PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN ‐ BIOINDUSTRI BERKELANJUTAN *
Robert Manurung Robert Manurung Anggota Tim Perumus dan Tim Diseminasi Strategi Induk Strategi Induk Pembangunn Pembangunn Pertanian (SIPP) 2013 ‐2045
A. Pendahuluan.
Sistem kemasyarakatan dan pertaniannya merupakan suatu sistem hayati dengan struktur dan genetika penyusunnya yang sangat beragam. Produktivitas, stabilitas dan dampak suatu sistem pertanian terhadap lingkungan sangat terkait dengan keragaman hayati dan terutama organisasinya: bagaimana pertanian tersebut distrukturkan. Karena sistem pertanian dikelola oleh manusia, strukturnya ditentukan oleh landasan falsafah dan pandangan hidup (paradigma) manusia tentang lingkungan dan ekosistem. Ekosistem yang harmonis harus dilestarikan agar dapat menjaga kesinambungan efektifitas fungsi ekosistem dalam menyediakan jasa ekosistem yaitu jasa daya dukung (Supporting Services) bagi kehidupan diantaranya berupa: kemampuan pemenuhan produk primer bagi kehidupan, daur ulang nutrisi, dan pembentukan tanah atau media pertumbuhan‐kehidupan. Kemajuan sains dan pertumbuhan aktifitas ekonomi telah berhasil meningkatkan ketersediaan dan sekaligus menurunkan harga riil komoditas pertanian selama 50 tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan jumlah penduduk yang bertambah dengan pesat selama rentang waktu tersebut. Namun dalam usaha peningkatan ketersediaan komoditas pertanian, praktek pertanian (khusunya penggunaan pupuk mineral dan pestisida yang berlebihan) telah turut mereduksi efektivitas fungsi ekosistem. Keberlanjutan didefinisikan sebagai pemanfaatan lingkungan dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Sustainability is use of the environment and resources to meet the needs of the present without present without compromising the ability of future of future generations to meet their needs ) – WCED, 1987 ‐Brundtland Report: Our common Our common future. future. Pertanian berkelanjutan menyangkut kemampuan agroekosistem untuk tetap produktif pada rentang waktu yang lama. Keberlanjutan lazim dikelompokkan menjadi: lingkungan, ekonomi dan sosial berkelanjutan (ecological or environmental, economic and social sustainability). Lingkungan berkelanjutan difefinisikan sebagai pemeliharaan ekosistem global atau ‘kapital alam’ baik sebagai ‘sumber’ dari input maupun sebagai ‘resapan’ bagi limbah (Environmental sustainability is define as the maintenance of the global ecosystem or of ‘natural capital’ both as a ‘source’ of inputs and as a ‘sink’ for waste) ‐ Goodland, 1995. Dimensi keberlanjutan lingkungan merupakan dasar dan landasan bagi keseluruhan dimensi keberlanjutan atau dengan kata lain pewujudan lingkungan berkelanjutan merupakan prasyarat bagi pewujudan ekonomi dan sosial berkelanjutan.
*Disampaikan pada acara : “Sosialisasi Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013‐2045”, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP), Medan, 13 November 2013.
