HISOBI (Himpunan Studi Obesitas Indonesia) mendapatkan nilai IMT dan lingkar perut yang tidak berbeda jauh dari yang diusulkan oleh WHO/IOTF/IDF Westem Pacific (Asia Paci/ic Criteria), yaitu nilai batas (cutffi IMT: 24,9 kg/nf untuk perempuan dan laki-laki dengan lingkarperut 82,5 cm untukperempuan dan 88,7 cm untuk laki-laki.23 Penelitian-penelitian mengenai
obesitas di Indonesia tidak melaporkan konsentrasi leptin, kecuali penelitian pada populasi obes di Minahasa di mana dilaporkan bahwa hiperleptinemia didapatkan pada 63,4o/o
dari populasi obes. Pada subyek obes, konsentrasi asam lemak bebas,
1979
OBESIIiPTS
trigliserida, kolesterol LDL dan apoB lebih tinggi
Obesitas Sentral
dibandingkan orang non-obes dan terdapat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi akibat PJK dan stroke dibandingkan dengan orang non-obes. Pada laki-laki yang berumur 30-59 tahun didapatkan perbedaan yang kuat antara jenis pekerjaan dan insidensi Infark Miokard Akut (IMA), kejadian koroner dan angka kematian. Di Indonesia saat ini penyakit kardiovaskular masih merupakan penyebab kematian utama. Menurut survei kesehatan rumah tatgga, prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah menduduki urutan ke-3 pada tahun 1980 dengan prevalensi sebesar 9,902, meningkat menjadi 9,7yo di urutan ke-2 pada tahun 1986, dan menduduki peringkat I pada tahun 1990 dengan prevalensi sebesar
Pada obesitas yang moderat, distribusi lemak regional tampaknya dapat merupakan indikator yang cukup penting
16,5Yo.
Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama
obesitas sentral, sangat erat hubungannya dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan satu
kelompok kelainan metabolik yang, selain obesitas, meliputi, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menrpakan faktor risiko utama untuk
terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner danlatau strok. Mekanisme dasar bagaimana komponen-komponen sindrom metabolik ini dapat terjadi pada seorang dengan obesitas sentral dan bagaimanakomponen-komponen ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan vaskular, hingga saat ini masih dalam penelitian. Meskipun struktur, fungsi dan metabolisme lipoprotein telah diteliti selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hubungan fungsi heterogenitas lipoprotein ini dengan peningkatan maupun penghambatan terhadap proses aterogenesis masih belum diketahui dengan j elas. Sebagai contoh, partikel LDL. Ukuran partikel LDL berkorelasi positif dengan konsentrasi trigliserida dan apoB, tetapi berkorelasi negatif dengan konsentrasi HDL. Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah interaksi faktor-faktor yang berperan dalam metabolisme lipoprotein. Misalnya, ekspresi LDL subklas fenotipe B (small dense LDl)tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga oleh faktor-faktor lain, seperti obesitas, hiperinsulinemia dan hiperlipidemia. Insidensi obesitas di negara-negara berkembang makin meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan mereka yang menderita karena kelaparan. Beban finansial, risiko kesehatan dan dampak pada kualitas hidup berhubungan
dengan epidemi tersebut sehingga memerlukan pemahaman mendalam tentang mekanisme molekular yang
mengatur berat badan untuk kemudian dapat mengidentifikasi cara-cara pengobatan baru untuk mengatasinya.
terhadap terjadinya perubahan metabolik dan kelainan kardiovaskular, walaupun hubungan afltara IMT dan komplikasi-komplikasi tersebut belum terlalu meyakinkan. Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan lemak intra-abdominal yang dapat dinilai dengan cara CT dan MRI. Jaringan lemak intra abdominal terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak omental dan mesenterial serta massa lemak retroperito-
neal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian permukaan ventral ginj al). Pada laki-laki, massa retroperitoneal hanya merupakan
sebagian kecil dari lemak intra abdominal. Kira-kira seperempafilya terdiri dari lemak viseral. Lemak subkutan daerah abdomen sebagai komponen obesitas sentral mempunyai korelasi yang kuat dengan resistensi insulin seperti lemak viseral. Keadaan ini tetap berbeda bermakna setelah disesuaikan lemak viseralnya. Vena porta merupakan saluran pembuluh darah tunggal
bagi jaringan adiposa dan berhubungan langsung dengan hati. Mobilisasi asam lemak bebas akan lebih oepat dari
daerah viseral dibandingkan lemak daerah subkutan. Aktivitas lipolitik yang lebih besar dari lemak viseral, baik pada obes maupun non-obes merupakan kontributor terbesar asam lemak bebas dalam sirkulasi.
Lingkar Perut pada Obesitas Sentral Obesitas sentral dapat dinilai memakai beberapa cara. Cata
yang paling baik adalah memakai computed tomography
(CT)atatmagneticresonanceimagingQvlRl),tetapikedua cara ini mahal harganya dan jarang digunakan untuk menilai keadaan ini. Lingkar perut atau rasio antara lingkar perut dan lingkar pinggul (WHR, Waist-Hip ratio) metupakan altematif klinis yang lebih praktis' Lingkar perut dan rasio lingkarperut dengan lingkar pinggul berhubungan dengan besarnya risiko untuk terjadinya gangg:uan kesehatan.
WHO menganjurkan agar lingkar perut sebaiknya diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subyek diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur memakai pita dengan tegangan pegas yang konstan.
Lingkar perut menggambarkan lemak tubuh dan di antaranya tidak termasuk sebagian besar berat tulang (kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar yang
mungkih akan bervariasi dan mempengaruhi hasil pengukuran. Ukuran lingkar perut ini berkorelasi baik dengan rasio lingkar perut dan pinggul (WHR) baik pada laki-laki maupun perempuan serta dapat memperkirakan
luasnya obesitas abdominal yang tampaknya sudah mendekati deposisi lemak abdominal bagian viseral' Lingkar
1980
MEIABOIJKENDOIRIN
perut juga berkorelasi baik dengan perempuan: r
:
IMT (laki-laki
dan
0,89, P<0,00 I ).
Pada tahun 1995 penelitian di Belanda mendapatkan bahwa lingkar perut > 102 cm pada laki-laki dan > 88 cm
pada perempuan, berhubungan dengan peningkatan substansial risiko obesitas dan komplikasi metabolik. Sedangkan Asia Pasifik memakai ukuran lingkar pinggang
laki-laki: 90 cm dan perempuan 80 cm sebagai batasan. Walaupun IMT < 25kglm2, obesitas sentral dapat saja terjadi, sehingga penyesuaian IMT pada keadaan obesitas sentral perlu diperhatikan, terutama bila IMT di antara 22-29 kfl m2. Lingkar perut dikatakan mempunyai korelasi yang tinggi denganjumlah lemakintra abdominal dan lemak total dan telah digrrnakan baik secara mandiri atau bersamasama tebal kulit subkutan untuk mengembangkan suatu
korelasi regresi untuk mengoreksi massa lemak intra abdominal. Ekuasi ini telah divalidasi dalam sebuah penelitian yang besarjumlahnya di negeri Belanda. Ekuasi dengan menggunakan lingkar perut saja disesuaikan untuk umur, memrnjukkan prediksi lemak tubuh yang baik pada
spesimen subyek orang Belanda (r2:78%o) dengan kesalahan yang sama dalam prediksi seperti penelitian lainnya.
Hubungan Obesitas Sentral dengan Resistensi lnsulin dan Dislipidemia Resistensi insulinpada obesitas sentral diduga merupakan penyebab sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak maupnn sintesis lemak dalam j aringan adiposa. Resistensi
insulin dapat menyebabkan terganggunya proses
penunrnan berat badan sebesar 5 sampai l0 persen dari berat awal dapat mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan. Walaupun belum ada penelitian retrospektif yang menunjukkan perubahan pada atgka kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obese, dengan penurunan berat badan, pengurangan pada faktor risiko ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes tipe 2 serta kardiovaskular Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu obesitas dan overweight mengtrangi faktor risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti kuat lainnya juga menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah pada individu overweight normotensi dan hipertensi; mengurangi serum trigliserida dan meningkatkan kolesterol-HDl; dan secara umum mengakibatkan beberapa pengurangan pada kolesterol serum total dan kolesterol-LDl. Penurunan berat badan juga dapat mengurangi konsentrasi glukosa darah pada individu overweight dan obesitas tanpa diabetes; danjuga mengurangi konsentrasi glukosa darah serta HbA," pada beberapa pasien dengan diabetes tipe 2. Tidak ada terapi tunggal yang efektif untuk or4ng dengan kelebihan berat badan dan obesitas, dan masalah cenderung muncul setelah penurunan berat badan Harapan penurunan berat badan dari seseorang seringkali melebihi kemampuan dari program yang ada sehingga untuk mencapai keberhasilan semakin sulit. Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
penyimpanan lemak maupun sintesis lemak.
Hubungan sebab-akibat (kausatif) antara resistensi
insulin dan penyakit jantung koroner dan stroke dapat diterangkan dengan adanya efek anabolik insulin. Insulin merangsang lipogenesis pada jaingan arterial dan jaringan
adiposa melalui peningkatan produksi acetyl-CoA,
meningkatkan asupan trigliserida dan glukosa. Dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi trigliserida dan penurunan kolesterol HDL merupakan akibat dari pengaruh insulin terhadap Cholesterol Ester Transfer Proteln (CETP) yang memperlancar
transfer Cholesteryl Ester (CE) dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terj adinya katabolisme dari apoA, komponen protein HDL. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Jenis kelamin mempengaruhi sensitivitas insulin dan otot rangka laki-laki lebih resisten dibandingkan perempuan.
MANAJEMEN BERAT BADAN PADAPASIEN OYER. WEIGHTDAN OBESITAS
Penurunan berat badan mempunyai efek yang menguntungkan terhadap komorbid obesitas. Bahkan,
Tujuan Penurunan Berat Badan Penurunan berat badan harus SMARI Spestfic, Measurable, Achievable, Realistic and Time limited. Tujuan awal
dari terapi penurunan berat badan adalah untuk l0 persen dari
mengurangi berat badan sebesar sekitar
berat awal. Batas waktu yang masuk akal unhrk penurunan berat badan sebesar 1 0 persen adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35, pemrnrnan kalori sebesar 300 hingga 500 kcal,/hari akan menyebabkan penunrnan berat badan sebesar Yz sampai 7 kglminggu dan penunman sebesar l0 persen dalam 6 bulan. Setelah 6 bulan, kecepatan pemrrunan berat badan lazimnya akanmelambat dan berat badan menetap karena
seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penumnan energi ekspenditure. Oleh karena itu, setelah terapi penurunan berat badan selama 6 bulan, program penurunan berat badan harus terus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik. Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan
1981
OBESTTAS
kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan.
selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan
jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini,
Terapi Diet. Pada program manajemen berat badan, terapi
pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai. Regimen ini dapatdiadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena keamanannya dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi
diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus
untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik
Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan
dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penunrnan berat badan apapun.
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 100 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict :
Laki-laki: B.E.E:66.5 + (13.75 xkg) + (5.003 x cm) - (6.775xage)
tangga dari pada rarik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakukan aktivitas yang lebih berat. Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas fi sik adalah mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan risiko cedera rendah.
Terapi perilaku. Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet
dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan
aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
Wanita:
: 655. I + (9.563 x kg) + (1. 850 x cm) - (4.67 6 x age)
pemecahan masalah, contigency management, cognitive
Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stress dan aktMtas. Faktor stress ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai leblhdai2.
Farmakoterapi. Farmakoterapi merupakan salah satu
Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak
Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat
B.E.E
seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu seharihari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori jugaberkurang. Ketikan asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan konsentrasi kolesterol-LDl.
Aktivitas fisik. Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan; walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan pemrrunan berat badan lebihbanyak dalamjangka waktu enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena pemmnan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan.
Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas frsik saja. Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka panjang dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur. Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan
restructuring dan dukungan sosial. komponen penting dalam program manajemen berat badan.
berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut
fisik terbukti efektif menurunkan berat badan
Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, at'rtmia atau riwayat strok. Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlitas, dibutuhkan penggantian
j antung.
vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter
dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.
Terapi bedah. Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI > 40 atau > 35 dengan kondisi komorbid. Terapi Bedah ini harus dilakukan sebagai altematif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi
obesitas yang ekstrem.
Bedah Gastrointestinal (restriksi gastrik lbanding vertical gastricf atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah
1982
suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendah. Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet,
aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan sosial.
REFERENSI Assimacopoulos-Jeannet F, Brichard S, Rencurel F, et al: In vivo effects of hyperinsulinemia on lipogenic enzymes and glucose transporter expression in rat liver and adipose tissues. Metabo-
lism 44:228, 1995
BaiY, Zhatg S, Kim K, et al: Obese gene expression altbrs the ability of 30A5 preadipocytes to respond to lipogenic hormones. J Biol Chem 1996;271:13939, Boden G, Chen X, Capulong E, et al: Effects of free fatty acids on gluconeogenesis and autoregulation of glucose production in type 2 diabetes. Diabetes 2001;50:810, Bray G: Contemporary diagnosis and management of obesity. Health Care CO 1998; I:6, Bray G: Historical framework for the development of Ideas about obesity. 1n Bray GA, Bouchard C (eds): Handbook of Obesity, Etiology and Pathophysiology. New York: Marcel Dekker Inc; 2004, p. I Carey D: Abdominal obesity. Curr Opin Lipidol 1998;9;35. Carpentier A, Mittelman S, Bergman R, et al: Prolonged elevation of plasma free fatty acids impairs pancreatic beta-cell function in obese nondiabetic humans but not in individuals with type 2 diabetes. Diabetes 2000 ;49 :399. Corry D, Tuck M: Selective aspects of the insulin resistance syndrome. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001;10:507. Despres J, Prud'homme D, Pouliot M, et al: Estimation of deep abdominal adipose-tissue accumulation from simple anthropometric measurements in men. Am J Clin Nutr 199I;'54l.471. Deurenberg P, Yap M, van Staveren W: Body mass index and percent trcrl. f'at: a meta analysis among different ethnic groups. Int J Obes Relat Metab Disord 1998;22:1164, Etherton T: The biology of somatotropin in adipose tissue growth and nutrient partitioning. J Nutr 2000;130:2623. Executive summary of the third report of the national cholesterol education program (NCEP) expert panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel III). lama 2001;285:2486. Faraj M, Havel P, Phelis S, et al: Plasma acylation-stimulating protein, adiponectin, leptin, and ghrelin before and after weight loss induced by gastric bypass surgery in morbidly obese subjects. J Clin Endocrinol Metab 2003;88:1594. Foretz M, Guichard C, Ferre P, et al: Sterol regulatory element binding protein-lc is a major mediator of insulin action on the hepatic expression of glucokinase and lipogenesis-related genes. Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:12737. Fruhbeck G, Aguado M, Martinez J: In viho lipolytic effect of leptin on mouse adipocytes: evidence for a possible autocrine/paracrine role of leptin. Biochem Biophys Res Commun 1997;240:590. Goodpaster B, Thaete F, Simoneau J, et al: Subcutaneous abdominal fat and thigh muscle composition predict insulin sensitivity independently of visceral fat. Diabetes 1997;46:1579. Gurrici S, Hartriyanti Y, Hautvast J, et al: Relationship between body fat and body mass index: differences between Indonesians
METABOLIKEIYDOKRIN
and Dutch Caucasians. Eur J Clin Nutr 1998;52:779. I Richmond P, Avenell A, et al: Waist circumference reduction and cardiovascular benefits during weight loss in women. Int J Obes Relat Metab Disord 1997;21:127. Han T, Seidell J, Cunall J, et a1: The influences of height and age on waist circumference as an index of adiposity in adults. Int J Obes Relat Metab Disord 1997;21:83. Heo Y, Claycombe K, Jones B, et al: Effects of fatty (fa) allele and high-fat diet on adipose tissue leptin and lipid metabolism. Horm Metab Res 2002;34:686. Heymsfield S, Hoffman D, Testolin C, et al: Evaluation of human Han
adiposity. 1n Bjorntorp P (ed): International textbook of obesity. New York: John Wiley & Sons, Ltd; 2001. p. 85 Indriyanti R, Harijanto T: Optimal cut-off value for obesity: using anthropometdc indices to predict atherogenic dyslipidemia in Indonesian population. : ljokroprawiro A, Soegih R, Soegondo S, et al (eds): 3rd National Obesity Symposium (NOS III) 2004.
Jakarta: Himpunan Studi Obesitas Indonbsia (HISOBI), 2004, Vol 3, p. I
Inoue S, Zimmet P: The Asia-Pacifik perspective, redefining obesity and its treatment. Australia: Health communications Australia Pty limited on behalf of the steering commitee, 2000 Kakuma T, Lee Y, Higa M, et al: Leptin, lroglitazone, and the expression of sterol regulatory .l"msff [inding proteins in liver and pancreatic islets. Proc Natl Acad Sci U S A 2000;97:8536. Kopelman P: Obesity bs a medical problem. Nature 404:635,.2,000 Lane M, Flores-Riveros J, Hresko R, et al: Insulin-receptor tyrosine kinase and glucose transport. Diabetes Care 1990;13:565. Lang T, Ducimetiere P, Arveiler D, et al: Incidence, case fatality, risk factors of acute coronary heart disease and occupational
categories in men aged 30-59 in France. Int J Epidemiol ,1997;26:47 Laws A: Free fatty acids, insulin resistance, and lipoprotein metabo.
lism. Curr Opin Lipidol 1996;7:172. ! Morrison C: Waist circumference as a measure for indicating need for weight management. Bmj 1995;311:158.
Lean M, Han
Leyva F, Godsland I, Ghatei M, et al: Hyperleptinemia as a component of a metabolic syndrome of cardiovascular risk. Arterioscler Thromb Vasc Biol 1998;18:928, Lonnqvist F, Thome A, Large V, et al: Sex differences in visceral fat lipolysis and metabolic complications of obesity. Arterioscler Thromb Vasc Biol 1997;17:1472. Lukito B, Sumual A, Pandelaki K: Konsentrasi leptin serum pada suku Minahasa yang obes dan hubungannya dengan resistensi insulin. In: Buku abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKENI
MEDAN, 2OO3 Marin P, Andersson B, Ottosson M, et al: The morphology and metabolism of intraabdominal adipose tissue in men. Metabo-
lism 1992;41:1242. McGarvey S, Forrest W, Weeks D, et al: Human leptin locus (LEP) alleles and BMI in Samoans. Int J Obes Relat Metab Disord 2002:26:783. Obesity: preventing and managing the global epidemic. Report of a WHO consultation. World health organ tech rep ser 2000;894:i. Rosen E, Spiegelman B: Molecular regulation of adipogenesis. Annu Rev Cell Dev Biol 2000;16:145. Seidell J, Oosterlee A, Deurenberg P, et al: Abdominal fat depots measured with computed tomography: effects of degree of obesity, sex, and age. Eur J Clin Nutr 1988;42:805. Siegrist-Kaiser C, Pauli V, Juge-Aubry C, et al: Direct effects of
leptin on brown and white adipose tissue. J Clin Invest 1997;100:2858.
1983
oBESTXAS
A, Cianflone K, Amer P, et al: The adipocyte, fatty acid trapping, and atherogenesis. Arterioscler Thromb Vasc Biol
Sniderman
1998;18:147. Sniderman A, Maslowska M, Cianflone K: Of mice and men (and women) and the acylation-stimulating protein pathway. Curr
Opin Lipidol 2000;ll:291.
A, Cohen P, Socci N, et al: Leptin-specific pattems of gene expression in white adipose tissue. Genes Dev 2000;14:963. Subekti I, Yunir E, Soebardi S, et al: Studi prevalensi DM dan faktor risiko yang berhubungan di desa Abadi Jaya Depok. In Buku abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKENI MEDAN; 2003 Teglund S, McKay C, Schuetz E, et al: Stat5a and Stat5b proteins have essential and nonessential, or redundant, roles in cy'tokine Soukas
responses.
Cell 1998;93:841.
van Baak M: The peripheral sympathetic nervous system in human obesity. Obes Rev 2001;2:3. Wang M, Lee Y, Unger R: Novel form of lipolysis induced by leptin. J Biol Chem 1999;274:l'7541.
Waspadji S: Kegemukan: risiko untuk berbagai penyakit dan pengelolaannya, in Pusat Diabetes dan Lipid, Sub-bag MetabEndo, Bag IPD FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 1982, p. I Waspadji S, Soewondo P, Suyono S, et a1: Obesitas berdasarkan tebal lemak bawah kulit pada pasienhiperlipidemia. In: Waspadji S,
Suyono S, Sukardji
K
(eds): Pengkajian status gizi. Studi
epidemiologi. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1993 Waspadji S, Suyono S, Soewondo P, et al: Pengkajian diet pada pasienpenyakit jantung koroner. In: Waspadji S, Suyono S, Sukardji K (eds): Pengkajian status gizi. studi epidemiologi. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003 Wijaya A: Leptin, TNF-cx, dan reseptor adrenergik-b3, peranannya pada obesitas dan resistensi insulin. Forum Diagnosticum 1997; Suppl 2:1,
310 DISLIPIDEMIA lohn
MF.
Adam
LIPID DAN LIPOPROTEIN
protein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan kolesterol ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Apoprotein ditemukan pada permukaan
darah kita ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid, dan fosolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam lemak, maka perlu dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut yaitu suatu protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein atau apoprotein. Pada saat ini dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama secara alfabetis yaitu Apo A, Apo B, Apo C, dan Apo E. Senyawa lipid dengan apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap
Di dalam
lipoprotein (Gambar 1) Setiap lipoprotein berbeda dalam ukutan, derlsitas, komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan
menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoproteisn yaifi l-high-density
lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), intermediate-density lipoprotein (IDL), very low density lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a kecil
jenis lipoprotein mempunyai Apo tersendiri. Sebagai contohuntukVlDl, IDL, dan LDL mengandungApo 8100, sedang
Apo B48 ditemukan pada kilomikron. Apo A
I
,
(Lp(a) (Tabel 2).
Apo
ditemukan terutama pada lipoprotein HDL dan kilomikron (Tabel 1) Setiap lipoprotein akan terdiri atas kolesterol (bebas atau ester), trigliserid, fosfolipid, dan apoprotein. Lipo-
42, danApo
,A.3
Apolipoprotein Massa
METABOLISME LIPOPROTEIN Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu jalur metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen, dan
Lipoprotein
Fungsi Metabolik
Molekul Apo Al Apo All Apo AIV
Apo Apo
B48 8100
Apo Cl Apo Cll Apo Clll
28.016 17.414 46.465
HDL, Kilomikron HDL, Kilomikron HDL, Kilomikron
264.000 540.000
VLDL, lDL, LDL
6630 8900 8800
Kilomikron
Kilomikron,
VLDL, IDL, LDL Kilomikron,
Komponen struktural HDL; aktivator LCAT Belum diketahui Belum diketahui: mungkin sebagai fasilitator transfer Apo lain antara HDL dan kilomikron Dibutuhkan for assembly dan sekresi kilomikron dari usus halus Dibutuhkan for assembly dan sekresi VLDL dari hati, struktur protein dari VLDL, lDL, LDL; ligand untuk reseptor LDL Dapat menghambat ambilan hati terhadap LDL lDL, LDL, kilomikron dan remnant VLDL Aktifator enzim lipoprotein lipase
VLDL, IDL, HDL
lnhibitor enzim lipoprotein lipase; dapat menghambat ambilan kilomikron,VlDl, lDL, HDL, dan VLDL di hati Apo E 34.145 Kilomikron, Ligand untuk beberapa lipoprotein dari reseptor LDL, LRP, dan kemungkinan VLDL, lDL, terhadap apo E reseDtor hati lain Dikutipdari.GinsbergHN,GoldberglJ.Disordersof lipoproteinmetabolism Principlesof internal medicinel4th. lnternational edition Harrison's1998; 2: Kilomikron, LDL,
LDL, HDL
2138
-2152
1984
1985
DISLIPIDEMIA
asam lemak bebas (free
fatty acid (FFA)
:
non-esterified
fatty acid (NEFA). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukkan trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian
besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati.
JALUR METABOLISME ENDOGEN
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B 100. Dalam sirkulasi, trigliserid di VLDL
Apolipoprotein + Lipid = Lipoprotein Gambar 1. Bentuk Suatu Lipoprotein. (Feher MD, Richmond W. Lipoproteins: structure and function. ln: Lipids and Lipid Disorders 2nd
ed. Bayer. 1996, 6
-
13)
jalur reverse cholesterol transport. Kedua jalur pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDl dan trigliserid, sedang jalur reverse chlesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol-HDl.
Jalur Metabolisme Eksogen Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid dan kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam ususjuga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak eksogen. Trigliserid dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserid akan diserap sebagai asam lemak bebas sedang kolesterol sebagai kolesterol. Di dalam usus halus asam lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserid, sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan keduanya bersama dengan fosfolipid
akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), dan VLDL berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDl. Sebagian lagi dari kolesterol-LDl akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan
menjadi sel busa (foam cell). Makin banyak kadar kolesterol-LDl dalam plasma makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengamhi tingkat oksidasi seperti: . Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes
.
dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron.
Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhimya melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserid dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh er:zim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi
Densitas HDL LDL IDL VLDL Kilomikron Lp (a)
1.21-1.063 1.063-'1.019 1 .019-1 .006 < 1.006 < 1,006 1.04-1.08
u r Revers e C holesterol Tra n spott HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang mengandung apolipoprotein (apo) A, C dan E; dan
Jal
disebut HDL r ascent. HDL nascent berasal dari usus halus
Lipid utama Kolesterol Kolesterol Kolesterol Trigliserid Trigliserid Kolesterol
melitus Kadar kolesterol-HDl, makin tinggi kadar kolesterolHDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL.
ester ester ester, trigliserid
Diameter 7.5-'10.5
21.5
25-3 39-1 00
60-500 ester
21-30
Apolipoprotein menurut urutan yang terpenting A-1, A-il, C, E B-1 00 B-100, C dan E B-100, c, E B-48, C, E, A-1, A-ll, A-lV B-100, Lp (a)
Dikutip dari: l/alloy MJ, Kane JP. Disorder of lipoprotein metabolism. Greenspan FS, Gardner DG (eds). Basic and clinical endocrinology. 7th ed., 2004; 766-793
1986
METABOUKENDOKRIN
fungsi HDL sebagai "penyerap" kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak
langsung melalui
VLDL dan IDL untuk membawa
kolesterol kembali ke hati.
Pada gambar
4 diperlihatkan keseluruhan jalur
i., ( t:
Reseptor LDL Scavenger reptor-A / CD 36
ABC-1 SRB-1
-+Tinja Gambar 2. Jalur metabolisme eksogen. (Dikutip dari: Shepherd J. Eur Heart J Supplements 2001;3(Suppl E):E2-E5)
Gambar 4. Jalur reverse cholesterol transpoti. (Dikutip dari, Kwiterovich PO, Jr.. Am J Cardiol 2000; 86: 5L
- 101)
ReseptorLDL
.. i
i
Adenosine triphosphate - binding Cassette transporter-1(ABC-1)
Gambar 3. Jalur metabolisme endogen. (Dikutip dari: Kwiterovich PO, Jr. Am J Cardiol 2000: 86; 5L
-
10 L)
dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan mengandung apolipoprotein A1 .T{DL nascent akanmendekati grakrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil kolesterol dari makro fag, HDL nas cent berubah menjadi HDL dewasa yang berbentukbulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol bebas) di bagian dalam dari makrofag harus dibawa ke permukaan membran sel makrofag oleh suatu transporter yang disebut adenosine triphosphate-binding cassette transporter- I atau disingkat ABC- I . Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas akan diesterifikasi menjadi kolesterol
ester oleh enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalurpertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type I dikenal dengan SR-BI. Jalur kedua adalah kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian
Gambar 5. Jalur metabolisme lipoprotein. (Dikutip dari: Shepherd
J
Eur Heart J Supplements 2001;3(suppl E):E2-E5)
metabolisme lipoprotein baik yang berasal dari eksogen, endogen, dan jalur reyerse cholesterol lransport.
KLASIFIKASI DISLIPIDEMIA, DAN KADAR LIPID NORMAL Klasif,rkasi dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang
tidak jelas sebabnya dan sekunder yang mempunyai penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik, diabetes melitus, hipotiroidisme. Selain itu dislipidemi dapat juga dibagi berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDLcholestrol,dan dislipidemi campuran. Bentuk yang terakhir ini yang paling banyak ditemukan. Dilihat dari pemilihan obat penurun lipid mungkin klasifikasi yang terakhir yang lebih tepat.
1987
DISIJPIDEMIA
Kapan disebut lipid normal, sebenamya sulit dipatok pada satu angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor risiko koroner multiple (lihat bawah)' Walaupun demikian National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III) telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner
Umur pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun Riwayat keluarga PAK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun Kebiasaan merokok Hipertensi (> 140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi) Kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dl)-
i: Executive summary of
seseorang (Tabel 3).
the
of the National
el on Detection, Education Program (NCEP) in Adults (Adult and Treatment of High blood Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285:2486-2497 * Kolesterol HDL > 60 mg/dl, mengurangi satu faktor risiko
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP lll 2001 mg/dl
Kolesterol total < 200 200 -239 > 240
Optimal Diinginkan Tinggi
Kategori Risiko
Kolesterol LDL < 100
-
100 129 130 159 160 189 > 190
Kolesterol HDL <40
>60
Optimal Mendekati optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi Rendah Tinggi
Trigliserid < 150 150
-
199
200-499 > 500
'
Optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi
Sasaran Kolesterol LDL (ms/dl)
Risiko tinggi Mempunyai riwaYat PAK dan Mereka yang disamakan dengan PAK Diabetes melitus Bentuk lain PenYakit aterosklerotik Yaitu strok, penyakit arteri Perifer, aneurisma aorta abdominalis Faktor risiko multipel (> 2 risiko) yang diPerkirakan dalam kurun waktu 10 tahun memPunYai risiko
< 100
a) b)
-
-
< 130 < 160
PAK> 20%
lH[:l'JliJ. in Adults (Adult
Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285'.2486-2497
FAKTORRISIKO KORONER DAN MENENTUKAN RISIKO SESEORANG Langkah pertama untuk pencegahan penyakit arteri koroner ialah menentukan seberapa banyak faktor risiko yang dimiliki seseorang (selain kadar kolesterol LDL) untuk menentukan sasaran kadar kolesterol LDL yang akan dicapai. National Cholesterol Education Programme, Adult Panel Treatment III (NCEP-ATP III) telah menetapkan faktor risiko selain kolesterol LDL yang digunakan untuk menenhrkan sasaran kadarkolesterol LDL yang diinginkan pada orang dewasa > 20 tahun (Tabel 4)'
Tiga Kelompok Risiko Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan banyaknya faktor risiko di atas yang
ditemukan pada seorang pasien, maka NCEP - ATP III membagi tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu mereka dengan risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah. Berbeda dengan NCEP-ATP II' mereka yang tergolong risiko tinggi dimasukkan juga kelompok yang disamakan dengan penyakit arteri koroner yaitu diabetes melitus, mereka dengan risiko multiple yang diperkirakan dalam l0 tahun mempunyai risiko PAK > 20 yo (Tabel 5).
Risiko multipel (> 2 faktor risiko) Risiko rendah (0 't faktor risiko)
-
D 6 5
:
the National I on Detection,
in Adults (Adult
Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285:2486-2497 PAK = Penyakit arteri koroner
OBAT UNTUK DISLIPIDEMIA Pada saat ini dikenal sedikitnya 6 jenis obat yang dapat memperbaiki profil lipid serum yaittt b ile acid s equestran, HMG-CoA reductase inhibitor (statin), deivat asam fibrat, asam nikotinik, ezetimibe, dan asam lemak omega-3. Selain obat tersebut; pada saat ini telah dipasarkan obat kombinasi dua jenis penunrn lipid dalam satu tablet seperti Advicor
(lofastatin dan niaspan), Vytorin (simvastatin dan ezetimibe).
BileAcid Sequestrants Terdapat tiga jenis bile acid sequestrans yaittt cholestyramin, colestipol, dan colesevelam' Obat ini tidak diserap diusus, danbekerja mengikat asam empedu di usus halus dan akan dikeluarkan dengan tinja. Dengan demikian asam empedu yang kembali ke hati akan menurun, hal ini akan memacu hati memecahkan kolesterol lebih banyak
untuk menghasilkan asam empedu yang dikeluarkan ke
1988
MEIABOLIKENDOKRIN
usus. Akibatnya kolesterol darah akan lebih banyak ditarik ke hati sehingga kolesterol serum menurun.
Dosis untukkolestiramin adalah 8 16 g,/hari, kolestipol 10-20 grhari (keduanya dalam bentuk granul), dan6,5 gl
hari kolesevelam. Obat golongan resin ini dapat menurunkan kadar kolesterol-LDl sebesar 15 -30%o1 . Obat ini digunakan untuk pasiendengan hiperkoleterolemi saja
(isolated high hypercholesterolaemia).
Sejak
diperkenalkannya obat HMG-CoA reductase inhibitor, obat bile acid sequestrarets semakin jarang digunakan. HM G
-CoA Reducfase
In h
ib
ito r
Pada saat ini telah dipasarkan enam jenis yaitu lofastatin,
simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atrovastatin, dan rosuvastatin. Obat ini bekerj a mencegah k erja err;im HMGCoA reductase yaittt suatu enzim di hati yang berperan pada sintesis kolesterol. Dengan menurunnya sintesis kolesterol di hati akan menurunkan sintesis Apo 8100, disamping itu meningkatkan reseptorLDL pada permukaan hati. Dengan demikian kadar kolesterol-LDl darah akan ditarik ke hati, hal mana akan menurunkan kadar kolesterol-
Gambar 7. Mekanisme kerja HMG-CoA reductase inhibitor.
(Betterridge DJ and Morretl JM. Lipid lowering drugs. In Clinician's Guide to lipid and coronary Heaft Disease. 2nd ed, 2003; 208
-
235)
kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar trigliserid, obat ini juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I, danA-II. Pada saat ini yang banyak dipasarkan di Indo-
LDL, danjuga\ILDL. Efek samping yang sering terjadi ialah adanya miositis yang ditandai dengan nyeri otot dan meningkatrryakadar
nesia adalah gemfibrozil dan fenofibrat.
creatin phophokinase. Efek samping yang paling
Asam Nikotinik
ditakutkan adalah terjadinya rhabdomyolisis yang dapat mematikan. Efek samping tainnya ialah te{adinya gangguan fungis hati. OIeh karena itu penting sekali untuk memantau fungsi hati. Tampaknya ada korelasi antara efek samping
dengan dosis obat, makin tinggi dosis makin besar kemungkinan terjadinya efek samping obat.
Derivat Asam Fibrat Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafrbrat, ciprohbrat, dan fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati. Obat ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang
Tanpa
obat
Asam empedu berkurang
Asam nikotinik merupakan obat penurun lipid yang pertama kali dipekenalkan. Oleh karena bentuk yang lama yaitu asam nikotinik serap cepat mempunyai efek samping cukup banyak, maka obat ini tidak banyak dipakai. Dengan
diperkenalkannya asam nikotinik yang lepas lambat (Niaspan) sehingga absorpsi di usus berjalan lambat, maka efek samping menjadi lebih kurang. Obat ini diduga bekerja menghambat enzim hormone sensitive lipase di jainean adiposa, dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas. Diketahui bahwa
asam lemak bebas ada dalam darah sebagian akan
ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber pembentukkan VLD. Dengan menurumya sintesis VLDL di hati, akan mengakibatkan penunrnan kadar trigliserid, dan juga kolesterol-LDl di plasma. Pemberian asam nikotinik temyata juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL bahkan merupakan obat yang terbaik untuk meningkatkan kolesterol-HDl. Oeh karena menurunkan trigliserid, menurunkan kolesterol-HDl, dan meningkatkan
kolesterol-HDl maka disebut juga sebagai broad
Gambar 6. Mekanisme kerja resin. (Betterridge DJ and Morrelt
JM. Lipid lowering drugs. ln Clinician's Guide to lipid and coronary Heart Disease. 2nd ed, 2003; 208
-
235\
spectrum lipid lowering agent. Efek samping yang paling sering terjadi adalahflushing yaitu perasaan panas pada muka bahkan di badan. Unfuk mencegah hal tersebut, pada penggunaan asam nikotinik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan, misalnya selama satu minggu 375 mglhari kemudian dtingkatkan secara bertahap sampai mencapai dosis maksiak sekitar 1500-2000 mg,4rari. Dengan asam nikotikin yang baru yaitu lepas lambat Q.{iaspan) efek
1989
DISLIPIDEMIA
samping sangat berkuiang. Hasil yang sangat baik didapatkan bila dikombinasikan dengan golongan HMGCoA reductase inhibitor.
PENAf,ALAKSANAAN
bekerj a sebagai penghambat selektif penyerapan kolesterol baik yag berasal dari makanan maupun dari asam empedu
Sudah disebut di atas, langkah awal penatalaksanaan dislipidemi harus dimulai dengan penilaian jumlah faktor risiko koroner yang ditemukan pada pasientersebut (rlst assesment) untuk menenfukan sasaran kolesterol - LDL yang harus dicapai. Penatalaksanaan dislipidemi terdiri atas penatalaksanaan non-farmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Pada Gambar 8 diperlihatkan langkah-
di usus halus. Pada umumnya obat ini tidak digunakan secara tunggal, tetapi dikombinasikan dengan obat penurun lipid lain misalnya HMG-CoA reductase
langkah yang harus dilakukan dalam mengambil keputusan apakah seseorang harus mendapat obat atau tidak. Dianjurkan agar pada semua pasiendislipidemi harus
inhibitor.
dimulai dengan pengobatan non-farmakologis terlebih
Ezetimib Ezetimib tergolong obat penurun lipid yang terbaru dan
dahulu, baru dilanjutkan dengan pemberian obat penurun
lipid. Pada umumnya pengobatan non-farmakologis Asam Lemak Omega -3
dilakukan selama tiga bulan sebelum memutuskan untuk
Minyak ikan, kaya akan asam lemak omega -3 yaitu asam
menambahkan obat penurun lipid. Pada keadaan tertentu pengobatan non-farmakologis dapat bersamaan dengan pemberian obat (Tabel 7).
eicosapentaenoic (EPA) dan asam docasahexaenoic
(DHA). Minyak ikan menurunkan sintesiss VLDL. Dengan demikian dapat juga menurunkan kadal.kolesterol. Obat ini dipasarkan dalam bentuk kapsul dengan dosis yang tergantung dari jenis asam lemak omega - 3. Dosis obat tergantung dari jenis kombinasi asam lemak. Sebagai contoh Maxepa yang terdiri atas 18olo asam
eicosapentaenoic dan l2%o asam docasahexaenoic diberikan dengan dosis 10 kapsul sehari.
Jenis
Menghambat sirkUlasi enterohepatik asam empedu; Sintesis asam empedu dan resptor LDL
J LDL-C 2O-3OYO t ttoL-c, and
HMG-CoA reductase inhibitors
J Sintesis kolesterol
J
Derivat asam fibrat
t
Bile acidsequestran
t
t
Reseptor LDL
J
t
LPL dan hidrolisis TG J Sintesis VLDL Katabolisme LDL
t
Asam nikotinik
TG
J Sintesis VLDL
lol-c
Yo
zs-+o
vlol
Itc 2s-40 Yo t or J Lot-c t Hol 25-85
J
o/o
vlol-c 35
-
zs-
Yo
Efek samping
Kolestiramin 8-12 g Dua atau tiga kali Pemberian Kolestipol 10-15 g Dua atau tiga kali pemberian Lovastatin 10-80mg/dl Pravastatin 10-40mg/dl Simvastatin 5-40m9/dl Fluvastatin 20-40mg/dl Atorvastatin 10-80m9/dl Rosuyastatin 10-20 mg Gemfibrozil 600 '1200 mg Fenofibrat 160 mg
Obstipasi, mual, perut tidak enak,
Niasin 50-100 mg tiga kali pemberian,kemudian tingkatkan 1.0-2.5 g tiga kali pemberian
Flushing, takikardia, gatal, mual, diare, hiperurisemia, ulkus peptik, intoleransi glukosa, gangguan fungsi hati
-
J Trigliserida
dan LDL
farmokologis dikenal juga dengan namaperubahan gayahidup, meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik, serta beberapa upaya lain seperti hentikan Penatalaksanaan non
Dosis
Lipoprotein
Cara kerja
PENATALAKSANAAN NON - FARMOKOLOGI
Gangguan fungsi hati, miositis
Mual, gangguan fungsi hati, miositis
J LDL-c 2s-4o\o HDL mungkin Ezetimibe
J Absorpsi kolesterol di usus halus
Asam lemak omega 3
J Sintesis VLDL
J
lol-c
t
to-
1lYo
J 50 -60% pada hiper TG berat
10 mg / hari
Sakit kepala, Nyeri perut, dan diare Mua
Dikutip dari Ginsberg HN, Goldberg lJ. Disorders of lipoprotein metabolism. Harrison's Principles of internal medicine lnternational edition. 1998; 2: 2138 - 2152. (dengan modifikasi)
14th
1990
MEDABOLIKENDOIRIN
LDL (mg/dl)
Kadar kolesterol LDL dimana harus mulai perubahan gaya hidup
PAK atau yang disamakan PAK
< 100
> 100
> 2 faktor risiko
< 130
> 130
1
0-lfaktorrisiko
< 160
> 160
> 190 ('160-189 pemberian obat opsional)
Kelompok risiko
Sasaran
kolesterol
Kadar kolesterol LDL dimana perlu dipertimbangkan pemberian obat Kadar kolesterol LDL di mana perlu dipertimbangkan pemberian obat 0 tahun risiko 10 - 20 o/o '. > 130 10 tahun risiko < 10 %o: > 160
Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia. 2OO5;5 - 14
Asupan yang dianjurkan
Makanan Total lemak
-
lemakjenuh lemak PUFA lemak MUFA
Karbohidrat
menentukan sasaran
sasaran kolesterol -LDL
0-1 Faktor risiko
Serat Protein Kolesterol
- 25 % dari kalori total < 7 o/o dari kalori total sampai 10 % dari kalori total sampai 10 7o dari kalori total 20
60 % dari kalori total (terutama karbohidrat kompleks) 30 gr per hari sekitar 15 % dari kalori total < 200 mg / hari
Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia 2005i 5 - 14
raga disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan pasien, selain itu agar berlangsung terus menerus.
Gambar 8. Urutan penatalaksanaan dislipidemia (PAK = Penyakit
arteri koroner)
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI
merokok, menurunkan berat badan bagi mereka yang
Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis maka harus dimulai dengan pemberian obat penurun lipid. NCEPAIP III menganjurkan sebagai obat pilihan pertama adalah golongan HMG-CoA reductase inhibitor, oleh karena
gemuk, dan mengurangi asupan alkohol.
Terapi Nutrisi Medis Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang
dengan dislipidemi, oleh karena itu disarankan untuk berkonsulatsi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasiendengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total tinggi dianjurkan
unhrk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono
unsaturated fatty acid: MUFA dan poly unsaturated : PUFA). Pada pasiendengan kadar trigliserid yang tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol dan lemak (Tabel8).
fatQ acid
Aktivitas Fisik Pada prinsipnya pasiendianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisikbermanfaat, seperti jalan kaki, naik sepeda, berenang, dll. Penting sekali agarjenis olah
sesuai dengan kesepakatan kadar kolesterol-LDL merupakan sasaran utama pencegahan penyakit arteri koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserid tinggi misalnya > 400 mgldl makaperlu dimulai dengan golongan derivat asam fibrat untuk menurunkan kadar trigliserid, oleh karena kadar trigliserid yang tinggi dapat mengakibatkan pankreatitis akut. Apabila kadar trigliserid sudah turun dan kadar kolesterol-LDl belum mencapai sasaran maka dapat diberikan pengobatan kombinasi
dengan HMG CoA reductase inhibitor. Kombinasi tersebut sebaiknya dipilih asam fibrat fenofibrat jangan gemfibrozil. Dengan dikembangkannya obat kombinasi dalam satu tablet(fixed dose combinatioz), makapilihan obat mungkin akan mengalami perubahan. Sebagai contoh kombinasi lovastatin dan asam nikotinik lepas lambat (Niaspan) dikenal dengan nama Advicor telah dibuktikan jauh lebih efektifdibandingkan dengan lovastatin sendiri atau asam
t99l
DISLIPIDEIT,IIA
A
Jumlah faktor risiko
Gaya hldup sehat periksa ulang setiap 1-2 tahun atau 3-5 tahun bila kol-LDL<130 mg/dl
U
2
Cari dan obati - periksa ulang setiap 1-2 tahun
Teruskan di'et, olah raga - Pertimbangkan statin
-
- Mulai statin
- periksa ulang setiaP 6- 12 tahun
O - 1 , B. Fasktor risiko multiple > 2, dan C Faktor risiko tinggi. (Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia. 2005; 5 - 14).
Gambar 9. Bagan penatalaksanaan dislipidemia: A. Faktor risiko
nikotinik sendiri dalam dosis yang tinggi. Kombinasi simvastatin dengan ezetimibe yaitu Vytorin, ternyata mempunyai efek lebih baik dibandingkan dengan
sensitive lipase dijaringan adipose akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak
simvastatin dosis tinggi tunggal. Obat kombinasi dalam satu tablet mungkin akan lebih banyak digunakan bagi
bebas
mereka dimana kadar kolesterol-LDl harus sangat rendah atau kadar kolesterol-HDl perlu ditingkatkan.
DISLIP!DEMIA PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN SINDROMA METABOLIK
(:FFA:NEFA) yang berlebihan. Asam lemak
(enriched triglyceride
Metabolisme Lipoprotein pada Resistensi lnsulin Diabetes melitus dan sindroma metabolik mempunyii kelainan dasar yang sama yaitu adanya resistensi insulin. Pada mereka ini, metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin. Dalam keadaan normal tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Pada keadaan resistensi insulin, hormone
bebas
akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar
\rLDL
:
large
VLDL).
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolesterol ester dari kolesterol-LDl. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted
LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LDL
akan
dihidrolisis oleh enzim hepatic lipase (yang biasanya meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan LDL yang kecil tetapi padat,yang dikenal dengan LDL
1992
METABOLIKENDOKRIN
kecil padat (sz all denseLDL). Partikel LDL kecil padat ini sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL
bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi, kolesterol-HDl rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe lipoprotein aterogenik atau lipid triad (Gambar 10).
Mengingat pada pasiendiabetes melitus dislipidemi disifati oleh adanya peningkatan trigliserid, menurunnya kolesterol-HDl, dan bertambahnya subfraksi kolesterol LDL kecil padat maka beberapa penelitian telah membuktikan keberhasilan asam nikotinik. Walaupun demikian perlu diingat bahwa sampai saat ini sasaran yang ingin dicapai untuk pencegahan penyakit kardiovaskular adalah kadar kolesterol-LDL. Mungkin kombinasi golongan asam nikotinik dengan HMG-CoA reductase inhibitor merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan.
REFERENSI Colhoun HM, Betteridge DJ, Durrington PN, Hitman GA, Neil HAW, Livingtone SJ, Thomasan MJ, Mackness M, Menys VC, Fuller JH, on behalf of the CARDS investigators. Primary prevention of cardiovascular disease with atorvastatin in type 2 diabetes in
the Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS): multicenter randomized 364: 685 - 96.
placebo controlled trial. Lancet 2004;
D.J. Betterridge and Monel1 JM. Lipid lowering drugs. In: Clinician's Guide to lipid and coronary Heart Disease. 2"d ed,2O03;2O8 - 35.
Gambar 10. Metabolisme lipoprotein pada resistensi insulin. (Kwiterovich PO, Jr The metabolic pathways of high-density lipoprotein, low-density lipoprotein, and triglycerides: A current review. Am J Cardiol 2000; 86: 5L-101)
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan tidak banyak berbeda dengan dislipidemi yaitu terdiri atas pentalaksanaan non-farmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Perbedaal]utama adalah
pada semua pasiendiabetes melitus kadar kolesterol-LDl harus < 100 mg/dl. Penelititian Heart Protection Study, dan Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS)
telah membuktikan bahwa dengan menurunkan kadar kolesterol - LDL sampai mencapai 70 mgldl akan lebih bermanfaat. Oleh karena itu untuk pencegahan penyakit
kardiovaskular pada pasiendiabetes melitus ada kecenderungan untuk mencapai sasaran kadar kolesterol-
LDL sampai
70
mgldl.
Executive summary of the third report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). JAMA 2001; 285: 2486-97. Feher MD, Richmond W. Lipoproteins: structure and function. In: Lipids and Lipid Disorders 2"d ed. Bayer. 1996,6 - 13. Ginsberg HN, Goldberg IJ Disorders of lipoprotein metabolism. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, editors. Harrison's Principles of internal medicine 14th. International edition McGraw-Hil, Health Professions division, 1998, 2: 2138 - 52. Kwiterovich PO, Jr. The metabolic pathways of high-density lipoprotein, low-density lipoprotein, and triglycerides: rent review. Am J Cardiol 2000; 86: 5L-10L.
A cur-
Malloy MJ, Kane JP. Disorders of lipoprotein metabolism. In; Greenspan FS, Gardner DG (eds), Basic and clinical endocrinology 7'h ed, 2004, p. 766-93. MRC/ BHF Heart Protection Study of cholesterol-lowering with simvastatin in 5963 people with diabetes: a randomized placebo-controlled trial. Lancet 2003; 36I : 2005-16. Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia.2005;5-14. Shepherd J. The role
of the exogenous pathway in
hypercholesterolaemia. Europ Heart J Supplements 2001; (Suppl E): E2 - 85.
3
311 KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME, DAN HIPERTIROIDISME R. Djokomoeljanto
ANATOM!, FAAL KELENJAR TIROID DAN HORMON
TIROID
terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik
untuk menentukan apakah suatu bentukan $i leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang
PENDAHULUAN
2.5-4 cm,lebar 1.5-2 cm dan tebal
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan.
I - 1,5
cm. Berat kelenjar
tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram' Vaskularisasi kelenj ar tiroid termasuk amat baik. A. tiroidea
Kelenjar tiroid berasal dari lehrkan farin g antata branchial
pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul
superior berasal dari a. karotis komunis ata:u a- karotis eskterna, a. tiroidea inferior dari a' subklavia, dan a. tiroid ima berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang arkus aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi olehjalajala kapiler dan limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior' Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml lgtam kelenj arlmenit; dalam keadaan hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami migrasi ke bawah yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid
dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah
persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus tiroglosus dapat berupa kista duktus tiroglosus, tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang
kelenjar. Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid menempel di belakang lobus
terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Sisa ujung kaudal duktus tiroglosus ditemukan pada lobus piramidalis
superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius, sedangkan nenus laringeus rekuren berjalan di sepanjang
yang menempel di ismus tiriod. Branchial pouch keempatpun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan
trakea dibelakang tiroid. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik
merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri
dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus' Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid'
atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang
menutupi cincin trakea
2
dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasiaprahakea sehingga pada setiap gerakanmenelan selalu diikuti dengan gerakan
(Gambarl)
199
1994
METABOLIKENDOKRIN
setempat yang lahannya mempunyai kandungan yodium rendah. Yodium diserap oleh usus halus bagian atas dan lambung,
dan 713 hingga
lz
ditangkap kelenjar tiroid. sisanya
dikeluarkan lewat air kemih. Ditaksir 95% yodium rubuh tersimpan dalam kelenjar tiroid, sisanya dalarnsirkulasi ( 0.04 - 0,57%) dan jaringan. Dalam gambar 2 terlihat bahw4 dalam
Gambar
. . .
1
Potongan horizontal faring fetus manusia menunjukkan asal kelenjar tiroid dan paratiroid Variasi letakkelenjartiroid sehubungan denganproses migrasinya ke kaudal Sistem limfatik tiroid dengan arah penyalurarrnya.
Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dalam berbagai ukurarraltaras0-500 mm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya
menghadap kearah membran basalis. Folikel ini berkelompok-kelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat darah dari end artery. Folikel mengandung bahan yang jika diwarnai dengan
hematoksilin-eosin berwarna merah muda yang disebut koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Temyata tiap folikel merupakan kumpulan dari klon sel tersendiri. Sel ini berbentuk kolumnar apabila dirangsang oleh TSH dan pipih apabila dalam keadaan tidak terangsang/istirahat. Sel folikel mensintesis tiroglobulin (Tg) yang disekresikan ke dalam lumen folikel. Tg adalah glikoprotein berukuran 660kDa, dibuat di retikulum endoplasmik, dan mengalami glikosilasi secara sempurna di aparat golgi. Protein lain yang amat
penting disini ialah tiroperoksidase (TPO). Enzim ini berukuran dengan 103kDa yang 44o/o-nya berhomologi dengan mieloperoksidase. Baik TPO maupun Tg bersifat antigenik seperti halnya pada penyakit tiroid autoimun, sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit. Biosintesis hormon To dan T, terjadi di dalam tiroglobulin pada batas antara apeks sel - koloid. Di sana terlihat tonjol tonjol mikrovili folikel ke lumen; dan tonjol ini terlibat juga dalam proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu tiroksin (T,,) dan triiodotironin (T,) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul tiroglobulin. Hormon ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini dipecah oleh enzim khusus.
Mengingat yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon tiroid, maka harus selalu tersedia yodium yang cukup dan berkesinambungan.Yodium dalam makanan berasal dari makanan laut, susu, daging, telur, air
minum, garam beryodium dan sebagainya. Faktor kandungan yodium dalam lahan setempat sangat penting, khususnya bagi daerah terpencil di mana penduduknya hanya khusus makan makanan yang berasal dari produksi
keadaan keseimbangan (homoeostasis) masukan yodium sehari dapat diperkirakan dengan mengukurjumlah yodium yang dikeluarkan dalam air kemih per hari. Hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar tiroid, berasal dari sel parafoli-kular (sel CO). Hormon ini berperan aktif dalam metabolisme kalsium dan tidak berperan sama sekali dalam metabolisme yodium. Mengingat asal hormon ini, kalsitonin seringkali digunakan sebagai penanda unfuk mendeteksi adanya carcinoma medullare thvroid.
BIOSINTESIS HORMON TIROID Hormon tiroid amat istimewakarena mengandung 59-65% elemen yodium. Hormon To dan T, berasal dari yodinasi
cincin fenol residu tirosin yang ada di tiroglobulin. Awalnya terbentuk mono dan diiodotirosin, yang kemudian mengalami proses penggandengan (coupling) menjadi T, dan To. Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis dapat dilihat dalam beberapa tahap, sebagian besar distimulir
oleh TSH, yaitu tahap a). tahap trapping; b). tahap oksidasi; c). tahap coupling; d). tahap penimbunan atau storage; e). tahap deiyodinasi; f. tahap proteolisis dan g). tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid. Yodida (I-) bersama dengan Na* diserap oleh transporter yang terletak di membran plasma basal sel folikel. Protein tranporter ini disebut sodium iodide symporter (lt{IS), berada
di membran basal, dan kegiatannya tergantung adatya energi, membutuhkan Oryan1didapat dariATP. Proses ini
distimulir oleh TSH sehingga mampu meningkatkan konsentrasi yodium intrasel 100-500X lebih tinggi dibanding
kadar ekstrasel. Hal ini dipengaruhi juga oleh tersedianya yodium dan aktivitas tiroid Beberapa bahan seperti tiosianat (SCN) dan perklorat (ClOo ) justru menghambat proses ini. Beberapa ion lain dapat menghambat pompa yodida ini dengan urutan kekuatan sebagai berikut: T"Oo.SeCN,NOr. Br. Baik T"Q maupun perklorat secara klinis dapat digunakan dalam memblok uptake yodida dengan cara inhibisi kompetitifpada pompa yodium. Meskipun kalah kuat, tetapi nitrit Q.{Or) dan Br juga dapat menghambat, asal kadarnya cukup tinggi. Berdasarkan hal ini maka 'perchlorate discharge /esl' dilakukan untuk mendiagnosis adanya defek proses yodinasi yang bersifat kongenital. Pertechnetat lTcOo ) juga mampu lewat pompa yang sama, dan dalam
Hink p ert echnet at radroaktrf
dimanfaatkan untuk memindai kelenjar tiroid. (Gambar 3 dan 4)
1995
KELENJAR TIROID, HIPIOTIROIDISME, DAI\ HIPERTIROIDISME
Makanan Tahap yodinasi tiroglobulin dalam pembentukan tiroksin
I
C]
NADPH +
OZ
+
CA**
NADPH oksidase
-)
TPO H2O,
+;
-----------------) TPO
lo +
H2O2+ NADP
)
Tg-Tyr
lo
Tg-DlT
TPO
Tg-DlT
---------)
Tg-T4
PTU menghambat yodinasi tiroglobulin
Gambar 2. Organtifikasi : sintesis T3+ T $erta disimpan di tiroglobulin
Na' interstitium
K-
,-&^o..tc)
(rsakresl
*";D.$,ft
todt=/obuL;
tt
Sel Thyroid
\ Mtl
t
Apikal mikrovili (Pendrin l,Cl tEnspoteo
(g)Prcteotists
Gambar 4. Peran NIS dalam transportasi yodium masuk sel folikel. Bulatan terbuka adalah Na-K.ATPase pendorong reaksi ini, sedang transpor l- lewat membran apeks oleh pendrin Sintesis hormon terjadi di koloid tepatnya di 'colloid-apical membrane'yang dikatalirsir oleh TPO)
Sesudah pembentukan hormon selesai, Tg disimpan ekstrasel yaitu di lumen folikel tiroid. Umumnya sepertiga
Gambar 3. Gambar skema proses biosintesis hormon tiroid
Tiroglobulin satu glikoprotein 660kDa disintesis di
retikulum endoplasmik tiroid dan glikosilasinya diselesaikan di aparat Golgi. Hanya molekul Tg tertentu (folded molecule) mencapai membran apikal, dimana peristiwa selanjutnya terjadi. Adapun protein kunci lain yang akan berperan adalah tiroperoksidase (TPO). Proses
di apeks melibatkan iodide, Tg, TPO dan hidrogen peroksida (HrOr). Produksi HrO, membutuhkan kalsium, NADPH dan NADPH oksidase. Yodida dioksidasi oleh HrO, dan TPO yang selanjutnya menempel pada residu tirosil yang ada dalam rantai peptida Tg , membentuk 3-monoiodotirosin (MIT) atau 3,5-diiodotirosin (DIT). Kemudian , dua molekul DIT (masih berada dan merupakan bagian dari Tg) menggabung menjadi T, dengan cara menggabungkan grup diiodofenil DIT, donor, dengan DIT akseptor dengan perantaraan diphenyl ether link. Dengan cara yar'g sama dibentuk T, dari donor MIT dengan aseptor DIT. (Tabel l)
yodium disimpan sebagai T, dan To dan sisanya dalam MIT dan DIT. Bahan koloid yang ada dalam lumen sebagian besar terdiri dari Tg. Koloid merupakan tempat untuk menyimpan hormon maupun yodium, yang akan dikeluarkan apabila dibutuhkan. Bagaimana ini terjadi ? Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya vesikel endositotik di ujung vili (atas pengaruh TSH berubah menjadi tetes koloid) dan digesti Tg oleh enzim endosom dan lisosom. Enzim proteolitik utama adaiah endopeptidase katepsin C, B dan L, dan beberapa eksopeptidase. Hasil akhirnya ialah dilepaskan To dan T, (yodotironin) bebas ke sirkulasi, sedangkan Tg-MIT dan Tg-DIT (yodotirosin) tidak dikeluarkan tetapi mengalami deiodinasi oleh yodotirosin deyodinase, dan iodidanya
masuk kembali ke simpanan yodium intratiroid (intrathyroidal pool) sebagai upaya untuk konservasi yodium. Proses katalisasi yodinasi tiroglobulin ini terjadi secara maksimal pada tiroglobulin yang belum diyodinasi sama sekali dan mengurang pada yang telah diyodinasi. Proses yodinasi ini dipengaruhi berbagai obat seperti : tiourea,
propil-tiourasil (PTO), metiltiourasil (MTU), yang semuanya mengandung grup N C SH. Dengan demikian
1996
METABOLIKENDOKRIN
obat ini amat berguna untuk mengham-bat pekerjaan kelenjar yang hiperaktif dan digunakan di klinik. Metilmerkaptoimidazol (MMD adalah obat yang populer di
Amerika sedangkan karb imazol (CBZ) populer di Inggris
Secara klinis antara keduanya tak banyak berbeda, sebab karbimazol akan segera dihidrolisis men-j adi metilmerkaptoimidazol (MMI) dalam tubuh. Proses tangkapan yodium,
sintesis Tg, proses yodinasi
di
apeks serta proses endositosis dipengaruhi oleh jenuhnya yodium intrasel. Dalam hal ini akan dibentuk yodolipids atau yodolakton yang berpengaruh atas generasi
I!O2
keempat proses tersebut. Hal
yang mempengaruhi
ini dikenal
sebagai autoregulasi kelenjar tiroid. Pemberian yodium dalam
jumlah banyak dan akut menyebabkan terbentuknya yodolipid banyak yang berakibat uptake yodium dan sintesis hormon berkurang, dikenal sebagai efek WolffChaikoff. Namun, proses akan berkurang dengan sendirinya karena yodolipid yang dibentuk akan juga berkurang atau hilang, dan terjadi escape. Apabila tiroid tidak dapat mengadakan adaptasi - misalnyapada tiroiditis autoimun atau pasien dengan dishormonogenesis, maka akan terjadi hipotiroidisme yang iodine induced. Beberapa goitrogen alamiah berefek di tahap ini juga,
sehingga produksi hormon berkurang dan sebagai akibatnya memberi reaksi umpan balik berupa gondok.
