BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
Makassar, 26 Desember 2016
LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK MODUL 2 KULIT KUNING
KELOMPOK 7 Tutor : dr. Dahlia, MARS 11020150013
Nabila Biyanti
11020150035
Fathul Rahmat S. Imam
11020150025
Kauzar Hidayat Salam
11020150052
Khaerun Nisa
11020150068
Desi Triutami Saleh
11020150079
Siti Fadhilah Hazhiyah
11020150138
Rahma Ulfa
11020150115
R. Fausan Numyani P
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2016
Kata Pengantar
Puji syukur syukur kami panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan dan hidayah Nya sehingga laporan hasil TUTORIAL dari dar i kelompok 7 ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada nabi junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu dalam pembuatan laporan ini dan yang telah membantu selama masa TUTORIAL khususnya kepada dr. Dahlia, MARS yang telah banyak membantu selama proses PBL berlangsung. Dan kami juga mengucapkan permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses PBL telah berbuat salah baik disengaja maupun tidak disengaja. Semoga Laporan hasil TUTORIAL ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Diharapkan setelah membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai kulit kuning.
Makassar, 26 Desember 2016 Kelompok 7
Kata Pengantar
Puji syukur syukur kami panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan dan hidayah Nya sehingga laporan hasil TUTORIAL dari dar i kelompok 7 ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada nabi junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu dalam pembuatan laporan ini dan yang telah membantu selama masa TUTORIAL khususnya kepada dr. Dahlia, MARS yang telah banyak membantu selama proses PBL berlangsung. Dan kami juga mengucapkan permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses PBL telah berbuat salah baik disengaja maupun tidak disengaja. Semoga Laporan hasil TUTORIAL ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Diharapkan setelah membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai kulit kuning.
Makassar, 26 Desember 2016 Kelompok 7
Skenario 1
Pasien wanita 43 tahun datang ke dokter dengan keluhan mata dan kulit berwarna kekuningan-kuningan. Pasien mengalami demam beberapa hari sebelumnya disertai rasa mual dan nyeri pada perut kanan atas. Penderita sekitar seminggu yang lalu baru pulang dari Kab. Mamuju, sebuah daerah endemis malaria. . Ketika ditanyakan riwayat
imunisasinya, pasien tidak pasti imunisasi
apa saja yang pernah diterimanya.
A. Klarifikasi Kata Sulit
1. Endemis adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit) frekuensinya pada suatu wilayah tertentu menetap. (Wuryanto, Arie. Dasar Epidemiologi. eprints.undip) 2. Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu. Sistem imun tubuh mempunyai suatu sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh, maka akan dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpannya sebagai suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh antigen yang sama dengan vaksin maka antibodi akan tercipta lebih kuat dari vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya (Proverawati,Atikah.2010. Imunisasi dan Vaksinasi.Jakarta: Nuha Offset)
B. Kata Kunci
1. Wanita 43 tahun 2. Keluhan mata dan kulit berwarna kekuningan-kuningan. 3. Pasien mengalami demam beberapa hari sebelumnya disertai rasa mual dan nyeri pada perut kanan atas. 4. Sekitar seminggu yang lalu baru pulang dari Kab. Mamuju, sebuah daerah endemis malaria. 5. Imunisasi tidak jelas
C. Pertanyaan Penting
1. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari organ yang terlibat! 2. a.
Jelaskan siklus Bilirubin I dan Bilirubin II !
b. Bagaimana perbedaan bilirubin indirect & bilirubin direct ? 3. Jelaskan etiologi dari ikterus ! 4. Jelaskan
patomekanisme
a. Nyeri perut
dari
gejala
yang
di
alami
b. Ikterus
5. Jelaskan macam-macam ikterus! 6. Bagaimana diferensial diagnosis dari scenario? 7. Jelaskan hubungan imunisasi dengan penyakit yang di derita pasien! 8. Bagaimana pendekatan diagnosis terhadap pasien?
D. Jawaban Pertanyaan 1. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari organ yang terlibat! Anatomi Hepar
Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Beratnya 1200-1800 gram, gram, dengan permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan ligamentum teres dan di posterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates. Menurut, diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya.
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta dan arteri hepatica bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus kanan. Darah dari cabang-cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari perifer lobules ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat di antara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua lobules hati menyatu untuk membentuk vena hepatica. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati. Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7-T10, yang bersinaps dalam plexus coeliacus, nervus vagus dexter dan sinister serta phrenicus dexter.
Histologi Hepar
Sel – – sel sel yang terdapat di hatiantara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobules hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobules ke pusatnya dan beranastomosi secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati.
Sinusoid hati adalah saluran yang berliku – liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelata atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung. Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal.Pada traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatic dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik. Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik. Asinus hepatic berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan
hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik . Fisiologi Hepar
Hati adalah organ metabolic terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu.Hati menghasilkan empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut : 1. Pengolahan metabolic kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan mereka dari saluran cerna. 2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormone serta obat dan senyawa asing lainnya. 3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormone tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah. 4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin. 5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal. 6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang. 7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah usang. Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati atau hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolic diatas, kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen atau yang lebih dikenal sebagai sel Kupffer. Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut ke pada limfosit. Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a. Metabolisme karbohidrat Fungsi hati dalam metabolism karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolism karbohidrat. b. Metabolisme lemak Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolism lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat. c. Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino. d. Lain-lain Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah ban yak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormone dan zat lain.
Referensi : Guyton & Hall. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Paulsen. F &Waschke J. 2014. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC Mescher, Anthony L. 2012 Histologi Dasar Junqueira. Jakarta: EGC Fitri H. 2013. Sirosis Hepar. Medan: Universitas Sumatera Utara
2. a. Jelaskan siklus Bilirubin I dan Bilirubin II ! b. Bagaimana perbedaan bilirubin indirect & bilirubin direct ? a. Siklus Bilirubin I dan Bilirubin II Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yangmerupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui prosesreaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme,dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal daripenghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya sepertimioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolismebilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupanbilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari hemedengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besarterdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam airkemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normalbersifat tidak larut.Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan denganalbumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larutdalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yangterikat pada albumin bersifat nontoksik. Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasmahepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudianbilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin(protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya.Berkurangnya kapasitas pengambil an hepatik bilirubin yang tak terkonjugasiakan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.
