SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL Oleh ISTIQOMAH (35 15 100 050) I.
PENDAHULUAN
Hukum laut internasional adalah kaidah – kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu Negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasional (national jurisdiction). jurisdiction). Konsep hukum laut internasional lahir dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasioanl antara dua konsepsi, yakni Res Communis dan Res Nullius. Nullius. Dimana, hukum laut internasional dibuat mulai sebelum akhir perang dunia ke-II. Setelah perang dunia ke-II hukum laut internasional memiliki tiga penyebab yang mendorong adanya perubahan – perubahan – perubahan perubahan pada hukum laut tradisional yang mengatur tata hukum laut internasional dewasa yang telah ditetapkan dasar – dasar – dasarnya. dasarnya. Dasar hukum tersebut dibuat oleh Hugo Grotius dan ahli hukum lainnya pada masa dulu. Pertama, Pertama, makin tambah bergantungnya penduduk dunia yang makin bertambah jumlahnya pada laut dan samudera sebagai sumber kekayaan alam baik hayati maupun mineral termasuk minyak dan gas bumi. Kedua, bumi. Kedua, kemajuan kemajuan teknologi yang memungkinkan penggalian sumber kekayaan alam di laut yang tadinya tidak terjangkau manusia. Ketiga, perubahan perubahan peta bumi politik sebagai akibat bangunnya bangsa-bangsa merdeka yang menginginkan perubahan dalam tata hukum laut internasional yang dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim maju. Hukum laut internasional modern ( Modern Modern International Law Of The Sea) Sea) yang diciptakan oleh Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 sebagai pengganti hukum laut internasional tradisional (Traditional (Traditional Law Of The Sea) Sea) yang dirumuskan oleh Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, dalam waktu kurang lebih 10 tahun sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan bidang pengakuan hukum laut internasional yang terus berkembang dengan cepatnya menuju suatu hukum laut internasional baru A ( New International Law Of The Sea) Sea) yang sekarang telah terbentuk dalam Konperensi Hukum Laut III. II.
TUJUAN
Tujuan dari dibuatnya penulisan ini sebagai berikut : 1. Memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Laut, 2. Mengetahui sejarah hukum laut internasional, 3. Memahami perkembangan hukum laut internasional. III. METODOLOGI Metodologi dari penulisan ini yakni pengumpulan data – data – data data sekunder dari internet maupun buku dan pengolahan data dari hasil pengumpulan data.
a. Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan kegiatan awal dari sebuah penulisan. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penulisan ini yakni dengan mengumpulkan data – data atau informasi yang terkait dengan sejarah hukum laut internet yang didapatkan dari buku maupun papper dan web – web yang dapat dipercaya sumbernya. b. Pengolahan Data Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya data diolah dengan cara dikelompokkan berdasarkan pokok bahasan. Selanjutnya dilakukan pembatasan penulisan, tentunya terkait dengan pemilihan data. Hal ini dilakukan agar pokok bahasan tidak keluar dari tema yang telah ditentukan. Kemudian, penuyusunan dan penulisan hasil dari pengolahan data. IV. SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Penulisan sejarah hukum laut internasional ini dimulai dari hukum laut pada zaman Romawi. Dimana dibagi menjadi lima bagian yakni sebagai berikut: 4.1. Zaman Era Yunani Kuno
Gambar 1. Jalur Perdagangan Yunani Kuno
Sejak 1500 SM, terbentang jalur perdagangan dari India ke kawasan Mediterrania. Rhodes adalah seorang pelaut yang kuat. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan tersebar di Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan Spanyol. Orang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritime ( Rhodia Lex). Hukum laut Rhodian ini diantaranya mencakup regulasi persekutuan dagang, joint adventure, charter parties, dokumen muatan, standar perilaku penumpang kapal dan pertanggungjawaban nahkoda/pelayar
dalam kasus kelalaian atas tugas. Tidak ditemukan salinan kode hukum maritime, namun hukum maritime Rhodian bertahan sampai kekaisaran Romawi. Rhodes merupakan sebuah kota pelabuhan di kawasan Yunani kuno yang paling maju saat itu. Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes tentang perdagangan). Abad 3-2 SM, Rhodes mengodifikasi aturan hukum laut Rhodes. Hukum laut menjadi dasar yurisprudensi maritim modern. 4.2. Zaman Romawi
Gambar 2. Kekaisaran Romawi
Imperium Roma menguasai Tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak yang menimbulkan suatu keadaan dimana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas daripada gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap demikian daripada bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu “ Res Communis Omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat. Menurut konsepsi ini penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Azas “ Res Communis Ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut), dengan