1
Esensi pertanian adalah mewadahi berlangsungnya proses fotosintesis atau memanfaatkan (harness ) transformasi energi elektromagnetik sinar matahari menjadi energi kimiawi didalam biomassa tanaman pertanian. Oleh karenanya budidaya pertanian dan pengolahannya seyogyanya meminimalkan penggunaan input eksternal dari sumber lain yang ketersediaannya terbatas ( fossil ), ), tapi sebaliknya mengembalikan peran tanaman sebagai produser utama ( primary producer ) sumber daya hayati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pangan, bio‐produk non pangan dan bio‐energi secara berkelanjutan. Oleh karena itu pertanian berkelanjutan pada masa depan harus mampu mencapai sasaran memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh secara bersamaan dari produk pertanian bagi pemenuhan kebutuhan produk primer (consumptive) dan dari jasa eksosistem (non‐ consumptive). Untuk mencapai kedua manfaat tersebut secara bersamaan harus dikembangkan pertanian akurat ( precision agriculture ) melalui penerapan beragam innovasi yang didasarkan pada pengetahuan tentang ekosistem, budaya dan kearifan lokal dari setiap hamparan pertanian disuatu wilayah dan dilandasi sains yang mampu mengungkap pemahaman mendasar tentang agroekologi, proses dan siklus biogeokimia, transformasi tenaga surya, effisiensi nutrisi dan air, pemuliaan benih, pengendalian hama dan penyakit dan lainnya. B. Pertanian dan Lingkungan Berkelanjutan
Untuk menjaga lingkungan berkelanjutan yang diwujudkan melalui pemeliharaan ekosistem agar tetap berfungsi baik sebagai ‘sumber’ dari input maupun sebagai ‘resapan’ bagi limbah, terlebih dahulu perlu dicermati dan dipahami pengertian mendasar dari ekosistem seperti definisi dan ciri ekosistem berikut ini. Ekosistem adalah sistem ekologi, saling ketergantungan komunitas makhluk hidup yang berperan mendaur ulang zat sewaktu energi mengalir melalui suatu luasan tertentu yaitu lingkungan alam di sekitarnya. Sementara ciri utama dari suatu ekosistem adalah: ekosistem terdiri dari organisme hidup (biotik) dan bagian tidak hidup (abiotik); energi mengalir (bertransformasi) melalui organisme didalam ekosistem; zat didaur ulang oleh ekosistem; ekosistem yang stabil memenuhi keseimbangan diantara populasinya; ekosistem selalu dinamik, tidak menetap tetapi berubah dengan waktu. Dari definisi dan ciri diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ekosistem yang harmonis akan lestari apabila komunitas biologis (produser, konsumer dan dekomposer) yang beragam dan seimbang dapat hadir secara bersamaan dan berinteraksi serta saling terhubungkan dan saling bergantung satu sama lain sehingga dimungkinkan terjadi daur ulang zat saat aliran (transformasi) energi berlangsung melalui organisme didalam hamparan alam suatu ekosistem. Mekanisme transformasi energi dari sumber utama (matahari) ke organisme, melalui komunitas organisme didalam ekosistem, dan dari dalam ke luar eksositem masih relatif kurang diperhatikan dan dikaji di banding replikasi genetika. Kajian tentang trasformasi energi sama pentingnya dengan kajian genetika, karena pada hakikatnya: kehidupan harus dipandang, pada tingkat yang paling mendasar, sebagai fenomena transformasi energi yang sama pentingnya at the deepest level, deepest level, as a matter as dengan fenomena replikasi genetika, (“Life must be regarded, at the much of energy of energy transformation transformation as of genetic of genetic replication)” ‐ Wicken, 1987 . Secara lebih umum sosok sistem pertanian yang berkelanjutan bergantung pada jasa daya dukung (Supporting Services) ekosistem yang terdiri dari: Jasa Provisi Hayati (Provisioning Services), Jasa Pengendalian Siklus Alam (Regulating Services) dan Jasa Kultural (Cultural Services (Cultural Services). Ketiga komponen jasa komponen jasa daya dukung tersebut berperan saling terkait dengan tingkat sumbangan yang berbeda bagi pemenuhan unsur pokok kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan 2
perubahan komponen jasa daya dukung tersebut perlu dicermati sebagai landasan membangun dan mengevaluasi sosok pertanian yang mampu menyediakan secara bersamaan produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan produk primer ( food, feed, fibre, fuels) dan jasa eksosistem lainnya. C. Prinsip dan Interaksi Hayati dalam menjaga Keberlanjutan Produktivitas Sistem Pertanian. 1. Struktur Hayati dalam Sistem Pertanian
Struktur hayati dalam sistem pertanian adalah cara dimana organisme ‐ tanaman dan hewan ‐ yang dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan keluaran bernilai ekonomik ditata berkenaan (interaksi) satu dengan lainnya dan dengan biota lain di lingkungan mereka (Biological structure is the way in which organisms ‐ plants and animals – that are purposefully managed for managed for economic output are arranged with respect to each other and to other biota other biota in their environment) their environment) ‐ Richard R. Richard R. Harwood, 1992. Keberlanjutan tingkat produktivitas pertanian sangat tergantung pada penataan atau pengaturan struktur organisme dalam kaitan interkasi satu dengan lainnya dan khususnya dengan biota di lingkungan lahan pertanian tersebut. Karena sistem pertanian dikelola oleh manusia, strukturnya ditentukan oleh landasan falsafah dan pandangan hidup (paradigma) manusia tentang lingkungan dan ekosistem. Skala atau tingkat interaksi sangat bervariasi, namun struktur satu hamparan pertanian merupakan skala utama dan dominan bagi berlangsungnya interaksi hayati karena kegiatan sosial dan ekonomi pada satu hamparan pertanian berlangsung secara intensif. Dengan demikian keberlanjutan tingkat produktivitas pertanian disuatu wilayah ditentukan oleh bagaiaman keharmonisan ekosistem dari setiap hamparan pertanian yang ada diwilayah tersebut dapat distrukturkan oleh pengelolanya. Meski sangat jelas dan mudah dipahami peran strategis interaksi hayati dalam suatu hamparan dalam menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan, namun karena kompleksitas interaksi hayati itu sendiri dan dampak positif yang diberikannya melintasi rentang waktu yang panjang dan ruang yang luas yang sering diluar jangkauan kemampuan dan perhatian para pelaku usaha tani, penerapannya memerlukan: strategi, tahapan dan keterlibatan banyak pihak – pihak – terutama oleh peneliti dan perekayasa. 2. Menstrukturkan Proses Hayati (Biological Structuring Biological Structuring). ).
