PEMBERDAYAAN PETANI KELAPA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN
Supadi dan Achmad Rozany Nurmanaf Pusat Anali sis Sosia l Ekono mi dan Kebi jaka n Pert anian , Jala n A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Pada umumnya usaha tani kelapa rakyat masih bersifat monokultur dengan produktivitas rendah sehingga belum mampu mendukung kehidupan keluarga petani. Sekitar 60% petani kelapa tergolong miskin. Oleh karena itu, pe mb er da ya an pe ta ni me ru pak an up aya st ra te gi s untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Pemberdayaan dapat dilaksanakan melalui: l) pembinaan dan pelatihan cara berproduksi yang efisien melalui pen era pan tek nol ogi anj ura n dan div er sif ika si usa ha ta ni dan pro duk , 2) ban tua n mod al (kr edi t usa ha) , 3) pem bang unan sar ana dan pra sar ana unt uk pen gem ban gan keg iat an sosi al eko nomi dan unt uk mem per lan car penyediaan sarana produksi serta pemasaran hasil, barang dan jasa, serta 4) penguatan kelembagaan sosial ekonomi pet ani baik lem baga eko nomi (kop era si) mau pun none kono mi (as osi asi ). Den gan upay a ter sebu t diha rap kan petani kelapa mampu memanfaatkan potensi dan kreativitasnya sehingga dapat merespons dan mengakses fasilitas yang dibangun untuk kesejahteraan mereka. Kata kunci: Kelapa, usaha tani, pemberdayaan petani, pendapatan usaha tani
ABSTRACT Empowerment of coconut farmers to increase their family income
Generally, small coconut farmings apply monoculture techniques with low productivity so the farming is not able to support yet the life of farmer’s family. Around 60% coconut farmers are poor. Therefore, coconut farmer’s empowerment is the crucial effort to increase their income and welfare. Farmer's empowerment can be done by several ways, namely 1) construction and training on how to make production efficiently by applying recommended technologies and diversifying farm products, 2) capital aid for farm business, 3) infrastructure development to support public social-economic activities to accelerate marketing of input and output, goods and services, and 4) reinforcement of farmer’s social institution, not only in economic aspect, like cooperation, but also in noneconomic aspect, for example farmers’ association. By these efforts farmers could use their potency and creativity in responding and accessing available facilities. Keywords: Coconuts, farming systems, farmer empowerment, farm income
K
elapa merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buah bu ahny nyaa ya yang ng da dapa patt di diol olah ah me menj nj ad adii santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon kehidupan" ( the tree of life ) atau "pohon yang amat menyenangkan" ( a heaven tree) (Asnawi dan Darwis 1985). Sukamto (2001) selain menjuluki kelapa sebagai Jurna l Litb ang Perta nian, 25(1) , 2006
"pohon kehidupan", juga menamakannya sebagai "pohon surga". Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di hampir seluruh wilayah Nusant Nus antara ara,, yai yaitu tu di Sum Sumate atera ra den dengan gan areal 1,20 juta ha (32,90%), Jawa 0,903 juta ha (24,30%), Sulawesi 0,716 juta ha (19,30%), Bali, NTB, dan NTT 0,305 juta ha (8,20%), Maluku dan Papua 0,289 juta ha (7,80%), dan Kalimantan 0,277 juta ha (7,50%). Kelapa diusahakan petani baik di kebun maupun pekarangan (Nogoseno 2003).
