BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernisasi berdampak terhadap kemajuan industri. Industrialisasi
diikuti dengan penggunaan bahan kimia dan mesin-mesin industri.
Lingkungan industri yang mengandung Hazard (potensi bahaya) berpengaruh
terhadap produktivitas tenaga kerja. Potensi bahaya di lingkungan
industri dapat menyebabkan penyakit akibat kerja yang mengenai organ-
organ tubuh tenaga kerja. Salah satu organ tubuh yang terkena adalah
paru tenaga kerja.
Di USA penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit akibat kerja
nomer satu dikaitkan dengan frekuensi, tingkat keparahan dan kemampuan
pencegahannya. Biasanya disebabkan oleh paparan iritasi atau bahan
toksik yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut
maupun kronis. Kebiasaan merokok akan memperparah penyakit tersebut.
Total pembiayaan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja mencapai $
170 milyar pertahunnya. Pada tahun 2002, tercatat 294.500 kasus baru.
Secara keseluruhan 2,5 per 10.000 tenaga kerja berkembang menjadi non
fatal penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja biasanya sulit
disembuhkan akan tetapi mudah dicegah.
Penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit atau kelainan
paru yang terjadi akibat terhirupnya partikel, kabut, uap atau gas yang
berbahaya saat seseorang sedang bekerja. Individu yang bisa terkena atau
menderita penyakit paru akibat kerja adalah semua individu yang tinggal
di sekitar pabrik atau sebagai pekerja pabrik menghirup udara yang sudah
tercemari oleh berbagai polutan yang dikeluarkan oleh pabrik tersebut
selama aktivitas produksi. Respon paru terhadap pencemaran udara nafas
bervariasi karena ada berbagai faktor yang berpengaruh. Faktor tersebut
adalah jenis polutan (gas, asap, debu inorganik dan organik, bahan
toksis dan sebagainya), intensitas dan lamanya paparan, konsentrasi
bahan polutan di udara tempat kerja.
Umumnya penyakit paru akibat kerja berlangsung kronis menetap
kadang-kadang sulit diketahui kapan mulainya, terpapar oleh polutan
jenis apa atau saat bekerja di bagian mana dari tempat kerjannya
mendapatkan paparan. Terlebih bila pekerja merupakan seorang perokok.
Pasien umumnya mengeluhkan sesak nagas, batuk-batuk,mengi, batuk
berdahak. Pasien penyakit paru kerja umumnya mengeluh penyakit paru atau
asma timbul atau makin berat apabila berada di tempat kerja dan
berkurang bila keluar dari tempat tersebut.
Mengingat semakin meningkatnya kasus penyakit paru akibat
kerja dan pentingnya upaya pencegahannya, maka perlu
diketahui epidemiologi penyakit paru akibat kerja. Diharapkan dengan
pengetahuan ini, minimal diketahui macam macam penyakit akibat kerja,
agen penyebab penyakit akibat kerja dan jenis industri tempat timbulnya
penyakit paru akibat kerja dan upaya pencegahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis penyakit akibat kerja paru dan penyebabnya?
2. Bagaimana pembahasan penyakit bronkitis kronis, asbestosis, silikosis,
sick building sindrom?
3. Bagaimana gejala, faktor resiko, diagonosis dan pemeriksaan
penunjangnya?
4. Apa saja program promosi dan pencegahannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa saja jenis penyakit akibat kerja paru dan penyebabnya.
2. Mengetahui pembahasan penyakit bronkitis kronis, asbestosis,
silikosis, sick building sindrom.
3. Mengetahui gejala, faktor resiko, diagonosis dan pemeriksaan
penunjangnya.
4. Mengetahui apa saja program promosi dan pencegahannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jenis Penyakit Akibat Kerja Paru dan Penyebabnya
1. Pneumokoniosis
Penyakit ini diakibatkan penumpukan debu batubara di paru sehingga
menyebabkan munculnya reaksi jaringan terhadap debu tersebut.
Seseorang bisa terkena penyakit ini bila terpapar cukup lama, lebih
dari 10 tahun.
2. Silikosis
Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung
kristalin silikon dioksida atau silika bebas (S1S2). Penyakit ini bisa
terjadi pada berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan silika,
seperti: Pembuat keramik dan batubara, Pekerja tambang logam dan
batubara, Penuangan besi dan baja, Penggali terowongan untuk membuat
jalan, Pemotong batu untuk nisan atau patung, Pabrik semen, Pembuat
gigi enamel, Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya
pabrik amplas dan gelas.
