Makalah
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
(Periodisasi Perkembangan Hadits Dari Zaman Rasulullah, Para Sahabat,
Hingga Sekarang)
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits
yang Dibina oleh Dr. H. Suaib H. Muhammad, M.Ag
DISUSUN OLEH:
IRFAN MURDIANTO YUDISTIRO
(16770006)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah karena dengan limpahan
Rahmat dan Maghfirah-Nya kepada kita berupa nikmat keselamatan dan
kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Amien.
Dan tak lupa pula shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan menuju kepada jalan yang terang-
benderang diridhoi oleh Allah swt, dan juga kepada keluarga, sahabat, dan
umat yang mengikuti jejak beliau.
Dalam penyusunan makalah ini, pemakalah mengulas sejarah perkembangan
hadits mulai dari masa Rasulullah Saw, para sahabat, para tabi'in, hingga
masa sekarang. Tema yang diusung ini merupakan upaya awal dalam mempelajari
lebih lanjut terkait semua yang berhubungan dengan studi hadits.
Akhirnya, kami menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen
Pembimbing serta semua pihak terkait yang telah senantiasa membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Dan kami mohon maaf apabila pembuatan makalah
ini terdapat kesalahan, baik dalam struktur penulisan atau daya serap
penulis dalam memahami dan menganalisa sumber dan referensi yang
menyebabkan kesalahpahaman dari sumber yang dibacanya. Kritik dan saran
selalu penulis nantikan.
Malang, Pebruari 2017
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari hadits tentu tidak terlepas dari peran Nabi Muhammad
Saw sebagai contoh dan suri tauladan bagi umatnya. Hadits diketahui telah
ada sejak awal perkembangan Islam yang sudah pasti merupakan realitas
yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya wajar sekali jika kaum
muslimin (terutama para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang
dilakukan ataupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang
berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka
menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari
peramal mereka, dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin
lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan
dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh
masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul,
pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, maupun
teman), maka tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran
Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus
disampaikan dan terwujud secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu dalam setiap kesempatan, Nabi berupaya berdialog maupun
berdiskusi dengan para sahabat dalam memenuhi haknya untuk lebih
mendalami ajaran Islam.
Oleh karena itu, melalui makalah ini dipandang perlu untuk mengkaji
dan menelaah bagaimana sejarah perkembangan hadits mulai dari masa
Rasulullah Saw, para sahabat, para tabi'in, hingga masa sekarang. Karena
keberadaan hadits bagi umat Islam akan menjadi sebuah pedoman hidup yang
utama dalam agama Islam setelah Kalamullah (Al-Qur'an).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan hadits pada setiap periode?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk menjelaskan pengertian hadits.
2. Untuk mendiskripsikan sejarah dan perkembangan hadits pada setiap
periode.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan hadits dari periode
pertama hingga terakhir, terlebih dahulu diulas pengertian dan kedudukan
hadits dalam agama Islam. Menurut bahasa, Hadits berarti الجديد, yaitu
sesuatu yang baru, menunjukan sesuatu yang dekat dan waktu yang
singkat[1]. Hadits juga berarti الخبر , yang berarti "berita", yaitu
sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain. Disamping itu, Hadits juga berarti القريب,
yang berarti "dekat", dan tidak lama lagi terjadi[2].
Sedangkan hadits menurut istilah terdapat perbedaan antara beberapa
ulama terutama antara ulama muhadditsun, ushuliyyun, dan fuqaha.
1. Menurut ahli hadits atau muhadditsun, pengertian hadits ialah:
آقوال النبي و آفعاله وحواله وقال الاخر : كل ما آثرر عن النبي
من قول آو فعل آو اقرار
Artinya:
"Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi
Muhammad Saw. Sedangkan menurut yang lainnya adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya."
2. Menurut ahli Ushul atau ushuliyyun, pengertian hadits adalah:
"Semua perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad Saw yang
berkaitan dengan hukum syara dan ketetapannya". Atau juga
diistilahkan dengan:
اقواله وافعاله وتقاريره ممايتعلق به حكم بنا
Artinya:
"Segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi yang
bersangkutan dengan hukum
3. Sedangkan menurut ulama' Fiqih (fuqaha), pengertian hadits adalah
suatu ketetapan yang datang dari Rasulullah Saw dan tidak termasuk
kategori fardhu dan wajib, namun adalah sifat syara' yang menuntut
pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan
lain-lain[3].