Kelapa merupakan tanaman perke bunan dengan areal terluas di Indonesia, Indo nesia, lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah padi. Kelapa menempati areal seluas 3,70 juta ha atau 26% dari 14,20 juta ha total areal perkebunan. Sekitar 96,60% pertanaman kelapa dikelola oleh petani dengan ratarata pemilikan 1 ha/KK (Allorerung dan Mahmud 2003), dan sebagian besar diusahakan secara monokultur (97%), kebun campuran atau sebagai tanaman pekarang peka rangan an (Bud (Budiant ianto o dan Allo Allorer rerung ung 2003). 31
Areal tanam kelapa meningkat dari 1,60 juta ha tahun 1968 menjadi 3,75 ha tahun 2000 atau rata-rata bertambah dengan laju 4%/tahun. Secara kuantitatif areal tanam meningkat, tetapi secara kualitatif belum ada peningkatan yang nyata (Brotosunaryo 2003). Menurut Allorerung dan Mahmud (2003), selama 30 tahun terakhir areal kelapa meningkat sekitar 154%, tetapi produktivitasnya relatif tidak berubah dari 0,80 t menjadi 1,10 t kopra/ha/tahun, padahal kelapa dalam yang dipelihara intensif dapat menghasilkan 2,50 t kopra/ha/tahun dan kelapa hibrida 4 t kopra/ha/tahun. Dalam perekonomian Indonesia, kelapa merupakan salah satu komoditas strategis karena perannya yang besar bagi masyarakat sebagai sumber pendapatan, sumber utama minyak dalam negeri, sumber devisa, sumber bahan baku industri (pangan, bangunan, farmasi, oleokimia), dan sebagai penyedia lapangan kerja (Kasryno et al. 1998; Tondok 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Budianto dan Allorerung 2003; Tarigans 2003). Namun demikian menurut Budianto dan Allorerung (2003), bila dilihat dari segi pendapatan petani, potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya berbagai masalah inte rnal baik dalam proses produksi, pengolahan, pemasaran maupun kelembagaan (Kasryno et al. 1998). Terbatasnya perhatian pemerintah terhadap perkelapaan, secara langsung dan tidak langsung telah mengabaikan nasib dan kepentingan sekitar 8 juta KK (40 juta rakyat Indonesia) yang meliputi pe tan i, bu ru h tan i, bu ru h da ga ng , pedagang, dan buruh industri (Allorerung dan Mahmud 2003). Hal ini terjadi karena penilaian peran suatu komoditas khususnya kelapa secara nasional sering bias, karena hanya dilihat dari kontribusinya terhadap perolehan devisa dengan mengabaikan jumlah rakyat yang terlibat langsung di dalamnya. Sejak zaman penjajahan hingga kini, profil usaha tani kelapa praktis tid ak banyak mengalami perubahan. Produk yang dihasilkan petani tetap hanya berupa kopra atau kelapa butiran. Bahkan ji ka da hu lu peta ni at au us aha keci l pede sa an ba ny ak me ng ol ah mi ny ak klentik, sekarang praktis sudah tidak ada (Allorerung dan Mahmud 2003). Dengan demikian, peran sosial ekonomi kelapa bagi petani relatif tidak berubah. 32
Kondisi ekonomi kelapa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir relatif tidak berubah, baik dari segi pendapatan mau pun pengusahaan kelapa oleh petani. Hasil penelitian Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain pada tahun 2001 di sentra produksi kelapa Kabupaten Indragiri Hilir (Riau), Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa umumnya petani kelapa di wilayah tersebut memiliki status sosial ekonomi di bawah garis kemiskinan (standar US$ 200/kapita/tahun) (Tarigans 2003). Kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh. Untuk itu pemberdayaan petani kelapa dalam rangka meningkatkan pendapatan dan sekaligus mengentaskan kemiskinan merupakan upaya yang strategis. Tulisan ini merupakan tinjauan (review ) terhadap upaya pemberdayaan petani kelapa dalam rang ka mengem bangkan kemampuan dan kemandirian petani. Pemberdayaan dimaksudkan agar petani mampu mengakses, memanfaatkan, meraih, dan menciptakan peluang ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani.
KERAGAAN USAHA TANI KELAPA Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, petani kelapa di berbagai negara termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk mengadopsi teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani (Tarigans 2003). Allorerung dan Mahmud (2003) menyatakan posisi petani kelapa dalam berbagai pola pengembangan seperti PIR hanya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Hubungan antara petani sebagai penghasil bahan baku dengan industri pengolahan belum terjalin sebagai kemitraan yang saling menguntungkan, sehingga seluruh nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan hanya dinikmati oleh industri atau pengolah. Tanpa adanya perubahan mendasar dari cara pandang berbagai pelaku
agribisnis kelapa termasuk pemerintah maka kondisi petani kelapa akan tetap terpuruk. Selama ini petani hanya diposisikan sebagai produsen atau pemasok bahan baku untuk kebutuhan industri, tetapi pihak industri belum melihat bahwa keberlanjutan industri mereka sangat be rg an tu ng pa da st ab il it as pa so ka n bahan baku dari petani (Allorerung dan Mahmud 2003). Selain itu, kebijakan pemerintah dalam pengembangan kelapa pun tidak lebih maju dari kebijakan industriawan. Pola pengembangan seperti UPP dan PIR belum mampu memperkuat posisi petani dalam agribisnis kelapa. Dalam banyak hal PIR lebih ditujukan untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Pada saat harga tinggi, perusahaan inti berusaha membeli kelapa dengan harga tinggi, namun ketika harga turun pembelian inti juga turun walaupun pihak inti dapat memperoleh nilai tambah dari tempurung dan air kelapa. Menurut Salam dan Suwandi (2003), lemahnya keberdayaan petani kelapa ditunjukkan oleh sulitnya mereka mengemukakan pendapat dalam mengambil keputusan yang menguntungkan untuk menghadapi kelompok lain yang ikut memanfaatkan kelapa sebagai sumber aktivitas. Petani selalu diposisikan se bagai objek dan kurang dilibatkan dalam perencanaan sehingga dalam akti vitas pengelolaannya selalu dirugikan.
