PENERAPAN POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF
Politik luar negeri Indonesia semenjak pasca proklamasi kemerdekaan memang sudah menganut politik luar negeri bebas aktif. Hal ini tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 alinea ke-empat yang intinya bebas aktif, anti imperialism dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Politik luar negeri suatu negara pada hakekatnya adalah hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi nasional maupun Internasional. Berbagai perkembangan tersebut memberikan peluang sekaligus tantangan dalam formulasi kebijakan dan implementasi politik luar negari Indonesia bebas aktif. Pengalaman selama perjuangan merebut kemerdekaaan dari Belanda memperkuat landasan politik luar negeri dengan tiga unsur utama, antara lain: nasionalisme yang tinggi, penolakan terhadap intervensi politik baik dari domestic maupun internasional, dan kepercayaan diri yang cukup kuat. Ketiga unsur ini lahir dari revolusi yang menegaskan kemerdekaan dan memaksakan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sehingga melahirkan politik luar negeri . Penerapan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Era Orde Baru Tahun 1966-1971 merupakan masa pemurnian politik luar negeri bebas aktif yang dilakukan oleh Soeharto. Prinsip tersebut dianggap telah mengalami penyimpangan dalam pelaksanaan pada masa Soekarno, dimana politik luar negeri terlalu aktif dan dilakukan dengan mengorbankan sifat independennya. Berdasarkan hal tersebut Soeharto tidak melakukan perubahan total kebijakan politik luar negeri yang digariskan oleh pendahulunya. Meskipun demikian, Soeharto secara tegas menyatakan akan melakukan pemurnian pelaksanaan politik yang bebas aktif. Soeharto menyadari bahwa untuk mengangkat Indonesia dari krisis ekonomi akan menjadi prioritas utamanya. Namun hal itu haruslah dibarengi dengan membangun sistem politik internal yang stabil serta lingkungan eksternal yang damai. Jika pada masa orde lama lebih menekankan pada kestabilan dan tujuan politik dalam urusan domestiknya, di era orde baru ini ,Soeharto mencoba memperbaiki kestabilan ekonomi dengan memahami kedua prinsip independen dan aktif. Indonesia
berhak menentukan sendiri kebijakannya dalam mencapai tujuan domestiknya, dalam hal ini Soeharto menekankan pada sistem perkonomian, karena menurut Soeharto di era orde lama pemerintah terlalu menekankan pada sistem politik dan lingkungan eksternal yang pada prinsipnya bersifat terlalu aktif. Hal ini menyebabkan sistem perekonomian menjadi tidak stabil karena lebih focus kepada masalah politik internasional ketimbangan memperbaiki kadaan perkonomian dalam negeri. Di era orde baru pemerintah berupaya memprbaiki hubungan baik dengan pihak barat, dan hal ini ditanggapi secara positif oleh negara-negara barat yaitu antara lain dengan diselenggarakannya Konferensi Tokyo. Hal ini dimungkinkan karena adanya dua kesamaan pandangan pada kedua pihak yaitu kedua belah pihak memiliki komitmen serius atas pembangunan ekonomi Indonesia dan sama-sama anti komunis.