Untuk membangun pertanian yang berkelanjutan pada masa mendatang, sangat penting belajar dari cara pandang dan pemikiran masa lalu. Pemahaman cara pandang keadaan diawal 1900 tentang ‘reductionism’ dengan industri sebagai model melawan ‘holism’ dengan alam raya sebagai model masih sangat relevan dengan keadaan masa kini. Meski pendekatan ‘reductionist’ dengan cara pemusatan dan penghimpunan usaha pada komoditi tunggal atau spesifik (‘specialization’) telah menghasilkan kenaikan produksi, namun pendekatan ini sangat lemah dalam mendukung interaksi komponen hayati dan memberi dampak sangat negatif pada lingkungan dan sosial. Pada rentang tahun 1970 ‐ 1990: filsafat, tubuh teori keilmuan dan pengalaman lapangan dari sistem pertanian, telah menuntun pijakan bersama keilmuan yang mendasari pendekatan struktur pertanian berkelanjutan yang didalamanya termasuk: pola pengelolaan ‘insect ‐ pest ’ dengan ‘ pest ‐ predator ’ yang dinamis dan seimbang, farming systems’ sistem pertanian dengan wujud ‘agroecology ’, pendekatan ‘ farming ’, ‘natural ‐ farming’, ‘alternative agriculture’ . Pola pendektan tersebut pada hakikatnya adalah
3
pendekatan penstrukturan proses hayati dalam suatu eksosistim yang harmonis seperti diuraikan sebelumnya. 3. Pola Interaksi Hayati dalam Pertanian
Perkembangan pertanian korporasi dengan lahan yang relatif luas relatif luas membawa kecenderungan kembali ke pemusatan dan penghimpunan usaha pada satu komoditi (‘specialization’) yang secara berarti mengurangi keragaman pada struktur dan interaksi hayati dan mengandalkan perlindungan dan pasokan nutrisi pada input external pestisida dan pupuk kimia sintetik. Untuk mencapai kestabilan hayati dimasa depan, pola sistem produksi tunggal hanya boleh diterapkan pada daerah tertentu dengan fraksi luasan yang terbatas. Mosaik berbagai tipe pemanfaatan lahan landsekap dengan keragaman spesies tanaman dan hewan dan membentuk agroecosystem merupakan suatu keharusan. Kehadiran pertanian dengan tipe yang beragam akan menciptakan interaksi yang tinggi didalam sistem dan menciptakan kompetisi untuk memaksimalkan pemanfatan sumber daya alam seperti cahaya, ruang, nutrisi dan air. Sampai sejauh mana sumber alam yang tersedia dapat secara bersama dibagi untuk sistem pertanian (terutama antara tanaman dan hewan) akan menentukan effisiensi hayati dari sistem. Peran rotasi spesifik tanaman, kombinasi tanaman selang, dan perbatasan bidang lahan jenis tanaman sangat kritis dalam menegakkan usaha pemeliharaan stabilisasi hayati. Penstrukturan seperti ini memungkinkan mendapatkan: produktivitas yang tinggi, penggunaan sumber alam yang lebih efisien, stabilitas pengendalian hama yang lebih baik melalui pembatasan pemakaian pestisida, siklus nutrisi dengan efisiensi yang lebih tinggi atau kombinasi dari keseluruhan manfaat tersebut. Pola pertanian yang kembali selaras dengan siklus biologis rantai pasok makanan akan menciptakan sistem kesehatan tanah pertanian dan harus menjadi acuan dan pangkal pengembangan produksi pertanian berkelanjutan. Sosok pertanian suatu negara agar belangsung secara berkelanjutan pada akhirnya akan terdiri dari banyak pola sistem pertanian lokal, masing‐masing memiliki variasi yang tak terhitung jumlahnya terhitung jumlahnya menyesuaikan kondisi spesifik lokasi. Masing‐masing pola harus, didalam diri dan lokasinya sendiri, menjadi berkelanjutan didalam konteks dirinya dan didalam proses berevolusi yang memberi karakteristik pada perubahan pertanian nasional dan global.