Gambar 2.1.Metabolisme bilirubin pada neonatus
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubinkonjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuanenzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin i nikemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satumolekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulumendoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dandiekskre sikan melalui feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikankembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidaseyang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dankembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.
b. Perbedaan bilirubin indirect & bilirubin direct
Bilirubin ada 2 macam yaitu: a. Bilirubin tak terkonjugasi/ bilirubin indirect yaitu bilirubin yang belum mengalami konjugasi dengan asam glukoronat. Bilirubin ini dapat bereaksi
dengan reagen diazo dan Ehrlich setelah penambahan alkohol. Bilirubin ini bersifat larut dalam lemak, non polar, dan tidak larut dalam air. b. Bilirubin terkonjugasi/ bilirubin direct yaitu bilirubin yang sudah mengalami konjugasi dengan asam glukoronat. Bilirubin ini dapat bereaksi langsung dengan reagen diazio dan Ehrilch tanpa penambahan alkohol, tidak larut dalam lemak, polar, dan larut dalam air. Oleh karena itu, bilirubin direct ini dapat ditemukan dalam urin Referensi : BM Lubis. 2016.Jurnal Rasio Bilirubin Albumin pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia. Medan. Universitas Sumatera Utara
3. Jelaskan etiologi dari ikterus !
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu: i. Ikterus Prahepatik Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: - Kelainan sel darah merah - Infeksi seperti malaria, sepsis. - Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis. ii. Ikterus Pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin. iii. Ikterus Hepatoseluler Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam ali ran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
Referensi : Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus Dengan Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara
4. Jelaskan
patomekanisme
a. Nyeri perut
dari
gejala
yang
di
alami
b. Ikterus
a. Nyeri Perut
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
Sensitisasi Perifer Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan +
melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K , pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor . Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers). Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornudorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis ( activity dependent ), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent ). Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif ke dalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf di dalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitive terhadap rangsangan nyeri.
Referensi : R Gunawan. 2012. Jurnal Mekanisme Nyeri. Medan. Universitas Sumatera Utara.
b. Ikterus
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam
lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan hipoglikemia. Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin. Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi: 1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan 2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati 3. Gangguan konyugasi bilirubin 4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Pembentukan bilirubin secara berlebihan Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi melampaui kemampuan hati. Akibatnya kadar bilirubin tak terkonyugasi dalam darah meningkat. Meskipun demikian kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100 ml pada penderita hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan, berwarna kuning pucat. Karena bilirubin tak terkonyugasi tidak (larut dalam air, maka tidak dapat diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan urobilinogen menjadi meningkat (akibat.peningkatan beban bilirubin terhadap hati peningkatan konyugasi dan ekskresi), yang lanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan kemih. Kemih dan feses dapat berwarna gelap. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum (Rh atau inkompatibilitas transfusi atau sebagian akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma (pembesaran limpa dan peningkatan hemolisis) Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat diakibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa, porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan yang berlangsung kronik mengakibatkan pembentukan batu empedu yang banyak mengandung bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan kern ikterus
Gangguan pengambilan bilirubin Pengambilan bilirubin tak terkonyugasi yangterikat albumin oleh sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobatl cacing pita),novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian,
telah ditemukan defisiensi glukoronil transferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konyugasi bilirubin. Gangguan konyugasi bilirubin Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi yang ringan ( <12,9 mg/100 ml) yang mulai terjadi pada hari kedua sampai kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus akan menghilang. Ketika bilirubin yang tak terkonyugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut kern ikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi glukoronil transferase normal. Kernikterus atau bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka akan terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat. Tindakan pengobatan yang saat ini dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak terkonyugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto-isomerisasi) menjadi isomerisomer yang larut dalam air, isomer ini akan diekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus dikonyugasi terlebih dahulu. Ada tiga kondisi herediter yang menyebabkan defisiensi progresif dari glukoronil transferase: sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang ditandai oleh hiperbilirubinemia tak terkonyugasi ringan ( <5 mg/1 00 ml) dan ikterus. Beratnya ikterus dapat berubah-ubah, dan sering kali menjadi lebih buruk jika penderita puasa lama, infeksi, operasi dan terlalu banyak minum alkohol. Awitannya paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert adalah keadaan yang cukup sering timbul dan dapat menyerang sampai 5% penduduk pria. Tes fungsi hati normal, demikian juga kadar urobilinogen kemih dan feses. Tidak ada bilirubinuria. Penelitian mengungkapkan bahwa penderita-penderita ini mengalami defisiensi parsial glukoronil transferase. Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase. Sindrom Crigler-Najjartipe I merupakan gangguan herediter yang jarang, penyebabnya adalah gen resesif, dengan akibat glukoronil transferase tidak ada sama sekali sejak lahir. Karena konyugasi bilirubin tidak dapat terjadi, maka em pedu jadi tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonyugasi melampaui 20 mg/100 ml, sehingga menyebabkan kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi
hiperbilirubinemia tak terkonyugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi akan meninggal pada tahun pertama kehidupannya. Sindrom Crigler-Najjar tipe II adalah bentuk yang lebih ringan dari penyakit ini, diturunkan oleh suatu gen dominan, di mana defisiensi glukoronil transferase hanya ringan. Kadar bilirubin tak terkonyugasi dalam serum lebih rendah (6 sampai 20 mg/100 ml) dan ikterus dapat tidak terlihat sampai masa remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada penderita ini. Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor- faktor fungsional maupun obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonyugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokomia yang sarna. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular di mana sel parenkim hati mengalami kerusakan akibat virus hepatitis atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya menyebabkan gangguan pada semua fase metabolisme bilirubin pengambilan, konyugasi, dan ekskresi-tetapi karena ekskresi biasan ya yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonyugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotor. Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas dapat pula menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; juga karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur yang timbul pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri. Referensi Suframanyan K. 2014. Ikterus. Medan: Universitas Sumatera Utara Gunasegaran PD. 2013. Hiperbilirubinemia. Medan: Universitas Sumatera Utara Hasan, R., Alatas, H., 2000, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3, Cetakan 9, Jakarta, hal 1102-1105 Price, S.A., Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses proses Penyakit, Jilid 1, Cetakan 1, Jakarta, EGC, Hal 435-436
5. Jelaskan macam-macam ikterus! KLASIFIKASI
Ikterus dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis (Ngastiyah,1997). 1. Ikterus Fisiologis Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):
Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu 2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut : - Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR. - Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan. - Bilirubin direk lebih dari 1mg%. - Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. - Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis). Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
Referensi : Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus Dengan Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara
6. Bagaimana diferensial diagnosis dari scenario? 1. Hepatitis A Virus
Definisi Hepatitis A Virus Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus.15 Infeksi virus hepatitis A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantaranya adalah hepatitis fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik.