PENDAPAT SAYA : Penerapan politik luar negeri bebas-aktif tersebut harus disesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun regional yang sangat mempengaruhi penekanan kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia dibentuk agar mampu mempertemukan kepentingan nasional Indonesia dengan lingkungan internasional yang selalu berubah. Jadi, tidak dapat dipungkiri perlunya polugri yang luwes dan fleksibel untuk menghadapi segala tantangan global. Perubahan lingkungan internasional tersebut tidak hanya disebabkan oleh dinamika hubungan antar negara tetapi juga perubahan isu, dan munculnya aktor baru dalam hubungan internasional yang berupa non-state actors. Dan di dalam literatur hubungan internasional, perbedaan istilah ini memang tidak dikenal (Walter Carlness, 1999). Yang dikenal adalah terminologi foreign policy (kebijakan luar negeri), bukan foreign politics (politik luar negeri). Namun, konvensi penggunaan istilah-istilah ini di Indonesia dapat dipahami sebagai berikut: Politik luar negeri cenderung dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi karakteristik pembeda negara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Politik luar negeri adalah sebuah posisi pembeda. Politik luar negeri adalah
paradigma besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia. Politik luar negeri adalah wawasan internasional. Oleh karena itu, politik luar negeri cenderung bersifat tetap. Sementara kebijakan luar negeri adalah strategi implementasi yang diterapkan dengan variasi yang bergantung pada pendekatan, gaya, dan keinginan pemerintahan terpilih. Dalam wilayah ini pilihan pilihan diambil dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan (finansial dan sumber daya) yang dimiliki. Kebijakan luar negeri, dengan demikian, akan bergantung pada politik luar negeri. Satu permasalahan yang cukup pelik dihadapi Indonesia kini adalah krisis politik luar negeri. Harus diakui dengan jujur, saat ini kita hanya memiliki kumpulan kebijakan luar negeri tanpa ada satu politik luar negeri sebagai benang merah yang berarti. Masalahnya, politik luar negeri Indonesia bebas aktif dibangun pada konteks internasional dan domestik yang kental dengan pertentangan ideologis antara liberalisme dan komunisme. Politik bebas aktif pada konteks itu dapat dimaknai sebagai sebuah retorika penolakan atas keberpihakan dan sekaligus sebagai posisi pembeda yang jelas di dunia internasional yang memiliki karakteristik bipolar pada saat itu. Namun, ketika kini dunia internasional mengalami perubahan secara drastis, relevansi kontekstual dari politik luar negeri bebas aktif dipertanyakan. Berbagai keluhan atas tidak jelasnya arah dan konsistensi kebijakan luar negeri Indonesia sesungguhnya dilandasi oleh belum adanya politik luar negeri yang tepat dalam situasi internasional yang sudah berubah secara ekstrem ini. Kebijakan luar negeri yang dihasilkan pun menjadi tumpang tindih jika tidak bersifat sektoral. Suka atau tidak, yang kita miliki saat ini semata-mata hanya sebuah retorika: bebas memilih apa pun dan aktif berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Berbagai justifikasi dapat dibangun di seputar kalimat ini, tetapi retorika ini sulit untuk dapat memiliki status sebagai posisi pembeda di dunia yang kini sama sekali berbeda. Setiap negara dapat bebas memilih apa yang diinginkannya sepanjang yang bersangkutan memiliki kekuatan militer relatif yang memadai (Waltz, 1979)."
Kasus TKI Sumiati yang Disiksa di Arab Saudi Kisah tragis tenaga kerja Indonesia (TKI) terulang lagi di Arab Saudi. Kali ini yang menjadi korban adalah Sumiati. Sang majikan di Madinah, Arab Saudi, tega memotong bibir Sumiati. Pemerintah Indonesia mengutuk aksi potong bibir yang menimpa Sumiatii. "Pemerintah Indonesia mengutuk penganiayaan terhadap Sumiati," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene dalam jumpa pers di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (15/11). Pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Madinah telah menerima laporan penganiayaan Sumiati, 8 November 2010. Perwakilan KJRI langsung mengunjungi Sumiati yang tengah dirawat di RS Kings F ahd Madinah. Sumiati (23), TKI asal Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. Sejak bekerja 18 Juli 2010, Sumiati kerap menerima penyiksaan dari istri dan anak majikannya. Dari kunjungan itu diketahui, kondisi Sumiyati sangat memperihatinkan. Hampir seluruh bagian tubuh, wajah, dan kedua kakinya mengalami lukaluka. Media massa setempat memberitakan Sumiati mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kaki nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala terkelupas, jari tengah tangan retak, alis mata rusak. Paling mengenaskan, adalah bagian atas bibir putus. Pemerintah Indonesia menyebut perbuatan majikan Sumiati sangatlah tidak berperikemanusiaan. Karena itu, Kemlu telah memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia di Jakarta, Abdulrahman Mohammad Amen Al Khayyat. Dalam pertemuan itu, Kemlu mendesak pemerintah Arab Saudi untuk membawa pelaku ke pengadilan. Langkah konkrit pemerintah Indonesia lainnya, yakni melalui KJRI telah melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat dan mempersiapkan