Dalam sebaran tertentu yodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi kadar yodium plasma, sehingga makin tinggi kadar yodium intrasel akan makin banyak yodium terikat, dan sebaliknyapada defsiensi yodium, yodiumyang terikat menjadi kurang (dengan akibatnya T, dibuat lebih banyak daripada l) (Apabila hormon ini disekresikan akan terlihat kadar T, di darah meningkat, satu fenomen yang lazim ditemukan di daerah GAKI berat, dikenal sebagaipreferential secretion of hormone). Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap serta mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi. Kemampuan ini dipunyai juga oleh sel-sel kelenjar ludah, mukosa lambung, kelenjar susu, meskipun tidak satupun mempunyai kapasitas untuk mengubahnya menjadi hormon tiroid. Demikian pula ditemukan NIS di sel payudara. Sifat
ini
sekarang sedang diteliti bagaimana meningkatkan eskpresi NIS hingga yodium radioaktif dapat masuk ke sel sel kanker payudara dalam rangka pengobatannya.
Cara keluarnya hormon tiroid dari tempat penyimpanannya di sel belum diketahui secara sempurna,
tetapi jelas dipengaruhi TSH. Hormon
Lokasi pada Tiroid transkripsi faktor (TTF) reseptor TSH (TSHr)
Nallsympofter (Nts) Tiroglobulin (tg) Tiroperoksidase
(rPo) Hzoz Pendrin Katepsin C,D,L Tiroid yodotirosin deyodinase 5'-yodotironin deyodinase
Gen
Membran basal Membran basal Sel, lumen folikel Membran apikal Membran apikal Membran apikal Lisosom Sitoplasma
Membran basal
Fungsi Transkripsi gen Tg,TPO,TSHT Mediasi efek TSH Transpor l- masuk sel Matriks untuk formasi hormon Katalisis oksidasi I- dan couplrng yodotirosin Substrat TPO Cl-
/ l- transporter
Digesti Tg Deyodinasi DIT dan MIT
Deyodinasi Ta menjadi
T3
Transportasi Hormon Baik T, maupun To diikat oleh protein peng-ikat dalam serum (binding protein). Hanya O,35yo To total dan 0,25o/o T, total berada dalam keadaan bebas. Ikatan T, dengan protein tersebut kurang kuat dibandingkan dengan To, tetapi karena efek hormonnya lebih kuat dan turnover rrya lebih cepat, maka T, ini sangat penting. Ikatan hormon terhadap protein ini makin melemah berhrrut ntrvt TBG (thyroxin binding globulin), TBPA (thyroxin binding prealbumin, disebut pula transtiretin), serum albumin.
Dalam keadaan normal, kadar yodotironin total menggambarkan kadar hormon bebas, namun pada keadaan tertentu jumlahprotein binding dapat berubah. Meninggi
pada neonatus, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi oral, penyakit hati kronik dan akut, naiknya sintesis di hati karena pemakaian kortikosteroid dan kehamilan, dan menurun pada penyakit ginjal dan hati
kronik, penggunaan androgen dan steroid anabolik, sindrom nefrotik, dan dalam keadaan sakit berat. Penggunaan obat tertentu misalnya salisilat, hidantoin dan obat anti inflamasi seperti fenklofenak menyebabkan kadar
hormon total menurun karena obat tersebut mengikat prgtein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas meningkat. Arti klinis kadar hormon perlu diinterpretasikan dengan memperhatian faktor faktor tersebut
ini melewati
membran basal, fenestra sel kapiler, kemudian ditangkap
oleh pembawanya dalam sistem sirkulasi yaitu thyroid binding protein. Yodium kadar tinggi menghambat tahap ini. Sifat ini digunakan dokter untuk mengelola krisis tiroid, di mana harus diusahakan penurunan kadar hormon secara cepat di sirkulasi. Produksi sehari To kira kira 80 100 mg sedangkan Tr 26 39 mg. Akhir akhir ini dibukti-kan bahwa 30 40% T, endogen berasal dari konversi ekstratiroid To menjadiT,. (Tabel2)
Metabolisme T, dan
To
'Waktu paruh T, di plasma ialah 6 hari sedangkan T 324 30 jam, Sebagian T, endogen (5 l7%) mengalami konversi lewat proses monodeyodinasi menjadi T' Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan (konversi) ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terben-tuk jugarT r(reversed 73, 3,3,5' triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif. Agaknya deyodinasi To menjadi rT, ini digunakan untuk mengatur
1997
KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME, DAt{ HIPERTIROIDISME
metabolisme pada tingkat selular. Karena hormon aktif ialah
dan T, bergerak ke arah inti dan berikatan dengan TR-LBD
T,bukan T, maka harus terjadi dulu konversi menjadi T, dahulu supaya mampu berfungsi dengan baik. Dengan adanya deiodinases, hormon aktif dapat dipertahankan guna mendukung kebutuhan manusia Dikenal 3 macam
dari monomer TR. Ikatan ini menyebabkan lepasnya TR homodimer dan heterodimerisasi dengan RXR pada TRE dan dilepasnya korepresor. Sebaliknya terjadi ikatan dengan
deyodinase utama: DI, DII and DIII masing masing dengan fungsi khusus. Deyodinasi tipe I : konversi T4 a T3 di perifer
koaktivator. Dengan adanya kompleks TR-koaktivator ini terjadi transkripsi gen yang menyebabkan sintesis protein khas sel tersebut.
dan tidak berubah pada waktu hamil. Deyodinasi tipe II mengubah T4 A T3 secara lokal (di plasenta, otak serta susunan saraf pusat, dan mekanisme ini penting untuk
EFEK METABOLIK HORMON TIROID
mempertahankan kadar T, lokal. Deyodinasi tipe III: mengubah To menjadi rT, dan T3 a T2 , khususnya di plasenta dan dimaksud mengurangi masuknya hormon berlebihan dari ibu ke fetus. Keadaan di mana konversi To atau T, berkurang terjafi pada : kehidupan fetal, restriksi kalori, penyakit hati, penyakit sistemik berat, defisiensi selenium dan pengaruh berbagai obat (propiltiourasil, glukokortikoid, propanolol, amiodaron, beberapa bahan kontras seperti asam yopanoat, natrium ipodas).
MEKANISME KERJA HORMON TIROID DITINGKAT SEL Kerja hormon di perifer dapat dilihat pada Gambar 5 dalam Panel A dan Panel B. Keduanya menggambarkan sel dalam keadaan pasif , sebelum dimasuki hormon tiroid, dan fase
Hormon tiroid memang satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme,
sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain seperti texrsebut di bawah ini.
.
. .
.
aktif, dimana hormon T, baik langsung dari sirkulasi maupun
T,
yang masih harus dikonversi dari Trmenjadi
T, mempengaruhi transkripsi gen, sehingga terjadi efek khusus sel. Panel A. Fase inaktif: ikatan TR dimer pada TRE bersama co-represor menghambat hanskripsi gen.Panel B. Fase aktif
Hormon bebas masuk ke sel dengan sisitem transpor khusus. Di sel terjadi konversi T4
'/'
Ar
T3 oleh 5'-deyodinasi
Nucleus
ffi
.
Termoregulasi (elas pada miksedema atau koma miksedema dengan temperatur sub-optimal) dan
kalorigenik Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik. Metabolisme karbohidrat Bersifat diabeto-genil,r,.karena resorpsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi insulin meningkat.
Metabolisme lipid. Meski To mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekskresinya lewat empedu temyatajauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat. VitaminA. KonversiprovitaminAmenjadi vitaminAdi hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan.
TI "olt".,
Gambar 5. Keterangan : TR-LBD = T" receptor ligand-binding domain, TR-DBD f , receptor ?ryjildllS domain, RXR-LBD ietinoid X receptoi tigand-binding domain; RXR-DBD retinoid X receptor DNA-binding domain; fRE thyroid hormone responsive element; fBPs thyroxine-binding proteins',5'Dl = 5'=deiodinase.
1998
.
MEIABOLIKENDOKRIN
Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat
tulang lebih terpengaruh dari pada pembentukannya.
menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare;
gangguan faal hati; anemia defisiensi Fe dan
Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan penanda hidroksiproli n dar- cros s -link
hipertiroidisme.
piridium
Efek neuromuskular. Turn-over yang meningkat juga EFEK FISIOLOGIK HORMON TIRO!D Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari.
Efek genomnya menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak dan susunan saraf yang melibatkan Na*K*AIPase sebagian lagi karena reseptor beta adrenergik yang bertambah.
Tetapi ada jluga efek yang nongenomik misalnya meningkatpya transpor asam amino dan glukosa, mennnrnnya enzimtipe-2 5'-deyodinasi di hipofi sis.
Pertumbuhan fetus. Sebelum mi
1l tiroid fetus belum
beke{a, juga TS}Inya. Dalam keadaan ini karena DIII tinggi di plasenta hormon tiroid bebas yang masuk fetus amat sedikit, karena di inaktivasi di plasenta. Meski amat sedikit krusial, tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahimya bayi kretin (retardasi mental dan cebol).
Efekpada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Kedua peristiwa di atas dirangsang oleh T,, lewatNa*K*AIPase di semuajaringan kecuali otak, testii dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid memrrunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.
Efek kardiovaskular,
Tr
menstimulasi a). ffanskripsi miosin
hc-p dan menghambat miosin hc-p, akibatnya kontraksi otot miokard menguat. b). transkripsi Ca2 *ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolik , c). mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik, sehingga akhimya hormon tiroid ini punya efek yonotropik positif. Secara klinis terlihat sebagai naiknya curahjantung dan takikardia.
Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat
tinggi pada hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme.
Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada
menyebabkan miopati disamping hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat (hiperrefl eksia).
Efek endokrin. Sekali lagi, hormon tiroid meningkatkan metabolic turn-over banyak hormon serta bahan farmakologik. Contoh: waktu paruh kortisol adalah 100 menit pada orang normal tetapi menurun jadi 50 menit pada hipertroidisme dan 150 menit pada hipotiroidisme.
Untuk ini perlu diingat bahwa hipertiroidisme dapat menutupi (masking) atau memudahkan unmasking kelainan adrenal.
PENGATU RAN FAAL KELENJAR TTROID
Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh: a). autoregulasi
,
b). TSH dan c). TRH.
Autoregulasi Seperti disebutkan di atas, hal ini lewat terbentuknya yodolipid pada pemberian yodium banyak dan akut, dikenal sebagai efek WolffChaikoff. Efek ini bersifat seffiimiting. Dalam beberapa keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan terjadilah hipotiroidisme
TSH TSH disintesis oleh sel tirohop hipofisis anterior. Banyak homologi dengan LH dan FSH. Ketiganya terdiri dari subunit cx- dan p dan ketiganya mempunyai subunit o,yang sama, namun berbeda subunit B- Efek pada tiroid akan terjadi dengan ikatan TSH dengan reseptor TSH (TSIk) di membran folikel. Sinyal selanjutnya te{adi lewat protein G (khusus G.a). Dari sinilah terjadi perangsangan protein kinase A oleh cAMP untuk ekspresi gen yang penting untuk fungsi tiroid seperti pompa yodium, Tg, pertumbuhan sel tiroid dan TPO , serta faktor transkripsi TTFI, TTF2 dan PAX8. Efek klinisnya terlihat sebagai perubahan morfologi sel, naiknya produksi hormon , folikel
hipertiroidisme menyebabkan eritropoiesis dan produksi
dan vaskularitasnya bertambah oleh pembentukan
eritropoetin meningkat. Volume darah tet ap narrr.n red cell turn over meningkat.
gondok, dan peningkatan metabolisme. T, intratirotrop mengendalikan sintesis dan keluarnya (mekanisme umpan balik) sedang TRH mengontrol glikosilasi , aktivasi dan keluarnya TSH. Beberapa obat
Efek Gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung.melambat. Hal ini dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.
Efek pada skelet. Turn-over tulang meningkat resorsbi
bersifat menghambat sekresi TSH : somatostatin, glukokortikoid, dopamin, agonis dopamin (misalnya bromokriptin), juga berbagai penyakit kronik dan akut. Pada morbus Graves, salah satu penyakit autoimun,
1999
KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME; DAN HIPERTIROIDISME
TSHr ditempati dan dirangsang oleh imunoglobulin, antibodi-anti-TsH (TSAb
:
thyroid stimulating antibody,
HUBUNGAN KELENJAR TIROID DENGAN BEBERAPA KELENJAR ENDOKRIN LAIN
TSI: thyroid stimulat-ing immunoglobulin), yartg secara fungsional tidak dapat dibedakan oleh TSHr dengan TSH endogen. Rentetan peristiwa selanjutnya juga tidak dapat dibedakan dengan rangsangan akibat
Korteks adrenal
Hormon ini satu tripeptida, dapat disintesis neuron yang
Kortikosteroi d dan adrenocorticotropin hormon (ACTH) menghambat tiroid dengan cara meningkatkan klirens yodium dan meng-hambat TSH hipofisis. Pada hipertiroidisme waktu paruh l7 OHCS memendek. Seringkali memang pada krisis tiroid terlihat insufisiensi adrenal karena diss appearance rate dipercepat.
hipotalamohipofi seal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya TSH meningkat. Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya growth hormone dan ACTH, tetapi TRH men-stimulasi keluarnya prolaktin, kadang- FSH dan LH. Apabila TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid
Banyak gejala klinis hipertiroidisme yang dihubungkan dengan peningkatan sensitisasi jaringan terhadap efek katekolamin dan bukan-nya dengan produksi katekolamin yang tinggi. Dalam bidang ini banyak yang masih perlu dikaji. Lihat bahasan dalam efek hornon di atas.
TSH endogen. TRH ( Ihyro trophin Releasi ng Hormonel
korpusnya berada di nukleus paraventrikularis hipotalamus (P\lN).TRH ini melewati median eminence, tempat ia disimpan dan dikeluarkan lewat sistem
mengalami hiperplasi dan hiperfrrngsi. Sekresi hormon hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan balik), TSH, dopamin, hormon
korteks adrenal dan somatostatin, serta stres dan sakit berat (non thyroidal illness). Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik ini banyak memberi informasi klinis. Sebagai contoh, naiknya TSH serum sering menggambarkan produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang memadai, sebaliknya respon yang rata (blunted response) TSH terhadap sti-mulasi TRH eksogen menggambarkan supresi
kronik di tingkat TSH karena kebanyakan hormon, dan sering merupakan tan-da dini bagi hipertiroidisme ringan atau sub-klihis. (Gambar 6)
Medula adrenal
Gonad Kadar tiroid normal diperlukan sekali untuk pengeluaran LH hipofi sis, menstruasi ovulatoar, fertilitas, dan kehidupan
fetus. Kebanyakan hormon tiroid akan menihambat menarche, meningkatkan infertilitas dan kematian fetus. Pada hipotiroidisme terjadi menstruasi anovulatoar dengan
menoragia, sedangkan pada hipertiroidisme terjadi hipomenorea dan ovulatoar.
Tiroid dan Kehamilan Ada beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan kehamilan ini. Pertama TBG (thyroxin binding globulin) meningkat sehingga sebagai hasilnya terjadi penurunan turn over rateT odan juga kadar T, bebas. Hal ini menimbulkan stimulasi TSH sehingga terjadi keseimbangan baru dengan hiperplasia kelenjar. Oleh karena itu perlu waspada dalam menilai angka laboratorik kadar To total dan T, total seorang pasien yang diperkirakan mempunyai perubahan TBG. Pada keadaan hamil atau
pengguna kontrasepsi oral sebaiknya diperiksa kadar hormon bebas. Pada kehamilan normal PBI akan naik, tetapi apabila terjadi defisiensi yodium sedang, maka kenaikan ini tidak
terjadi atau terganggu. TSH (thyroxin stimulating
Ginjal,Hati, Otot, Otak dsb
Gambar 6. Jalur umpan balik positip maupun negatif pada aksis hipotalamus - hipofisis - tiroid. TSHr-Ab = antibodi terhadap TSHr.
hormon) ibu tidak melewati plasenta, sehingga bayi ini sama sekali bergantung pada TSHnya sendiri. Tiroid fetus mulai menangkap radioaktif yodium pada minggu 12 14 danmulai memproduksi hormon sendiri pada minggu 19 22. Aksis hipofisis tiroid pada fetus mulai berfungsi (intact) pada bulan ke-5. Dengan demikian kita perlu hati hati untuk menggunakan obat antitiroid sejak minggu 19 22, stpaya tidak terjadi supresi TSH endogen dengan akibat timbulnya hipotiroidisme fetal. Umumnya dikatakan bahwa hormon T, dan To hampir tak melewati plasenta,
tetapi akhir-akhir ini ditunjukkan sebaliknya meskipun dalam jumlah yang amat kecil. T3 lebih banyak jika dibandingkan dengan Tr. Perhitunganyaflg agak cermat menunjukkan bahwa klirens plasenta To ibu dalam sirkulasi fetus hampir sama dengan jumlah yang dibutuhkan fetus
ini. Dengan demikian apabila ada gangguan dalam kecepatan transpor ini, akan terjadi gangguan
perkembangan fetus, baik somatik maupun mental. Hal ini
terbukti bahwa sepertiga kasus dengan kretin atirotik menderita hipotiroidisme.
fT4 turun. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak tergantung pada sebabnya. Hipotiroidisme lebih dominan pada wanita. Dibedakan
hipotiroidisme klinis dan hipotiroidisme subklinik. Hipotiroidisme klinik ditandai dengan kadar TSH tinggi dan kadar fT4 rendah, sedangkan pada hipotiroidisme subklinis ditandai dengan TSH tinggi dan kadar fT4 normal, tanpa gejala atau ada gejala sangat minimal. Hipotiroidisme merupakan kumpulan tanda dan gejala yang manifestasinya tergantung dari: a). Usia pasien b). Cepat tidaknya hipotiroidisme terjadi c). Ada tidaknya kelainan
lain. Hipotiroidisme intrauterin dan neonatal
H!POTIROIDISME
mengakibatkan retardasi mental dan fisik yang ireversibel
Pendahriluan Status tiroid seorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal hormon tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormon yang aktif ialah freehormon, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan adanya
apabila tidak diberi pengobatan segera setelah lahir. Sedangkan apabila terjadi pada anak dan dewasa, meskipun
berat tetapi reversibel Pada usia lanjut, klinisnya cenderung kurangjelas dan spesifik, sebab banyak yang menyerupai gejala usia lanjut. Makin cepat hipotiroidisme tet'adi makin jelas gejala dan tanda klinisnya. Pada tiroiditis
free-T rbukan free-To, ketiga bahwa distribusi ensim deyodinasi I, II dan III (DI, DII, DIII) di berbagai organ tubuh berbeda, di mana DI banyak ditemukan di hepar, ginjal dan tiroid, DII utamanya di otak, hipofisis dan DIII hampir seluruhnya ditemukan di jaringan fetal (otak,
autoimun kronik mengalami fase subklinis terjadi selama bertahun-tahun sebelum te{ adi manifestasi klinis.
plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU.
Hipotiroidisme dibedakan
atas hipotiroidisme sentral dan primer. Berbagai penyebab terjadinya hipotiroidisme dapat dilihat di Tabel3.
Hipotiroidisme Defrnisi lama bahwa hipotiroidisme disebabkan oleh faal tiroid berkurang sudah tidak tepat lagi. Kini dianut keadaan di mana efek hormon tiroid di jaringan k.**g. (contoh pada defisiensi yodium tiroid justru bekerja keras). Secara klinis dikenal 1. Hipotiroidisme senffal, karenakerusakan hipofisis/hipotalamus; 2. Hipotiroidisme primer apabila yang rusak kelenj ar tiroid dan 3. Karena sebab lain: sebab farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer. Yang paling banyak ditemukan ialah
hipotiroidisme primer. Oleh karena itu, umumnya diagnosis ditegakkan berdasar atas TSH meningkat dan
Penyebab
Hipotiroidisme Sentral
SEBAB TERJADINYA HIPOTIROIDTSME
Hipotiroidisme Sentral (HS) Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena ada kegagalan hipofisis, maka disebut hipotiroidisme sekunder (HS), sedangkan apabila kegagalan terletak di hipotalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena
produksi hormon yang berlebih (ACTH
Penyebab Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipotiroidisme Sepintas ('transient')
(Hs) Lokalisasi hipofisis atau hipotalamus 1. tumor, infiltrasi tumor, 2. nekrosis iskemik (sindrom Sheehan pada hipofisis) 3. iatrogen (radiasi, operasi) 4. infeksi (sarcoidosis, histiosis
1. hipo- atau agenesis
2.
kelenjar tiroid destruksi kelenjar tiroid a. pasca radiasi
b.
tiroiditisautoimun, Hashimoto
c. tiroiditis De Quervain d. postpartum tiroiditis 3. atrofi (berdasar autoimun)
4. 5.
)
penyakit
Cushing, hormon pertumbuhan ) akromegali, prolaktin ) galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan
dishormonogenesis sintesis hormon hipotiroidisme transien (sepintas)
Tiroiditis de Quervain 2. Silent thyroiditis 3. Tiroiditis postpartum 4. Hipotiroidisme neonatal sepintas 1.
2001
KELEMAR TIROID, HIFOTIROIDISME, DAT{ HIPERTIROIDISME
kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus anterior adalah: gonadotrophin, ACTH, hormon hipofisis
Prevalensi PNID (Postpartum Autoimmune Thyroid
laindanTSH.
Tiroiditis subakut @e Quervain) Nyeri dikelenjar/sekitar,
D
i s e as
e) didap at
5 . 5Yo.
Hipotiroidisme Primer (HP) Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon
demam, menggigil Etiologi: virus. Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme) Penyembuhan didahului dengan
berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi
hipotiroidisme sepintas
merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program skriningmassal.
Kerusakan tiroid dapat terjadi karena : 1). Operasi; 2)' Radiasi; 3). Tiroiditis autoimun; 4). karsinoma; 5). Tiroiditis subakut; 6). Dishormonogenesis dan 7). Atrofi. Pascaoperasi. Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme.
Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dar- 40o/o mengalaminya dalam I 0 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya. Pascaradiasi. Pemberian R'A.I (radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dan 400-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar < 5Yo. hrya dapat terjadi pada radiasi ekstemal di
usia<20th:52Yo20tahutdan67Yo26tah'tnpascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi.
Tiroiditis autoimun. Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid, yaitu Ab terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, AIgAb) darVatau fraksi mikrosomal (antibodi-antimikrosomal
AM-Ab). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi: toksin, yodium, hormon (estrogen meningkatkan respon imun, androgen
dan supresi kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditisatrofis gejala klinisnya mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak pernanen. Dengan obat To selama setahun, 20o% kasus memburuk, 40% kasus tetap, dan ada perbaikan pad a l9%o sedatgkan 1 I .4olo kasus sembuh.
Tiroiditis pascapartum. Merupakan peristiwa autoimun yang terjadi pada wanita postpartum, dengan silih berganti antara hipotiroidisme dan hipertiroidisme Dapat sebagai penyakit sendiri atau eksaserbasi Graves. Ada fase toksis dan fase hipotiroidisme dengan depresi. Apabila ditemukan antibodi tiroid di trimester pertama kehamilan, maka peluang menderita tiroiditis di fase postpartum sebesar 33-50%. Monitoring jangka panjang penting sebab 23%o akan menjadi hipotiroidisme menetap, dan selebihnya eutiroid dalam tempo setahun. Antibodi-anti TPO dan antibodi-anti
Tg merupakan penanda untuk AIT pada kehamilan.
Dishormonogenesis. Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormonogensis. Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus
sudah dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan baru pada usia lebih lanjfi. Defective organification adalah salah satu sebab hipotiroidisme kongenital. Meskipun terdeteksi mutasi titik tunggal dari GoC pada 1265 pasang basa gen TPO, tetapi ekspresi asam aminonya tidak berubah. Diduga ada perubahan struktur tersier molekul TPO. Satu kasus usia 16 th dengan dishomonogenesis dari RS Dr. Kariadi telah dilaporkan di Medika tahun2001.
Karsinoma. Kerusakan tiroid karena karsinoma primer/ sekunder, amatjarang.
Hipotiroidisme sepintas. Hipotiroidisme
"S'epintas
(transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat menghilang. Kasus
ini
sering dijumpai. Misalnya
pascapengobatan RAI, pascatiroidektomi subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus
mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa memberi substitusi' Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak ditemukan, dan mereka berisiko mengalami gangguan perkembangan saraf.
PENGARUH OBAT FARMAKOLOGIS Dosis OAT (Obat anti tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga terjadi pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis, terlebih kalau AIWAIantibodi pasien (+). Hati-hatilah menggunakan fenitoin dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat
serta kelebihan yodium kronis
menyebabkan
hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Penyebab lain: sitokin (IF-cr, IL-2), aminoglutamid, etioamida, sulfonamid, sigaret, lingual tiroid. Unttk ini kasus dengan hepatitis virus C yang diobati dengan IF-cr perlu diperiksa status tiroidnya. (Tabel 2)
Bahan farmakologis yang menghambat sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat, sulfonamid, yodida (obat batuk, amiodaron,
2002
METABOIJKENDOI(RIN
media kontras Ro, garam litium) dan yang meningkatkan
normal. Pada wanita hamil (termasuk pengguna kontrasepsi oral) karena perubahan pada TBG, memeriksa TSH, fT4 dan fT3 merupakan langkah tepat. Kadang fT4 wanita hamil agak naik sehingga memeriksa fT3 masih relevan. Apabila
katabolisme/penghancuran hormon tiroid: fenitoin, fenobarbital , yang menghambat jalur enterohepatik hormon tiroid: kolestipol dan kolestiramin).
memungkinkan wanita hamil dengan hipotiroidisme diperiksa juga antibodi (anti-Tg-Ab, anti-AM-Ab) Indeks GEJALA SERTA TANDA TANDA HIPOTIROIDISME
diagnostik Billewicz, analog dengan indeks Wayne dan New Castle pada hipertiroidisrire, juga tersedia untuk
Gejala hipotirodisme dapat dibedakan menjadi 2 kelompok:
memisahkan antara eutiroidisme dan hipotiroidisme.
l). Yang bersifat umumkarena kekurangan hormon tiroid di jaringan 2). Spesifik, disebabkan karena penyakit
Interpretasi skor : bukan hipotiroidisme kalau skor < -30 , diagnostik apablla skor >25 dan meragukan apabila skor anlara - 29 dan + 24 dan dibutuhkan pemeriksaan konfirmasi.
dasamya. (Tabel4 )
Keluhan utama yaitu kurang energi, manifestasinya sebagai lesu, lamban bicara, mudah lupa, obstipasi. Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia, tak tahan
Pengobatan Hipotiroidisme
dingin, berat badan naik dan anoreksia. Psikologis: depresi, meskipun nervositas dan agitasi dapat terjadi. Reproduksi:
Yang perlu diperhatikan ialah a). Dosis awal b). Cara
oligomenorea, infertil, aterosklerosis meningkat. Semua
menaikkan dosis tiroksin. Tujuan pengobatan
tanda di atas akan hilang dengan pengobatan. Ada tambahan keluhan spesifik, terutama pada tipe sentral.
2). Menormalkanmetabolisme; 3). Menormalkan TSH (bukan
hipotiroidisme ialah: 1). Meringankan keluhan dan gejala;
T) normal; 5). Menghindarkan komplikasi den risiko. Beberapa prinsip
Pada tumor hipofisis mungkin ada gangguan visus, sakit
mensupresi); 4). Membuat T, (dan
kepala, muntah. Sedangkan dari gagalnya fungsi hormon tropiknya, misalnya karena ACTH kurang, dapat terjadi kegagalan faal korteks adrenal dan sebagainya.
dapat digrrnakan dalam melaksanakan subsitusi : (a) Makin berat hipotiroidisme, makin rendah dosis awal dan makin
landai peningkatan dosis, (b) Geriatri dengan angina pektoris, CHF, gangguaniama, dosis harus hati hati. Prinsip substitusi ialah mengganti kekurangan produksi
MENEGAKKAN DIAGNOSIS
hormon tiroid endogen pasien. Indikator kecukupan optimal sel ialah kadar TSH normal. Dosis supresi tidak
Sebaiknya diagnosis ditegakkan selengkap mungkin : diagnosis klinis-subklinis, primer-sentral, kalau mungkin etiologinya. Karena sebagian besar etiologi hipotiroidisme adalah HP, kemungkinan HP kecil apabila dijumpai TSH
Keluhan Rasa capek lntoleransi terhadap dingin Kulit terasa kering Lamban Muka seperti bengkak Rambut alis mata lateral rontok Rambut rapuh Bicara lamban Berat meningkat Mudah lupa Dispnea Suara serak Otot lembek Depresi
Tanda klinik Kulit kering Gerak lamban Edema wajah Kulit dingin Alis lateral rontok Rambut rapuh Fase relaksasi refleks achll/es menurun Bicaranya lamban Lidah tebal
dianjurkan, sebab ada risiko gangguan jantung dan densitas mineral. Tersedia L-tiroksin (TJ, L-triodotironin
(T,), maupun puhus tiroid. Pulvus tak digunakan lagi
Rel % 99 92 88
88 88 81
76 74 68 68 64 64 61
60
Keluhan Obstipasi Edema ekstremitas Kesemutan Rambut rontok Pendengaran kurang Anoreksia Nervositas Kuku mudah patah Nyeri otot Menorrhagia Nyeri sendi Angina pectoris Dysmenorrhoea Eksoftalmos
Rel % 58 56 56
49 45 43 43 41
36 33 29 21
18 11
Rel %
Tanda klinik
Rel %
88 88 88
Suara serak Kulit pucat Otot lembek, kurang kuat Obesitas Edema perifer Eksoftalmos Bradikadikardia Suhu rendah
64
82 81
76 76 7
bJ 61
59 56 11
? ?
2003
KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME, DAT{ HIPERTIROIDISME
Oveft Mitd
Subclinical Presubclinical
Gambaran
Serum
klinis
TSH
++ ++ 0+
00
++
Thyroid reserue
Thyroid antibodies
Serum
thyroxin ++
++
+or0
+
+
+or0 +or0 +or0
0
0
0
0
+or0 0or+
++ +
TSH
Serum
cholesterol
response to TRH Supranormal Supranormal Supranormal Supranormal
++ +
+or0 +or0
Key : 0 = normal, ++ = definite abnormalu' + = slight abnormality
karena efeknya sulit diramalkan. T, tidak digunakan sebagai
substitusi karena waktu paruhnya pendek hingga perlu diberikan beberapa kali sehari. Obat oral terbaik ialahT o. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa kombinasi pengobatan To dengan T, (50 uS T, diganti 12.5 trg T3) memperbaiki mood dan faal neuropsikologis Tiroksin dianjurkan diminum pagi hari dalam keadaan
perut kosong dan tidak bersama bahan lain yang mengganggu serapan dari usus. Contohnya pada penyakit sindrom malabsorbsi, short bowel syndrome, sirosis, obat
(sukralfat, aluminium hidroksida, kolestiramin, formula
kedele, sulfas ferosus, kalsium karbonat. Dilantin, rifampisin, fenobarbital dan tegretol meningkatkan ekskresi empedu Dosis rerata substitusi L-T, ialahll2 ug/hari atau 1.6 ug,&g BB atau 100-125 mg sehari. Untuk L-T, 25-50 ug. Kadar TSH awal seringkali dapat digunakan patokan dosis pengganti: TSH 20 uU/ml butuh 50-75 ug tiroksin sehari, TSH 44 -75 uU/ml butuh I 00- I 50 ug. Sebagian besar kasus buhrhkan I 00-200 ug L-To sehari.
Hipotiroidisme Subklinis (HSK) Disebut demikian kalau TSH naik, kadar hormon tiroid dalam batas normal. Umumnya gejala dan tanda tidak ada atau minimal. Banyak ditemukan pada wanita usia lanjut. Akibat jangka panjangnya yaitu hiperkolesterolemia dan memrnrnnya faal jantung. Masih ada kontroversi tentang diobati atau tidak diobati kasus hipotiroidisme subklinis ini. Pengalaman menunjukkan substitusi tiroksin pada kasus dengan TSH > 10 mU/ml memperbaiki keluhan dan ketainan obj ektifj antung. Dosis harus disesuaikan apabila pasien hamil. Untuk mencegah krisis adrenal pada pasien
hipertiroidisme. Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Apapun sebabnya manifestasi kliniknya sama, karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuh. Rangsang oleh TSH atau TSH-/lke substances (TSI, TSAb), autonomi instrinsik kelenjar menyebabkan tiroid meningkat, terlihat dari radioactive neck-uptake taik. Sebaliknya pada destruksi kelenjar misalnya karena radang, inflamasi, radiasi, akan terjadi kerusakan sel hingga hormon yang tersimpan dalam folikel keluar masuk dalam darah. Dapat pula karena pasien mengkonsumsi hormp,n tiroid berlebihan. Dalam hal ini justru radioactive neck-uptake
turun. Membedakan ini perlu, sebab umumnya peristiwa ke dua ini, toksikosis tanpa hipertiroidisme, biasanya sely'
limiting
disease.
Dalam setiap diagnosis penyakit tiroid dibutuhkan deskripsi mengenai (sehingga diagnosis hendaknya mampu menerangkan) kelainan faalnya (status tiroid),
gambaran anatominya (difus, uni/multinodul dan sebagainya) dan etiologinya (autoimun, tumor, radang)
Penyebab Tirotoksikosis. Penggolongan sebab tirotoksikosis dengan atau tanpa hipertiroidisme amat penting, di samping pembagian berdasarkan etiologi, primer maupun sekunder. Kira kira 70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena gondok multinoduler toksik dan adenoma toksik. Etiologi
lainnya baru dipikirkan setelah sebab tiga di atas disingkirkan. (Tabel 6)
dengan insufisiensi adrenal, glukokortikoid harus diberikan terlebih dahulu sebelum terapi tiroksin. Pemberian substitusi tiroksin pada usia lanjut harus berhati hati, mulai dengan dosis kecil, misalnya 25 mg sehari
dan ditingkatkan perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya fibrilasi maupun gagal jantung. Harus lebih hati
hati pada mereka dengan hipotiroidisme berat dan lama.
TIROTOKSIKOSIS DAN HIPERTIROIDISME Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan
Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme Primer
Tirotoksikosistanpa Hipertiroidisme
Hipertiroidisme
Sekunder
Penyakit Graves Gondok multinodula toksik Adenoma toksik Obat: yodium lebih, litium Karsinoma tiroid yang berfungsi Struma ovarii (ektopik) Mutasi TSH-r, G""
Hormon tiroid berlebih (Tirotoksikosis faktisia) Tiroiditis subakut (viral atau De Quervain Silent thyroiditis Destruksi kelenjar: amiodaron,
TSH-secrefrng fumor chGH secreting tumor Tirotoksikosis gestasi (trimester pertama) Resistensi hormon tiroid
l-131 , radiasi,
adenoma, infark
2004
MEIABOLIKENIX)IRIN
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda Umum
Gastrointestinal
Muskular Genitourinaria Kulit
Tak tahan hawa panas hiperkinesis, capek, BB turun, tumbuh cepat, toleransi obat, youthful I ne ss Hiperdefekasi, lapar, makan banyak, haus, muntah, disfagia, splenomegali Rasa lemah Oligomenorea, amenorea. Libido turun, lnfertil, ginekomasti Rambut rontok, berkeringat, kulit basah, sr'/ky hair dan onikolisis
Psikis dan
saraf
Jantung
Darah dan limfatik Skelet
Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervosita's, paralisis periodik dispneu, ipertensi,aritmia, palpitasi, gagal jantung Limfositosis, anemia, splenomegali, leher membesar
Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang
Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan:
Optalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus menurun, ulkus kornea
Dermopati
Akropaki
(0.5
(1Y.)
- 4%)
Dari daftar di atas tirotoksikosis didominasi oleh morbus Graves, struma multinoduler toksik (morbus Plummer) dan adenoma toksik (morbus Goetsch). Sebab lain amat jarang ditemukan dalam praktik dokter sehari-
takiaritmia; d) . Lebih j arang dijumpai takikar dia (40%); e) . Eye signs tidak nyata atau tidak ada; f). Bukannya gelisah justru apatis (memberi gambaran masked hyperthyroidism dan apathetic form).
hari. Ciri Morbus Graves ialah hipertiroidisme, optalmopati dan struma difus. Rokok temyata merupakan faktor risiko Graves pada wanita tetapi tidak pada pria (DenganOR2%).
PENGOBATAN
Diagnosis Tirotoksikosis Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengan
pemeriksaan penunj ang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi. Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar TT4, TT3 G.' total) (dalam keadaan tertentu sebaiknya fT4 dan fT3) dan TSH, ekskresi yodium urin, kadar
tiroglobulin,
uji tangkap Ir3r, sintigrafi dan kadang dibutuhkan pula FNA (fine needle aspiration biopsy), antibodi tiroid (ATPO-Ab, ATg-Ab), TSI. Tidak semua diperlukan. Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu T, (Tr) dan TSH, namun pada pemantauan cukup diperiksa T, saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh hormon tiroid sehingga lamban puJih (lazy
pituitary). Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat eksoftalmometer Herthl. Karena hormon
tiroid berpengaruh terhadap semua sevorgan maka tanda kliniknya ditemukan pada semua organ kita. Pada kelompokusia lanjut gejala dan tandatanda tidak sejelas pada usia muda, malahan dalam beberapa hal sangat
berbeda. Perbedaan ini antara lain dalam hal: a). Berat badan menurun mencolok (usia muda 20% justru naik); b). Nafsu makan menurun, mual, muntah dan sakit perut; c). Fibrilasi atrium, payah jantung, blok jantung sering
merupakan gejala awal dari occult hyperthyroidism,
Prinsip pengobatan: tergantung dari etiologi tirotoksikosis,
usia pasien, riwayat alamiah penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien (misalnya: apakah
ia ingin punya anak dalam waktu singkat ?), risiko pengobatan dsb. Perlu diskusi mendalam dengan pasien tentang cara pengobatan yang dianjurkan. Pengobatan tirotoksikosis dapat dikelompokan dalam a. Tirostatika b. Tiroidektomi c. Yodium radioaktif. Tirostatika. (OAT-obat anti tiroid). Terpenting adalah kelompok derivat tioimidazol (CBZ,larbimazol 5 mg,NIlZ, metimazol atau tiamazol 5 , I 0, 3 0mg) dan derivat tiourasil (PTU propiltiourasil 50, 100mg) menghambat proses
organifikasi dan reaksi autoimun, tetapi PTU masih ada efek tambahan yaitu menghambat konversi To A T, di perifer.
CBZ dalam tubuh cepat diubah menjadi MTZ. Waktu panthMTZ4-6 jamdanPTUl-2 jam.MTZberadadifolikel + 20 jam, PTU lebih pendek. Tirostatika dapat lewat sawar plasenta dan air susu ibu. Dibanding MTZ, kadar PTU lOx lebih rendah dalam air susu. Dengan propanolol dan tiamazol aktivasi endotel pulih menjadi normal, OAT juga menghambat ekspresi HLA-DR di sel folikel sehingga imunologis membaik (lihat penggunaannya dalam metoda blok-suplemen di bawah ini). Pemakaian teratur dan lama dosis besar tionamid berefek imunosupresif intratiroidal. Dosis dimulai dengan 30 mgCMZ,30 mg MTZ atau 400 mg PTU sehari dalam dosis terbagi. Biasanya dalam 4-6
minggu tercapai eutiroidisme. Kemudian dosis dititrasi sesuai respons klinis. Lama pengobatan 1-1,5 tahun, kemudian dihentikan untuk melihat apakah terj adi remisi.
(Tabel8).
2005
KELENJAR TIROID. HIPOTIROIDISME, DAN HIPERTIROIDISME
Efeknya
Kelompok obat Obat Anti Tiroid Propiltiourasil (PTU) Metimazol (MMl) Karbimazol (CMZ) MMI) Antagonis adrenergik-P
Menghambat sintesis hormon tiroid dan berefek imu nosupresif (PTU juga menghambat konversi
T4)T3
B-adrenergic-antagonis Propranolol Metoprolol Atenolol Nadolol
Mengurangi dampak hormon tiroid pada jaringan
Bahan mengandung lodine Kalium iodida Solusi Lugol Natrium lpodat Asam lopanoat
Menghambat keluarnYa T+ dan Ts Menghambat T+ and Ts serta produksi Ts ekstratiroidal
Obat lainnya Kalium perklorat Litium karbonat Glukokortikoids
Pengobatan lini pertama Pada Graves. Obat jangka pendek prabedah/pra-RAl
Menghambat transpor yodium, sintesis dan keluarnya hormon Memperbaiki efek hormon di jaringan dan sifat imunologis
Obattambahan, kadang sebagai obat tunggal pada tiroiditis
Pesiapan tiroidektomi. Pada krisis
tiroid, Bukan untuk Penggunaan rutin
Bukan indikasi rutin Pada subakut tiroiditis berat, dan krisis tiroid
Ada dua metoda yang dapat digunakan dalam penggunaan OAI ini. Pertama berdasarkan titrasi: mulai
residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik
dengan dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/ laboratoris dosis diturunkan sampai mencapai dosis
amattinggi. Di Swedia dari 308 kasus operasi, 9l% mengalami
terendah
di
mana pasien masih dalam keadaan
eutiroidisme. Kedua disebut sebagai blok-substitusi, dalam metoda ini pasien diberi dosis besar terus menerus dan apabila mencapai keadaan hipotiroidisme, maka ditambah hormon tiroksin hingga menjadi eutiroidisme pulih kembali. Rasional cara kedua ini yaitu bahwa dosis tinggi dan lama memberi kemungkinan perbaikan proses imunologik yang mendasari proses penyakit Graves. Efek samping yang sering rash,trtkat\a, demam dan malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan artralgia, yang jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa dankecap, artritis dan yang paling ditakuti yaitu agranulositosis. Yang terakhir ini kalau teq'adi hampir selalu pada 3 bulan pertama
penggunaan obat. Yang amal jarang trombositopenia,
anemia aplastik, hepatitis, vaskulitis, hipoglikemiaa (insulin autoimmune syndrome). Untuk evaluasi gunakan gambaran klinis, dengan misalnya indeks Wayne atau indeks New Castle (termasuk lingkar leher) dan kadang kadang diperlukan pemeriksaan T /tr u
Tiroidektomi. Prinsip umum : operasi baru dike{akan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan3 kali.5 tetes solusio lugol fortiorT-10 jam preoperatif dengan maksud menginduksi involusi dan mengurangi vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks mensisakan jaringan szujung ibu j ari, atau lobektomi total termasuk ismus dan tiroidetomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih terjadi di tangan ahli
sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat permanen atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme atau
membawa risiko te{adinya krisis tiroid dengan mortalitas
tiroidektomi subtotal dan disisakan
2 gram jaingan,9%o
tiroidektomi total, hipokalsemia berkepanjangan 3,lo/o dan hipoparatiroid peflnanen 10lo, serta morialitas 0 %.
Yodium radioaktif (radio active iodium-RAl). Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan
OAT menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir pengobatan RAI. Dosis RAI berbeda: ada yangbertahap untuk membuat eutiroid tanpa hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah tiroksin
sebagai substitusi. Kekhawatiran bahwa radiasi menyebabkan karsinoma, leukemia, tidakterbukti. Dan satusatunya kontra indikasi ialah graviditas. Komplikasi ringan,
kadang terjadi tiroiditis sepintas.
Di USA usia bukan
merupakan mas alah lagi, m alahan cu t off-ny a 17 -20 tahxl 80% Graves diberi radioaktif,T\yo sebagai pilihan pertama dar. l\Yo karena gagal dengan cara lain. Mengenai efek
terhadap optalmopati dikatakan masih kontroversial. Meskipun radioterapi berhasil tugas kita belum selesai, sebab kita masih harus memantau efek jangka panjangnya yaitu hipotiroidisme. Dalam observasi selama 3 tahunpascaRAI, tidak ditemukan perburukan optalmopati {berdasarkan
MR[, total muscle volumes (TMV)] . Namun disarankan sebaiknya jangan hamil selama 6 bulan pascaradiasi. Setiap kasus RAI perlu dipantau kapan terjadinya hipotiroidisme (dengan TSH dan klinis). Titik tangkap berbagai obat yang digunakan dalam pengobatan hipertiro-idisme dapat dilihat dalam skema ini. Jelas bahwa untuk menurunkan secara cepat, maka kran pelepasan hormon perlu ditutup segera dengan yodium dosis tinggi atau litium. Untung rugi dari masing masing skor Herthel, OI,
2006
METABOLIKENDOI(RIN
modus pengobatan dapat dilihat dalam Tabel. 9 dan titik tangkap dari masing masing pengobatan ini ditunjukkan
Untuk memudahkan pemantauan maupun diagnosis dibuat klasifikasi beberapa klas dengan singkatan NO
dalamGambarT.
,SPEC^S,
Gara
Keuntungan
Pengobatan Tirostatika
(oAT)
kemungkinan remisi jangka
Tiroidektomi
panjang tanpa
hipotiroidisme o cukup banyak menjadi eutiroid
o relatif cepat . relatifjarang
Yodium radioaktif
(1"')
.
o
residif sederhana jarang residif (tergantung dosis)
TPO
l+l
L__l
Klas 0
N
Klas
o
1
Kerugian
. . . . . . .
angka residif cukup tinggi pengobatan jangka panjang dengan kontrol yang sering dibutuhkan ketrampilan bedah masih ada morbiditas 40% hipotiroid dalam 10 tahun
daya kerja obat lambat 50% hipotiroid pasca radiasi
+T,+T,+T:+Tr
lttt
Rantai peptida tkoglobulin
Yodinasi oksidatif
dimana:
Klas 2
o physical signs or symptoms nly signs, no symptom (hanya stare, lidlag, upper eyelid retraction) oft tissue involvement (palpebra bengkak,
kemosis
etc)
90o/o
Klas 3
roptosis ( > 3mm dari batas atas normal)
Klas 4
xtraocular muscle inyolyement (sering dgn
Klas 5 Klas 6
diplopia) 60% C orneal involvement 9/o S ight loss (karena saraf optikus terllbat) 34oh
3U/n
Oftalmopati Graves disebut juga sebagai TAO i d a s s o c i a t e d o p t h al m o p a t hy), nllai propto sis
(t hyr o
normal ialah 22 mm pada Kaukasus dan kulit hitam, I 8 mm untuk Asia. Oft almopati ditemukan pa da 7 7 %. Grav es, 2o/o pada hipotiroidisme dan 20Yo pada kasus eutiroidisme. Pengobatan terhadap TAO hanya akan berhasil apabila diberikan pada puncak aktivitas penyakitnya. Oftalmopati dapat terjadi secara unilatqal, namun hendaknya juga di pikirkan akan kemungkinan masa retroorbital. Pada waktu ini dikenal pengobatan bagi yang OG berat.
Cara yang sudah diakui yaitu glukokortikoid (oral, intravena, lokal), radioterapi supravoltase, operasi rehabilitatif (dekompresi mata, operasi otot mata ekstraokuler, operasi kelopak mata). Cara yang masih dalam
*:].* Penghambat beta
Gambar 7. skema titik tangkap kerja obalobat yang digunakan pada pengelolaan hipertiroidisme
Oftalmopati Graves Dalam mengobati morbus Graves sering kita melupakan optalmopati Graves (OG) OG mengganggu kualitas hidup pasien. Meskipun patogenesis sudah sedikit terungkap, pengobatan belum memadai. OG ringan cukup diberi pengobatan lokal (air mata artifisial dan salep, tetes mata obat penghambat beta, kacamata hitam, prisma, mata waktu malam ditutup dan hindari rokok). Pada-OG yang lebih berat (3-5%) dibutuhkan pengobatan agresif. Kalau OG aktif modus pengobatan ialah : glukokortikoid dosis besar,
tahap pengembangan : analo g somatostatin (oktreotid, lanreotid), imunoglobulin. Dari berbagai studi l0l kasus OG, hanya l5o/oyang memburuk dalam 5 tahun, sisanya membaik dengan sendirinya. Dari 120 kasus, 74Yo tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat ringan saja. Prinsip umum OG: a). Keduanya mempunyai kes€lmaan
dasar imunologik, namun bukanlah sebab-akibat b). Perbaikan status tiroid tidak menj amin perbaikan oftalmopati; c). Sering terlihat oftalmopati mendahului, bersama atau mengikuti terjadinya gejala dan tanda klinis penyakit Graves; d). Tidak semuakasus Graves disertai oftalmopati Graves.
KRISIS TIROID
radioterapi orbital atau dekompresi orbital. Apabila keadaan
Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang
berat namun inaktif, dianjurkan dekompresi. Di luar pengobatan optalmologis koreksi terhadap adanya
membahayakan, meskipun jarang terjadi. Hampir semua kasus diawali oleh faktor pencetus. Tidak satu indikator biokimiawipun mampu meramalkan terjadinya krisis tiroid, sehingga tindakan kita didasarkan pada kecurigaan atas tanda-tanda krisis tiroid membakat, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas. Pada keadaan ini dijumpai
hipotiroidism e maupunhipertiroidisme mutlak perlu. Kalau operasi dan OAI tidak berpengaruh pada perjalanan OG, radioterapi pada perokok berpengaruh terhadap progresi OG. Sesuai dengan model hipotesis yang menghubungkan OG dengan otoimunitas dua organ ini, maka ablasi tiroid dianggap berpengaruh baik.
amat
dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Karena mortalitas amat tinggi, kecurigaan lcisis saja cukup menjadi
2007
KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME, DAN HIPERTIROIDISME
yodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam). Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak solusio lugoVSSKI tidak memadai; c). Menghambat konversi perifer dari T4 ) T3 dengan propranolol, ipodat, penghambat beta danJ
dasar mengadakan tindakan agresif. Hingga kini patogenesisnya belum jelas: free-hormon meningkat, rait'ny a fr e e-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Faktor risiko krisis tiroid: surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crrsis (stres apapun, fisik serta psikologik, infeksi dan sebagainya) Kecurigaan akan terj adi krisis apabila ter dapat triad l) . Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). kesadaran menurun dan 3). Hipertermia. Apabila terdapat triad maka kita dapat meneruskan dengan menggunakan skor hdeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok: hipertermi4 takikardia dan disfungsi susunan saraf. Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45 highly suggestive,25-44 suggestive of impending storm, di bawah
kemungkinankecil. Pengobatan harus segera diberikan, kalau mungkin dirawat di bangsal dengan kontrol baik . IJmum. Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu obat sedasi, kompres es. . Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat: a). Memblok sintesis hormonbaru : PTU dosisbesat (load'
25
ing dose 600-1000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4
jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg); b). Memblok keluarnya cikal bakal hormon dengan solusio lugol (l0tetes setiap 6-8jam) atau SSKI (arutankalium
.
atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mg tiap 8 jam
atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional
.
pemberiannya ialah karena defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin (aspirin akan melepas ikatan protein-hormon tiroid, hingga free-hormon meningkat). Apabila dibutuhkan , propranolol dapat digunakan,
.
sebab di samping mengurangi takikardi juga mengharnbat
konversiTo ) T, diperifer. Dosis20-40mgtiap 6jam. Mengobati faktor pencetus (misalnya infeksi)' Respons pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya
.
terlihat dalam24 jam, meskipun adayang berlanjut hingga seminggu.
PENYAKIT GRAVES PADA WANITA HAMIL Secara klinis mende teksi Gravespada wanita hamil tidak selalu mudah, sebab banyak keluhan yang mirip dengan hipertiroidisme (keringat banyak, berdebar dan sebagainya). Diagrrosis biokimiawi ditegakkan dengan memeriksa hormon
Kriteria diagnostik untuk Krisis Tiroid Disfungsi Kardiovaskular Takikardi 99 - 109
Disfungsi pengaturan panas
Suhu
5
99- 99 0 1 00-1 00.9 '1
01-10 1 .9
102-102.9 03-1 03.9 >104.0 Efek pada susunan saraf Pusat Tidak ada Ringan (agitasi) Sedang (delirium,psikosis,letargi berat) Berat (koma,kejang) 1
10 15 20
110-119 120 - 129
25
130 - 139
30
>140 Gagal jantung Tidak ada Ringan (edema kaki) Sedang (ronki basal) Berat (edema paru) Fibrilasi atrium Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif
0
10 20 30
Disf ungsi gastrointestinal-hepar
Tidak ada Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)
U
10
20
5 10
15 20 25 0 5 '10 '15
0 10 0 '10
Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, > 45 highly suggestive,25-44 suggestlve of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil.
Hipertiroidisme Subklinis
Hipotiroidisme Subklinis Prevalensi
!
Riwayat alamiah
wanita > pria (2-3x) usia lanjut > muda TSH pulih dalam 5% Hipoitiroidisme pd 5% kasus per tahun (risiko: wanita dengan Ab) 25-30% membaik dengan T4
Pengelolaan
60/o
!
1o/o
wanita > pria ( '1,5 x) usia lanjut > muda TSH pulih normal pada t55% Hipertiroidisme dalam t 10% (struma noduler berisiko)
Terapi dengan nodosa
1131
pada AF atau pada struma
2008
METABOLIKENDOXRIN
macam, AIT tipe I dan AIT tipe II, yang dibedakan karena AIT tipe
Ada penyakit tiroid sebelumnya Struma
Ml-upfake tL-6
Patogenesis
Terapi
I
AIT tipe ll
Ada
Tidak ada
Sering, difus atau noduler Normal atau tinggi Agak naik Sintesis hormon tiroid karena yod berlebihan Kalium perklorat,
Jarang Struma kecil dan difus Rendah - tertekan Banyak hormon sebab Tiroiditis destruktif Prednison
MMZ
troid, bebas (fl odan TSII), bukan hormon total. Sehubungan dengan pengelolaan pada wanita hamil perlu diingat hal sbb: l). Pengobatan radioaktif adalah kontaindikasi 2). kalau diperlukan operasi dapat dilakukan pada trimester kedua, 3. OAI dapat diberikan dengan dosis minimal yang masih efektif (meski semua OAI sama efektifnya, PTU lebih
dianjurkan). Karena aksis tiroid-hipofisis baru mulai berfungsi setelah 12 minggu gestasi, maka penggunaan OAT penuh di trimesterpertama masih aman.
Dianjurkan untuk memberi dosis OAI sedemikian hingga kadar tiroksin ibu berada dalam tingkat normal tinggi atau mildly thyrotoxic range. Jangan gunakan metoda blok-suplemen pada wanita hamil.
Hipertiroidisme Subklinis (HSK) HSKialahkeadaan dimana kadar TSH rendah danhormon tiroid bebas normal, 'tanpa' atau sedikit disertai tanda atau gejala tirotoksikosis. Penyebabnya: endogen (struma MN, nodul otonom, morbus Graves, tiroiditispostpartum) atau eksogen (kelebihan tiroksin). Dalam kurun waktu tertentu 55% TSH rendah akan naik, 3 5%o menetap. Kira kira l0% HSK berubah menjadi klinis. Wanita > 60th denganTSH<
mU/nrlber- RR 3.gxmengalami fibrilasi atrium dalam 10 tahun. Keluhan hipertiroidisme memang ku.ang klas @MD menuruq nadi lebih cepat, kadang AF, kontraksi jantung meningkat, biokimiawi : LDL menwun, 0. I
osteokalsinmeningkag CPKmeningkat, enzim hati meningkat).
Meskipun studi pengobatan secara sistematis belum banyak, namun banyak kasus denganAF dan HSK membaik dengan Ir3r atau karbimazol. Hingga sekarang memang belum ada konsensus tentang pemberian obat pada HSK ini. Perlu diperhatikan bahwa keadaan serupa (fT4 dan fT3 normal sedang TSH rendah) dapat terlihat akibat pengob atanatau resolusi spontan ov er t thyr o t oxi c o s is, karena supresi T SH yang persisten, dikenal sebagai lazy pituitary.
Am i od aro ne I nd u ced Thyrotoxicosrs (AlT) Karena sekarang banyak digunakan amiodaron dalam pengobatan gangguan kardiovaskul ar, maka di bawah ini disajikan keluhan, gejala serta pengelolaan Amiodarone Induced Tbxicosis (AIT). Gambaran klinik AIT ada dua
sebelumnya ada atatt tidak ada kelainan dasar tiroid. Penggunaan I tablet amiodaron 200mg mengekskresikan I 50.000 ug/yodium/24 jamatau I 00x kebutuhan manusia. Efek pada tiroid disebabkan karena amiodaron sendiri dan metabolitnya (desethyylamiodaron) yang jauh lebih kuat, mampu mengakibatkan tiroiditis destruktif.
REFERENSI Bartalena L, Pinchera A, Marcocci C. Management of Graves' Opthalmopathy: reality and perspectives. Endocrine Reviews, 2000;21:168-199. Billewicz WZ, Chapman RS, Crooks J, Day ME, Cossage J, Sir Edward Wayne and JA Young. Statistical methods applied to the diagnosis of hlpothyroidism. Quarterly J Med 1969; 150 :255. Braverman LE, Roti E. Iodine excess and thyroid firnction. In: 'The Thyroid and Iodine'. Eds. J Naumann, D Glinoer, LE Braverman, U Hostalek. Merck European Thyroid Sympsoium, Warsaw 1996. Schattauer, Stuttgartd new York, 1996 Burggraaf J, Lalezai S, Emeis JJ et al. Endothelial function in patients with hyperthyroidism before and after treatment with propanolol and thiamazol. THYROID 2001;11 : 153. Djokomoeljanto R, Davis JRF. Endocrine diseases. In: Drug benefits and riks. International Textbook of Clinical Pharmacology. Eds: CJ van Boxtel, Budiono Santosa and IR Edwards. Chichester Toronto: John Wiley and ons, Ltd; 2001.p 659. Dunn JT, Dunn AD. Thyroid physiology. In: Comprehensive Clinical Endocrinology. 3d edition. Editors: GM Besser, MO Thomer. Section 2 Chapter 10. Mosby 2002 Greenspan FS. The Thyroid Gland. In. Basic & Clinical Endocrinology. 7h edition. Editors FS Greenpan, DG Gardner, Lange Medical Books? New York-Toronto: mcGraw-Hill Medical Publishing Division;2004 Pinchera A, Vitti P, Chiovato L, Tonacchera M, Giachetti M. Stategy in the evaluation of the hypothyroidism and thyrotoxicosis in pregnant women. In: The Thyroid and pregnancy. Eds: Beckers
C, Reinein D.
Int'l Merck
Symposium in Brussels, 1991.
Schattauer, 1991. p. 95. Ross DS. Subclinical thyrotoxicosis. In: Werner & Ingbar's The Thyroid. A fundamental and clinical text. 86 ed. LE Braverman and RD tiger. philadelphia, Tokyo: Lippincott Williams Wilkins. A Woler Kliwer Co; 2000.p 1007 Stevenson JC, Chalal P. Aids to Endocrinology, Edinburg London Melbourne New York, Chur-chill Livingstone, 1986. Weetman AP. Chronic autoimmune thyroiditis . In: In: Werner & Ingbar's The Thyroid. A fundamental and clinical text. 8t ed. LE Braverman and RD Utiger. Philadelphia, Tokyo: Lippincott Williams Wilkins. A Woler Kluwer Co; 2000. p. 721. Werner & Ingbar's The THYROID, a fundamentral and clinical text. 9tl edition. In: L.E.Braverman, R. D Unger, editors.
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
Wiersinga WM, Krenning EP. Thyreotoxicosis.
In
Schildklierziekten. 2e druk. Bohn Stafleu Van Loghum. Houten/ Diegem 1998 (a) , pagina 95 Wiersinga WM, Krening EP Schildklierziektan. Tweede dnrk. Bohn Stafleu Van Loghum, Houten / Diegem 1998. Zantut-Wittman DE, Tambascia MA, da Silva Trevisan MA et al. Antithyroid drugs inhibit in vivo HLA-DR expression in thyroid follicular cells in Graves' disease. THYROID 11: 575, 2001.