KARAKTERISTIK USAHA TANI KELAPA DAN PERMASALAHANNYA Dari total areal perkebunan kelapa 3,74 juta ha, 96% merupakan perkebunan rakyat (Brotosunaryo 2003). Karakteristik usaha tani kelapa yang didominasi oleh perkebunan rakyat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Luas pemilikan lahan usaha tani rata-rata 1−1,10 ha/KK. Luas lahan ini akan berkurang lagi sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris yang telah mem budaya (Allorerung dan Lay 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Brotosunaryo 2003). 2. Penanaman dilakukan secara monokultur sehingga pemanfaatan lahan
Jurna l Litba ng Pert anian, 25(1) , 2006
3.
4.
5.
6.
belum optimal dan produktivitasnya rendah. Petani juga belum menerapkan teknologi budi daya anjuran karena keterbatasan modal. Pemeliharaan tanaman terbatas pada penyiangan di sekitar pangkal batang dengan interval tidak teratur, tanpa pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pola pengembangan kelapa secara monokultur yang tidak dibarengi dengan penerapan teknologi budi daya menyebabkan pemanfaatan sumber daya belum optimal (Sulistyo 1998; Sukamto 2001; Brotosunaryo 2003). Jenis kelapa yang diusahakan adalah kelapa dalam lokal dengan produktivitas hanya 1 −1,40 t kopra/ha/tahun, jauh di bawah potensi produktivitas yang dimiliki sebesar 2,50 t kopra/ha/ tahun. Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari kelapa menyebabkan petani tidak memili ki modal untuk memelihara kebun secara intensif, apalagi menggarap lahan perkebunan secara optimal maupun mengolah hasil (Allorerung dan Lay 1998; Kasryno et al . 1998; Suprapto 1998; Sukamto 2001; Brotosunaryo 2003; Djunaedi 2003; Nogoseno 2003). Sebagian besar tanaman kelapa berumur tua (lebih dari 50 tahun) dan tidak produktif lagi sebagai akibat belum terlaksananya program perema ja an tana ma n. Ko ndis i de mi ki an menyebabkan produktivitas kelapa rendah dan usaha tani kelapa tidak mengalami perubahan selama 30 tahun terakhir. Di sisi lain pola usaha tani monokultur yang diterapkan sebagian besar petani saat ini, dan pola usaha tani polikultur yang masih bersif at subsisten, telah membatasi petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih layak (Suprapto 1998; Jamaludin 2003; Tarigans 2003). Produk usaha tani yang dihasilkan masih bersifat tradisional, yaitu kelapa butiran dan kopra berkualitas rendah. Pemanfaatan hasil samping belum banyak dilakukan oleh petani, sehingga nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal. Hanya sebagian kecil petani yang telah memanfaatkan hasil samping seperti sabut dan tempurung (Brotosunaryo 2003; Jamaludin 2003; Nogoseno 2003). Pendapatan usaha tani kelapa masih rendah dan fluktuatif sehingga tidak mampu mendukung kehidupan kelu-
Jurna l Litb ang Perta nian, 25(1) , 2006
arga secara layak. Pendapatan dari usaha tani kelapa monokultur sebesar Rp1.500.000/ha/tahun atau Rp125.000/ bulan, lebih rendah dari kebutuhan fisik minimum petani sekitar Rp200.000 − Rp300.000/KK (5 orang) (Kasryno et al . 1998). 7. Posisi petani dalam berbagai pola pengem ban gan sep ert i PIR han ya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Pengolahan dan pemasaran hasil masih dikuasai oleh sektor swasta. Hubungan petani sebagai pen ghasi l bahan baku den gan industri pengolahan belum merupakan hubungan yang saling membutuhkan (Allorerung dan Lay 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Djunaedi 2003). 8. Lokasi perkebunan umumnya ter pencar dan relatif terpencil dengan sarana atau prasarana (infrastruktur) yang terbatas (Suprapto 1998; Yasin 1998 ). 9. Pada umumnya pendidikan petani masih rendah, karena 90% hanya ber pendidikan sekolah dasar, padahal untuk membangun agribisnis kelapa yang maju diperlukan tenaga terampil untuk mengelola usaha secara profesional (Suprapto 1998). 