pendamping pengacara kepada korban untuk proses hukum lebih lanjut. "Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri akan terus memastikan langkah-langkah efektif untuk perlindungan WNI di luar negeri," tegas Michael. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah memberikan informasi ke keluarga mengenai langkah-langkah yang telah dan akan diambil pemerintah Indonesia atas pengaitaan Sumiati. "Secara khusus, Kementerian Luar Negeri akan memfasilitasi wakil keluarga, didampingi pejabat Kemlu, ke Madinah untuk memberikan dukungan terhadap saudari Sumiati," kata Michael Tene. Pengganti Juru Bicara Teuku Faizasyah yang dipromosikan menjadi juru bicara kepresidenan bidang luar negeri ini menegaskan, pemerintah akan memberikan perhatian yang sama kepada setiap WNI yang terkena masalah ataupun kasus di negara mana pun. Lebih lanjut Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Tatang Budi Utama Razak, mengatakan keluarga Sumiati baru tiba di Jakarta dari Nusa Tenggara Barat pada Selasa (16/11). Pascapenyelesaikan dokumen keberangkatan, diharapkan keluarga Sumiati bisa berangkat secepatnya. "Tadi Menlu (Marty Natalegawa) telah bicara ke ibu dan kakaknya Sumiati. Mungkin yang akan berangkat itu kakaknya," ujar Tatang. Senada dengan Michael, Tatang juga menyatakan Kemlu maupun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di luar negeri tidak membeda-bedakan penanganan kasus TKI. Kemlu memberikan perhatian kepada Sumiati lantara korban mengalami penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan dari majikannya. Jika ada KBRI atau KJRI yang tidak merespons laporan WNI di luar negeri, Tatang minta agar hal itu dilaporkan ke Kemlu agar bisa diambil tindakan. "Kalau memang ada temuan seperti itu, yah laporkan. Kami sering terima laporan, tapi terkadang itu berdasarkan penilaian pelapor dan tidak bisa dipertanggunjawabkan," katanya. Di tempat terpisah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaifuddin meminta kepada pemerintah, melalui kementrian luar negeri dan kementrian tenaga kerja dan transmigrasi untuk segera bertindak, terkait kabar yang mengungkapkan salah seorang TKI di Arab Saudi, Sumiati, mengalami siksaan oleh majikannya. Lukman mengingatkan, penganiyayaan TKI di luar negeri sudah kerap kali terjadi hingga saat ini. "Untuk kesekian kalinya, penyiksaan terhadap TKI di Saudi oleh majikannya. Ini, tentu amat memukul rasa kemanusiaan dan harga diri bangsa. Oleh karena itu, kemenlu dan kemenaker harus segera bertindak. Akhiri penderitaan TKI di luar negeri, akhiri martabat anak bangsa yang
selalu dilecehkan," kata Lukman. Lukman mengingatkan, pemerintah RI tak boleh diam, harus segera mendesak pemerintah Arab Saudi untuk menghukum majikan itu seberat beratnya. "Tingkatkan perlindungan hukum TKI kita agar kasus ini tak terulang lagi. Diberitakan, Sumiati binti Mustapa asal Malang berusia 23 tahun mengalami penyiksaan oleh majikannya di Madinah, Arab Saudi. Sumiati mengalami luka berat di sekujur tubuhnya. Kini, Sumiati sudah dirawat di Rumah Sakit King Fahd, Arab Saudi.
PENDAPAT SAYA : Politik Luar Negeri Bebas-Aktif memberikan ruang gerak yang luas bagi diplomasi Indonesia bagi pencapaian kepentingan nasional. Doktrin ini mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang bersahabat dan dapat berperan sebagai bridge builder. Krisis perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1998 membuat peran internasional Indonesia me-nurun. Bahkan Indonesia dipandang kehilangan kemampuannya memimpin ASEAN. Setelah mengalami pemulihan ekonomi dan konsolidasi demokrasi pasca reformasi, Indonesia baru dapat kembali ke kancah dunia. SBY pada tahun 2005 kembali menyampaikan aspirasi Indonesia untuk lebih terlibat dalam percaturan global. Tahun 2009 ini eksistensi Indonesia di dunia internasional semakin diakui. Walaupun terletak di Asia, namun peran Indonesia lebih besar dari batasan geografisnya, karena Indonesia merupakan aktor penting dari dunia muslim, negara berkembang dan negara demokratis. Dari kenyataan di atas, saya bisa berpendapat bahwa Politik Luar Negeri Indonesia pasca orde baru akan semakin aktif dan asertif, karena didukung oleh legitimasi politik yang besar dan modal kinerja yang baik di dalam negeri dan di luar negeri.