bertambahnya penggunaan-penggunaan laut (uses of the sea) lain di samping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan. Kebebasan laut di dalam arti demikian yakni kebebasan dari ancaman atau bahaya bajak laut dalam menggunakan atau memanfaatkan laut dengan demikian tidak bertentangan dengan penguasaan laut secara mutlak oleh Imperium Roma. Dalam kerangka pikir ini Roma melihat dirinya sebagai pihak yang menjamin kepentingan umum dalam laut dan penggunaannya sehingga tidak ada pertentangan antara kekuasaan atas laut dan kebebasan dalam penggunaannya. Ajaran res comunis omnium ini dalam dirinya mengandung benih-benih daripada doktrin kebebasan laut yang akan berkembang kemudian. Selain itu, adanya pemikiran lain tentang laut yang menganggapnya sebagai suatu res nullius. Menurut pandangan ini laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya, suatu paham yang didasarkan atas konsepsi occupatio dalam hukum perdata Romawi. 4.3.
Masa Abad Pertengahan Negara-negara mulai muncul setelah runtuhnya Imperium Roma, disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilaksanakan dengan tujuan yang bermacam-macam yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan :
(1) karantina (perlindungan kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black plague); (2) bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas. Sering terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu menyebabkan perlunya negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara negara untuk menentukan suatu daerah bebas dari tindakan permusuhan. Daerah netralitas ini biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula dari pada teori tembakan meriam yang akan dikembangkan kemudian. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara daripada laut menyebabkan ahli hukum Romawi yang lazim disebut Post-Glossator atau komentator mencari penyelesaian hukum didasarkan atas azas-azas dan konsepsikonsepsi hukum Romawi. Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian dua bagian laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak akan merupakan dasar bagi pembagian dua bagian laut yang klasik dalam laut
teritorial (laut wilayah) dan laut lepas. Pada dasarnya konsepsi Baldus berlainan dan lebih maju/modern. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni:
(1) pemilikan dari pada laut, (2) pemakaian dari pada laut dan (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut. Secara analisis tindakan sepihak negara-negara di abad pertengahan ini maka tindakan-tindakan yang bertalian dengan laut yang dilakukan itu dapat dikembalikan atau digolongkan dalam tindakan-tindakan penggunaan laut sebagai berikut:
(1) tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai sumber kekayaan, terutama perikanan; (2) tindakan yang menganggap laut sebagai jalur proteksi, baik ia yang bertujuan melindungi kepentingan keamanan dan pertahanan, bea cukai, kesehatan dan lain-lain; (3) tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi. Pertarungan Doktrin Laut Bebas ( Mare Liberum) dan Laut Tertutup ( Mare Clausum) Pada tahun 1494, Spanyol dan Portugal sepakat untuk membagi wilayah benua Amerika dengan garis demarkasi berada di bagian timur Brazil hari ini dan dilegitimasi oleh Paus Alexander VI. Tanah dan Laut disebelah timur garis demarkasi menjadi hak milik Portugal sedangkan disebelah barat menjadi milik Spanyol. Spanyol dan Portugal berusaha melahirkan konsep Laut Tertutup (Mare Clausum) untuk memperkuat hegemoni. Azas kebebasan laut ( freedom of the seas) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum (1609) yang memiliki sub judul tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur (On The Right Of The Dunch To Sail To The East Indies) sebagai pembelaan atas hak orang Belanda atau orang lain selain Spanyol dan Portugis untuk mengarungi lautan. Argumentasi ini didasarkan atas pembedaan pengertian antara imperium (souvereignty) dan dominium (ownership). Menurutnya kedua hal tersebut berbeda, suatu negara dapat memiliki kedaulatan atas bagian-bagian tertentu dari laut tetapi pada umumnya tidak dapat memiliki laut. Sedangkan berlayar dan menangkap ikan berkaitan dengan pemilikan atas laut, oleh karena laut tidak dapat dimiliki, maka berlayar dan menangkap ikan tidak dapat dilarang. Pendapat Hugo Grotius ini dianggap menyerang keputusan Raja James II pada tahun 1609 yang melarang nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Muncul tanggapan dari penulis Inggris yaitu Welwood dan Selden. Selden berpendapat tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki, karena pada kenyataannya Inggris telah secara nyata memiliki dan menguasai daerah laut yang
4.4.