10. Peran dan dukungan kelembagaan pertanian seperti kelompok tani dan koperasi masih lemah, bahkan kelem bagaan di tingkat petani seperti KUD umumnya belum berfungsi sebagaimana mestinya (Yasin 1998; Brotosunaryo 2003). 11. Dari segi pemasaran, para petani kelapa dirugikan oleh praktek pasar monopsoni dari pabrik minyak kelapa dan pedagang kopra yang menentukan harga secara sepihak. Keadaan ini menyebabkan petani kecewa dan membiarkan tanaman kelapa terlantar sehingga produktivitas kelapa turun drastis (Brotosunaryo 2003). 12. Tingginya harga pupuk dan rendahnya harga jual kopra serta fluktuasi harga yang tidak menentu menye babkan petani tidak bergairah untuk memelihara tanaman dan memanen buah kelapa (Rondonuwu dan Amrizal 1998; Wibowo 1997; Djunaedi 2003; Jamaludin 2003; Mahmud 2003). 13. Tidak adanya insentif yang diberikan kepada petani kelapa untuk mendorong petani menghasilkan kopra berm utu baik atau menjual kelapa segar kepada pabrik terdekat (Djunaedi 2003).
14. Pembinaan dari pemerintah dalam teknik budi daya, perbaikan prasarana transportasi, penanganan pasca panen maupun kem udaha n dalam mengakses modal dan pasar relatif kurang (Allorerung dan Lay 1998; Suprapto 1998; Jamaludin 2003). Secara garis besar hambatan pada usaha tani kelapa terdapat pada efisiensi pemanfaatan sumber daya, pengolahan hasil, sumber daya manusia, kelembagaan, dan infrastruktur. Hal tersebut menyebabkan produktivitas dan penda patan dari usaha tani kelapa rendah sehingga tidak mampu mendukung kehidupan yang layak (Sulistyo 1998). Peluang dan tantangannya adalah pengusahaan tanaman sela dan ternak, serta pemanfaatan hasil samping.
PEMBERDAYAAN PETANI Pemberdayaan ( empowerment ) petani (kelompok tani) merupakan upaya memfasilitasi petani untuk memanfaatkan potensi dan kreativitas sendir i dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Menurut Syafa'at et al. (2003), pemberdayaan merupakan instrumen inti yang dapat digunakan untuk peng embang an masyar akat . Dengan pengertian tersebut maka pemberdayaan petani atau kelompok tani tidak hanya terbatas pada aspek teknik produksi, tetapi juga peningkatan sumber daya manusia (keluarga) dan aspek bisnis, baik usaha tani maupun usaha di luar sektor pertanian. Pemberdayaan petani kelapa bertujuan untuk: 1) mengembangkan kemam puan petani sehingga dapat mengakses perm odalan, teknolo gi, agro inpu t dan pemasar an hasil, termasuk membuat rencana, memproduksi, mengelola, memasarkan serta melihat setiap peluang yang ada, 2) memanfaatkan sumber daya secara efisien melalui pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dengan usaha pokok tanaman perkebunan, 3) meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan sepanjang tahun, 4) menum buhkembangkan kelembagaan ekonomi petani yang mampu mewakili kepentingan petani sehingga dapat meningkatkan posisi tawar dan daya saing hasil usaha tani, dan 5) meningkatkan daya saing hasil usaha tani dan olahannya (Sekretariat Direktorat Jenderal Bina 33
Produksi Perkebunan 2003). Menurut Yasin (1998) dan Mahmud (2003), pember dayaan petani kelapa bukanlah pekerj aan mudah, karena di sampin g berkait an dengan interaksi antara pemerintah, pengusaha, dan petani juga terkait dengan sistem sebagai spirit dari struktur interaksi, sumber ekonomi yang dapat dimanfaatkan dan bekerjanya sistem tersebut. Meskipun demikian upaya pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis yang dapat dioperasionalkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga petani dan memperbesar kontribusi petani dalam pembangunan ekonomi. Inti pemberdayaan petani kelapa adalah dukungan dan peran serta petani itu sendiri, sehingga pemberdayaan dapat membangkitkan potensi dan kemampuan petani untuk meningkatkan prod uktivit as dan efisiensi usaha tani secara berkelanjutan. Terpuruknya usaha tani kelapa di Indonesia perlu dikaji dan ditata kembali. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pemulihan ( recovery stage) dan tahap pengembangan ( development stage) (Brotosunaryo 2003). Menurut Sulistyo (1998), pemberdayaan petani dilaksanakan melalui pembinaan pengembangan kelapa berdasarkan keunggulan komparatif dengan cara berproduksi secara efisien melalui penerapan teknologi anjuran dan diversifikasi usaha tani baik horizontal mau pun vertik al. Sementara itu, Tariga ns (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan petani kelapa dan keluarganya meru pakan salah satu upaya pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan dan berwawasan pengentasan kemiskinan, dan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dalam teknik budi daya dan peng ol ah an hasi l se rt a ke mand ir ian petani. Pemberdayaan petani dan kelem bagaannya merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan agribisnis kelapa, terutama kaitannya dengan upaya meningkatkan penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap sumbersumber pembiayaan serta pemasaran. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu dan kelompok melalui kelembagaan ekonomi (koperasi) dan nonekonomi (asosiasi) dengan sasaran: 1) meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam peng em bang an da n peng el ol aan or ganisasi dan usaha, 2) meningkatkan kemampuan mengakses sumber tekno34
logi, informasi, pembiayaan dan pasar, serta 3) meningkatkan posisi rebut tawar petani terhadap mitra usaha. Peran pemerintah dalam pemberdayaan petani terbatas sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan inisiasi dari operasional pemberdayaan adalah petani dan mitra usahanya (Nogoseno 2003). Menurut Mahmud (2003), terdapat beb erapa per syarat an ata u komit men dalam pemberdayaan petani kelapa, yaitu: 1) komitmen politik pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kebijakan yang konsisten dan dapat dioperasionalkan di lapangan, 2) mengikutsertakan petani dalam berbagai aspek pembangunan pe rk eb un an ke la pa rak ya t mel al ui pendekatan partisipatif, 3) kesediaan dan komitmen pemerintah daerah bersama institusi terkait untuk menjadi mediator yang menjembatani hubungan antara petani maupun lembaga pertanian dengan pengusaha (pedagang, produsen sarana produksi, industri pengolahan) di dalam dan luar negeri, 4) koordinasi yang baik antarinstansi terkait yang terlibat langsung dalam pengembangan agribisnis kelapa, 5) pewilayahan komoditas dan industri kelapa untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidak pastian luas lahan di wilayah pengem bangan serta pemanfaatan potensi permintaan pasar secara efisien, serta 6) pengembangan komoditas kelapa dan produk olahan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara wilayah sesuai dengan agroekosistem. Pemberdayaan petani perlu didukung oleh: 1) bantuan dana sebagai modal usaha, 2) pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3) penyediaan sarana pemasaran, 4) pelatihan bagi petani dan pelaksana, dan 5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan melalui kegiatan penguatan modal usaha tani, pengem ba ng an ke le mb ag aa n us ah a, se rt a pe mb in aa n te kn is da n ma na je me n. Pemberdayaan kelompok tani meliputi aspek manajemen atau perencanaan usaha (permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran), aspek teknis (budi daya, pascapanen dan pengolahan hasil, pemanfaatan teknologi tepat guna spesifik lokasi), dan aspek kelembagaan (kerja sama kelompok, antarkelompok dan kemitraan usaha) (Departemen Pertanian 2000).
LANGKAH STRATEGIS Semua pihak yang menaruh perhatian terhadap komoditas kelapa memahami bahwa kelapa memiliki multifungsi. Oleh karena itu dalam setiap penanganannya, sifat tersebut perlu diperhatikan agar tujuan pengembangan kelapa dirumuskan mengikuti fungsi-fungsi tersebut (Salam dan Suwandi 2003).