3. Asbestosis
Penyakit ini timbul akibat terhirupnya debu asbes sehingga menyebabkan
penumokoniosis yang ditandai oleh fibrosis paru. Paparan debu asbes
ini bisa terjadi di daerah tambang dan industri serta daerah
disekitarnya yang sudah terpolusi. Pekerja di tambang, transportasi,
penggilingan, pedagang, pekerja kapal, dan pekerja penghancur asbes.
4. Bronkitis Industri
Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari pembakaran arang
batu, semen, keramik, besi, penghancuran logam dan batu, asbes dan
silika dengan ukuran 3-10 mikron akan ditimbun di paru.
5. Asma Kerja
Asma kerja merupakan penyakit yang ditandai oleh sensitivitas saluran
napas terhadap paparan zat di tempat kerja dengan manifestasi
obstruksi saluran napas yang bersifat reversibel. Paparan zat dan
berbagai debu di lokasi kerja dapat menyebabkan asma kerja. Zat pemicu
asma dapat berasal dari kopi, buah jarak, tepung gandum, debu kayu,
dan beberapa bintang speperti anjing, kucing, tikus, kerang, dan ulat
sutra. Selain itu, pemicu asma lainnya adalah zat kimia seperti
isosionat, garam platina, khrom, enzmm seperti iripsin dan papain.
Dapat juga berasal dari obat-obatan seperti pada piperazin,
tetrasiklin, spinamisin dan penisilin sintetik.
6. Kanker Paru
Kanker paru bisa dipicu oleh zat yang bersifat karsinogen seperti
uranium, asbes, gas mustard, nikel, khrom, arsen, tar batu bara, dan
kalsium klorida. Pekerja yang sering terkontaminasi zat-zat tersebut
bisa menderita kanker paru setelah terpapar lama, yaitu antara 15
sampai 25 tahun. Pekerja yang rawan terkena penyekit ini adalah mereka
yang bekerja di tambang, pabrik, tempat penyulingan dan industri
kimia.
7. Exrinsic Allergic Alveolitis
Penyakit ini disebabkan sensitisasi debu-debu organik dari spora jamur
Actinomycetes yg banyak terdapat di pertanian sehingga kerap disebut
denganfarmer lung disease. Letak gangguannya lebih banyak terdapat di
parenkim paru. Keluhan flu merupakan gejala yang sering menyertai
penyakit ini. Diduga mikroba yang hidup di AC dapat menyebabkan
gangguan kesehatan ini.
8. Bisinosis
Bissinosis (Byssinosis) merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan
pekerjaan yang memungkinkan seseorang menghirup debu kapas atau debu
dari serat tanaman lainnya, seperti rami.
B. Faktor Resiko, Gejala, Diagnosis, Pemeriksaan Penunjang Penyakit Akibat
Kerja Paru
1. Bronkitis Kronis
Bronkitis adalah infeksi saluran udara utama paru-paru (bronkus),
sehingga menyebabkannya terjadinya iritasi dan radang. Gejala utama
adalah batuk, yang dapat membawa lendir kuning abu-abu (dahak).
Bronkitis juga dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan nafas berbunyi.
Bronkitis kronis adalah salah satu jenis PPOK (penyakit paru
obstruktif kronik). Tabung bronkial meradang menghasilkan banyak
lendir. Hal ini dapat menyebabkan batuk dan kesulitan bernafas.
Bronkitis ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang
kronik, persisten dan progresif. Infeksi saluran napas merupakan
masalah klinis yang sering dijumpai pada penderita bronkitis kronik
yang dapat memperberat penyakitnya. Eksaserbasi infeksi akut akan
bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya. Eksaserbasi
infeksi akut akan mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping
itu kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap
morbiditas penyakit ini. Penyakit ini berlangsung lebih lama
dibandingkan bronkitis akut, yaitu berlangsung selama 1 tahun dengan
frekuensi batu produktif 3 bulan selama 2 tahun berturut-turut Temuan
utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa bronkus dan
peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang dan
edema pada mukosa sel bronkus. Pembentukan mukosa yang terus menerus
mengakibatkan melemahnya aktifitas silia dan faktor fagositosis dan
melemahkan mekanisme pertahananya sendiri. Pada penyempitan bronkial
lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam
saluran napas.
a. Gejala dan Keluhan
1) Batuk dan produksi sputum atau lendir adalah gejala yang paling
sering biasanya terjadi setiap hari. Intensitas batuk, jumlah
dan frekuensi produksi sputum atau lendir bervariasi. Dahak
berwarna yang bening, putih atau hijau kekuningan.