cukup luas. Perdebatan antara Grotius dan penulis Inggris tersebut sering disebut sebagai Pertempuran Buku – Buku ( Battle of The Books), karena telah tejadi adu argumentasi melalui buku-buku. Muncul Pontanus sebagai penengah perdebatan tersebut. Menurutnya kedaulatan adalah mencakup wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga wewenang untuk melarang pelayaran dan penangkapan ikan tidak lagi dikaitkan dengan pemilikan atas laut. Pontanus membagi laut menjadi 2 bagian, yaitu: a) Bagian laut yang berdekatan dengan pantai (adjecent sea); bagian ini dapat
dimiliki/di bawah kedaulatan negara pantai (coastal state). b) Bagian laut yang berada di luar itu, yang meruapakan bagian yang bersifat bebas. 4.5.
Teori Tembakan Meriam dan Asal – usul Kaidah Lebar Laut
Mochtar Kusumaatmadja : pada awal perkembangan Hukum Laut, ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menetapkan lebar laut teritorial yaitu: a) Ukuran tembakan meriam; b) Ukuran pandangan mata; dan c) Ukuran marine league. Lebar laut 3 mil pernah dinggap sebagai kaidah lebar laut teritorial yang berlaku umum. Asal usul kaidah ini dianggap berasal dari teori jarak tembak meriam yang dikemukakan oleh Cornellis van Bynkershoek , namun kemudian pendapat ini disanggah oleh Reinfeld, Wyndham Walker dan Kent. Menurut mereka hal ini harus dilihat dari dua sudut, yaitu: a) Lebar Laut Dari sudut lebar laut anggapan bahwa lebar laut 3 mil barasal dari teori tembakan meriam dapat diterima karena, itulah jarak tembakan meriam pada saat itu. Namun dengan adanya kemajuan teknologi yang menyebabkan bertambahnya jarak tembak sebuah meriam, maka hal ini menjadi kehilangan maknanya. b) Terbentangnya Laut Teritorial Sepanjang Pantai Sebagai Suatu Jalur Yang Tidak Terputuskan Dilihat dari sudut ini, dalil tembakan meriam tidak mengenal konsepsi jalur yang memanjang sepanjang pantai, tetapi didasarkan atas penguasaan pantai dengan kekuatan senjata (meriam) yang terdapat pada tempat-tempat strategis tertentu. Jika teori ini ingin diterapkan secara konsisten dan sempurna, maka akan memerlukan satuan meriam yang sangat banyak yang ditempatkan sepanjang pantai. Pada akhirnya Mochtar Kusumaatmadja menyimpulkan: a) Secara historis konsepsi laut teritorial lahir bersamaan dengan lahirnya konsepsi laut bebas, yaitu saat berakhirnya pertentangan antara mare liberum dan mare clausum. Saat itu juga merupakan lahirnya Hukum Laut Internasional Publik.
b) Selain untuk kepentingan keamanan dan netralitas ada kepentingan-kepentingan lain yang mendorong negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya atas laut yang berbatasan dengan pantainya, yaitu: pencegahan penyelundupan, kesehatan/karantina dan perlindungan perikanan. Pada awal perkembangannya perlindungan tersebut ditampung dalam konsepsi laut teritorial, tetapi di kemudian hari timbul perkembangan di mana ada jalur lain di luar laut teritorial untuk kepentingankepentingan yang lain. 4.6.