313 GANGGUAN AKIBAT KURANG IODIUM R. Djokomoeljanto
PENDAHULUAN Sampai tahun 1960-an defisiensi yodium (DY) selalu dihubungkan dengan gondok, sehingga muncullah kata gondok endemik. Memang benar bahwa etiologi terpenting
dari gondok endemik ialah defisiensi yodium. Adapun kgadaan lain yang sering dihubungkan dengan gondok endemik ialah: faktor goitrogen, kelebihan unsur yodium, faktor nutrisi, faktor 'trace element' lain dan faktor genetik' Namun kemudian terungkap bahwa bagi manusia dampak
defisiensi yodium terbesar adalah adatya gangguan perkembangan susunan saraf pusat termasuk intelegensi' DY dengan mengganggu perkembangan otak manusia telahmenyebabkanberjuta juta orang menjadi kurang maju'
WHO menyebutkan bahwa secara global "'iodine deJiciency is the single most important preventable cause
of brain damage...Dai berbagai deklarasi internasional dimana Indonesia juga ikut menandatangani, muncullah semboyan sebagai berikut:
Every child has the right to an adequate supply of iodine to ensure his (or her) normal developments.... "' "' ......fo, the unborn child... Every mother has the right to an adequate iodine nutri' tion to ensure her unborn child experiences normal men'
tal development ............
laut. Hal ini terlihat jelas bahwa banyak daerah gondok endemik terjadi pada daerah berkapur dan daerah yang banyak mengalami erosi. Sumber yodium antara lain: a)' air lanah, tergantung sumber air berasal dari batuan tertentu (kadar paling tinggi apabila air ini bersumber dari igneous rock,900 uglkg bahan); b)' air laut mengandung sedikit yodium, sehingga kandungan yodium gararn rendah; c). plankton, garlggalg laut dan organisme laut
lain berkadar yodium tinggi sebab organisme ini
mengkonsentrasikan yodium dari lingkungan sekitarnya; d). sumber bahan organik yang berada dalarn oksidan, desinfektan, yodofor (iodophor), zat wama makanan dan kosmetik, dan vitamin yang beredar di pasaran menambah
yodium juga; e). ikan laut, cumi-cumi yang dikeringkan ang langkaini laut. Unsur ini melewati kembali ke daratan hujan dibawa oleh angin dan minum air umumnya Pada siklus laut udara daratan.
merupakan sumber yodium yang sangat terbatas' Kebanyakan unsur yodium didapat lewat makanan' Tumbuhan memperoleh yodium dari lahan di mana tanaman tumbuh, sehingga makin tinggi kadar yodium lahan, makin tinggi pula kadar yodium tanaman yang tumbuh disitu'
felirangan yodium berakibat jelek, tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk hewan.
Declarations from 1989, 1990' 1991' 1992
FAKTOR DEFISIENSI YODIUM YODIUM DIALAM Yodium termasuk unsur kelumit (trace elements). Meskipun
kadar yodiurn dalam air laut dan udara sedikit, tetapi merupakan sumber utama yodium alam. Karena yodium larut dalam air, maka erosi karena sebab apapun akan mengikisnya dari permukaan tanah dan membawanya ke
Defisiensi yodium merupakan sebab utama terjadinya
lah cara yodium ditimbun
dalam kelenjar tiroid atau diekskresikan lewat urin, Mengingat bahwa dalam keadaan seimbang, kecepatan
2010
METABOLIKENDOKRIN
clearance yodium konstan dan ekskresi bergantung pada kadar yodium plasma (dan ini bergantung pada resopsi di usus) maka secara praktis jumlah yang keluar dalam urin sepadan dengan yang masuk tubuh lewat resorpsi usus.
Klinis terbukti juga bahwa ada korelasi negatif antara ambilanyodium radioaktif dengan ekskresi yodium urin di berbagai daerah endemik. Belum ada kesepakatan akan kebutuhan tubuh atas yodium. Dengan dasar perhitungan P 1 I (plasma inorganic iodide) kebutuhan sehari diduga antaral00200 mg I untuk dewasa dan 200 ug I untuk usia akil baliq. Sebaliknya dari studi epidemiologis membuktikan bahwa 100 mg sudah dianggap cukup untuk menanggulangi gondok masyarakat dengan segala akibatnya. Korelasi negatif terlih at arfiara prevalensi gondok dengan masukan yodium serta ekskresi
apablla setelah yodium secara adekuat dibenkan tetapi tak
terlihat penurunan prevalensi gondok seperti yang diharapkan. Bagaimanapun juga, seperti di Zaire dan Columbia, defisiensi yodium tetap merupakan faktorpokok dan permissive terhadap timbulnya gondok dan bukan faktor tiosianat. Meskipun sayur kol bersifat goitrogen pada binatang, pada manusiahanya akan bersifat membesarkan gondok apabila orang tersebut makan dalam jumlah yatg amat besar (sampai 10 kg kol sehari). Terhadap kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa makanan atau zat yang
pada binatang berpotensi bersifat goitrogen, belum konklusif sebagai penyebab gondok pada manusia. Periksalah Tabel
I
dan Gambar 1.
yodium urin, lagipula pemberian yodium menurunkan prevalensi gondok endemik secara drastis. Kadang kadang kelainan ini ditemukan di tempat di mana nilai ekskresi yodium urin44lmg sehari seperti di Sri Langka, namun
juga di Hokkaido di mana yodium amat lebih tinggi. Sedangkan di
liatlaya,di
Lembah Mulia, dengan ekskresi yodium urin 13,6 ug sehari, PBI normal, tak ditemukan gondok maupun kretin endemik.
W'HO, Unicef dan ICCIDD menganjurkan kebutuhan yodium sehari sebagai berikut: . 90 mg untuk anakprasekolah (0 - 59 bulan) . 120 mg untuk anak sekolah dasar (6 - l2 tahun)
. .
Mekanisme yang
Kelompok
goitrogen
dipengaruhi Transportasi yodium
Tiosianat cyanogentc Glycosides
Oksidasi, organifikasi
Tioglikosid, isotiosianat, disulfid dan water borne goitrogens
l50mguntukdewasa(di atas 12 tahun) dan; 200 mg untuk wanita hamil dan wanita menyrsui
menganalisis makanan duplikat yang terdapat dalam makanan seseorang. Sedang untuk pemeriksaan tidak langsung dipakai berbagai cara : antara lain dengan memeriksa kadar yodium dalam urin, dan dengan studi kinetikyodium. Hasil observasi di atas jelas menunjukkan bahwa defisiensi yodium memang merupakan penyebab utama endemi ini, namun pada beberapa keadaan defisiensi yodium merupakan faktor yang mempermudah (per-missive
factor) bagi terjadinya gondok.
Dampak kelompok ini dapat dicegah dengan pemberian yodium cukup Banyak terdapat di alam: crucifera, cassava, rebung, ubi jalar, lima beans Efeknya tak dapat dihambat Hanya dengan yodium saja. Contoh: brambang, bawang, Brassica, yellow
Masukan yodium diperiksa dengan cara langsung maupun tidak langsung. Pemeriksaan langsung deng al cara
Keterangan
Proteolisis, penglepasan hormon dan dehalogenasi
Yodida (ganggang laut dan sebagainya)
Tiosianat (Glikosid Sianogenik)
Tioglikosid 'Goitrin'
lsotiosianat Disulfid 'Water - borne' Goitrogen
turnips Yodium lebih dari 2 gram sehari akan menghambat sintesis dan penglepasan hormon
Yodida (Rumput Laut) 'Coast Goiter'
FAKTORGOITROGEN
Goitrogen adalah zatlbahan yang dapat mengganggu hormonogenesis tiroid sehingga akibatnya tiroid dapat membesar. Sebagian besar efek goitrogen dibuktikan secara
pasti pada binatang percobaan, tetapi pada manusia perannya kecil. Secara epiderniologis hanya ada dua daerah endemis di mana goihogen penting. Pertama di pulau Idjwi, Zaire, karena cyano genicglucoside (liosianat) berasal dari
ketela; dan di Candelaria, Columbia, karena sulphurated hydrocarbon dalam airminum yang bersumber dari karang sedimen tertentu. Peran klinis goitrogen baru dipikirkan,
Gambar 1. beberapa goitrogen dan letak titik tangkapnya dalam proses hormonogenesis
20tt
GANGGUAN AKIBITT KI'RANG IODIUM
YODIUM BERLEBIHAN (lODlDE EXCESS) Yodium disebut berlebih apabila masukan melebihi jumlah yang diperlukan untuk sintesis hormon secara fisiologis' Syarat mutlak terjadinya iodide excess ialah masukan yodium dosis besar dan terus menerus, seperti halnya yang terjadi di Hok-kaido, Jepang. Mereka sangat suka akan ga;n1gang laut yang kaya yodium (mengandung I 4,5 g yodium/kg bahan kering). Dengan dosis besar yodium terjadi inhibisi hormono-genesis khusus yodinisasi tironin dan proses coupling nya. Pada pemberian secara kronik, dapat terjadi escape atau adaptasi terhadap hambatan tersebut.(vide Wolff-Chaifoff effect) Bila tidak mampu melaksanakan escape terhadap hambatani, maka ia akan
mengalami inhibisi hormoge-nesis dan terjadilah hipotiroidisme. TSH meninggi dan muncul gondok.
Dengan demikian kepentingan klinisnya tidak saja didasarkan atas akibat desakan mekanis yang ditimbulkan oleh gondok, tetapi justru gangguan fungsi lainyang dapat dan sering menyertainya seperti gangguan perkembangan
mental dan rendahnya IQ, hipotiroidisme dan kretin endemik.
GangguanAkibat Kurang Iodium (GAKI)
ata:u
lodine
Deficiency Disorders (IDD) adalah satu spektrum gangguan yang luas sebagai akibat defisiensi yodium dalam makanan yang berakibat atas menurunnya kapasitas intelektual dan fisik pada mereka yang kurang yodium ;
serta dapat bermanifestasi sebagai gondok, retardasi mental, defek mental serta frsik dan kretin endemik' Semua gangguan pada populasi tersebut akan tercegah dengan masukan yodium cukup pada penduduknya.
Epidemiologi GAKI
KONSEPGAKI
Telah banyak diterbitkan buku dan publi-kasi yang
Gondok endemik hingga kini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, di Indonesia maupun di negara berkembang. Akhir ini masalah mulai mencuat kembali di Eropa. Seperti disebutkan di atas kalau dahulu
kita selalu ter-pancang pada gondok endemik
saja, sekarang kita lebih memfokuskan pada masalah gangguan
yang iebih luas yang digabung dalam GAKI atau IDD (GangguanAkibat Kekurangan lodinm, Iodine Deficiency Disorders), di mana akibat defrsiensi yodium merupakan satu spektrum luas dan mengenai semua segmen usia, dad fetus hingga dewasa. Dengan demikian jelaslah bahwa
melaporkan prevalensi serta penye-baran gondok endemik di dunia. Terakhir dila-porkan dalam MDIS Working Paper, 1993. Gondok memang sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Hima-laya, Andes, Bukit Barisan dan sebagainya. Meskipun'demikian terlihatjuga di dataran ren-dah seperti Finlandia, Belanda dan malahan ditepi pantai seperti di Junani, Jepang, pantai Ke-bumen di Jawa Tengah dan kepulauan Maluku'
Survei Epidemiologis Gondok Endemik Survei epidemiologis untuk gondok en-demik biasanya
gondok tidak identik dengan GAKI. Dari tabel terlihat gondok hanya merupakan sebagian kecil saja dari spektrum
didasarkan atas besamya kelenjar tiroid , dilakukan dengan
GAKI(Tabel2).
modifikasinya (1960):
metoda palpasi, menurut klasifikasi Perez atau (A)
Neonatus
Anak dan remaJa
Dewasa
Abortus Lahir mati (stillbirth) Anomali kongenital Meningkatnya kematian perinatal (PMR) Meningkatnya kematian anak (lMR) Kretin endemik tiPe neurologik Retardasi mental Bisu tuli Diplegia spastik Mata juling Kretin miksudematosa Cebol Defisit mental Hipotiroidisme Defek psikomotor Gondok neonatal Hipotiroidisme neonatal Gondok Hipotiroidisme juvenil Retardasi mental Gangguan perkembangan fisik lodine induced hyperthyroidism (llT) Gondok dengan segala akibatnYa Hipotiroidisme Gangguan fungsi mental Kepekaan thd radiasi nuklir meningkat
Grade0 :tidakteraba
GradeI : teraba dan terlihat hanya dengan kepala ditengadahkan
II
: mudah dilihat, kepala posisi biasa Grade Grade III : terlihat dari j arak tertentu
. .
Grade la : tidak teraba atau jika teraba tidak lebih besar dari kelenjar tiroid normal. Grade lb : jelas teraba dan membesar, tetapi umumnya tidak terlihat meskipun kepala posisi tengadah. Ukuran tiroid disebut normal apabila sama atau lebih besar dari
falangs akhir ibu jari tangan pasien
(c) Akhir ini kriteria palpasi disederhanakan untuk mencegah kesulitan membedakan grade Ia dan Grade Ib di atas dengan modifikasi sebagai berikut (2001) Grade O : tidak terlihat maupun teraba gondok
.
2012
.
Grade
METABOLIKENDOXRIN
I
: Gondok teraba tetapi tidak terlihat apabila
leher dalam posisi normal (tiroid tak terlihat membesar). Meskipun tidak membesar adany a n o dut mes?,tptm lidak membesar dimasukkan dalam grade ini.
.
Grade 2 : Pembengkakan di leher yang jelas terlihat pada leher dalam posisi normal dan pada palpasi memaflg memb es ar (kelenlar tiroid dianggap membes ar apabila besar setiap lobus lateral lebih dallvolume falangs terminal ibu jari pasienyang diperiksa.
Oleh sebab itu dianjurkan mulai dengan survei anak sekolah dahulu dan jika angka melebihi lO% maka dapat diteruskan dengan survei pada masyarakat seluruhnya. Penulis sendiri menganjurkan untuk mulai melakukan studi masyarakat apabila angka ini sama atau lebih dari 30% (termasuk grade I nya). Di samping untuk menilai berat ringannya defisiensi yodium, survei epidemiologis digunakan untuk mengikuti dampak pengobatan dan profilaksis. Di th 1974 k;riteira
WHO untuk satu daerah sebagai endemi yaitu
(D)
Untuk masa depan besarnya tiroid dianjurkan diperiksa dengan ultrasonografi, sebab cara ini mudah, peka, reliabel,
objektif dibanding palpasi. Nilai normatif volum tiroid berbeda dari satu populasi ke populasi lain. Di Indonesia, berdasarkan pemeriksaan 7447 anak sekolah usia 6-12
tahun dari propinsi Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Bali telah dibuat nilai normatif volume tiroid sebagai berikut (bandingkan nilai Eropa) Tabel 3.
Usia
lndonesia
(tahun) 6 7
5.4 5.7
8
6.'1
I
6.8
10
78
11
9.0
12
10.4
5.0 5.9 6.9 8.0 9.2 10.4 11 .7
Djokomoeljant et al. 2001
.
2.4 3.9 4.6 5.9
4.0 4.1 6.1
6.7 7.5
6.8
7.8
8.0
8.1
9.9
epidemiologis perlu dipikirkan faktor kerawan an yulner-
ability segmen (sejauh mana mudah terkena gangguan, danrespons biokimiawi maupunklinis yang terlihat akibat kekurangan maupun intervensi), terwakil inya repres entativeness penduduk secara menyeluruh, dan mudahnya
Angka berdasar 97 persentil
Dalam survei epidemiologi dapat digunakan duateknik deteksi a. memeriksa seluruh penduduk atau b. memeriksa satu kelompok terbatas (anak sekolah calon perwira, calon pegawai negeri, dan sebagainya). Dengan memakai cara pertama diperoleh angkapasti, menemukan gondok dengan berbagai variasi besar, menemukan kasus kretin endemik yang biasanya tak diperoleh pada survei terbatas, tetapi cara mengorganisasinya lebih sulit, butuh waktu, tenaga dan dana banyak. Dengan memakai cara kedua, cepat diperoleh kesan pada populasi tertentu, tetapi jelas akan
sulit menjumpai komplikasi yang sering menyertai defisiensi yodium berat, yaitu kretin endemik dan berbagai
kelainan lainnya. Juga gondok yang besar tidak akan dijumpai pada anak sekolah.
Tanpa Endemi
lndikator
gondok
Prevalensi 0.0- 4.9 o/o Kretin dan hipotiroidi Tidak ada
median creat
UEI pg l/dl pg l/gr
(N.8. UEI 5 pg
l/dl=50
pg
> 10 > 100
l/L)
ditemukannya 5%o gondokatau lebih pada penduduk usia remaja atau lebih muda, berderajat Ib atau apabila > 3Oy" populasi dengan gondok Iaatau >. Gondok dapat terjadi secara fisiologis pada wanita meskipun yodium cukup. Gondok dapat terjadi pada 4 5% penduduk normal. Untuk mudahnya endemi perlu mendapat perhatian apabila TGR (total goiter rate) > 5%o dan perlu mendapat pencegahan apabila >l\yo. Batas ini dipitih berdasarkan kenyataan bahwa prevalensi yang > l0o/oternyatadisebabkan akibat pengaruh faktor lingkungan, sedang di bawah l\Yo ifi dapat terladi meskipun tampaknya "semua" faktor telah disingkirkan. Namun akhir akhir ini para ahli sepakat untuk tetap menggunakan nilai 5%o sebagaibatas, sebab banyak ditemukan kelainan metabolik (T* yang rendah serta kenaikan TSH pada penduduk ketika prevalensi gondoknya ditemukan ant ara 5 l0o/o). Dalam memilih segmen penduduk yang dipantau secara
Endemi
ringan
% Tidak ada
5-19,9
50-9.9 >50
diperoleh datanya accessibility. Untuk ini yang diajurkan adalah segmen anak sekolah dan wanita hamil atau menyusui yang ada di KIA atau puskesmas.
Berat ringannya endemi
di samping dapat dinilai
dengan prevalensi, dapat juga dengan memeriksa ekskresi yodium urin (EYLI). Dalam keadaan seimbang yodium yang masuk tubuh dianggap sama dengan yang diekskresikan
lewat urin. Jadi pemeriksaan urin
dianggap
menggambarkan masukan yodium. Data yang dimaksud
dinyatakan sebagai jumlah mikrogram ekskresi yodium sehari (ug I-124 jam:urin) atau (karena sulit mendapatkan
sampel win 24 jam di lapangan), dinyatakan dalam mikrogram yodiumper gramlreatinin urin sewaktu (ug Vg kreatinin trin) atau ug I/dl urin.
Endemi sedang
20-29,90/o Kretin tidak terlihat jelas, namun risiko hipotiroidisme ada 2.0 - 4.9
25-50
Endemi
berat > 1
30o/o
-
10o/o
<2 <25
2013
GANGGUAN AKIBAiT KURANG IODIUM
I
(endemi ringan) : Endemi dengan nilai median ekskresi yodium urin lebih dari 50 ug Vg kreatinin, atau median urin antara 5,0-9,9 ug/dl. Dalam keadaan ini kebutuhan hormon tiroid untuk pertumbuhan fisis maupun mental terpenuhi, Prevalensi gondok anak sekolah 5'20%.
Endemi grade
II (endemi sedang)
,
dibawahini:
-
Endemi di mananilai median ekskresi yodium urin arfiata25 50 ug Vg kreatinin, atau median anlara2,O 4,9 :ugldl. Hormon tiroid mungkin
Endemi grade
:
tidak mencukupi. Ada risiko terjadi hipotiroidisme tetapi tidak terlihat kretin endemik yang jelas. Prevalensi gondok
III (endemi berat)
:
pertumbuhan (cebol) dan hipotiroidisme. Meskipun di beberapa endemi tipe satu atau tipe dua lebih
gondok anak sekolah lebih dari 30%o, prevalensi kretin endemik dapat mencapai I
1
0o%.
Status nutrisi yodium (berdasarkan UEI anak usia sekolah) memberikan indikasi untuk berbagai kelainan dan diharapkan mampu memberi ramalan, serta interpretasinya
(Tabel5)
Median
Masukan
Yodium
<20 - 49 50 - 99 100 199 200 -
Tak mencukuPi Tak mencukuPi Tak mencukuPi Cukup Lebih dari cukuP
299
>
300
.
banyak terjadi juga. Segi pencegahan. Terjadinya kretin endemik akan dicegah dengan pemberian unsur yodium yang adekuat.
Kriteria WHO tahun 1980 di atas berlaku untuk kelompok, tetapi untuk diagnosis kretin endemik secara individu perlu juga ditegakkan. Kriteria yang digunakan di Indonesia, berdasarkan studi cohort/populasi adalah sebagai berikut.'kretin endemik adalah seorang yang lahir
di suatu daerah dengan defisiensi yodium berat yang
UEI pg/L
20
predominan, tetapi gabungan dua sindrom tadi
Endemi dengan nilai
median ekskresi yodium urin kurang dari 25 ug 1/g kreatinin, atau median <2mgldl. Terjadi risiko sangat tinggi untulk lahimya laetin endemik dengan segala akibatlya. Prevalensi
gejalaneurologis yang mencolok yang terdiri atas gangguan pendengaran (bilateral dan nada tinggi) danwicara, gangguan caraberjalan (gait) dan sikap badan waktu berdiri yang khas atau
- gejala yang mencolok adalah gangguan
anak sekolah s ampai 30%o,
Endemi grade
Segi epidemiologis. Kretin endemik selalu berhubungan dengan defisiensi yodium berat. Segi klinis. Yang penting dari segi ini ialah adanya def,rsiensi mental yang disertai dengan salah satu gejala
Berlebihan
menunjukkan dua atau lebih kombinasi gejala ireversibel ini : retardasi mental, kelainan neuromotorik (gangguan Status Nutrisi Yodium Defisiensi yodium berat Defisiensi yodium sedang Defisiensi yodium ringan Optimal Ada risiko iodine-induced hyperthyroidism (llH) dalam kurun waktu 5-1 0 th sesudah pemberian garam beryodium pada kelomPok yang rawan. Ada risiko kesehatan Yang tidak menguntungkan (llH, autoimmune thyroid dlseases)
Meskipun semuakeadaan di atas perlu ditangani, tetapi
bicara,cara berj alan yang khas, refleks patologis dan refleks fisiologis meninggi, mata juling, gangguan akibat kerusakan batang otak serta late walker) dan gangguan pendengaran (bilateral, tipe perseptif dan pada nada tinggi). Keadaan tersebut dapat disertai atau tidak disertai hipotiroidisme.
Definisi ini ditujukan untuk membuat satu unifuing diagnosis dan hipotesis alaskelompok yang dalam literatur disebut kretin endemik tipe miksedematosa, kretin tipe nervosa dan tipe campuran (mixedematous, neryous dan mixed type endemic cretinism). Karena laetin endemikhanya terdapat di daerah endemi berat, maka ditemukannya kretin endemik mengisyaratkan diluncurkannya program crash-ptogrampenanggulangan serta pencegahan segera.
prioritas program penanganan masalah harus diberikan pada gradeyang sedang dan berat (II dan III) dengan cara crash program dan segera, sebab kita tidak boleh membiarkan adanya risiko lahirnya bayi kretin dengan cacat baik fisis dan mental yang ireversibel.
Survei Epidemiolgik Kretin Endemik Kretin endemik merupakan akilbat GAKI terparah pada manusia. Umumnya dianggap merupakan dampak kekurangan unsur yodium selama kehidupan fetal sampai
3 tahun pertama kehidupan bayi. Hingga kini masih terdapat kesimpangsiuran mengenai definisi operasional, khususnya tentang kretin endemik ini, lebih lebih apabila diingat segi patofisiologinya. Kretin endemik dapat ditinjau dari 3 segi, yaitu segi epidemiologis, segi klinis dan segi pencegahan.
ETIOLOGI KRETIN ENDEMIK Etiologi kretin endemik hingga kini belum diketahui dengan tepat. Umumnya disepakati bahwa pada tipe nervosa penyebabnya ialah kekurangan hormon tiroid intrauterin;
sedangkan kasus hipotiroidisme atalJ kretin miksedematosa seperti di Zaire, disebabkan kekurangan hormon tiroid intrauterin ditambah kerusakan kelenjar tiroid karena atrofi kelenjar tiroid karena bermacam macam sebab (antara lain bahan goitrogen, defisiensi zinc, efek defisiensi
per se dsb). Terjadinya gangguan kretin endemik tergantung dari: berat ringan defisiensi yodium in utero dan post parhrm, kapan insult hipotiroidisme ini terjadi, pada waktu itu bagian saraf mana yang sedang tumbuh,
2014
METABOUKENDOKRIN
Likely timing of maior tnsutb to the CNS in iodine- definiciency edemic cretinism v€rsus congenibt hyporhyroidism Mixed: neuroloqical and hvooth
Congenilal hypothyroidism
.J
23456
Gambar 2.fahap pembentukan susunan saraf pusat dijajarkan dengan tersedianya hormon tiroid bagi fetus. Gambar dikutip dari G.Moreale de Escobar, F Escobar del Rey. Consequences of iodine deficiency for brain development ln The Thyroid and
Brain Merck Thyroid Symposium. Eds Moreale de Escobarm de Vijldel Butz and Hostalek,Seville, June 2002,Schattauer, Stuttgart, New York, 2003.
lama defisiensi dsb, Beberapa data perkembangan intrauterin yang penting sehubungan dengan masalah tadi adalah: a). produksi To fetus baru mulai minggu 12-13 dan
sebelumnya disuplai oleh ibu; b). perkembarrgar. mielinisasi fetus mulai bulan 5, cerebelum dan hipocampus
bulan 8 dan diteruskan postpartum, sedangkan pertumbuhan mata (mi 3-8), corpus callosum (4-l 4), jalur subrachnoid (6- I 6), cochlea (9 -l 4), cortex cerebri (l 0 - 44).
Dengan demikian insult waktu intrauterin menyebabkan kretin neurologik dengan gambaran gangguan pada SSP yang terganggu selama perioda intrauterin; insult gestasi akhir yang diteruskan postpartum menyebabkan kretin miksudematosa, sedangkan tipe campuran (mixed type) terjadi karena insult intrauterin dan post partum.
menunjukkan prevalensi karsinoma tiroid anaplastik dan folikular lebihbanyak dijumpai di daerah endemik gondok. Kanker ini jauh lebih ganas dari pada kanker tiroid papiliferum yang memang sering dijumpai di klinik.
Defisiensi yodium dan kesuburan, menstrvasi dan sebagainya. Umumnya diakui bahwa pada hipotiroidisme terdapat gangguan kesuburan dan kehamilan. Wanita hamil dengan PBI rendah lebih banyak mengalami abortus. Intelligence quotient (IQ) anak yang lahir dari ibu dengan hormon tiroid rendah namun bila diberi terapi substitusi akan lebih tinggi di-bandingkan dengan IQ anakyang lahir
dari ibu yang tidak diberikan substitusi. Stillbirth ibu dengan gondok, di Brasil, lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa gondok. Observasi ini terlihat juga di dataran tinggi Irian Barat.
Hipotiroidisme Hipotiroidisme terdapat di daerah dengan defisiensi yodium sedang dan berat. Hipotiroidisme yang terjadi sebelum 3 tahun akan menganggu perkembangan somatik, sedangkan di atas usia tersebut hanya akan menganggu perkembangan biokimiawi maupun klinik. Hipotiroidisme sentral pada orang dewasa mengganggu konsentrasi'dan menyebabkan rasa lesu 'malaise' Kretin endemik dan berbagai kelainan susunan saraf pusat, merupakan akibat paling berat defisiensi yodium. Di samping itu gangguannya berat, juga karena gangguan ini bersifat ireversibel. Pemberian unsur yodium atau substitusi tiroid hanya akan memperbaiki somatik tetapi tidak akan mempengaruhi gejala kretinnya. Di beberapa daerah di Indonesia jumlah kretin endemik ini dapat mencapai I 0% dari penduduk.
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Pemberian yodium atau hormon tiroid jangka larna mengecilkan kelenjar. Pada kasus dengan gondok besar
Dampak Defisiensi Yodium Pada berbagai obseryasi lapangan dan klinis terlihat bahwa defisiensi yodium memberikan dampak negatif, antara lain (Tabel 2). Gondok. Gondok merupakan reaksi adaptasi terhadap kekurangan yodium. Apabila ukurannya masih terbatas, bukan merupakan masalah kecuali mungkin masalah
kosmetik. Gondok ukuran besar memang dapat mengganggu pernapasan karena tekanan pada trakea. Makin lama pembesaran ini makin bersifat lebih multinodular, Makin meningkat usia makin tinggi prevalensinya. Pada pria prevalensi ini mulai menurun lebih banyak sesudah usia dewasa daripada penurunan pada wanita,
Gondok Endemik dan Kanker Tiroid Angka pasti belum ada, tetapi kesan epidemiologis
yang disertai gejala tekanan, perlu tindakan operasi. Tetapi tindakan secara perorangan ini sulit dijalankan secara luas, apalagi bila mengingat jumlah penduduk yang terkena. Prevensi dengan yodium merupakan satu satunya jalan.
Hampir 60 tahun cara pencegahan dengan garam beryodium dilakukan. Cara ini pertama kali dilakukan di Amerika Serikat oleh Marine dan Kimball, tahun l9l7 . Caru ini dinilai sangat berhasil dan digunakan juga ditempat -tempat lain di dunia, temyata gondok menurun dan kretin endemilk tidak muncul lagi. Ketidakberhasilan program ini biasanya karena faktor lain, seperti faktor sosioekonomi, cuaca ata's keadaan geografi sehingga penyebaran garam secara sistematis sukar dijalankan atau tidak dimungkinkan. Penyebab ini justru sering terjadi di negara yang sedang berkembang. Biasanya digunakan kalium yodida tetapi di tempat yang agak lembab, KJ0, lebih banyak digunakan karena lebih stabil.
2015
GAI{GGUAN AKIBITT KI.'RANG IODIUM
Berbagai cara telah ditempuh untuk meyampaikan unsur yodium ini pada penduduk yang membutuhkannya. Misatnya dalam bentuk pil, dimasukkan dalam coklat untuk anak sekolah, dalam air minum seperti pernah dicoba di Belanda, disebarkan lewat saluran air minum (PAM), dimasukkan dalam roti, dan dalam garam beryodium serta suntilkan minyak yang mengandung yodium. Di Indonesia digunakan garam beryodium dengan kadag yodium 40 ppm. Dengan anggapan konsumsi garam 10 g sehari maka di makan 400 mg potasiurn iodide dan ini sesuai dengan
237 mg iodide. Dengan demikian jumlah
ini
sudah
mencukupi baik untuk pengobatan maupun pencegahan.
Cara
ini merupalkan cara terpilih dan menjadi
cara
pencegahan jangka lama bagi Indonesia (longterm prevention programme). Meskipun penanggulangan dengan garam beryodium ini secara teroritis sangat baik, namun ternyata banyak hambatan dalam segi pelaksanaannya arfiara. lain harga yang agak lebih tinggi, penyebaran yang harus kontinu, daerah dengan letak geografis yang sulit dicapai (di mana pada umumnya justru banyak didapatkan kasus gondok endemik), hambatan masalah perdagangan antar pulau dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya dikembang-
kan penggunaan kapsul larutan yodium dalam minyak yang diberikan setiap setahun sekali, sebelum ini suntikan larutan sama diberikan 4-5 tahun sekali, namun lebih banyak hambatannya.
Dalam setiap program pencegahan selalu harus dilakukan pemantauan terhadap dampak program, antara lain : menurunnya prevalensi total goiter rate sekolah, sebab kelompok usia ini paling peka terhadap nutrisi yang sedang berjalan. Pantauan terhadap angka demografik (abortus, lahir mati, IMR, PMR dsb diperlukan. Apabila dengan cara penanggulangan yang baik dan adekuat prevalensi tidak turun seperti diharapkan, barulah kita memikirkan adanya pengaruh faktor lingkungan, seperti faktor zat goitrogen alami. Kelainan biokimiawi pada defisiensi yodium yaifu :
. . .
.
Ekskresi yodiumurin rendah
Ambilan yodium radioaktifyang meningkat (uptake) Kadar PBI dan T4 normal atau rendah, sedangkan T3 dapat normal, rendah atau tinggi (adanya sekresi
preferensial) Reaksi yang berlebihan terhadap thyroid releasing hormone (TRH)
Zimbabwee dan Brasil dan daerah endemi lain menguatkan adanya IIH sesudah dimulainya profilaksis. Prevalensinya rendah. Faktor risiko ada pada orang tua dengan gondok noduler lama yang hidup di daerah endemi (meskipun terdapat juga pada usia muda). Kejadian ini dihubungkan
dengan naiknya median UEI pada populasi. Adapun
sebabnya karena perubahan mutasi sel
bertambahnya yodium akan meningkatkan produksi hormon tiroid. Teoretis dapat terjadi juga pada kasus Graves' yang tidakmanifes karena defisiensi yodium. Studi di Afrika menunjukkan bahwa IIH hanya terjadi apabila profilaksis terjadi belum lama berselang (< 2 tahun) dan dengan dosis yodium tinggi.
REFERENSI Bambang-Hartono. The influence of iodine deficiency during pregnancy on neurodevelopment from birth to two years. PhD dissertation. Vrije Universiteit Amsterdam, Sept 5, 2001.
Benny Kodyat, Djokomoeljanto, Darwin Karyadi, Tarwotjo, Muhilal, Husaini andAsmira Sukaton. Micronutrient Malnutrition. Intervention progmm. An Indonesian oxperience.
Min of Health, Dir Gen Community Health, Dilectorate of Community Nutrition 1991. p. 26
Delange F, de Benoist B, Alnwick D. Risks of iodine induced hyperthyroidism aftet correction of iodine deficiency by iodized salt. THYROID, 1999;9: 545. Djokomoeljanto R. The effect of severe iodine deficiency (a study on a population in Central Java, Indonesia). PhD dissertation, Diponegoro University Semarang Indonesia, Oct, l9'74. Djokomoeljanto R, Setyawan H, Dramaix M, Hadisaputro S,
! Delange F. The Thyromobil model for standardized evaluation of Iodine DefrcGncy Disorder Control in Indonesia. THYROID 2001; 11: 365' Soehartono
Djokomoeljanto R, Satoto, Rachmi Untoro. Iodine deficiency disorders in Indonesia. In: Towards the global elimination of brain damage due to iodine deficiency : Basil Hetzel, Delange F, John Dunn, Jack Ling, V Mannar, C Pandav, editors. new Delhi: Oxford University Press YMCA Library building; 2001. p. 422 G.Moreale de Escobar, F Escobar del Rey. Consequences of iodine deficiency for brain development. In The Thyroid and Brain. Merck Thyroid Syrnposium. Eds. Moreale de Escobarm de Vijlder, Butz and ostalek,seville, June 2002, Schattauer, Stuttgart, New
York,2003. Stanbury JB, Hetzel BS. Endemic goiter and endemic cretinism. New
York Toronto: B A Wiley Medical Publication John Wiley & Sons;1980. Stanbury JB, Ermans AE, Bourdoux P et al. Iodine
lodi ne-l n d u ced Hy pefthyro i d i s m ( llH I Pemberian yodium dalam bentuk apapun dapat menyulut episode tirotoksikosis. Laporan dari Tasmania, Zaire,
tiroid yang
menjadikannya bersifat otonom. Dengan bekal otonomi
-
induced hyperthy-
roidism: occurrence and epidemiology. THYROID 1998; 8 : 83' WHOA{HD/01.1. Assessment of iodine deficiency disorders and monitoring their elimination. 2"d edition' 2001.
313 TIROIDITIS Paulus Wiyono
PENGANTAR
.
Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di
.
dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai
rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya subacute granulomatous thyroiditis darr infectious thyroiditis), dal keadaan dimana secara klinis tidak ada inflamasi dan
manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid (misalnya subacute lymphocytic painless thyroiditis) dan tiroiditis fibrosa (Riedels thyroiditis). Pada golongan tiroiditis subakut pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid, diikuti dengan hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid. Hipertiroid terjadi karena kerusakan sel-sel folikel tiroid dan pemecahan timbunan tiroglobulin, menimbulkan pelepasan yang tidak
.
Tiroiditis Akut dan disertai rasa sakit : 1). Tiroiditis infeksiosa akut = tiroiditis supurativa, 2). Tiroiditis oleh karena radiasi, 3). Tiroiditis traumatika Tiroiditis Subakut A. Yang disertai rasa sakit : Tiroiditis granulomatosa: tiroiditis non supruativa: tiroiditis de Quervain B. Yang tidak disertai rasa sakit : 1). Tiroiditis limfositik subakuq 2). Tiroiditis postpartum; 3). Tiroiditis oleh karena obat-obatan Tiroiditis Kronis: 1). Tiroiditis Hashimoto;2). Tiroiditis Riedel; 3). Tiroiditis infeksiosa kronis oleh karena mikobacteri, j amur, dan seb againy a.
Tiroiditis Akut yang Disertai Rasa Sakit Tiroiditis pada golongan ini di antaranya adalah tiroiditis infeksiosa akut baik karena bakteri gram (+) maupun gram (-), tiroiditis karena radiasi dan tiroiditis karena trauma.
terkendali dari hormon T3 dan T4. Hipertiroid ini
Tirolditis infeksiosa akut : Tiroiditis Supurativa. Terjadi melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari sinus piriformis yang berdekatan dengan laring, yang merupakan anomali kongenital yang sering terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid sendiri resisten terhadap infeksi karena beberapa hal di arrtarar,ya berkapsul, mengandung iodium tinggi, kaya suplai darah dan saluran limfe untuk drainase. Karenanya tiroiditis
berlangsung sampai timbunan T3 dan T4 habis. Sintesis hormon yang baru terhenti tidak hanya karena kerusakan
sel-sel folikel tiroid tetapi juga karena penurunan TSH akibat kenaikan T3 dan T4. Hipotiroid yang teq'adi biasanya sementara. Bila inflamasinya mereda, sel-sel folikel tiroid
akan regenerasi, sintesis dan sekresi hormon akan pulih kernbali.
infeksiosa ini jarang terjadi, kecuali pada keadaan-keadaan tertentu seperti pada mereka yang sebelumnya mempunyai penyakit tiroid (Ca tiroid, tiroiditis Hashimoto, struma multinoduler), atau adanya supresi sistem imun, seperti pada orang tua, debilated, dan lebihJebih padapasienAlDS. Pasientiroiditis supurativa bakterial ini biasanya mengeluh rasa sakit yang hebat pada kelenjar tiroid, panas, menggigil,
KLASIFIKASI TIROIDITIS Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dapat berupa peq'alanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakitpada tiroid. Ada tidaknya rasa sakit ini penting karena merupakan pertimbangan utama untuk menegakkan diagrrosis.
disfagia, disfonia, sakit leher depan, nyeri tekan, ada fluktuasi dan eritema. Fungsi tiroidnya umumnya
Berdasarkan perj alanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit tiroiditis dapat dibagi atas:
normal, sangatjarang terjadi tirotoksikosis atau hipotiroid.
2016
20t7
TIROIDITIS
Jumlah leukosit dan laju endap darah meningkat. Pada skintigrafi didapatkan pada daerah supuratif tidak menyerap iodium radioktif (dingrn). Pasien harus segera dilalcukan aspirasi dan drainase dari daerah supuratifdan diberikan antibiotik yang sesuai. Umumnya diperlukan penanganan yang segera, penanganan yang terlambat dapat berakibat fatal.
Pada pasienAlDS beberapa kuman patogen oportunistik dapat menyerang kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan postmortem terbanyak adalah kuman CMV
virus. Kompleks antigen-HlA-B 3 5 mengakti flr.an cy t o t ox i c T lymphocytesyang akanmerusaksel folikel tiroid. Berbeda dengan penyakit tiroid autoimun, pada TGS reaksi imun
tersebut tidak berlangsung terus, proses
ini
hanya
sementara.
Inflamasi pada TGS akan menyebabkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan proteolisis dari timbunan tiroglobulin. Akibatnya terjadi pelepasan hormon T3 dan T4 yangtidak terkendali ke dalam sirkulasi dan terjadilah
walaupun demikian laporan tiroiditis oleh karena CMV tidak diketemukan. Tiroidmerupakan organ di luarpulmo yang
hipertiroid. Hipertiroid ini akan berakhir kalau timbunan hormon telah habis, karena sintesis hormon yang baru tidak terjadi karena kerusakan folikel tiroid maupun
rentan terhadap Pneumonitis carinii yang sering menyerang pulmo pada pasienAlDs. Pada autopsi
ini dapat diikuti terjadinya hipotiroid. Bila radangnya
didapatkan leb th dallr 20o/o didapatkan carinii pada tiroid walaupun tanpa gejala.
adany a
Pneumonitis
Tiroiditis akut karena radiasi. Pasien penyakit Graves yang diterapi dengan iodium radioaktif sering mengalami kesakitan dan nyeri tekan pada tiroid 5-10 hari kemudian. Keadaan ini disebabkan terjadinya kerusakan dan nekrosis akibat radiasi tersebut. Rasa sakitnya biasanya tidak hebat dan membaik dalam beberapa hari. Tiroiditis akut karena trauma. Manipulasi kelenjar tiroid dengan memijat-mijat yang terlalu keras pada pemeriksaan dokter atau olehpasien sendiri dapat menimbulkan tiroiditis
akut yang disertai rasa sakit dan mungkin dapat timbul tirotoksikosis. Trauma ini dapat juga terjadi akibat penggunaan sabuk pengaman mobil yang terlalu kencang.
Tiroiditis Subakut Tiroiditis subakut dapat dibagi
atas ada tidaknya rasa sakit.
Tiroiditis subakut yang disertai rasa sakit (Subacute painful thyroitlitis). Tiroiditis ini dikenal dengan beberapa nama di antaranya : tiroiditis granulomatosa subakut, tiroiditis nonsupurativa subakut, Tiroiditis de Quervain, tiroiditis sel raksasa, subacute painful thyroiditis. Tiroiditis granulomatosa subakut (TGS) penyebab yang
pasti belum jelas, diduga penyebabnya adalah infeksi
virus atau proses inflamasi post viral infection. Kebanyakan pasienmempunyai riwayat infeksi saluran pemapasan bagian atas beberapa saat sebelum terjadinya
pemrmnan TSH akibat hipertiroid tersebut. Pada keadaan sembuh, terjadi perbaikan folikel tiroid, sintesis hormon kembalinormal. Gambaran patologi anatomi yang karakteristik dari folikel tiroid adalah adanya inti tengah koloid yang dikelilingi oleh sel raksasa yang berinti banyak, lesi ini kemudian berkembang menjadi granuloma. Di samping itu
didapatkan infiltrasi neutrofil, limfosit dan histiosit, disruptiondan kolaps folikel tiroid, nekrosis sel-sel folikel. Awitan dari TGS biasanya pelan-pelan tetap,i kadangkadang dapat mendadak. Rasa sakit merupakan keluhan yang selalu didapatkan dan mendorong pasienberobat. Rasa sakit dapat terbatas pada kelenjar tiroid atau menjalar sampai leher depan, telinga, rahang dan tenggorokan yang
kadang-kadang menyebabkan pasienperiksa ke THT. Biasanya terjadi demam, malaise, anoreksi dan myalgia. Kelenjar tiroid membesar difus dan sakit pada palpasi. Separo dari pasienmenunjukkan gejala klinis hipertiroid,
tetapi gejala rasa sakit lebih mendominasi. Inflamasi dan hipertiroiditis bersifat sementara, berlangsung sekitar 2-6 minggu, kemungkinan diikuti oleh terjadinya hipotiroid yang asimptomatik yang berlangsung 2-8 minggu dan diikuti penyembuhan. Pada 20Yo pasiendapat terjadi kekambuhan dalam beberapa bulan kemudian. Walaupun gejala klinis hipertiroid hanya terjadi pada separo pasienTGS, tetapi pemeriksaan laboratorium hampir selalu didapatkan peningkatan T3 dan T4 serta penurunan TSH. Uptake iodium radioaktif rendah, kadar tiroglobulin serum tinggi, anemia ringan, leukositosis dan LED yang
tiroiditis. Kejadian tiroiditis ini juga berkaitan dengan
meningkat. Biasanya tidak didapatkan peningkatan antibodi terhadap tiroid peroksidase (TPO) maupun
musim, tertinggi pada musim panas dan juga berkaitan
tiroglobulin.
dengan adanya infeksi virus Coxsackie, parotitis epidemika,
Pada dasarnya diagnosis dari TGS cukup diagnosis
campak, adenovirus. Antibodi terhadap virus juga sering didapatkan, tetapi keadaan ini dapat merupakan nonspecific anamnestic response. Tidak didapatkan adanya inclusion bodies pada jaringan tiroid.
klinis. Adanya pembesaran kelenjar tiroid yang difus
Tampaknya proses autoimun tidak berperan pada terjadinya TGS ini, walaupun demikian TGS berkaitan dengan HLA-B35. Kemungkinan bahwa sebelumnya te{adi infeksi virus subklinis yang akan menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan tiroid yang rusak akibat
disertai rasa sakit dan nyeri pada palpasi yang menjalar ke leher depan cukup untuk menduga adanya TGS. Gejala hipertiroid belum tentu ada,tetapiT4 selalu naik dan TSH turun. Meningkatnya LED memperkuat diagnosis TGS.
Ultrasonografi, RAIU, dan AJH dapat membantu memastikan diagnosis. Diferensial diagnosis adalah tiroditis infeksiosa akut dan perdarahan pada nodul. Kedua keadaan tersebut menimbulkan rasa sakit pada tiroid dan
2018
nyeri tekan, tetapi kelenjar tiroid yang sakit biasanya unilateral dan fungsi tiroid normal. Terapi TGS bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau aspirin. pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednison 40 mg
METABOLIKENDOIGIN
oleh karena tidak terjadi pembentukan hormon baru. ini akan diikuti oleh terjadinya hipotiroid yang diperberat oleh adanya penurunan TSH pada saat
Keadaan
hipertiroid. Bila inflamasi mereda sel-sel folikel mengalami regenerasi maka pembuatan hormon tiroid akan pulih
perhari. Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat,
kembali.
propranolol 40- I 20 mg/hari atau atenolol 25 -50 mg per hari. Pemberian PTU atau metimasol tidak diperlukan karena
Pada biopsi kelenjar tiroid didapatkan adanya infiltrasi limfosit, kadang-kadang didapatkan ggrminal centre da'n sedikit fibrosis. Dibandingkan dengan tiroiditis autoimun kronis gambaran PAtersebut jauh lebih ringan.
bila berat dapat diberikan obat 6 bloker misalnya tidak terjadi peningkatan sintesis atau sekresi hormon. Pada perjalanan penyakitnya kadang-kadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak lama,
karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipotiroidnya berat dapat diberikan L-tiroksin 50- 100 mcg
per hari selama 6-8 minggu dan tiroksin kemudian dihentikan.
TiroiditiS subakut yang tidak disertai rasa sakit. Ada 3 penyakit pada golongan ini yaitu : l).Tiroiditis limfositik subakut; 2). Tiroiditis postparhrm; 3). Tiroiditis karena obat. Tiroiditis limfositiklubakut lanpa rasa sakit (Subacute lymphocytic painless thyroiditis). Banyak istilah yang digunakan untuk tiroiditis limfositik subakut tanpa rasa sakit (TLSTRS) ini di antarinya : painless thyroiditis, silent thyroiditis, lymphocytic thyroiditis with spontane-
ously resolving hyperthyroidism, painless sporadic thyroidilis, sporadic silent thyroiditis. TLSTRS sebaiknya dipertimbangkan sebagai penyebab hipertiroid pada setiap wanita atau laki-laki yang mempunyai gejala hipertiroid ringan kurang dari 2 bulan, tanpa pembesaran tiroid atau membesar ringan dan tidak ada oftalmopati. TLSTRS merupakan varian dari tiroiditis autoimun lcronis (Hashimoto thyroiditis), diduga merupakan bagian
dari spektrum penyakit tiroid autoimun. Banyak pasienTLSTRS mempunyai konsentrasi antibodi yang tinggi baikterhadap TPO maupun tiroglobulin. Di samping itu banyak didapatkan riwayat keluarga yang menderita penyakit tiroid autoimun. Beberapa pasienberkembang
menjadi tiroiditis autoimun kronis beberapa tahun kemudiair. TLSTRS berkaitan dengan HLA haplotipe yang
spesifik yaitu HLA-DR3 yang menunjukkan adanya inherited susceptibility walaupun asosiasinya lemah. Faktor yang diduga sebagai pencetus TLSTRS antara lain intake iodium yang berlebihan dan sitokin. Suatu sindrom yang menyerupai TLSTRS dapat terjadi pada
pasienyang mendapat terapi amiodaron (yang kaya iodium), interferon alfa, interleukin-2 dan litium. Keadaan ini menunjukkan bahwa pelepasan sitokin sebagai akibat dari kerusakan jaringan atau inflamasi mungkin sebagai awal dari proses terjadinya TLSTRS.
Manifestasi klinis TLSTRS adalah terjadinya hipertiroid yang timbul 1-2 minggu dan berakhir 2-8 minggu. Gejala hipertiroidnya biasanya ringan. Kelenjar tiroid membesar ringan, difus dan biasanya tidak disertai rasa sakit. Gejala hipertiroid ini akan diikuti oleh adanya perbaikan atau terjadinya hipotiroid selama 2-8 minggu yang biasanya juga ringan atau malahan asimtomatik dan diikuti perbaikan. Kadang-kadang dapat diikuti terjadinya
tiroiditis autoimun kronis dengan h-ipotiroid yang permanent (20-50%). Pada saat terjadi hipertiroid terjadi peningkatan kadar T3 dan T4, dan penurunan TSH. Kadang-kadang hanya
didapatkan penurunan TSH saja yang menunjukkan adanya hipertiroid subklinis. Pada pasienyang mengalami hipotiroid kadar T3 dan T4 turun disertai peningkatan kadar TSH. Kadang-kadang hanya didapatkan peningkatan TSH saja (hipotiroid subklinis). Antibodi terhadap tiroid (antiTPO antibodi dan antitiroglobulin antibodi) meningkat pada 50% pasiensaat terdiagnosis TLSTRS. Titer antibodi ini akan menurun (berbeda pada tiroiditis post partum yang
persisten). Jumlah leukosit biasanya normal dan laju endap darah hanya sedikit meningkat.
Biasanya pasienTLSTRS tidak memerlukan pengobatan baikpada fase hipertiroid maupun hipotiroid, karena gejalanya ringan. bila gejala hipertiroid berat perlu diberikan beta bloker propranolol (40-120 mglharl) ata:u atenolol (25-50 mglhari). Pemberian PTU dan metimasol tidak perlu karena tidak ada peningkatan sintesis hormon.
Pemberian prednison dapat memperpendek fase hipertiroid. Kadan!-kadan g gejala hipotiroid cukup berat danperlu diberikan L tiroksin 50-100 mcg/hari selama 8-12 minggu, yang penting pada pasienini perlu dipantau atas kemungkinan terjadinya tiroiditis autoimun kronis.
Postpartum thyroiditis @PD. Tiroiditis ini terjadi dalam kurun waktu setahun sesudah persalinan. Dapat juga terjadi sesudah abortus spontan atau yang dibuat. Gambarannya menyerupai subacute lymphocyte painless thyroiditis, perbedaannya pada PPT lebih bervariasi dan selalu terjadi
Inflamasi yang terjadi pada TLSTRS akan
sesudah persalinan. Seperti halnya TLSTRS,po s t partum thyroiditis drduga
menyebabkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan proteolisis tiroglobulin yang berakibat pelepasan hormon T3 dan T4 ke dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid. Hipertiroid ini terjadi sampai timbunan T3 dan T4 habis,
merupakan varian dari penyakit tiroid autoimun kronis (tiroiditis Hashimoto). Lima puluh persen wanita yang titer antibodi terhadap peroksidase meningkat akan berkembang menjadi PPT sesudah persalinan. Antibodi
2019
TIROIDITIS
ini meningkat pada awal kehamilan, menurun
selama
kehamilan (oleh karena adanya toleransi imunologik selama kehamilan) dan meningkat lagi setelah persalinan.
Seperti halnya pada TLSTRS pada awalnya terjadi peningkatan hormon tiroid. Peningkatan ini terjadi karena proses inflamasi menyebabkan kerusakan sel folikel tiroid dan timbunan hormon dalam tiroglobulin akan terhrmpah dalam sirkulasi. Bila timbunan hormon telah habis, maka akan terjadi penurunan hormon tiroid. Hipotiroid ini terjadi karena sintesis hormon yang baru tidak terbentuk danjuga
TSH yang menurun waktu terjadi hipertiroid. Bila peradangan telah membaik, sel-sel folikel telah pulih, pembuatan hormon kembali normal. Gambaran hipertiroidhipotiroid dan eutiroid ini terjadi pada ll3 pasienPPT. Gambaran patologi PPT yaitu adanya infrltrasi limfosit, kerusakan sel-sel folikel dan kadang-kadang didapatkan adanya germinal centers. Tiga puluh persen pasienPPT menunjukkan gambaran
Pasienhepatitis B atau C yang mendapat interferon alfa 1mengalami disfungsi tiroid, baik berupa hipotiroid
5%o dapat
maupun hipertiroid. Terjadinya disfungsi tiroid berkaitan dengan adanya titer antibodi tiroid yang tinggi. Pada mereka yang antibodinya tinggi kejadian disfungsi tiroid dapat mencapai 36,50/o dengandemikian pemberian interFeron ini dapat menyebabkan eksaserbasi tiroid autoimrur yang sudah ada.
Amiodaron obat antiaritmia mengandung
35
% iodium.
Amiodaron dapat menimbulkan hipertiroid maupun hipotiroid. Hipertiroid yang terjadi dapat karena terjadinya tiroiditis (tiroidnya normal), atau meningkatnya sintesis hormon yang biasanya terjadi pada pasien struma nodosa atau penyakit Graves yang laten. Bagaimana mekanisme terjadinya hipertiroid belum diketahui. Tiroiditis yang
terjadi menyerupai subacut lymphocytic painless tiroiditis. Hipotiroid yang terjadi merupakan efek dari kelebihan iodium.
klinis yang berurutan yaitu hipertiroid yang timbul l-4 bulan sesudah persalinan yang berlangsung 2-8 minggu, diikuti hipotiroid yang juga berlangsung 2-8 minggu dan akhirnya eutiroid. Kadang-ka dang pada 20-40Yo gejala y ang
muncul hanya hipertiroid dan 40-50% hanya muncul hipotiroid saja. Hipertiroid dan hipotiroid yang terjadi biasanya ringan. Pada 20-50% PPT dapat terjadi hipotiroid yang permanen, keadaan ini berkaitan dengan tingginya titer antibodi terhadap peroksidase. Tujuh puluh persen pas'ienPPT dapat kambuh pada kehamilan berikutnya. Kelenjar tiroid pada PPT biasanya sedikit membesar difus dan tidak terasa sakit pada saat hipertiroid. PPT harus dibedakan dengan penyakit Graves yang bisa juga terjadi sesudah persalinan,baik penyakit Graves yang baru atauyang rekuren. Bedanya pada PPT gejala
hipertiroidnya ringan dan tidak ada oftalmopati, pembesaran tiroidnya juga minimal. Bila sulit dibedakan
dapat ditunggu 3-4 minggu, biasanya pada penyakit Graves gejalanya akan memberut. Dapatjuga dilakukan RAIU dimana pada penyakit Graves akan meningkat sedangkan pada PPT rendah. Pengobatan pada PPT tidak berbeda dengan TLSTRS. Pengobatan didasarkan atas gejala klinik dan bukan hasil
laboratorium, Pemberian PTU dan metimasol tidak dianjurkan karena tidak terjadi peningkatan sintesis hormon. Bila gejala hipertiroid nyata dapat diberikan propranolol 40-120 mglhari atau atenolol 25'50 mglhai sampai gejala klinis membaik. Bila gejala hipotiroid nyata dapat diberikan tiroksin 50-100 mcg/trari selama 8-12 minggu.
PasienPPT perlu diberitahu atas kemungkinan terjadi
hipotiroid atau struma di kemudian hari, karenanya pasiendiberitahu gej ala-gej ala awal hipotiroid. Pasienjuga diberitahubila hamil lagi PPT ini dapat kambuh.
Tiroiditis Karena Obat. Beberapa obat dapat menimbulkan tiroiditis yang tidak disertai rasa sakit di antaranya interferon alfa, interleukin 2, amiodaron dan litium.
TIROIDITIS KRONIS
Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, tiroiditis Riedel dan tiroiditis infeksiosa kronis.
Tiroiditis Hashimoto Penyakit ini sering disebut sebagai tiroiditis autoimun kronis, merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Karakter klinisnya berupa kegagalan tiroid yang terjadi pelan-pelan, adanya struma atau kedua-duanya yarrg terjadi akibat kerusakan tiroid yang diperantarai autoimun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik termasuk sel B dan I dan apoptosis sel folikel tiroid. Penyebab tiroiditis Hashimoto diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan. Suseptibilitas gene yang
dikenal adalah HLA dan CTLA- . Mekanisme
imunopatogenetik terjadi karena adanya ekspresi HLA antigen sel tiroid yang menyebabkan presentasi langsung dari antigen tiroid pada sistem imun. Adanya hubungan familial dengan penyakit Graves dan penyakit Graves sering
terlibat pada tiroiditis Hashimoto atau sebaliknya menunjukkan bahwa kedua penyakit tersebut patofisio-
loginya sangat erat, walaupun manifestasi klinis berbeda.
Ada 2 bentuk tiroiditis Hashimoto yaitu bentuk goitrous (90%) dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan bentuk atrofi (10%) dimana kelenjar tiroidnya mengecil.
Tiroiditis Hashimoto umumnya terdapat pada wanita dengan rasio wanita : laki-laki 7:1. bentuk varian tiroiditis
Hashimoto termasuk subacute lymphocytic painless thyroiditis dan postpartum tiroiditis. Pe{alanan penyakit TH ini pada awalnya mungkin dapat
2020
MEIABOLIKENT'OKRIITI
Characteristic Age at onset (yr)
Hashimoto's
thyroiditis All ages, peak 30-50
Painless postpartum
Painless sporadic
thyroiditis
Painful subacute
thyroiditis
thyroiditis
Childbearing
All ages, peak 30-40
20-60
age
Sex ratio (F:M) Cause Pathological findings
8-9:1
Thyroid function
Autoimmune Lymphocytic infaltration, germinal centers, fibrosis Hypothroidism
TPO antibodies
High titer, persistent
ESR
24 hour uptake
1231
Normal Variable
2:1
Suppurative Riedel's thyroiditis thyroiditis Children, 2040
5:1
30-60 3-4:1
1:1
Autoimmune Lymphocytic infiltration
Autoimmune Lymphocytic infiltration
Unknown Giant cells, granulomas
lnfectious Abscess formation
Unknown Dense fibrosis
Thyrotaxicosi, hypothyroidis, or both High titer, persistent
Thyrotaxicosi, hypothyroidi, or both High titer, persistent
Thyrotaxicosis, hypothyroidi, or both
Usually euthyroidis
Usually euthyroidis
Low titer, or
Absent
Normal < 5o/o
Normal < 5o/"
High < 5o/o
TPO denotes thyroid peroxidase, ESR eMhrocyte sedimentation rate, and
terjadi hipertiroid oleh karena adanya proses inflamasi, tetapi kemudian akan diikuti terjadinya penurunan fungsi tiroid yang terjadi pelan-pelan. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap. Gambaran PA-nya berupa inhltrasi limfosit yang profus,
lymphoid germinal centers dan destruksi sel-sel folikel tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel follikuler (oleh karena TSH yang meningkat) terlihat pada TH yang berat.
Ada 4 antigen yang berpetan pad,a TH yaitu tiroglobulin, tiroid peroksidase, reseptor TSH dan sodium iodine symporter. Hampir semua pasienTH mempunyai antibodi terhadap tiroglobulin dan TpO dengan konsentrasi yang tinggi. Pada penyakit tiroid yang lain dan pada orang normal kadang-kadang didapatkan juga antibodi ini tetapi dengan kadar yang lebih rendah. Antibodi terhadap reseptor TSH dapat bersifat stimulasi atau memblok reseptor TSH. pada penyakit Graves antibodi yang bersifat memacu lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada TH antibodi yang bersifat memblok lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipotiroid. Antibodi terhadap reseptor TSH ini bersifat spesifik pada penyakit Graves dan TH. Antibodi terhadap sodium iodide symporter terdapat pada 0-20%o pasienTH, Antibodi ini dapat menghambat RAIU yang dipacu TSH. Pengobatan TH ditujukan terhadap hipotiroid dan pembesaran tiroid. Levotiroksin diberikan sampai kadar TSH normal. Pada pasiendengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid pemberian levotiroksin selama 6 bulan dapat mengecilkan struma 30%. PasienTH yang di;ertai adanya nodul perlu dilakukan AJH untuk memastikan ada tidaknya limfoma atau karsinoma. Walaupun jarang risiko limfoma tiroid ini meningkat pada TH.