PERANAN PBB PASCA RUNTUHNYA UNI SOVIET 1990
Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1944-991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang,seperti koalisi militer; ideologi, industri, pengembangan teknologi; pertahanan , perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. RUNTUHNYA UNI SOVIET
Uni Soviet merupakan sebuah negara komunis di Eropa Timur dan Asia Utara yang berdiri sejak November 1917 ( menurut kalender Gregorian ) sampai pada tahun 1991. sampai tahun 1917, Rusia merupakan kerajaan atau kekaisaran dengan seorang Tsar sebagai kepala negara. Pada masa dinasti Rumanov, Rusia banyak mengalami peristiwa politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri serta banyak mengalami persinggungan politik, diantaranya adalah konflik dengan pemerintahan Perancs pimpinan Napoleon Bonaparte. Setelah Revolusi Bolshevik, Imperium Rusia berganti menjadi system sosialisme yang membawa Rusia kepada posisi negara adikuasa. Namun, kemudian system ini runtuh dan digantikan dengan system demokrasi ala barat. Uni Soviet runtuh pada tahun 1990-an, namun, ketika menjelang pertengahan tahun 1980-an. Uni Soviet mengalami krisis ekonomi dan politik. Kemerosotan ekonomi akibat korupsi dan bobroknya britokrasi serta budaya politik yang makin monolitik semakin memperkuat apatisme masyarakat. Penempatan kekuatan militer Uni Soviet di kancah konflik internasional seperti di Afganistan dan di negara-negara Eropa Timur membutuhkan biaya yang sangat besar yang
tentu saja menyedot dana domestic yang tidak sedikit. Sementara insdustri yang sudah terpola pada industri berat yang ditujukan untuk menopang hegemoni Uni Soviet tidak memnerikan jalan keluar yang dibutuhkan masyarakat berupa perbaikan taraf hidup. Menurunnya tingkat kesejahteraan yang tajam semakin memperuncing konflik-konflik yang tumbuh di dalam negeri. Kondisi tersebut di atas memaksa para petinggi negara dan pemimpin partai untuk mengadakan koreksi atas kebijakan parta dan politik Uni Soviet secara umum. Tidak hanya itu, peninjauan ulang terhadap strategi system sosialisme pun lalu dianggap sebagai langkah yang mampu menjawab berbagai krisis yang menimpa. Sehingga lahirlah program Glasnot dan Parestroika yang dihembuskan oleh Mikhail Gorbachev. Kebijakan Glanot dan Parestroika yang dijalankan pemerintah Gorbashev membawa pengaruh bagi semakin menguatnya gerakan separatisme , akibat semangat keterbukaan dan demokratisasi yang menjadi inti dari kebijakan tersebut. Berbagai konflik antar etnis yang selama ini tersembunyi, mulai muncul konflik terbuka. Selain itu, ketidakmampuan pemerintah pusat dalam mengangani masalah ekonomi juga semakin mendorong ketidakpuasan di republik-republik konstituen Uni Soviet. Ketidakpuasaan ini pada gilirannya mendorong munculnya kekuatan oposisi setempat yang mulai menyuarakan ide-ide separatisme. Munculnya gerakan dan partai politik seperti “ Ruh “ di Ukraina, “Sayudis” di Lithuania dan sebagainya menjadi pusat-pusat gerakan kemerdekaan republik-republik terhadap kekuasaan pusat. Di Uni Soviet, konsep reformasi yang dibawa oleh Gorbachev melalui Parestroika ( keterbukaan ), berubah menjadi badai yang meruntuhkan pilar utama rezim dictator partai komunis. Rezim yang berkuasa sejak tahun 1917 dan menjadi kekuatan hegemoni dengan senjata-senjata pemusnah massalnya, ternyata rapu. Rakyat di negara-negara bagian Uni Soviet bangkit secara serempak. Kesadaran rakyat atas hak-hak politiknya mulai muncul. Mereka merasa berhak untuk memilih pemimpin-pemimpinnya, membentuk partai politik, dan menentukan status daerahnya sendiri melalui referendum. Akibatnya terjadi perang saudara ketika kekuasaan pemerintahan pusat mengalami kevakuman akibat reformasi. Hal ini kemudian menyebar kepada negara-negara satelit Uni Soviet lainnya di Eropa Timur dan Afrika. Sehingga dapat dikatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet akibat dari kegagalan program Glasnot dan Parestroika. Negaranegara pecahan Uni Soviet yang sekarang ini terbentuk berkat kebijakan dari Presiden Mikhail Gorbachev yang mencuatkan Glasnot dan Parestroika.