Etiologi Hepatitis A Virus Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai protein terminal VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus.
Transmisi Hepatitis A
Virus Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan minuman yang terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini terutama menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang sanitasi dan higienenya kurang baik.1 Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari. Penularan berlangsung cepat. Pada KLB di suatu SMA di Semarang, penularan melalui kantin sekolah diperburuk dengan sanitasi kantin dan WC yang kurang bersih.
Epidemiologi
Hepatitis A Virus Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di seluruh dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak terdeteksi dapat mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis tersebut. Seroprevalensi dari hepatitis A virus beragam dari beberapa negara di Asia. Pada negara dengan endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia, Thailand, Srilanka dan Malaysia, data yang tersedia menunjukan apabila rasio insidensi mungkin mengalami penurunan pada area perkotaan, dan usia pada saat infeksi meningkat dari awal masa kanak-kanak menuju ke akhir masa kanak-kanak, dimana meningkatkan resiko terjadinya wabah hepatitis. Di Amerika Serikat, angka kejadian hepatitis A telah turun sebanyak 95% sejak vaksin hepatitis A pertama kali tersedia pada tahun 1995. Pada tahun 2010, 1.670 kasus hepatitis A akut dilaporkan; Incidence rate sebanyak 0,6/100.000,
rasio terendah yang pernah tercatat. Setelah menyesuaikan untuk infeksi asimtomatik dan kejadian yang tidak dilaporkan, perkiraan jumlah infeksi baru ialah sekitar 17.000 kasus. Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%.2 Incidence rate dari hepatitis per 10.000 12 populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam.4 Suatu studi di Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada usia di atas 20 tahun.1 Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi di 2 desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate sebesar 1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun 2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, ada 47 kasus hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.
Patogenesis Hepatitis A Virus
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV; Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi.22 Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang paling berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada sel hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T antigenspecific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin, seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan supresi replikasi
virus. Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien yang 14 terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah virus yang terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset gejala klinis. Pemulihan dari hepatitis A berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel CD4+ virus-specific dibandingkan dengan sel CD8+.6, 22 Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit mungkin berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan.22 Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV dapat terdeteksi.35 Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM antiHAV akan terus meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu.
Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan). 1. Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.2 Pada hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 1450 hari, dengan rata-rata 28-30 hari. 2. Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.
3.
Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. 4. Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis 17 dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant.
Diagnosis Hepatitis A Virus
Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah: 1. Pemeriksaan Klinis Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan, malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan selama seminggu sampai sebulan. 2.
Pemeriksaan Serologik Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut, maka apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya 18 infeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis profilaksis terletak dibawah level dosis deteksi.
Rapid Test Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang tersedia.22 Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi, yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C” (Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M” berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga 97,6%. 3. Pemeriksaan Penunjang Lain Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia dari fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk menegakan diagnosis.
Penatalaksanaan
Hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi alkohol.17 Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap. Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati
Pencegahan Hepatitis A Virus
Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV.14 Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin
prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara, dan institusi lainnya.15 Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik, untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan.4 Vaksinasi HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar 94100% setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah, dengan efek samping yang minimal. Referensi: Ali Sulaiman, dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. CV. Infomedika, Jakarta Adhyatama, D. 2014. Hepatitis A Virus. Jurnal. Chapter II. Universitas Diponegoro Fakultas Kedokteran. W, Sudoyo Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:EGC. Hal 428-429.
Definisi Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Etiologi Hepatitis B
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno, 2007).
Epidemiologi Hepatitis B
Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan (Price & Wilson, 2012). Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%- 1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60 13 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%), selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B (Kemenkes, 2012).
Penularan Hepatitis B
Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja, 2012). Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternalneonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum (Juffrie et al, 2010).
Patogenesis Hepatitis B
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+ sitotoksik. Selama fase integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel sit otoksik CD8+ (Kumar et al, 2012).
Patofisiologi Hepatitis B
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah 17 DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati
ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).
Manifestasi Klinis Hepatitis B
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010). Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu: 1.
2.
3.
4.
Fase Inkubasi Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan ratarata 60-90 hari. Fase prodromal (pra ikterik) Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis. Fase ikterus Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. Fase konvalesen (penyembuhan) Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu : 1.
2.
3.
Fase Imunotoleransi, sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi. Fase Imunoaktif (Clearance) Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase Residual Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al, 2009).
Diagnosis Hepatitis B
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari : 1. Pemeriksaan Biokimia Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat. 2. Pemeriksaan Serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007). Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti- HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB. Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti- HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam jangka waktu lama 3. Pemeriksaan molekuler Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral. Metode pemeriksaannya antara lain: a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur kerja dan limbahnya. b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop karena sistem deteksinya menggunakan substrat chemiluminescence. c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa t arget molekul asam nukleat. d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup.
Komplikasi Hepatitis B
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut. Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut. Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang paling ditakuti karena sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah transplantasi hati (Soewignjo & Gunawan, 2008). Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan kehilangan fungsinya.
Tatalaksana
Terapi Hepatitis B Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik. Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari. Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB (dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC (Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia (Setiawan et al, 2006). Terapi antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir .
Pencegahan Khusus Pascapajanan
Pada individu yang tidak divaksinasi dan terpajan hepatitis B, segera berikan kombinasi HBIg (untuk mencapai kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu yang singkat) dan vaksinasi hepatitis B.
Pada individu yang terpajan secara perkutaneus atau seksual, status HbsAg dan AntiHBs sumber pejanan dan orang yang terpajan harus diperiksa:
Bila sumber pajanan terbukti HBsAg negative dan orang yang terpajan memiliki kekebalan terhadap hepaptitis B, profilaksis jangka panjang tidak diperlukan. Bila sumber pajanan terbukti HBsAg positif dan orang yang terpajan tidak memiliki kekebalan berikan HBIg 0.06 mL/kg diikuti vaksinasi. Bila status HBsAq sumber pajanan tidak diketahui harus tetap dianggap positif Sebaiknya pemeriksaan HBsAq dan anti-HBs dilakukan 2 bulan setelah pajanan.