1231
iodine_123
m
m
absent, transient
(Pearce
etal
High
Norma
Usually present Normal Low or normal
N Engl J Med,2003)
Tiroiditis Riedel Tiroiditis Riedel dapat merupakan penyakit yang terbatas pada kelenjar tiroid saja atau dapat merupakan bagian dari penyakit infi ltratif umum suatu multifokal fibrosklerosis yang dapat mengenai ruang retroperitoneal, mediastinum, ruang retroorbital dan traktus billiaris. Kelenjar tiroid membesar secara progresif yang tidak disertai rasa sakit, keras dan bilateral. Proses frbrotik ini berkaitan dengan adanya inflamasi sel mononuklear yang menjorok melewati
tiroid sampai ke jaringan lunak peritiroid. Fibrosis peritiroidal ini dapat mengenai kelenjar paratiroid yang menyebabkan hipoparatiroid, n. la4mgeus rekuren yang menyebabkan suara serak, ke trakea menyebabkan kompresi, juga ke mediastinum dan dinding depan dada.
Penyebab PR belum jelas, diduga proses autoimun mengingat adanya infiltrasi mononuklear dan vaskulitis disertai adanya peningkatan titer antibodi terhadap tiroid. Walaupun demikian, kemungkinan peningkatan antibodi tersebut karena terlepasnya antigen yang terjadi akibat kerusakan jaringan tiroid. Tampaknya fibrosklerosis multifokal yang terjadi adalah kelainan fibrotik primer dimana proliferasi fibroblas terpacu oleh sitokin yang berasal dari sel limfosit B dan T, TR jarang dijumpai kira-kira hanya 0,05% dari seluruh operasi tiroid. Wanita lebih sering daripada laki-laki (4: l), dengan umur 30-50 tahun. Pembesaran tiroid yang terjadi pelan-pelan dan tanpa rasa sakit. Pembesaran ini menekan leher depan menimbulkan disfagia, suara serak, sesak napas dan kadang-kadang hipoparatiroid. Hipotiroid sendiri terjadi 30-40olo pasien, walaupun tidak hipotiroid pasiensering mengeluh malaise umum dan kelelahan. Kelenjar tiroid yang membesar bisa kecil atau besar, biasanya kedua lobus walaupn tidak simetris. Kelenjar ini teraba seperti batu dan melekat pada jaringan otot
2021
TIROIDMS
sekitarnya dan keadaan ini yang menyebabkan TR tidak bergerak waktu menelan. Kadang-kadang didapatkan pembesaran kelenjar limfe sekitarnya. Semua kedaan tersebut menyebabkan kesan suatu karsinoma. Kebanyakan pasienTR kadar T3 ,T4 dan TSH normal,
sekitar 30-40% didapatkan hipotiroid subklinis atau hipotiroid nyata. P ada 2/3 pasiendidapatkan peningkatan
Tiroiditls lnfeksiosa Kronis Penyakit ini jarang terdapat. Penyebabnya di antaranya jamur, mikobakteri, parasit atau sifilis. Tiroiditis oleh karena
mikobakteri tuberkulosis hanya sekitar l9 kasus yang pernah dilaporkan. Tiroiditis TBC biasanya berkaitan dengan TBC millier dan gejala berlangsung selama beberapa bulan. Rasa sakit dan demam jarang didapatkan.
antibodi terhadap tiroid. Perlujuga diperiksa kadar kalsium
dan fosfor untuk mengetahui kemungkinan adanya hipoparatiroid. Skintigrafi tiroid menunjukkan gambaran yang heterogen atau adanya uptake yang rendah. Secara makroskopis gambaran TR adalah keras, putih, avaskular. Secara histologi didapatkan hyalinized fibrosis tissue dengan sedikit sel limfosit, plasma dan eosinofil, disertai tidak adanya folikel tiroid. Jaringan hbrosis tersebut menembus ke jaringan sekitarnya. Fibrosis tiroid ini juga terdapat pada TH atau Ca papilare tetapi tidak menembus jaringan sekitarnya. TR yang tidak diobati biasanya pelan-pelan progresif kadang-kadang stabil atau malahan regresi. Pengobatan ditujukan terhadap hipotiroid yang terjadi dan penekanan yang terjadi karena fibrosklerosis terutama pada ltakea dan esofagus. Operasi terbatas pada obstruksi saja karena reseksi yang luas sulit karena medan yang sulit dan risiko merusak struktur sekitamya. Pemberian glukokortikoid dan tamoksifen dapat diberikan walaupun belum banyak dilakukan karena kasusnya j arang.
REFERENS!
L et al. Treatment of amiodaron-induced thyrotoxicosis, a difficult challenge: Result of a propective study. J Clin
Bartalena
Endocrinol Metab 1996; 8l:2930-2933, Burman KD. Overview of thyroiditis, in UpToDate ver' 13.1, 2005. Burman KD. Subacute granulomatous thyroiditis, it UpToDate ver
13.1,2005.
Burman KD. Subacute lymphocytic (painless) thyroiditis, in UpToDate ver. 13.1, 2005. Burman KD. Postpartum thyroiditis, in UpToDate ver. 13'1, 2005. Davies TF : Pathogenesis of Hashimoto's thyroiditis (chronic autoimmune thyroiditis), in UpToDate ver. 13.1, 2005. Farwell AP : Infectious thyroiditis, in Werner & Ingbarb The T hyroid,LE Braverman, RD Utiger (eds). Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2000, pp 1044-1050. Fatourechi V et al: Clinical Features and outcome of subacute thyroiditis in an incidence cohort: Olmsted County, Minnesota, Study. J Clin Endocrinol Metab 88:2100-2105, 2003. Lee SL: Infrltrative thyroid disease, in UpToDate ver. 13.1, 2005. Pearce EN et al: Current concept thyroiditis N Engl J Med 2003;348 :2646-2655.
3t4 NODUL TIROID Johan S. Masjhur
PENDAHULUAN
Secara klinik, nodul dibagi menjadi nodul tunggal (soliter) atau multipel, sedangkan berdasarkan fungsinya
Nodul tiroid merupakan neoplasia endokrin yang paling sering ditemukan di klinik. Karena lokasi anatomikkelenjar tiroid yang unik, yaitu berada di superfisial, maka nodul tiroid dengan mudah dapat dideteksi baik melalui
bisa didapatkan nodul hiperfungsi, hipofungsi, atau berfungsi normal. Klasifftasi etiologi nodul tiroid dapat dilihatpada Tabel 1.
pemeriksaan fisik maupun dengan menggunakan berbagai
moda diagnostik seperti ultrasonografi, sidik tiroid (sintigrafi), atal CT scan. Yang menjadi kepedulian klinik adalah kemungkinan nodul tersebut ganas, di samping keluhan pasien seperti perasaan tidak nyaman karena tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitarnya serta masalah kosmetik. Diperlukan uji saring yang cukup
Adenoma Adenoma makrofolikuler (koloid sederhana) Adenoma mikrofolikuler (fetal) Adenoma embrional (trabekular) Adenoma sel Htlrthle (oksifilik, onkositik) Adenoma atipik Adenoma dengan papila Signet-ring adenoma
spesifik untuk mendeteksi keganasan mengingat kemungkinannya hanya sekitar 5%o dari nodul yang ditemukan di klinik. Dasar pemikiran pengelolaan nodul tiroid adalah
Kista
bagaimana mendeteksi karsinoma yang mungkin ditemukan hanya pada sebagian kecil pasien, serta
Kista sederhana (simple cyst) Tumor kistik/padat (perdarahan, nekrotik)
menghindarkan pembedahan atau tindakan lain yang sebenarnya tidak perlu pada sebagian besar pasien
Nodul kolloid Nodul dominan pada struma multinodosa
lainnya. Untuk itu perlu dipahami patogenesis, karakteristik
nodul serta penilaian risiko, manfaat spesifik dan keterbatasan alat uji diagnostik sertajenis tindakan atau
Karsinoma Papiler (75 persen) Folikuler (10 persen) Meduler (5 - 10 persen) Anaplastik (5 persen) Lain-lain : Limfoma tiroid (5 persen)
Lain-lain lnflamasi tiroid Tiroiditis subakut Tiroiditis limfositik khronik Penjakit granulomatosa Gangguan pertumbuhan Dermoid Agenesis lobus tiroid unilateral 0arang)
Sumber: Welker JO and Orlov D.
pengobatan yang akan dilakukan.
PREVALENSI DEFINISI DAN KLASIFIKASI Di kepustakaan, selain istilah nodul tiroid sering digunakan pula istilah adenoma tiroid. Istitah adenoma mempunyai arti yang lebih spesifrk yaitu suatu pertumbuhan jinak jaringan baru dari struktur kelenjar sedangkan istilah nodul tidak spesifik karena dapat berupa kista, karsinoma, lobul darijaringan normal, atau lesi fokal lain yang berbeda dari jaringan normal.
Prevalensi nodul tiroid berkisar antara 5%o sampai 50% bergantung pada populasi tertentu dan sensitivitas dari teknik deteksi; prevalensi nodul tiroid meningkat sesuai dengan umur, keterpajanan terhadap radiasi pengion dan ,defisiensi iodium. Di Amerika Serikat prevalensi nodul tiroid soliter sekitar 4-7Yo dari penduduk dewasa, 3-4kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Nodul akan ditemukan lebih banyak lagi pada waktu operasi, autopsi,
2022
2023
NODULTIROID
dan dari hasil pemeriksadn ultrasonografi yang luput atau
tidak terdeteksi secara klinik. Pada autopsi nodularitas ditemukan pada sekitar 37o/o dari populasi, 12% di altararrya dari kelompok yang tadinya dianggap sebagai nodul soliter. Untungnya hanya sebagian kecil yaitu hanya kurang dari 5%o nodul tiroid soliter ganas. Belum ada data epidemiologi mengenai prevalensi nodul tiroid di berbagai
daerah
di Indonesia yang dikenal memiliki tipologi
geografis dan konsumsi iodium yang bervariasi.
l. Adenoma A. Folikuler 1. Varian koloid 2. Embrional 3. Fetal 4. Varian sel Hurthle B Papiler (kemungkinan ganas) C. Teratoma
ll. Tumor Ganas A. Berdiferensiasi 1. Adenokarsinoma papiler
PATOGENESIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Lingkungan, genetik dan proses autoimun dianggap merupakan faktor-faktor penting dalam patogenesis nodul tiroid. Namun masih belum dimengerti sepenuhnya proses perubahan atau pertumbuhan sel-sel folikel tiroid menjadi
nodul. Konsep yang selama ini dianut bahwa(hormon perangsang tiroid) TSH secara sinergistik bekerja dengan insulin danlatau insulin-like growth factor I dan memegang peranan penting dalam pengaturan pertumbuhan sel-sel tiroid perlu ditinjau kembali. Berbagai temuan akhir-akhir ini menunjukkan TSH mungkin hanya merupakan salah satu dari mata rantai di dalam suatu jej*i"g sinyal-sinyal yang kompleks yang memodulasi dan mengontrol stimulasi perlumbuhan dan fungsi sel tiroid.
Penelitian yang mendalam berikut implikasi klinik dari jejaring sinyal tersebut sangat diperlukan untukmemahami patogenesis nodul tiroid.
Adenoma tiroid merupakan pertumbuhan baru monoklonal yang terbentuk sebagai respons terhadap suatu rangsangan. Faktor herediter tampaknya tidak memegang peranan penting. Nodul tiroid ditemukan 4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria, walaupun tidak
ada bukti kuat keterkaitan antara estrogen dengan pertumbuhan sel. Adenoma tiroid tumbuh perlahan dan menetap selama bertahuntahun; hal ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa sel tiroid dewasa biasanya membelah setiap delapan tahun. Kehamilan cenderung menyebabkan nodul bertambah besar dan menimbulkan pertumbuhan nodul baru. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan ke dalam nodul menyebabkan pembesaran
mendadak serta keluhan nyeri. Pada waktu terjadi perdarahan ke dalam adenoma, bisa timbul tirotoksikosis selintas dengan peningkatan kadar T4 dan penurunan penangkapan iodium (radioiodine uptake). Regresi spontan adenoma dapat terjadi.
Apakah suatu adenoma dapat berubah menjadi karsinoma ? Adenoma dari awalnya adalah jinak seperti halnya karsinoma yang dari awalnya juga ganas; walaupun demikian pada beberapa kasus (yang jarang terjadi) adenoma dapat bertransformasi menjadi ganas. WHO menyusun klasifikasi histologi neoplasma tiroid dengan membaginya atas dua kelompok besar yaitu adenoma dan tumor ganas yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi nodul tiroid (Tabel2).
a. Murni adenokarsinoma paPiler
b. Campuran papiler dan follikuler (varian termasuk
2.
tall cell, Iolikular, oksifil, padat)
Adenokarsihoma follikuler (varian
:
malignant adenoma, karsinoma sel Hurthle atau oksifil, lear cell ca rci nom a, i n sul ar carcinoma) B. Karsinoma medular (bukan berasal dari sel folikel) C. Tidak berdiferensiasi 1. Small cel/ (perlu dibedakan dari limfoma) 2. Giant cell 3. Karsinosarkoma D. Lain-lain 1. Limfoma, sarkoma Karsinoma sel skuamosa epidermoid 3. Fibrosarkoma 4. Karsinoma mukoepitelial 5. Metastasis tumor
2
* Direvisi oleh Pacini & De Groot (6)
Yang masih diperdebatkan apakah tumor tiroid papiler
merupakan suatu karsinoma atau tidak ? Ada yang berpendapat bahwa tumor papiler harus dianggap sebagai karsinoma, sedangkan yang lainnya menyatakan sebagian tumor papiler adalah adenoma jinak. Tumor tiroid papiler
seyogyanya dianggap sebagai karsinoma, walaupun tingkat invasifnya berbeda-beda. Sama halnya dengan adenoma sel Hurthle, banyak ahli patologi yang menganggapnya sebagai karsinoma dengan derajat rendah (l ow - gr a d e c ar c inom a). Sekitar 100/o adenoma folikuler merupakan nodul yang hiperfungsi tampak sebagai nodul panas (hot nodule)pada sidik tiroid yang menekan fungsi jaringan tiroid normal di
sekitarnya dan disebut sebagai nodul tiroid autonom (Autonomously Functioning Thyroid Nodule : AFTI$.
Nodul tersebut dapat menetap selama bertahun-tahun, beberapa di antarany a menyebabkan hipertiroidisme subklinik (kadar T4 masih dalambatas normal tetapi kadar TSH tersupresi) atau berubah menjadi nodul autonom toksik terutama bila diametemya lebih dari 3 cm. Sebagian lagi akan mengalami nekrosis spontan. Sekitar 2Yo dari seluruh kasus tirotoksikosis disebabkan oleh nodul tiroid
autonomtoksik. , Di daerah endemik sekitar sepertiga dari pasien tirotoksikosis disebabkan adenoma hiperfungsi umumnya berupa struma multinodosa toksik seperti yang banyak ditemukan di beberapa daerah di Swiss. Bagaimana nasib suatu nodul tiroid jinak ? Perjalanan
2024
klinik dari suatu nodul belum dipahami
MEf,AU.IKET{TMIN
sepenuhnya.
Penelitian dari Kuma dkk. (1994) melaporkan dari I 34 pasien
dengan nodul jinak (dibuktikan secara sitologis) yang diamati secara fisik dan ultrasonografi selama 9 sampai I I tahun tanpa diberi pengobatan apapun: 43%o nodul akan mengalami regresi spontan,23Yobertambah besar dan 33% menetap. Yang menarik sebagian besar nodul jinak tidak
bertambah besar, dan kista dapat menghilang atau mengecil tanpa pengobatan. Bila pasien-pasien tersebut sebelumnya diobati dengan l-tiroksin, tentu tiroksinlah
yang dianggap berperan dalam mengecilkan nodul tersebut.
Sangat Mencurigakan Riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare atau MEN Cepat membesar, terutama sewaktu terapi levotiroksin Nodul padat atau keras Sukar digerakkan/melekat pada jaringan sekitar Paralisis pita suara Limfadenopati regional Metastasis jauh
Kecurigaan Sedang Umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun Pria
Riwayat iradiasi pada leher dan kepala Nodul > 4 cm atau sebagian kistik
Keluhan penekanan, termasuk dusfagia, disfonia, serak,
KARAKTERISTIK NODUL DAN PENILAIAN RISIKO Di klinikperlu dibedakan nodul tiroidjinak dari nodul ganas yang memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut :
. .
. . . .
Konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak; Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama;
Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan petanda keganasan, walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infilhasi;
20yo nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan pada 40Yo keganasan tiroid; Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas. Nodul dicurigai ganas bila diseriai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
Tabel3 ditampilkan gambaran klinik dari nodul tiroid jinak dan ganas pada pasien dengan nodul tiroid Pada
soliter; umunnya pasien dengan keganasan tiroid berada dalam keadaan eutiroid.
dyspnea dan batuk Nodul jinak Riwayat keluarga : nodul jinak Struma difusa atau multinodosa Besarnya tetap BAJAH :jinak Kista simpleks Nodul hangat atau panas Mengecil dengan terapi supresi levotiroksin Sumber: Hegedus, 2004 (dimodifikasi oleh penulis)
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) Uji diagnostik in vivo'. Ultrasonografi Sidik tiroid Cf scan / MRI
Uji diagnostik in
vitro:
Hormon tiroid dan TSHs Kalsitonin
Jinak (negatif) Tiroid normal Nodul kolloid Kista Tiroiditis subakut Tiroiditis Hashimoto
Curiga li n d ete rm
in
atel
Neoplasma sel folikular Neoplasma sel Hurthle Temuan kecurigaan keganasan tapi tidak pasti
Ganas (positif)
DIAGNOSTJK Dewasa ini tersedia berbagai modalitas diagnostik untuk mengevaluasi nodul tiroid seperti biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH; Fine Needle Aspiration Biopsy : FNAB),
Karsinoma tiroid papiler Karsinoma tiroid medular Karsinoma tiroid anaplpstik Sumber: Castro and Gharib
Gambaran ultrasonogram atau CT scan dari suafu nodul dapat diklasifikasikan menjadi nodul padat, kistik atau
ultrasonografi, sidik tiroid (sintigrafi; thyroid scan), dan CT (Computed Tbmography) scan atalu}dRl (Magnetic Resonance Imaging), serta penentuan status fungsi melalui pemeriksaan kadar TSHs dan hormon tiroid. Langkah-langkah diagnostik yang akan diambil dalam pengelolaan nodul tiroid tergantung pada fasilitas yang
radiofarmaka, suatu nodul dapat berupa nodul hangat (warm nodule), panas (hot nodule), atau dingin (cold
tersedia dan pengalaman klinik (Tabel5).
nodule).
campuran padat-kistik. Sedangkan dari penyidikan isotopik, berdasarkan kemampuannya menangkap (upt ake)
2025
NODULTIROID
Walaupun ada upaya untuk mencirikan proses keganasan dari suatu nodul, namun sampai sekaraflg belum ada teknik pencitraan yang secara spesifik dan akurat dapat memastikan adanya proses keganasan tersebut.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus Sebagian besar ahli endokrin sepakat menggunakan biopsi aspirasi jarum halus sebagai langkah diagnostik awal dalam pengelolaan nodul tiroid' dengan catatan harus dilakukan oleh operator dan dinilai oleh ahli sitologi yang berpengalaman. Di tangan yang ahli, ketepatan diagnosis BAJAH berkisar antara 70-80%, dengan hasil negatif palsu keganasan antara l-6oh. Sekitar 10% hasil sitologi positif
ganas da
C.
KaEinoma tiroid
Gambar 1. Gambar ultrasonografi: A. Adenoma tiroid ; tiroid; C. Karsinoma tiroid
B
Kista
seringkali
20ohhasil dari jumlah tersebut berasal dari nodul ganas' Hal ini disebabkan kesukaran dalam membedakan lesi ganas dari tumor sel Hurthle yang jinak atautumor folikuler yarg kaya sel. Sebagian besar (80%) nodul demikian memberikan gambaran nodul dingin pada sidik tiroid' Ketepatan diagnostik BAJAH akan meningkat bila sebelum biopsi dilakukan penyidikan isotopik atau ultrasonografi. Sidik tiroid diperlukan untuk menyingkirkan nodul tiroid otonom dan nodul fungsional hiperplastik, sedangkan ultrasonografi selain untuk membedakan nodul kistik dari padat dan menentukan ukuran nodul, juga berguna untuk menuntun bioPsi.
kira
20o/o
A. Nodul panas di lobus kiri bawah
TeknikBAJAH aman, murah, dan dapat dipercaya,serta
tiroidektomi. Hasil sitologi BAJAH dapat dikelompokkan menjadi jinak (negatif), cwiga (indeterminate) atau ganas (positif) seperti dapat dilihatpada tabel 5.
C. Nodul dingin di lobus kiri
Gambar 2. Sidik Tiroid
:A
Nodul Panas;
B
Nodul Dingin Multipel;
C. Nodul Dingin
Ultrasonografi. Ultrasonografi memberikan informasi
i kistik
tentang yangan tiroid s
ebagian emukan bahkan
as
af
ut
bersifat kistik, padat atau campuran kistik-padat' Ultrasonografi juga digunakan sebagai penuntun biopsi' Sekitar 20-40% nodul yang secara klinis soliter, ternyata multipel pada gambatan ultrasonogram. Namun demikian belum diketahui pasti apakah multinodularitas tersebut
i"T: istik dan risiko kemungkinan ganas adalah apabila ditemukan ifikasi, batas ireguler, nodul yang hip
peningkatan pemeriksaan d
invasi atau limfadenopati regional
da nodul (melalui , serta
bila ditemukan
tidak sempurna (incomplete halo) temyata ganas'
Sidik tiroid. Sidik tiroid (sintigrafi tttoid thyroid scan) merupakan pencitraan isotopik yang akan memberikan
gu iurun morfologi
fungsional, yang berarti hasil
2026
MEIABOLIKENI'OI(RIN
pencitraan merupakan refleksi dari fungsi jaringan tiroid. Radiofarmaka yarrg digunakan adalah I- I 3 l, Tc-99m pertechnetate, Tc-99mMIBI, Tl-201 atau F-l8 FDG. I-l3l memiliki perilaku sama dengan iodium stabil yaitu ikut dalam proses trapping danorganifikasi untuk membentuk hormon tiroid, sedangkan Tc-99m hanya ikut dalam proses
1.
terapi supresi dengan hormon levotiroksin
2 3.
bedah;
4. 5.
;
iodium radioaktif suntikan ethanol (percufa neous ethanol injection) terapi laser dengan tuntunan ultrasonografi (US guided laser therapy) observasi, bila yakin nodul tidak ganas
;
;
trapping. Oleh karena itu ada kemungkinan terdapat
6.
diskrepansi antara sidik tiroid menggunakan I-131 dengan
Tc-99m pertechnetate (hot ata\ warm area dengan Tc-99m pertechnetate bisajadi cold area dengan I-131). Pencitraan dengan Tc-99m MIBI, Tl-201 atau F-18 FDG digunakan untuk mendeteksi sisa jaringan residif karsinoma
tiroid pasca-tiroidektomi atau radiotiroablasi. Berdasarkan distribusi radioaktivitas pada sidik tiroid dapat dilihat : . Distribusi difus-rata di kedua lobi (normal); . Distribusi kurang/tidak menangkap radioaktivitas pada suatu area./nodul, disebut sebagai nodd dngin (cold nodule); . Penangkapan radioaktivitas pada suatu arealnodul lebih tinggi dari jaringan sekitarnya, disebut sebagai nodul panas (hot nodule); . Penangkapan radioaktivitas di suatu daerah/nodul sedikit meninggi/hampir sama dengan daerah sekitarnya disebut sebagai nodul hangat (warm nodule/area); nodul hangat disebabkan oleh hiperplasia jaringan tiroid firngsional di daerah tersebut.
Nodul tiroid autonom (Autonomously Functioning Thyroid Nodule:AFTI,{) adalah nodul tiroid fungsional yg tampak sebagai nodul panas dan menekan fungsi jaringan tiroid normal sekitamya. Jaringan tiroid normal akan terlihat berfungsi kembali pada sidik tiroid setelah nodul tiroid otonom tersebut diablasi dengan iodium radioaktif atau pembedahan. Pencitraan isotopik (sidik tiroid) dilakukan untuk
mengetahui apakah suatu nodul tiroid menangkap radioaktivitas atau tidak, mendeteksi tiroid aberan (misalnya tiroid lingual atau substernal), mendeteksi jaringan tiroid sisa pasca-tiroidektomi atau jaringan metastase fungsional dari karsinoma tiroid berdiferensiasi. Dewasa ini dikembangkan teknik lain yaitu SPECT /CT atau PET/CT yang merupakan penggabungan antara pencitraan
dengan Single Photon Emmision Computed Tomograata:.r Positron Emilted Tomography dengan CT Scan (PET/CT). Dengan teknik tersebut sekaligus dapat dideteksi lokasi anatomik dan fungsi dari massa di leher atau tempat lain yang dicurigai. Arti klinik dari hasil pencitraan isotopik (sidik tiroid) dari nodul tiroid dapat dilihat pada Tabel 6.
phy
CT scqn atau
MRI.
Studi in-vitro. Penentuan kadar hormon tiroid dan TSHs diperlukan untuk mengetahui fungsi tiroid. Nodul yang fungsional (nodul autonom) dengan kadar TSHs tersupresi dan hormon tiroid normal dapat menyingkirkan keganasan. Kadar kalsitonin perlu diperiksa bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid me dllare atau Multiple Endocrine
Neoplasia (MEN) tipe 2.
Algoritme diagnostik. Dalam kepustakaan dapat ditemukan berbagai algoritma pengelolaan nodul tiroid,
yang disusun berdasarkan pengalaman serta fasilitas diagnostik yang tersedia. Beberapa senter menyusun
algoritma diagnostik dengan menggunakan BAJAH sebagai alat uji diagnostik awal, diikuti dengan ultrasonografi
dan/ atau penyidikan isotopik (kalau fasilitas kedokteran nuklir tersedia). Sebagai contoh di bawah ini (Gambar'3) dicantumkan algoritma yang cukup sederhana
dan praktis berdasarkan hasil BAJAH dan penyidikan isotopik seperti diajukan olehMazzaferi. Algoritma di atas memerlukan fasilitas kedokteran
nuklir dan dapat dimodifikasi dengan melakukan BAJAH dengan funfunan ultrasonografi.
Berikutnya pada Gambar 4 disajikan algoritrna lain yang disusun oleh Hegedus (2004) dengan catatan sebagai berikut: . bila secara klinis curiga ganas, dianjurkan pembedahan
. . . . . .
tanpa melihat hasil BAJAH;
bila kadar TSHs tersupresi, lakukan sidik tiroid; nodul yg berfungsi bukan kanker;
bila BAJAH non-diagnostik, biopsi ulangan akan berhasil pada 50olo kasus bila pada USG ditemukan nodul lain dgn ukuran >10 mm, BAJAH diulangi pada nodul. pilhan pengobatan tsb berlaku untuk nodul padat dan
kistik bila ada nodul kistik rekuren, pilihannya : ulangi BAJAH, bedah atau etanol hegedus tidak menganjurkan terapi supresi dengan l-
tiroksin pada nodul tiroid.
Seperti halnya ultrasonografi, CT scan
atau MRI merupakan pencitraan anatomi dan tidak digunakan secara rutin untuk evaluasi nodul tiroid.
PENGELOLAAN NODUL TIROID
Penggunaannya lebih diutamakan untuk mengetahui posisi
anatomi dari nodul atau jaringan tiroid terhadap organ sekitarnya seperti diagnosis struma sub-sternal dan kompresi trakhea karena nodul.
Tindakan atau pilihan terapi apayangdapatdilakukan pada nodul tiroid? Pilihannya dapat dilihat pada Tabel 6. Kapan
nodul tiroid diamati saja perkembangannya (tanpa
2027
NODULTIROID
Ganas
#
Bedah
Dingin/Hangat
--)
Panas
lkuti/pantau
Bedah
BAJAH
1 Ulangi
-+
Gambar 3. Evaluasi Nodul Tiroid Berdasarkan Hasil BAJAH dan Sidik Tiroid. (Sumben Mazafuni EL)
l-131 ; altematif; observasi, bedah, suntikan ethanol, laser
Gambar4. Algoritme Pengelolaan Nodul'l'iroid soliter. (sumber: Hegedus. Dimodifikasi)
pengobatan), atau diberikan terapi supresi hormonal, sklerosing, laser, iodium radioaktif, serta kapan pula dilakukan tindakan bedah ? Jawabamya tergantung dari hasil uji diagnostik dan kebijakan masing-masing senter. Bila risiko keganasan rendah atau hasil BAJAH negatif piliharurya adalah diamati saj a perkembangannya, diberikan terapi supresi hormonal, terapi sklerosing dengan suntikan ethanol, atat terapi laser dengan tuntunan ultrasonogralt
(masih dalam taraf eksperimental). Atas pertimbangan
kosmetik tindakan bedah dapat dilakukan pada suatu nodul
jinak. Sebaliknya bila hasil BAJAH positif
ganas, maka
perlu segera dilakukan tindakan pembedahan.
Perlu dicatat bahwa belum ada data yang membandingkan hasil dan
c os t-
effe
ct
iv en
es
s berbagai
strategi evaluasi nodul (misalnya sidik tiroid dan
ultrasonografi sebagai penuntun BAJAH). Demikian juga belum cukup data untuk membandingkan hasil (termasuk kualitas hidup) dari berbagai cara pengelolaan noduljinak.
2028
METABOLIKENDOXRIN
Terapi supresi dengan l-tiroksin. Terapi supresi dengan hormon tiroid (levotiroksin) merupakan pilihan yang paling sering dan mudah dilakukan. Terapi supresi dapat menghambat pertumbuhan nodul serta mungkin bermanfaat
pada nodul yang kecil. Tetapi tidak semua ahli setuju melakukan terapi supresi secara rutin, karena hanya sekitar 20o/onodulyang responsif. Oleh karena itu perlu diseleksi pasien yang akan diberikan terapi supresi, berapa lama, dan sampai berapa kadar TSH yang ingin dicapai. Bila kadar TSH sudah dalam keadaan tersupresi, terapi dengan ltiroksin tidak diberikan. Terapi supresi dilakukan dengan memberikan l-tiroksin dalam dosis supresi dengan sasaran kadar TSH sekitar 0.1 - 0.3 mlU/ml. Biasanya diberikan selama 6-12 bulan, dan bila dalam waktu tersebut nodul tidak mengecil atau bertambah besar perlu dilakukan biopsi ulang atau disarankan operasi. Bila setelah satu tahun nodul mengecil, terapi supresi dapat dilanjutkan. Pada pasien tertentu terapi supresi hormonal dapat diberikan seumur hidup, walaupun belum diketahui pasti manfaat terapi supresi jangka panjang tersebut. Banyak penelitian telah dilakukan tentang matfaat terapi supresi ini dengan hasil yang tidak konsisten satu sama lain. Yang perlu diwaspadai adalah terapi supresi hormonal jangka panjang yang dapat menimbulkan keadaan hipertiroidisme subklinik dengan efek samping berupa osteopeni atau gangguan pada jantung. Terapi supresi hormonal tidak akan menimbulkan osteopenia pada pria atau wanita yang masih dalam usia produktif, namun dapat memicu terjadinya osteoporosis pada wanita pascamenopause walaupun ternyata tidak selalu disertai dengan peningkatan kej adian fraktur.
Suntikan etanol perkutan (Percutaneous Ethanol Inj ection). Penytntikan etanol pada jaringan tiroid akan menyebabkan dehidrasi seluler, denaturasi protein dan nekrosis koagulatifpada j aringan tiroid dan infark hemoragik
akibat trombosis vaskular; akan terjadi juga penurunan aktivitas enzim pada sel-sel yang masih viable yang
Jenis Pengobatan
Keuntungan
mengelilingi jaringan nekrotik. Nodul akan dikelilingi oleh reaksi granulomatosa dengan multinucleated giant cells, dan kemudian secara bertahapjaringan tiroid diganti dengan jaringan parut granulomatosa. Terapi sklerosing dengan etanol dilakukan pada nodul jinakpadat atau kistik dengan menyuntikkan larutan etanol (alkohol); tidak banyak senter yang melakukan hal ini secara rutin karena tingkat keberhasilannya tidak begitu tinggi, dalam 6 bulan ukuran nodul bisa berkurang sebesar 45%. Di samping itu dapatte{adi efek samping yang serius terutama
bila dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman. Efek samping yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri yang
hebat, rembesan (leakage) alkohol ke jaringan ekstratiroid, juga ada risiko tirotoksikosis dan paralisis pita suara.
Terapi Iodium Radioaktif(I-131). Terapi dengan Iodium radioaktif(I- 1 3 I ) dilakukan pada nodul tiroid autonom atau nodul panas (fungsional) baik yang dalam keadaan eutiroid maupun hipertiroid. Terapi iodium radioaktif juga dapat diberikan pada struma multinodosa non-toksik terutama bagi pasien yang tidak bersedia dioperasi atau mempunyai
risiko tinggi untuk operasi. Iodium radioaktif dapat mengurangi volume nodul tiroid dan memperbaiki keluhan dan gejala penekanan pada sebagian besar pasien. Yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya tiroiditis radiasi fiarang) dan disfungsi tiroid pasca-radiasi seperti hipertiroidisme selintas dan hipotiroidisme.
Pembedahan. Melalui tindakan bedah dapat dilakukan dekompresi terhadap jaringan vital di sekitar nodul, di samping dapat diperoleh spesimen untuk pemeriksaan patologi. Hemitiroidektomi dapat dilakukan pada nodul jinak, sedangkan berapa luas tiroidektomi yang akan dilakukan pada nodul ganas tergantung padajenis histologi dan tingkat risiko prognostik. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyulit seperti perdarahan pasca-pembedahan, obstruksi trakea pasca-pembedahan, gangguan pada n. rekurens laringeus, hipoparatiroidi, hipotiroidi atau nodul
Kekurangan/ Kerugian
Bedah
Ablasi nodul, menghilangkan keluhan, spesimen utk diagnostik histologi
Perlu perawatan di RS, mahal, risiko bedah: paralisis pita suara, hipoparatiroidis, hipotiroidisme.
Levotiroksin
Tidak perlu dirawat di RS, murah, dapat memperlambat pertumbuhan nodul dan menghambat pem-bentukan nodul baru Tidak perlu dirawat di RS, murah, efek samping rendah, nodul mengecil sampai 40% dalam satu tahun Tidak perlu dirawat di RS, relatif murah, tidak ada hipotiroidisme, nodul mengecil 45% dalam 6 bulan
Efikasi rendah, pengobatan jangka panjang, nodul tumbuih kembali setelah dihentikan, takiaritmia jantung, penurunan densitas tulang, tidak berguna bila TSH tersupresi
lodium
radioaktif Suntikan etanol
Terapi laser
Masih dalam tahap eksperimental
Sumber : Hegedus, 2004 (8). Dimodifikasi
Kontraindikasi pada wanita hamil, pengecilan nodul bertahap, hipotiroidisme dalam 5 tahun (10% pasien), risiko tiroiditis dan tirotoksikosis Pengalaman masih terbatas, efikasi rendah pada nodul besar, keberhasilan tergantung operator, rasa nyeri hebat, risiko tirotoksikosis dan paralisis pita suara, perembesan etanol, etanol mengganggu penilaian sitologi dan histologi
2029
NODULTIROID
kambuh. Untuk menekan kejadian penyulit tersebut, pembedahan hendaknya dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidangnya.
Terapi laser interstisial dengan tuntunan ultrasonografi. Terapi nodul tiroid dengan laser masih dalam tahap eksperimental. Dengan menggunakan "low power laser energ/ " ,energi termik yang diberikan dapat mengakibatkan
nekrosis nodul tanpa atau sedikit sekali kerusakan pada jaringan sekitarnya. Suatu studi tentang terapi laser yang dilakukan oleh Dossing dkk (2005) pada 30 pasien dengan nodul padat-dingin soliter jin ak (b enign s olitary s olid-cold nodule)mendapatkan hasil sbb: pengecilan volume nodul sebesar 44oh (median) yang berkorelasi dengan pemrunan gejala penekanan dan keluhan kosmetik, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan peningkatan volume nodul yang tidak signifftan sebesar 7o/o (median) setelah 6 bulan. Tidak ditemukan efek samping yang berarti. Tidak ada korelasi antara deposit energi termal dengan pengurangan volume nodul serta tidak ada perubahan pada fungsi tiroid.
KONTROVERSI PENGELOLAAN NODUL TIROID Seperti diutarakan masih terdapat kontroversi dalam pengelolaan nodul tiroid yaitu mengenai langkah diagnostik serta tindakan medik atau bedah yang akan dilakukan. Pertimbangannya meliputi kapan akan dilakukan ekstirpasi nodul atau tindakan bedah yang lebih ekstensif, kapan suatu nodul dibiarkan atau diobservasi saja, dan kapan serta ba gaimana caranya melakukan tindakan medik.
Hasil survai dari Bennedbaek dan Hegedus yang dilaporkan dalamJournal of Ctinical Endocrinology and Metabolism menggambarkan perbedaan penanganan nodul tiroid di antara para ahli endokrin anggota American Thyroid Association dengan European Thyroid
Association . Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) merupakan langkah diagnostik awal nodul tiroid di kalangan ahli endokrin Amerika Utara (the American Thyroid Associa-
tion, ATA) dan Eropa (the European Thyroid Associa-
tion, ETA). Ahli endokrin di ATA lebih jatang
menggunakan uji laboratorik dan pencitraan (penyidikan
isotopik dan atau ultrasonografi), bahkan mayoritas anggota ATA (paling kurang 2B) ridak melakukan pencitraan sama sekali. Penyidikan isotopik dilakukan
tergantung hasil BAJAH (terutama bila BAJAH memberikan hasil indelerminate), sedangkan ultrasonografi hanya dilakukan pada pasien tertentu yaitu sebagai penuntun biopsi dan pada nodul kistik. Lebih dari setengah anggota ATA tidak memberikan pengobatan khusus pada nodul tiroid jinak soliter nontoksik. Walaupun ada kontroversi mengenai efektivitas dan penggunaan jangka panjang terapi supresi dengan
levotiroksin, lebih dari 40o/o anggota ETA dan ATA tetap memberikannya dalam jangka waktu antara 3-6 bulan sampai bertahun-tahun (tidak terbatas).
Pembedahan hanya direkomendasikan oleh
lo/o
anggota ATA dibandingkan I dari 4 anggota ETA. Pada kasus yang diduga ganas, lebih dari 90o/o anggota AIA tidak melakukan biopsi dan langsung melakukan operasi; sebaliknya hanya setengah anggota ETAyang mengambil
langkah seperti itu.
PENUTUP Dasar pemikiran pengelolaan nodul tiroid adalah bagaimana
mendeteksi dan menyingkirkan kemungkinan keganasan serta menghindari tindakan-tindakan yang sebenarnya
tidak perlu dilakukan. BAJAH, ultrasonografi, dan penyidikan isotopik (sidik tiroid), serta penentuan kadar TSH merupakan perangkat diagnostik yang paling sering digunakan dalam evaluasi nodul tiroid. Sedangkan terapi supresi hormonal, terapi iodium radioaktif, operasi, terapi sklerosing, atau terapi laser, bahkan hanya diobservasi saja (padd nodul jinak) merupakan pilihan peggobatan' Terdapat kontroversi dan perbedaan pendekatan dalam pengelolaan nodul tiroidi, tergantung pada pengalaman klinik dan fasilitas yang tersedia. Sampai sekarang belum tersedia data yang cukup untuk membandingkan hasil cara-
cara evaluasi diagnostik dan pengelolaan nodul tiroid.
REFERENSI Bennedbaek FN and Hegedus
L'
Management of the Solitary Thy-
roid Nodule : Results of a North American Survey J Clin Endocrinol Metab 2000;85 (7):2493-8. Castro MR, Caraballo PJ, and Morris JC. Effectiveness of thyroid hormone suppressive therapy in benign solitary nodules : a meta-analysis. J Clin Endocrinol Metab 2002;87:4184-59' Castro MR and Gharib H. Thyroid nodules and cancer. When to wait and watch, when to refer. Postgrad Med 2000;107(l):ll3-24' Derwahl M, Broecker M, and Kraiem Z. Thyrotropin May Not Be the Dominant Growth Factor in Benign and Malignant Thyroid Tumors. J Clin Endocrinol Metab 1999;84(3):829-34' Dossing H, Bennedbaek FN, and Hegedus L. Effect of ultrasoundguided interstitial laser photocoagulation on berign solitary cold
thyroid nodules - a randomised study. Eur J Endocrinol 2005;1 52(3):34 I -5). Gharib H. Changing concepts in the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocrinol and Metab Clin 1991;26(4):7788 00. Hamburger JL. Diagnosis of thyroid nodules by fine needle biopsy use and abuse. J Clin Endocrinol Metab 1994;79(2):335-9' Hegedus L. The Thyroid Nodule. N Engl J Med2004;357:1764-71' :
Jennings A. Nonisotopic techniques of thyroid imaging' In Wemer and Ingbar's The Thyroid. Braverman LE and Utiger RD (Eds') 6'h edition. Philadelphia, JB Lippincott Comp' 1991:525-43' Martino E andBogazzi F. Percutaneous ethanol injection therapy for thyroid diseases.Thyroid International 2000; 5 3 -9' :
2030
MEIABOLIKENDOKRIN
i solitary thyroid nodule. N Engl J Med 1993;328(8):553-9. Pacini F and DeGroot LJ. Thyroid Nodule. In Thyroid and its DisMazzaferi EL. Management of
ease. DeGroot LJ (Ed.). Thyroid Disease Manager. www.thyroidmanager.org. May 2005 Edition. Papini E, Petrucci L., Guglielmi R., et al. Long-term changes in nodular goiter : a 5-year prospective randomized trial with levothyroxine suppressive therapy for benign cold thyroid nodules. J Clin Endocrinol Metab 1998;83:780-3. Kuma K, Matsuzuka F, Yokozawa ! et al. Fate of unheated benign thyroid nodules. Results of long-term follow-up. World J Surg
patients with thyroid nodules and well-differentiated thyroid cancer. Arch Intern Med 1996;156:2165-72. Welker JO and Orlov D. Thyroid Nodule. Am Fam phys
2003;69:559-66. Wemeau J-L, Caron P, Schvartz C, et a1. Effects of Thuyroid-Stimulating Hormone suppression with Levothyroxine in reducing the
volume of solitary thyroid nodules and improving extranodular nonpalpable changes: a randomized, double blind, palcebo-con-
trolled trial by the French Thyroid Research Group. J Clin
of thyroid nodule. J Nucl Med 199l;32:2181-
Endocrinol Metab 2002;87 :4928-34. Zelmar,ovitz F, Genro S, and Gross JL. Suppressive therapy with levothyroxine for solitary thyroid nodules ; a double-blind con-
AR. Controversies in the Management of Thyroid Nodule.
trolled clinical study and cumulative meta-analyses. J Clin Endocrinol Metab 1998;83:3881-5.
1994;18:495. Ross DS. Evaluation
92. Shaha
Singer PA, Cooper DS, Daniels GH et al. Treatmont Guidelines for
The Laryngoscope 2000;l l0: 183-93.
315 I(ARSINOMA TIROID Imam Subekti
digunakan adalah pencitraan dan petanda keganasan. Ruang lingkup bahasan tulisan ini adalah karsinoma tiroid khusustya yarrg berdiferensiasi. Sedangkan jenis
PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid termasuk bagian tubuh yang jarang mengalami keganasan, terjadi 0,85%o dat2,5% dari seluruh keganasan pada pria dan wanita. Tetapi di antara kelenjar endokrin, keganasan tiroid termasuk jenis keganasan kelenjar endokrin yang paling sering ditemukan. Secara klinis, antara nodul tiroid yang ganas dengan yang jinak sering sulit dibedakan, bahkan baru dapat
karsinoma medulare dan anaplastik akan disinggung
dibedakan setelah didapatkan hasil evaluasi sitologi
Angka kekerapan keganasan pada nodul tiroid berkisar 5 -10%.Prevalensi keganasan pada multinodular tidak jauh
prinsip-prinsipnya
saj a.
PREVALENSI
preparat biopsi j arum halus atau histopatologi dari jaringan
bisa saja nodul tiroid tersebut baru muncul dalam
berbeda. Gharib H dalam laporannya mendapatkan angka 4,lo/o dan 4,7Yo masing-masing prevalensi untuk nodul tunggal dan multipel. Bila dilihat dari jenis karsinomanya' kurang lebih 90% jenis karsinoma papilare dan folikulare,
beberapa bulan terakhir, tetapi dapat pula sudah mengalami pembesaran kelenjar tiroid berpuluh tahun lamanya serta
5-9% jenis karsinoma medulare, l-2 o/o jenis karsinoma anaplastik, 1-3% jenis lainnya. Anak-anak usia di bawah
kelenjar tiroid yang diambil saat operasi. Tampilan klinis karsinoma tiroid pada sebagian besar kasus umumnya ringan. Pada nodul tiroid yang ganas,
memberikan gejala klinis yang ringan saja, kecuali jenis karsinoma tiroid anaplastik yang perkembangannya sangat cepat dengan prognosis buruk. Dari berbagai penelitian, terdapat beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk menduga kecenderungan nodul tiroid ganas atau tidak, antara lain riwayat terekspos radiasi, usia saat nodul timbul, konsistensi nodul. Dengan berbagai kemajuan teknologi kedokteran, seperti aplikasi biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH), ultrasonografi (USG), thyroid stimulating hormone (TSH) sensitif dan terapi supresi L-tiroksin, telah memungkinkan parapeneliti melakukan evaluasi nodul tiroid secara lebih cermat hingga sampai pada diagnosis nodul jinak atau
20th dengan
nodul tiroid dingin mempunyai risiko
keganasan 2 kali lebihbesar dibanding kelompok dewasa.
Kelompok usia di atas 60th, di samping mempunyai prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai tingkat
agresivitas penyakit yang lebih berat, yang terlihat dari
seringnya kejadian jenis karsinoma tiroid tidak
berdiferensiasi.
KLASIFIKASI Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar, I ' asal sel yang berkembang menjadi sel ganas, dan 2. thgkat
ganas.
keganasannya.
Modalitas terapi karsinoma tiroid, khususnya yang berdiferensiasi, adalah operasi, ablasi Iodium radioaktif
1.
Asal Sel . Tumorepitelial
a.
dan terapi supresi L-tiroksin. Agresivitas terapi didasarkan atas faktor risiko prognostik pada masing-masing pasien.
Tumor berasal dari sel folikulare.
Jinak : Adenoma Folikulare, Konvensional,
Untuk evaluasi hasil pengobatan, patameter yang
Varia.
203
2032
MEDABOLIKENDOI(RIN
b. c.
Ganas: Karsinoma Berdiferensiasi baik : karsinoma folikulare, karsinoma papilare (konvensional, varian) Berdiferensiasi buruk (karsinoma insular) Tak berdiferensiasi (anaplastik) Tumor berasal dari sel C (berhubungan dengan tumor neuroendokrin)
. KarsinomaMedulare Tumor berasal dari sel folikulare dan sel C . Sarkoma . Limfoma Malignum
.
(dan neoplasma
hematopoetik yang berhubungan) Neoplasma Miselaneus
2. Titgkat keganasan. Untuk
ditanyakan, apakah ke arah ganas atau tidak. Seperti misalnya usia pasien saat pertama kali nodul tiroid ditemukan, riwayat radiasi pengion saat usia anak-anak, jenis kelamin pria, meskipun prevalensi nodul tiroid lebih rendah, tetapi kecenderungannya menjadi ganas lebih
tinggi dibandingkan pada wanita. Respons terhadap pengobatan dengan hormon tiroid juga dapat digunakan sebagai petunjuk dalam evaluasi nodul tiroid.
Riwayat' karsinoma tiroid medulare dalam keluarga, penting untuk evalusi nodul tiroid ke arah ganas atau jinak. Sebagian pasien dengan karsinoma
tiroid medulare
herediterjuga memiliki penyakit lain yang tergabung dalam MEN (mu I t ip I e e n d o crin e ne op I as i a) 2 A atau MEN2B.
kepentingan praktis,
karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori,yaifi:
Tingkat keganasan rendah
: a). Karsinoma papilare, b). Karsinoma folikular (dengan invasi.minimal) Tingkat keganasan menengah : a). Karsinoma folikulare
(dengan invasi luas), b). Karsinoma medulare, c). Limfoma maligra, d). Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk
Tingkat keganasan tinggi : a). Karsinoma tidak
Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan frsik diarahk an pada kemungkinan adanya
keganasan
tiroid. Pertumbuhan nodul yang cepat
merupakan salah safu tanda keganasan tiroid, terutama
jenis karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi
(anaplastik). Tanda lainnya ialah konsistensi nodul keras dan melekat ke jaringan sekitar, serta terdapat pembesaran
berdiferensiasi, b). Haemangioendothelioma maligna (angiosarcoma).
kelenjar getah bening di daerah leher. Pada tiroiditis, perabaan nodul nyeri dan kadang-kadang berflukirasi
Perangai karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik
karena ada abses/pus. Sedangkanjenis nodul tiroid tainnya biasanya tidak memberikan kelainan f,rsik kecuali benjolan leher.
relatifjinall perkembangannya lambat dengan kelangsungan hidup cukup panjang. Dilaporkan angka kelangsungan hidup 10 tahun berkisar 74-93% untuk jenis papilare dan
wnkjenis folikulare. Sedang karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi (anaplastik) hampir semuanya 43-94%
meninggal dalam I tahun. Di klinik Mayo, hanya 3.6yo karsinoma berdiferensiasi buruk yang mampu bertahan hidup lebih dari 5 tahun, meskipun telah mendapat terapi operasi, radiasi eksternal dan kemoterapi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk memudahkan pendekatan diapostik, berikut ini adalah kumpulan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik
yang mengarah pada nodul tiroid jinak, tanpa menghilangkan kemungkinan adanya keganasan, yaitu : . Riwayat keluarga tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun . Riwayat keluarga dengan nodul tiroid jinak atau goiter . Gejalahipotiroidisme atauhipertiroidisme . Nyeri dan kencang pada nodul
. .
Lunak, rata dan tidak terfftsir
Struma multinodular tanpa nodul dominan dan konsistensi sama
Pasien dengan karsinoma tiroid biasanya datang dengan
nodul soliter. Pengambilan keterangan riwayat penyakit (anamnesis) merupakan bagian penting dalam rangka penegakan diagnosis,
Anamnesis Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan gejala yang berat, kecuali keganasanjenis anaplastik yang sangat cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu. Sebagian
kecil pasien, khususnya pasien dengan nodul tiroid yang besar, mengeluh adanya gejala penekananpada esofagus dan trakhea. Biasanya nodul tiroid tidak disertai rasa nyeri,
Sedangkan di bawah ini adalah kumpulan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid, yaitu : usia <20th atau >60th mempunyai prevalensi tinggi keganasan pada nodul yang teraba. Nodul pada pria mempunyai kemungkinan 2 kali lebih tinggi menjadi ganas dari wanita . Keluhan suara serak, susah napas, bafuk, disfagia . Riwayat radiasi pengion pada saat kanak-kanak . Padat, keras, tidak rata dan terfiksir . Limfadenopatiservikal . Riwayat keganasan tiroid sebelumnya
kecuali timbul perdarahan ke dalam nodul atau bila kelainannya tiroiditis akut/subakut. Keluhan lain pada
Pemeriksaan Penunjang
keganasan yang mungkin ada ialah suara serak. Dalam hal riwayat kesehatan, banyak faktor yang perlu
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH). Pemeriksaan sitologi dari BAJAH nodul tiroid merupakan langkah
2033
KARSIINOMATIROID
pertama yang harus dilakukan dalam proses diagnosis. BAJAH oleh operator yarrg trampil, saat ini dianggap
imunohistokimia biasanya juga tidak dapat membedakan lesijinak dari lesi ganas.
sebagai metode yang efektifuntuk membedakan jinak atau ganas pada nodul soliter atau nodul dominan dalam struma
Pencitraan. Pencitraan pada nodul tiroid tidak dapat menentukan jinak atau ganas, tetapi dapat membantu mengarahkan dugaan nodul tioid tersebut cenderung jinak
multinodular. Gharib dkk melaporkan bahwa BAJAH mempunyai sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas92%o. Bila BAJAH dikerjakan dengan baik, akan menghasilkan angka negatifpalsu kurang
d
ai
5o/o,
dan angka positip palsu
hampir mendekati 1%. Hasil BAJAH dibagi menjadi 4 kategori, yaitu :jinak, mencurigakan (termasuk adenoma folikulare, Hurthle dan gambaran yang sugestif tapi tidak konklusif karsinoma papilare tiroid), ganas dan tidak
adekuat.
Jenis karsinoma yang dapat segera ditentukan ialah karsinoma papilare, medulare atau anaplastik. Sedangkan untuk jenis karsinoma folikulare, untuk membedakannya
dari adenoma folikulare, harus dilakukan pemeriksaan histopatologi yang dapat memperlihatkan adanya invasi kapsul tumor atau invasi vaskular. Mengingat secara sitologi tidak dapat membedakan adenoma folikulare dari karsinoma folikulare, maka keduanya dikelompokkan
menjadi neoplasma folikulare intermediate atat suspicious. Pada kelompok suspiciou.s, angka kejadian karsinoma folikulare berki sar 2Oo/o dengan angka tertinggi terjadi pada kelompok dengan ukuran nodul besar, usia bertambah dan kelamin lakiJaki. Sekitar 1 5-20% pemeriksaan BAJAH, memberikan hasil inadequat dalam hal materiaVsampel. Pada keadaan seperti ini dianjurkan untuk mengulang BAJAH dengan bantuan USG (guided USG) sehingga pengambilan sampel menjadi
lebih akurat. Pemeriksaan potong beku (frozen section) pada saat operasi berlangsung, tidak memberikan keterangan banyak
untuk neoplasma folikulare, tetapi dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis dugaan karsinoma papilare.
atau ganas. Modalitas pencitraan yang sering digunakan pada nodul tiroid ialah sidik (sintigrafi) tiroid dan USG. Sintigrafi tiroid pada keganasan hanya memberikan
gambaran hipofungsi atau nodul dingin, sehingga dikatakan tidak spesifik dan tidak diagnostik. Sintigrafr tiroid dapat dilakukan dengan menggunakan 2 macam isotop, yaitu iodium radioaktif (123-I) dan technetium pertechnetate ('*-Tc). 123-I lebih banyak digunakan dalam evaluasi fungsi tiroid, sedang 99m-Tc lebih digunakan untuk evaluasi anatominya. Pada sintigrafi tiroid, kurang lebih 80-85% nodul tiroid memberikan hasll dingin(cold) dan l0-l5o/o dari kelompok ini mempunyai kemungkinan ganas. Nodul panas (hot) ditemukan sekitar 5o/o dengan risiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm) terdapat 10-15% dari seluruh nodul dengan kemungkinan ganas lebih rendah dai l0%. USG pada evaluasi awal nodul tiroid dilakukan untuk menentukan ukuran dan jumlah nodul, meski sebenarnya USGtidak dapatmembedakan noduljinak dari yang ganas. USG pada nodul tiroid yang dingin sebagian besar akan menghasilkan gambaran solid, campuran solid-kistik dan sedikit kista simpel. Dari suatu seri penelitian USG nodul tiroid, didapatk at 690/o solid, l2%o catrryuran dan l9%oklsta. Dari seluruh l9o/okista tersebut, hanyaTYo yang ganas, sedangkan kemungkinan ganas dari nodul solid atau campuran berkisar 20%. USG juga dikerjakan untuk menentukan multinodularitas yang tidak teraba dengan palpasi, khususnya pada individu dengan riwayat radiasi pengion pada daerah kepala dan leher. Nodul soliter atau multipel yang lebih kecil dari lcm yang hanya terdeteksi
dengan USG umumnya jinak dan tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan lain kecuali evaluasi USG ulang
Laboratorium. Keganasan tiroid bisa terjadi pada keadaan fungsi tiroid yang normal, hiper maupun hipotiroid. Oleh karena itu perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi tiroid tidak dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan
secara periodik. Nodul yang terdeteksi dengan USG pada
pasien Graves umumnya jinak. Dari 315 pasien Graves ditemukan 106 nodul ukuran 8mm atau lebih, pada evaluasi sitologi hanya ditemukan I (satu) kasus karsinoma.
keganasan. Sering pada Hashimoto juga timbul nodul baik
uni/bilateral, sehingga pada tiroiditis kronik Hashimoto-
Modalitas pencitraan lain seperti computed
pun masih mungkin terdapat keganasan. Pemeriksaan kadar tiroglobulin serum untuk keganasan
tomographic scanning (CT Scan) danmagnetic resonance imaging (MN) tidak direkomendasikan untuk evaluasi keganasan tiroid, karena disamping tidak memberikan keterangan berarti untuk diagnosis, juga sangat mahal. CT Scan atau MNbaru diperlukan bila ingin mengetahui adanya perluasan struma substemal atau terdapat kompresi
tiroid cukup sensitif tetapi tidak spesifik,
karena peningkatan kadar tiroglobulin juga ditemukan pada tiroiditis, penyakit Graves dan adenoma tiroid. Pemeriksaan kadar tiroglobulin sangat baik untuk monitor kekambuhan karsinoma tiroid pasca terapi, kecuali pada karsinoma tiroid medulare dan anaplastik, karena sel karsinoma anaplastik tidak mensekresi tiroglobulin. Pada pasien dengan riwayat
keluarga karsinoma tiroid medulare, tes genetik dan pemeriksaan kadar kalsitonin perlu dikerjakan. Bila tidak ada kecurigaan ke arah karsinoma tiroid medulare atau neoplasia endokrin multipel 2, pemeriksaan kadar kalsitonin tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan
trakhea.
Terapi supresi siroksin (untuk diagnostik). Salah satu cara meminimalisasi hasil negatifpalsu pada BAJAH ialah
.
dengan terapi supresi TSH dengan tiroksin. Yang dimaksud terapi supresi TSH dengan L-tiroksin ialah menekan sekresi TSH dari hipofisis sampai kadar TSH di bawah batas nilai
2034
MEIABOIJKENT'OI(RIN
terendah angka normal. Rasionalitas supresi TSH
central and bilateral lateral node dissection. Untuk
berdasarkan bukti bahwa TSH merupakan stimulator kuat untuk fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhannya. Cara ini
karsinoma anaplastik, mengingat perkembangarurya yarrg cepat dan umumnya diketahui setelah kondisinya lanjut, biasanya tidak dapat dioperasi lagi.
diharapkan dapat memisahkan nodul yang memberikan respon dan tidak, dan kelompok terakhir ini lebih besar kemungkinan ganasnya. Tetapi dengan adartya reseptor TSH di sel-sel karsinoma tiroid, maka terapi tersebut juga akan memberikan pengecilan nodul. Ini terbukti dari 13-
15% pasien karsinoma tiroid mengecil dengan terapi supresi. Oleh karena itu tidak ada alau adanya respons terhadap supresi TSH tidak dengan sendirinya secara pasti menyingkirkan ke ganasan. Berdasarkan data-data pada evaluasi klinis dan pemeriksaan penrnjang, maka dapat diduga kecenderungan suatu nodul tiroidjinak atau ganas. (Tabel 1)
Beberapa pertimbangan dan keuntungan pilihan prosedur operasi ini adalah sebagai berikut: . Fokus-fokus karsinoma papilare ditemukan di kedua lobus tiroid p ada 60 -8 5o/o pasien.
. . .
Sesudah operasi unilateral (lobektomi), 5-l0yo kekambuhan karsinoma tiroid papilare terjadi pada lobus kontralateral. Efektivitas terapi ablasi Iodium radioaktif menjadi lebih tinggi. 'Spesifisitas pemeriksaan tiroglobulin sebagai marker kekambuhan menjadi lebih tinggi setelah reseksi tumor dan jaringan tiroid sebanyak-banyaknya.