Jadi singkatnya, hadits ialah semua yang datang dari Rasul Saw,
baik berupa perkataan, tindakan, ataupun ketetapan beliau. Setelah
berlalu masa Rasul Saw dimasukkan ke dalam hadits apa yang datang dari
para sahabat, sebab sahabat adalah mereka yang selalu bergaul dengan
Nabi Saw, mulai mendengar perkataan beliau hingga menyaksikan
perbuatannya, kemudian mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan
yang mereka dengar. Lalu datang kemudian para tabi'in yang bergaul
dengan para sahabat mendengar dari mereka dan melihat perbuatan
mereka[4].
Dalam hukum Islam, hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur'an[5]. Artinya, hadits merupakan referensi kedua yang
menjadi rujukan dalam segala amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin
setelah al-Qur'an. Hadits juga bisa dijadikan sebuah penjelas dan nalar
dari kitab Al-Qur'an. Hadits diibaratkan sebuah tonggak penggerak dari
pondasi yang bernama Al-Qur'an, dan Al-Qur'an berjalan beriringan dengan
hadits dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain[6]. Maka sudah
seharusnya selain beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya (Al-Qur'an),
kaum muslimin juga beriman kepada Rasul-Nya, serta apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh beliau dalam kehidupan sehari-hari. Firman Allah Swt:
Artinya:
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk" (QS. Al-A'raf: 158)
B. Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi[7]. Terhitung
dimulai pada masa kemunculannya di zaman Nabi Saw, maka T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy membagi sejarah perkembangan hadits dalam tujuh periode,
antara lain: Masa Rasulullah Saw, masa Khulafaur Rasyidin, masa pasca
era Khulafaur Rasyidin hingga abad pertama hijriyah, masa abad kedua
Hijriyah, masa abad ketiga Hijriyah, masa abad keempat hingga tahun 656
Hijriyah, dan masa tahun 656 H hingga Sekarang[8]. Ketujuh periode
tersebut akan dijelaskan lebih detail berikut ini.
1. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Periode ini disebut 'Ashr Al-Wahyi wa At-taqwin' (masa turunnya
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam)[9]. Pada masa ini, hadits
belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an.
Seperti yang telah diketahui, Rasul Saw mengharapkan para sahabatnya
untuk menghafalkan Al-Qur'an dan menuliskannya di tempat-tempat
tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu,
dan sebagainya. Untuk itulah para sahabat, terutama yang mempunyai
tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk
mengabadikan ayat-ayat Al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin dapat
dipergunakannya[10].
Tetapi tidak demikian halnya terhadap hadits. Pada saat itu para
sahabat menyampaikan sesuatu dari hadits Nabi SAW hanya melalui lisan
dan pendengaran saja. Karena terdapat sabda Rasul Saw yang berbunyi,
لاَتَكْتُبُواعَنَّي وَمَنْ كَتَبَ عَنَّي غَيْرَ لْقُرْ آنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدَّثُوْا حَرَجَ وَمَنْ كَذَ بَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
Artinya:
"Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku
selain Al-Qur'an. Barang siapa menulis dariku selain al-
Qur'an, maka hapuslah. Ceritakan saja yang kamu terima
dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di
neraka." (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير القرآن فمن كتب عنىّ شيئا غير القرآن
فليمحه (رواه مسلم)
Artinya:
"Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur'an dari saya, barang
siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur'an hendaklah
menghapusnya". (HR. Muslim) [11].
Kemudian Rasulullah memberikan izin secara umum ketika sebagian
besar wahyu telah turun dan sudah banyak orang menghafalnya, serta
aman dari kerancuan dari yang lainnya, sebagaimana yang diceritakan
oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda:
اكتب، فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الا الحق
Artinya:
"Tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya,
tidak keluar dariku kecuali yang hak". (Sunan al-
Darimi)[12].
a. Cara Rasul Saw Menyampaikan Hadits
Ada beberapa cara Rasulullah Saw dalam menyampaikan hadits,
antara lain:
1) Melalui jama'ah dalam majelis ta'lim.
2) Melalui sahabat dan disampaikan ke orang lain.
3) Cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah
atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
Fathul Makkah[13].
Adapun dalam mengajar hadits, Syeikh Muhammad at-Thahhan
menjelaskan, bahwa Rasul Saw menggunakan tiga metode, yaitu lisan,
tulisan dan peragaan praktis.
1) Metode Ucapan (Lisan)
Sebagai seorang guru untuk seluruh umat manusia, tentu
Nabi Saw berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan
dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian,
ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak
mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-
hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran
yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para
Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat
untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan
mengoreksinya[14]. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka
memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadits.
2) Metode Tulisan
Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus
untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan
Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para
kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai
metode penyebaran hadits melalui media tulis. Beberapa surat
tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah
hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara ibadah lainya.