Pembinaan Petani Petani sebagai produsen bahan baku perlu dibina secara intensif oleh instansi teknis serta didukung sarana produksi dengan harga terjangkau dan tersedia secara lokal. Harga bahan baku diharapkan memadai agar petani dapat mengem bangkan usaha tani lebih produktif dan efisien. Namun petani dituntut dapat menghasilkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu industri dan konsumen dan produksinya berkelan jutan. Tarigans (2003) berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan dan keteram pila n petani perlu terus didoron g dan ditingkatkan melalui penyuluhan dan pelat ihan. Secar a garis besar, langkah strategis operasional dalam pemberdayaan pelaku agribisnis kelapa adalah: 1) peningkatan produktivitas, 2) diversifikasi horizontal dan vertikal, 3) penguatan kelembagaan, 4) kemitraan, serta 5) penelitian dan pengembangan (Mahmud 2003). Peningkatan produktivitas dilakukan melalui peningkatan mutu intensifikasi serta kinerja petani melalui be rba ga i pe nd idi ka n da n pe la ti ha n yang berkaitan dengan teknologi baru. Diversifikasi horizontal berupa menganekaragamkan jenis tanaman untuk mengefisienkan penggunaan lahan sehingga mampu meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga dan keberlanjutan usaha. Diversifikasi vertikal dalam bentuk penganekaragaman produk kelapa dapat dilakukan oleh pengusaha dan petani dalam upaya meningkatkan nilai tambah.
Pembinaan Kelembagaan Petani Peningkatan peran kelembagaan kelom pok tani dan koperasi dilakukan untuk menghidupkan agribisnis kelapa rakyat Jurna l Litba ng Pert anian, 25(1) , 2006
mulai dari pengadaan sarana produksi hingga pengendalian mutu dan pemasaran. Keberadaan kelembagaan baru juga pe nt in g un tu k me nd uk un g pe ng em bangan tersebut, seperti asosiasi atau lembaga pelayanan teknis, permodalan dan bisnis. Ketersediaan teknologi agri bisn is kelapa berp eran penting dalam pe ng em ba ng an pe rk eb un an ke la pa rakyat, baik teknologi budi daya dan agroindustri maupun informasi pasar, sosial ekonomi dan pelaku agribisnis kelapa. Pada tahap pemulihan diperlukan suatu program pendampingan untuk mendidik dan memotivasi petani meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Termasuk dalam tahap pemulihan adalah pembinaan kelompok petani sebagai community based organization melalui pengembangan azas kebersamaan serta peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani kelapa, kondisi budi daya kelapa serta pemilihan aktivitas ekonomi kelapa merupakan input dan landasan untuk upaya pengembangan lebih lanjut. Pada tahap pengembangan, program pendampingan diarahkan untuk mengem bangka n agr oin dustri skala pedesaan (bersifat spesifik untuk tiap daerah sentra kelapa) serta kelembagaan ekonomi pet ani kelap a yang mandi ri. Den gan demikian di masa mendatang petani hendaknya menjadi salah satu komponen utama dalam agribisnis kelapa. Alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan peran dan pendapatan petani (Allorerung dan Mahmud 2003) adalah memberi peluang kepada petani untuk ikut memiliki saham dalam industri pengolahan atau mengolah produk-produk antara yang selanjutnya diolah lanjut atau dipasarkan oleh industri besar atau eksportir. Perlu pula didorong tumbuhnya kelompokkelompok usaha secara bottom up serta perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan dalam bidang organisasi dan manajemen.
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa antara lain dapat dilakukan melalui penanaman tanaman sela, diversifikasi produk, pemanfaatan hasil samping, efisiensi biaya produksi, serta Jurna l Litb ang Perta nian, 25(1) , 2006
peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Kegiatan utama untuk merealisasikan alternatif tersebut adalah membentuk kelembagaan petani, meningkatkan kemampuan petani dalam ber produ ksi, dan membangun pasar yang efisien (Tarigans 2003). Menurut Jamaludin (2003), beberapa solusi untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah: 1) membenahi sistem tata niaga kelapa dengan melibatkan berbagai pelaku agribisnis kelapa mulai dari hulu hingga hilir, serta lembaga penunjang dengan mengintegrasikan kerja sama secara sinergis untuk menghasilkan produk akhir yang berdaya saing tinggi, 2) meningkatkan peran pemerintah cq. Departemen Pertanian dan Pemda dalam penyediaan sarana produksi serta teknologi budi daya dan pascapanen, 3) menyediakan teknologi tepat guna untuk mendirikan industri kelapa terpadu skala kelompok tani atau koperasi pada setiap sentra produksi kelapa sehingga semua komponen kelapa dapat dimanfaatkan, 4) memperbaiki sarana dan prasarana trans port asi untuk memperlancar pengangkutan sarana produksi dan hasil, serta 5) membantu petani dalam akses pelayanan permodalan dan pemasaran.