Referensi : Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI).2012. penatalaksanaan hepatiis B di Indonesia. Jakarta: PPHI.
Konsensus nasional
McMahon BJ. Chronic HePATITIS Virus B Infection. Med Clin North Am. 2014: 39-54.
Definisi Hepatitis C
Hepatitis C Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Terdiri dari hepatitis C akut dan kronik, dari tingkat keparahan yang ringan yang berlangsung beberapa minggu menjadi kronik dan menyebabkan komplikasi yang serius (WHO, 2014). Infeksi akut HCV adalah terdeteksinya anti-HCV dan HCV RNA yang kurang dari 6 bulan pasca paparan HCV. Sebagian besar penderita akan menyebabkan infeksi kronik, yaitu bila anti-HCV dan HCV RNA terdeteksi didalam darah selama ≥ 6 bulan. Hepatitis C kronik dapat menyebabkan sirosis hati dan kanker hati primer (hepatocellular carcinoma). Etiologi
VHC merupakan virus RNA trantai tunggal, sferis, dengan selubung glikoprotein yang tergabung dalam family Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Protein pada selubungnya akan membantu terbentuknya antibody anti-VHC. Target utama HCV adalah hepatosit, namun dapat pula menginfeksi leuosit, limfosit T, limfosit B, dan limpa. VHC lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi enam genotype berbeda dan lebih dari 50 subtipe. Faktor Risiko
Pengguna obat injeksi (67%) Resipien darah atau produk darah difasilitas dengan control infeksi tidak adekuat Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat transmisi VHC perinatal ialah 4-8% (tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25% (dengan koinfeksi HIV).
Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap VHC
Individu dengan infeksi HIV
Individu dengan pengguna obat intranasal
Individu dengan tattoo atau tindik.
Cara transmisi:
Darah (predominan) : IVDU dan penetrasi jaringan, resepien produk darah.
Transmisi seksual : efisiensi rendah, frekuensi rendah.
Maternal-neonatal : efisiensi rendah, frekuensi rendah
Tak terdapat bukti transmisi fekal-oral
Epidemiologi
Menurut data WHO tahun 2014, lebih dari 185 juta penduduk dunia telah terinfeksi VHC, dan 350.000 jiwa diantaranya meninggal setiap tahunnya. Di Asia tenggara, prevelansi Hepatitis C ialah 2.0% pada populasi dewasa. Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 didapatkan anti-HCV positif sebesar 1,7% dari 12.715 laki-laki dan 2,4% dari 14.821 perempuan. Patogenesis Virus Hepatitis C
HCV yang masuk kedalam darah akan mencari hepatosit (HCV hanya bisa berkembang biak di dalam sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Virus masuk kedalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan khusus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site dibagian luar hepatosit. Protein inti virus ini menembus dinding sel dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi. Virus menyebabkan sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri, lalu menutup fungsi normal hepatosit atau menginfeksi hepatosit yang lain. Virus kemudian membajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal poliprotein (proses translasi). Poliprotein dipecah menjadi unit-unit protein. Protein ini ada 2 jenis, yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori Universitas Sumatera Utara 8 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memulai sintesis kopi virus RNA asli. RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran) untuk menghasilkan virus baru. Proses ini berlangsung terus dan dapat membuat terjadinya mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju pembuluh darah menembus membran sel. Dalam sehari replikasi HCV sangat banyak. Seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion per hari (bahkan dalam fase infeksi kronik sekalipun) (Sulaiman, 2007). Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan
tenang (quiscent) kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokinsitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. Manifestasi Klinis Hepatitis C
Infeksi HCV akut Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Masa inkubasi hepatitis C adalah 2 minggu sampai 6 bulan. Setelah infeksi awal, sekitar 70-80% penderita HCV tidak menunjukkan gejala. Sebagian kecil penderita dapat memiliki gejala ringan sampai berat segera setelah terinfeksi demam, kelelahan, nafsu makan menurun, mual, muntah, sakit perut (biasanya pada perut kanan atas), urin gelap, kotoran berwarna abu-abu, nyeri sendi dan jaundice (WHO, 2014). Infeksi HCV kronik Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Dalam banyak kasus, tidak ditemukan gejala penyakit sampai timbulnya masalah pada hati pasien. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik seolaholah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali nilai normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut. HCV sering terdeteksi selama tes darah rutin untuk mengukur fungsi hati dan tingkat enzim hati. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien infeksi HCV. Dari setiap 100 orang yang terinfeksi.sekitar 75-85 orang akan mengembangkan infeksi HCV, 60-70 orang mengembangkan penyakit hati kronik, 5-20 orang akan berlanjut menjadi sirosis selama periode 20-30 tahun, 1-5 orang akan meninggal akibat sirosis atau kanker hati. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan anti-HCV merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk mendeteksi infeksi hepatitis C. Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV
RNA. Diagnosis hepatitis C kronik harus dibuktikan dengan keberadaan antiHCV dan HCV RNA positif > 6 bulan dan atau disertai dengan gejala penyakit hati kronik. Infeksi HCV akut dapat dicurigai jika tanda-tanda klinis dan gejala yang kompatibel dengan hepatitis C akut (alanine aminotransferase [ALT] >10x diatas normal, adanya jaundice) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau penyebab lain dari hepatitis akut, dan/atau jika dalam sumber sekarang kemungkinan penularan dapat diidentifikasi. Dalam semua kasus, HCV RNA dapat terdeteksi selama fase akut meskipun kebanyakan jarang terjadi (EASL, 2014).