Dalam melakukan misi tersebut, Nabi Saw mengangkat 42
juru tulis yang siap bekerja pada saat diperlukan. Masuk
dalam kategori ini yaitu kegiatan imla' Nabi, para Sahabat
seperti Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin 'Amr bin al-Ash.
Rasul juga pernah memerintahkan agar transkrip khutbahnya
dikirim kepada seorang warga Yaman bernama Abu Syadi[15].
3) Metode Peragaan Praktis
Sepanjang hidup Rasul Saw terhitung sejak menerima wahyu
senantiasa memberi pelajaran praktis disertai perintah yang
jelas untuk mengikutinya. Misalnya beliau bersabda:
"Shalatlah anda seperti saya mempraktikkan shalat" dan juga
beliau bersabda: "Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari
cara aku melaksanakan haji".
Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab
langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selalu
meminta si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar
melalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah
beliau sehari.
Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern
masuk dalam kategori pendekatan campuran antara penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Suatu model penelitian yang jika
dilakukan secara sungguh-sungguh validitasnya sangat
meyakinkah dan komprehensif[16].
b. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits
Kadar penguasaan tentang hadits, para sahabat memiliki
beberapa perbedaan yang disebabkan oleh beberapa faktor; pertama,
kesempatan bersama Rasulullah; kedua, kesanggupan bertanya pada
sahabat lain; dan ketiga, waktu masuk Islam dan jarak tempat
tinggal dari masjid Rasul Saw. Adapun beberapa sahabat yang
tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits Rasul Saw
antara lain disebabkan:
1) Para sahabat yang tergolong kelompok sahabat Al-Sabuqun Al-Awwalun
(yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas'ud. Mereka banyak
menerima hadits dari Rasulullah Saw, karena lebih awal masuk Islam
dari sahabat-sahabat lainnya.
2) Ummahatul Mukminin (istri-istri Rasul Saw), seperti Siti Aisyah r.ha.
dan Ummu Salamah r.ha. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan
Rasulullah dari pada sahabat-sahabat lainnya. Hadits-hadits yang
diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan
pergaulan suami-istri.
3) Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul Saw, juga
menulis hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin al-
'Ash.
4) Para sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi
banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh,
seperti Abu Hurairah.
5) Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul Saw
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang
hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah bin Umar,
Anas bin malik dan Abdullah bin abbas[17].
c. Menghafal dan Menulis Hadits
1) Menghafal Hadits
Pada masa Nabi Saw., kepandaian baca tulis dikalangan
para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali.
Karena kecakapan baca tulis para sahabat masih kurang. Maka
Nabi Saw menekankan untuk menghafal, memahami, mematerikan,
dan mengamalkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta
menyampaikannya kepada orang lain[18].
Rasul Saw sendiri melarang hadits itu ditulis
sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits sebelumnya. Abu
Said al-Khudri pernah melaporkan bahwa Rasul Saw bersabda,
"Janganlah anda menulis (sesuatu) dari saya. Barang siapa
yang telah terlanjur menulis, maka hapuslah. Ceritakanlah
(segala sesuatu) dari saya. Demikian tidak apa-apa". Menurut
Mahmud at-Tahhan, larangan tersebut dimaksudkan kepada
larangan penulisan hadits yang tidak professional. Sebab saat
itu dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur'an[19].
Maka dari itu, segala hadits yang diterima dari
Rasulullah kepada sahabat diingatnya dengan sungguh-sungguh
dan hati-hati, dari sinilah para sahabat termotivasi untuk
menghafal hadits beliau. Hal ini disebabkan karena beberapa
alasan: pertama, kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah diwarisinya sejak pra-Islam dan mereka
terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan
spirit melalui doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan
kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan
menyampaikannya kepada orang lain.
2) Perintah Menulis Al-Hadits
Bagaimanapun juga pengetahuan orang Arab tentang baca-
tulis di Mekah lebih banyak dari pada di Madinah. Hal ini
Rasulullah memerintahkan kaum kafir Mekah yang tertawan dalam
perang Badar untukk meenebus dirinya dengan mengajarkan baca-
tulis kepada sepuluh orang anak di Madinah. Sejak Rasulullah
hijrah ke Madinah, orang yang bisa menulis semakin bertambah.
Seorang penulis indah bernama Abdullah bin Sa'id bin Al-Ash
mengajarkan tulis-menulis kepada para peminat di Madinah[20].
Ada dugaan kuat bahwa sembilan masjid pada masa Rasulullah
digunakan untuk sebagai tempat menyebarkan ilmu. Setelah
diketahui berdasarkan sensus, tercatat ada 1500 orang pria
menyatakan dirinya Islam[21].