D. Sistem Pertanian‐Energi Terpadu (SPET)
Ketersediaan bahan bakar fossil yang murah di Indonesia pada beberapa dekade lalu telah mengantikan bahan bakar biomassa yang telah digunakan selama ratusan tahun dalam pengolahan produk perkebunan (teh, gula, karet, coklat, kopi, dan lainnya). Pupuk sintetis yang berasal dari bahan baku fossil hampir menggantikan keseluruhan pemakaian pupuk alami yang juga sebelumnya telah lama didaya gunakan dalam usaha pertanian. Dari neraca input dan output energi disektor pertanian di Eropa dan Amerika diperoleh angka pemakaian energi fossil lebih dari 10 kali dari energi yang terkandung pada produk pangan hasil panen. Energi fossil yang digunakan pada penangkapan ikan bahkan melebihi 20 kali dari kandungan energi dari ikan yang ditangkap. Kenaikan harga bahan bakar fossil akan memberi pengaruh langsung pada kenaikan harga produk pertanian yang tinggi. Pengalihan sedini mungkin ketergatungan pada bahan fossil menjadi berbasiskan sumber daya hayati yang terbarukan (renewable resources) pada sektor pertanian sangat penting untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial bagi masyarakat dan negara dimasa 4
yang akan datang. Disamping mengurangi dampak negatif, pengalihan tersebut juga merupakan kesempatan meningkatkan nilai tambah produk utama ( karena mendapat green label ) dan menjadi cara ampuh sebagai pembangkit pendapatan (income generation) dari produk samping pertanian (limbah biomassa) bagi pelaku usaha tani. Pengalihan tersebut, diluar pertimbangan manfaat ekonomi dan sosial, pada jangka panjang akan memberi dampak positif terhadap lingkungan karena dapat menyokong terciptanya daur ulang biogeokimiawi yang baik dan memberi jaminan keberlanjutan produktifitas lahan dan kesehatan tanah dimasa mendatang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pemanfaatan lahan marginal untuk tujuan produksi biomassa sebagai bahan baku non‐pangan bernilai tinggi khusunya bio‐energi memungkinkan diwujudkan optimasi pemanfaatan lahan marginal secara bertahap. Sebagai contoh melalui budidaya tanaman rumput gajah atau switch grass yang tidak membutuhkan persyaratan budidaya yang ketat (yang produktivitasnya mencapai 200 – 300 Ton/hektar/tahun ditanah yang subur) sangat potensial untuk dibudidayakan dilahan marginal karena walau produktivitasnya pada tahap awal hanya 40 – 50 ton saja jumlah saja jumlah tersebut masih sangat ekonomis untuk digunakan sebagai bahan baku bioindustri (bio‐produk dan bio‐energi). Dengan menyertakan teknologi rehabilitasi lahan dan menjaga daur ulang mineral nutrisi tanaman secara sinambung, restorasi lahan marginal tersebut dimungkinkan dicapai setelah berlangsung pada rentang waktu beberapa tahun dan menjadi lebih subur sehingga dimungkinkan digunakan untuk budidaya tanaman yang lebih menjanjikan secara komersial. Dengan pola ini, pemanfatan lahan marginal yang cukup luas di Indonesia dapat menjadi pendorong tumbuhnya bio‐industri non‐pangan khususnya bioenergi dan berlangsungnya proses restorasi lahan marginal secara bersamaan. E.
Sistem Pertanian – Pertanian – Bioindustri Terpadu Berkelanjutan.