Pemeriksaan laboratorium Untuk pemeriksaan anti-HCV, tes enzyme immunoassay (EIA) merupakan pemeriksaan yang mudah dikerjakan dan relatif tidak mahal, dan merupakan tes skrining awal terbaik. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent immunoassay (CLIA). Bila didapatkan hasil anti-HCV positif maka dapat dinyatakan orang tersebut terinfeksi virus hepatitis C dan pemeriksaan selanjutnya yaitu HCV RNA (EASL, 2014). Anti-HCV mempunyai masa serokonversi sekitar 5-10 minggu pasca paparan HCV, ada juga yang baru terdeteksi setelah 3 bulan sehingga pemeriksaan anti-HCV saja dapat menimbulkan kesalahan diagnosis sebesar 30% kasus hepatitis C akut. Selain itu pada pasien HIV, pasien hemodialisis, dan pengguna obat imunosupresan, pemeriksaan anti HCV dapat menghasilkan negatif palsu. Pada keadaan tersebut ataupun bila ada kecurigaan infeksi hepatitis C maka diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu HCV RNA. Interpretasi Hasil Anti-HCV dan HCV RNA
Anti-HCV
HCV RNA
Interpretasi
Positif
Positif
Positif
Negative
Negative
Positif
negatif
negatif
Infeksi HCV akut atau krinik bergantung pada gejala klinis Resolusi HCV, status infeksi tidak dapat ditentukan (mungkin dalam status intermitten viremia) Infeksi HVC akut awal; HCV kronik pada pasien dengan status imunosupresi; pemeriksaan HCV RNA positif palsu Tidak adanya infeksi HCV
Biopsi hati dan fibroscan Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien dengan infeksi HCV kronik. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau overload besi (Sulaiman , 2007). Saat ini dengan fibroscan dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai fibrosis hati sehingga dapat dipakai pada pasienpasien yang menolak untuk dilakukannya biopsi hati.
Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi atau eradikasi virus HCV dan mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular dan sebagai endpoint therapy adalah mencapai sustained virologic response (SVR). - Tatalaksana hepatitis C akut: Dari saat identifikasi infeksi HCV akut, pasien harus dipantau tiap 4 minggu untuk serokonversi atau terbentuknya HCV RNA viremia. Pada 12 minggu, sekitar 15-30% akan sembuh disertai pembersihan HCV tanpa pengobatan. Mereka yang tidak sembuh harus segera mendapat pegylated interferon selama 24 minggu. Oleh karena itu, tatalaksana dapat ditunda selama 12-16 minggu menunggu terjadinya resolusi spontan terutama pada yang simptomatik. Pada pasien genotip IL28B non-CC pemberian antivirus dapat lebih awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN dapat diberikan pada tatalaksana hepatitis C akut. Lama terapi hepatitis C akut pada genotip 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotip 2 dan 3 selama 12 minggu. Ini akan mencegah terjadinya infeksi HCV kronik pada kebanyakan pasien (Muslu, 2010; PPHI, 2014). - Tatalaksana hepatitis C kronik : Penatalaksanaan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik. Umumnya pasien hepatitis C datang berobat sudah dalam fase kronik. Target terapi antivirus adalah pencapaian SVR, yaitu muatan virus HCV RNA <50 IU/mL atau tetap tidak terdeteksi setelah 2 minggu setelah pemberian terapi antivirus selesai. Untuk menegetahuinya, dilakukan
pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Bila rapit virological response (RVR) tercapai, yaitu muatan virus HCV RNA <50 IU/Ml , atau tidak terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus selama 4 minggu, dapat diperkirakan 72.5-100% akan tercapai. Pilihan terapi standar untuk hepatitis C kronik adalah kombinasi antara Pegylated Interferon-α (Peg-INFα) dan ribavirin (RBV). Pada genotip 1 memberikan respon 40-50% mencapai SVR, pada genotip 2 dan 3 sekitar 80% mencapai SVR. Telah ditemukan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Di Indonesia yang baru tersedia adalah boceprevir. Pencegahan
1.
Pencegahan primer Tidak ada vaksin untuk hepatitis C, oleh karena itu pencegahan infeksi HCV ditujukan pada mengurangi risiko terpaparnya dengan HCV. Daftar berikut memberikan contoh terbatas intervensi pencegahan primer yang direkomendasikan oleh WHO: • kebersihan tangan: persiapan bedah, mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan • penanganan yang aman dan pembuangan benda taja m dan limbah • pembersihan yang aman dari peralatan • pengujian darah yang disumbangkan • edukasi kepada masyarakat • meningkatkan akses terhadap darah ya ng aman, dan • pelatihan tenaga kesehatan. 2. Pencegahan sekunder • pendidikan dan konseling tentang pilihan untuk perawatan dan pengobatan • imunisasi dengan vaksin hepatitis A dan B untuk mencegah koinfeksi dari virus hepatitis ini untuk melindungi hati mereka • manajemen medis awal dan tepat termasuk terapi antiviral jika sesuai, dan • pemantauan rutin untuk diagnosis awal penyakit hati kronik (WHO, 2014). Referensi: E, Mutiara. 2013. Hepatitis C. Chapter II. Universitas Sumatera Utara. W, Sudoyo, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: EGC. Hal 428-429.
2. Kolelitiasis Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava.Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati. Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran.Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Gambaran Klinis Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung makinmeningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain.
Komplikasi Kolesistisis Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu Kolangitis Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.24 Hidrops Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif. Empiema Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
dapat
Patogenesis Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu.Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah. Pencegahan Kolelitiasis Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari cairan empedu. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi. a. Penanggulangan non bedah 1. Disolusi Medis Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten. 2. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran
empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser. 3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur inihanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. b. Penanggulangan bedah, yaitu: 1. Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 2. Kolesistektomi laparoskopik Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat s ayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
Referensi : JH Girsang. 2013. Jurnal Kolelitiasis. Medan. Universitas Sumatera Utara
3. Malaria Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Etiologi
Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species plasmodium pada manusia adalah : 1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika. 2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana. 3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana) 4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale. Kini plasmodium knowlesi yang selama ini dikenal hanya ada pada monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis), ditemukan pula ditubuh manusia. Penelitian sebuah tim internasional yang dimuat jurnal Clinical Infectious Diseases memaparkan hasil tes pada 150 pasien malaria di rumah sakit Serawak, Malaysia, Juli 2006 sampai Januari 2008, menunjukkan, dua pertiga kasus malaria disebabkan infeksi plasmodium knowlesi Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan bahkan dapat menimbukan suatu variasi manisfestasi-manifestasi akut dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan kematian. Seorang dapat menginfeksi lebih dari satu jenis plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran / majemuk (mixed infection). Pada umumnya lebih banyak dijumpai dua jenis plasmodium, yaitu campuran antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Nyamuk anophel ini berperan sebagai vektor penyakit malaria. Nyamuk anophelini yang berperan hanya genus Anopheles. Di seluruh dunia, genus anopheles ini diketahui jumlahnya kira-kira 2000 species, diantaranya 60 species diketahui sebagai vektor malaria.