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terkait
larangan menulis hadits, Rasulullah SAW juga memerintahkan
kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hadits.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra
menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai
kembali oleh Rasulullah SAW beliau berdiri berpidato di
hadapan para manusia. Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba
seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu
Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., ujarnya,
"Ya Rasulullah! Tulislah untukku!" Jawab Rasul, "Tulislah
oleh kamu sekalian untuknya!"[22]
d. Beberapa Sahabat Yang Memiliki Naskah Hadits
Para sahabat dan tabi'in yang mempunyai naskah hadits pada
masa Rasulullah Saw antara lain sebagai berikut.
1) Abdullah bin Amr bin Ash r.a. (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash r.a. adalah salah seorang
sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari
Nabi Muhammad SAW. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-
orang Quraisy, mereka mengatakan, "Apa engkau menulis semua
yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu hanya
manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan
kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?" Atas teguran
tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada
Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, "Tulislah! Demi
Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar
daripadanya, selain hak." (HR Abu Dawud), dan Abu Hurairah
pernah mengatakan: "Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang
haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia
menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya." (Fathul Baari:
1/217).
Rasulullah SAW mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash
untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia
adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut
dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara
langsung dari Rasulullah SAW.
Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak
1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya
sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu'aib
meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila
naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut
bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab
Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-
Tirmizi, dan Sunan Ibnu Majah[23].
2) Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a. (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin
Da'amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya,
"Sungguh, shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-
Baqarah[24]."
3) Human bin Munabbih r.a. (131 H)
Ia adalah seorang tabi'in alim yang berguru kepada
sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari
Rasulullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan
dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah.
Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits[25].
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits
Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak
sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab
sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Perlu diketahui, nash-nash yang melarang menulis hadits di
satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain bukanlah nas-nas yang
saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nas-nas itu dapat
dikompromikan sebagai berikut.
1) Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-
awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur
dengan Al-Qur'an. Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin
semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur'an, maka
hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan perintah yang
membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah
boleh.
2) Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang
perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang
mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari
kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan
salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3) Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang
lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan
menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya,
seperti Abu Syah.
4) Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan kepada
pengusung orientalis yang memiliki anggapan bahwa hadits baru
ditulis pada abad kedua, atau hadits tidak pernah ditulis
pada masa Nabi SAW[26].
2. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafa' Ar-Rasyidin)
Sahabat dalam arti etimologi adalah pecahan dari kata 'shubhah'
yang berarti orang yang menemani[27]. Secara arti terminologi Muhammad
Mahmud Abu Zahwu menjelaskan dalam al-Hadits wa al-Muhaditsun-nya,
menjelaskan bahwa Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi, beriman
kepada ajaran Nabi, dan meninggal dalam keadaan Islam[28]. Ada juga
pendapat lain mengatakan bisa dinamakan Sahabat jika dia berguru
langsung kepada Nabi ataupun mendapatkan pelajaran dari Sahabat yang
mendengarnya. Akan tetapi pembahasan sahabat disini lebih dikhususkan
pada kepemimpinan sahabat yang lima (Khulafaur Rasyidin) sepeninggal
Rasulullah Saw.
Periode ini disebut 'Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-
Riwayah' (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Saw. wafat
pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits yang
harus dipegang dalam seluruh aspek kehidupan umat[29]. Karakteristik
yang nampak pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki
komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam
lembaran- lembaran mushaf, dan dalam hati mereka[30].
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul
SAW. Yang pertama ialah dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasul Saw), dan yang kedua ialah
dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja)[31]. Menurut 'Ajjaj
Al-Khatib, sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan
itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Dalam hal ini Umar bin Khatab
berkata, "Barang siapa yang mendengar hadits Rasulullah kemudian ia
meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, maka orang itu akan
selamat."[32]
Diantara sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan
lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang
membacakan hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah
didengarnya dari Rasul SAW., seperti yang dilakukan terhadap Ubaid ibn
Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits tentang lima
prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan
ketiga. Ibnu Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan
keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW[33].
Jadi, periwayatan hadits dengan cara maknawi akan mengakibatkan
munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan
hadits yang lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan tujuannya sama.
Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat yang meriwayatkan hadits-
hadits tersebut.
Pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar, periwayatan tersebar
secara terbatas. Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum
dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu Umar melarang para
sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan Hadits, dan sebaliknya, umar
menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk
menyebarluaskan Al-Qur'an[34].