Pemanfatan produk pertanian untuk konsumsi (pangan, pakan, bahan baku industri dan energi) secara berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pemanfatan tersebut tidak mengabaikan kesehatan lahan dimana tanaman tersebut berasal. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan keseluruhan komponen biomassa dengan cermat dapat dimanfatakan untuk konsumsi sementara mineral dan bahan‐bahan organik yang esensial bagi tanaman dapat didaur ulang merupakan keharusan untuk menjaga pertanian berkelanjutan. Dengan kata lain, pengertian pertanian berkelanjutan seperti disebutkan di atas mengandung makna meningkatkann effisiensi penggunaan nutrisi (increasing nutrient use efficiency ) dan meminimalkan penggunaan input eksternal khususnya bahan dan energi fosil disektor pertanian fossil energy in agricultural sector agricultural sector ). (net ‐zero consumption of fossil energy ). 1. Peningkatan pendapatan pelaku usaha tani
Dimasa mendatang disamping menjadi penghasil utama bahan pangan, pertanian dalam artian luas juga luas juga dituntut menjadi sektor penghasil bahan baku non‐pangan pengganti bahan baku hidro‐karbon yang berasal dari fossil untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi khususnya bioenergi. Pembangunan bio‐industri yang dekat dengan sumber biomassa merupakan langkah awal strategis meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan sekaligus mengurangi ketergantungan pengolahan hasil pertanian pada energi fossil melalui pemanfaatan ‘limbah’ pertanian sebagai sumber energi untuk pengolahan serta memudahkan siklus unsur hara budidaya pertanian yang dapat mengurangi biaya untuk pengadaan input nutrisi eksternal. 5
Peningkatan pendapatan pelaku usaha tani sangat penting sebagai landasan membangun pemahaman dan keyakinan pelaku usaha tani tentang peran strategis dan dampak positif yang diberikan interaksi hayati dalam menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan. 2. Biorefinery dan Siklus Biogeokimiawi (Biogeochemical Cycles) (Biogeochemical Cycles)
Biomassa terdiri dari kumpulan makromolekul (karbohidrat, lipid, protein, dan asam nukleat) dan bagian lignoselulosik yang sering dianggap sebagai limbah pertanian. Skema inovatif dan inovatif dan strategis yang harus diterapkan dalam menopang keberlanjutan pertanian‐bioindustri adalah pengolahan produk utama hasil pertanian (yang mengandung makro molekul) untuk menghasilkan berbagai bioproduk (material dan energi) dengan nilai tambah yang tinggi sementara pengolahan produk samping lignoselulosa dilakukan dengan mempersyaratkan pengembalian unsur nutrisi tanaman ke lahan pertanian asal biomassa. Pengembalian unsur nutrisi ke lahan pertanian dapat meningkatkan produktivitas lahan dan menurunkan input unsur hara external serta menjaga keselarasan interaksi tanaman dengan lingkungan khususnya dengan komunitas organisme yang menunjang keberlanjutan sistem ekologi disekitar pertanian tersebut. Pengolahan biomassa terpadu untuk menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah tinggi dan merupakan landasan mewujudkan keberhasilan pengembangan bio‐ industri dilakukan dengan penerapan konsep biorefinery . Biorefinery adalah suatu konsep proses pengolahan keseluruhan biomassa untuk menghasilkan berbagai komponen bio‐ produk dengan input energi dan bahan eksternal yang serendah mungkin dan secara menyeluruh memberi nilai tambah maksimal bagi biomassa yang diolah. 3. Bioindustri (material dan energi) : Primary processing processing dan secondary processing processing