Siklus hidup plasmodium 1. Siklus pada manusia Pada saat nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada dikelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih ½ jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati (tergantung speciesnya). Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam hati selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Pada suatu saat imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh). Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk keperedaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium sporozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung speciesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksisel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Setelah sampai 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (genosit jantan dan betina). 2. Siklus pada nyamuk anopheles Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia
Masa inkubasi Yaitu rentan waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai denagan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung species plasmodium.
\ Berbagai studi menunjukkan, pada infeksi plasmodium knowlesi, siklus reproduksi aseksual (pembelahan diri dalam tubuh manusia atau hewan)
terjadi dalam waktu 24 jam. Lebih cepat dibandingkan siklus 48jam pada plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium falciparum, sedangkan 72 jam pada plasmodium malariae. Setiap kali sel-sel membelah akan terjadi serangan demam.
Epidemiologi Di indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya (survei kesehatan rumah tangga, 2001). Diperkirakan 35 % penduduk undonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten / kota yang ada di indonesia, 167 kabupaten / kota merupakn daerah endemis malaria. Upaya penanggulangan malaria telah menunjukkan peningkatan mulai dari tahun1997 s/d 2004. Patofisiologi Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktifasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrsit akibat hemolisis. Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan
bukan malaria
perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus.
Gejala Klinis Sindrom klinis yang disebabkan oleh malaria berbeda tergantung apakah pasien tinggal di daerah dengan penularan malaria endemis yang stabil (terus menerus) atau penularan stabil (kadang-kadang dan/atau jarang). Di daerah dengan penularan stabil, penyakit mempengaruhi anak dan orang dewasa dengan cara yang berbeda. Anak mengalami infeksi kronis dengan parasitemia berulang yang mengakibatkan anemia berat dan sering kematian. Yang tahan hidup infeksi berulang ini dapat sebagian kekebalan pada usia lima tahun dan kekebalan ini tetap tertahan pada masa dewasa. Orang dewasa mengalami infeksi tanpa gejala Gejala malaria terjadi dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu (disebut peroksisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (di sebut periode laten). Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal disebut gejala prodolmal). Beberapa pasien kadang mengeluh nyeri dada, batuk, nteri perut, nyeri sendi dan diare. Sakit biasanya berkembang menjadi panas dingin berat dihubungkan dengan panas hebat disertai takikardi, mual, pusing, orthostatis dan lemas berat. Dalam beberapa jam mereda, pasien berkeringat dan sangat lelah. Pada anak-anak, bahkan pada anak-anak non imun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik ” seperti yang ditemukan pada orang dewasa. Pada penderita anak, kenaikan panas badan cendrung lebih tinggi sering disertai dengan muntah-muntah dan berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang mempunyai lebih sedikit kekebalan kadang-kadang juga dapat menderita demam, nyeri sendi, sakit kepala.oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa menyerupai penyakit lain yang bisa menyebabkan demam. Begitu pula anemia yang cendrung menjadi berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya memberi gejala yang ringan, pada penderitanya anak sering menimbulkan gejala yang lebih berat. Namun bisanya, malaria falciparum lah yang menyebabkan keadaan darurat pada penderita anak. Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual/sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesiec plasmodium yang menginfeksi. Suatu peroksisme demam
biasanya mempunyai 3 stadium yang berurutan, yaitu :
1. Stadium frigori s (mengigil) stadium ini mulai dengan menggil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit -1 jam. 2. Stadium akme (puncak demam) setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa santan haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41° C. stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
3. Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun) Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadangkadang sampai dibawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. 9 Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam. Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan denagan oliguria, dan anuria dapat terjadi. Sindrom nefrotik, berkaitan dengan plasmodium malariae apada anak yang tinggal di daerah endemik malaria, prognosisnya jelek. Black water fever, sekarang jarang ditemukan, dihibungkan dengan plasmodium falciparum; hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular berat dan mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena anemia. Hipoglikemi dapat dihubungkan dengan malaria falciparum. Pada infeksi berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran konvulsi dan gangguan kesadaran. Diagnosis Diagnosis malaria dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium (mikroskopik, tes diagnostik cepat) dan tanpa pemeksaan laboratorium. Sampai saat ini diagnosis pasti malaria berdasarkan ditemukanya prasit dalam sendian darah secara miskrokopik. Kasus malaria yang didiagonis hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis disebut kasus tersangka malaria atau malaria klinis. Anamnesis Keluhan Utama : demam ,mengilgil,dan dapat disertai sakit kepala,mual, Muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal Riwayat berkunjung dan bermalam 1~4 minggu yang lalu ke daerah
Endemik malaria Riwayat tinggal di daerah endemik malaria Riwayat sakit malaria Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir Riwayat mendapat tranfusi darah Gejala klinis pada anak dapat tidak khas Untuk penderita tersangka malaria berat,dapat disertai satu atau lebih gejala berikut : Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat. Kelemahan umum (tidak bisa duduk /bediri). Kejang~kejang Panas sangat tinggi Mata atau tubuh kuning . Pendarahan gusi, hidung atau saluran cerna . Nafas cepat dan atau nsesak nafas . Muntah terus menerus . Tidak dapat makan dan minum . Warna air seni seperti teh tua sampai kehitaman. Jumlah air seni kurang (oliguria )sampai tidak ada (anuria ) Telapak tangan sangat pucat. Pemeriksaan Fisik Deman (peraan atau pengukuran dengan thermometer ) Pucat pada kojugtiva palpebra atau telapak tangan . Pembesaran limpa (splenomegali). Pembesaraan hati (hepatomegali). Pada tersangka malaria berat dapat ditemukan satu atau lebih tanda klinis Berikut ; Temperatur aksila >40 C. Tekanaan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa da anak-anak <50 mmHg. Nadi cepat dan lemah/kecil Frekuensi nafas >35 x per menit pada orang dewasa atau 40 x per menit pada balita, anak dibawah 1 tahun > 50 x per menit. Penurunan derajat kesadaran Manifesstasi perdarahan (petekie, purpura, hematom). Tanda dehidrasi (mata cekung, tugor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni kurang). Tanda-tanda anemia berat (konjuntiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat).