Meskipun demikian kontroversi mengenai luasnya Faktor Risiko
Usia Tua Anak-anak Sex : Pria Wanita Radiasi pengion dosis kecil masa anak-anak Riwayat Keluarga Massa kistik Massa solid Nodul multipel Nodul soliter Berkembang cepat Berkembang pelan Nodul panas Nodul dingin Nodul hangat BAJAH (-) BAJAH (+) KGB servikal Respon komplit terapi
Risiko tinggi
operasi masih terus berlangsung hingga kini. Pada analisis
45
retrospektif, dari 1685 pasien risiko rendah, angka kekambuhan 20 tahun setelah lobektomi sebesar 22Yo
x x x
dibanding 8Yo pada pasien yang menjalani tiroidektomi total. Jenis tindakan lain seperti tiroidektomi subtotal yang menyisakan jaringan tiroid sebesar 59, tidak memperoleh keuntungan-keuntungan seperti disebutkan di atas. Sebaliknya, alasan prosedur tiroidektomi unilateral (lobektomi) adalah tidak adanya manfaat memperbaiki
x x x x x
supresr
Respon parsial terapi supresr
Respon negatip terapi supresr
PENGELOLAAN KARSINOMA TIROID
angka kelangsungan hidup yang nyata dari tindakan agresif, disamping prosedur tiroidektomi uni lateral dapat mengurangi risiko hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus larymgeus. Pada penelitian 465 pasien dengan risiko rendah, angka kekambuhan lokal setelahfollow up 20 tahun (4 % vs lo/o) ata.u angka ke gagalan menyeluruh ( I 3 % vs 8%) tidak berbeda pada 276 kasus lobektomi dan 90 kasus tiroidektomi total. Beberapa konsensus penatalaksanaan karsinoma tiroid
menyebutkan bahwa tiroidektomi total diperlukan pada karsinoma tiroid papilare primer dengan diameter paling tidak lcm, khususnya bila massa telah ektensi ke luar kelenjar tiroid, atau ditemukan metastasis. Pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik yang ditemukan pada saat kehamilan berlangsung, menurut Moosa M dkk, pengelolaannya dapat ditunda hingga selesai persalinannya. Dalam laporannya, Moosa M dkk
menyebutkan bahwa prognosis karsinoma tiroid Operasi Tiroidektomi total, bila masih memungkinkan untuk mengangkat sebanyak mungkin tumor dan jaringan tiroid yang sehat, merupakan prosedur awal pada hampir sebagian besar pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi. Bila ditemukan metastasis kelenjar getah bening (KGB) regional, diteruskan dengan radical neck dissection. Pada karsinoma tiroid medulare, setelah tiroidektomi total, mengingat tingginya
angka metastasis KGB regional, dilanjutkan dengan
berdiferensiasi baik sama baiknya antara wanita hamil dan tidak hamil untuk kelompok usia yang sama dan bahwa pada sebagian besar kasus, diagnosis dan pengelolaarrrtya dapat ditunda hingga selesai persalinan.
Terapi Ablasi lodium Radioaktif Padajaringan tiroid sehat dan ganas yang tertinggal setelah operasi, selanjutnya diberikan terapi ablasi iodium radioaktif 131-I. Dosis r3r-I berkisar 80mCi dianjurkan untuk diberikan
2035
KARSINOMATIROID
pada keadaan tersebut, mengingat adanya uptake spesifft iodium ke dalam sel folikulare, termasuk sel ganas tiroid yang berasal dari sel folikulare. Karsinoma tiroid medulare r3t-I. dan anaplastik tidak sensitif dengan terapi ablasi 131I mengalami akan Sekali terkonsentrasi di dalam sel,
penguraian b, mengeluarkan energi tinggi yang menginduksi sitotoksisitas radiasi seperti pancaran sinar gpada sel tiroid. Ada 3 alasan terapi ablasi pada jaringan sisa setelah operasi, yaitu: . Merusak atau mematikan sisa fokus mikro karsinoma
.
Meningkatkan spesifisitas sintigrafi
.
eliminasi uptake oleh sisa jaringan tiroid normal Meningkatkan nilai pemeriksaan tiroglobulin sebagai petanda serum yang dihasilkan hanya oleh sel tiroid.
131-I
untuk melalui mendeteksi kekambuhan atau metastasis
Terapi ablasi iodium radioaktif umumnya tidak direkomendasikan pada pasien dengan tumor primer soliter diameterkurang dari lcm, kecuali ditemukan adanya invasi ekstratiroid atau metastasis. Untuk memak simakan up t ake iodium radioaktif, setelah tiroidektomi total, kadar hormon tiroid diturunkan dengan menghentikan obat L-tiroksin, sehingga TSH endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25-30 mU/L. Mengingat waktu paruh L-tiroksin adalah7 hari, biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu untuk mencapai kadar TSH tersebut di atas. Pasien juga perlu menghindari makanan yang mengandung tinggi iodium paling kurang 2mnggt sebelum sintigrah dike{akan, karena peningkatan iodium non-radioaktif di dalam sel tiroid menekanuptake iodium
radioaktif.
Terapi Supresi L-Tiroksin Mengingat karsinoma tiroid berdiferensiasi baik jenis papilare maupun folikulare -merupakan 90Yo dati seluruh karsinoma tiroid- mempunyai tingkat pertumbuhan yang lambat, maka evaluasi lanjutan perlu dilakukan selama beberapa dekade sebelum dikatakan sembuh total. Selama periode tersebut, diberikan terapi supresi dengan L-tiroksin
dosis suprafisiologis untuk menekan produksi TSH. Supresi terhadap TSH pada karsinoma tiroid pasca operdsi dipertimbangkan karena adanya reseptor TSH di sel-sel karsinoma tiroid, sehingga bila tidak ditekan, TSH
tersebut dapat merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang tertinggal. Harus dipertimbangkanuntuk selalu dalam keseimbangan antara manfaat terapi supresi TSH dan efek samping terapi tiroksin jangka panjang. Target kadar TSH pada kelompok risiko rendah untuk kesakitan dan kematian karena keganasan tiroid adalah 0, I -0,5 mU lI',sedang untuk kelompok risiko tinggi adalah 0,01 mU/L. Dosis L-tiroksin untuk terapi supresi bersifat individual, rata-rata 2 logl kgBB. Terapi supresi dengan L-tiroksin terhadap sekresi TSH dalam jangka panjang dapat memberikan efek samping di berbagai organ target, seperti tulang rangka danjantung.
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menghubungkan keadaan hipertiroidisme ini dengan gangguan metabolisme tulang yaitu meningkatnya bone turnover; bone loss dan risiko fraktur tulang. Umumnya pada kelompok usia tua lebih nyata efek sampingnya dibanding usia muda. Ratarata efek samping yang dilaporkan terjadi setelah pemberian L-tiroksin dosis supresi berkisar 7-15 tahun. Pengamatan pada kelompok pre dan post menopause yang mendapat terapi L-tiroksin dosis supresi jangka panjang memberikan hasil yang bervariasi. Roti E. dkk melaporkan banyak studi memperlihatkan penurunan densitas tulang sebagai reaksi terhadap terapi supresi terjadi baik pada pre maupun post menopause. Salah satu penelitian pada pre menopause yang mendapat terapi L-tiroksin dosis supresi selama kurang lebih 10,7 tahun memperlihatkan pemrrunan densitas mineral tulang femoral neck yang bermakna dan pada kelompok ini bone turnover |uga meningkat. Gharib dkk melaporkan hasil yang berbeda dimana penurunan densitas tulang tidak berbeda bermakna
antara kelompok premenopause dengan normal. Suatu studi meta-analsis yang melibatkan 239 pasien, pada kelompok pre menopause terdapat kehilangan massa tulang sebesar 2,7%o setelah 8,2 tahun, tidak"berbeda dengan yang dialami kelompok wanita normal. Sementara
Schneider dkk melaporkan bahwa terapi estrogen menghambat proses kehilangan massa tulang yang diinduksi L-tiroksin. Terapi tiroksin yang tidak sampai menekan sekresi TSH tidak menyebabkan osteopenia.
FAKTOR RISIKO PROGNOSTIK
Faktor risiko prognostik digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan jenis pengobatan yang akan diberikan. Diharapkan dengan mengetahui faktor risiko prognostik ini pengobatan dapat dilakukan lebih selektif, sehingga tidak kecolongan pasien keganasan tiroid tertentu yang memang harus mendapat pengobatan agresif, demikian juga pada pasien tertentu dapat terhindar dari pengobatan berlebihan yang tidak perlu. Faktor risiok prognostik tersebut adalah sebagai berikut:
AMES (Age, Metastasis, Extent of primary cancer, tumor Size) Age: pria <41 th, wanita < 5 I th/pia> 40 th, wanita > 50 th Metastasis : metastasis jauh/tanpa metastasis jauh Extent: papilare intratiroid atau folikulare dengan infasi kapsul minimal/ papilare ekstratiroidal atau folikulare dengan invasi mayor Size : 5 cm/> 5 cm. Risiko rendah : I ). Setiap usia risiko rendah tanpa metastasis, 2). Usia risiko tinggi tanpa meta dan dengan ekstensi. dan ukuran tumor risiko rendah. Risiko tinggi : 1). Setiap pasien dengan metastasis, atau 2). Usia risiko tinggi dengan salah satu ekstensi atau ukuran tumor untuk risiko tinggi.
2036
METABOLIKENDOTRIN
DAMES (AMES + pemeriksaan DNA flow cytometry)
sel tumor dengan
AMES risiko rendah + DNA euploid : risiko rendah AMES risiko rendah + DNA aneuploid : risiko sedang AMES risiko tinggi + DNA aneuploid : risiko tinggi
AGES (Age, tumor Grade, tumor Extent, tumor Size) Skor prognostik : 0.05 x usiaft (kecuali usia <40th: 0), +l (grade 2) atau *3 (grade 3 atau 4), + 1 (ika ekstratiroidal) atau *3 fiika metastasis jauh), + 0.2 x ukuran tumor dalam cm (diameter maksimum). Skala skorprognostik : 0-11.65, median2.6.Kategori risiko : 0-3.99; 4-4.99; 5-5.99; >6.
MACIS (Metastasis, Age, Completeness of resection, Invasion, Size) Skor prognostik : 3.1 (usia<39ft) atau 0.08 x usia (ika usia >40s), + 0.3 x ukuran tumor dalam cm, +l (ika diangkat tidak komplit), +1 (ika invasi lokal), +3 fiika metastasis jauh). Kategori risiko skor prognostik : 0-5.99; 6-6.99; 7-7.99;>8. Dengan pengelompokan faktor risiko prognostik tersebut, dapat diperkirakan angka kelangsungan pasien keganasan tiroid, seperti pada Tabel 2.
dan pemeriksaan petanda keganasan (tiroglobulin dab kalsitonin) serum.
Sintigrafi Seluruh Tubuh (Whote Body Scanning/ t/yBS) WB S dengan iodium radioaktif perlu dikerj akan 6- 1 2 bulan
setelah terapi ablasi pertama. Bila pada WBS tidak ditemukan abnormalitas, angka bebas kekambuhan dalam 10 tahun diprediksikan sebesar 90%. Sedangkan bila dari 2 kali WBS berturut-turut tidak ada kelainan, angka bebas kekambuhan diprediksikan sebesar 9l%o.Dalamhal tidak ada uptake yodium pada WB S tetapi terdapat peningkatan
kadar tiroglobulin serum, atau sebaliknya ditemukan
uptake
di daerah tiroid pada WBS meskipun
tiroglobulinnya tidak meningkat, direkomendasikan terapi ablasi 1r1-I ulangan dosis sama, atau dosis l5OmCi bila ditemukan adany a metastasis.
Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi berperan pada evaluasi adanya kekarnbuhan atau adanya kelenjar getah bening (KGB) lokal
atau metastasis regional. Walaupun USG ini dapat digunakan untuk membedakan KGB jinak dari yang ganas (berdasarkan ukuran, bentuk, ekogenisitas), tetapi BAJAH guided AMES Rsk Group Overall suruival rate Disease free suruival rate
98o/o
54Yo
Pencitraan Lain
4SVo
Pemeriksaan pencitraan lain seperti CT scan,rongent dada,
9SYo
Risk Group
AGES PS 20-year suruival rate MACIS PS
20-year
perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik
Tinggi
DAMES Disease free suruival rate
U,SG
adanya metastasis.
Rendah
92Yo <4 99% <6 99o/o
Menengah
Tinggi
45o
jYo
4-5 80Yo
6-7 89%
5-6 33To
MRI d,at Jluorodeoxyglucose positron-emission tomo
graphy (FDG-PET).tidak secara rutin diindikasikan.
Petanda Keganasan >6 'l3o/o
7-8
>8
560/o
24Yo
suruival rate
Dengan pengelompokan seperti ini, dapat disarankan, misalnya pada pasien dengan angka kelangsungan hidup
20 tahun-nya 99o/o, tenfii tidak memerlukan pengobatan
yang intensif, sehingga terhindar dari kemungkinan timbulnya penyulit akibat pengobatan itu sendiri.
EVALUASI Setelah berbagai terapi diberikan, perlu evaluasi secara berkala, agar dapat segera diketahui adanya kekambuhan atau metastasis. Monitor standar untuk keperluan itu ialah pencitraan (sintigrafi seluruh tubuh dan kalau perlu USG)
Pemeriksaan petanda keganasan seperti kadar tiroglobulin serum yang hanya diproduksi oleh sel folikel tiroid pada
karsinoma tiroid berdiferensiasi atau kalsitonin pada karsinoma tiroid medulare dapat membantu mendeteksi adanya sisa, kekambuhan dan metastasis. Tirogtobulin dan TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama, selanjutnya setiap tahun. Sesudah tiroidektomi total dan terapi ablasi yang berhasil, secara teoritis dalam waktu 3 bulan -meskipun kadang-kadang bisa sampai I -2 tatrun- tiroglobulin serum tidak akanterdeteksi lagi.
Oleh karena itu, bila kadar tiroglobulin serum meningkat, merupakan bukti tak langsung adanya sisa jaringan tiroid normal atau hrmor. Kadang ditemukan kadar tiroglobulin meningkat tanpa disertai hasil positip pada
sintigrafi seluruh tubuh atau dengan teknik pencitraan lainnya. Caplan dkk melaporkan dari observasi sendiri dan dari observasi penelitian lain disimpulkan bahwa produksi
tiroglobulin berhubungan dengan tumor tiroid, yang kadang-kadang karena terlalu kecil sehingga tidak dapat dideteksi dengan berbagai macam teknik pencitraan.
2037
TUMORHIFOFISIII
Sensitivitas pemeriksaan tiroglobulin untuk mendeteksi kekambuhan atau metastasis sebesar 85 -95o/o padakeadaan lepas hormon tiroid (TSH terstimulasi), dan sensitivitasnya menurun sampai 50Yo pada keadaan TSH tersupresi atau pada karsinoma tidak berdiferensiasi.
REFERENSI American Association
of Clinical Endocrinoiogists and the
American College of Endocrinology. AACE Clinical practice guidelines for the diagnosis and management of thyloid nodules. Endocr Practice 1996;2: 78-84. Burch HB. Evaluation and management of the solid thyroid nodule' Endocrinol Metab Clin North Am 1995; 24: 663-710. Cantalamessa L., Baldini M., Orsatti A , et al. Thyroid nodules in Graves disease and the risk of thyroid carcinoma. Arch Intern
Med 1999; 159: 1705-1708. Caplan RH., Wickus GG., Manske BR. Longterm follow up of a patient with papillary thyroid carcinoma, elevated thyroglobulin levels, and negative imaging studies. Case Report. Endocrine Practice 2005; l1(l): 43-48. Fraker DL., Skarulis M., Livolsi V. Thyroid tumor. Dalam Cancer:
Principles
&
Practice of Oncology. Edisi 5. Devita Jr' VT',
Hellman S., Rosenberg SA (Eds). Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997.p. 1629-s2. Gagel RF., HoffAO., Cote GJ. Medullary Thyroid Carcinoma' Dalam Wemer and Ingbar's -The Thyroid- a fundamental and clinical text. Braverman LE and Utiger RD (ed), edisi 9' Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005'p. 967-88. Gharib H. Changing concepts in the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocrinol Metab Clin North Am 1997; 26:
777-800.
Gharib H., Mazzafe:rri EL. Thyroxine suppressive therapy in patients with nodular thyroid disease. Ann Intern Med' 1998; 128: 386-94.
MM., Jimenez FE., dkk Bone loss in hyperthlroid patients and in former hyperthyroid patients controlled on medical therapy: influence of aetiology and menopause' Clin Endocrinol 7997; 47 : 279-85. Kaplan MM. Clinical evaluation and management of solitary thyroid nodules. Dalam Wemer and Ingbar's -The Thyroid- a fundamental and clinical text. Braverman LE and Utiger RD (ed),
Jodar E., Torres
edisi 9.
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2005.p.996- 101 0. Lewinski A., Ferenc T., Spomy S., et al. Thyroid carcinoma: diagnostic and therapeutic approach; genetic background (review)' Endocrine Regulation 2000; 34: 99-113. Moosa M, Mazzaferi EL. Outcome of differentiated thyroid carcinoma diagnosed in pregnant lir'omen. J Clin Endocrinol Metab 7997; 82: 2862-2866. Rosai J., Carcangiu ML., Deleilis RA. Tumor of the thyroid gland' Atlas of Tumor Pathology. Rosai J., Sobin LH. (eds)' Armed Forces Institute of Pathology, Washington D.C'1992: t9-205' Roti E., Minelli R., Gardini E., dkk. The use and misuse of thyroid hormone. Endoc Rev 1993; 14: 401-423. Scheneider AB., Ron E. Carcinoma of follicular epithelium: 70A epidemiology and pathogenesis. Dalam Werner and Ingbar's The Thyroid- a fundamental and clinical text Braverman LE and Utiger RD (ed), edisi 9, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005: 889-906. Session RB, Davidson BJ. Thyroid cancer. Med Clin North Am
1993;77: 517-535. Sherman SL Thyroid carcinoma. Seminar. Lancet 2003; 361: 50151 1.
Singer PA., Cooper DS., Daniels GH., dkk. Treatment guidelines for
patients with thyroid nodules and well differentiated thyroid carcinoma. Arch Intern Med 1996; 756: 2165-2172'
316 TUMOR HIPOFISIS Pradana Soewondo
PENDAHULUAN Tumor hipofisis adalah neoplasma intrakranial yang relatif sering dijumpai, serta merupakan 10-15 % dari seluruh
neoplasma intrakranial. Tumor jenis ini seringkali sulit diobati dan tidakjarang terjadi kambuhan, meskipun telah
dilakukan tindakan bedah. Walaupun telah banyak penelitian mengenai tumor hipofisis, patogenesis terjadinya tumor ini belum jelas seluruhnya. Umumnya dianggap bahwa neoplasma hipofisis merupakan tumor primer hipofisis. Penelitian biomolekular menunjukkan bahwa tumor hipofisis, baik functioning maupun nonfi.mctioning,berasal dari pertumbuhan satu klon (monoklonal). Diagnosis tumor hipofi sis seringkali terlambat karena kurangnya kewaspadaan, serta gejala dan tanda klinis yang
minimal. Dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan insiden tumor hipofisis yang disebabkan kanajuan pada sarana diagnosi\, seperti computed tomography (CT), magnetic resonarte imaging (MRI), dan berbagai macam
tehnik radioimmunoassay baru untuk pemeriksaan hormon.
EPIDEMIOLOGI
pemeriksaan yang sebenarnya dilakukan untuk kondisi yang tidak ada kaitannya dengan gangguan hipofisis. Adenoma hipofisis yang ditemukan pada pemeriksaan CT atau MRI tanpa disertai adanya gejala atau tand4 yang menunjukkan adanya gangguan hipofrsis sering disebut insidentaloma. Prevalensi insidentaloma hipofisis yang ditemukan pada MRI sebesar kurang lebih l0o dan hampir
99.5% diantaranya merupakan mikroadenoma. Mikroadenoma juga dilaporkan ditemukan pada l.S-27% kasus otopsi tanpa kecurigaan gangguan hipofisis. Sebagian besar tumor hipofisis ditemukan pada dewasa muda, namun dapat pula ditemukan padaremaja maupun usia lanjut. Sementara itu, kepustakaan lain menuliskan bahwa tumor hipofisis dapat ditemukan pada semua umur,
namun insidensnya meningkat dengan semakin meningkatnya usia, dan puncaknya antara dekade ketiga dankelima.
Untuk dapat memperoleh perkiraan terbaik dari prevalensi adenoma hipofis pada populasi, telah dilakukan sebuah meta analisis dai 12 manuskrip (7 pemeriksaan
otopsi dan 5 pemeriksaan radiologi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, ada hubungan yang jelas arfiara prevalensi dengan metodologi yang digunakan. Dengan tehnik yang sensitif didapatkan prevalensi mikroadenoma sekitar 20 oh; setidaknya l/3 dari tumor
.
Tumor hipofisis merupakan lO-15 % dari seluruh
tersebut secara klinis penting karena menghasilkan satu atau lebih hormon hipofisis anterior; makroadenoma ditemukan pada 11555 penduduk berusia di atas dekade
neoplasma intrakranial; tiga perempat tumor hipofisis mensekresi hormon hipofisis dalam jumlah yang abnormal. Insidens per tahun dari neoplasma hipofisis bervariasi, yaiht antara 1-71100.000 penduduk. Pada sebuah studi 10.370 kasus otopsi, Prevalensi mikroadenoma hipofisis
keempat.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut berarti banyak pasien dengan mikro dan makroadenoma seringkali tidak
sebesar llo%. Sementara penelitian lain menemukan adenoma hipofisis pada l0-25Yo kasus otopsi unselected danpada l0%o orangnormal yang menjalani pemeriksaan MRI. Dengan adanya kemajuan MRI dengan resolusi
terdiagnosis. Sehingga harus dilakukan upaya untuk meningkatkan deteksi tumor tersebut karena dapat berpengaruh secara signifikan terhadap (peningkatan risiko osteoporosis, penyakit jantung) dan kualitas hidup (libido, perubahan mood dandaya ingat).
tinggi, maka seringkali ditemukan lesi hipofisis pada
2038
2039
TUMORHIPOFISIST
menekan struktur sekitar, misalnya kiasma optik. Morbiditas mikroadenoma disebabkan oleh sekresi hormon yang berlebih. Morbiditas pada makroadenoma bervariasi, mulai dari tumor nonfungsional sampai makroadenoma yalag menyebabkan disabilitas. Morbiditas disebabkan oleh efek
Tipe Adenoma GH cell adenoma PRL cell adenomd GH and PRL cell adenorha
ACTH cell adenoma Gonadotroph cell adenoma Nonfunctioning adenoma TSH cell adenome Unclassified adenoma
masa tumor (misalnya hemianopsia bitemporal), ketidakseimbangan hormonal (defisiensi hormon hipohsis karena kompresi sel hipofisis normal atau produksi hormon yang berlebih oleh tumor), dan komorbiditas pasien. Terapi dari makroadenoma juga dikaitkan dengan morbiditas yang
PRL= P rolacti n; TSH= Ihyrold-sti m ul ating hormo ne
bermakna.
KLASIFIKASI MANIFESTASI KLINIS
sering ditemukanpadausia yang lebih muda, sedangkan tumoi nonfungsional sebagian besar ditemukan pada usia yang lebih tua. Tumor hipofis juga dapat diklasifikasikan terdasarkan karakteristik pewarnaan histopatologi (s tain-
ing), yaifil
Gangguan pada hipofrsis dapat memiliki gambaran klinis yang bervariasi. Gambaran klinis tersebut dapat berupa satu atau lebih gejala/tanda di bawah ini : . Defisiensi satu atau lebih hormon hipofisis
. . .
Kelebihanhormon(terutamaprolaktin,GH,danACTH) Efekmasatumor(sakitkepala,hemianopsiabitemporal) Ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT atau
MRI
Tumor hipofis dapat menunjukkan gejala dan tanda yang disebabkan oleh hipofungsi atau hiperfungsi dan atau efek masa tumor. Kebanyakan pasien datang dengan gejala dan tanda hipersekresi hormon, defek lapang pandan$, sakit kepala dan hipopituitarisme (Tabel 2). Diabetes
produksi hormon pada adenoma kromofob, yang memungkinkan ahli patologi untuk dapat mengidentifikasikan hormon yang diproduksi oleh tumor eosinofilik'
Selain itu juga ditemukan bahwa banyak tumor
rnensekresikan lebih dari satu hormon. Bentuk mutasi dari
P53, suatu gen supressor tumor, juga dapat ditemukan secara histologis serta memrnjukkan bahwa tumor tersebut pertumbuhannya akan sangat cepat. Dengan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan imrurohistokimia, diketahui b ahw a 8 5 -90oh tumor hipofisis
tumo prolaktinoma (60% ACTH masing-mas merupakan
Yang
terdiri dari
emproduksi GH dan
datl0o/o; sementara
tumor dengan hipersekresi TSH dan gonadotropik sangat jarang. Sedangkan tumor hipofisis yang non functioning
insipidus preoperatif sangat jarang ditemukan dan menunjukkan kemungkinan adanya keterlibatan hipotalamus atau infark hipohsis.
Efek masa tumor pada daerah sella yang sering ditemukan adalah ganguan penglihatan (makroadenoma) dan sakit kepala (makro dan mikroadenoama). Penekanan padakiasma optikum atau cabangnya akan mengakibatkan defek pada lapang pandang' Gangguan lapang pandang yang sering ditemukan berupa hemianopia bitemporal. Ekstensi lateral dari masa tumor ke sinus kavernosus dapat
menyebabkan diplopia, ptosis, atau perubahan sensasi wajah. Di antara saraf-sarafkranial yang ada, sarafkranial III, merupakan saraf yang sering terkena' Mengenai sakit kepala oleh efek masa tumor, tidak ditemukan adanya pola yang spesifik dan biasanya sangat mengganggu namun dapat hilang dengan pemberian analgetik.
harryal0%o.
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Morbiditas tumor hipofisis bergantung pada produksi
hormon berlebih, ataupun defisiensi hormon tertentu' Mikroadenoma tidak secara langsung menyebabkan mortalitas yang tinggi. Tumor ini biasanya terlalu kecil untuk dapat menyebabkan erosi tulang atau untuk dapat
Hipersekresi hormon Gangguan lapang pandang Sakit kepala Hipopituitarisme Apopleksi hipofisis Hidrosefalus Gangguan saraf kranial Epilepsi lobus temporal
2040
ANAMNESIS
Insidentaloma biasanya tidak mempunyai gejala. Incidentaloma terlalu kecil untuk dapat menyebabkan gejala yang disebabkan oleh efek masa tumor. pasien dengan makroadenoma dapat asimtomatik ata:u datang dengan keluhanyang disebabkan oleh ketidak seimbangan hormonal atau efek masa tumor. Gambaran klinis dari makroadenoma terutama berkaitan dengan efek massa tumor dan penekanannya terhadap struktur sekitar. Gejala yang paling sering timbul karena massa tumor di daerah sella adalah gangguan penglihatan dan sakit kepala. Lima puluh sampai enam puluh persen gejala gangguan penglihatan disebabkan oleh kompresi
struktur saraf optik. Perluasan ke lateral dapat menyebabkan kompresi sinus kavernosus dan dapat menyebabkan oftalmoplegia, diplopia dan atau ptosis. Perluasan ke sinus sphenoidalis dapat menyebabkan rinorea spontan (cairan serebrospinal).
Sakit kepala Sindroma kiasma Sindroma hipotalamus Gangguan rasa haus, nafsu makan, rasa kenyang, tidur dan pengaturan suhu Diabetes insipidus Syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH) Hidrosefalus obstruktif Disfungsi saraf kranial lll, lV, Vl, Vr, Vl Sindroma lobus frontal dan temporal Rinorea cairan serebrospinal
METABOI.IKENDOIRIN
Pasien dengan akromegali biasanya sudah mempunyai gejala penyakit tersebut sejak 7 tahun sebelum diagnosis
ditetapkan. Dalam anamnesis dapat ditemukan adanya pembesaran tangan, kaki dan tulang wajah; nyeri sendi ; sleep apnea; keringat berlebih ; dan skin /ags. perubahan tersebut terjadi secara gradual, sehingga tidak disadari
oleh pasien atau anggota keluarganya atau mungkin dianggap sebagai proses menua. Pasien dengan sindrom Cushing biasanya mengalami kenaikan berat badan (kecuali pada pasien yang rajin berolahraga yang biasanya tidak terdapat kenaikan berat badan yang nyata), rasa lelah, susah tidur, mudah tersinggung, depresi, hilang ingatan, kesulitan berkonsentrasi, kelemahan otot, frakfur fulang, atau osteoporosis. Munculnya diabetes atau perburukan dari kontrol diabetes dan timbulnya hipertensi atau perburukan dari hipertensi yang sedang diobati juga merupakan hal
yang sering ditemukan pada pasien dengan sindrom Cushing.
Apopleksi hipofisis merupakan akibat infark dari tumor hipofisis atau dapat juga karena perdarahan tiba-tiba. Merupakan suatu kedaruratan, dan pasien biasanya datang dengan sakit kepala, kolaps tiba-tiba dan dapat meninggat jika tidak ditangani segera. Biasanya timbul pada makroadenoma. Pemberian agen stimulasi, seperti thyroid-stimulating hormone (TSH), gonadotrop in-re leas ing hormone (GnRH), and insulin-hyp o glyc emia, telah diperkirakan akan menyebabkan peningkatan
kebutuhan metabolik makroadenoma, yang akhirnya mengakibatkan nekrosis.
Sakit kepala adalah gejala yang paling sering dikeluhkan dan menjadi alasan untuk melakukan
PEMERIKSAAN FISIS
pemeriksaan MRL Pendapat bahwa lesi hipofisis kecil tidak
Kebanyakan pasien dengan lesi hipofisis tampak sehat pada pemeriksaan fisik, kecuali pada pasien dengan
dapat menyebabkan sakit kepala, tidaklah sepenuhnya benar. Mengingat ruang sella tursika cukup kecil, lesi tumor hipofisis sekecil apapun dapat menyebabkan atau memperberat keluhan sakit kepala. Sayangnya, tidak ada gejala sakit kepala yang khas, yang dapat memandu kearah lesi hipofisis. Pasien mrurgkin akan mengeluh sakit di daerah frontal, temporal, atau oksipital atau rasa sakit di belakang mata.
Efek hormon hipofisis tergantung dari jenis hormon yang terlibat. Semakin besar tumor, maka semakin besar pula kemungkinan keterlibatan sebagian besar hormon. Sel-sel hipofisis anterior tidak semua sama kerentanannya terhadap efek desakan massa tumor. yang paling rentan adalah somatotrophs dan gonadotrophs, sedangkan corticotrophs dan thyrotropfrs bersi t lebih resisten. Selain dari efek desakan massa tumor, gambaran klinis
lainnya dapat berupa penurunan libido dan ataupun disfungsi ereksi pada laki-laki, haid yang tidak teratur atau amenorea pada perempuan premenopause serta mudah lelah (defisiensi hormon tiroid, kortisol, GH).
akromegali, sindrom Cushing dan laki-laki dengan hipogonadisme. Gambaran klinis akromegali meliputi penonjolan frontal; gambaran muka yang kasar (coarse facial features) termasuk diantaranya pembesaran hidung, bibir, lidah, dan rahang Qtro gnathis m); peningkatan j arak antar gigi; large beefy hands andfeet; sweaty palms; dan skin tags. Gambaran klinis sindrom Cushing meliputi facies plethora, deposisi lemak supraklavikulaq lemak servikal posterior, acanthosis nigricans, jerawat, hirsutisme, kulit tipis, ecchymoses, and violaceous striae. Pada sindrom Cushing lanjut, dapat ditemukan muscle wasting yang nyata pada lengan atas dan paha, dan pasien mungkin tidak mampu untuk berubah posisi dari duduk ke berdiri tanpa menggunakan bantuan tangan. Laki-laki dengan hipogonadisme mempunyai testis yang kecil dan lunak, serta pertumbuhan rambut yang menurun. Hal ini menunjukkan defisiensi testosteron dalam jangka cukup lama. Fine wrinkling pada kulit wajah
2041
TUMORHIFOFISIS
merupakan hambaran khas dan mungkin merupakan akibat defisiensi testosteron dan GH.
Pemeriksaan neurooftalmologi berupa tajam
Tes
penglihatan lapang pandang, dan pergerakan bola mata penting dilakukan pada pasien dengan makroadenoma.
PRL GH ACTH
tajam penglihatan dapat menurun pada satu atau keduabelah mata. Refleks cahaya pada pupil |uga dapat
Gonadotropins (LH
abnormal. Penglihatan warna juga dapat terkena, berupa hemiakromatopsia bitemporal terhadap warna merah. Karena kiasma optikum terletak dekat dengan tuberkulum sela maka sering ditemukan kompresi kiasma. Kelainan utama pada kompresi kiasma optikum adalah quadranopsia superior bitemporal. Lesi yang lebih besar
Prolaktin IGF-1, OGTT 24-\UFC, LDDST, tes LDDST/CRH, midnight salivary and serum coftisol FSH, LH, o- and B-subunits
and FSH) hormone; FT+ = lltrror'n" FSH = Follicle-stimulating hormone; GH = GroMh hormone: IGF-1 = lnsulin-like growth factor-1; LDDST = Lowdose dexamethasone suppression test; LH = Luteinizing hormone;
OGTT
= Oral glucose
tolerance test; PRL
=
Prolactin;
T:
=
triiodothyronine; T4 = Thyroxine; TSH = Thyroid-stimulating hormone; UFC = Urinary free cortisol
dapat menyebabkan hemianopsia bitemporal. Pemeriksaan
lapang pandang selain dengan metode konfrontasi dapat juga digunakan perimetri Goldman. Namun studi terbaru
menganjurkan penggunaan komputer (Allergan Humphrey).
diperiksa kadar hormon basal untuk skrining, termasuk di dalamnya pemeriksaan prolactin, thyrotropin, thyroxine, adrenocorticotropin, cortisol, LH, FSH, estradiol, test-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
osterone, growth hormone, insulinlike growth factor-l (IGF-|), and alpha subunit glycoprotein Sementara itu, kepustakaan lain hanya menganjurkan pemeriksaan kadar prolaktin pada keadaan dimana tidak ada gejala atau tanda
Pemeriksaan Laboratorium
yang mengarahkan pada kelebihan atalu kekurangan hormon tertentu, karena ini merupakan pendekdthn yang
Diagnosis sekresi hormon hipofrsis yang meningkat atau
menurun dibuat berdasarkan temuan biokimia. Hipopituitarisme diduga pada keadaan di mana konsentrasi hormon perifer rendah namun tanpa disertai peningkatan hormon tropiknya. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan kadar basal hormon dan pengukuran dinamis kadar hormon, tergantung dari jenis tumornya. Semua tumor harus
Kadar serum dari hormon-hormon berikut ini sebaiknya * diperiksa dengan menggunakan sampel darah pagi hari Prolaktin o LH, FSH dan testosteron atau estradiol TSH dan tiroksin o ACTH dan kortisol lnsulin like growth factor 1
.
r . '
Kadar kortisol dan testosterone paling tinggi pada pagi hari
Aksis
Tes
Growth hormone Adrenocorticotropic hormone Gonadotropins (LH and FSH)
IGF-1, lTT, GH-RH/arginine, arginine Cortisol (pagi), LDCT, SDCf , overnight metyrapone test, ITT Estradiol (testosteron bebas dan testosteron total pada laki-laki), FSH, LH, prolactin FT+ index (free T4), TSH
Thyroid-stimulating hormone
FSH = Follicle-stimulating hormone; FTa = 16rror, ne; GH-RH = Growth hormone-releasing hormone; IGF-1 = lnsulin-like gro\,vth factor-1; ITT = lnsulin tolerance test; LDCT = Low-dose cosyntropin test; LH = Luteinizing hormone; SDCT = Standard-dose cosyntropin test; TSH = Thyroid-stimulating hormone
paling cost-effecflve. Tes hormon dinamis dilakukan untuk menilai fungsi tumor dan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Selain itu juga dapat unutk menilai kapasitas fungsi hipofisis anterior.
PENCITPAAN Foto X-rays biasa kurang baik untuk pencitraan jaringan lunak, sehingga sudah digantikan oleh CT scaz dan MRI. CT scan cukup spesifik dan dapat mendeteksi tumor dengan kalsifikasi, namun detailnya masih kalah jika dibandingkan dengan MRI. CT scan lebih baik dalam memperlihatkan struktur tulang dan kalsifikasi pada jaringan lunak daripada X ray dan MRI. CT scan juga berguna j ika terdapat kontraindikasi terhadap penggunaan MRI, seperti pasien dengan pacu jantung. Kelemahan CT scdnyalglain adalah pajanan terhadap sinar radiasi yang tinggi. Hal-hal inilah yang membuat MRI merupakan modalitas terpilih untuk pencitraan hipofrsis. MRI lebih mahal jika dibandingkan dengan CT scan, namun memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap struktur jaringan lunak dan pembuluh darah, selain itu juga tidak terjadi pajanan terhadap radiasi pengion. Resolusi yang tinggi membuat MRI dapat mengenali lesi kecil dan dapat diperlihatkan pula hubungannya dengan struktur sekitar. Sensitivitas MRI unflrk mendeteksi mikroadenoma (yang dibuktikan dengan operasi) mencapai l00Yo, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan CT scan yanghanya mencapai 50%. Spesifrtas dan sensitivitas MRI mecapai 90Yo pada tumor sekretori. Pemberian gadolinium
2042
ITEf,ABOLIKENIDIRIIV
diethylenetriamine pentaacetic
acid
(DTpA)
meningkatkan tingkat deteksinya. Angiografi serebral tidak
dike{akan secara rutin, dan hanya dike{akanjika dicurigai terdapat lesi Vaskular.
kambuhan penyakit ataupun kemungkinan hipopinritarism.
Edukasi perlu diberikan sehubungan dengan terapi substitusi hormon dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup pasien.
DIAGNOSIS Penatalaksanaan pasien dengan tumor hipofisis tentunya dimulai dengan diagnosis yang akurat. Diagnosis yang akurat memerlukan beberapa Unsur, yaitu :
.
. . .
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan seksama
Review gambaranradiologis (terutamaMRl) Penentuan ada tidaknya hipersekresi atau defisiensi hormon Korelasi antara temuan klinis, anatomis dafl hormonal. Diagnosis biasanya sudah crtktrp jelas setelah anamnesi
KES!MPULAN
. . . .
Adanya gejala dan tanda endokrin dapat merupakan pertanda dini tumor hipofise Penilaian status hormonal sebaiknya dilakukan pada semua tumor hipofisis Pilihan pengobatan sebaiknya dilakukan secara komprehensif Tindak lanjut dan edukasi sangat penting bagi kualitas hidup pasien
dan pemeriksaan fi sik, namtur perlu dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan radiologis dan laboratorium.
Telah teidapat beberapa konsensus mengenai diagnosis dan penatalaksanaan akromegali dan prolaktinoma, namun sayangnya belum ada konsensus mengenai gangguan hipofisis lang lain. Namun secara
umum, jika pasien sudah didiagnosis menderita tumor hipofisis maka diperlukanfollow ap seumur hidup untuk mendeteksi rekurensi, memonitor pemberian hormon dan untuk mengobati komplikasi yang timbul karena tumor tersebut. PENGOBATAN
Tujuan utama pengobatan tumor hipofisis ialah ffiengembalikan fungsi hipofisis senormal mungkin dan mencegah terjadinya kambuhan niassa tumor. Tujuan lain adalah memperbaiki gangguan penglihatan, mengatasi gangguan neurologis, serta memperbaiki gangguan endokrin dan metabolik. Cara pengelolaan terbaik untuk tumor hipofisis, harus
ditentukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan beberapa faktoq yaitu: adanya gangguan endokrin terkait, besar dail ekspansi massa tumor, usia serta keadaan klinis pasien. Pilihan terapi yang tersedia ialah: terapi medikamentosa
primer (terapi supresi hormon dengan bromokriptin dan analog somatostatin) dan terapi substitusi hormon (perioperatif dan post operatif), radiasi eksterna dan
REFERENSI Daniels Gilbert, Joseph Martin. Neuroendocrine regulation and diseases
of the anterior pituitary and hypothalamus. Dalam
lished July 19, 2002. Disitasi dari : http://*ww, clevelandclinicmeded.com,/
diseasemanagemenVendocrinology/
pituitary/pituitary.htm Disitasi tenggal 30 Jan.tari 2006. Hurley David, Ken K Y Ho. Pituitary disease in adults, Series Editors: Donald J Chisholm and Jeflrey D Zajac. MJA Praotioe Essentials MJA 2004; 180 (8): 419-25 Disitasi -Endocrinology.
dari : http ://www.mja. com.au/public/issues /l 80_08_1 90404/
hurlO51l_fm.html Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Indrajit IK, N Chidambaranathan, K Sundar, I Ahme. Value of dynamic MRI imaging in pituitary adenomas. Ind J Radiol Imag 2001 1 1 :4: 1 85-1 90. Disitasi dad : http://wwwJjriorgl200ll104l neurorad.htm Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Kattah Jorge. Pituitary tumors. Disitasi dari : http:ll www.emedicine.com/ neuro/topic3 l2.htm. Last Updated: January 18,2002 Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Klachko David. Pituitary microadenomas. Disitasi dari : http:ll www.emedicine.com/ med/ topi.c2973.htm Last Updated: August 16, 2005 Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Levy, Lightman. Fortnightly Review: Diagnosis and management
of pituitary tumours. University of Bristol, Department of Medicine, Bristol Royal Infirmary. BMJ 1994;308:1087-91 (23 April). Disitasi dari : http://bmj.bmjjournals.comlcgil content/ fulll308/693611087 Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Mary Lee Vance. Treatment of patients with a pituitary adenoma: one clinician's experience. Neurosurg Focus 16(4), 2004. American Association of Neurological Surgeons. MEDSCAPE. Diabetes and Endocrinology. Disitasi dari:
. Terapi gen merupakan terapi ertimbangkan, disamping terapi aksanakan.
Apapun terapi yang dipilih, kasus dengan tumor hipofisis harus selalu diamati untuk menilai terjadinya
:
of Internal Medicine. Volume 2. Thirteenth Edition. McGraw-Hill; 1994. p. l89l-918. Hamrahian Amir. Pituitary Disorders. The Cleveland Clinic. PubIsselbacher, Brdunwald, et al. Harrison's Principles
http:ll
www.medscape.com/viewarticlel 47 4897 ? src:search. Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Mulinda James. Pituitary macroadenomas. Disitasi dari : http'.ll www.emedicine.com/ medi topicl379.htm. Last Updated: January I7,2006 Disitasi tanggal 30 Januari 2006. Pituitary Network Association. One out of five adults worldwide
TUMORHIFOFISIS
may have a pituitary tumor, new study shows one third of these mostly non-cancerous tumors may cause serious disorders. San Antonio, TX - May 4th, 2001. Last Revised : August 2003. Disitasi dari : http://www.pituitary.com/news/Pituitary News Updates/PituitaryNews/PNA Pharmacia News Flash. php Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
2043
3t7 GANGGUAN PERTUMBUHAN Syafril Syahbuddin
PENDAHULUAN
PERAT'VAKAT{ PENDEK OLEH PENTYEBAB ENDOKRIN
Pertumbuhan seseorang menggambarkan kualitas kesehatan fisik, mental dan lingkungan psikososialnya.
DefisiensiGH
Dua macam pengukuran yang penting dalam menilai pertumbuhan adalah Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB). Data dari pemeriksaan serial TB dan BB tergambar pada grafik Tumbuh Kembang (Growth Chart) yang
Secara etiopatogenetis, defisiensi GH dapat terjadi akibat gangguan terhadap poros hipotalamus-pituitari -GH- IGF-
1. Defisiensi GH idiopatik terjadi akibat defisiensi GII Releasing Hormone (GHRH). Pada tumor pituitari dan agenesis pituitari tidak terdapat produksi GH. Defek/mutasi atau tidak adanya gen-gen tertentu dapat menyebabkan defrsiensi GH.
memungkinkan penilaian kecepatan pertumbuhan (growth : 6y). Disamping itu, untuk menilai pertumbuhan
velocity
tulang diperiksa umur ttlang (bone age
: Blt) secara
radiologik dan untuk perkembangan mental diperiksa umur mental (mental age : MA). Secara keseluruhan, secara periodik di bandingkan umur tinggi (height age : Hlt) denganBAu MA danumurkonolo gs (chronological age : Clt).
Defisiensi GH kongenital. Pasienbiasanya pendek, gemuk, muka dan suara imafur, pematangan fulang terlambat, lipolisis berkurang, terdapat peningkatan kolesterol total / LDL dan hipoglikemiaa. Apabila disertai defi siensi ACTH, gejala hipoglikemiaa lebih menonj ol, apabila disertai defisiensi TSH akan terdapat gejala-gejala hipotiroidisme.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor intrinsik (genetik) dan ekstrinsik (nutrisi, oksigen, hormon-hormon,
faktor-faktor pertumbuhan, psikososial dan berbagai
Biasanya IQ normal, kecuali apabila telah sering mengalami serangan hipo glikemiaa berat.
penyakit kronik). Gangguan pertumbuhan dapat menyebabkan perawakan pendek (short stature) ataupun perawakan jan gkung (tall stature).
Defi siensi GH didapat. B ias any a keadaanini bermula pada penghujung masa kanak-kanak atau pada masa pubertas, tersering akibat tumor-tumor pada hipotalamus-pituitari, sehingga sering disertai defisiensi hormon-hormon tropik lainnya (gonadotropin, TSH, dll) bahkan dapat disertai defisiensi hormon pituitari posterior. Tumor-tumor tersebut
Dalam praktek sehari-hari, pada umumnya pasienpasien gangguan pertumbuhan datang dengan keluhan perawakan pendek. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena masyarakat lebih memberikan aspresiasi kepada
perawakan jangkung, sebaliknya lebih kawatir akan perawakan pendek. Oleh karena itu pada tulisan ini
antaralainadalahkraniofaringioma,germinoma,glioma,
dikemukakan sekitar masalah perawakan pendek.
histiositoma. Iradiasi kronis terhadap hipotalamo-hipofisis juga dapat menyebabkan defisiensi GH.
Lain-lain. Termasuk kelompok ini adalah sindrom Laron
PERAV1IAKAN PENDEK
dan suku Pygmi (Afrika). Pada sindrom Laron, sudah terlihat perawakan sejak dari lahir oleh karena tidak adanya respons terhadap GH. Keadaan ini merupakan defek reseptor/post reseptor GH yang diturunkan secara autosom resesif. Akibatnya, terjadi peningkatan GH serum, sebaliknya IGF-
Dikatakan perawakan pendek apabila TB tebih dari 2 SD di bawah TB rerata orang-orang yang sama usia dan jenis kelaminnya. Perawakan pendek dapat terjadi oleh sebabsebab endokrin ataupun sebab-sebab non endokrin.
I hampir tidak
044
ada. Pada Pygmi, GH serum normal, IGF-I
2045
GANGIGUAII PERTUMBUHAN
menurun dan IGF-II normal.
Diagnosis defisiensi GH ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium. Prinsip
pemeriksaan diagnostik secara laboratorium adalah
kurangnya respons sekresi GH terhadap stimulus provokatif (latihan jasmani, insulin, dll) serta rendahnya
Sindrom Cushing Peningkatan kadar glukokortikoid darah akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Penyebabnya dapat oleh penyakit Cushing (adenoma hipofisis yang mengeluarkan banyak ACTH), adenoma adrenal otonom,
karsinoma adrenal dan terapi dengan hormon
kadar IGF-I dan IGFBP-3. Pemeriksaanyang banyak dilakukan adalah pemeriksaan kadar GH pada keadaan
glukokortikoid (eksogen). Glukokortikoid yang berlebihan
hipoglikemiaa setelah pemberian insulin.
menekan retensi nitrogen dan menekan pembentukan
Pengobatan perawakan pendek oleh karena defisiensi GH pada umumnya dengan suntikan GIl rekombinan satu kali dalam seminggu atau preparat depot satu kali dalam2
kolagen.
-
4 minggu. Biasanya terlihat hasil pertambahan TB
paling besar dalam tahun pertama setelah suntikan. Makin dini terapi diberikan akan makin besar kemungkinan tercapai
tinggi akhir yang normal. Untuk menilai keberhasilan pengobatan perlu dilakukan monitoring terhadap
dapat menekan sekresi GH, menekan pembenfukan tulang,
Diagnosis sindroma Cushing ditegakkan dengan pemeriksaan supresi kortisol darah oleh deksametason dan
pemeriksaan kortisol bebas (free cortisol) dalam urine. Pemeriksaan MRI pituitari dapat menemukan kelainan anatomik setempat. Pengobatan ditujukan terhadap penyebabnya termasuk menghentikan terapi kortikosteroid dan operasi.
kecepatan pertumbuhan, umur tulang, IGF-I, IGFBP-3 dan
fosfatase alkali. Pengobatan psikologis diperlukan pada
pasien-pasien dengan masalah-masalah emosi dan personaliti.
Perawakan Pendek Psikososial Dalamhal ini defisiensi GH adalahbersifat fungsionalyang berhubungan dengan kelainan psikiatris anak, akibat kerusakan interaksi secara kronis dengan keluarga/orang tuanya. Secara klinis terlihat pertumbuhan yang kurang, perut buncit dan imatur. Keadaan ini dapat disembuhkan (reversibel) dengan mengeluarkan pasien dari lingkungan keluarganya dan terapi keluarga, sehingga tidak dianjurkan pengobatan dengan GH.
Hipotiroidisme Defisiensi hormon tiroid yang mulai sebelum atau saat lahir mengakibatkan keterlambatan perkembangan yang berat'
Apabila terjadinya setelah lahir, mengakibatkan
Pseudohipoparatirodisme Keadaan perawakan pendek ini disebabkan oleh kelainan
genetik dimana terdapat peningkatan hormon paratiroid (PTH) dan fosfat, penurunankalsium darah, disertai tidak adanya respons terhadap PTH eksogen. Pdligobatan adalah dengan pemberian vitamin D/kalsitriol dosis tinggi disamping kalsium dan obat pengikat fosfat.
Gangguan Metabolisme Vitamin D Rakhitis yang disebabkan defisiensi vitamin D menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perawakan pendek. Penyebabnya berupa defisiensi vitamin D (kurangnya asupan vitamin D, malabsorpsi lemak, kurang terpapar sinar matahari, antikonvulsan, penyakit hatilginjal) dan dapat berupa rakhitis yang tergantung pada vitamin D secara herediter. Gambaran klinis dapat berup a sabershin (kaki pedang),
terlambatnya kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
rachitic rossary (tasbih rakhitis), hipokalsemia,
tulang. Hipotiroidisme yang didapat setelah lahir menyebabkan kegagalan pertumbuhan yang ditandai oleh kurangnya kecepatan pertumbuhan, perawakan pendek, kurangnya BA, rasio atas/bawah (uper/lower ratio) lebih besar, apatis, gerakan lambat, konstipasi, bradikardi, wajah dan rambut
hipofosfatemia dan peninggian fosfatase alkali. Pada
kasar, suara serak dan terlambatnya perkembangan
PERAWAKAN PENDEK OLEH SEBABSEBAB NONENDOKRIN
pubertas. Diagnosis hipotiroidisme kongenital, dipastikan dari hasil pemeriksaan TSH dalam darah dari tumit/umbilikus yang lebih besar dari 25 mU/1. Untuk anak yang lebih besar diagnosis ditegakkan dari rendahnya FT4 dan tingginya TSHserum. Pengobatan untuk bayi adalah dengan levo-tiroksin 10- l5 ug/kgBB/hari, untuk anak yang lebih besar 2-3 ug/kgBB/hari sampai tercapai kadar TSH serum
normal.
x-foto tulang terlihat gambaran khas. Pengobatan yang efektif dengan vitamin D dan fosfat dapat memperbaiki pertumbuhan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah sebagai berikut
:
Perawakan Pendek Konstitusionalr Keadaan pertumbuhan dan adolesen yang terlambat secara
konstusional
ini hanya merupakan variasi
dari
pertumbuhan normal. Dalam hal ini terjadi perlambatan mulainya pubertas, umur tulang BA tertinggal dari umur kronologis. Namun tinggi akhir tidakberkurang oleh karena
2046
waktu berhentinya pertumbuhan tulang juga tertunda.
Biasanya terdapat anggota keluarga dengan pola
MEIABOLIKENDOIRIN
Pengobatan yang berhasil terhadap penyakit dasarnya, dapat memperbaiki ketinggalan dalam TB.
pertumbuhan yang serupa. Pada pemeriksaan lengkap tidak ditemukan penyebab lainnya. Oleh karena itu tidak
diperlukan pengobatan khusus. Yang penting adalah menjelaskan dan meyakinkan kepada pasien dan keluarganya bahwa keadaan ini adalah normal dan
PENDEKATAN DAGNOSTIK PERAWAKAN PENDEK
prognosisnya baik.
Pada umumnya dari pemeriksaan dan gejala klinis yang didapat sudah dapat ditetapkan apakah perawakan pendek
Perawakan Pendek Genetik Keadaan ini bersifat familial tanpa keterlambatan
tersebut patologis dan memerlukan pemeriksaan yang cukup lengkap dan mahal untuk kemudian diberikan pengobatan sedini mungkin terhadap penyebabnya. Dengan demikian, ternyata banyak kasus yang tidak memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang mahal dan
pertumbuhan dan dan BA. TB setelah dewasa tergantung pada rerata TB kedua orang tuanya.
Retardasi Pertumbuhan lntrauterin Sekitar 30%bayi lahir dengan prematuritas dan retardasi pertumbuhan inhauterin, tidak dapat mengejar ketinggalarr pertumbuhannya setelah l-2 tahun tahir, akhimya tidak mencapai tinggi dewasa yang normal. Penyebabnya, banyak sekali, antaralain genetik (kecebolan RusselSilver), toksoplasma gondi, virus rubela, sitomegalo virus, herpes, HIV, kokain, alkohol, fenetoin. Oleh karena pemberian GH memberikan peningkatan kecepatan pertumbuhan, obat ini di rekomendasikan unhrk pengobatan retardasi pertumbuhan intrauterin.
Sindrom-sindrom Perawakan Pendek ini adalah sindrom Turner, sindrom Noonan (Pseudo Turner), sindrom PraderWilli, sindrom Lawrence-Moon, Sindrom Biedl-Bardet, Termasuk dalam kelompok
gangguan kromosom autosom dan displasia skeletal. Sindrom Turner yang merupakan disgenesis gonad pada wanitr, , secara kariotip adalah 45,X. Perawakan pendek selalu ditemukan, disamping mikrognatia, lipatan epikantus,
telinga letak rendah, mulut ikan, ptosis, leher pendek webbed neck, dada perisai dan lain-lain. Pengobatan
melelahkan. Dari anamnesis dicari informasi mengenai keadaan intrauterin, keterpaparan lefiadap toksin, berat badan lehir rendah, trauma lahir, perkembangan fisik dan mental, gejalagejala penyakit sistemik, diet, TB orang tualkeluarga, umur pubertas, faktor psikososial keluarga dan hubungan anak
-orang fua.
Data yang perlu didapat dari pemeriksaan jasmani adalah TB, BB, ukuran baju/sepatu, perbandingan TB dan
kecepatan pertumbuhan dengan teman sebaya/sekelas, penyesuaian dengan tinggi rala-rata orangtua. Status gizi, span Qterbandingan rentang lengan dengan tinggi badan), lingkaran kep ala, ratio U lL, gejala- gejala/sindrom penyakit dan gejala-gejala neurologik. Dari pemeriksaan laboratorium dicari kelainan darah dan wine rutin dan kimia darah (anemia, peningkatan laju endapan darah, gangguan faal hati/ginjal, intoleransi glukosa, asidosis, kelainan kalsium, karoten serum, penyakit jaringan ikat, malabsorpsi, T4 dan TSH, IGF-I dan IGFBP-3, gonadotropin, PRL, hormon sex-steroid,
kortisol, antibodi tiroid, test provokatif untuk GH, pemeriksaan kariotip, CT-Scan/MRl untuk hipotalamus/ hipofisis, pemeriksaan x-rayunlrkBA, nutrisi dan fungsi
psikologis.
dengan GH cukup memberikanhasil. Salah satu bentuk tersering dari displasia skeletal adalah
akondroplasia. Kelainan ini diturunkan secara dominan autosom. Pasien biasanya sangat pendek oleh karena ekstremitas pendek, kepala relatif besar, dahi menonjol, hidung pesek, lain-lainnya normal, termasuk intraligensia. Pengobatan pembedahan tulang dapat menambah TB, sedangkan pemberian GH tidak dianjurkan.
Penyakit-penyakit Kronis Perawakan pendek dapat disebabkan oleh penyakit
celiac, enteritis regionalis, penyakit Crohn, cystic fibrosis, kanker, talasemia, artritis rematoid, gagal ginjal kronis, renal tubular acidosis dan lain-lain. Pada
umumnya gangguan pertumbuhan terjadi akibat malnutrisi yang diakibatkan penyakit-penyakit kronis tersebut.
REFERENSI Attanasio AF, Howell S, Bates PC et al. Body composition, IGF-I and IGFBP-3 concentrations as outcome measures in severely GH deficient (GHD) patients after childhood GH treatment : a comparison with adult onset GHD patients. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87 : 3368-3372. Chiesa A, de Pependick LQ Keselman A et al. Final height in longterm primary hypothyroidism in children. J Pediatr Endocrinol Metab 1998; l1: 51. GH Research Society. Consensus Guidelines for the diagnosis and
treatment of growth hormone (GH) deficiency in childhood and adolescence : summary statement of the GH Research Society. J Clin Endocrinol Metab. 2000; 85: 3990. Grimberg A, Kutikov JK, Cucchiara AJ. Sex differences in patients referred for evaluation of poor growth J Pediatr 2005;746 : 212.
2047
GANGGUANPERTUMBUI{AN
Hall D. Growth monitoring. Arch Dis Child 2000;82 ; 10 - 15. Lai HC, Fitasimmons SC, Allen DB et al. Risk of persistence grou'th impairment after alternate day prednisone treatment in children with cystic fibrosis. N Engl J Med. 2000; 342:851. Leschek EW, Rose SR, Yanowsky JA et al. Effect of growth hormone treatment on adult height in peripubertal children with idiopathic short stature. A randomized, double blind, placebo-controlled trial. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89 : 3140
-
3148.
Melmed S, Jameson JL. Disorder of the anterior pituitary and hypothalamus. In Kasper DL et al eds. Harrison's Principles of Intemal Medicine, 16h ed, New York, Singapore: Mc Graw-Hill; 2005.p. 2088-90, Reiter EO, Rosenfeld RG. Normal and aberrant growth, In Wilson JD et al. eds, Williams Textbook of Endocrinology, l0 th ed, Saunders, 2002.
Saenger P. Groth-promoting strategies
Endocrinol Metab, 1999; 84
:
in Tumer's syndrome. J Clin
4345.
Q Barsanti S, Fiore L. The effect of administering gonadotropin releasing hormone agonist with recombinant - human growth hormone (GH) on the final height of girls with isolated GH deficiency: result from a controlled study, J Clin Endocrinol Metab 2001; 86; 1900. Styne D. Growth. In Greenspan FS, Gardner DC, eds. Basic & Clinical Endocrinology, Tb ed. New york, Singapore: Mc Graw Hill; 2004.p.176-214. Van Wijk JJ, Smith EP. Insulin-like growth factors and skeletal growth: Possibilities for therapeutic intervention. J Clin Endocrinol Metab 1999; 84 : 4349. Wit JM, Rekers-Mombarg LTM, Cutler GB Jr et al. Growth Hormone (GH) treatment to final height in children with idioSaggese G, Federico
pathic short stature: evidence for a dose effect. J Pediatr 2005;
146:45-53.
318 DIABETES INSIPIDUS Asman Boedi Santoso Ranakusuma, Imam SubeKi
PENDAHULUAN
DIABETES INSIPIDUS SENTRAL
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan. Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai
Diabetes insipidus sentral (DIS) disebabkan oleh
penyebab yang dapat mengganggu mekanisme neurohy-
kegagalan penglepasan hormon anti- diuretik ADH yang secara fisiologi dapat merupakan kegagalan sintesis atau
pophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan
penyimpanan. Secara anatomis, kelainan
kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus idiopatik yang d.apat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin.
akibat kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular dan
ini terjadi
filiformis hipotalamus yang menyintesis ADH. Selain itu DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan akson hipofisis posterior di manaADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi j ika dibutuhkan.