Sebenarnya ketika Umar bin Khattab r.a. menjabat sebagai
khalifah, sempat terbesit gagasan untuk membukukan hadits. Namun
beliau terus-menerus mempertimbangkan gagasan ini, padahal sebelumnya
ia berniat mencatatnya. Diriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa
Umar bin Khatab ingin menulis hadits. Ia lalu meminta pendapat kepada
para sahabat Rasulullah dan umumnya mereka menyetujui. Tetapi keraguan
Umar selama sebulan akhirnya melakukan istikharah, memohon petunjuk
Allah tentang rencana tersebut. Suatu pagi, setelah mendapat kepastian
dari Allah, Umar berkata, "Aku telah menuturkan kepada kalian tentang
penulisan kitab hadits, dan kalian tahu itu. Kemudian aku teringat
bahwa para ahli kitab sebelum kalian telah menulis beberapa kitab
disamping Kitab Allah, namun ternyata mereka malah lengah dan
meninggalkan kitab Allah. Dan Aku demi Allah, tidak akan mengaburkan
Kitab Allah dengan sesuatu apapun untuk selama-lamanya."[35]
Penting untuk diketahui pula, bahwa para sahabat dianggap telah
banyak meriwayatkan hadits bila ia sudah meriwayatkan lebih dari 1000
hadits. Mereka itu adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin
Malik, Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan
Abu Said al-Khudri[36].
a. Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits di antara tujuh orang tersebut. Baqi bin
Mikhlad mentahrijkan hadits Abu Hurairah sebanyak 5374 Hadits.
Di antara jumlah tersebut 352 hadits disepakati oleh Bukhari
Muslim, 93 hadits diriwayatkan oleh Bukhari sendiri dan 189
hadits diriwayatkan oleh Muslim sendiri. Menurut keterangan bin
Jauzi dalam Talqih Fuhumi al Atsar bahwa hadits yang
diriwayatkannya sebanyak 5374, tapi menurut al-Kirmani berjumlah
5364 dan barada dalam Musnad Ahmad terdapat 3848 buah hadits.
b. Abdullah bin Umar
Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 2630 hadits. Di
antara jumlah tersebut yang muttafaq alaihi sebanyak 170 hadits,
yang dari Bukhari sebanyak 80 hadits dan yang dari Muslim
sebanyak 31 hadits. Abdullah bin Umar adalah putra khalifah ke
dua yaitu khalifah Umar bin Khattab dan saudara kandung
Sayyidah Hafsah Ummul Mukminin.
c. Anas bin Malik
Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 2286 hadits. Di
antara jumlah tersebut yang muttafaq alaihi sebanyak 168 hadits
yang diriwayatkan Bukhari sebanyak 8 hadits dan yang
diriwayatkan Muslim sebanyak 70 hadits.
Nama lengkap Anas bin Malik adalah Anas ibn Malik bin
an Nadzar bin Damdam bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin
Ghanam bin Addi bin an-Najar al-Anshari. Ia dikenal juga dengan
sebutan Abu Hamzah. Anas bin Malik lahir pada tahun 10 sebelum
Hijrah dan wafat pada tahun 93 H di Basrah. Beliau adalah
sahabat yang paling akhir meninggal di Basrah.
d. Aisyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq (w. 58 H.)
Hadits yang beliau riwayatkan 2.210 Hadits.
e. Abdullah Ibn Abbas (3 SH – 68 H.)
Hadits yang beliau riwayatkan 1.660 Hadits.
f. Jabir Ibn Abdullah (16 SH – 78 H)
Hadits yang beliau riwayatkan 1.540 Hadits.
g. Abu Sa'id Al-Khudri (w. 74 H.)
Hadits yang beliau riwayatkan 1.170 Hadits.
3. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi'in (Akhir Era
Khulafa' Ar-Rasyidin hingga Akhir Abad Pertama Hijriyah)
Periode ini disebut 'Ashr Intisyar al-Riwayah' (masa berkembang
dan meluasnya periwayatan hadits)[37]. Pada masa ini, daerah Islam
sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan
pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan
berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu
hadits[38].
Para sahabat kecil dan tabi'in yang ingin mengetahui hadits-
hadits Nabi Saw diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang
sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah
Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai[39].
Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan
dan lembaga-lembaga hadits di berbagai daerah di seluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha
penggalian, pendidikan, dan pengembangan hadits terdapat di Madinah,
Mekah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan
[40].
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya
Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi
beberapa golongan: Pertama ialah golongan 'Ali bin Abi Thalib, yang
kemudian dinamakan golongan Syi'ah; kedua ialah golongan Khawarij yang
menentang 'Ali dan golongan Mu'awiyah; dan ketiga ialah golongan
jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang
berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh
sebab itulah, mereka membuat hadits palsu dan menyebarkannya kepada
masyarakat.