Terlihat mata kuning/ ikterik. Adanya ronki pada kedua paru. Pembesaran limpa dan atau hepar. Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria. Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologi). Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis untuk mentukan : Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif). Species dan stadium plasmodium (Pf, PV, Pm,Po, dan tropozoit, skizon, gametosit). Kepadatan parasit : Semi kuatitatif o (-) : SD neagatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB) o (+) : SD positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB). o (++) : SD positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB). o (+++) : SD positif 3 (ditemukan 1-100 parasit dalam 1 LPB). o (++++) : SD positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1 LPB). Pemeriksaan Morfologi Plasmodium knowlesi mirip dengan P. malariae. P, malariae dicirikan oleh parasit kompak (semua tahapan) dan tidak mengubah eritrosit host atau menyebabkan pembesaran. Trofozoit memanjang membentang di eritrosit, yang disebut “ band form”, kadang-kadang tampak. Schizonts biasanya akan memiliki 8-10 merozoit yang sering diatur dalam pola roset dengan rumpun pigmen di tengah. Penatalaksanaan
Prognosis Prognosis bergantung pada pengobatan yang dinerikan. Pada malaria tropika ( yang disebabkan oleh plasmodium falciparum) dapat timbul komplikasi yang berbahaya yang disebut black water fever ( hemoglobinuric feber) dengan gagal ginjal akut. Pencegahan Penyakit dapat dicegah dengan melakukan pemotongan rantai penularan dengan cara : 1) Mencegah gigitan vektor
Membunuh nyamuk dengan insektisida. Tidur dengan mengunakan kelambu. Menghilangkan kesempatan nyamuk berkembang biak. 2) Kemoprofolaksis Bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria, dan apabila terinfeksi gejala klinisnya tidak berat. Obat malaria yang dipakai adalah : Doksisiklin : untuk plasmodium falsiparum Dosis : 1,5 mg / kg BB/ hari selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Klorokuin : untuk plasmodium vivax Dosis 5 mg/ kg BB/ minggu, diminum 1 minggu sebelum ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.
Referensi : Teuku Romi Imansyah Putra.2011.Malaria dan Permasalahannya. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 11 Nomor 2 Agustus 2011
7. Jelaskan hubungan imunisasi dengan penyakit yang di derita pasien!
Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana yang diwajibkan oleh WHO yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatiti s B. (Hidayat, 2005, hal 46). Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang diberikan pada semua orang, terutama bayi dan balita sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dari penyakit penyakit yang berbahaya. Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit yaitu TBC, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, campak dan hepatitis B. Kelima jenis imunisasi dasar yang wajib diperoleh adalah: a) Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC), yaitu penyakit paru paru yang sangat menular yang dilakukan sekali pada bayi sekali pada bayi usia 0-11 bulan b) Imunisasi DPT yaitu merupakan imunisasi dengan memberikan vaksin mengandung racun kuman yang telah dihilangkan racunnya akan tetapi masih dapat merangsang pembentukan zat anti(toxoid) untuk mencegah terjadinya penyakit difteri,pertusis,dan tetanus,yang diberikan 3 kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu. c) Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada kaki, yang diberikan 4 kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu d) Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan kekebalan aktif terhadap penyakit campak karena penyakit ini sangat menular, yang diberikan 1 kali pada bayi usia 9-11 bulan e) Imunisasi hepatis B, adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B yaitu penyakit yang dapat merusak hati, yang diberikan 3 kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal 4 minggu cakupan imunisasi lengkap pada anak, yang merupakan gabungan dari tiap jenis imunisasi yang didapatkan oleh seorang anak. Sejak tahun 2004 hepatitis B disatukan dengan pemberian DPT menjadi DPT-HB. (Proverati 2010). Imunisasi hepatitis B
Pelaksanaan vaksinasi terhadap virus hepatitis B pada manusia, pertama kali dilakukan oleh Krugman dan koleganya pada ta hun 1971 yaitu dengan menggunakan sediaan serum yang diperoleh dari karier virus hepatitis B dan
diinaktifasi menggunakan pabas. Hasilnya 20 dari 29 anak terlindung dari infeksi virus hepatitis B. Imunitas dijumpai pada anak-anak yang mempunyai antibodi terhadap Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg). Hasil ini memacu perkembangan pembuatan vaksin hepatitis B lebih maju, terutama untuk produksi skala besar dari plasma karier (Suwandi, 1991). Menurut Lubis (2004), saat ini setidaknya ada 3 tipe vaksin yaitu: i. Derivat dari plasma karier Vaksin ini berasal dari plasma dan merupakan generasi pert ama. Dalam pemberiannya tidak dijumpai efek samping yang serius dan daya lindung yang dihasilkannya tidak berbeda dengan vaksin generasi kedua. ii. Rekombinan DNA recombinant vaccine adalah HBsAg yang telah dimurnikan yang mana komposisinya identik dengan generasi pertama yaitu vaksin yang berasal dari plasma. iii. Polipeptida Vaksin ini sampai sekarang hanya eksperimental dan penggunaannya belum lagi ditetapkan. Menurut Depkes (2005), Markum (1997), Ranuh (2001) dalam Harahap (2008), imunisasi hepatitis B adalah salah satu dari li ma jenis imunisasi dasar yang telah diwajibkan oleh Pemerintah bagi seluruh bayi atau anak Indonesia. Sesuai dengan jadwal pemberiannya, maka imunisasi dasar ini seharusnya sudah lengkap diberikan pada bayi sebelum usia satu tahun. Imunisasi hepatitis B posyandu umumnya diberikan sebanyak 3 kali (HB 1, HB 2 dan HB 3) dengan interval waktu pemberian satu bulan yaitu 0 bulan, 2 bulan dan 3 bulan.