GEJALA KLINIS Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupnn produksi urin per 24 jam sangat banyak, dapat mencapai 5 - I 0 liter urin biasanya sangat rendah, berkisar antara I 001-1 005 atau 50-200 mOsmoUkg berat badan. Selain poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejala-gejala lain kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya gangguan pada mekanisme neurohy-pophys eal-renal refl ex tersebtt. Selama pusat rasa haus pasien tetap utuh, konsentrasi zat-zal yang terlarut dalam cairan tubuh akan mendekati nilai normal , B ahaya baru t imbul jka intake air tidak dapat mengimbangi pengeluaran urin yang ada dengan akibat sehari. B erat j enis
Secara biokimiawi, DIS teriadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak
mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi merupakanADH yang tidak dapat berfungsi sebagaimana
ADH yang normal. Sintesis neurofisin suatt binding
protein yang abnormal, juga dapat mengganggu ADH. Selain itu diduga terdapat pula DIS akibat adanya antibodi terhadap ADH. Karena pada pengukuran kadar ADH dalam serum secara radio immunoassay, yang menjadi marker bagi ADH adalah penglepasan
pasien akan mengalami dehidrasi dan peningkatan
neurofisin yang secara fisiologis tidak berfungsi, maka kadar ADH yang normal atau menfngkat belum dapat memastikan bahwa fungsi ADH itu adalah normal atau meningkat. Termasuk dalam klasifikasi DIS adalah diabetes insipidus yang diakibatkan oleh kerusakan
konsentrasi zat-zat yang terlarut.
osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior dan
disebut Verney.s omoreceptor cells yang berada di luar sawar darah otak.
PATOGENESIS Secara patogenesis diabetes insipidus dibag.i menjadi 2
DIABETES INSIPIDUS NEFROGENIK
jenis, yaitu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.
Istilah diabetes insipidus nefrogenik (DN) dipakai pada
2048
2049
DIABETES INSIPIDUS
diabetes insipidus yang tidak responsif terhadap ADH eksogen. Secara fisiologis DIN dapat disebabkan oleh : . Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient
.
osmotik dalam medula renalis.
Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan di mana ADH berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
Fisiologi Mekanisme Ekskresi Air Dalam mengatur ekskresi air, ginjal mengikut sertakan mekanisme n e ur o hy p op hy s e al - r en a I r efl ex. Komp onen humoral dalam mekanisme ini adalahADH yang disebut juga arginin vasopresin (AVP). AVP disintesis oleh suatu
molekul prekursor dalam nukleus supraoptik, paraventrikular dan sedikit pada nukleus filiformis hipotalamus. Setelah disintesis, AVP dibungkus ke dalam semac am neurosecretoy granules pada retikulum
Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat
haus, sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Seperti pada mekanisme penglepasan AVP, pengaturan osmotik rasa haus dipengaruhi oleh vol-
ume sel pusat haus di hipotalamus. Ambang rangsang pusat haus (295 mOsmolikg berat badan) temyata lebih tinggi daripada ambang rangsang osmotik penglepasan AVP (280 mOsmol,/kgberatbadan). Hal inimerupakan suatu perlindungan terhadap deplesi air.
Terdapat juga suatu jalur non-osmotik terhadap stimulasi pusat haus. Diduga sistem renin-angiotensin merupakan salah satu mediator sistem ini dan telah
dibuktikan renin atau angiotensin eksogen dapat menimbulkan rasa haus dan nefrektomi dapat menghilangkan rasa haus akibat deplesi ECF.
di mana setiap granul
tersebut mengandung baik AVP maupun suatu molekul caruier
endoplasmik
MEKANISME HAUS
yar.g disebut neurofisin. Granul-granul tadi ditransportasikan melalui akson neuron hipotalamus yang berakhir pada hipofrsis posterior. Penglepasan AVP oleh hipofrsis posterior terjadi melalui proses eksositosis di mana baik A VP maupun neurofisin dilepaskan ke dalam sirkulasi.
REGULASI ARGININ VASOPRESIN (AVP) SECARA OSMOTIK DAN NON.OSMOTIK
Dalam mengatur sintesis dan penglepasan AVP dipakai dua macam jalur yaitu jalur osmotik dan nonosmotik. Jalur osmotik mengikut sertakan Verneyb osmoreceptor cells yang berada di hipotalamus anterior, di luar sawar
darah otak. Dengan adanya deplesi caitar', terjadi peningkatan osmolalitas cairan ekstra sel (ECF) yang menye- babkan penunman volume sel-sel osmoreseptor sehingga teriadi stimulasi listrik yang mengakibatkan depolarisasi membran sel, eksositosis dan penglepasan A VP. Sebaliknya jika terjadi pemasukan air maka osmolalitas
ECF akan menurun dan pengembangan sel-sel osmoreseptor akan menghambat te{adinya stimulasi listrik dan depolarisasi membran sel. timulasi non-osmotikutama
yang menyebabkan penglepasan AVP tanpa adanya perubahan osmolalitas ECF adalah deplesi volume ECF dan hipotensi. Stimulasi lain adalah keadaan-keadaan
di mana teriadi peningkatan stimulasi adrenergik termasuk rasa nyeri, takut, payah jantung dan hipoksia. Evolusi fi logenetik j alur non-osmotik agaknya merupakan bagian yang integral dengan reaksi terhadap stress. Dengan demikian AVP akan dilepaskan juga pada keadaan s/ress di mana selain berfungsi sebagai ADH, AVP juga mempunyai efek vasokonstriksi.
MEKANISME AKSI SELU LAR ARGININ VASOPRE.
srN (AVP) Mekanisme yang pasti bagaimanaAVP dapat meni.ngkatkan permeabilitas epithel col- lecting duct terhadap air sampai sekarang belum ielas. Kemungkinan setelah dilepaskan dari
hipofrsis posterior, AVP masuk ke dalam sirkulasi ginjal
dan terikat pada reseptornya di sisi contraluminal (plasma) collecting duct. Penggabungan AVP dengan
reseptomya mengaktifkan adenilsiklase membran sel yang
mengkatalisis perubahan AIP menjadi oAMP. oAMP protein kinase kemudian muncul untuk melakukan
fosforilasi protein membran sel yang kemudian meningkatkan permeabilitas dengan cara melebarkan ukuran pori dan memperbanyakjumlah pori. Terdapat suatu
fosfatase pada membran yar,g dapat mengembalikan proses tersebut di atas. Integritas mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan faktor yang penting pula dalam
proses peningkatan permeabilitas selain proses pembentukan cAMP.
Demeklotetrasiklin, hipokalemia, lithium dan prostaglandi n dapat juga mengganggu pembentukan cAMP.
MEKANISME KONSENTRASI
ADH meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan collecting duct terhadap air sehingga dapat berdifusi pasifakibat adanya perbedaan konsentrasi. Dengan demikian jika terdapatADH dalam sirkulasi, misalnya pada keadaan hidropenia, akan tejadi difusi pasif di mana air keluar dari tubulus distal sehingga terjadi keseimbangan secara
osmotik antara isi tubulus dan korteks yang isotonis. Sejumlah kecil urin yang isotonis memasuki collecting duct
melewati medula yang hipertonis. Karena ADH juga
20s0
METABOLIKENDOKRIN
menyebabkan keseimbangan osmotik antara c o I I ect ing ductdan jaringan interstisial medula, maka air secara progresif akan direabsorbsi kembali sehingga terbentuk urin yang terkonsentrasi.
MEKANISME DILUSI (PELARUTAN) Jika ADH tidak disekresi, misalnya pada orang yang terhidrasi baik, struktur-struktur distal tetap tidak permeabel terhadap air. Dengan demikian sewaktu urin yang hipotonis melewati tubulus distal, Na+ akan lebih banyak dikeluarkan sehingga osmolalitas urin semakin
berkurang. Selanjutnya urin yang sangat hipotonis memasuki co llecting duct yang juga relatif tidak permeabel sehingga memungkinkan ekskresi sejumlah besar urin yang
terdilusi.
DIAGNOSIS BANDING ANTARA POLIURIA DAN DIABETES INSIPIDUS
. .
Apakah bahan utama yang membentuk urin pada poliuria tersebut adalah ak tanpa atau dengan zat-zat yang terlarut.
Apakah yang menyebabkan poliuria tersebut adalah pemasukan bahan tersebut yang berlebihan ke ginjal atau pengeluaran yang.berlebihan. Apakah yang menyebabkan diuresis atau ekstrarenal.
berat jenis urin yang mendeteksi iso-osmotik adalah diuresis zat-zat terlarut atau kombinasi air dan zat-zat terlarut.
PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS DIABETES INSIPIDUS Setelah dapat ditentukan bahwa poliuria yang terjadi adalah diuresis airmurni, maka langkah selanjutnya adalahuntuk menentukan jenis penyakit yang menyebabkannya. Untuk itu tersedia uji-uji coba berikut :
Hickey-Hare attu Carter-Robbins test, pembeian infus larutan garam hipertonis secara cepat pada orang normal
Pada tahap pertama perlu dijawab pertanyaan seperti di bawah ini :
.
terlarut akan membuat berat jenis urin berkisar antara 1010 atau 300 mOsmol/kg berat badan, yang jarang lebih tinggi lagi karena juga disebabkan akibat aliran urin yang amat cepat sehingga reabsorbsi airjuga terbatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa berat jenis atau osmolalitas urin yang sangat rendah adalah diuresis air murni sedangkan
ini faktor renal
Pertama ditentukan apakah diuresis tersebut disebabkan oleh air atauzat-zatyang terlarut jika ternyata
zat-zat yang terlarut maka langkah selanjutnya adalah menentukan j enis zat-zat yang terlarut tersebut. Jika jenis diuresis sudah dapat ditentukan berup a air, zat- zattertentu atau kombinasi air d,an zat-zat yang tertentu, maka
akan menurunkan jumlah urin, sedangkan pada diabetes insipidus urin akan menetap atau bertambah. Pemberian pitresin akan menyebabkan turunnya jumlah urin pada pasien DIS dan menetapnya jumlah urin pada pasien DIN. Kekurangan pada pengujian ini adalah : pada sebagian orang normal, pembebanan larutan garam
.
akan menye- babkan terjadinya diuresis solute yang
.
komplit.
Fluid deprivation mentrutMartin Goldberg. . Sebelum penguiian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan kandung kencingnya kemudian
selanjutnya ditentukan apakah karena terjadi suatu pemasukan yang berlebihan atau pengeluaran yang
.
berlebihan. Selanjutnya harus dipisahkan apakah gejala ini disebabkan oleh faktor renal atau ekstrarenal. Caru yang paling sederhana untuk menentukan apakah pasien poliuria mengalami diuresis air atav zat-zat yang terlarut adalah dengan pengukuran berat jenis urin atau lebih baik lagi osmolalitas urin. Secara umum diuresis air
.
adalah
l00l
atau 50 mOsmollkg berat badan. Hal ini
Fasien dimintabuang airkecil sesering mungkinpaling
sedikit setiap jam. Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 mViam atau setiap 3 jambiladiuresis kurang dari 300 mil
jam.
.
disebabkan karena aliran urin yang sangat cepat menyebabkan reabsorbsi zat-zat yang terlarut sangat terbatas sehingga walaupun disebut diuresis air murni selalu masih ada walaupun sangat minim zat-zat terlarut yang keluar bersama urin. Pada diuresis umumnya zat-zat
ditimbang berat badahnya, diperiksa volume dan berat jenis atau osmolalitas urinpertama. Pada saat ini diambil sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.
. Setiap sampel urin sebaiknya
mlrni (pure water diuresls) oleh sebab apapun akan mempunyai beratjenis kurang dari 1005 ataukurang dari 200 mOsmoVkg beratbadan. Nilai terendahpada manusia
akan mengaburkan efek ADH. interpretasi penguiian coba ini adalah all or none sehingga tidak dapat membedakan defect partial atau
diperiksa
osmolalitasnya dalam keadaan segar atau kalau hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta disimpan dalam lemari es. Pengujian dihentikan setelah 16jam atau berat badan menurun 3-4o/o tergantung mana yang terjadi lebih dahulu.
Penguj ian dilanjutkan dengan
:
Ujinikotin
.
Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-
2051
DIABETESINSIPIDUS
.
dalam sebanyak 3 batang dalam waktu l5-20 menit.
Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap sampel urin sampai osmolalitas/berat diberikan nikotin.
Kemudian uji coba diteruskan dengan
B.
c.
:
D.
UjiVasopresin:
. .
BerikanPitresindalamminyak5 m, intramuskular. Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada diuresis berikutnya atau 1 jam kemudian.
Pada Orang Normal Akan terjadi peningkatan osmolalitas urin maksimal sampai 1000 mOsmol/kg berat badan. Tidak adanya peningkatan osmolalitas lebih lanjut setelah pemberian nikotin dan pihesin menunjukkan adanya stimulasi penglepasan ADH yang maksimal dan respons ginjal yang maksimal terhadap
F.
ADH. H
Defecf Osmoreseptor P ada
defect parsial terjadi sedikit peningkatan osmolalitas
urin, pada defect yar,g komplit tidak terjadi peningkatan osmolalitas urin sama sekali. Peningkatan osmolalitas urin nikotin dan pitresin menunjukkan bahwa stimulasi non-osmotik dapat menyebabkan peningkatan sekresi ADH dan tubulus ginjal belum jenuh oleh ADH setelah pemberian
endogen.
Defect Reglo hypoth.l.miconeurohypophyse./1 s Pada partial Jluid deprivation defect akan terjadi peningkatan osmolalitas urin sedikit, sedangkan pada defect komplit os-molalitas tidak akan meningkat sama sekali. Nikotin tidak menimbulkan respons apa-apa, akan tetapi pitresin akan meningkatkan osmolalitas urin. Hal ini menunjukkan adanya defect sentral dan respons tubular yang normal.
Defecf Respons Tubular Baik deprivation test, nikotin dan pitresin, tidak akan menghasilkan peningkatan osmolalitas win pada defect tubular komplit. Pada partial /luid deprivation defect akan menyebabkan sedikit peningkatan os-molalitas urin sedangkan nikotin dan Setelah dapat ditentukan apakah diabetes insipidus yang diderita merupakan DIS atau DIS
maka selanjutnya perlu dicari etiologinya walaupun
sebagian besar idiopatik. Untuk
itu diperlukan
anamnesis mengenai penyakit keluarga, trauma, operasi, radiasi, penyakit dahulu dan pemeriksaan khusus lainnya
seperti kampimetri, foto sela tursika, foto BNO-IVP, ultrasonografr, scanning dan lain-Iain atas indikasi. Daftar penyebab diabetes insipidus dapat dilihat seperti dalam Tabel 1.
Bentuk idiopatik Bentuk non-familiar Bentuk familiar Pasca hipofisektomi Trauma Fraktur dasar tulang tengkorak Tumor Karsinoma metastasis Kraniofaringioma Kista supraselar Pinealoma Granuloma Sarkoid Tuberkulosis Sifilis lnfeksi Meningitis Ensefalitis Landry-Guillain-Barre's Syndrome Vaskular Trombosis atau perdarahan serebral Aneurisma serebral Post paftumnecrosls (Sheehan's syndrome) Hlstlocyfosls Granuloma eosinofilik Penyakit Schuller-Chistian
-
jenis urin menurun dibandingkan dengan sebelum
-
-
-
PENGOBATAN DIABETES INSIPIDUS Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial dengan mekanisme rasa haus yang utuh tidak diperlukan terapi apa-apa selama gejala nokturia dan poliuria tidak mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari. Tetapi pasien dengan gangguan pada pusat rasa haus, diterapi dengan
pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Inijuga berlaku bagi orang-orang yang dalam keadaan normal hanya menderita DIS parsial tetapi pada suatu saat kehilangan kesadaran atau tidak dapat berkomunikasi. Pada DIS yang komplit biasanya diperlukan terapi
hornron pengganti (hormonal replacemen). DDAVP (l - d e s amin o - I - d - ar ginin e v as opr es s in) merupakan obat pilihan utama untuk DIS. Obat ini merupakan analog arginine vasopressin manusia sintetik, mempunyai lama kerja yang panjang dan hanya mempunyai sedikit efek samping jarang menimbulkan alergi dan hanya mempunyai sedikit pres sor effec). Vas opress in tannate dalam minyak
(campuran lysine dan arginine vasopressin) memerlukan suntikan setiap 3-4 har| Vasopressin dalam aqua hanya bermanfaat untuk diagnostik karena lama kerianyayarry pendek. Selain terapi hormon pengganti dapatjuga dipakai terapi adjuvant yang secara fisiologis mengatur keseimbangan air dengan cara : . Mengurangi jumlah air ke tubulus distal dan collecting duct.
2052
. .
METABOLIKENT'OKRIN
Memacu penglepasan ADH endogen. Meningkatkan efekADH endogen yang masih ada pada tubulus ginjal.
Klofibrat Seperti klorpropamid, klofibrat juga meningkatkan penglepasan ADH endogen. Kekurangan klofibrat dibandingkan dengan klorpropamid adalah harus diberikan kali sehari, tetapi tidak menimbulkan hipoglikemia. Efek
Obat-obatan adjuvan yang biasa dipakai adalah:
4
Diuretlk Tiazid
gangguan fungsi hati. Dapat dikombinasi dengan tiazid dan klorpropamid untuk dapat memperoleh efek maksimal dan mengurangi efek samping pada DIS parsial.
Menyebabkan suatu natriuresis sementara, deplesi ECF
ringan dan penurunan GFR. Hal ini menyebabkan peningkatan reabsorbsi Na* dan air pada nefron yang lebih proksimal sehingga menyebabkan berkurangnya air yang
masuk ke tubulus distal dan collecting duct. Tetapi penunrnan EABV (Effective arterial bloodvolume) dapat menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik. Obat ini dapat dipakai pad a DIS maupun DIN.
Meningkatkan efek ADH yang masih ada terhadap t ubulus ginjal dan mungkin pula dapat meningkatkan penglepasan ADH dari hipofisis. Dengan demikian obat ini tidak dapat dipakai pada DIS komplit atau DIN. Efek samping yang harus diperhatikan adalah timbulnya hipoglikemia. Dapat dikombinasi dengan tiazid untuk mencapai efek maksimal. Tidak ada sulfonilurea yang lebih
klorpropamid pengobatan diabetes insipidus.
Penyakit ginjal kronik
B
c
D. E.
F.
- Penyakit ginjal polikistik - Medullary cystlc dlsease - Pielonefritis - Obstruksi ureteral - Gagal gainjal lanjut Gangguan elektrolit - Hipokalemia - Hiperkalsemia Obat-obatan Litium Demeklosiklin Asetoheksamid Tolazamid Glikurid Propoksifen Amfolarisin Vinblastin Kolkisin Penyakit Sickle Cell Gangguan diet lntake air yang berlebihan Penurunan rntake NaCl Penurunan ,nfake protein Lain-lain Multipel mieloma Amiloidosis Penyakit STbgren's Sarkoidosis
-
Karbamazepin Suatu antikonvulsan yang terutama efektif dalam pengobatan tic douloureel.r, mempunyai efek seperti klofibrat tetapi hanya mempunyai sedikit kegunaan dan tidak dianjurkan untuk dipakai secara rutin. REFERENSI
Klorpropamid
efektif dan kurang toksik dibandingkan
samping lain adalah gangguan saluran cerna, miositis,
dengan
Goldberg, Martin. Abnormalities in the renal excretion of water pathophysiology and differential diagnosis. Med Clin North Am, Philadelphia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Co; 1963; 47:4:975-26. Leaf, Alexander. Diabetes insipidus. In: Cecil Textbook of Medi-
cine. l5th ed, Tokyo:WB Saunders Co-lgaku Shoin Ltd; t979.p.20r0-1. Singer, Irwin. Differential diagnosis of polyuria and diabetes insipi-
dus. Med Clin North Am, Philadelphia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Co, March; 1981 :65:2:303-20. Schrier, Robert W, Leaf, Alenxander. Effect of hormones on water sodium chloride and potassium metabolism. In: William's (ed), Textbook of Endocrinology, Sixth ed, Tokyo: WB Saunders Co-lgaku Shoin Ltd; 1981.p.1032-6.
319 HORMON STEROID Sjafii Piliang, Chairul Bahri
bertahap mengalami involusi, mengakibatkan pemrrunan berat adrenokortikal pada tiga bulan pertama setelah kelahiran. Kelenjar adrenal relatif besar semasa fetus dan cepat menurun pada beberapa bulan pertama setelah lahir. Pada tiga tahun berikutnya, korteks adrenal'dewasa berkembang dari sel-sel lapisan luar korteks adrenal dan
KELENJARADRENAL
Kelenjar adrenal terdiri dari dua lapis:. korteks dan medulla. Korteks adrenal menghasilkan banj;ak hofttlon steroid, dan yang terpenting adalah kortisol, aldosteron, dan androge4 adreaal, sedangkafi -medulla adrenal menghasilkan katekolamin. Penyakit-penyakit kelenjar
berdiferensiasi menjadi tiga zona sel-sel : zona glomerulosa (lapisan luar), zona fasikulata (lapisan
adrenal menyebabkan endokrinopati seperti sindrom Cushing, penyakit Addison, hiperaldosteronisme, dan
tengah), dan zona retikularis (lapisan dalam). Kelenjar adrenal terdiri dari sepasang, berbentuk piramid, terletak retroperitoneal di bagian atas atau medial
sindrom hiperplasia adrenal kongenital.
Kemajuan dalam pros"edur diagnostik telah
ginjal. Kapsul fi$rosa menyelimuti kelenjar adrenal. Bagian luar atau korteks adalah padat dair merupakan kira-kira
menyederhanakan evaluasi penyakit-penyakit adreno-
kortikal, androgen, dan ACTH, dan memberikan
80-90 % berat adrenal normal, menghasilkan steroid. Bagian dalam atau medulla adalah lembut, menghasilkan katekolamin. Berat setiap kelenjar adrenal kira-kira 5 gram. Korteks adrenal dialiri dan menerima suplai arteri utamanya
kemudahan, lebih cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis. Kemajuan dalam bidang bedah dan pengobatan
telah memperbaiki pandangan dokter maupun pasien terhadap penyakit-penyakit ini. Tulisan ini membatasi pemb icaraat padasteroid6genesis, hiperkortisolisme dan hipokortisolisme.
dari cabang arteri phrenicus inferioE arteri renalis, dan aorta. Arteri-arteri kecil ini membentuk pleksus arteri dalam kapsul dan kemudian memasuki sistem sinusoid yang menembus korteks dan medulla, mengalir kedalam vena sentralis di
ANATOMI
setiap kelenjar adrenal. Vena adrenalis kanan mengalir langsung kedalam bagian porterior vena kava, sedangkan
Pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 kehidupan fetus,
vena adrenalis kiri memasuki vena renalis kiri. Gambaran anatomik ini membuat lebih mudah melakukan kateterisasi vena adrenalis kiri dari pada vena adrenalis kanan.
sel-sel mesoderm koelomik dinding perut belakang mendekati mesoderm, membentuk sekelompok sel antara mesenterium dan genital ridge disebu;t korteks adrenal fetus. Lima minggu kemudian, sel-sel basofilik kecil muncul di sekitar korteks adrenal fetus untuk membentuk korteks
KORTE.KSADRENAL
adrenal permanen. Pada minggu ke-7 perkembangan
Sel-sel korteks adrenal dapat juga mengambilnya dari sirkula
embrio, korteks adrenal fetus disusupi sel-sel yang bermigrasi dari neural crest yaitu simpatogonia menjadi
bahan dasar semua
medula adrenal. Selanjutnya medula adrenal membagi diri membentuk sel ganglion dan sel kromatin. Sel-sel kromatin menyekresi katekolamin. Adrenal fetal tetap dipertahankan sampai lahir, dan pada waktu lahir adrenal fetal secara
diisolasi dari korteks 'adrenal tetapi ada tiga yang paling penting yaitu :
Kortisol (hidrokortison) disekresi
205
setiap hari, umumnya
2054
METABOLIKENDOKRIN
berasal dari zona fasikulata (lapisan tengah) danzonazona retikularis (lapisan dalam) korteks adrenal.
Dehidroepiandrosteron @HEA) disekresi oleh lapisan yang sama dan kira-kira dalam jumlah yang sama dengan
hiperplasia adrenal lipoid kongenital dengan defisiensi berat kortisol dan aldosteron pada waktu lahir.
Metabolisme Kolesterol
kortisol.
Aldosteron disekresi oleh zona glomerulosa (lapisan luar) yang juga memproduksi beberapa jenis kortikosteroid lain dan sedikit testosteron dan esterogen.
Pelepasan kortikosteroid ke dalam aliran darah berlangsung secara intermiten, menghasilkan fase lonjakan mendadak dalam plasma dan fase penurunan.
Zona dan Steroidogenesis Zona-zona korteks adrenal yang terpisah mensintesis hormon spesiflft, menunjukkan kemampuan enzimatik setiap zona unfuk mentransformasi dan hidrolisis steroid tertentu.
Zona luar (glomerulosa) mengandung enzim untuk biosintesis aldosteron, dan zona dalam (fasikulata dan retikularis) adalah tempat biosintesis kortisol dan androgen.
Oleh karena perbedaan enzimatik antara zona glomerulosa dan dua zona sebelah dalam, fungsi korteks adrenal terbagi dua unit terpisah, dengan pengaturan dan
produk sekretori berbeda. Zona glomerulosa, yang menghasilkan aldosteron, bila terjadi gangguan Aktivitas
17o-hydroksilasi maka tidak dapat mensintesis 17 a-hidroksipregnenolon dan I 7cr-hidroksiprogesteron, yang menjadi prekursor kortisol dan androgen adrenal. Sintesis aldosteron oleh zona ini terutama diatur oleh sistem renin-angiotensin dan kalium.
Zona fasikulata dan zona retikularis menghasilkan kortisol, androgen adrenal, dan sejumlah kecil esterogen.
Zona-zona
mitokondria. Mutasi pada gen StAR mengakibatkan
ini, terutama diatur oleh ACTH, tidak
mempunyai gen CYPIlB2 (enkod P450aldo) dan tidak dapat merubah I 1-deoksikortikosteron menjadi aldosteron.
Ambilan dan Sintesis Kolesterol Sintesis kortisol dan androgen oleh zona fasikulata dan retikularis bermula dari kolesterol unhrk sintesis semua hormon steroid. Lipoprotein plasma merupakan sumber utama kolesterol adrenal, juga terjadi sintesis steroid dalam
kelenjar adrenal dari asetat. Lipoprotein densitas rendah (LDL) memasok kira-kira 80% kolesterol yang dikirim ke kelenjar adrenal. Dalam kelenjar adrenal tersedia sejumlah kecil kolesterol bebas dalam pol sebagai cadangan untuk
sintesis cepat steroid bila adrenal dirangsang. Bila ada perangsangan, juga te{adi peningkatan hidrolisis kolesterol ester cadangan menjadi kolesterol bebas, peningkatan
Kolesterol yang berasal dari diet dan dari sintesis endogen
merupakan substrat untuk steroidogenesis. Ambilan kolesterol oleh korteks adrenal diperantarai oleh reseptor LDL. Perangsangan terus-menerus korteks adrenal oleh hormon adrenokortikotropik (ACTH), menjadikan jumlah reseptor LDL bertambah. Konversi kolesterol menjadi pregnenolon adalah rate-limiting step pada steroidogenesis adrenal dan tempat utama kerja ACTH pada adrenal. Langkah ini te{adi dalam mitokondria dan melibatkan dua hidroksilasi dan kemudian pemecahan rantai sisi kolesterol. Satu enzim, CYPI lA, mengantarai proses ini, dan setiap
langkah membutuhkan molekul oksigen dan sepasang elekhon. Elektron diberikan olehNADPH ke adrenodoksin,
suatu besi-sulfur protein, dan akhirnya ke CYPIlA. Adrenodoksin reduktase dan adrenodoksin juga terlibat dalam kerja CYP1 lBl. Elektron diangkut ke mikrosom sitokrom P450 melibatkan P450 reduktase, suatu flavoprotein berbeda dari adrenodoksin reduktase. Pregnenolon
kemudian diangkut keluar mitokondria sebelum berlangsung sintesis steroid.
STEROID Nomenklatur steroid Steroid mengandung struktur dasar inti siklopentoperhidrofenenten yang terdiri dari tiga cincin 6-karbon heksan dan satu cincin 5-karbon penten (Gambar 1). Atom karbon dinomori berurutan mulai dengan cincinA. Steroid adrenal mengandung 19 dan 2l atom karbon. Steroid C19 mempunyai gugus metil pada C,, dan C,r. Steroid C19 dengan satu gugus keton pada C,, dinamakan
17-ketosteroid. Steroid C19 mempunyai Aktivitas predominan androgenik. Steroid C2l mempunyai saturantai sisi 2 karbon (Cro dan Cr,) melekatpadaposisi 17 dan gugus metil pada C,, dan C,r. Steroid C2l dengan gugus hidroksil
pada posisi 17 dinamakan 17-hidroksikortikosteroid. Steroid C21 mempunyai kandungan glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid adalah steroid C2 1 yang
bekerja predominan pada metabolisme intermedier, sedangkan mineralokortikoid adalah steroid C2l yang beke{ a predominan pada metabolisme kalium dan natrium.
Sferordogenesis
ambilan kolesterol dari lipoprotein plasma, dan peningkatan
kolesterol dalam kelenj ar adrenal. Respon akut terhadap stimulus steroidogenik diantarai oleh steroidogenic acule regulatory protein
2 dan3. Kebanyakan enzimyang terlibat pada steroido-
(StAR). Fosfoprotein mitokondria ini meningkatkan transpor
mitokondria, gen CYP11A, terletak pada kromosom
kolesterol dari lapisan luar ke lapisan dalam membran
enkod enzim P4 5 1scc, enzimyang bertanggung jawab pada
sintesis
Skema sintesis steroidogenik adrenal terterapada gambar genesis adalah keluarga sitokrom P450 oksigenase. Dalam 15,
2055
HORMONSTEROID
pemecahan rantai sisi kolesterol. Gen CYP1lBl, yang terletak pada khromosom 8, enkod enzim P450cl I , enzim mitokondria lain, yang mengantarai 1 1p-hidrosilasi di zona
retikularis dan zona fasikulata. Reaksi ini merubah 1 I -deoksikortikosteron menjadi kortikosteron. Dalam zona glomerulosa, gen CYP 1 I 82, juga terletak pada khromosom 8, enkod enzim P45\aldo,juga dikenal sebagai aldosteron sintase. Enzim P450aldo mengantarai 1 1p-hidroksilasi,
Sintesis Kortisol Sintesis kortisol berlangsung melalui hidroksilasi-I7o pregnenolon oleh gen CYP 17 dalam retikulum endoplasmik membentuk I 7cr-hidroksipregnenolon. Steroid ini kemudian diubah menjadi I 7cr-hidroksiprogesteron setelah ikatan
gatda 5,6 di ubah menjadi ikatan ganda 4,5 oleh 3phidroksisteroid dehidrogenase: As'a-oros teroid isomeras e enzyme complex, yang juga terletak dalam retikulum polos
l8-hidroksilasi, dan 18-oksidasi untuk merubah 11 -+ k o r t i k o s t e r o n -+ 1 8 hidroksikortikosteron -+aldosteron (Gambar 2). Dalam retikulum endoplasmik, gen CYPl7, yang terletak pada
endoplasmik. J alrttr (p athw ay) altematif yang kurang penting pada zona fasikulata dan retikularis adalah dari pregnenolon -) progesteron -+ 17o-hidroksiprogesteron (Gambar 1).
kromosom 1 0, safu enzim tunggal, enkod enzim P4 5 0c I 7, yang mengantarai aktivitas I 7a-hidroksilase dan aktivitas
mikrosom, melibatkan 2l-hidrosilasi oleh CYP21A2 dari lTcr -hidroksiprogesteron membentuk I 1-deoksikortisol, senyawa ini selanjutnya dihidroksilasi dalam mitokondria
deok sik ortik osteron
11 ,20-liase,dan gen CYP2IM enkod enzim P450c21,yarg mengantarai 2l-hidrosilasi progesteron dan 2lhidroksiprogesteron. Aktivitas 3 B-hidroksisteroid
dehidrogenase: As'a-isomerase diantarai oleh enzim tunggal non-P450 mikrosomal. 21
cH.
Langkah berikutnya, yang juga berlangsung di
oleh I I p-hidroksilase (CYP I 1B1) membentukkortisol. Zona
fasikulata dan retikularis jugu menghasilkan I l-deoksikortikosteron (DOC),
l8 hidroksidoksikor-
tikosteron, dan kortikosteron. Bila tidak ada gen CYPl l82 mitokondria akan terhambat produksi aldosteron oleh zona retikularis dan fasikulata korteks adrenal ini (gambar 2). Sekresi kortisol pada keadaan basal (nonstres) berkisar 8-25 mg/dl (22-69 mmoVdl), dengan rata-rata,kira-kira
9,2m/dlQ5mmoVdl).
C2lSteroid(Progesteron)
ClgSteroid(Dehidroepiandrosteran)
Gambar 1. Struktur Steroid Adrenokortikal. Huruf-huruf pada formula I menandai cincin-cincin A, B, C dan D, sedangkan angka menunjukkan posisi karbon (C) pada struktur steroid C-21. Gugus metil (posisi 18 dan 19) biasanya ditunjukkan dengan garis lurus seperti pada formula ll. Dehidroepiandrosteron (formula ll) adalah steroid C-19 yang dibentuk dengan melepaskan rantai sisi steroid C-20 dan C-21 (progesteron) dan digantikan dengan atom O
Sintesis Androgen Produksi androgen adrenal dari pregnenolon dan progesteron (Gambar 2) membutuhkan I 7cr-hidroksilase
(CYP17) dan tidak berlangsung
di
zona glomerulosa.
Kolesterol
t, I
11
-v56 Pregnenolon
+
l7*lidroksipregnenolon )
,r"ni'"r".
+
rz*rioror
+
-Deoksikortikosteron
11-Deoksikortisol
t,
7
DHEA-sulfat
nno.'Jt'"n"oion
i.
I. Kortikosteron
g
DHEA
tlo
Kortisol
Gambar 2. Biosintesis steroid dalam zona fasikulata dan zona retikularis korteks adrenal. Produk sekresi utama diberi garis bawah Enzim yang bekerja untuk reaksi ini diberi nomor pada gambar. (1) P450scc, aktivitas kolesterol 20,22-hidroksilase'.20,22 desmolase; (2) 3pHSD/|SOM, aktivitas 3hidroksisteroid dehidrogenase:65-oxosteroid isomerase; (3) P450c21, aktivitas 21o,-hidroksilase; (4) P450c11 , aktivitas 11p-hidroksilase; (5)P450c17, aktivitas 17cr-hidroksilase; (6) P450c17, aktivitas 17,21-lyaseldesmolase; 7) sulfokinase.
2056
METABOLIKENDOKRIN
Produksi utama androgen adalah dengan merubah
17o-hidroksipregnenolon menjadi senyawa l9karbon (senyawa C-19): DHEA dan DHEA-sulfat.
Kolesterol I
Y Prognenolon
l7u-hidroksipregnenolon mengalami pemindahan dua
+
Progesteron
+
11-Deoksikortikosteron
karbon rantai sisinya pada posisi C,, oleh 172O-desmolase mikrosom (gen CYP 17), menghasilkan
I
v
DIIEA
paso"tao
Kortikosteron
dengan gugus keto pada C,r. DHEA kemudian diubah menjadi DHEA-sulfat oleh adrenal sulfokinase yang
II
reversibel. Androgen adrenal utama lainnya, an dr o s t e n e d i o n, dihasllkan terb anyak dari DHEA, diantarai oleh gen CYPI7, dan bisa dari l1uhidroksiprogesteron, juga oleh gen CYP 17.
1
p+so"tdo
8-Hidroksikortikosteron
tI
p+so"too
Aldosteron
Gambar 3. Biosintesis Steroid Dalam Zona Glomerulosa.
Androstenedion dapat dirubah menjadi testosteron,
Langkah-langkah dari kolesterol menjadi'11-deoksikortokosteron adalah sama seperti pada zona fasikulata dan zona retikularis' Zona glomerulosa tidak mempunyai aktivitas 17u-hidroksilase dan tidak dapat menghasilkan kortisol. Hanya zona glomerulosa dapat merubah kortikosteron menjadi 18-hidroksikortikosteron dan aldosteron. Satu enzim tunggal P450aldo mengkatalisa konversi
meskipun sekresi testosteron adrenal ini dalam jumlah kecil. Androgen adrenal, DHEA dan DHEA-sulfat, dan
androstenedion, mempunyai aktivitas instrinsik androgenik minimal, dan peran androgenesitas melalui dan dehidrotestosteron androgen yang lebih poten. Meskipun DHEA dan DHEA-sulfat disekresi dalam jumlah besar,
konversi perifer menjadi testosteron
11-deokaikortikosteron
-+
kortikosteron
-)
18-
hidroksikortikosteron -+ aldosteron.
androstenedion secara kualitatif lebih penting, oleh karena siap di rubah di perifer menjadi testosteron. Pengukuran DHEA sulfat bisa menggunakan indeks sekresi androgen adrenal, hanya sedikit DHEA sulfat dibentuk dalam gonad dan waktu-paruh (half-life) DHEA sulfat adalah 7-9 iam. Kadar DHEA sulfat menggambarkan produksi DHEA dan
Sekresi aldosteron dikontrol sebagian besar oleh angiotensin II dari sistem renin-angiotensin. Renin berasal dari apparatus jukstaglomerular pada tubulus proksimal renalis. Sekresi renin meningkat dengan penurunan perfusi ginjal, yang dirasakan oleh macula densa, dan beke{a pada substrat renin plasma yang beredar yang dilepaskan dari hati. Ini membenhrk angiotensin I (suatu decapeptida), dan angiotens in- conv erting enzyme (ACE) merubah menjadi
aktivitas DHEA sulfat.
II
(suatu octadecapeptida). Angiotensin menyebabkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron.
II
PENGONTROLAN SEKRESI KORTIKOSTEROID
angiotensin
Struktur korteks.adrenal dipertahankan oleh ACTH, yang dan
Sekresi aldosteron juga dirangsang oleh banyak keadaan termasuk posisi berdiri, perdarahan, dehidrasi, kehilangan atau pembatasan pemasukan natrium dan
.
pemberian kalium. Peningkatan kadar kalium menyebabkan sekresi aldosteron secara langsung danjuga sekunder via
juga merangsang sintesis dan pelepasan kortisol, DHEA kortikosteroid lainnya. Sekresi kortisol diatur oleh tiga sistem yang bekerja secara serentak :
Pelepasan kortisol berlangsung bergelombang sehingga terjadi kadarplasma maksimal padaj
danmenurun
\
renin. ACTH juga mempunyai pengaruh kecil (minor) terhadap sekresi aldosteron. Pengaruh lain termasuk perangsangan p-adrenergik dari renin, dan serotonin pada aldosteron.
dicetuskan-oleh cahaya, melalui hipotalamuS, yang melepaskan corticotropin releasing faclor (CRF) dan ACTH dilepaskan hipofisa. Melalui respon terhadap stres mental dap fisis, juga' melalui CRF danACTH. Respons berlangsung hanya beberapa menit dan menghasilkan kortisol serta
menyimpannya dalam jumlah yang mampu meningkatkan kadar kortisol plasma dua kali lipat atau lebih sesuai kebutuhan. Sintesis dapat ditingkatkan
dengan cepat setiap saat sesuai dengan kebutuhan melalui jalur ini. Melalui mekanisme umpan-balik dengan pengaturan sekresi ACTH oleh kortisol (dan oleh glukokortikoid sintetik), sedangkan produk steroid lain dari korteks adrenal tidak mempunyai efek ini.
TRANSPORSTEROID Beberapa hormon steroid, misalnya testosteron dan kortisol, beredar berikatan dengan protein plasma. Kortisol dalam plasma terdiri dari 3 bentuk '. kortisol bebas, kortisol terikat protein, dan metabolit kortisol. Kortisol bebas
adalah hormon frsiologik aktif yang tidak terikat protein, yang dapat bekerja langsung padajaringan. Normal, kurang dari 5Yo kortisol beredar adalah bentuk bebas. Hanya kortisol tak terikat dan metabolitnya dapat melewati filtrasi pada glomerulus. Peningkatan jumlah steroid bebas yang
diekskresikan dalam urin menunjukkan hipersekresi
kortisol, oleh karena fraksi kortisol plasma tak terikat
2057
HORMONSTEROID
meningkat. Kortisol terikat protein berikatan secara reversibel pada protein plasma yang beredar. Plasma mempunyai dua sistem ikatankortisol. Satu adalah afinitas tinggi, alpha-2-globulin berkapasitas rendah dinamakan transcortin atat cortisol binding globulin (CBG), dan
yang lain adalah afinitas rendah, protein berkapasitas tinggi, olbumin. Afinitas ikatan CBG untuk kortisol menurun pada daerah inflamasi, sehingga meningkatkan kadar kortisol bebas lokal. CBG pada manusia normal dapat mengikat kira-kira 700 nmol kortisol per liter (25 pg/dl). Bila
kadar kortisol total melebihi kadar ini, maka kortisol tidak terikat albumin yang beredar lebih besar dari biasa. Contoh, bila kadar kortisol total 1400 nmol/L ( 50 trtg/ dl),25%adalah bebas. Kadar CBG meningkat pada keadaan estrogen
tinggi (mis. kehamilan, pemberian kontrasepsi oral). Peningkatan CBG disertai oleh peningkatan kortisol tak terikat protein, mengakibatkan kadar kortisol plasma meningkat. Bila kadar kortisol bebas bisa tetap normal, maka manifestasi kelebihan glukokortikoid tidak ada.
Kebanyakan glukokortikoid sintetik analog berikatan
kurang efisien terhadap CBG (berikatan kira-ktta 7 0 Yo). Ini
bisa menerangkan kecenderungan beberapa steroid sintetik analog memberikan efek Cushingoid pada dosis rendah. Metabolit kortisol secara biologik inaktif dan berikatan lemah dengan protein plasma beredar.
kedaan tertentu, seperti gagal jantung, kecepatan inaktivasi
mrmenurun. Dai 7 sampai l5olo aldosteron diekskresi dalam urin
sebagai ikatan glukoronid. Ikatan dengan-asam ini berlangsung dalam hati dan ginjal. Pada orang-orang dengan asupan garamrata-rata, ekskresi aldosteron urin 24 jamberadadalam ikatan dengan-asam dalam rentangan 15-50nmol(5-19 pg).
Androgen Adrenal Androgen utama yang disekresi oleh adrenal adalah dehidroepiandrosteron (DHEA) dan ester DHEA asam sulfur pada C-3. Dari 15 - 30 mg senyawa ini diekskresi
p-hidroksiandrostenedion, dan testosteron diekskresi dalam jumlah kecil. DHEA adalah prekursor utama 17-ketosteroid urin. Dua pertiga 17-ketosteroid urin pada laki-laki berasal dari metabolit adrenal, dan sisanya sepertiga berasal dari androgen testis. Pada perempuan, hampir semua l7-ketosteroid urin berasal dari adrenal. Steroid berdifusi secara pasif melalui membran sel dan berikatan dengan reseptor intraselular. Reseptor ini adalah bagian dari faktor-faktor transkripsi pengatur tormasuk setiap hari. Androstenedion,
1
I
reseptor hormon tiroid. Reseptor glukokortikoid ada dua tipe : I dan IL Reseptor tipe I juga merupakan reseptor
mineralokortikoid. Mineralokortikoid tidak berikatan dengan reseptor tipe II, tetapi hampir semua glukokortikoid
METABOLISME DAN EKSKRESI STEROID
berikatan dengan kedua reseptor tersebut, meskipun dengan afinitas berbeda. Setelah steroid berikatan dengan
Glukokortikoid .,Sekresi koktisotharian berkisat antara 40 dan 80 mmol
(it d6ii-0 mg) dalam siklus sirkadian. Kortisol' didistribusikan dalam cairan tubuh, dengan lebih dari 90 %o beruda dalam bentuk ikatari protein..Kadar koftitol plasma ditentukan oleh kecepdtan sekresi, kedepafan inaktivasi,'dan kecepritan ekskresi kortisol bebas' Hati merupakan organ utama yan$ bertarigguhg jawab unt'uk inaktivasi steroid. Jalur utama adalah pengurangan cincin A dan menghubungkan produ.k yang berkurang cincin ini dengan asam glukoronat pada posisi C, membentuk senyawa larut air. Enzim ll fthydroxysteroid dehydrogenase merubahkortisol menjadi kortison, metabolit inaktif di ginjal. Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh kadar hormon tiroid beredar, sehingga reaksi oksidatif ini meningkat pada hipertiroid.
Mineralokortikoid Pada orang normal dengan asupan garam noflnal, ratarata sekresi harian aldosteron berkisar anlaru0,l dan0,7 mmol (50 dan 250 pg). Aldosteron berikatan lemah dengan protein, volum distribusinya lebih besar dari pada kortisol, kira-kira 35 L. Melalui hati, lebih dari 75oh aldosteron beredar diinaktifkan dengan pengurangan cincin A dan menghubungkannya dengan asam glukoronat. Pada
reseptor, kompleks steroid reseptor diangkut ke nukleus, dimana ia berikatan pada tempat khusus pada steroidregulated genes, memodifikasimRNA dan sintesis prorein.
Oleh karena kortisol berikatan dengan reseptor mineralokortikoid (reseptor glukokortikoid tipe I) dengan afinitas sama seperti aldosteron. Spesifitas mineralokor' tikoid dicapai dengan metabolisme kortisol lokal menjadi senyawa kortison tidak-aktif dengan 1 1d-hidroksisteroid dehidrogenase. Kortison berikatan hanya minimal pada reseptor tipe I. Efek glukokortikoid dari steroid lain, seperti progesteron dosis tinggi, berhubungan dengan afinitas ikatan dengan reseptor glukokortikoid tipe I. Kerusakan turunan pada reseptor glukokortikoid menyebabkan resisten glukokortikoid. Contoh, individu dengan defek reseptor tipe II mempunyai kadar kortisol tinggi tetapi tidak mempunyai manifestasi kortisolisme.
Fisiologi
Gl
ukokortikoi
Pembagian steroid adrenal dalam glukokortikoid dan mineralokortikoid kurang tepat oleh karena hampir semua glukokortikoid mempunyai kandungan mineralokortikoid. Istilah glukokortikoid digunakan untuk steroid adrenal yang mempunyai kerja predominan pada metabolisme antara (intermediary metabolism). Glukokortikoid utama adalah kortisol (hidrokortison). Efek glukokortikoid pada
2058
MEf,ABOIJKENDOKRIN
metabolisme -antara melalui reseptor glukokortikoid tipe tr.
Efek fisiologi glukokortikoid termasuk pengaturan metabolisme protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat. Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dengan bekerja sebagai antagonis insulin dan dengan menekan
sekresi insulin, dengan demikian menghambat ambilan glukosa perifer, mempromosikan sintesa glukosa hati (glukoneogenesis) dan meningkatkan kandungan glikogen hati.
Kerja pada metabolisme protein terutama adalah efek katabolik, mengakibatkan peningkatan pemecahan protein dan ekskresi nihogen. Bagian besar, keg'a ini menunjukkan mobilisasi prekursor asam amino glikogenik dari struktur pendukung perifer, seperti tulang, kulit, otot, dan jaringan ikat, oleh karena pemecahan protein dan penghambatan sintesis protein dan ambilan asam amino. Hiperaminoasidemia juga memfasilitasi glukoneogenesis dengan merangsang ekskresi glukagon. Glukokortikoid bekerja secara langsung pada hati untuk merangsang sintesis enzim tertentu, seperti tyrosine aminotransferase dan tryptophan pyrrolase. Glukokortikoid menghambat sintesis asam nukleat di sebagian besar jaringan tubuh, tetapi di hati, merangsang sintesis RNA. Glukokortikoid mengatur mobilisasi asam lemak dengan meningkatkan Aktivitas lipase sel oleh lipid-mobilizing hormone (misal katekolamin dan peptida hipofisa). Kerja kortisol pada protein dan jaringan adiposa berbeda pada bagian tubuh berbeda. Contoh, dosis farmakologik kortisol dapat menurunkan matriks protein pada kolumna vertebralis (tulang trabekula), tetapi pada tulang panjang (terutama tulang padat) dipengaruhi hanya
sedikit; hal yang sama, massa jaringan adiposa menurun, sedangkan lemak abdomen dan interscapular bertambah.
Glukokortikoid mempunyai kandungan anti-infl amasi, yang berkaitan dengan efek pada mikrovaskulatur dan menekan sitokin inflamasi. Dalam hal ini, glukokortikoid memodulasi respon imun via immune adrenal axis. Loop ini adalah salah satu mekanisme dimana stres, seperti sepsis, meningkatkan sekresi hormon adrenal, dan peningkatan kadar kortisol menekan respon imun. Contoh, kortisol mempertahankan respon vaskular terhadap vasokonstriktor yang beredar dan melawan peningkatan permeabilitas kapiler selama inflamasi akut. Glukokortikoid menyebabkan lekositosis oleh karena sumsum tulang melepaskan sel-sel matang (dewasa) dan menghambat jalan
dan sintesis protein. Glukokortikoid menghambat produksi dan kerja interferon oleh limfosit T dan produksi IL- I dan
IL-6 olehmakrofag. Ke{ a antipiretik glukokortikoid bisa diterangkan melalui efeknya pada IL-1, yang menjadi pirogen endogen.
Glukokortikoid juga menghambat produksi faktor pertumbuhan selT (cell T growthfactoa IL-2) oleh limfosit T.
Glukokortikoid membalikkan Aktivitas makrofag dan
melawan kerja migration-inhibitory factor (MIF), menyebabkan penurunan perlekatan makrofag pada endotel vaskular. Glukokortikoid menghambat produksi
prostaglandin dan leukotriene dengan menghambat
aktivitas phospholipase A, menghambat pelepasan arachidonic acid dan posfolipid. Glukokortikoid menghambat produksi dan efek inflamasi bradikinin, platelet activatingfactor, dan serotonin. Mungkin hanya pada dosis farmakologikproduksi antibodi berkurang dan membran lisosom distabilkan, mempunyai efek menekan pelepasan acid hydrolase. Kadar kortisol berespon dalam menit terhadap stres, apakah shes fisik (trauma, pembedahan, latihan fisik), stres
psikologik (kecemasan, depresi), atau stres hsiologik (hipoglikemiaa, demam). Alasan kenapa peningkatan kadar
glukokortikoid melindirngi organisme terhadap shes belum dipahami, tetapi pada keadaan defisiensi glukokortikoid, stres bisa menyebabkan hipotensi, shok, dan kematian. Konsekwensinya pada individu dengan insufisiensi adrenal, kebutuhan pemberian glukokortikoid akan meningkat semasa stres.
Kortisol mempunyai efek pada air tubuh. Kortisol membantu mengatur volum cairan ekstraselular dengan memperlambat perpindahan air kedalam sel dan dengan mempromosikan ekskresi air kedalam ginjal, efek terakhir ini diantarai dengan penekanan sekresi vasopresin, dengan meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus, dan dengan kerja langsung pada tubulus ginjal. Konsekwensinya adalah mencegah intoksikasi air dengan meningkatkan bersihan air bebas solut. Glukokortikoid juga mempunyai sifat mineralokortikoid lemah, dan dalam dosis tinggi mempromosikan reabsorpsi natrium tubulus ginjal dan meningkatkan ekskresi kalium urin. Glukokortikoid dapat juga mempengaruhi perilaku, gangguan emosi yang bisa terjadi pada kelebihan atau kekurangan kortisol. Kortisol menekan sekresi POMC hipofisa dan peptida turunarmya (ACTH, B-endorphin, dan p-lipotropin) dan sekresi CRH hipotalamus dan vasopresin.
keluarnya melalui dinding kapiler. Glukokortikoid
Fisiologi Mineralokortikoid
mengakibatkan penurunan eosinofil yang beredar dan dari jaringan limfoid, terutama sel I menyebabkan redistribusi
Mineralokortikoid mempunyai dua kerja penting : regula-
dari sirkulasi kedalam kompartmen lain. Kortisol
ini diperantarai ikatan aldosteron
menghambat cell-mediated immunity. Glukokortikoid juga menghambat produksi dan ke{a mediator inflamasi, seperti limfokin dan prostaglandin. Kerja ini terjadi via reseptor
glukokortikoid (mineralokortikoid) tipe I di jaringan target. Volum cairan diatur melalui efek langsungpada collecting tubule, dimana aldosteron menyebabkan penurunan
II dan dihambat
ekskresi natrium dan peningkatan ekskresi kalium.
glukokortikoid tipe
oleh inhibitor RNA
tor utama cairan ekstaselular dan metabolisme kalium. Efek
dengan reseptor
2059
HORMONSTEROID
natrium. Kadar ion hidrogen lebih besar dalam lumen dari pada
Asupan kalium dan natrium diet sebelumnya dapat merubah besarnya respon aldosteron terhadap perangsangan akut. Efek ini akibat dari perubahan pada sintesis aldosteron. Peningkatan asupan kalium atau penurunan asupan natrium mensensitifkan respon sel-sel glomerulus terhadap perangsangan akut oleh ACTH, angiotensin II, dan/atau kalium. Pengaturan sekresi aldosteron terjadi awal dan akhir pada synthetic
dalam sel, ion hidrogen juga disekresi secara aktif.
pathway.
Reabsorpsi ion natrium menyebabkan penurunan potensial
transmembran, peningkatan aliran ion positif, seperti kalium, keluar dari sel kedalam lumen. Ion natrium yang direabsorbsi diangkut keluar epitel tubulus dikirim kedalam cairan interstisiel ginjal dan dari sana kedalam sirkulasi kapiler ginjal. Air secara pasif mengikuti pengangkutan
Mineralokortikoid juga beke{a pada epitel saluran kelenjar
ludah, kelenjar keringat, dan saluran gastrointestinal menyebabkan reabsorpsi natrium sebagai pertukaran dengankalium. Bila individu normal diberikan aldosteron, pada periode awal retensi natrium diikuti dengan natriuresis, dan keseimbangan natrium dikembalikan setelah 3-5 hari. Sebagai akibabrya, oedema tidak muncul. Proses ini dirujuk sebagai escape phenomenon, menandai escape dati sodium-retaining action dari aldosteron pada tubulus renalis. Faktor hemodinamik ginjal memegang peranan pada escape, tetapi kadar atrial natriuretic peptide }uga meningkat. Penting untuk diingat bahwa tidak ada escape dari p o t as s ium - I o s in g effe c t dari mineralokortikoid. Aldosteron dapat juga berinteraksi dengan reseptor permukaan sel, mungkin bekerja dengan mekanisme nongenomik.
Tiga mekanisme kontrol utama aldosteronT+s
is
pelepasan
tem r enin-angiotens in, kalium, dar. ACTH.
Sistem renin-angiotensin mengontrol volum cairan
ekstraselular via pengaturan sekresi aldosteron. Sistem renin-angiotensin mempertahankan volum
Neurotransmitter (dopamin dan serotonin)
dan beberapa peptida, seperti atrial nahiuretic peptide, y-melanocyte-stimulating hormone (y-MSH), dan
B-endorphin, juga ikut berperan dalam pengaturan sekresi aldosteron. Kontrol sekresi aldosteron melibatkan
faktor-faktor perangsangan dan penghambatan.
Fisiologi Androgen Androgen mengatur penanda seks sekunder laki-laki dan dapat menyebabkan simtom kelaki-lakian (virilizing) pada
perempuan. Steroid dengan predominan aktivitas androgenik mempunyai 19 atom karbon. Androgen adrenal utama adalah DHEA (dehidroepiandrosteron)' androstenedion, dan 1 I -hidroksiandrostenedion, DHEA dan androstenedion adalah androgen lemah dan meningkatkan efeknya via konversi menjadi testosteron androgen poten di jaringan ekstraglandular. DHEA juga mempunyai efek yang belum jelas pada sistem imun dan kardiovaSkular. Pembentukan androgen adrenal diahr oleh
ACTH, bukan oleh gonadotropin. Androgen adrenal tertekan dengan pemberian glukokortikoid eksogen.
darah yang beredar tetap konstan dengan meningkatkan
retensi natrium diinduksi-aldosteron (aldosteroneinduced sodium retention) selama kekurangan cairan dan dengan mengurangi retensi natrium tergantungaldosteron (aldosterone-dependent sodium retention) bila volume cairan besar.
Ion kalium secara langsung mengatur sekresi aldosteron, secara independen melalui renin-angiotensin yang beredar. Kalium merangsang produksi angiotensin
II
adrenal, sedangkan converting-enzyme inhibitor
menghambat sintesis angiotensin II dan mengurangi respon akut aldosteron terhadap kalium. Pemberian .kalium oral meningkatkan sekresi, ekskresi, dan kadar aldosteron plasma. Peningkatan kalium serum sedikit saja 0,1 mmoVl meningkatkan kadar aldosteron plasma pada keadaan tertentu. Jumlah fisiologik ACTH merangsang sekresi aldosteron secara akut, tetapi kerja ini tidak terjadi jikaACTH diinfuskan lebih lama dari 10-12 jam. Banyak studi mengabaikanAcTH oleh karena peranannya kecil pada pengaturan aldosteron. Contoh, subj ek menerima dosis tinggi terapi glukokortikoid dan dengan perkiraan tet'adi penekanan sempuma ACTH, tetapi mempunyai sekresi aldosteron normal sebagai respons terhadap pembatasan natrium.
EVALUASI LABORATORIUM FUNGSI KORTEKS ADRENAL Penilaian dasar adalah pengukuran kadar steroid plasma atau urin yang diberikan menggambarkan kecepatan sekresi steroid adrenal. Nilai ekskresi steroid urin bisa tidak menggambarkan angka sekresi yang sebenarnya oleh karena pengumpulan urin yang tidak benar atau perubahan metabolisme. Pengukuran angka sekresi yang sebenamya
dari steroid yang diberikan sulit, melibatkan tehnik pengenceran isotop setelah pemberian steroid radioaktif' Kadar plasma menggambarkan kadar sekresi hanya pada
waktu pengukuran. Kadar plasma (plasma level, PL) bergantung pada dua faktor : secretion rale (SR) hormon dan rate hormon yang dimetabolisme, misalnya Metabolic Cleqrance Rate (MCR) steroid. Ketiga faktor ini dapat dikaitkan sebagai berikut : SR
:
MCR x PL
Kadar Dalam Darah Kadar ACTH plasma dapat diukur dengan immunoassay techniques. Kadar ACTH berfluktuasi dari saat ke saat, dan sekresi ACTH basal menunjukkan ritme sirkadian,
2060
dengan kadar lebih rendah pada sore hari dari padapagi hari. Kadar angiotensin II juga bervariasi pada siang hari dan dipengaruhi oleh asupan natrium makanan dan sikap tubuh. Sikap berdiri dan pembatasan natrium meningkatkan kadar angiotensin II. Kebanyakan peneatuan klinik sistem renin-angiotensin melibatkan pengukuran peripheral aktivitas renin plasma Qtlasma renin activity,PRA) dimana aktivitas renin diukur dengan pembentukan angiotensin selama periode inkubasi yang standar. Metode ini bergantung pada kecukupan
angiotensinogen dalam plasma sebagai substrat. Pembentukan angiotensin I diukur dengan radioimmunoassay. Aktivitas renin plasma bergantung pada asupan natrium makanan dan pada apakah pasien bet'alan. pada manusianormal, PRA menunjukkan diurnal ryttrm ditandai dengan nilai puncak pada pagi hari dan aktivitas menurun pada sore hari.
Kadar Dalam Urin Untuk penilaian sekresi glukokortikoid, pemeriksaan I 7-hidroksikortikosteroid urin harus menjadi perhatian dengan mengukur kortisol bebas urin. peningkatan kadar
kortisol bebas urin berkaitan dengan hiperkortisolisme, menggambarkan perubahan pada kadar tidak terikat, secara fisiologi kortisol beredar aktif. Normal, angka ekskresi adalah lebih tinggi pada siang hari (07.00 19.00) dari pada malam hari (19.00 - 07.00).
l7-ketosteroid urin mengandung gugus keton pada
MEIABOLIKENT'OKRIN
L (10 dan a9 pgldl). Pasien dengan insufisiensi adrenal primer mempunyai respon lebih kecil. Tes skrining (disebut tes stimulasi ACTH cepat) memberikan 25 unit (0,25 mg) cosytropin intravena atau intramuskular dan pengukuran kadar kortisol plasma sebelum, 30 dan 60 menit setelah pemberian. Tes dapat dilalcukan setiap saat sepanjang hari. Kriteria batas untuk respon nonnal adalah kadar kortisol yang dirangsang >500 nmoVl (> 18 pgldl), dan peningkatan kortisol normal minimal yang dirangsang adalah >200 nmoL (>71tg/dL) di atas batas dasar. Pasien-pasien sakit berat dengan peningkatan kadar kortisol basal bisa menunjukkan tidak ada peningkatan setelah pemberian ACTH akut. Tes Cadangan Mineralokortikoid dan Stimualsi Sistem Renin-Angiotensin Tes stimulasi menggunakan protokol yang dirancang untuk menentukan pengurangan cairan, seperti pembatasan natrium, pemberian diuretilq atau posisi berdiri. Tes sederhana dan poten terdiri dari pembatasan berat nakium dan posisi berdiri. Setelah 3-5 hari asupan natrium l0 mmol,/hari, kecepatan sekresi atau ekskresi aldosteron akan meningkat 2-3 kali dari nilai kontrol. Kadar aldosteron plasma pagi hari pada posisi berbaring biasanya meningkat 3-6 kali, danmeningkat2-4 kali sebagai respon terhadap posisi berdiri selama 2-3 hari.