2) Sesak napas secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan
penyakit. Biasanya, orang dengan bronkitis kronik mendapatkan
sesak napas dengan aktivitas dan mulai batuk.
3) Gejala kelelahan, sakit tenggorokan , nyeri otot, hidung
tersumbat, dan sakit kepala dapat menyertai gejala utama.
4) Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus
atau bakteri.
b. Faktor Resiko
1) Merokok
2) Penurunan imunitas tubuh
3) Terkena iritasi paru-paru
4) Mengalami infeksi saluran pernfasan
5) Terkena paparan polutan di udara
6) Pekerja beresiko
c. Pekerja yang beresiko terkena bronkitis kronik berdasarkan iritan
penyebabnya dilingkungan kerja adalah
1) Amonia (NH3)
2) pekerja beresiko adalah pemadam kebakaran, pekera pabrik pupuk ,
pembakaran polimer sintetik.
3) Arsenik (As)
4) Pekerja beresiko adalah petani (insektisida), pekerja di
produksi battery, dan elecroplanting
5) Klorin (Cl)
6) Pada maintence kolam renang, industri cat, industri textile dan
industri plastic.
7) Sulfur dioksida(SO2)
8) produksi alumunium, baterai,semen, pertanian (pestisida),
pengecoran logam, minyakbumi, tekstil, pulp and paper,dan
keramik.
9) Hidrogen sulfida(H2S)
10) pertanian (debu, asfiksian, dan lain-lain),
pertambangan,produksi baja.
11) Bromin (Br)
12) Pada photographic processing pada industri tekstilberupa proses
printing, dyeing, dan finishing, pada pekerjadengan penggunaan
desinfektan.
13) Ozone (O3)pekerja padapembuatan keramik, pengelasan, pulp and
paper.
14) Debu
15) Penambangan batu bara, pembangunan rumahatau gedung, pabrik
semen, penambangan lainnya, pengecoranlogam, pabrik karet,
pengelasan, dan tempat penghacuran batu,pabrik kapas, dan petani
yang terpajan debu pertanian sepertirami,gandum, dan postasium.
d. Prosedur Deteksi Dini
Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan wawancara pada penderita atau pekerja
mengenairiwayat pekerjaan, pajanan, dan riwayat penyakit. Selain
itu, anamnesis dapat dari datapajanan dan MSDS. Riwayat merokok
merupakan hal yang penting untuk diketahui karenakebiasaan merokok
berkontribusi besar dalam timbulnya penyakit bronkitis kronik.
Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang umum seperti batuk
yang retentif, suara napas yang mendecit, dan juga cyanosis di
bagian lidah dan membran mukosa akibat pengaruh sekunder
polisitemia. Dari postur, penderita memiliki kecenderungan
overweight . Sedangkan melihat dari usia, kebanyakan penderita
berumur 45-60 tahun.
Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan radiologi.
2) Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow
berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus
menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah
3) Pemeriksaan fungsi paru.
4) Terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP
yang normal. Sedang KRF sedikit naik atau normal. Diagnosis ini
dapat ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan (VEP)
volume ekspirasi paksa dalam 1 detik < 80% dari nilai yang
diperkirakan, dan rasio VEP1 : KVP <70%.
5) Pemeriksaan gas darah.
6) Penderita bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi
dengan baik sehingga PaCO2 naik dan PO2 turun, saturasi
hemoglobin menurun dan timbul sianosis, terjadi juga
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
7) Pemeriksaan EKG.
8) Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor
pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)
2. Silikosis
Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,
berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian
mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan
baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi
(mengikir, menggerinda, dll). Debu silika yang masuk ke dalam paru-
paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa
inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silicosis akan
segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan
terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai
dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Bila penyakit silicosis
sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti
dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan
kegagalan kerja jantung. (Susanto, 2009).
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah
pernafasan, tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran
pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata
bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak nafas
hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak
timbul bahkan pada saat beristirahat.
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah
penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai
jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal.
Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis
(Mycobacterium tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3
kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis
akut: Demam, Batuk, Penurunan berat badan, Gangguan pernafasan yang
berat. Komplikasi: Bronkitis, Emphysenic(kembang paru-paru), Kegagalan
jantung berfungsi
Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 μm bila terhirup
akan tertahan di alveolus dan sel pembersih (makrofag) akan
mencernanya. Banyak dari partikel ini dibuang bersama sputum sedangkan
yang lain masuk ke dalam aliran limfatik paru-paru, kemudian mereka ke
kelenjar limfatik. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih
menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada kelenjar,
makrofag itu kemudian berintregasi, meninggalkan partikel silika yang
akan menyebabkan dampak lebih luas. Kelenjar itu menstimulasi
pembentukan bundel-bundel nodular dari jaringan parut dengan ukuran
mikroskopik, semakin lama semakin banyak pula nodul yang terbentuk,
mereka kemudian bergabung menjadi nodul yang lebih besar yang kemudian
akan merusak jalur normal cairan limfatik melalui kelenjar limfe.