Pemberian vaksinasi hepatitis B biasanya diberikan secara suntikan. Apabila vaksin disuntikkan, tubuh akan membentuk anti-HBs. Satu seri vaksinasi yang tepat dapat membentuk antibodi yang cukup pada 95% orang sehat. Respons pembentukan antibodi berkurang pada usia lebih tua dan adanya gangguan daya tahan tubuh. Pada bayi dan anak respons umumnya sangat baik dan menghasilkan kadar antibodi yang tinggi walaupun dengan dosis yang lebih rendah dari orang dewasa. Berapa lama antibodi dapat bertahan dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan lebih dari 5 tahun. Perlindungan dalam 5 tahun pertama kehidupan sudah cukup baik untuk mengurangi jumlah pengidap kronik, sekalipun booster tidak diberikan. Menurut World Health Organization (WHO), vaksin hepatitis B merupakan vaksin yang selamat dan terbukti keberkesanannya. Pemberian vaksin hepatitis B sangat dianjurkan kepada semua bayi baru lahir dan kepada semua anak sehingga berusia 18 tahun. Vaksinasi Hepatitis B juga s angat direkomendasikan kepada kelompok populasi yang mempunyai resiko tinggi untuk terinfeksi dengan virus hepatitis B yaitu : a) Pekerja kesehatan seperti dokter dan perawat b) Pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B c) Pengguna jarum suntik d) Penerima tranfusi darah e) Individu yang mempunyai banyak pasangan seks f) Penerima transplantasi organ (WHO, 2008)
Menurut Canadian Immunization Guide Seventh Edition (2006), indikasi titer anti-HBs yang protektif adalah sebanyak 10mIU/ml atau lebih. Kebanyakkan golongan dewasa mempunyai anti-HBs yang rendah. Oleh sebab itu, imunisai hepatitis B tambahan (booster) direkomendasikan kepada mereka yang beresiko tinggi seperti pekerja kesehatan. Vaksin Malaria Vaksin malaria pertama buatan GlaxoSmithKline, GSK, bisa segera diijinkan untuk digunakan di Afrika pada Oktober setelah data percobaan paling akhir memperlihatkan vaksin ini memberi kekebalan hingga empat tahun. Suntikan RTS,S yang dirancang untuk digunakan anak-anak di Afrika ini akan menjadi vaksin manusia berlisensi pertama untuk penyakit yang disebabkan parasit, dan bisa membantu pencegahan jutaan kasus malaria. Penyakit malaria menewaskan 600 ribu orang setiap tahun. Para pakar sejak lama berharap agar ilmuwan bisa segera mengembangkan vaksin malaria yang efektif, dan para ilmuwan di GSK, perusahaan farmasi milik Inggris ini, sudah 30 tahun mengembangkan RTS,S. Harapan vaksinasi ini bisa menjadi jawaban dalam upaya mengentaskan penyakit malaria sempat terhalang ketika data percobaan yang dirilis pada 2011 dan 2012 memperlihatkan vaksin tersebut hanya mengurangi jumlah kasus malaria pada bayi berusia 6 sampai 12 minggu hingga 27 persen, dan sekitar 46 persen pada anak berusia 5 sampai 17 bulan. Tetapi data tahap terakhir yang diterbitkan di journal Lancet Jumat (24/4) memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah mendapat vaksinasi tetap memiliki kekebalan terhadap malaria hingga empat tahun, dan lebih lama lagi jika mendapat suntikan vaksin tambahan. “Meski ada penurunan kemanjuran sejalan dengan waktu, terlihat RTS,S masih memiliki manfaat yang jelas,” ujar Brian Greenwood, guru besar dari Sekolah Higienis dan Obat Tropis London yang juga terlibat dalam proyek penelitian ini. Dia mengatakan secara rata-rata terdapat 1.363 kasus malaria yang dicegah dalam waktu empat tahun dari 1.000 anak yang mendapat vaksinasi, atau 1.774 kasus jika mereka mendapat vaksinasi penguat - anak-anak ini diperkirakan akan mengalami infeksi selama beberapa kali dalam periode tersebut. Studi lanjutan selama tiga tahun menunjukkan bahwa pada bayi 558 kasus berhasil dicegah dari 1.000 bayi yang mendapat vaksinasi, sementara untuk mereka yang mendapat suntikan tambahan angkanya menjadi 983 kasus. “Jika melihat bahwa pada 2013 diperkirakan terdapat 198 juta kasus malaria, tingkat kemanjuran ini berpotensi bisa mencegah jutaan kasus penyakit malaria pada anak,” kata Greenwood. GSK mengajukan permintaan persetujuan untuk RTS,S ke Badan Obat-Obatan Eropa pada Juli 2014, dan badan ini diperkirakan akan mengambil keputusan
dalam
beberapa
bulan
ke
depan.
Jika obat ini mendapat lisensi, WHO akan memberi rekomendasi penggunaannya “pada Oktober tahun ini”, ujar Greenwood. Para pakar mengatakan RTS,S akan menjadi salah satu senjata melawan malaria, selain kelambu, pemeriksaan diagnostik cepat dan obat anti malaria. RTS,S dikembangkan oleh GSK dan organisasi nirlaba PATH Malaria Vaccine Initative, dengan pendanaan dari Yayasan Bill & Melinda Gates
Referensi :
AD Musrifani.2013. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Terhadap Status Imunisasi Dasar Pada Anak Usia 12-23 Bulan.Medan.Universitas Sumatera Utara
Izzatul
Syazwani.2012.
Hubungan
Pengetahuan
tentang
Penyakit
Hepatitis B dengan Tindakan Melakukan Imunisasi pada Perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.Medan.Universitas Sumatera Utara
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150424155628127-49030/vaksin-malaria-beri-kekebalan-hingga-empat-tahun/ [diakses pada 27 Des. 16]
8. Bagaimana pendekatan diagnosis terhadap pasien?
1. Malaria Anamnesis : demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, mual muntah, dan diare. Faktor Resiko: riwayat menderita malaria sebelumnya; tinggal di daerah yang endemis malaria; pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemis malaria; riwayat transfusi darah. -
Pemfis: a. pada saat demam kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat sampai diatas 400C dan kulit kering, pasien juga dapat terlihat pucat, nadi dan pernapasan meningkat. b. Pada saat menggigil kulit teraba dingin dan berkeringat, nadi teraba cepat dan lemah, pada kondisi tertentu bisa di dapatkan penurunan kesadaran. c. Kepala: konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria serebral dapat ditemukan batu kuduk. d. Toraks: pernapasan cepat e. Abdomen: teraba pembesaran hepar dan lien, dapat juga ditemukan asistes f. Ginjal: bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri, atau anuria. g. Ekstremitas: akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju syok
-
Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit plasmodium b. Menggunakan Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT)
2. Pendekatan klinis pada pasien ikterus yang berhubungan dengan penyakit hati: a. Anamnesis & Pemfis Warna kekuningan pada kuliat atau telapak tangan. Keluhan utama pasien dan perjalanan penyakitnya. Keadaan ikterus disertai dengan perubahan warna air seni yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Riwayat penyakit pasien yang mungkin menyebabkan komplikasi -