4. Perkembangan Hadits Pada Abad II Hijriah (Masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz)
Periode ini disebut 'Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin' (masa
penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara
resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.
Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah
banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar,
bahkan masa Nabi Saw[41].
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni
pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H.
Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang
menghimpun hadits dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal.
Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-
buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinan hadits-hadits
tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian
para penghapalnya ke alam barzakh[42].
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah
meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar. Al-Laits, Al-Auza'i, Malik,
Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasul yang
terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir
Rahman bin Sa'ad bin Zurarah bin `Ades, seorang ahli fiqh, murid
`Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadits-
hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq
(107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah
yang tujuh[43].
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur
yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada
ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama
besar yang membukukan hadits atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakar
Muhammad Ibn Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin
yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-
mula membukukan hadits atas anjuran Khalifah[44].
Pembukuan seluruh hadits yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam
Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai
seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits pada masanya. Setelah itu,
para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadits atas anjuran Abu
`Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah
'Abbasiyah[45].
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits,
antara lain:
a. Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
b. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
c. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160
H)
d. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
e. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
f. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
g. Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
h. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
i. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H)
Semua ulama yang membukukan hadits ini terdiri dari ahli-ahli
pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam
abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang termasyhur
di kalangan ahli hadits adalah:
a. Al-Muwaththa', susunan Imam Malik (95 H-179 H);
b. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
c. Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
d. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
f. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
g. Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
h. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
i. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
j. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
m. Mukhtalif Al-Hadits, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah
Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-
Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi,
Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[46]
5. Perkembangan Hadits Pada Abad III Hijriah
Abad ketiga Hijriah disebut dengan Asrut Tajridi wat Tashhili
wat Tanqihi atau puncak usaha pembukuan hadits[47]. Sesudah kitab-
kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' Imam Malik tersebar dalam
masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits,
mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke
negeri lain untuk mencari hadits.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara
mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadits.
Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke
Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir,
Damsyik, Qusariyah, `Asqalani, dan Himsh. Imam Bukhari membuat
terebosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah.
Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab
Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu
menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya
dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya
pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk
mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a. Membahas keadaan para perawi dari berbagai segi, baik dari segi
keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadits yang dha'if
yakni dengan men-tashih-kan hadits
Ulama hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-
hadits yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn
Rahawaih, seorang imam hadits yang sangat termasyhur. Pekerjaan yang
mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-
Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama
Al-Jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-hadits
yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain
yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-
Tirmidzi,dan An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadits yang
dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini
kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk
sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal
dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini antara lain[48]:
"1."Ali Ibnul Madany "8. "Imam Muslim "
"2."Abu Hatim Ar-Razy "9. "An-Nasa'i "
"3."Muhammad Ibn Jarir Ath- "10."Abu Dawud "
" "Thabari " " "
"4."Muhammad Ibn Sa'ad "11."At-Tirmidzi "
"5."Ishaq Ibnu Rahawaih "12."Ibnu Majah "
"6."Ahmad bin Hanbal "13."Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri "
"7."Imam Al-Bukhari " " "
6. Perkembangan Hadits Pada Abad IV hingga Tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H,
yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru
At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jam'i Al-Khash (masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan).[49]
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari
Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang
pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para
penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab,
Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat.
Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'.
Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan
dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari
usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat
dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
a. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
b. At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
c. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
d. Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
e. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
f. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[50]
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini
adalah:
a. Mengumpulkan Hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari dan
Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn
Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad
Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul
Haq Al-Asybily (582 H).
b. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits kitab enam,
adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh
Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan
nama Ibnul Kharrat (582 H).
c. Mengumpukan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits dari
berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam
Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal
Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul
Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
d. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab
'Athraf[51].
7. Perkembangan Hadits Pada Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah
ke XVII Al-Mu'tashim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini
dinamakan Ashru Asy-Sarhi wa Al-Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi 'an
Az-Zawaaid, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan
pembahasan[52]. Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini
adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun
kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab syarh dan
mukhtashar.
Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha
mengumpulkan hadits yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah,
Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih
banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan
hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab
tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-
Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul
fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadits-hadits
yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada
masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits
itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya
Takhrij Hadits Tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi
Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani,
dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-
ulama hadits yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-
Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-
Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan
masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah: Adz-
Dzahaby (748 H), Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-`Ied,
Muglathai (862 H), Al-Asqalany (852 H), Ad-Dimyaty (705 H), Al-`Ainy
(855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-
`Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795
H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-`Iraqy (w. 806 H),
Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).[53]
BAB III
KESIMPULAN
Hadits menurut bahasa berarti sesuatu yang baru, berita, dan dekat.