Negara-negara pecahan Uni Soviet terbentuk berkat kebijakan dari Presiden Uni Soviet Michael Gorbachev yang pada 1990 mencuatkan Glasnot dan Perestroika. Salah satu isi dari kebijakan itu adalah negara-negara bagian boleh memisahkan diri dan menjadi negara sendiri. Maka di Asia Tengah lahirlah Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakstan, Kirgistan, dan Azerbaijan. Sedangkan di Eropa Utara muncul Ukraina, Belarusia, Latvia, dan Estonia. Di Eropa Timur lahir Georgia dan Armenia. Masih ada satu lagi di Asia Utara bagian timur, yakni Cechnya, yang kini masih bergolak meminta kemerdekaan dari Rusia. Faktor lain yang menjadi penyebab keruntuhan dari Uni Soviet adalah keberhasilan dari liberalisme. Seperti yang penulis ketahui bahwa Uni Soviet merupakan symbol dari sosialisme sedangkan AS adalah symbol dari liberalisme. Strategi AS untuk menghadapi Uni Soviet lewat containment policynya telah berhasil. Selain itu, negara-negara yang mengikuti bentuk liberalisme mengalami kemajuan yang pesat. Berbeda halnya dengan system sosialisme yang dianut oleh Uni Soviet di mana telah melahirkan stagnasi ekonomi yang berdampak buruk bagi Uni Soviet itu sendiri. Apabila dipetakan, maka faktor-faktor penyebab runtuhnya Uni Soviet adalah : faktor dalam negeri: Perekonomian ekonomi yang colaps sehingga tidak mampu menopang sendi-sendi perekonomian, Industri berat tidak dapat membantu perekonomian domestiik, Menurunnya tingkat kesejahteraan, serta Kegagalan Glasnot dan Perestroika yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan perekonomian mlahan telah melahirkan banyak separatisme. faktor luar negeri: Pengeluaran Uni Soviet untuk membiayai kekuatan hegemoninya semakin besar, sedangkan Uni Soviet tidak memiliki dana untuk membiayai program-program luar negerinya untuk memelihara hegemoninya dan Keberhasilan ideology liberalisme yang semakin berkembang pesat. Uni Soviet runtuh menyisakan kepingan-kepingan negara-negara berdaulat. Rusia bersama republik lainnya ( minus negaranegara Balkan ) bekas raksasa komunis ini membentul sebuah “uni” baru dengan hubungan yang lebih longgar yang menjamin kedaulatan masingmasing. RSFSR yang kemudian menjadi Federasi Rusia adalah kepingan terbesar bekas negara adikuasa tersebut yang sekaligus memiliki hak sebagai pewaris kebesaran Uni Soviet.
PENDAPAT SAYA : Runtuhnya Uni Soviet menjadi empat belas Negara independen pada 1991, setelah 73 tahun berkuasa, dirayakan dunia Barat sebagai akhir perang dingin dan bubarnya sistem sosialis dan komunis. Pandangan ini
mengherankan Karena hanya 2 tahun sebelumnya komunisme dan sosialisme telah gugur terlebih dulu di Negara-negara anggota Pakta Warsawa seperti, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan Rumania. Uni Soviet merupakan federasi negara -negara sosialis komunis yang dirintis berdirinya oleh Lenin dengan kaum Bolsheviknya setelaha dapat menggulingkan kekuasaaan Tsar Nicolas II tahun 1917 melalui Revolusi Bolshevik. Tahun 1922 Lenin mengganti Rusia menjadi Uni Soviet dengan Lenin sebagai pemimpinnya. Federasi ini beranggotakan antara lain Rusia,Lithuania, Latvia,Belarusia,Ukraina,Armenia,Georgia… dan Estonia. Mereka disatukan di bawah kekuasaan Partai Komunis Uni Soviet. Pada waktu Uni Soviet dipimpin oleh Michael Gorbachev ,ia melontarkan ide pembaharuan atau restrukturisasi melalui Glasnot (Keterbukaan) ,dan Perestroika( demokratisasi) . Hal ini dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan Uni Soviet dalam bidang ekonomi dan politik dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat. Tetapi setelah gagasan itu disampaikan oleh Michael Gorbachev muncul berbagai pergolakan di berbagai Republik bagian Uni Soviet, hingga pada akhirnya Gorbachev tidak mampu merngendalikannya. Pembaharuan dan perubahan yang tadinya dimaksudkan