Bila masukan natrium diet normal, tes stimulasi memerlukan pemberian diuretik poten, seperti 40-80 mg fwosemid, diikuti oleh 2-3 hari sikap berdiri. Respon normal adalah2-4kali meningkat kadar aldosteron plasma.
C- I 7. Mereka berasal dari kelenjar adrenal atau gonad. pada
perempuan normal, 90%o dari l7-ketosteroid urin berasal dari adrenal, dan pada laki-laki 6\-70%berasal dari adrenal. Nilai 17-ketosteroid urin tertinggi pada dewasa muda dan menurun dengan bertambah usia.
Pengumpulan urin menjadi prasyarat untuk semua nilai ekskresi. Kreatinin urin harus diukur secara bersamaan untuk menentukan ketepatan dan
pemeriksaan
adekwat prosedur pengumpulan.
Tes Stimulasi Tes stimulasi digunakan untuk diagnosis defisiensi hormon. Dilakukan stimulus standar dan spesifik untuk produksi dan pelepasan hormon yang diberikan, dan jumlah hormon yang dilepaskan kemudian diukur. Tes cadangan glukokortikoid Dalam hitungan menit setelah pemberian ACTH, kadar kortisol meningkat dalam darah vena adrenal. Kemampuan reaksi ini dapat digunakan sebagai indeks fungsi cadangan kelenjar adrenal untuk memproduksi kortisol. Pada stimulasi ACTH maksirnal, sekresi kortisol meningkat l0 kali, menjadi 800 pmoVhari (300 mg/hari), tetapi stimulasi maksimal dapat dicapai hanya dengan infus ACTH yang lama. Contoh, pada orang normal, kadar kortisol melebihi 1100 nmoUl (a0 pgldL) setelah infus cosyntropin 24 jam dengan kecepatan 0,02 mgljamberlctsar antara 280 dan I 100 nmoV
Tes Supresi Tes supresi untuk menentukan hipersekresi hormon adrenal melibatkan pemeriksaan respons hormon target setelah supresi standar hormon tropiknya.
Test supresibilitas pituitari adrenal mekanisme pelepasan ACTH sensitif terhadap kadar glukokortikoid yang beredar. Bila kadar glukokortikoid darah meningkat
pada orang normal, berkurang ACTH dilepaskan dari hipofisis anterior, dan berkurang steroid dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Integritas mekanisme umpan-batik ini dapat diuji secara klinik dengan memberikan glukokortikoid dan menentukan supresi sekresi ACTH dengan analisa kadar steroid urin dan/atau kadar kortisol dan ACTH
plasma. Digunakan glukokortikoid poten seperti deksametason, obat tersebut dapat diberikan dalam jumlah cukup kecil yang tidak mempengaruhi secara bermakna
terhadap pol steroid untuk dianalisa.
Prosedur skrining terbaik adalah tes supresi deksametason tengah malam. Ini melibatkan pengukuran kadar kortisol plasma pada pukul 08.00 setelah pemberian 1 mg deksametason pada tengah malam sebelumnya. Nilai kortisol plsama padapukul08.00 pada orang normal kurang dari 140 nmol/L (5 trgldl.). Tes definitif supresibilitas adrenal terdiri dari pemberian 0,5 mg deksametason setiap 6 jam selama dua hari berturut-
2061
HORMONSTEROID
turut sementara dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam untuk penentuan kadar kreatinin dan kortisol bebas
REFERENSI
dan/atat mengukur kadar kortisol plasma. Pada pasien dengan normal hypothalamic-pituitary ACTH releases mechanism, penurunan kortisol bebas urin menjadi kurang dari 80 nmol/hari (30 pglhari) atau kortisol plasma kurang dari 140 nmol/L (5 pgldl,) dijumpai pada hari kedua
Andrew R. Clinical measurement of steroid metabolism. Best Oract Rs Clin Endocrinoi Metab 2001; 15: 1.
pemberian.
Belchetz P, Hammond P : Adrenal Disorders in Mosby's Color Atlas and Text of Diabetes and Endocrinology. Mosby, 2003' p' 265' Christenson LK, Straus JF 3rd: Steroidogenic acute regulatory protein: an update on its regulation and mechanism of action' Arch
Respons normal terhadap tes supresi menyiratkan bahwa kontrol ACTH terhadap kelenjar adrenal secara fisiologik normal.
Tes supresibilitas mineralokortikoid Tes ini bergantung pada ekspansi volume cairan ekstraselular, yang akan mengakibatkan penurunan pelepasan renin ginjal, penurunan aktivitas renin plasma yang beredar, dan penurunan sekresi dan/atat ekskresi aldosteron. Satu tes supresi melibatkan infus intravena larutan salin normal jam, normal menekan kadar aldosteron plasma menja di < 220 pmoVl (.4 ngldl) pada diet terbatas natrium atau menjadi < 140 pmol/L (< Sng/dl,) pada asupan natrium normal. Tes tidak dilalcukan pada pasien dengan 500 mVjam selama
kaliummenurun.
4
Aron DC, Findling JW, Tyrrell JB. Glucocorticoids & Adrenal Androgens, in Basic & Clinical Endocrinology edit. by. FS Greenspan, DG Gardner. Lange Medical Books/ McGraw-Hill,
ed. 7'h 2004, p. 362-413.
Med Res 2001;32: 576. Fletcher RF: Lecture Notes on Endocrinology, 2"d ed' Blackwell Scientific Publications 1978, p. 121-145. Kraan GP et al: The daily cortisol production reinvestigated in healthy men. The serum and urinary cortisol production rates are nor significantly different. J Clin Endocrinol Metab 1998;
83: 124'7. Miller WL, Tyller JB: The adrenal cortex. In: Endocrinology and Metabolism, 4'h ed. Felig P , Baxter JD, Frohman
LA
(editors)'
McGraw-Hill, 2002. Tomlinson JW, Stewart PM: Cortisol metabolism and the role
of
11d-hydroxysteroid dehydrogenase. Best Prac Res Clin Endcrinol Metab 2001; 15:61. Turner HE, Wass JAH : Oxford Handbook of Endocringlogy and Diabetes. Oxford University Press, 2002. p. 158,261' William GH, Dluhy RG : Disease of the Adrenal Cortex, in Harrison's Principles of InternalMedicine, edit. by Fauci, Braunwald Isselbacher et al,vol. II, ed. 14tt. p.2035-2056.
320 HIPERKORTISOLISME Sjafii Piliang, Chairul Bahri
Kortisol plasma berlebihan (hiperkortisolisme)
Konsekuensinya akan membutuhkan kadar kortisol lebih
menyebabkan suatu keadaan yang dikenal sebagai sindrom
rr[i:Eta.'!s:r@l:
Cushing, di mana aldosteron berlebihan menyebabkan
erstimulasi hipofisis,
aldosteronisme, dar. androgen adrenal berlebihan
mengakib atkan hiperplas
menyebabkan virilisme adremal . Sindrom-sindrom ini tidak
Pada waktu ini tumor hipofisis bisa menjadi independen
ia atat
pemb entukan tumor.
selalu dijumpai dalam bentuk "murni" tetapi bisa
dari pengaruh pengaturan sistem saraf pusat danlatau
mempunyai gambaran tumpang tindih.
kadar kortisol yang beredar. Pada serangkaian
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
pembedahan, kebanyakan individu dengan hipersekresi ACTH hipofisis menderita adenoma (diameter < 10 mm; 50 %o adalah 5 mm atau kurang), tetapi bisa dijumpai makroadenoma (>10 mm) atau hiperplasia difusa sel-sel kortikotropik. Dengan ditemukan mikroadenoma pada
Cushing melukiskan suatu sindrom yang ditandai
hiperplasia adrenal tergantung hipofisis tidak
dengan obesitas badan (truncal obesity), hipertensi, mudah lelah kelemahan, amenorea, hirsutisme, striae
menyingkirkan disregulasi CRH hipotalamus sebagai defek pada penyakit C u s h i n g. P ada pengam atan j angka lama menunjukkan kecepatan kekambuhan setelah reseksi pembedahan yang berhasil perlu menjadi perhatian. Pada beberapa studi, angka kekambuhan adalah lebih besar dari 20 %. Mungkin sulit untuk
abdomen berwarna ungu, edema, glukosuria.a, osteoporosis, dan tumor basofilik hipofisis. Sindrom ini kemudian dinamakan sindrom Cushing. Siirdrom dapat
diklasifikasikan seperti tertera pada Tabel 1. Tanpa mempertimbangkan etiologi, semua kasus sindrom
Cushing endogen disebabkan oleh peningkatan
membedakan antara kekambuhan dengan terapi yang
produksi':1i.91!_i99!.oleh
asus
tidak adekwat. Hanya individu yang mempunyai
penyebabnya
oleh
tumor hipofisis yang menghasilkan ACTH dipastikan sebagai penyakit Cushing, tetapi pada beberapa sentra tujuan ini digunakan untuk seseorang yang menderita hipersekresi ACTH hipofisis, tanpa mempertimbangkan apakah tumor dikenali secara radiografi.
adrenaf. adalah hiperplasi
kdip.na hipcrsgki.esi AQTH hibofi sii. atrif r,tq dutii-i-4QTlt_
olgh adre
endokrin. Insiden hiperplasia hipofisis 1ie" ke]i lebih besai pada waniia diri.
Tumor nonendokrin bisa mensekresi polipeptida yang secara biologik, kimiawi, dan imunologik tak dapat dibedakan dari ACTH dan CRH dan menyebabkan
hiperplasia adrenal bilateral. Produksi CRH ektopik mengakibatkan, secara biokimia dan gambaran radiologis,
tak dapat dibedakan dari yang disebabkan
_oleh hipersekresi ACTH hipofisis. Tanda-tanda dan simtom khas
pada pusat-
dari sindrom Cushing bisa tidak dijumpai atau minimal dengan produksi ACTH ektopik, dan alkalosis hipokalemik merupakan manifestasi yang predominan. Kebanyakan
pblepdsan do tidak sesria
2062
2063
HIPERKORTISOIJSME
GEJAIA KLINIK DAN GAMBARAN LABORATORIUM PenyebabSindrom Cushing Hiperplasia Adrenal Sekunder terhadap kelebihan produksi ACTH hipofisa Disfungsi hipotalamik-hipofisa Mikro dan makroadenoma yang menghasilkan ACTH hipofisa Sekunder terhadap tumor nonendokrin yang menghasilkan ACTH atau CRH (karsinoma bronkhogenik, karsinoid thimus, karsinoma pankreas, adenoma bronkhus)
Hiperplasia noduler adrenal Neoplasia adrenal Adenoma Karsinoma
Penyebab eksogen, iatrogenik Penggunaan glukokortikoid jangka lamd Penggunaan ACTH jangka lama
Banyak tanda-tanda dan simtom sindrom Cushing menyertai kerja glukokortikoid (Gambar 2). Mobilisasi jaringan ikat suportif perifer menyebabkan kelemahan
otot dan kelelahan; osteoporosis, striae kulit, dan mudah berdarah bawah kulit. Osteoporosis bisa menyebabkan kolaps korpus vertebra dan tulang lain.
Peningkatan glukoneogenesis hati dan resistensi insulin dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Diabetes melitus klinis dijumpai pada kita-kia 20 Yo pasien, yang mungkin bersifat individu dengan predisposisi diabetes. $iperkortisolisme mendorong penumpukan jaringan adiposa pada tempat-tempat
tertentu, khususnya di wajah bagian (menyeb abk an
m o' o n
atas
fa e), daerah arrtar a kedua tulang c
belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas dari kasus ini berkaitan dengan primitive small cell (oat cell) tipe dari karsinoma bronkogenik atau tumor timus, pankreas, atau ovarium, karsinoma medula tiroid; atau adenoma bronkus. Timbulnya sindrom Cushing bisa mendadak, terutama pada pasien-pasien dengan karsinoma
paru, pasien tidak memperlihatkan manifestasi klinik.
Sebaliknya pasien dengan tumor karsinoid atau feokromositoma mempunyai perjalanan klinis yang lebih lama dan biasanya menunjukkan gambaran cushingoid tipikal. Sekresi ACTH oleh tumor-tumor nonendokrin juga disertai oleh penumpukan fragmen ACTH dalam plasma dan peningkatan kadar molekul prekursor ACTH
plasma. Tumor-tumor
ini bisa memproduksi jumlah
besar ACTH, steroid biasanya jelas meningkat, dan bisa dijumpai pigmentasi kulit. Hiperpigmentasi pada pasien
dengan sindrom Cushing hampir selalu menunjukkan
tumor ekstra adrenal, di luar kranium atau dalam kanium.
Kira-kira 20-25 % pasien dengan sindrom Cushing menderita neoplasma adrenal. Tumor ini biasanya unilateral dan kira-kira setengahnya adalah ganas (maligna). Kadang-kadang pasien mempunyai gambaran biokimia hiperselaesi ACTH hipofisis. Individu ini biasanya mempunyai mikro atau makronodular kedua kelenjar adrenal mengakibatkan hiperplasia nodular. Dua bentuk
spesifik menyebabkan hiperplasia nodular: penyakit autoimun familial pada anak-anak atau dewasa muda (disebut displasia korteks multinodular berpigmen) dan hipersensitifitas terhadap gas tric inhib itory p olypeptide, mungkin sekunder terhadap peningkatan ekspresi reseptor untuk peptida di korteks adrenal.
Penyebab terbanyak sindrom Cushing adalah iatrogenik pemberian steroid eksogen dengan berbagai alasan. Sementara gambaran klinik mirip dengan yang dijumpai pada tumor adrenal, pasien-pasien ini biasanya dapat dibedakan didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan laboratium.
badan). Jarang, tumor lemak episternal dan pelebaran mediastinum sekunder terhadap penumpukan lemak.
Alasan untuk distribusi yang aneh jaringan adiposa ini belum diketahui, tetapi berhubungan dengan resistensi insulin danlalau peningkatan kadar insulin. Wajah tampak pletorik, tanpa disertai peningkatan kadar sel darah merah. Hipertensi sering terjadi dan
bisa dijumpai perubahan emosional,
mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis. Pada wanit'a, peningkatan kadar androgen
hirsutiildin- oli tanda-tanda d hiperkortisolisme, misalnya obesitas, hipertensi, osteoporosis, dan diabetes, adalah nonspesifik dan karena itu kurang membantu dalam mendiagnosis hiperkortisolisme. Sebaliknya, tanda-tanda mudah berdarah, striae yang khas, miopati dan virilisasi (meskipun kurang sering) adalah lebih sugestif sindrom Cushing.
Kecuali pada sindrom Cushing iatrogenik, kadar kortisol plasma dan urin meningkat' Kadang-kadang
hipokalemia, hipokloremia, dan alkalosis metabolik dijumpai, terutama dengan produksi ACTH ektopik.
Tanda klinik Tipikal habitus Berat badan bertambah Lemah dan lelah Hipertensi (TD >150/90 mmHg) Hirsutisme Amenore Striae kutan .Perubahan personal Ekimosis Edema Poliuria, polidipsia Hipertrofi klitoris
Yo
97 94
87 82 80 77 67
66 65 62 23 19
2064
MEIABOLIKENDOIRIN
DIAGNOSIS
yang ada nntuk membedakan sindrom Cushing ringan dai sindrom psetdo-Cushing adalah penggunaan tes supresi deksametason diikuti oleh stimulas i corticotropin-releasing hormone CRH.
Problem diagnostik utama adalah membedakan pasien dengan sindrom Cushing ringan dari hiperkortisolisme
fisiologik ringan yang disebut sebagai sindrom pseudo-
Diagnosis sindrom Cushing bergantung pada kadar produksi kortisol dan kegagalan menekan sekresi kortisol secara nornal bila diberikan deksametason. Sekali diagnosis ditegakkan, selanjutnya pemeriksaan dirancang untuk menentukan etiologi (Gambar 1, Thbel3 danThbel4).
Cushing. Termasuk didalamnya fase depresi gangguan afektif, alkoholisme, penghentian dari instoksikasi alkohol, atau gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia neryosa. Keadaan ini bisa mempunyai gambaran sindrom
Cushing, termasuk peninggian kortisol bebas urin, termasuk gangguan gambaran sekresi kortisol diurnal, dan gangguan supresi kortisol setelah tes supresi deksametason tengah malam. Meskipun pemeriksaan fisik bisa memberikan tanda spesifik untuk diagnosa yang tepat, konfirmasi biokimia bisajadi mengalami kesulitan dan bisa membutuhkan pemeriksaan ulang. Studi paling defrnitif
Untuk skrining awal dilakukan tes
sugestif sindrom Cushing. Diagnosis defrnitif ditetapkan bila gagal menurunkan kortisol urin menuju ke < 80 nmoU
Tanda Klinik Osteoporosis Diabetes melitus Hipertensi diastolik Adipositas sentral Hirsutisme dan amenorea
Tes skrining Kortisol plasma pada jam 08.00 > 140 nmol/L (59/dL) setelah 1 mg deksametason pada tengah malam; kortisol bebas urin > 275 nmol/L (100 pgihari)
Tes supresi deksametason Respon kortisol pada hari ke-2 menjadi 0,5 mg per 6 jam
Respon kortisol pada hari ke-2 supresi deksametason (2 mg per 6 jam)
Supresi Hiperplasia adrenal sekunder terhadap sekresi ACTH hipofisis
Tidak ada respon - Hiperplasia adrenal sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH - Neoplasia adrenal
ACTH tinggi Hiperplasia adrenal sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH Pencitraan piiuitari darvatau pengambilan sampel darah vena yang selektif
Positif Adenoma hipofisis
supresi
deksametason tengah malam. Pada kasus sulit (mis. pada pasien obes), pengukuran kortisol bebas urin 24 jamjuga bisa digunakan sebagai tes skrining. Bila kadar kortisol bebas urin lebih tinggi dai 27 5 nmol/dl ( I 00 pgldl) adalah
Normal-rendah (< 3 cm) Adenoma adrenal
Gambar 1. alur diagnostik untuk mengevaluasi pasien tersangka menderita sindrom cushing
2065
HIPERKORTISOLISME
Disfungsi hipotalamik pituitari & Mikroadenoma
Makroadeno ma Primer Kadar ACTH plasma
I sampar I
I
N sampai
'f
AGTH ektooik
&
Produksi ;JrHj,
lsamparlll
% yang respon
terhadap deksametason dosis tinggi % yang respon terhadap CRH
<10
95
<10
<10
>90
>90
<10
<10
* Disfungsi hipotalamik-pituitari
mensekresi ACTH atau tumor nonendokrin yang menghasilkanACTH dan pada pasien dengan neoplasma
Tergantung ACTH
adrenal.
Adenoma hipofisis Neoplasma non-hipofisis (ACTH ektopik)
Kadar ACTH plasma dapat digunakan untuk
Tak Tergantung ACTH latrogenik (glukokortikoid, megestrel asetat) Neoplasma adrenal Hiperplasia nodular adrenal Primary pigmented nodular adrenal disease Massive macronodular adenmonodular hyperplasia Food-dependent (GlP-mediated) Factitious
membedakan berbagai penyebab sindrom Cushing, terutama untuk memisahkan penyebab tergantung-ACTH dari tak tergantung-ACTH. Pada umumnya, pemeriksaan ACTH plasma digunakan pada diagnosis etiologi sindrom Cus hing tak-tergantung-ACTH, sedangkan keQa.nyakan tumor adrenal menyebabkan kadar ACTH rendah atau tidak
semua tes yang tersedia oleh karena tidak spesifrk dan
terdeteksi. Makroadenoma hipofisis yang mensekresi ACTH dan tumor-tumor nonendokrin yang menghasilkan ACTH biasanya mengakibatkan peningkatan kadar ACTH. Pada sindrom ACTH ektopik, kadar ACTH bisa jadi meningkat di atas 110 pmol/L (500 pglml), dan pada kebanyakan pasien kadar ACTH berada di atas 40 pmol,4l(200 pglmL). Pada sindrom Cushing sebagai akibat
tumor-tumor yang menyebabkan sindrom Cushing
mikroadenoma atau disfungsi hopotalamik pituitari, kadar
cenderung spontan dan sering menyebabkan perubahan dramatik sekresi hormon (hormogenesis periodik). Tidak ada tes yang mempunyai spesifitas lebih besar dari95 %o,
ACTH berkisar dari 6-30 pmol/L (30-150 pglmL)
dl (30 pgldl) atau kortisol plasma turun ke <140 nmoUl (5
pgldl) setelah tes supresi deksametason dosis-rendah standar (0,5 mg setiap 6 jam selama 48 jam). Penentuan etiologi sindrom Cushing diperumit dengan
dan mungkin perlu menggunakan kombinasi tes untuk mencapai diagnosis yang tepat. Langkah yang digunakan
untuk membedakan pasien dengan
ACTH-
secreting pituitary microadenoma alau hypothalamicpituitary dysfunction dengan bentuk sindrom Cushing yang lain adalah dengan menentukan respon pengeluaran
kortisol terhadap pemberian deksametason dosis tinggi (2 me setiap 6 jam selama 2 hari). Bila diagnosis sindrom Cushing tersingkirkan dengan pemeriksaan kortisol basal urin dan plasma, bisa digunakan tes supresi deksametason dosis tinggi tanpa didahului tes supresi dosis rendah. Tes supresi dosis tinggi mendekati spesifitas 100 % jika kriteria yang digunakan adalah supresi kortisol bebas urin lebih besar dari 90 %o. Kadang-kadan g pada individu dengan hiperplasia nodul bilateral dan/atau produksi CRH ektopik, pengeluaran steroid juga tertekan. Pemberian deksametason dosis
tinggi dan rendah untuk menekan produksi kortisol mengalami kegagalanpada pasien dengan hiperplasia ad-
renal sekunder terhadap mikroadenoma hipofisis yang
[normal < 14 pmol/L (< 60 pglml.)], dengan setengah kasus
nilai berada dalam rentangan normal. Problem utama dengan menggunakan kadar ACTH pada diagnosis banding sindrom Cushing adalahkadar ACTH bisa sama dengan individu-individu dengan disfungsi hipothalamikhipofisis, mikroadenoma hipofi sis, produksi CRH ektopik, dan produksi ACTH dari tumor nonendokrin (terutama tumor karsinoid). Beberapa pemeriksaan tambahan dianjurkan, seperti tes infus metirapon dan CRH. Rasional yang mendasari tes ini adalah hipersekresi steroid oleh tumor adrenal atau produksiACTH ektopik akan menekan aksis hipotalamik-
pituitari sehingga penghambatan pelepasan ACTH hipofisis. Kebanyakan pasien dengan disfungsi hipotalamik-pituitari dan/atau mikroadenoma mengalami peningkatan sekresi steroid atau ACTH sebagai respon terhadap pemberian metirapon atau CRH, sedangkan pasien dengan tumor yang memproduksi ACTH ektopik tidak. Kebanyakan mikroadenoma hipofisis juga berespon terhadap CRH, sedangkan responnya terhadap metirapon bervariasi. Penggunaan tes infus CRH tidak memastikan karena jumlah penelitian yang telah dilakukan terbatas dan
2066
MEIABOIJKENDOKRIN
CRH tidak tersedia. Tes CRH positif-palsu dan negatifpalsu dapat terjadi pada pasien-pasien dengan tumor
DIAGNOSIS BANDING
nonendokrin dan hipofi sis.
Diagnosis banding sindrom Cushing biasanya amat sulit dan harus selalu dilakukan konsultasi dengan endokrinologi. Problem dalam menegakkan diagnosis sindro
Dilema diagnostik utama pada sindrom Cushing adalah untuk membedakan disfungsi hipofisis dan/atau aksis hipotalamik-pituitari dari tumor (mis. karsinoid atau feokromositoma) yang menghasilkan CRH danlatauACTH ektopik. Manifestasi klinik adalah sama kecuali tumor
amat
ektopik menghasilkan gejala lain seperti diare dan
pula, dbngan kegemukan eksogen, sering dijumpai
flushing daritumor karsinoid atau hipertensi episodik dari feokromositoma. Kadang-kadang seseorang dapat membedakan antara produksi ACTH ektopik dari ACTH
adipositas, bukan adipositas trunkal. Pada pemeriksaan adrenokortikal, kelainan'pada pasien-pasien dengan
hipofrsis dengan menggunakan tes metirapon atau CRH, seperti diutarakan di atas. Pada keadaan rni, computed tomography (CT) kelenjar hipofisis biasanya normal.
kronik s
kegemukan eksogen biasanya tidak menunjukkan kelainan. Kadar steroid urin basal pada pasien obes juga normal
atau sedikit meninggi. Beberapa pasien mengalami
untuk maksud ini tetapi mikroadenoma hipofisis
peningkatan konversi kortisol yang disekresi menjadi metabolit yang dikeluarkan. Kadar kortisol urin dan darah biasanya normal, dan gambaran diurnal pada kadar steroid urin dan darah normal
menunjukkan hanya setengah pasien dengan sindrom Cushing. Pada orang dengan imaging negatif, pada
mempunyai kelainan yang sama pada keluaran steroid:
Magnetic resonance imaging (MRI)
dengan
meningkatkan obat gadolinium bisa jadi lebih baik dari CT
beberapa sentra dilakukan pengambilan sampel darah vena
untuk pemeriksaan ACTH. Tidak ada tes yang tersedia dapat dipercaya untuk membedakan jika tidak dijumpai tumor ektopik atau jika tidak menghasilkan hormon lain. Diagnosis adenoma adrenal yang menghasilkan-
kortisol disangkakan dengan peningkatan tidak
Pasien dengan alhoholisme kronik dan depresi peningkatan sedairg kortisol urin, tidak ada irama sirkadian kadar kortisol dan resisten terhadap'supresi dengan deksametason (terutama pada tengah malam dan
tes dosis rendah). Sebaliknya pada alkoholik, pasien depresi tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala sindrom
Cushing. Setelah penghentian alkohol danlatal
proporsional kadar kortisol bebas basal urin dengan hanya perubahan sedang pada 17-ketosteroid urin atau DHEA
perbaikan status emosional, tes steroid biasanya kembali ke normal. Respon kortisol normal terhadap hipoglikemiaa
sulfat plasma. Sekresi estrogen adrenal biasanya menurun pada pasien ini sehubungan dengan supresi ACTH yang
diinduksi-insulin, yang bisa membedakan pasien-pasien ini dari pasien sindrom Cushing. Pasien-pasien sakit akut
diinduksi-kortisol dan involusi zona retikularis yang
sering mempunyai hasil tes laboratorium abnormal dan
menghasilkan androgen.
tidak menunjukkan supresi hipofisis adrenal sebagai
Diagnosis karsinoma adrenal disangkakan dengan massa abdomen yang teraba dan peningkatan nilai basal 17-ketosteroid urin dan DHEA sulfat plasma. Kadar kortisol urin dan plasma meningkat bervariasi. Karsinona adrenal
biasanya resisten terhadap perangsangan ACTH dan supresi deksametason. Peningkatan sekresi androgen adrenal sering menyebabkan virilisasi pada perempuan. Karsinoma adrenokortikal penghasil esterogen biasanya disertai dengan ginekomastia pada laki-laki dan disfungsi perdarahan uterus pada perempuan. Tumor adrenal ini mensekresi jumlah androstenedion yang meningkat, di perifer diubah menjadi esterogen : estron dan estradiol. Karsinoma adrenal yang menyebabkan sindrom Cushing paling sering dikaitkan dengan peningkatan kadar hasilantara biosintesis steroid (terutama I 1-deoksikortisol), memberi kesan bahwa konversi hasil-antara tidak efisien menjadi produk akhir. Kira-kira20 %o karsinoma adrenal tidak ada kaitan dengan sindrom endokrin dan dikira
menjadi tak berfungsi atau menghasilkan prekursor biologik steroid inaktif. Kelebihan produksi steroid tidak selalu secara klinik terbukti (mis. androgen pada laki-laki dewasa).
respon terhadap deksamateson, sedangkan stres berat (seperti rasa sakit atau demam) mengganggu regulasi sekresi ACTH normal. Penyebab hiperkortisolisme tanpa stigma cusingoid Qarang) adalah resisten kortisol primer oleh karena mutasi pada reseptor glukokortikoid tipe l, resisten tidak sempurna oleh. karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda insufisiensi adrenal. Sindrom an
adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat dengan mengukur kadar kortisol urin atau darah dalam keadaan
basal, pada sindrom iatrogenik ltadar ini'merendah sekunder terhadap akses pituitari-adrenal. Keparahan sindrom Cushing iatrogenik berkaitan dengan dosis steroid total, waktu paruh biologik steroid, dan lama terapi. Juga individu yang malam hari lebih s dan dosis harian total lebih kecil dari pada pasien yang hanya meminum pagi hari. Disposisi enzimatik dan ikatan steroid yang diberikan berbeda diantara pasien.
2067
HIPERKORTISOLISME
EVALUASI RADIOLOGIK SIN DROM CUSHING Pemeriksaan radiologik untuk memeriksa adrenal adalah pencitraan tomografi komputer (CT Scan) abdomen. CZ scanbemllai untuk menentukan lokalisasi tumor adrenal dan untuk mendiagnosis hiperplasia bilateral. Semua pasien yang mengalami hipersekresiACTH hipofisis harus
menjalani pemeriksaan pencitraan MRI scan hipofisis dengan bahan kontras gadolinium. Dengan tehnik ini, mikroadenoma kecil bisa ditemukan. Pada pasien dengan produksi ACTH ektopik, tomograh menj adi pilihan pertama.
untuk mengurangi kadarACTH, pengobatan ideal adalah pengangkatan. Kadang-kadang (terutama dengan produksi ACTH ektopik) eksisi tidak memungkinkan oleh karena penyakit sudah lanjut. Pada keadaan ini, medik atau adrenalektomi bisa memperbaiki hiperkortisolisme. Ada kontroversi terhadap pengobatan hiperplasia adrenal bilateral bila sumber produksi berlebihan ACTH tidakjelas. Pada beberapa pusat pengobatan, pasien-pasien ini (terutama yang ACTH tertekan setelah pemberian deksametason dosis tinggi) menjalani eksplorasi bedah hipofisis via trans-sfenoidal dengan harapan ditemukan
mikroadenoma. Pada banyak keadaan dianjurkan PENGOBATAN
Neoplasma Adrenal Bila diagnosis adenoma atau karsinoma lebih ditegakkan, dilakukan eksplorasi adrenal dengan eksisi tumor. Oleh karena kemungkinan atrofi adrenal ko n1r:alateral, pasien diobati pradan pascaoperatif jika akan dilalokan adrenalektomi toial, bila disangkakan lesi unilateral, rutin menjalani tindakan bedah
elektif sama dengan pasien Addison.
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk ku.sinoma kortikoadrenal adalah mitotan (o,p'DDD), isomer dari insektisida DDT. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol plasma dan urin. Meskipun kerja sitotoksiknya relatif selektif untuk daerah korteks adrenal yang memproduksi glukokortikoid, zona glomerulosajuga bisa terganggu. Oleh karena mitotan juga mengubah metabolisme kortisol ekstraadrenal, kadar kortisol plasma dan urin harus dievaluasi untuk mentitrasi efek. Obat ini biasanya diberikan dalam dosis terbagi tiga
p"ng&un
sampai empat kali sehari, dengan dosis ditingkatkan secara bertahap menjadi8 sampai 10 g perhari. Pada dosis tinggi
hampir semua pasien mengalami efek samping, bisa mengalami gangguan gastrointestinal (anoreksia, diare, muntah) atau neuromuskular (lesu, somnolen, pusing). Semua pasien yang diobati dengan mitotan harus menjalani terapi pemelihaan jangka lama, dan pada beberapa pasien perlu dilakukan penggantian mineralokortikoid. Pada kirakira sepertiga pasien, tumor dan metastasis mengalami kemunduran, tetapi survival jangka lama terbatas. Pada kebanyakan pasien, mitotan hanya menghambat steroidogenesis dan tidak menyebabkan regresi metastasis tumor. Metastasis ke tulang biasanya refrakter terhadap obat dan harus diobati dengan terapi r4diasi. Mitotan juga dapat diberikan sebagai terapi tambahan setelah reseksi karsinoma adrenal, meskipun tidak ada bukti bahwa ini memperbaiki survival.
Hiperplasia Bilateral Pasien dengan hiperplasia bilateral mengalami peningkatan
kadar ACTH absolut at4u relatif. Terapi harus ditujukan
selective petrosal sinus venous sampling, dan pasien dirujuk ke senter yang lebih tepat jika prosedur tidak tersedia. Jika mikroadenoma tidak dijumpai pada saat eksplorasi, mungkin diperlukan hipofisektomi total. Komplikasi pembedahan trans-sfenoid al adalah rinorea
cairan serebrospinal renorea, diabetes insipidus, panipopituitarisme, dan cedera saraf optik atau otak. Neoplasma hipof,rsis ini bisa sembuh jika kelainan utama berada di hipotalamus.
Pada senter tertentu, adrenalektomi total menjadi pengobatan pilihan. Angka kesembuhan denganprosedur ini mendekati 100 % . Efek merugikan termasuk kebutuhan
penggantian mineralokortikoid dan glukokortikoid sepanjang hayat danl0-20 %kemungkinan muncul kembali tumor hipofisis sepuluh tahun kemudian (sindrom Nelson). Kebanyakan tumor ini membutuhkan terapi pembedahan. Tidak pasti apakah mereka muncul de novo pada pasien
ini atau dijumpai
sebelum adrenalektomi, tetapi
kemungkinan ditemukan terlalu kecil. Evaluasi radiologik kelenjar hipofisis secara periodik dengan MRI bersama dengan pemeriksaan ACTH serial harus dilakukan pada
semua individu setelah adrenalektomi bilateral pada sindrom Cushing. Tumor-tumor hipofisis bisa menjadi invasif dan menekan chiasma opticum atau meluas ke sinus kavernosa dan sfenoidalis. Iradiasi hipofisis j arang dilakukan sebagai pengobatan primer, dicadangkan untuk tumor rekuren pascaoperasi. Pada beberapa senter, kadar tinggi radiasi gamma dapat ditujukan pada tempat yang diinginkan dengan kurang penyebaran ke jaringan sekitar dengan menggunakan teknik stereotaktik. Efek samping radiasi term asuk ocular motor palsy dan hipopituitarisme. Long lag time anlara pengobatan dan remisi, dan angka remisi biasanya kurang dai50Yo.
Kadang-kadang pendekatan pembedahan tidak
memungkinkan,
bisa diindikasikan
"medical"
adrenaleltomi. Penghambatan steroidogenesis juga bisa
diindikasikan pada subjek cushingoid berat sebelum intervensi pembedahan. Adrenalektomi kimiawi mungkin lebih unggul dengan pemberian penghambat steroidogenesis ketokonazol (600-1200 mg/hari). Mitotan (2-3 g/hari) dan/ atau penghambatan sintesis steroid aminoglutetimid (1 C/hari) dan metiraponi (2-3 g,/hari) mungkin efektif secara
2068
MEIABOLIKENDOIGII{
tunggal atau gabungan. Mitotan lambat mencapai efek (berminggu-minggu). Mifepristone, suatu inhibitor
REFERENSI
kompetitif ikatan glukokortikoid terhadap reseptomya, bisa
Aron DC, Findling JW, Tyrrell JB : Glucocorticoids & Adrenal Androgens, in Basic & Clinical Endocrinology edit. by. FS Greenspan, DG Gardner. Lange Medical Booksi McGraw-Hill , ed. 7h 2004,
menjadi pilihan pengobatan. Insufisiensi adrenal merupakan risiko semua obat-obat ini, dan dibutuhkan penggantian steroid.
PROGNOSIS
Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis baik dan tidak mungkin
kekambuhan terjadi. Prognosis bergantung pada efek jangka lama dari kelebihan kortisol sebelum pengobatan, terutama aterosklerosis dan osteoporobis. Prognosis karsinoma adrenal adalah amat jelek, disamping pembedahan. Laporan-laporan memberi kesan survival 5 tahun sebesar 22%o danwaktu tengah survival
adalah 14 bulan. Usia kurang 40 tahun dan jauhnya metastasis berhubungan dengan prognosis yang jelek.
p.362-413. Aron DC, Tyrrell JB (editors): Cushing's syndrome. Endocrinol Met Clin North Am 1994;23 451,925. Belchetz P, Hammond P : Adrenal Disorders in Mosby's Color Atlas and Text
of Diabetes and Endocrinology. Mosby, 2003. p. 265.
Cavagnini F, Pecori Giraldi F: Epidemiology and follow-up of Cushing's disease. Ann Endocrinol (Paris) 2001; 62: 168. Chee GH et a1: Transsphenoidal pituitary surgery in Cushing, disease: can we predict outcome? Clin Endocrinol (Oxf) 2001; 54:. 617.
Fletcher RF: Lecture Notes on Endocrinology, 2,d ed. B1ackwe11 Scientific Publications 1978, p. l2l-45. Findling JW, Raff H: Diagnosis and differential diap.osis of Cushing,s syndrome. Endocrinol Metab Clin North Am 2001; 30: 729. Lindholm J et ril: Optimal response criteria for the human CRH test in the differential diagnosis ofACTH-dependent Cushing's syndrome. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87: 640. Quddisi S, Browne P, Hirach IB: Cushing's syndrome die to surreptitious glucocorticoid administration. JANA 1998; 158:, 294. Swearingen B et al: Lomg-term mortaliity after transsphenoidal surgery for Cushing disease. Ann Inern Med 1999; 130: 821. Tumer HE, Wass JAH : Oxford Handbook of Endocrinology and Diabetes. Oxford University Press, 2002. p. 158,261. William GH, Dluhy RG : Disease of the Adrenal Cortex, in Harrison's
Principles of InternalMedicine, edit. by Fauci, Braunwald Isselbacher et al,vol.
II, ed. 146. p.2035-56.
321 PENYAKIT KORTEKS ADRENAL LAINNYA Sjafii Piliang
SINDROMADRENOGENITAL
defisiensi enzim steroid berkurang di dalam jalur yang
Penyakit inijarang ditemukan, disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu ataubeberapa enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid. Penyebabnya adalah genetik dan biasanya diturunkan secara autosomal resesif. Efek utama sindrom ini adalah pada adrenal, tetapi kadangkadang gonad juga dipengaruhinya. Banyak tipe telah ditemukan, tetapi yang telah ditemukan seperti pada
produksi steroid berlangsung abnormal. Umumnya pasien mempunyai genotip normal laki-laki atau perempuan dan biasanya diferensiasi gonad dan organ kelamin internal
Gambarl.
loosing danhipertensi pada kedua jenis kelamin. Neonatus dengan salt loosing menunjukkan keadaan umum yang bera! 3). Virilisasi prekoks dengan testikel kecil pada anak laki-laki dan virilisasi pada anak perempuan; 4). Amenore dengan virilisasi pada perempuan dewasa.
secara nonnal memang sedikit, akan tetapi mengakibatkan
normal, tetapi karakteristik seksual lain bervariasi, sehingga sindrom adrenogenital menunjukkan 4 bentuk utama, yaitu : 1). Neonatus perempuan dengan genitalia eksterna ganda
(female pseudo-hermaphroditism); 2). Terjadi salt
Patologi Defisiensi C-20 hidrosilase. Merupakann tipe yang paling berat. Kelainan terjadi pada sintesis steroid paling awal. Gonad dipengaruhi sama seperti gangguan sintesis
hormon kelamin. Akibatnya, bayi laki-laki gagal
Gambar 1. Skema sintesis steroid. Nomor yang dikurung menunjukkan erlzim yang terlibat
Gejala klinis Gejala klinis bervariasi, tergantung pada lokasi dan parahnya gangguan enzim. Umumnya perubahan yang terjadi oleh karena gabungan gangguan sintesis kortisol dan aldosteron, kelainan mineralokortikoid dan keterlibatan androgen. Defisiensi kortisol merangsang pelepasan
ACTH berlebihan yang menyebabkan hiperplasia adrenal, disebut hiperplasia adrenal kongenital. Walaupun
menghasilkan testosteron intrauterin, sehingga genitalia ekstema menunjukkan bentuk kelamin perempuan pada waktu lahir. Kelenjar adrenal dibanjiri oleh kolesterol, sehingga disebut lipid adrenal hyperplasia. Bila terjadi gangguan biokimia berat, biasanya keadaan ini akan cepat menyebabkan kematian.
Defisiensi C-3p-dehidrogenase. Kelainan ini juga mempengaruhi gonad. Kortisol berkurang, tetapi sekresi kortikosteroid meningkat, sehingga teg'adi retensi garam dan hipertensi. Pada wanita mempunyai genitalia ekstema normal, tetapi tidak mengalami menstruasi, sedangkan pada laki-laki menyebabkan pseudohermafrodit.
Defisiensi C-21 hidroksilase. Merupakan benhrk yang palig umum, yang menyebabkandefisiensi kortisol dengan
2070
kelebihan pregnanetriol dan androgen. Pada bentuk yang berat (paling jarang), terjadi pengeluaran natrium pada waktu Iahir, bisa fatal. Bayi lakiJaki mempunyai genitalia ekstema
normal, tetapi bayi perempuan mengalami pertumbuhan genitalia ekstema yang cepat. Pada bentuk yang ringan,
kehilangan natrium tidak nyata. Kelebihan androgen menyebabkan perubahan pada masa kanak-kanak; pada
anak laki-laki timbul pseudo-precocious puberty, tanpa perkembangan testes, dan pada anak perempuan bisa mengalami hipertrofi klitoris, cepat terjadi pertumbuhan rambut ketiak dan pubes, sedangkan payudara tetap kecil
MEIABOIJKENDOKRIN
Lokasi Tumor Adrenal Kebanyakan tumor adrenal kecil dan berada di bagian dalam sehingga sulit ditemukan. Tidak ada cara yang mempunyai
reliabilitas tinggi untuk mengenalinya. Dapat dicoba dengan radiografi, termasuk pielografi intravena dengan tomografi, penluntikan gas retroperitoneal dan angiografi . Dapat juga dibantu dengan pemeriksaan horrnon, mungkin akan memberikan hasil lebih baik. Walaupun demikian, semua hasil pemeriksaan di atas dapat memberikan hasil
positif palsu.
dan bel um terj adimenstruasi.
Defisiensi C-11p-Hidroksilase. Kelainan ini terjadi pada langkah terakhir sintesis kortison dan aldosteron dengan keparahan yang bervariasi. Kortisol darah dapat normal, tetapi adanya androgen deoksikortikosteron berlebihan menyebabkan virilisasi dan hipertensi.
Diagnosis Problem muncul pada masa neonatus, berupa virilisasi genitalia eksterna yang luas pada anak perempuan, hiperhofi klitoris sampai fusi lengkap labia dan adanya hipospadia. Diagnosis banding harus dibuat detgan true dan ps eudohermaphroditism denbgan melakukan buccal smear dan analisis kromosom. Pemeriksaan steroid urin, terutama indeks oksigenasi akan memastikan diagnosis. Pada anak dewasa, perlu dilakukan pembedaan dengan true precocious puberty dan virilising tumor ovaium dan adrenal.
Pengobatan. Pada tipe salt loosing, pemberian kortikosteroid dan garam dapat menghindarkan pasien dari kematian. Selanjutnya, pengobatan dilanjutkan dengan
kortikosteroid'yang menekan produksi androgen berlebihan dan berlangsung sampai pubertas normal dan muncul kembali fungsi gonad. Kadang-kadang dianjurkan pemberian kortikosteroid pada malam hari untuk menekan ACTH. Pada anak perempuan, terapi kortikosteroid harus dilanjutkan untuk mencegah virilisasi. Pengobatan j angka panjang pada anak laki-laki masih diperdebatkan. Mungkin diperlukan bedah plastik unflrk genitalia eksterna. Prognosis. Kecuali pada bentuk terberat, respons terhadap pengobatan memberikan hasil yang baik dan fertilitas normal. Pasien mengalami respons stress tidak adekuat, tetapi harapan hidup masih baik.
TUMORADRENAL Tumor adrenal memiliki hubtrngan dengan sindrom Cushing dan sindrom Conn serta tumor-tumor lain yang
mensekresi androgen (menyebabkan virilisasi pada perempuan), yang mensekresi estrogen (menyebabkan feminisasi pada laki-laki dan perdarahan uterus pada perempuan pasca menopausal).
HIRSUTISME DAN VIRILISASI Kelainan ini amat jarang dijumpai pada laki-laki danjelas sulit untuk mengenalinya. Kelainan ini disebabkan oleh tumor yang mengha . Sering dijump aipada wanita, tetapi harus a hirsuitisme simpleks dan sindrom virilisasi.
Rambut Normal Manusia adalah mamaliaberambut dan semua kulit memiliki folikel rambut, keculi telapak tangan, kaki dan kelopak mata. Folikel rambut mula-mula berbentuk vilus, relatif kecil dan menghasilkan rambut yang pendek., tipis, lembut dan pucat. Semua folikel memiliki kemampuan berubah menjadi bentuk terminal dengan folikel yang lebih besar dan menghasilkan rambut yang lebih panjang, lebih tebal, lebih tegang dan lebih gelap. Perubahan ini terjadi pada kulit kepala dan alis mata sebelum atau segera setelah lahir. Perubahan berikutnya adalah pada waktu pu-bertas dimana
androgen ovarium atau testes merangsang perubahan rambut terminal di ketiak dan pubis. Selanjutnya, pada kebanyakan perempuan, perubahan rambut terjadi pada tungkai bagian bawah dan lengan bawah. Pada keadaan normal, tidak terjadi perubahan pada perempuan sampai menopause, dimana sering terjadi perhrmbuhan rambut terminal pada bibir atas dan dagu dan hal ini menetap sampai usia tua. Pada laki-laki, kadar androgen yang lebih tinggi pada masa pubertas menyebabkan rambut terminal tumbuh di daerah tertentu (male hirsutism), misalnya janggut, perut bagian bawah, dada, larrgarrdan paha. Botak yang terjadi pada kepala bagian depan laki-lakiberlangsung pada masa dewasa, diduga karena faktor genetik atau androgen yang tinggi. Dianggap bahwa mqle sexual hair tumbuh pada daerah-daerah dimana folikel membutuhkan kadar androgen lebih tinggi untuk mengalami perubahan.
Istilah adrenarche kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan masa pubertas ketika androgen adrenal meningkat dan rambut seksual tumbuh sedangkan gonad belumberfungsi.
Hirsutisme Simpleks (ldiopatik) Rambut terminal wajah dan badan pada wanita normal
2071
PEI.IYAKIT KORTEKS ADRENAL LAINITYA
bervariasi. Ada perbedaan antara suku bangsa, misalnya
perempuan Asia dan Eropa Sela@4 mempunyai garis rambut kepala lebih rendah dan bulu-bulu rambut badan lebih banyak daripada perempuan Eropa Utara. J;uga ada unsur budaya mengenai apa yang diterima sebagai sesuatu yang normal.
Gejala klinis. Pertumbuhan rambut ekstra seringkali menyebabkan kesusahan oleh karena masalah kosmetik dan ketakutan yang tak beralasan bahwa akan ada perlumbuhan
kelamin. Perubahan rambut biasanya mulai tampak antara masa pubertas dan umur 20 tahun; cenderung meningkat secara perlahan dan berhenti pada usia
3
5 tahun.
Keparahan
dan distribusi bulu-bulu rambut bervariasi. paerah yang ditumbuhi terutama pada wajah, bibir atas dan dagu. Rambut pada lengan bawah meningkat dan rambut tumbuh panjang antarapayudara dan pubik, meluas sampai ke paha atas dan dinding perut depan (di sebutmale
esculcheon).Kulit
cenderung menjadi berkeriput dan dapat muncul jerawat' Menstruasi dan fertilitas biasanya normal, tetapi pada
umunnya tidak terahu dan fertilitas berkurang. Kesehatan fisik, tekanan darah, payudara dan klitoris normal. Diagnosis. Leb th dai95% wanita denganbulu rambut tubuh berlebihan mengalami hirsutisme simpleks. Jika tidak ada hipertrofi klitoris dan ovulasi berlangsung normal, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kelainan endokrin. Tes supresi
kandungan estrogen tinggi kadang-kadang dapat juga diberikan, terutama bertujuan untuk menekan produksi
androgen ovarium bila diduga androgen berasal dari ovarium. Alternatif lain adalah menggunakan prednison dosis kecil untuk menekan produksi androgen adrenal.
Prognosis. Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi
memberi kesan rambut tubuh berlebihan, dan tidak berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cendering berkurang setelah menopause.
Sindrom Virilisasi Sindrom virilisasi adalah peningkatan pertumbuhan rambut
disertai tanda-tanda aktivitas androgenik lain, seperti amenore, hiperffofi klitoris, atroh uterus dan atrofi paludara. Kadang-kadang terjadi botak di bagian depan kepala.
Diagnosis banding. Sindrom polikistik ovarium harus dipertimbangkan walaupun biasanya virilisasi pada keadaan ini ringan. Penyebab lain adalah sindrom Cushing, adenoma atau karsinoma adrenal, arenoblastoma ovarium, dan
sindrom adrenogenital late onset. Diperlukan tes perangsangan atau supresi kadar hormon steroid'di dalam
darah dan urin untuk menegakkan diagnosis, tetapi laparotomi mungkin diperlukan.
dapat dilakukan dengan menggunakan kortikosteroid sintetik dan estrogen/progesteron tablet secara berurutan untukmenentukan apakah kelebihan androgen berasal dari adrenal atau ovarium. Pemeriksaan ini memberikan hasil bervariasi dan nilainya tidak pasti. Indeks oksigenasi steroid urin dapat digunakan untuk mengetahui sindrom
HIPERALDOSTERONISME
Hiperaldosteronisme Primer (Sindrom Gonn) ini paling sering terjadi pada wanita usia
Keadaan
menyenangkan dan diperlukan tenaga ahli, tetapi hanya
pertengahan akibat sekresi aldosteron autonom. Gejala klinisnya adalah hipertensi esensial benigna, disertai sakit kepala, jarang dijumpai edema. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia (K < 3,0 mMoL4L) tanpa sesuatu sebab yang jelas seperti pemakaian diuretik atau muntah-muntah. Kadang-kadang pasien mengalami simtom hipokalemia yang mempengaruhi ginjal atau sistem neuromuskular seperti poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot, hiporefl eksi episodik atau paralisis'
cara inilah yang aman untuk merusak rambut tanpa
Etiologi. Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami
adrenogenital.
Pengobatan. Fascial
hair
dapat menyebabkan
kekhawatiran . Electrolysis merupakan pengobatan lokal terbaik dengan mengalirkan arus listrik melalui folikel rambut
disertai diatermi pada folikel. Mungkin dibutuhkan pengobatan j angka panj ang oleh karena banyak bulu rambut menjadi bentuk terminal. Cara ini membosankan, mahaf, tidak
menimbulkan cacat. Mencukur merupakan cara alternatif, murah dan beberapa pasien dapat menerimanya. Juga dapat digunakan depilatory creqm, bleaches dan hea'ry layer cosmetics. Saat
ini telah tersedia 3 jenis obat siproteron asetat, yaitu
anti androgen yang digunakan secara luas di beberapa negara. Penggunaannya harus digabungkan dengan estrogen untuk menjamin bahawa kehamilan tidak terjadi
selama pengobatan, oleh karena kemungkinan efek teratogenik. Regimen siproteron asetat 2 x 50 mg,&ari pada siklus haid hari 5-14 dikombinasi dengan etinil estradiol 50 mglhaipadasiklus haid hari 5-21 dikatakan memberikan
hasil yang memuaskan. Kontrasepsi oral dengan
adenoma adrenal soliter, kecil, dengan penampang bewarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia adreno[ortikal mikro-
atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh hipertensi dan hipokalemia. Diagnosis. Hipokalemia merupakan gejala terpenting,jarang ditemukan normokalemia. Diagnosis ditegakkan dengan kadar aldosteron yang tinggi yang tinggi dan renin yang
rendah. Sukar dibedakan antara adenoma dengan hiperplasia. Secara klinis juga sukar dibedakan antara hiperaldosteronisme primer dengan hipertensi esensial. Pemeriksaan kadar kalium plasma merupakan petunjuk diagnostik.
2072
METABOLIKENDOI(RIN
Pengobatan. Spironolaktoh, suatu antagonis aldosteron
lnsufiensi Adrenokortika! Kronik (s)
dapat, menghilangkan gej ala-gej ala hiperaldosteronisme.
Gejala klinisnya tergantung pada kecepatan dan tingkat
Obat ini juga dapat digunakan untuk tes diagnostik, persiapan operasi dan pengobatan jangka panjang jika operasi merupakan kontraindikasi. Jika dijumpai adenoma harus diangkat.
Hiperaldosteronisme Sekunder Dijumpai pada keadaan dimana terjadi perangsangan renin persisten. Gejala klinis dan pengobatan ditujkan pada
penyebabnya d,an jarang diperlukan pemeriksaan aldosteron. Hiperaldosteronisme sekunder dapat dijumpai pada keadaan hipersekresi renin primer akibat hiperplasi sel
jukstaglomerulus di ginj al
(s
indr o m B ar t t er').
lnsufisiensi Adrenokortikal Akut (Krisis adrenal) Defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak biasanya disebabkan oleh penyakit atau stres yang berat. Gejala klinis ditentukan oleh keadaan penyakit yang mendasarinya. Keadaan umum yang buruk, disertai nyeri kepala, mual, muntah, diare dan hipotensi, dapat berlanjut sampai timbul syok dan kematian. Kerusakan adrenal dapat terjadi karena toksin bakteri pada infeksi berat. Pada septikemia terutama oleh meningokokus, dapat
terjadi perdarahan adrenal bilateral akibat perdarahan multipel di semua bagian tubuh (sindrom WaterhouseFredericlcson). Perdarahan adrenal masih dapat terjadi pada bayi baru lahir, terutama setelah mengalami trauma lahir. Insufisiensi adrenal akut juga dapat terjadi akibat stres, infeksi ringan, pada pasien dimana respons adrenal menurun karena sesuatu sebab atau gangguan pelepasan
ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi kortikosteroid. Saat ini pengobatan dengan kortikosteroid danACTH digunakan secara luas, sehingga menjadi salah satu penyebab insufisiensi adrenal yang tersering.
Diagnosis dan pengobatan. Diagnosis harus segera ditegakkan agar dapat segera diberikan pengobatan. Perlu diperhatikan prosedur berikut dalam memastikan diagnosi dan penanganannya. Sampel darah harus diambil untuk pemeriksaan kortisol darah. Kemudian diberikan NaCL 0,9
I liter/jam dan pada setiap liter ditambahkan
deksametason sodium fosfat 4 mg dan aqueos tetrosuctin 200 mg. Setelah l jam, ulangi pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kortisol darah. Cara ini efektif dan
pemeriksaan kortisol darah dapat memastikan diagnosis klinis dan melihat respons adrenal. Pengobatan
selanjutnya adalah pemberian larutan NaCl
pertengahan. Penyakit ini berlangsung perlahan-lahan selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dengan keluhantidak spesifik, seperti lesu, letih, lemah, anoreksia, mual dan penurunan berat badan. Dapat juga disertai muntah-muntah, nyeri perut, hipoglikemia dan hipotensi postural. Dapat terjadi krisis adrenal akut akibat stres;
bahkan tidak jarang pasien mengalami depresi atau psikosis. Pada pemeriksaan, pasien kelihatan kurus, lemah dan hipotensi. Pigmentasi adalah tanda yang paling menyolok, akibatpeningkatan melanin denganpigmen ekstra di perut,
tempat-tempat yang tertekan, misalnya di darah tali
INSUFISIENSI ADRENOKORTIKAL
Yo intravena
kerusakan adrenal. Biasanya ditemukan pada usia
0,9olo,
kortikosteroid, glukosa intravena dan pengobatan penyakit pencefu snya. Alternatif lain dapat diberikan hidrokortison intravena dengan latrutan NaCl 0,9%o, tetapi prosedur ini harus diseertai pemeriksaan kortisol darah. Terapi jangka panjang tergantung pada keadaan dan respons adrenal.
pinggang, lipatan telapak tangan, areola dan perineum dan daerah yang terpapar sinar matahai. Kadang-kadangdapat dijumpai vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi, gusi dan bibir. Pigmentasi pipi juga dapat dijump ai pada orang kulit hitam normal. Bulu ketriakjarang, terutama pada perempuan walaupun fungsi ovarium biasanya normal.
Patologi. Penyakit ini disebabkabn oleh kegagalan keq'a kortikosteroid, tetapi yang relatif lebih penting aiiitatr defi siensi gluko dan mineralokortikoid dengan gejalayang
belum jelas. Kegagalan aldosteron cenderung akan menyebabkan kehilangan Na dan retensi K, serta glukosa
darah cenderung menurun. Pigmentasi terjadi karena
ekskresi melanocyte stimulating hormone (MSH) berlebihan yang menyertai peningkatan sekresiACTH yang disebabkan oleh kadar kortisol plasma yang rendah. Etiologinya antara lain adalah tuberkulosis, tetapi lebih sering idiopatik. Dikemukakan adanya proses autoimun
oleh karena dijumai autoantibodi yang secara klinis ada hubunganya dengan penyakit endokrin autoimun lain dan gambaran histologik kelenjar adrenal mengingatkan pada
gondok limfadenoid. Amat jarang disebabkan oleh neoplasma sekunder dan granuloma.
Diagnosis. Bergantung pada tingkat kegagalan respons adrenokortikal terhadap ACTH. Kadar kortisol plasma mennrun dan ritem diurnal menghilang. Dapat jugaterjadi insufisiensi adrenal sedangkan kadar steroid basal normal
oleh karena kegagalan berespons terhadap stres. Peningkatan kadar ACTH plasma merupakan petanda diagaostik pasti. Kadar elekholit plasma tidak berhubungan dengan diagnosis. Pada pemeriksaan radiograf,r dapat ditemukan kalsifikasi adrenal. Pengobatan. Terapi utama adalah dengan memberikan kortisol. Mula-mula diberikan kortison dosis tinggi. Pada terapijangka panjang, dosis yang tepat adalah kira-kira25 mg pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per-oral untuk mencapai produksi dan ritme yang normal. Kadang-kadang
diperlukan penambahan mineralokortikoid (biasanya fludrokortison 100 pglhari). Mungkin diperlukan
2073
PEI,TYAKIT KORTEKII AITRENAL LAINI{YA
penyesuaian dosis untrik memberikan perasaan sehat, tekanan darah dan berat badan normal tanpa edema. Perlu
diberitahukan kepada pasien bahwa kegagalan ini permanen sehingga diperlukan pengobatan jangka panjang dan penambahan dosis dalam keadaan stres. Pasienjuga harus membawa steroid card seliap saat. Prognosis. Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia
pasien biasanya normal, sedangkan pigmentasi dapat menetap.
lnsufisiensi Adrenokorti kal Sekunder Kelainan ini merupakan bagian dari sindrom kegagalan hipofisis anterior. Respons terhadapACTH terhambat atau menurun akibat atrofi adrenal. Dapat timbul manifestasi akut oleh karena kegagalan respons terhadap stres pada penyakit-penyakit hipofisis atau setelah mendapat terapi kortikosteroid.
REFERENSI Fletcher RF. tecture Notes on Endocrinology. 4th ed. Blackwell Scientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne. Jubiz W. Endocrinology: A Logical Approach for Clinicians. Inter-
national Student Edition. Tokyo: McGraw-HillKogakusha Ltd;1 989.
Liddle GW. The Adrenal. In: Williams RH (ed). The Text book of Endocrinology.6th ed. WB Saunders Co, Igaku Shoin, Tokyo, 1982:249-92. Tiemey LM, McPhee SJ, Papadakis MA. Curent Medical diagnosis & Treatment. Intemational edition. Lange Medical Book, 1994.
322 METABOLISME KALSIUM Agus
P.