Secara istilah memiliki beberapa pengertian menurut ulama muhadditsun,
ushuliyyun, dan fuqaha, namun secara garis besar berarti semua yang datang
dari Rasul Saw, baik berupa perkataan, tindakan, ataupun ketetapan beliau.
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Adapun T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy membagi sejarah perkembangan hadits dalam tujuh
periode, antara lain:
1. Masa Rasulullah Saw.
Masa ini disebut dengan 'Ashr Al-Wahyi wa At-taqwin' (masa turunnya
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada masa ini, hadits belum
mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an.
Rasulullah Saw hanya mengizinkan untuk menghafalkan saja, tidak
diperkenankan ditulis seperti halnya Al-Qur'an.
2. Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini disebut dengan 'Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah'
(masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Pada masa ini, para
sahabat memfokuskan kepada kitab Allah (Al-Qur'an) dan memeliharanya
dalam lembaran-lembaran mushaf, dan dalam hati mereka. Sedangkan
hadits hanya sebatas melalui jalan periwayatan, baik periwayatan
lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul Saw) dan
maknawi (maknanya saja).
3. Masa pasca era Khulafaur Rasyidin hingga abad pertama Hijriyah
Masa ini disebut dengan 'Ashr Intisyar al-Riwayah' (masa berkembang
dan meluasnya periwayatan hadits). Para sahabat kecil dan tabi'in yang
ingin mengetahui hadits-hadits Nabi Saw diharuskan berangkat ke
seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadits
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut.
Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan
hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk
mencari hadits pun menjadi ramai. Pada periode ini pula mulai muncul
usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena
motif politik.
4. Masa abad kedua Hijriyah
Masa ini disebut dengan 'Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin' (masa penulisan
dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni
yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Pemerintah
yang dimaksud ialah pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz pada tahun 101 H. Pada masa ini pula muncul para ulama yang
membukukan hadits pertama kali, seperti Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn
Syihab Az-Zuhri, kemudian Imam Malik dengan kitab Al-Muwaththa'-nya,
dan lain-lain.
5. Masa abad ketiga Hijriyah
Masa ini disebut dengan 'Asrut Tajridi wat Tashhili wat Tanqihi'
(puncak usaha pembukuan hadits). Pada masa ini banyak bermunculan para
ulama yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pencarian dan
pengumpulan hadits. Para ahli hadits yang dimaksud ialah seperti Imam
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah,
yang mereka semua dijuluki Al-Ushul Al-Khamsah. Mereka tidak hanya
membukukan hadits, tapi juga melakukan upaya-upaya seperti menyeleksi
hadits dengan memerhatikan sahih-tidaknya hadits, dan membahas keadaan
para perawi hadits.
6. Masa abad keempat hingga tahun 656 Hijriyah
Masa ini disebut dengan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi
wa Al-jam'i Al-Khash (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan
penghimpunan). Beberapa usaha ulama hadits yang terpenting dalam
periode ini adalah mengumpulkan hadits Bukhari Muslim dalam sebuah
kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam, dan mengumpulkan
hadits-hadits hukum.
7. Masa tahun 656 H hingga Sekarang
Masa ini disebut dengan Ashru Asy-Sarhi wa Al-Jami' wa At-Takhriji wa
Al-Bahtsi 'an Az-Zawaaid, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-
tahrij-an, dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan pada masa ini
adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits dan menyaringnya dalam enam
kitab tahrij, kitab-kitab mukhtashar, dan syarh.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Khatib, Al-Ajjaj. 1981. as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Tahawuni, Dzafar Ahmad Utsmani. 1972. Qowa'id al-Ulum al-Hadits. Beirut:
Maktabah al-Mathba'ah al-Islamiyah.
Amin, Ahmad, 1968. Fajar Islam. Terj. Zaini Dahlan. Jakarta: Bulan Bintang.
As-Shalih, Subhi, Cet. 2009. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits: Sebab-Sebab
Sedikitnya Penulisan Di Masa Rasulullah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1973. Sejarah Perkembangan Hadits. Jakarta:
Bulan Bintang,
At-Tahhan, Mahmud. 2007. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Terj. Imam
Ghazali Sa'id. Surabaya: Diantama.
Aziz, Syaikh Muhammad Abdul. 1984. Tarikh Fununul Hadits an-Nabawiyah.
Madinah: Darul Ibnu Katsir.