untuk memajukan Uni Soviet justru menjadi sebab utama runtuhnya Uni Soviet. Republik -republik yang menuntut kemerdekaan dan ingin melepaskan diri dari Uni Soviet antara lain Lithuania,Latvia,Estonia,Ukraina,Armenia… dan Maldavia. Sedangkan Rusia dan Georgia menuntut otonomi penuh, sedangkan republik-republik yang lain menuntut Uni Soviet dibubarkan. Secara umum sebab-sebab runtuhnyaUni Soviet adalah: 1. Sistem Marxisme ternyata tidak memiliki kontrol efektif baik terhadap bodang politik maupun ekonomi, 2. Marxisme tidak memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan jaman, 3. Kebijakan Gorbchevtentang Pertestroika dan Glasnot bertentangan dengan Marxisme, 4. Adanya kebijakan lain dari Gorbachev yang membahayakan keberadaan sosialisme komunisme,antara lain: a. menjalankan sistem pasar bebas di UnI Soviet, b. merestui berdirinya pemerintahan koalisi non komunis di Polandia, c. membiarkan dibukanya Tembok Berlin, d. membiarkan diktator komunis Rumania Ceausescu dijatuhkan, e. mengususlkan adanya ,multipartai dan dihapuskannya monopoli Partai Kominis Uni Soviet, f. membiarkan negara-negara Eropa Timur melucuti kekuasaan partai
Komunis, 5. Marxisme yang lebih mengandalkan kekuatan kaum buruh, tidak sesuai dengan keadaan Uni Soviet yang sebagian besar penduduknya kaum petani yang ingin mempunyai hak milik. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka akhirnya Uni Soviet runtuh pada tahun 1991 dengan ditandai lahirnya negara-negara merdeka bekas Uni Soviet, yang tergabung dalam CIS (Commonwealrh of Independent States/ Persemakmuran Negara-negara Merdeka) pada tanggal 8 Desember 1991 yang diprakarsai oleh Presiden Rusia Boris Yeltsin bersama Presiden Ukraina Leonid Kravchuk, serta Ketua Parlemen Belarusia Stanislav Shushkevich dalam pertemuan di Vukhucio,Belarusia. Runtuhnya Uni Soviet menimbulkan beberapa akibat terhadap situasi dunia, yaitu: 1. Berakhirnya perang Dingin antara Blok Barat (Ameriuka Serikat) dengan Blok Timur(Uni Soviet), 2. Berkurangnya kecemasan dunia terhadap terjadinya PerangDunia III, 3. Banyak negara komunis yang berubah menjadi negara demokrasi, 4. Amerika Serikat tampil sebagai negara Adi Daya, 5. Tumbangnya komunisme di beberapa negara Eropa Timur.
Perjalanan panjang PBB dalam kurun waktu hampir 5 dasawarsa kemudian dibayangi dengan apa yang penulis sebut sebagai ‘opera sabun PBB’, dimana PBB kemudian berkutat pada persoalan-persoalan cabang contemporar security seperti penanganan masalah kemanusiaan, wabah penyakit, perlindungan hak-hak pekerja; dengan mengacuhkan substansi awal yang terbentuk sejak lahirnya paham realisme klasik, yakni security pada pemaknaan dasar. Runtuhnya komunis yang ditandai dengan bubarnya negara adidaya Uni Soviet memaksa kembali terjadinya perubahan ordinasi antarnegara; sebagian orang mengira akan tercipta unipolaritas, namun prediksi ini tidak akan bertahan lama. Perubahan Pola Internal PBB: Perubahan pola ini tidak terjadi secara sederhana, namun memerlukan penjelasan secara bertahap. Untuk itu penulis membagi perubahan pola secara garis besar pada kurun selama periode Perang Dingin dan pasca berakhirnya Perang Dingin, dengan fokus yang dibedakan antara negara core dan peripheral.
Perubahan pola antarnegara pada era Perang Dingin Perang Dunia II yang melibatkan hampir seluruh dunia dalam pergolakannya menempatkan 5 negara besar sebagai pemenang, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Cina. Tidak lama kemudian berdiri PBB, yang menempatkan kelima negara tersebut dalam posisi terhormat dan dengan privilege khusus. Pendirian secara historis, adanya hak veto, menjadikan PBB sebagai institusi suprastate gadungan yang digalang negara-negara tersebut (tidak bersifat suprastate, tetapi lebih menjurus pada institusi dunia yang mengakomodasi kepentingan superstate