KESIMPULAN DAN SARAN Pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani ser ta mem perbesa r kon tribusi petani dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan perkebunan kelapa berwawasan agribisnis melalui pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui: 1) penyuluhan dan pelatihan dalam aspek teknis dan manajemen untuk meningkatkan kemampuan petani dalam meraih dan menciptakan peluang ekonomi, 2) mengaktifkan dan memfungsikan kelem bagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga penyuluhan dan lainnya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, 3) pengembangan dan penerapan teknologi spesifik lokasi, 4) memberikan bantuan permodalan kepada petani dalam bentuk bantuan dana bergulir dan kredit. Pemberdayaan dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap pemulihan, pemberdayaan bertujuan untuk mening-
katkan motivasi dan kepercayaan petani pada kemampuan sendiri, sedangkan pada tahap pengembangan untuk mengem bangkan kelembagaan ekonomi petani yang mandiri dalam rangka mendukung pengembangan agroin dustri pedesaan secara berkelanjutan. Meningkatnya kemampuan dan kemandirian petani selanjutnya akan: 1) meningkatkan produktivitas dengan diterapkannya peremajaan tanaman, rehabilitasi, intensifikasi dan pola tanam, 2) menempatkan petani sebagai pelaku dalam industri perkela paan, 3) memberi peluang kepada petani untuk terlibat dalam industri kelapa dan mengolah produk antara, dan 4) mendorong petani dan keluarganya untuk mengikuti pelatihan peningkatan keteram pilan pengo lahan kel apa dan produk samping yang bernilai tinggi hingga pembibitan dan budi daya tanaman sela. Untuk mengatasi permasalahan dalam perkelapaan nasional perlu dilakukan reorientasi, reposisi, dan restrukturisasi pengelolaan usaha tani kelapa. Usaha tani kelapa harus berorientasi komersial. Peran petani bukan lagi sebagai produsen bahan baku, tetapi sebagai pelaku usaha. Kelembagaan yang menangani kelapa juga ditingkatkan efisiensinya dan bila diperlukan dapat dibangun kelembagaan tingkat petani. Pemberdayaan petani kelapa dapat dilaksanakan melalui diversifikasi usaha tani secara horizontal maupun vertikal melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Beragamnya produk usaha tani yang dihasilkan akan memperbesar peluang pasar dan lebih kompetitif . Fasilitasi pemberdayaan diberikan melalui penguatan modal usaha tani, pengem bangan kelembagaan usaha, serta pembinaan teknis dan manajemen. Pemberdayaan petani kelapa perlu didukung oleh penguatan kelembagaan ekonomi lokal dengan memperhatikan biaya transaksi yang rendah dan efektif, semangat kerja sama, kepercayaan, kemanfaatan bagi usaha perorangan, dan transparansi pengelolaan. Pemberdayaan di tingkat petani menggunakan pendekatan sistem usaha tani kelapa terpadu (SUKT), bersifat partisipatif, dinamis, dan multidisiplin yang menunjukkan ciri spesifik lokasi, dinamis sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi, kebutuhan dan kemam puan pengguna, akrab lingkungan dan dapat meningkatkan nilai tambah dan pe nd ap at an pe ta ni , se hi ng ga da la m 35
jangka panjang mampu menunjang upaya pengentasan kemiskinan. Pola pendekatan adalah pembentukan kelembagaan petani yang mengakar dan tumbuh dari kekuatan petani sendiri yang selanjutnya
dapat menumbuhkan aktivitas dan partisipasi aktif petani sehingga dapat meningkatkan kemampuan dan posisi rebut tawar petani. Dalam operasionalnya diperlukan dukungan dan pembinaan
dari berbagai pihak terkait. Koordinasi diperlukan agar masing-masing pihak berperan sesuai dengan tanggung jawab serta tugas dan fungsinya.