Azmillah, Safar. 1984. Maqabisi An-Naqd Mutuni As-Sunnah. Riyadh: Mamlakah
Arabiah As-Su'udiyah.
Hadi, Saeful. Tt. Ulumul Hadits: Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara
Komprehensif. Yogyakarta: Sabda Media.
Hasimy, A. 1972. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Razak, Nasruddin. 1973. Dienul Islam. Bandung: Al-Ma'arif.
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung:
Mimbar Pustaka.
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2011. Ulumul Hadits: Sejarah Perkembangan
Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Umarie, Barmawie. 1965. Status Hadits Sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti
Sjamsijah.
Zahwu, Muhammad Abu. 1987. al-Hadits wa al-Muhadditsun. Mesir: Maktabah al-
Misriyah.
Hadits Masa Rasulullah. Dikutip dari situs
http://kickylover.blogspot.com/2010/06/-hadits-masa-rasulullah. Diakses
pada tanggal 13 Pebruari 2017.
-----------------------
[1] Dzafar Ahmad Utsmani al-Tahawuni, Qowa'id al-Ulum al-Hadits, cet III
(Beirut: Maktabah al Mathba'ah al Islamiyah, 1972), hlm. 24.
[2] Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin (Beirut: Darul Fikr, 1971),
hlm. 20.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 5-7.
[4] !"BCDKz{"}~¦²³ÅÈãäåè×Ã×Ã×Ã×®? ®q?]q®?K?hŒ!CJOJQJaJ"h?-
mhŒ!5?CJOJQJ\?aJ&h?-mhŒ!5?CJOJPJQJ\?aJ.hAhmad Amin, Fajar Islam, terj.
Zaini Dahlan (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 267-268.
[5] A. Hasimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972),
hlm. 86.
[6] Syaikh Muhammad Abdul 'Aziz, Tarikh Fununul Hadits an-Nabawiyah
(Madinah: Darul Ibnu Katsir, 1984) hlm. 16
[7] Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung:
Mimbar Pustaka, 2005), hlm. 29.
[8] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), hlm. 14-15.
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits:Sejarah Perkembangan
Hadits, cet.1 (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 34
[10] Saeful Hadi, Ulumul Hadits: Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara
Komprehensif (Yogyakarta: Sabda Media, tt), hlm. 1.
[11] Hadits Masa Rasulullah, dikutip dari situs
http://kickylover.blogspot.com/2010/06/-hadits-masa-rasulullah, diakses
pada tanggal 13 Pebruari 2017.
[12] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits: Sebab-Sebab Sedikitnya
Penulisan Di Masa Rasulullah, Cet 8 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm.
34
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet.1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), hlm. 73
[14] Safar 'Azmillah, Maqabisi An-Naqd Mutuni As-Sunnah (Riyadh: Mamlakah
Arabiah As-Su'udiyah, 1984), hlm. 11
[15] Mahmud at-Tahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Terj. Imam
Ghazali Sa'id, (Surabaya: Diantama, 2007), hlm. XXV
[16] Ibid, hlm. XXV-XXVI
[17] Ibid., hlm. 74.
[18] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc.cit.
[19] Mahmud at-Tahhan, op.cit., hlm. XXVII
[20] Subhi As-Shalih, loc.cit.
[21] Ibid.
[22] Hadits Masa Rasulullah, loc.cit.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] al-Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm. 197.
[28] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Maktabah al-
Misriyah, 1987), hlm. 129.
[29] Endang Soetari, op.cit., hlm. 41-46; Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm.
59-69; Barmawie Umarie, Status Hadits sebagai Dasar Tasjri (Solo: AB. Siti
Sjamsijah, 1965), hlm. 17-18.
[30] Munzier Suparta, op.cit., hlm. 84.
[31] Ibid, hlm. 83.
[32] Ibid.
[33] Ibid, hlm. 84.
[34] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc.cit
[35] Subhi As-Shalih, op.cit., hlm. 36.
[36] Hadits Masa Rasulullah, loc.cit.
[37] Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 43.
[38] Subhi As-Shalih, op.cit., hlm. 53
[39] Ibid, hlm. 53-54
[40] Munzier Suparta, op.cit, hlm. 85
[41] Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 70.
[42] Endang Soetari, op.cit., hlm. 54
[43] Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 71.
[44] Ibid.
[45] Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1973), hlm. 134.
[46] Ibid, hlm. 71-82.
[47] Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 83.
[48] Ibid, hlm. 91-106.
[49] Ibid, hlm. 107
[50] Ibid, hlm. 107-108
[51] Ibid, hlm. 109-112
[52] Umarie, op.cit., hlm. 2; dan Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 113.
[53] Ibid, hlm. 132.