Hak Lintas Damai ( I nnocent Passage Right )
Hakikat Hak Lintas Damai merupakan perhitungan kepentingan negara-negara pantai, yang menghendaki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya dalam laut teritorial mereka, dan kepentingan negara maritim yang menghendaki keleluasaan berlayar yang sebesar-besarnya dalam laut teritorial negara lain. Kepentingan tersebut kemudian tentu menghendaki dibatasinya sejauh mungkin campur tangan negara pantai dalam lalu lintas damai kapal-kapal asing dalam perairan teritorialnya. Kedua kepentingan yang berlainan ini mendapat perumusan dalam Pasal 14-17 Konvensi Jenewa 1958 yang memuat ketentuan umum hak-hak lintas damai kapal-kapal asing maupun kekuasaan negara pantai untuk mengaturnya. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan pengaturan yang lebih lengkap tentang hak lintas damai. Konvensi baru ini memakai hak lintas damai untuk kapal dari semua negara melalui laut teritorial suatu negara. Berikut ini akan diuraikan perbandingan pengaturan tentang hak lintas damai dalam kedua konvensi di atas. V.
KESIMPULAN Hukum laut internasional adalah kaidah – kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu Negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasional (nasional jurisdiction). Pada zaman Romawi, Imperium Roma yang menguasai seluruh Lautan Tengan secara mutlak yang dilandasi pemikiran “ Res Communis Omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh umat. Selain itu, adanya konsepsi laut “ Res Nullius” yang berarti laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya, suatu paham yang didasarkan atas konsepsi occupatio dalam hukum perdata Romawi. Pada abad pertengahan, Imperium Roma runtuh dan disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya dengan tujuan yang bermacam-macam, dan dimana hal ini sering menyebabkan peperangan antara Negara-negara. Daerah netralitas biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula dari pada teori tembakan meriam yang akan dikembangkan kemudian. Pada tahun 1609, Hugo Grotius membuat buku berjudul Mare Liberum sebagai pembelaan atas hak orang Belanda atau orang selain Portugis dan Spanyol untuk
mengarungi lautan didasarkan atas imperium ( souvereignty) dan dominium (ownership). Tulisan Grotius dianggap menyerang keputusan Raja James II yang melarang nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Perdebatan antara ini dikenal sebagai Battle of The Books. Pada hukum laut, beberapa ukuran yang digunakan untuk menetapkan lebar laut territorial oleh Mochtar Kusumaatmadja yakni Pertama saat berakhirnya pertentangan antara mare liberum dan mare clausum. Saat itu juga merupakan lahirnya Hukum Laut Internasional Publik, dan Kedua kepentingan keamanan dan netralitas ada kepentingan-kepentingan lain yang mendorong negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya atas laut yang berbatasan dengan pantainya. Hakikat Hak Lintas Damai merupakan perhitungan kepentingan negara-negara pantai, yang menghendaki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya dalam laut teritorial mereka, dan kepentingan negara maritim yang menghendaki keleluasaan berlayar yang sebesar besarnya dalam laut teritorial negara lain. VI. DAFTAR PUSTAKA Azas “res nullius” menganggap laut itu tidak ada yang memiliki. Menurut ajaran ini, maka siapapun dapat menguasai laut, dapat pula memilikinya. Walaupun azas atau doktrin ini dapat memberikan kepastian, namun karena didasarkan atas penggunaan kekuatan fisik, azas ini tidak memberikan penyelesaian yang langgeng dan menjadi sumber dari persengketaan. Henderson, CW., (2010). Understanding International Law. West Sussex, United Kingdom: Wiley-Blackwell. URL : http://dheetadheeto.blogspot.co.id/2013/07/hukum-laut-internasional.html URL : http://karyatulisilmiah.com/sejarah-lahirnya-hukum-laut-internasional/ URL : http://pengayaan.com/sejarah-perkembangan-hukum-laut-internasional/ Mochtar Kusumaatmadja. 1999. Hukum Laut Internasional Hlm. xii Cetakan Keempat BPHN. Jakarta. CV. Trimitra Mandiri Jakarta. Vukas, Budislav. 2004. The Law of The Sea. Leiden, Hague: Martinus Nijhoff Publishers.