Kasryno, F., Z. Mahmud, dan P. Wahid. 1998. Sistem usaha pertanian berbasis kelapa Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 −23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 57 − 76.
memberdayakan petani kelapa). Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. hlm. 33 − 46.
DAFTAR PUSTAKA Allorerung, D. dan A. Lay. 1998. Kemungkinan pe ng em ba ng an pe ng ol ah an bu ah ke la pa secara terpadu skala pedesaan. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 − 23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 327 − 341. Allorerung, D. dan Z. Mahmud. 2003. Dukungan kebijakan iptek dalam pemberdayaan komoditas kelapa. Prosiding Konferensi Na si on al Ke la pa V. Tem bi la ha n, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 70 − 82 . Asnawi, S. dan S.N. Darwis. 1985. Prospek Ekonomi Tanaman Kelapa dan Masalahnya di Indonesia. Terbitan Khusus No. 2/VI/ 1985. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan pe ta ni ke la pa da la m ke le mb ag aa n pe rkelapaan di era otonomi daerah. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22 −24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 10 − 16 . Budianto, J. dan D. Allorerung. 2003. Kelem baga an perk ela paan . Pros idin g Konf eren si Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengem banga n Perk ebuna n, Bogor. hlm. 1 −9. Departemen Pertanian. 2000. Pedoman Umum Proyek Pengembangan Ketahanan Pangan TA 2000. Departemen Pertanian, Jakarta. Djunaedi, I. 2003. Kebijakan dan implementasi pembangunan perkelapaan di Indonesia dari sisi pengolahan dan pemasaran hasil per tan ian . Pro sid ing Kon fer ens i Nas ion al Kelapa V. Tembilahan, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm. 36 − 53. Jamaludin. 2003. Keberhasilan dan kegagalan agribisnis kelapa di bidang on farm. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22 −24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 97 − 100.
36
Mahmud, Z. 2003. Pemberdayaan petani kelapa dengan sistem usaha tani kelapa terpadu. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 115 − 124. Nog ose no. 200 3. Rei nve nti ng agr ibi sni s per kelapaan nasional. Prosiding Konferensi Na si on al Ke la pa V. Tem bi la ha n, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 17 − 27 .
Suprapto, A. 1998. Prospek pengembangan agribisnis kelapa dalam era globalisasi. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 −23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 77 −95. Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, dan T. Pranadji. 2003. Konsep pengembangan wilayah berbasis agribisnis dalam rangka pember dayaan petani. Forum Agroekon omi 21(1): 26 − 43.
Rondonuwu, O. dan Amrizal. 1998. Aspek sosial ekonomi kelapa di Sulawesi Utara. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 − 23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 435 −444.
Tarigans, D.D. 2003 Pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan melalui pe ne ra p- an te kn ol og i ya ng be rw aw as an pen gura ngan kem isk ina n pet ani kel apa di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 106 − 115.
Salam, H. dan 1. Suwandi. 2003. Penguatan kelembagaan petani kelapa melalui pe ng ua sa an te kn ol og i da la m ra ng ka pe ng em ba ng an ag ro in du st ri . Pr os id in g Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22 − 24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 101 − 105.
Tondok, A.R. 1998. Pemanfaatan pengem banga n kela pa dalam mengh adapi era glo ba li sa si . Da la m Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 − 23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 25 −32.
Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Beberapa Catatan Pentingnya Peranan Penelitian dalam Pembangunan Agribisnis Berbasis Perkebunan. Bahan Pertemuan Sinkronisasi Topik Penelitian Sosek Pertanian Tahun 2004. Bogor, 20 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Wibowo, R. 1997. Pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indonesia. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional, Manado, 6 − 8 Januari 1997. Buku I (Agribisnis). Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. hlm. 52 − 60 .
Sukamto. 2001. Upaya Meningkatkan Produksi Kelapa. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Sulistyo. 1998. Pemberdayaan petani dalam usaha tani kelapa pola kemitraan (kemitraan skala besar dan kecil dalam rangka
Yasin, A.Z. Fahri. 1998. Aspek sosial ekonomi kelapa di Propinsi Riau. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21 − 23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 421 − 434.
Jurna l Litba ng Pert anian, 25(1) , 2006