Selain keterpaduan yang diuraikan diatas, keberhasilan bio‐industri berkelanjutan juga secondary processing, yang dapat berskala kecil ditentukan keterpaduan antara primary dan secondary processing, ataupun besar. Primary processing merupakan pengolahan biomassa hasil panen sampai menjadi produk antara berupa komponen kasar makromolekul. Sedangkan secondary processing kemudian akan memurnikan atau mengolah lanjut produk Primary processing menjadi produk makro molekul yang memenuhi karakteristik dan spesifikasi tertentu atau Secondary processing sebaiknya menjadikannya menjadi bio‐produk bernilai tambah tinggi. Secondary processing dikelola pelaku yang memiliki akses pada pasar sehingga menjadi mitra yang memberi Primary processing, dan selanjutanya Primary processing Primary processing menjadi kepastian bagi produk Primary processing, mitra yang memberi kepastian bagi produk hasil pertanian. Kemitraan seperti ini belum lazim diterapkan di Indonesia, namun seperti diuraikan sebelumnya keberlanjutan produktivitas pertanian sangat tergantung dari peran interaksi beragam makhluk hidup yang sangat tinggi dilahan pertanian. Demikian juga semestinya berlaku bagi usaha pengolahan berbasis biomassa yang harus menjaga dan menjamin keterlibatan dan interaksi beragam para pelaku usaha untuk menjamin keberlangsungan rantai pasok. Untuk menjamin keberlangsungan dan keberhasilan usaha bio‐industri, keterlibatan dan interaksi para pelaku usaha rantai pasok dapat diwujudkan melalui integrasi antara primary processing yang relatif berskala kecil dan secondary processing secondary processing dengan skala relatif lebih besar. Memadukan industri kecil dan besar dapat meminimalisir kelemahan dan memaksimalkan kekuatan masing‐masing. Indusri kecil dapat diwujudkan dengan industri yang menetap ( fixed ) tapi juga dapat diwujudkan dengan indusri yang bergerak (mobile). 6
Keterpaduan industri kecil dan besar dapat dalam berbagai bentuk usaha kerjasama dan disesuaikan dengan kekhususan lokasi dan bahan bioindustri. 4. Peta Jalan menuju Sistem Pertanian – Pertanian – Bioindustri berkelanjutan di Indonesia
Dalam payung umum platform biorefinery, beberapa kemungkinan platform spesifik yang dapat ditempuh menuju pertanian‐bioindustri terpadu adalah: “sugar platform”, “biogas platform”, “carbon‐rich chain platform”, dan “thermochemical platform” serta “ plant products platform products platform”. Peta jalan system pertanian‐bioindustri berkelanjutan untuk Indonesia sebaiknya dimulai sugar platform” yaitu industri berbasis pati, melalui pengembangan industri yang dengan “sugar platform sudah ada dan tersebar diberbagai daerah di pulau Jawa dan Sumatera. Keterpaduan antara sugar platform”, yang dirangkai dengan keterlibatan pertanian penghasil pati dan bioindustri “sugar platform “biogas platform” sebagai penghasil sumber energi dari dekomposisi limbah biomasssa, akan dapat meningkatkan perekonomian dan keberlanjutan usaha ini dan pertanian pendukungnya. sugar platform”, pengembangan industri alur proses Paralel dengan alur pengembangan “sugar platform “carbon‐rich chain platform” juga sudah harus diperluas. Carbon‐rich chain platform menggunakan minyak nabati alami (lipida) seperti minyak sawit, kedelai, jagung, kedelai, jagung, kanola, jarak kanola, jarak dan alga sebagai bahan baku dan sudah digunakan sebagai platform chemicals dalam proses biorefinery untuk menghasilkan berbagai turunan di negara maju. Meningkatkan keragaman sumber lipida dari berbagai jenis tanaman secara bertahap dan berjenjang juga harus dilakukan secara parallel dengan peningkatan produktivitas kelapa sawit rakyat. platform” yang mengkonversi bahan dari dua alur platform yang Alur proses “thermochemical platform disebut sebelumnya (produk antara) dapat dimulai sedini mungkin sejak jumlah produk antara tersebut memadai memasok kebutuhan bahan baku industri hilir “thermochemical platform” yang umumnya memilki skalanya yang relatif besar.
Alur proses “ plant products platform” ditempuh melalui rekayasa genetika atau pengendalian lingkungan, sehingga varietas tanaman tertentu dapat memproduksi metabolit sekunder (secondary metabolit ) meskipun secara alami mungkin tidak diproduksi. Hal ini mempermudah dan mempersingkat alur proses konsep biorefinery karena proses tersebut terjadi pada tanaman itu sendiri, bukan di suatu pabrik industri. Peta jalan pengembangan alur ini tidak tergantung dari tiga alur platform yang telah disebutkan sebelumnya, sebaliknya pengembangan dan keberhasilan sedini mungkin melalui alur ini akan memberi kontrubusi yang sangat besar bagi pengembangan bio‐industri karena mempermudah dan mempersingkat produksi bioproduk yang diinginkan.
F.