Sambo, John MF Adam
PENDAHULUAN
Kalsium masuk ke dalam plasma melalui absorpsi dari
Tubuh orang dewasa mengandung l-2 kg kalsium, lebih
dai 90
o/o
drarfiararryaterdapat dalam tulang. Dalarn keadaan normal terdapat keseimbangan antara jumlah kalsium dalam
tulang dengan kalsium dalam cairan ekstraselular. Walaupun demikian hanya sebagian kecil sajayaifi0.5 %o yatg dapat dipertukarkan. Kadar kalsium plasma total berkisar antara 8,8 - 10,4 mgldl,yang terdiri atas kalsium ion sebesar 40 - 50 o%, kalsium yang terikat pada protein terutama albumin s'ebesar 46 o/o dan sisanya 8 % kalsium dalam kompleks organik yang terikat dengan anion yaitu
bikarbonat, sitrat, fosfat, laktat dan sulfat. Kalsium ion merupakan kalsium yang secara biologis sangat penting oleh karena peranannya dalam beberapa fungsi selular. Oleh karena itu kadar kasium ion selalu harus dipertahankan dalam batas normal terutama oleh hormon paratiroid.
usus halus, dari tulang, dan reabsorpsi dari ginjal. Sebalilcrya kalsium ke luar dari plasma melalui saluran cema
(100-200 mglhari), air seni (50-300 mg/hari), disimpan kembali ke dalam tulang melalui keringat (100 mg/hari)
(Gambarl). Tulang adalah suatu jaringan tubuh yang dinamik dan
mengalami perubahan sepanjang kehidupan serta merupakan tempat penyimpanan kalsium terbesar dan
mineral lain seperti magnesium, fosfor, natrium dan berbagai ion unhrk keperluan keseimbangan berbagai fi.urgsi.
Bila terjadi penurunan kalsium plasma yang berlangsung lama karena berbagai sebab maka tubuh akan mengambil kalsirim dari tulang. Hal ini akan menyebabkan
penurunan kalsium tulang akibatnya tulang akan mengalami demineralisasi dan terjadilah osteoporosis. Dengan meningkatnya usia seseorang akan mengalami penurunan jaringan tulang yang progresif. Penelitian longitudinal pada wanita pasca menopause akan kehilangan kalsium dalam tubuh sebesar 20 mg sampai 60 mg/hari, walaupun ini sedikit akan tetapi dalamjangka 10 tahun kehilangan kalsium mencap ai l3Yo daitotal kalsium tubuh, jumlah yang cukup untuk menimbulkan osteoporosis. Padamakalah ini akan dibicarakan lebih lanjut tentang
metabolisme kalsium dan hormon yang berhubungan dengan metabolismne kalsium, serta osteoporosis.
HORMON DAN METABOLISME KALSIUM Gambar 1. Homeostasis kalsium, hubungan antara kalsium
Metabolisme kalsium diatur oleh tigahormon utama yaitu dua hormon polipeptida masing -masing hormon paratiroid
ekstraselular dan tulang, demikian juga antara kalsium dalam diet dan tinja. (Dikutip dari: Holick ME Krane SM. lntroduction to bone and mineral metabolism. ln: Braunld E, FauciAS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of lnter-
dan kalsitonin dan satu hormon sterol yaitu 1,25 dihidroksikolekalsiferol {1,25 (OH)2D3}. Pada tabel I
nal Medicine. 15th ed. New York, McGraw-Hill, Medical pub. Division. 2001, pp. 2192
-
diperlihatkan titik ke{a hormon tersebut pada tulang, ginjal dan usus halus.
2204. ces = cairan ekstraselular)
2074
2075
MEIABOUSMEKAIIiIUM
Ginjal
Tulang
Hormon
paratiroid
Vitamin
D
Calcitonin
Meningkatkanabsorpsikalsium dan fosfat
Mempertahankan transpor ion Ca Menekan absorpsi kalsium dan fosfat
Meningkatkan reabsorPsi kalsium, menekan reabsorpsi fosfat dan bikarbonat. Meningkatkan perubahan 25(OH)D3 ke 1,25 (OH)2D3 Menurunkan reabsorpsi kalsium Menurunkan reabsorpsi kalsium dan fosfat. Efek terhadap metabolisme vitamin D?
Tidak ada efek langsung
Meningkatkan absorPsi kalsium dan fosfat Tidak ada efek langsung
FS. Baxter JD, editors' Basic & Dikutio dari: Arnaud D. Claude. The Calciotropic Hormone & Metabolis Bone Disease ln: Greenspan pp'227 1994, & Lange Appleton ed. Connecticut: -306 Clinical Endocrinology,4rh
Hormon Paratiroid
Merangsang kerja enzim 1p-dihidroksilase
Kelenjar paratiroid terdapat di bagian posterior kelenjar tiroid, ada dua buah pada tiap sisi. Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid dan merupakan hormon
menjadi 1,25 dihidroksikolekalsiferol.
utama yang mengatur metabolisme kalsium untuk
di ginjal
sehingga meningkatkan perubahan 25 hidroksikolekalsiferol
Regulasi Sekresi Hormon Paratiroid
mempertahankbnagar kadar kalsium plasma dalam batas normal. Hormonparatiroidterdiri atas 84 asam amino rantai
Pelepasan hormon paratiroid sangat tergantung dari kadar
tunggal. Pada suatu keadaan hipokalsemi, sekresi hormon paratiroid berlangsung dalam tiga tahap. Tahap dini berlangsung beberapa menit, merupakan respon cepat dari sel sel paratiroid melepaskan hormon paratiroid yang
paratiroid akan cepat bereaksi melepaskan hormon
sudah tersedia dalam sel terhadap suatu keadaan hipokalsemi. Tahap kedua yang terjadi beberapa jam kemudian merupakan aktivitas sel kelenjar paratiroid menghasilkan hormon paratiroid lebih banyak. Tahap ketiga
apabila hipokalsemi masih berlangsung maka dalam
beberapa hari akan terjadi replikasi sel untuk memperbanyak masa sel kelenjar paratiroid.
Hormon Paratiroid dan Metabolisme Kalsium Dalam keadaan normal hormon paratiroid bekerja mempertahankan kadar kalsium plasma agar tidak terjadi
hipokalsemi. Dalam kaitannya dengan metabofisme kalsium, hormon paratiroid bekerja secara langsung pada dua alat yaitu tulang dan ginjal, dan secara tidak langsung
pada usus halus melalui metabolisme vitamin D. Mekanisme kerja hormon paratiroid pada organ tersebut sebagai berikut
:
kalsium plasma. Pada keadaan hipokalsemi, kelenjar paratiorid untuk meningkatkan kadar kalsium pldsma agar kembali normal. Pada saat kadar kalsium plasma sudah normal, pelepasan hormon paratiroid akan kembali normal. Kalsitriol dapat menekan pelepasan hormon paratiroid.
Paratiroid Hormon-Related Protein Faktor parakrin yang disebut parathiroid hormon-related protein atau disingkat PTHrP adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh jaringan diluar kelenjar paratiroid misalnya otak, pankreas, payudara, jantung, hati, plasenta, sel endotel, dan otot. Pada orang dewasa normal PTHrP tidak berperan pada metabolisme kalsium, tetapi pada keganasan
terutama pada keganasan sel squamous' akan menghasilkan PTHrP yang sangat tinggi sehingga akan mengakibatkan hiperkalsemi.
VITAMIN D Vitamin D dalam tubuh kita berasal dari dua sumber yaitu yang berasal dari makanan baik dari tumbuh-tumbuhan
Pada ginjal, hormon paratiroid melalui dua jalur yaitu : a).
(vitaminD D,: kolek tropis, kul
Reabsorpsi kalsium. Di ginjal hormon paratiroid meningkatkan reabsorpsi kalsium dan menurunkan
penting.
Pada tulang, hormon paratiroid meningkatkan resorpsi kalsium dan fosfat dengan mengaktifkan sel osteoklas.
reabsorpsi fosfat. Reabsorpsi kalsium di ginjal terjadi pada tubulus proksimal (60%),ansa henle (25%) dansisanya di tubulus distal. Selain meningkatkan reabsorpsi kalsiumjuga meningkatkan reabsorpsi magnesium dan meningkatkan ekskresi fosfat dan bikarbonat melalui air seni; b).
arihewan(vitamin di kulit. Di daerah vitamin D, tetaPi
didaerahjauh dari equator, asupan vitain D dari luar sangat
Vitamin D yang dibentuk di kulit yaitu vitamin D, (7 dehidrokolesterol) akan mengalami dua kali hidroksilasi sebelum menjadi vitamin D yang biologis aktif yaitu 1,25
dihidroksivitamin D atau kalsitriol, yang lebih tepat disebut suatu hormon dari pada vitamin. Hidroksilasi vitamin D
2076
MEIABOIJKENDOIAE{
dalam tubuh terjadi sebagai berikut:
l). Hidroksilasi
pertama terjadi di hati oleh enzim 25-hidroksilase menjadi 2 5 -hidroksikolekalsiferol yang kemudian dilepas ke darah dan berikatan dengan suatu protein (vitamin D-binding
protein) selanjutnya diangkut ke ginjal; 2). Hidroksilasi kedua terjadi di ginjal yaitu oleh enzim I u-hidroksilase
sehingga 25-hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25
dihidroksikolekal-siferol atau kalsitriol yang merupakan suatu hormon yang berperan penting pada metabolisme
kalsium(Gambar2).
Hati
25 (OH) vitamin D
Ginjal (1 -ohidroksilase)
KALSITONIN Kalsitonin adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino bekerja menghambat osteoklas sehingga resorpsi tulang tidak terjadi. Dihasilkan oleh sel C parafolokular kelenjar tiroid dan disekresi akibat adanya perubahan kadar kalsium plasma. Kalsitonin baru akan dilepaskan bila terjadi hiperkalsemi dan sekresi akan berhenti bila kadar kalsium menurun atau hipokalsemi. pemberian intravena kalsitonin akan menyebabkan penurunan secara cepat kalsium plasma dan fosfat plasma melalui pengaruh kalsitonin pada tulang dengan menghambat osteoklas. Osteoklas di bawah pengaruh kalsitonin akan mengalami perubahan morfologi. Dalam beberapa menit osteoklas akan menghentikan aktivitasnya kemudian mengkerut dan menaik rufi I e d b o r d e r daripermukaan tulang.
Reseptor kalsitonin selain terdapat pada sel osteoklas jlugaterdapat pada sel tubulus proksimal ginjal sehingga
kalsitonin mempunyai peran pada ginjal. pada ginjal kalsitonin meningkatkan ekskresi fosfat melalui hambatan
absorpsi fosfat, mempunyai efek natriuresis ringan sehingga ekskresi kalsium oleh ginjal dapat meningkat namun hal ini tidak memberikan efek pada kalsium plasma.
Gambar 2. Sintesis dan tempat kerja vitamin D
Peranan hormon paratiroid dalam.kaitan dengan perubahan metabolisme vitamin D adalah dalam perubahan dari 25-hidroksivitamin D m enjadi 1,25 dihidroksivitamin D
atau kalsitriol di ginjal. pada keadaan dimana terjadi hipokalsemi, maka kelenjar paratiroid akan melepaskan
hormon paratiroid lebih banyak dan hormon ini akan merangsang ginjal mengahasilkan lebih banyak 1,25 dihidroksivitamin D atau kalsitriol.
Vitamin D ( Kalsitriol) dan Kalsium Fungsi dari kalsihiol adalah meningkatkan kadar kalsium
dan fosfat plasma, dengan demikian mempertahankan keadaan agar mineralisasi tulang tetap te{amin. Vitamin D
bekerja pada tiga alat yaitu : l). Usus, kalsitriol meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dan dianggap sebagai fungsi utama kalsitriol dalam metabolisme kalsium. Pada keadaan hipokalsemi berat misalnya pada pasca tiroidektomi yang mengakibatkan kelenjar paratiroid ikut terangkat, pemberian kalsium oral tidak cukup untuk memperbaiki kadar kalsium tanpa penambahan vitamin D; 2).pada tulang, vitamin D mempunyai reseptor pada sel osteoklas, oleh karena itu vitamin D mempunyai efek langsung pada tulang yang
kerjanya mirip dengan hormon paratiroid yaitu
mengaktifkan resorpsi kalsium dari tulang dengan jalan mengaktifl
REFERENSI Amaud D. Claude. The Calciotropic Hormone & Metabolis Bone Disease. In: Greenspan FS. Baxter JD, editors. Basic & Clinical Endocrinology, 4'h ed. Connecticut: Appleton & Lange. 1994;
p:227 - 306. Bonjour J-P, Rizzoli R. Calcium and Nutrition in Adulthood and Old Age. The Second Intemational Training Course oh Osteoporosis for Industry Specialist, and General Practitioners, University of Melboume, Australia, 1999. Clemens TL, O'Riordan JLH. Vitamin D. In: Becker KI, Belizikian JP, Bremner WJ, Hung W, Kahn CR, Loriaux DL, Nyle,n ES, Rebar RW, Robertson GL, Wartofsky L, editors. principles and Practice of Edocrinology and Metabolism. second edition. philadelphia: JB Lippincott Company. 1995; p: 483 - 4gl. Dennison E, Cooper C. Osteoporosis. In: Pinchera A, Bertagna X! Fischer JA, Groop L, Schomaker J, Serio M, Wass JAH,
Braverman LE, editors. Endocrinology And Metabolism. London: McGraw-Hill International (UK) Ltd. 2001; p: 271 2gO. Gruenewald DA, Matsumoto AM. Aging and endocrinology. In: Becker KL, Belizikian JP, Bremner WJ, Hung W, Kahn CR, Loriaux DL, Nyle'n ES, Rebar RW, Robertson GL, Wartofsky L, editors. Principles and Practice of Edocrinology and Metabolism. second edition. Philadelphia: JB Lippincott Company. 1995; p: 1664 - t679. Holick MF, Krane SM. Introduction to bone and mineral metabolism. In: Braunld E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL,
JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 156 ed. New York: McGraw-Hill, Medical pub. Division. Jameson
2001; p: 2192 - 2204. Lindlay R, Cosman F. Osteoporosis In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison,s principles of intemal medicinel5 tl ed. New York: cMraw-Hill. 2001; p: 2226-2237.
METABOLIIIME KAISII,JM
Potts JT Jr. Disease of parathyroid gland other hyper- and hypocalcemic disorder. In: Braunld E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. l5t ed. New York: cGraw-Hill, Medical Pub. Division. 2001;p: 2205 - 2225. Shoback D, Marcus R, Bikle D, Strewler G. Mineral Metabolism & Metabolic Bone Disease. In: Greenspan FS. Baxter JD, editors' Basic & Clinical Endocrinology, 66 ed. New York Lange Med! cal Books/McGraw-Hill. 2001; p: 273 - 333.
2077
323 MENOPAUSE, ANDROPAUSE DAN SOMATOPAUSE PERUBAHAN HORMONAL PADA PROSES MENUA Pradana Soewondo
PENDAHULUAN Proses menua adalah suatu proses multifaktorial, yang
akan diikuti oleh penurunan fungsi-fungsi fisiologis organ tubuh yang progresif dan menyeluruh, disertai penurunan kemampuan mempertahankan komposisi tubuh, serta respon tubuh terhadap stres. Perubahan hormonal-endokrin yang te{adi dalam proses penuaan ialah:
.
. . . .
penurunan fungsi gonad-hormon seks (menopauseandropause)
penurunan fungsi adrenal-dehidroepiandrosteron (DIIEA, DIIEA-S) (adrenopause) penurunan aktivitas aksis hormon pertumbuhan (growth hormone = GH) - insulin growth factors I (IGF-I) (somatopause) penurunan melatonin
peningkatan hormon insulin sebagai akibat resistensi insulin.
harapan hidup orang Indone siarata-rata adalah 66,8 tahun.
Dalam laporan tersebut disebutkan pula bahwa dari studi selama tahun 1995-2000, persentase perempuarr yalg mencapai usia 65 tahun lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebesar 7 2,lo/o berbanding 63,8%o. Harapan hidup perempuan umumnya 5 tahun lebih lama daripada laki-laki.
Dengan meningkatnya angka harapan hidup, perempuan akan menjalani sepertiga masa hidupnya dalam
keadaan kekurangan estrogen (menopause). Selain itu diketahui bahwa sebagian kecil laki-laki mengalami fenomena klinis yang mirip dengan menopause, yang berkaitan dengan defisiensi hormonal secara parsial. Ardropause atau klimakterium pada laki-laki adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan beberapa gejala dan tanda yang berhubungan dengan penurunan fungsi gonad laki-laki oleh karena proses menua. Istilah ini digunakan sebagai kesetaraan dengan istilah menopause.
Sistem hormonal mengatur komposisi tubuh, deposisi lemak, massa otot, kekuatan otot, metabolisme, berat badan,
dan keadaan fisik. Perubahan hormonal akan menyertai perkembangan usia seseorang. Beberapa manifestasi dari proses menua disebabkan oleh menurunnyakadar hormon.
Peningkatan harapan hidup manusia Indonesia yang terjadi dalam tiga dekade terakhir telah mengakibatkan masalah kesehatan akibat menopause, andropause serta somatopause semakin menonjol. Pada tahun 1980, angka
harapan hidup orang Indonesia untuk laki-laki dan perempuanberturut-turut ialah 50,9 dan 54 tahun. Menurut United Nation Development Program (LINDP) dalam Human Developmental Report 2005,pada tahun 2003 angka
MENOPAUSE Menopause merupakan suatu bagian dari proses menua yang ireversibel yang melibatkan sistem reproduksi wanita.
Klimakterium merupakan istilah umum pada siklus reproduksi perempuan untuk menunjukkan rentang waktu mulai dari proses transisi sampai pada masa postmenopause awal. WHO mendefinisikan perimenopause sebagai interval yang mendahului berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa I tahun setelah sik[us menstruasi terakhir, yang menurut temuan
pada Massachusettsb Womenb Health Study, jangka
MENOPAUSE, AT{DROPAUSE DAN SOMIITOPAUSE PERUBAI{AN HORMONAL
waktunya berkisar tiga setengah tahun. Perimenopause ditandai dengan mulai timbulnya gejala vasomotor dan ketidakteraturan haid. Pada masa perimenopause, hot flushes seringkali mendahului siklus anorulasi. Keluhan
fisik, seperti tegangnya payu dara, perdarahan menstruasi yang tidak teratur, hot flushes, dan dispareunia; dan masalah emosional, seperti gangguan tidur, kelelahan, rasa tegangdan mudah tersinggung hampir selalu ditemukan. Menopause dimulai sej ak I 2 bulan setelah haid terakhir dan ditandai dengan berlanjutnya gejala vasomotor dan gejala urogenital seperti keringnya vagina dan dispareunia. Walaupun masa waktu yang dihabiskan selama menopause (+1/3 dari masa hidup) terus meningkat, usia onset menopause tidak banyak berubah yaitu sekitar 50-51 tahun. Perempuan pada zaman Yunani kuno mengalami menopause pada usia yang sama seperti perempuan modern, dengan masa transisi simtomatik biasanya dimulai dari usia 45,5-47 ,7 tahun (McKinlay, 1981; Cramer, 1995). Faktorfaktor yang mempercepat terjadinya menopause sangat sedikit, termasuk di antaranya merokok (Cramer, 1995),
histerektomi dan tinggal pada tempat yang tinggi (pegunungan). Berdasarkan survei Perkumpulan Menopause Indonesia tahun 2005, usia menopause ratarata wanita Indonesia adalah 49 + 0,20 tahun.
Dewasa ini, dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup, maka akan semakin banyak perempuan yang akan menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam keadaan hipoestrogenik. Pada hampir 70%owanita, proses transisi menuju menopause dilalui tanpa keluhan yang berarti. Walaupun demikian banyak perempuan datang ke
fasilitas kesehatan untuk berkonsultasi mengenai pengobatan terhadap gej ala-gej ala. yang mereka alam| seperti hot flushes atau keringnya vagina, atau untuk pencegahan masalah-masalah lain, seperti osteoporosis dan penyakit jantung koroner. Sampai saat ini, belum terdapattanda biokimia yang dapat diandalkan sebagai petanda onset menopause' Walaupun demikian, kadar serum FSH seringkali meningkat
2079
mungkin timbul pada wanita menopause. Meskipun menopause merupakan siklus biologik yang normal bagi seorang wanita, perlu dilakukan pemeriksaan-pemriksaan
khusus untuk mengantisipasi timbulnya kelainan yang serius akibat dampak menopause pada kondisi fisik, psikologis dan sosial, serta memerlukan pendekatan yang komprehensif dan logis berdasarkan bukti kJinlk (evidencebased). Pemeriksaan yang komprehensifpada wanita peri- atau
pasca-menopause meliputi risiko terhadap timbulnya penyakit-penyakit umum antara lain pemeriksaan riwayat faktor personal, faktor sosial, gaya hidup dan perilaku kesehatan, faktor lingkungan, pola menstruasi, kesehatan mental dan fungsi kognitif. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan terhadap faktor-faktor risiko yang spesifik bagi penyakit-penyakit yang sering terjadi pada wanita menopause yaitu penyakit kardiovaskular, osteoporosis dan kanker. Selain pemeriksaan riwayat reproduksi dan pemeriksaan
dasar yang komprehensif, perlu dilakukan pemeriksaan khusus terhadap faktor-faktor risiko yang spesifft terhadap
penyakit-penyakit yang sering terjadi pada wanita menopause yaitu yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, osteoporosis, kanker payudara dan kanker endometrium. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut antara lain: pemeriksaan endokrinologik, Papanicolaou (Pap) smears, mammografi, metabolisme lemak, pemeriksaan
kepadatan tulang (bone density), dan bila ada indikasi dilakukan pemeriksaan endometrium dan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal. Meskipun patofi siologi menopause belum diketahui dengan jelas tetapi defisiensi estrogen secara tradisional dianggap bagian terpenting pada wanita menopause. Pemeriksaan kadar gonadotropin FSH merupakan tes laboratorium kunci untuk diagnosis menopause, namun demikian pemeriksaan FSH, LH dan E, secara random tidak dianjurkan untuk memprediksi menopause oleh karena belum didapatkan marker yang jelas untuk mendiagnosis
pada perempuan yang masih memiliki siklus menstruasi yang teratur pada masa premenopause akhir' Pulsatilitas
menopause.
dan keteraturan pelepasan LH juga terlebih dahulu
dipertimbangkan untuk meringankan gej ala menopause. Terapi hormonal seringkali merupakan pilihan terapi paling efektif, namun tidak selalu diperlukan. Terapi estrogen dapat meringankan gejala hot flushes. Terapi progesteron saja juga dapat digunakan pada wanita yang menolak pemberian estroggn. Clonidine (catapres), juga dapat digunakan, dengan angka keberhasilan bervariasi. Terapi lain untuk hot flushes adalah bromokriptin; nalokson; bellargal; veralipride; vitamin E 800 IU/hari ; Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI$ termasuk fluoxetine, paroxetine dan venlafaxine; gabapentin (obat
berubah sebelum terjadi perubahan siklus menstruasi. Sekresi estrogen pada masa perimenopause bervariasi, dan termasuk di dalamnya ada masa dimana terj adi peningkatan
estrogen. Stimulasi yang lebih besar dengan FSH akan meningkatkan aktivitas aromatase folikular dan mengakibatkan sekresi estrogen berlebih Konsentrasi Inhibin menurun pada masa perimenopause dan berkontribusi terhadap peningkatan pelepasan F SH. Pemeriksaan dan evaluasi pada wanita peri- dan pasca-
menopause harus diletakkan pada konteks promosi kesehatan secara menyeluruh. Selain pemeriksaan klinis standar, harus pula meliputi evaluasi kualitas hidup dan
Terdapat beberapa pilihan efektif yang dapat
anti-kejang). Terapi estrogen juga dapat memperbaiki mood dan
pemeriksaan faktor risiko. Tujuan pemeriksaan faktor risiko
disforia pada menopause, kemungkinan dengan
adalah untuk mengidentifikasi risiko penyakit yang
mempengaruhi metabolisme serotonin pada sistem saraf
2080
MEIABOIJKENDOKRIN
pusat. Pemberian estrogen juga dapat mengurangi keluhan subjektif inkontinensia dan mengurangi insidens rekurensi
infeksi saluran kemih pada menopause. Efek fisiologis estrogen, seperti vasodilatesi arteri, penurunan kadar fibrinogen, peningkatan HDL, dan penurunan LDL, akan menurunkan resiko kardiovaskular. Beberapa penelitian
yang tinggi serat, rendah lemak, dan kaya akan antioksidan;
olah rugallatihan fisik; berhenti merokok; menurunkan masukan alkohol; mempertahankan aktivitas seksual secara reguler; pajanan terhadap sinar matahari; relaksasi dan mengurangi stres.
menunjukkan pemberian estrogen dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit jantung sebesar 40-50%.
Defisiensi estrogen merupakan penyebab utama osteoporosis. Efek maksimal terapi estrogen pada densitas jika terapi sulih hormon dimulai dalam tiga tahun pertama menopause. Walaupun demikian, massa tulang akan tercapai
beberapa penelitian menunjukkan efektivitas terapi, walaupun dimulai setelah tahun ketiga. Obat lain yang terbukti dapat meningkatkan densitas masa tulang pada wanita menopause adalah alendronat, etidronat, kalsitonin dan raloksifen. Efek terapi sulih hormon pada pencegahan demensia masih kontroversial namun menjajikan. Mekanismenya kemungkinan dengan meningkatkan aliran darah ke otak dan meningkatkan pertumbuhan dendrit neuron untuk mendukung produksi neurotransmiter.
Regimen terapi sulih hormon yang paling sering diberikan terdiri dari estrogen dengan atau tanpa progestin. Sebanyak empat puluh persen wanita menghentikan penggunaan terapi sulih hormon pada delapan bulan pertama terapi atau tidak pernah memulai terapi sama sekali. Efek samping berupa payudara tegang, perdarahan, kanker
(payudara atau endometrium) dan tromboemboli. pada Nurses Health Study ditemukan bahwa risiko kanker payudara tertinggi pada wanita yang mendapat terapi sulih hormon selama 5 tahun atau lebih. Terapi natural (altematif) sekarang telah menyebar ke seluruh dunia. Jamu - jamuan dan tumbuh - tumbuhan
yang merupakan suplemen makanan telah banyak diproduksi yang masih mempunyai banyak masalah mengenai jumlah dan kemurniannya dari bahan aktif. Produk tersebut dapat merupakan fitoestrogen termasuk
promensil yang merupakan ekstrak dari red clover (trifolium prat ense); B I ack C ohos h (cimicifuga racemosa) juga disebut black snakeroot dan bugbane. Beberapa pendekatan perubahan pola hidup dapat direkomendasikan untuk meringankan gejala-gejala menopause. Pendekatan itu di antaranya adalah pola makan
ANDROPAUSE Keberadaan andropause pada laki-laki juga masih diperdebatkan. Berbeda dengan perempuan, pada laki-laki tidak ada perubahan drastis seperti perubahan pola haid pada perempuan usia setengah baya. Pada laki-laki usia lanjut, akan te{adi penumnan fungsi testis secara perlahan, sehingga terjadi penurunan kadar total testosteron dan perubahan irama sekresi sirkadian testosteron.
Sejalan dengan proses menua, laki-laki usia lanjut memperlihatkan penurunan massa fulang dan otot beserta kekuatannya. Penurunan massa densitas fulang tersebut
merupakan predisposisi bagi laki-laki usia lanjut untuk menderita osteoporosis dan fraktur. Selain itu pada proses menua terjadi perubahan distribusi lemak tubuh dari perifer menjadi sentral. Selain itu pada laki-laki usia lanjut terdnpat peningkatan prevalensi BPH (Benign protatic hyperplasra) yang disertai keluhan-keluhan saluran kencing bagian bawah (LUTS:Zower urinary tract symptoms).
Fenornena klinis
ini
pertama kali dilaporkan pada
dekade tahun 1960-an. Akan tetapi studi yang besar baru dilakukan pada awal 1990-an pada Massachusets Male Aging Study (MMAS) yang melibatkan 4l 5 laki-laki sehat
dan 1294 laki-laki dengan satu atau beberapa gejala andropause yang berusia 39-70 tahun. Pada kedua kelompok penelitian tersebut di atas, menunjukkan adanya
penunrnan kadar testosteron bebas sebesar 1,2%o per tahun, penurunan kadar testosteron terikat albumin sebesar 1,00% pertahun, dan peningkatan kadar SHBG (sex hormone binding globulin) sebesar l,2o/o pertahw. Hasil
aktrir dari perubahan ini menghasilkankadar total testrcsteron serum menurun lebih lambat sebesar 0,4o% pertahun. Perubahan hormon androgen yang terjadi pada lakilaki usia lanjut tersebut di atas sangat bervariasi dari satu individu ke invidu yang lain dan biasanya tidak sampai menyebabkan hipogonadisme yang berat. Pada beberapa
laki-laki sehat usia lanjut, memang terbukti adanya kegagalan testis primer yang diperlihatkan dengan adanya: penurunan produksi sperma sehari-hari, penurunanan testosteron total dan testosteron bebas,
Kanker payudara dengan estrogen reseptor Kanker endometrium Perdarahan vagina belum terdiagnosis Penyakit tromboemboli aktif Riwayat melanoma maligna
Penyakit hati kronik
berkurangnya respon sekresi testosteron setelah pemberian gonadotropin eksogen, serta dengan
Hipertrigliseridemia berat Endometriosis
peningkatan kadar gonadotropin. Beberapa penyakit dan penggunaan obat-obatan dapat menggangu fungsi testis.
Riwayat penyakit tromboemboli Penyakit kantung empede
Meskipun demikian beberapa laki-laki dapat mempertahankan kadar testosteron dalam kisaran normal setelah usia di atas 80 tahun.
MENOPAUSE AD{DROPAUSE DAN SOMIIIIOPAUSE PERUBAI{AN HORMOT'LAL
2081
Di samping kegagalan t6stis primer, terdapat pula perubahan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-te stis. Respons sekresi gonadotropin terhadap gonadotropin
dilanjutkan dengan pemeriksaan hormonal. Kuesioner ini telah diuji-cob a pada 31 6 lakilaki berusia 40 -62 tahun dan dikorelasikan dengan kadar testostercn bioactive serum.
releasing hormone eksogen berkurang, dan menurunnya
Ternyata alat skrening tersebut
pulsatifLH pada beberapa laki-laki sehat usia lanjut. Hanya sebagian kecil laki-laki sehat usia lanjut memperlihatkan kegagalan testis dengan jelas, dengan gambaran klinis defisiensi androgen yang nyata (penurunan libido, disfungsi ereksi, osteoporosis,
sensitivitas 88 % dan spesifitas 60 %. Disamping daftar pertanyaan tersebut di atas, terdapat pula daftar pertanyaaan AMS (aging male study) :ur;rt.tk andropause yang dikembangkan olehpeneliti dari Jerman. Jumlah pertanyaannya lebih banyak (17 pertanyaan) dan
ginekomastia dan gejala lain seperti rasa cemas, depresi, daya ingat menurun, sukar berkonsentrasi, mudah lelah sulit tidur, rasa panas dimuka, berkeringat hilang timbul, hot Jlushes) disertai dengan kadar testosteron total di bawah nilai normal. Pasien dengan gejala tersebut di atas bila tidak ada kontra indikasi dapat diberikan substitusi
hormon testosteron. Tetapi dalam praktek sehari-hari kita lebih sering berhadapan dengan pasien laki-laki usia lanjut yang mempunyai kadar testosteron sedikit menurun (anlara 2,5 -3,0 nglml) dengan gejala klinis yang tidak khas seperti : disflrngsi ereksi, pemrmnan libido, kelemahan otot, dan osteopeni. Disini kita masih ragu dalam memberikan terapi
substitusi mengingat belum ada bukti-bukti penelitian yang
cukup. Tremblay dan Morales menganjurkan bahwa sebaiknya terapi hipo gonadisme diberikan sesuai indikasi spesifft yaitu: adanya gejala klinis dan kadar testosteron senrm yang rendah. Sayangnya sampai saat ini belum ada batasan kriteria defisiensi testosteron (hipogonadisme) untuk usia lanjut. Sampai saat ini sebagai acuan masih dipakai nilai normalpada laki-laki muda.
Skrining pasien dengan kemungkinan androgen
di atas, mempunyai
mencakup ranah gangguan psikologis, somatik dan seksual. Perlu juga kita ingat bahwa biasanya pada usia lanjut, terdapat penyakit penyerta lain seperti: diabetes melitus,
hipertensi, obesitas, dislipidemia, hiperurisemia, strok, penyakit jantung koroner, fraktur osteoporosis. Semua keadaan ini membutuhkan penatalaksanaan klinis tersendiri. Hubungan antara hipogonadisme dan osteoporosis pada laki-laki, telah terbukti pada berbagai keadaan
hipogonadisme seperti: sindrom Klenefelter, hipogonadisme hipogonadotropik, hipogonadime hiperprolaktinemia. Terjadinya osteopeni pada lakilaki dengan hipogonadime ini, lebih disebabkpn oleh pencapaian densitas massa tulang yang rendah dan bukan sebagai akibat penurunan massa tulang yang terjadi lebih awal.
Hipogonadisme yang terjadi pada andropause juga dianggap sebagai faktor risiko osteoporosis pada lakilaki dengan kompresi frakhr tulang vertebra; dan kemungkinan sebagai faktorrisiko pada frakturkolum femoris pada lakilaki lansia.
defi siensi dapat menggunakan daftar pertanyaan mengenai
gejala-gejala hypoandrogen yang dikembangkan oleh kelompok studi St Louis-ADAM (Androgen defisiency in the aging male) dari Canada, seperti tersebut di bawah ini : Apakah anda mengalami penurunan libido akhir-akhir
.
. .
ini ? Apakah anda seharihari selalu merasa lemas ? Apakah anda mengalami penurunan kekuatan fisik/
. .
Apakah anda merasa tinggi badan berkurang ? Apakah anda merasakan adanya penunrnan semangat
. . . . .
endurace dalam menjalankan pekerjaan
hidup
?
?
Apakah anda merasa sedih dan atau sendirian
?
Apakahandamengalamipenurunankemampuanereksi?
Apakah anda akhir-akhir ini merasakan penunrnan kemampuan untuk olah raga ? Apakah anda cepat mengantuk setelah makan malam ? Apakah anda mengalami penunrnan dalam kemampuan prestasi ke{a ?
Bila menjawab ya untuk pertanyaan
I dan7, maka ada
kemungkinan menderita andropause atau PADAM. Atau bila menjawab yauntuk empatpertanyaanatau lebih selain pertanyaan I danT,juga diriyatakan positif dan dapat
SOMATOPAUSE Somatopause adalah proses menua normal yang ditandai oleh penurunan secara bertahap sekresi GH oleh kelenjar hipofisis anterior, dan disertai dengan pemrrunan masa h;Jalng dan lean body mass , serta pengingkatan masa lemak. Pada usia lanjut, aksis GH mengalami perubahan yang nyata. Sekresi pulsatif GH setelah usia 40 tahun menumn secara progresif, sedemikian rupa sehingga setelah usia 70-80 tahun tinggal separuhnya yang masih mensrekresi GH pada malam hari. Demikian pula IGF-1 akan menurun, tetapi sekresi IGF-I ini masih berespon terhadap pemberian GH eksogen. Perubahan komposisi tubuh seperti obesitas sentral, menurunnya massa otot dan tulang yang terjadi pada defisiensi GH dewasa, mirip seperti yang terjadi pada pasien defisiensi GH usia muda. Hal ini yang melahirkan hipotesis bahwa perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada usia lanjut adalah akibat defisiensi GH dan dapat diperbaiki dengan pemberian GH. Pemberian substitusi GH selama 12- I 8 bulan dilaporkan dapat meningkatkan massa otot dan tulang pada laki-laki dan perempuan usia lanjut. Pemberian GH j angka pendek
2082
MEIABOLIKENDOIRIN
akan menyebabkan lipolisis, menstimulasi sintesis protein, meningkatkan lean body nass, menstimulasi turnoyer tulang, bersifat antagonis insulin, dan mengubah cairan tubuh total. Efek metabolik GH yang paling besar adalah hilangrrya jaringan lemak visceral. GH sebagaiterapi anti-
aging telah mendapatkan perhatian khusus. Namun pemberian GH belum disetujui oleh FDA dan masih
Physician 2000;61:1391-40,1405-6. Disitasi dari
Becker KL etal editor. Principles and practice endocrinology and metabolism edisi kedua. Philadelphia: JB Lippincott Co; t99s, p 1664-79. Ichramsjah Rachman,
Ali
Baziad. Gambaran umum tentang meopause
di Indonesia. Dibawakan dalam Simposium
diperlukan penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa proses penuaan adalah multifaktorial dan penurunan fungsi hormonal-endokrin hanya merupakan salah satu aspek. Menopause pada perempuan disebabkan oleh penurunan fungsi ovarium dalam menghasilkan estrogen, sedangkan andropause pada laki-laki disebabkan oleh penurunan sekresi hormon testosteron oleh testis. Somatopause adalah penurunan aktivitas aksis GH - IGF-I yang menyebabkan perubahan
komposisi tubuh manusia. Terapi sulih hormon untuk mengatasi fenomena klinis defisiensi hormonal tersebut di atas telah dikembangkan dan memberi harapan dalam memperbaiki kualitas hidup manusia di masa mendatang.
: http:ll
www. aafp.orglafp I 200003 0 I / 13 9 1.html. Diakses tar,ggal : 6 Februari 2006. Gruenewald DA dan Matsumoto AM. Aging and endocrinology. Dalam:
Nasional
Perkumpulan Menopause Indonesia. Jakarta 4-5 Februari 2006. Institute for Clinical Systems lmprovement (ICSI). Menopause and hormone therapy (HT): collaborative decision-making and management. Bloomington (MN): Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI); 2005 Aug. 64 p. [76 references]. Disitasi dari : http://www.guideline.gov/summary/summary.aspx? view_id : 1&doc_id:8003 . Diakses tanggal 6 Februari 2006. Marin P, Holmag S, Jonsson L et al. The effect of testosterone teratment on body composition and metabolism in middle-aged obese men. Int J Obes 1992 (16): 991-997. Morales A, Heaton JPW dan Carson CC. Andropause: A Misnomer for a true clinical entity. J Urol 2000; 163:705-712. Orwol ES. Epidemiology and diagnosis of osteoporosis in men. Dalam: Oddens B dan Vermeulen A editors. Androgen and the aging male. New York : The Parthenon Publishing Group; 1996,
p.
15-37.
Pramono Noor, Hary Tjahjanto. Fitoserm : Terapi terkini dalam mengatasi masalah kesehatan menopause. Dibawakan dalam Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia. Jakarta
4-5 Februari 2006. Reid IR, Wattie DJ, Evans MC, Stapleton JP. Testosterone theraphy in glucocorticoid-treated men. Arch Intern Med 1996; 156:
REFERENSI
tt73-7. American Association of Clinical Endocrinologists. AACE medical guidelines for clinical practice for growth hormone use in adults and children - 2003 update. Growth Hormone Guidelines, Endocr
Pract. 2003;9(No. 1) 75. Anderson FH, Francis RM, Peaston
RI, Wastell HJ. Androgen supple-
mentation in eugonadal men with osteoporosis: effects of six months' treatment on markefs of bone formation and resorption. (abstract). J Bone Miner Res 1997; t2(3):472-8. Anwar Mochamad, Shofwal Widad, Zain Alkaff. Pemeriksaanpemeriksaan penting pada menopause. Dibawakan dalam Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia. Jakarta
4-5 Februari 2006. Bachmann Gloria. Menopause. Disitasi
dari : http://www.
eniedicine.com/med/ topic3289.htrn. Diakses tanggal : 6 Februari 2006- Last updated : l0 Agustus 2005.
Cutson Toni, Emily Meuleman. Managing menopause. Am Fam
klinik metabolik endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam 2001. Tremblay RR dan Morales A. Practice Recommendations : Canadian practice recommnedations for screening, monitoring and treating men affected by andropause or partial androgen deficiency. The Aging Male 1998; l:213-218. United Nation Development Program. Human Development Report 2005: Human development index Indonesia. Disitasi dari : http://hdr.undp.org/statistics/data/ cty I cty _f_lDN.html. Disitasi tanggal 27 Februari 2006. Veldhuis Johannes. Endocrinology of aging. Conference Report. Disitasi dari : http ://www.medscape.corn/ view article/ 407 92 I _1. Diakses targgal 6 Februari 2006 Venneulen A. Declining androgen with age: an overview. Dalam: Soewondo P. Andropause. Makalah siang
Oddens B dan Vermeulen A editor. Androgen and the aging male. New York: The Parthenon Publishing Group; 1996, p.3-14.
324 PRE DIABETES Dante Saksono Harbuwono
PENDAHULUAN Diabetes menjadi masalah serius di seluruh belahan bumi.
Jumlah penyandang diabetes meningkat dari tahun ke
tahun. Indonesia menduduki tempat ke 4 jumlah penyandang diabetesnya sesudah China, India dan Amerika. Laporan prevalensi diabetes di berbagai daerah pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran antara0.SYo
di Tanah Toraja, 1.7 % di Jakarta. Prevalensi DM meningkat tajam, antara lain laporan di Jakarta yang menunjukkanpeningkatan 300% pada tahun 1993 menjadi 5,7%o (daerahurban) danl2,Sohpada tahun 2001 di daerah suburban Jakarta. Penyandang diabetes mempunyai risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan tanpa diabetes. Penyandang diabetes juga mempunyai risiko hipertensi dan dislipidemia yang lebih tinggi dibandingkan orang normal. Dengan adanya peningkatan risiko yang lebih tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas tersebut, maka perlu berbagai upaya yang lebih agresifpada kelompok risiko diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh darah. Sesungguhnya, kelainan pembuluh darah yang terjadi
pada pasien diabetes terjadi sebelum diabetesnya didiagnosis. Kondisi yang mengawali cascade disfungsi vascular adalah terjadinya resistensi insulin pada kondisi yang disebut pre diabetes. Pre-diabetes adalah kondisi abnormalitas metabolisme glukosa yang ditandai dengan peningkatan gula darah puasa (yang disebut Gula Darah Puasa Terganggu: GDPT) danlata.u peningkatan gula darah post-pandrial
(yang disebut Toleransi Glukosa Terganggu=TcT). GDPT dan TGT ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
](ribria
Glukca darah (mg[dl)
Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT)
10G125
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
140-199
GDPT disebabkan karena peningkatan hepatik glukoneogenesis dan penurunan fungsi pankreas. Sedangkan TGT lebih banyak disebabkan karena resistensi insulin. Kurang lebih 30-40% pasien dengan pre diabetes
akan menjadi diabetes tipe
2 ialamkurun waktu 5 tahun
pertama.
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan untuk melakukan penapis an pada kelompok umur lebih dari 45 tahun, terutama pada mereka yang masuk ke dalam kelompok berat badan lebih dan obesitas, dengan menggunakan pemeriksaan glukosa puasa dan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Sudah tentu penapisan yang dilalcukan oleh ADA tersebut tidak sepenuhnya sensitif untuk merekrut penderita pre diabetes, untuk itu perlu dilakukan modifikasi untuk menjaring pre diabetes pada populasi yang berbeda. Berikut ini adalah salah satu modifikasi penapisan pre diabetes yang lebih baik untuk populasi di Indonesia: Seperti disebutkan di atas, penapisan Pre-diabetes sesungguhnya penapisan merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan sindrom metabolik' Pada pasien dengan pre diabetes, target terapinya adalah menurunkan risiko menjadi diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Reaven untuk pertama kalinya mengemukakan hipotesis resistensi insulin dikaitkan dengan penyakit jantung dan pembuluh darah dikaitkan dengan hipertensi, dislipidemia dan diabetes pada kelompok populasi yang sebenarnya adalah kelompok pre diabetes. Setelah itu berbagai kriteria diajukan untuk mensimulasi kumpulan gejala yang berkaitan dengan
2084
MEDAEC'IJKENDOKRIN
PANDUAN SKRINING ADA UNTUK PRA.DIABETES DAN DIABETES
'1.
Anak<10
Usia
2. Obesitas
I
lAnaUdewasal
I
I
lio-lTtahun I
lDewasa18-45tahun
> PeBentil 85 sesuai usia &
E\.IL'1 tukror
Skrining rutin TIDAK direkomendasikan kecuali awitan terjadi pada masa pubertas, JIKA DEI\,4IKIAN
IMT z 25 kg/mz
IMT:
risiko berikut
jenis kelamin
BB Normal DAN tidak ada faktor risiko (berlanjut ke tahap 4)
Faktor Risiko lain; lnaKivitas fisik (aktivitas sedang < 30 menit 5 hari/minggu atau aktilitas berat < 20 menit 3 hari/minggu) Riwsyat keluarga DM (terutama keEbat generasi 1) Populasi suku/€tnik dsiko tinggi (lihat dafrar di bawah anak) l\relahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau didiagnosis Diabetes Gstasional Hipertensi > 140/90 mmHg Riwayat penyakit vaskular 35 mg/dl (0,90 mmoul) mg/dt (2,82 mmoyl)
. . . . . . Dislip dan/a
Dua (2) dari berikut: Riwayat keluarga DM tipe 2 (generasi ke 1/ 2) Suku (Amerika asli, Amerika Afrika) Amerika Hispanik, Penduduk kepulauan di Asia/Pasifik Selatan Tanda resistensi insulin (akantosis nigrikan, hipertensi, dislipidemia, sindrom polikistik ovarium)
. . .
TES SKRINING
. . .
BMI 2 25 kg/m'z DAN 1 faKor risiko berikut
> PeEentil 85 BB sesuai TB gB > '120o/o dari BB ideal sesuai TB DAN Dua (2) Faktor Risiko
4. Tes Skrining
Dewasa > 45 tahun
ATAU ATAU
3. Faktor Risiko
Dewasa > 45 tahun
v,u^voo
,erYa,,ggu
\
Darah Puasa Terganggu (GDPT) Kondisi klinis yang berhubungan dengan rsistensi insulin (@: akantosis nigrikan)
. .
SindromPolikistikOvarium
PERLU PEMERIKSAAN TAMBAHAN, JIKA
Glukosa Darah Puasa (GDP).,,,........... '100-125 mg/dl (Pa-Diabetes) Glukosa Darah Puas .... ..1 126 mg/dl (Diabetes) Toleransi GlukosaTerganggu(TGT)....2iam,setelahT5grglukosa,nilai
(cDP),
>140-199(pr+Dhbetes),>20O(Diabetes)
5. Frekuensi
Hasil abnomal Ulangi tes pada hari berikutnya untuk diagmsis 2- Lakukan ren€na terapi termasuk modillkasi gaya hidup 3. Skrining dan terapi faktorrisiko Penyakit Kardiovaskular Hipertensi Dislipidemia Penggunaan tembakau
1
6, Hasil/tindakan
Hasil Nomal Skrining seperti 1 sampai 3
. . .
Gambar 1. Penapisan pre diabetes (Dante 2009), dimodifikasi dari WHO4
resistensi tersebut, antara lain disampaikan dalam bentuk
.
terminologi yang kemudian dikenal sebagai Sindrom Metabolik. Beberapa kriteria sindrom metabolik
Mikroalbuminuria:Albuminurin22Dm{mefitataurasio albumin:kreatinin> 30
disampaikan oleh:
ilt (THE US NATTONAL EDUCATTON PROGRAM ADULT TREATMENT PANEL ilt\,2001
NECP ATP
wHo (rHE woRLD HEALTH ORGANIZ}.TIOtI Diagnosis ditegakkan sedikitnya 3 dari gejala berikut:
Sindrom metabolik ditegakkan bila terdapat gangguan regulasi glukosa (DM, TGT atau TGPT) yang diikuti dengan sedikitnya 2k,riteriadi bawah ini: . Tekanandaruh> l40l90mmHg. . Dispilidemi: Total kolesterol > dan/atau HDL < 40 mgl
.
dl (laki-laki); < 50 mg/dl (wanita) Obesitas sentral: rasio lingkar perut/lingkar pinggang > 0.9 (aki-laki);> 0.85 (wanita) dan/atatindeks massa
tubuh>
3}kglrfi
.
Obesitas sentral,lingkarpinggarg> 102 cm (pria);> 88
. . . .
cm(wanita) Dislipidemia:Trigliseride> 150mg/dl Dislipidemia: HDL < 40 mgldl (pria); < 50 mg/dl (wanita) Tekanandarah> 130/85 mmHg Guladarahpuasa> ll0mg/dl
Pada perkembangannya, berbagai studi dilakukan di berbagai tempat untuk menilai seberapa sensitif dan spesifisik sindrom metabolik tersebut dapat digunakan
2085
PREDIABETES
untuk memprediksi diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh darah pada kelompok ini. American Diabetes Association (ADA) dan The European Associationfor the Study of Diabetes (EASD), menyampaikan pernyataan bersama atas keberatan terhadap kriteria diagnosis sindrom metabolik untuk memprediksi diabetes. Pertama, bahwa berbagai studi dengan sampel yang besar menunjukkan bahwa faktor prediksi diabetes dengan menggunakan kriteria sindrom
resistensi menjadi dasar untuk patofisiologinya, ada beberapa penelitian yang mengukur resistensi insulin
metabolik sebagian besar hanya ditentukan oleh intoleransi glukosa saja. Kedua, pada pemakaian praktis diagnosis
tetapi selama ini, Framingham Score lidak banyak
sindrom metabolic tidak mempunyai kekuatan untuk memprediksi diabetes, tetapi lebih banyak dikaitkan dengan hubungan multivariat berbagai faktor risiko penjakit jantung dan pembuluh darah. Hingga saat ini belum ada satu tulisan pun yang dapat menjelaskan patofisiologi hubungan masing-masing komponen sindrommetabolik. Lebihjauh lagi, ada beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawab berkaitan dengan sindrom metabolik, antara lain:
l.
Seberapa besar definisi sindrom metabolik dapat digunakan untuk kepentingan diagnosis? . Apakah sindrom metabolik dapat digunakan untuk memprediksi risiko penyakit jantung dan pembuluh
.
2.
darah?, adakah perbedaan risiko seseorang dengan satu saja kriteria dengan kriteria yang lengkap?
Apakah gejala yang timbul selalu terkait dengan patofisiologi penyakit jantung dan pembuluh darah? Apakah pengobatan pada seseorang dengan kriteria lengkap sindrom metabolik berbeda dengan sesorang yang tidak lengkap sindrom metaboliknya?
Kalau dilihat dua kriteria sindrom metabolik di atas, terdapat berbagai perbedaan, misalnya kriteria batasan tekanan darah. Mana yang lebih baikt Antara dua patokan di atas (WHO dan NCEPATP III),
terdapat perbedaan kriteria yang diperlukan untuk mengatakan sindrom metabolik, misalnya, mikroalbumin masuk dalam kriteria WHO, tetapi tidak pada kriteria AIP
m.
WHO menempatkan gangguan toleransi glukosa
menjadi sesuatu yang harus terpenuhi, tetapi tidak pada ATP III. Setiap kali revisi pada berbagai kriteria yang disampaikan tidak pernah didasarkan atas patofisiologi yang mendasarinya, tetapi lebih berdasarkan angka-angka dari hasil analisis studi yang desainnya berbeda-beda. Hal lain yang agak membingungkan adalah, bagaimana
secara langsung, dan ternyata tidak berhubungan dengan kriteria klinis yang disampaikanpada sindrom metabolik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Framingham Score, mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk memprediksi diabetes dan PJK . Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi Famingham Score jangka pendek oleh Grundy dan jangka panjang oleh Warmamethee. Akan digunakan secara luas karena tidak terlalu praktis untuk praktik klinik sehari-hari. Framingham s core leblhbanyak digunakan pada penelitian. Studi terakhir dari Wilson menunjukkan bahwa resiko relatif PJK sama pada 5 kriteria, 3 kriteria dan 1 kriteria.
Kurang lebih hingga kini ada 7 studi besar yang memperlihatkan bahwa risiko PJK antara simdrom secara keseluruhan dan masing-masing komponen saja, sama. Q0,23-29Bmpror).
Berbagai pusat studi dan asosiasi profesional (American Diabetes Association (ADA) dan European Associa-
tion
for
Study of DiaDeles (EASD)) mengetengahkan
pendekatan baru untuk menjawab polemik yang.timbul
pada istilah sindrom metabolik, yang sesungguhnya adalah identifikasi dari kelompok yang mengalami resistensi
insulin, yang dulu dikenal sebagai pre diabetes. ini disebut Cardiometabolic Risk A ssessment (CRA). CRA berusaha untuk memprediksi Pendekatan baru
kelompok risiko diabetes dan PJK pada kelompok pre diabetes tersebut. CRA menempatkan faktor resiko klasik DM dan PJK sebagai komponen terpisah (profil lipid,
perokok, Gangguan Toleransi Glukosa, peningkatan tekanan darah) ditambah berbagai parameter yang terkait
dengan obesitas sentral seperti resistensi insulin, gula darah yang meningkat, faktor inflamasi (CRP, TPAI- I , TNFa) serta perubahan fungsi pembekuan (peningkatan fibrinogen).
Titik tolak baru yang significant pada pendekatan ini adalah orientasi yang lebih serius pada obesitas sentral. Jaringan lemak sentral melepaskan berbagai mediator
bioaktif tidak hanya mempengaruhi homeostasis berat badan, tetapi juga resistensi insulin, yang kemudian berpengaruh pada berbagai faktor risiko diabetes dan PJK.
PENATALAKSANAAN
dua faktor bisa dijelaskan saling berhubungan untuk menggambarkan resistensi insulin?. Lebih lanjut lagi, mengapa hanya 3 kriteria yang
digunakan?, mengapa tidak satu, dua, empat atau keseluruhannya?. Apabila resistensi insulin adalah faktor
Kita semua sepakat bahwa managemen penatalaksanaan diabetes tipe2 harus dilakukan secara intensif. Berbagai konsensus yang disampaikan oleh PERKENI (Persatuan
Endokrinologi Indonesia), American Diabetes
yang mendasari, mengapa tidak memasukkan kriteria
Association (ADA), American Association of Clinical
umur? (berbagai penelitian menunjukkan umur merupakan
Endo crino I ogy (AACE) dan sebagainya, secara konsisten
prediktor yang kuat untuk resistensi insulin). Apabila
memberikan rekomendasi kunci untuk menurunkan
2086
METABOIJKENT'OIRII\
komplikasi diabetes jangka panjang dengan target kadar AIC senormal mungkin. The Diabetes Complications Control and Complication Trial (DCCT) menggunakan acuan noflnalAlC kurang dari6.l%. Ironisnya, dengan berbagaijenis terapi yang telah digunakan, lebih dari 15 tahun, kita hanya dapat mendapatkan kurang leblh 56% pasien DM tipe 2 yatgdapat mencapai AIC < 7 (2)
Kita tidak dapat menyalahkan pasien
karena
ketidakmampuan mereka mencapai kontrol gula darah yang baik. Diabetes adalah kelainan progesif yang merupakan perpaduan antara resistensi insulin dan penurunan fungsi sel beta. Dengan tidak ada jaminan bahwa semua pasien akan patuh untuk menjaga diit dan aktivitas frsilg diperlukan berbagai 'penyesuaian' agar target kontrol gula darah dapat tercapai. Tentu saja semua itu bisa terlaksana kalu kita melakukan pendekatan terapi berdasarkan patofi siologi diabetes.
Berbagai studi menunjukkan bahwa fungsi beta sel pankreas sudah mulai menurun pada pasien dengan pre diabetes. Pasien prediabetes dengan TTGO 180-199 mgl dL, telah mempunyai penurunan fungsi sel beta sebanyak 75-80% dan masa sel beta pankreas hanya 50o/o saja.. Sebagian dari mereka, ketika benar-benar menjadi diabetes sebenarnya telah mengalami komplikasi mikro dan makroangiopati jauh-jauh hari sebelumya, . Berbagai penelitian menyampaikan bahwa pre diabetes dapat dikurangi risikonya menjadi diabetes dengan melakukan perubahan pola hidup yang berkaitan dengan
peningkatan resistensi insulin seperti menurunkan obesitas, mengatasi dislipidemia, meningkatkan aktivitas
fisik yang berkaitan
dengan pembakaran kalori d11. Kesulitannya adalah bahwa hanya sebagian sangat kecil
saja penyandang GDPT dan TGT yang mampu mempertakankan pola hidup yang diajarkan secara baik dalamjangka waktu yang lama. Terapi medika mentosa untuk pre diabetes sampai saat
ini hanya direkomendaskan apabila terdapat kondisi disfungsi metabolik yang menyertainya, misalnya: . Mengatasi hipenensi,
. . . .
Memperbaikiprofillipid. Menurunkanproteinuria. Menurunkanhiperurisemia. Mengatasi gangguan fungsi hemostasis dan agregrasi trombosit.
Beberapa studi mulai dilakukan untuk melukan pendekatan penatalaksanaan secara prinsipil pada kelompok pre diabetes. Pendekatan terapi tersebut saat ini berpegang pada bagaimana mengatasi patofisiologi risiko yang mungkin timbul pada pasien pre diabetes apabila perj alanan "kelainannya" dibiarkan. Pendekatan terapi di masa dating adalah: l. Menurunkan resistensi insulin di perifer. 2. Meningkatkan sekresi insulin di pankreas 3. Melalerkan preservasi frrngsi sel beta pankreas
4. Melindungi berbagai 5.
komplikasi jangka panjang dan jangka pendek yang berkaitan dengan risiko kelainan vaskular Mengurangi berat badan dan obesitas sentral secara efektif.
REFERENSI
1. 2.
3.
Engelgau
MM, Geiss LS, Saaddine JB, Boyle
JP, Benjamin SM,
AH Ford ES et al. The evolving diabetes burden in United State. Ann Intern Med. 2004;140:945-950 Haffnq SM, Lehto S, Ronnemma T, Pyorala K, Laakso M. Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2 diabetes and in nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Eng J Med. 1998;339:229-234
4.
Reaven GM. Role of Insulin resistance in human disease. Diabetes 1988;37:1595-1607 World Health Organization: Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its complication: Report of
5.
WHO consultation. Geneva, World Health Org 1999 Chel KI, Abbasi F, Lamendola C, Mclaughlin I Raeven GM, Ford ES. Relationship to Insulin resistance of the Adult Panel
III
diagnostic criteria for identification of metabolic syndrome.
Diabetes 2004 ;53 : I 19 5 -l 200 6. Liao Y, Kwon S, Shaughnessy S, Wallace B Hutto R Jenkins AJ, Klein RL, Garvey WT. Critical evaluation of Adult Treatment Phanel III criteria in identifying insulin resistance with dyslipidemia. Diabetes Carc 2004;27 :97 8-983 7. Mclaughlin I Abbasi 4 Cheal K Chu J, Lamendola C, Raeven G Use of metabolic markers to identiff overweight individuals who are insulin resistant. Ann Intem Med 2003;139:802-809 8. Wannamethee SCa Sharper AG, Lennon L, Moris RW Metabolic syndrome vs Framingham Risk Score for prediction of coronary heart disease, stroke, and type 2 diabetes mellitus. Arch Intern Med 2005; 165:2644-2650 9. Wilson PW, D'Agostino RB, Parise H, Sulivan L, Meigs JB. Metabolic Syndrome as a precursor of cardiovascular disease and type 2 diabetes mellitus. Circulation 2005;112:3066-3072 10. Golden SH, Folsom AR, Coresh J, Shanett AR, Szko M, Brancati F. Risk factor groupings related to insulin resistance and their synergistic effects on subclinical atherosclerosis: the atherosclerosis risk Community Study. Diabetes 2002;51:3069-76 11. Yarnell JW, Patterson CC, Bainton D, Sweetnam PM. Is metabolic syndrome a discrete entity in general population? Evidence from Caerphilly and Speedwell population studies 1998:'79:248-252 12. McNeill AM, Rosamond WD, Girman CJ, Golden SH, Schmidt MI, East HE, Ballatyne CM, Heiss G The metabolic syndrome and I 1 year risk of incident cardiovascular disease in the
Atherosclerosis Risk
in Community Study.
Diabetes Care
2005;2 8:3 85 -3 90
13. Sattar N, Gaw A, Shcherbakova O, Ford I, O'Reilly DS, Itrafher SM, Isles C, Macfarlane PW, Packard CJ, Cobbe SM, Shepherd J. Metabolic syndrome with and without C-reactive protein as a predictor of coronary heart disease and diabetes in the West of Scotland Coronary Prevention Study. 2003:108:414-419 14. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch SM, Hafftrer SM. NCEP-
defined metabolic syndrome, diabetes, and prevalence of coronary heart disease among NHANES II participants age 50 years and older. Diabetes 2003;52:1210-7214
PREDIABETES
1
5. Eberly LE, Pineas R, Cohen JD, Vazques C\ Zhi X, Neaton JD, Kuller LH. Metabolic syndrome :risk factor distribution and 18-year mortality in the multiple risk factor intervention trial. Diabetes Care 2006;29 :123 -130 Sundstrom J, Vallhagen E, Riserus U, Bysberg L. Beme C, Lind L, Ingelsson E. Risk associated with the metabolic syndrome versus the sum of its individual components. Diabetes Care 2006;29:1673-167 4
16.
2087