Sains dan Innovasi Pertanian‐Bioindustri Berkelanjutan
Prasyarat dan kunci pendorong utama keberhasilan pengembangan pertanian‐bioindustri berkelanjutan di berbagai Negara, khususnya Brazilia, adalah Komitmen Pemeritah dan Kebijakan Publik (Government commitment and public policies). Rumusan Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013‐2045 (dimana Penulis turut sebagai anggota perumus) diharapkan dapat digunakan menjadi landasan komitmen pemerintah dan kebijakan publik pengembangan bioindustri di Indonesia dimasa depan. 7
Prasyarat dan kunci pendorong kedua adalah pengembangan pertanian tropikal berbasis sains dan rekayasa hayati ( Development of bio‐science and ‐engineering based tropical agriculture), melalui tahapan: i. Organizing effort, and Infrastructure, ii. Integrating Competence and Infrastructure and Projects. iii. Inducing Research Nets and Projects. pemangku kepentingan dan penggiat pengembangan pertanian‐bioindustri. Pertanian yang ada saat ini yang mayoritas merupakan lahan kecil perlu dikelola dalam organisasi sehingga menjadi skala budidaya yang memungkinkan bio‐industri layak dibangun secara ekonomis. Penelitian terpadu dari berbagai disiplin melalui suatu Program Aksi perlu diperkenalkan dan dilaksanakan untuk mengembangkan pertanian tradisional menjadi pertanian yang berbasis ilmu pengetahuan. Program aksi yang dilakukan harus menjadi contoh teladan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membangun sistem pertanian‐bioindustri dan bio‐eknomi pada suatu kawasan pertanian. Dari program aksi tersebut, keunikan dari beragam jenis tanaman tidak saja diidentifikasi prospeknya sebagai bahan baku bio‐industri untuk menghasilkan bioproduk bernilai tinggi namun juga sebagai fondasi pengembangan pertanian bermartabat yang memberi kemakmuran dan keadilan bagi pelaku usaha pertanian. Paradigma yang memandang peran penting manusia pelaku usaha tani maupun pelaku bio‐ industri dalam menjaga keberlanjutan ketersediaan produk konsumtif (bioproduk) maupun non‐ konsumtif (jasa konsumtif (jasa lingkungan) pertanian perlu terus dimaknai oleh semua pihak. Tantangan ilmiah dan kebijakan yang harus dipenuhi untuk mempertahankan dan meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dari intensifikasi pemanfaatan lahan pertanian adalah konservasi: sumber daya tanah dan air, biodiversitas dan habitatnya, kualitas udara, dan landsekap. Persoalan yang dihadapi sistim pertanian masa depan kemungkinan akan sangat kompleks dan oleh karenanya solusi yang teruji tidak akan mungkin diutarakan pada saat ini. Namun usaha mempertahankan lahan yang sehat melalui penstrukturan hayati seperti yang diutarakan sebelumnya merupakan landasan yang harus dipenuhi dan untuk itu prasyarat utama yang harus dijaga adalah konservasi sumber daya air. Konservasi air melalui langkah‐langkah seperti pengendalian laju erosi tanah, dan stabilisasi daerah tepian sungai pada hakikatnya dapat dicapai melalui penstrukturan hayati dengan pedoman (kriteria) mempertahankan interaksi berbagai organisme dilahan pertanian sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pemeliharaan wujud fisik dan keragaman hayati yang dikandung landsekap khususnya yang berbukit dan bergunung‐ gunung memiliki potensi yang sangat besar untuk konservasi air, karena elevasi dan floranya berperan dalam daur hidrologi. Perekayasaan daur hidrologi ini disamping untuk kebutuhan pertanian juga sangat berpotensi dimanfatakan sebagai pembangkit energi tenaga air (hydro power) yang selama ini belum banyak dieksploitasi. Tantangan ilmiah yang lebih spesifik dan perlu dikaji secara rinci pada pengembangan sistim pertanian‐bioindustri adalah: penyelarasan manfaat jangka pendek dan keberlanjutan, penyelarasan nilai ekonomi dan jasa dan jasa ekosistem, pengelolaan lahan global, penyelarasan produksi bahan pangan dan non pangan terhadap biaya lingkungan (pengendalian konversi ekositem alam menjadi lahan pertanian), peningkatan lanjut produktivitas lahan pertanian, peningkatan efisiensi penggunaan nutrisi, peningkatan effisiensi penggunaan air, mempertahankan dan restorasi kesuburan lahan, pengendalian hama dan penyakit, keberlanjutan produksi sumber protein hewani, penerapan praktek pertanian keberlanjutan.
8
G. Penutup
Kesempatan dan tantangan terkait penggunakan hasil pertanian sebagai sumber bioenergi dan bioproduk datang dari sisi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi, penggunaan bioenergi dipandang sebagai salah satu langkah penting menuju keberlanjutan produksi energi, sehingga menurunkan tingkat ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil. Penggunaan bioenergi juga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi khususnya pada daerah perdesaan. Pembangunan sistem pertanian–bioindustri berkelanjutan berbasis hayati dapat meningkatkan keberlanjutan ekonomi sektor pertanian dan sektor‐sektor terkait lainnya, dan jika dilaksanakan dengan bijaksana dapat memperbaiki serta menyeimbangkan ekosistem untuk memperbaiki lingkungan. Bioindustri dengan pengolahan yang efisien dan efektif disamping dapat meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, dan oleh karenanya peningkatan kesejahteraan petani, juga petani, juga menjadi motor penggerak sektor ekonomi lainnya (yang meningkatkan PDB Nasional) dan terutama menjadi sektor yang dapat penampung tenaga kerja yang melimpah disektor pertanian saat ini. Innovasi berbasis sains terkait agroekologi, proses dan siklus biogeokimia, transformasi tenaga surya menjadi energi kimiawi , effisiensi nutrisi dan air, pemuliaan benih dan pemanfaatan keragaman hayati, pengendalian hama dan penyakit, penginderaan jarak jauh dan teknik‐teknik pendukung lainnya masih sangat diperlukan untuk pengembangan pertanian–bioindustri berkelanjutan. Persoalan terkait penanganan material biomassa juga biomassa juga perlu dicermati, mulai dari: saat panen (tata cara pemanenan, pengumpulan, penyimpanan), saat pasca panen (pengeringan dan penyimpanan), saat pengolahan (transportasi, reduksi ukuran, pengeringan, dan pengolahan awal lain yang terkait), transportasi dan sistem rantai pasok produk. Sisi yang harus dikaji tersebut mungkin menjadi batu sandungan pengembangan pertanian‐bioindustri terpadu, namun bila dapat ditangani dengan baik akan menjadi sektor jasa pendukung bioindustri yang juga menjadi kegiatan yang memberi kesempatan lapangan kerja dan peningkatan eknomi diperdesaan. Referensi: of a Science ‐Based, Advanced Tropical Agriculture in Brazil’ , Embrapa 1. Jefferson Costa, ‘Development of a Brazil, April 2012.
2. ‘Business and Ecosystems’, World Business Council for Sustainable Development, 2007. 3. John Reid and James Boyd, ‘Economics and Conservation in the Tropics: A Strategic Dialogue’, 2008 4. ‘Developing Future Ecosystem Service Payments in China: Lessons Learned from International Experience’, Forest Trends, 2006. 5. Richard R. Harwood , ‘Biological Principles and Interactions in Sustaining Long‐Term Agricultural Productivity’, in ‘Proceedings of the of the Workshop on Sustainable Development’, ADB, June 1992. 6. David Tilman, Kenneth G. Cassman, Pamela A. Matson, Rosamond Naylor and Stephen Polasky, ‘Agricultural sustainability and intensive production practices’, Nature, Vol 418, August 2002. 7. Hayo M.G. van der Werf , Jean Petit, ‘Evaluation of the of the environmental impact of agriculture of agriculture at the farm level: a comparison and analysis of 12 of 12 indicator ‐based methods Agriculture’, Ecosystems and Environment 93 (2002) 131–145. 8. Terry Chapin, Science and Technology Needs for a Sustainability Transition, University of Alaska of Alaska Fairbanks, 2011. 9. ‘Science, Technology, and Sustainability: Building a Research Agenda’, National Science Foundation Supported Workshop, September, 2008. 10. ‘Ministerial Round table on: Science, Technology and Innovation for Sustainable Development: The Role of UNESCO’, of UNESCO’, October 2007. 11. Goodland, R., 1995. The concept of environmental of environmental sustainability. Annu. Rev. Ecol. Syst. 26, 1–24. 12. Eric D. Schneider and Dorion Sagan,’Into the Cool: Energy Flow Thermodynamics and Life’, The University of Chicago of Chicago Press, 2005.
9