Ketika ini terjadi, jalan lintasan yang lebih jauh dari sel yang
telah tercemar oleh silika akan masuk ke jaringan limfe paru-paru.
Sekarang, antibodi baru di dalam pembuluh limfatik bertindak sebagai
gudang untuk sel-sel yang telah tercemar oleh debu, dan parut nodular
terbentuk terbentuk pada lokasi ini juga. Kemudian, nodul-nodul ini
akan semakin menyebar dalam paru-paru.
Gabungan dari nodul-nodul itu kemudian secara berangsur-angsur
menghasilkan bentuk yang mirip dengan masa besar tumor. Sepertinya,
silika juga menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang merupakan
sebab utama dari dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar oleh
organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) penderita
silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
tuberkulosis.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun.
Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat
pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi,
gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.
a. Gejala klinik dan Dasar diagnosis
Silikosis Akut
Terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar,
dalam waktu cepat. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh
cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen
darah yang rendah. Gejala lain yang dapat timbul pada penderita
silikosis akut adalah demam, batuk, dan penurunan berat badan.
Keadaan faal paru adalah restriksi berat dan hipoksemi yang diikuti
oleh kapasitas difusi. Pada kondisi-kondisi ekstrim dapat terjadi
kesulitan bernafas dan batuk kering dalam beberapa minggu setelah
paparan. Dada sesak dan ketidakmampuan bekerja timbul dalam
beberapa bulan, kematian akibat kegagalan pernafasan atau kor
pulmonale mungkin terjadi dalam 1-3 tahun. Pada pemeriksaan
ditemukan gerakan dada yang terbatas, sianosis serta ronchi pada
akhir inspirasi, dan dengan kelainan fungsi paru restriktif serta
berkurangnya pertugas gas. Radiografi memprlihatkan bayangan-
bayangan perifer seperti kapas, yang secara bertahap mengeras dan
menjadi linear. Seringkali bayangan- bayangan ini tidak diketahui
bahkan pada saat otopsi, hal ini karena kematian makrofag dan
reaksi selular seringkali terjadi dalam alveoli tanpa pembentukan
nodul-nodul tipikal. Partikel-partikel silika yang refraktil ganda
yang sangat banyak dalam jaringan paru.
Silikosis Akselerata
Terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan
jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat, fibrosis
masif dan sering terjadi mycobacterium tipikal atau atipik.
Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan
menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal. Biasanya
penderita mengalami gagal nafas akibat hipoksemia.
Silikosis Kronis Simplek
Terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka
panjang (lebih dari 20 tahun). Pemerikaan dengan sprirometri dapat
ditemukan adanya tanda restriksi dan obstruksi paru. Nodul-nodul
peradangan kronis dan jaringan
parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah
bening dada. Pada pemeriksaan spirometri, Kerusakan di paru-paru
bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa
berakibat fatal jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis
(Mycobacterium tuberculosis) karena penderita silikosis mempunyai
resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis. Mekanisme
yang mungkin menyebabkan peningkatan kerentanan penderita sikosis
terhadap tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Partikel Silika yang ditimbun di Alveoli akan dimakan makrofag
tetapi karena efek tosik silika maka makrofag cepat mati dan
partikel Silika akan terlepas ke jaringan ekstraselular. Partikel
silika akan dimakan oleh makrofag lain yang kemudian akan terbunuh
pula.
Silika dengan dosis subletal juga mengganggu kesanggupan makrofag
untuk menghambat pertumbuhan kuman tuberkulosis karena makrofag
adalah faktor utama dalam membuat daya tahan terhadap tuberkulosis
sehingga alasan meningkatnya kerentanan penderita silikosis
terhadap tuberkulosis menjadi jelas
b. Dasar Diagnosis
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 25
Tahun 2008, diagnosis penyakit paru akibat kerja dapat dilakukan
sebagai berikut:
Anamnesis
Riwayat pekerjaan. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang
terus menerus atau "part time" secara kronologis.
Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : bahan yang digunakan
oleh pekerja, bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu.
Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul : waktu antara mulai
bekerja dan gejala pertama, urutan-urutan dan perkembangan gejala,
hubungan antara gejala dengan tugas tertentu, perubahan gejala dan
waktu libur, jauh dari tempat kerja
Keluhan penyakit : Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit
berupa:
Batuk : sifat batuk (kering atau berdahak), waktu batuk
(pagi/siang/malam/terus-terusan), frekuensi, sejak kapan? batuk
selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun peningkatan batuk
selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir Dahak Warna
Jumlah Konsistensi Waktu (pagi/siang/malam/terus-menerus) Sejak
kapan? batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun
peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir. Sesak napas/Napas pendek Ditanyakan sesuai dengan
kriteria sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS)
"0 "Tidak ada "Tidak ada sesak napas "
" " "kecuali exercise berat "
"1 "Ringan "Rasa napas pendek bila "
" " "berjalan cepat mendatar "
" " "atau mendaki "
" "
"2 "Sedang "Berjalan lebih lambat "
" " "dibandingkan orang lain "
" " "sama umur karena sesak "
" " "atau harus berhenti untuk "
" " "bernapas saat berjalan "
" " "mendatar "
"3 "Berat "Berhenti untuk bernapas "
" " "setelah berjalan 100 "
" " "meter/beberapa menit, "
" " "berjalan mendatar "
"4 "Sangat berat "Terlalu sesak untuk keluar"
" " "rumah, sesak saat "
" " "mengenakan/ melepaskan "
" " "pakaian "
Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari
tidur malam
Nyeri dada: Lokasi, Waktu nyeri dada (inspirasi atau ekspirasi),
Deskripsi nyeri dada, Sejak 3 tahun terakhir pernah
mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu
Mengi: Waktu mengi (pagi/siang/malam); Inspirasi/ekspirasi,
Disertai napas pendek atau napas normal, Sejak kapan?
Riwayat Penyakit Dahulu: Ditanyakan tentang adanya penyakit /
keluhan penyakit yang pernah dideritanya berupa: Penyakit-penyakit
lain yang pernah diderita: kecelakaan / operasi daerah dada,
gangguan jantung, bronkitis, pneumoni, pleuritis, TB paru, Asma
bronkial, Gangguan dada yang lain, Hay fever, Dan lain-lain,
Riwayat atopi/alergi.
Riwayat kebiasaan : Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi: Jumlah
rokok yang dihisap 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang
rokok perbulan atau lebih dari 1 batang rokok Jumlah batang rokok /
tembakau perhari / perminggu. Lama merokok: Kurang dari 1 tahun /
lebih dari 1 tahun. Cara mengisap rokok (dangkal/sedang/dalam)
Umur waktu mulai merokok dengan teratur. Jenis rokok: buatan
pabrik / buatan sendiri menggunakan filter / tidak rokok tipe kecil
/ sedang sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak kretek
/ putih Kontinuitas merokok: pernah mengalami / berhenti merokok /
tidak, lamanya jumlah hari selama merokok (jumlah bulan / tahun )
Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun: Ringan: 1 – 200 Sedang: 201 – 600 Berat: >600
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum dan tanda vital, Pemeriksaan pulmonologik, Inspeksi,
Palpasi, Perkusi, Auskultasi,
Pemeriksaan Penunjang
Rutin:
laboratorium: darah, urine
foto toraks: PA dan lateral
spirometri.
Khusus:
- uji alergi pada kulit
- uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di
tempatkerja
- sputum BTA 3x
- Sputum sitologi
- bronkoskopi
- patologi anatomi: biopsi
- radiologi: tomogram, bronkografi, CT – scan
- kapasitas difusi terhadap CO (DLCO)
- uji Cardio Pulmonary Exercise (CPX).
Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru
diperlukan data pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah
terdapat faktor dan bahan-bahan yang menimbulkan penyakit akibat
kerja.
c. Surveilans
Survelans kesehatan paru pekerja dilakukan dengan mengumpulkan data
secara terus menerus, menganalisis dan mengkomunikasikan hasil
analisis untuk rekomendasi perbaikan yang berkelanjutan. Data
surveilans didapat dari pemeriksaan kesehatan, data kunjungan
poliklinik, data pola penyakit, data absensi, data keluhan gangguan
esehatan, dan data lainnya dari Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, berupa:
Deteksi gangguan respirasi berupa batuk, berdahak, dan sesak
menggunakan kuesioner standar dan pemeriksaan fisik, baik akut
maupun kronik
Deteksi gangguan fungsi paru menggunakan tes spirometri
Deteksi kelainan anatomi termasuk fibrosis jaringan paru
menggunakan foto toraks.
Subyek dari surveilans ini adalah pekerja baru, pekerja yang akan
bekerja di lingkungan kerja yang mengandung hazard silika.
3. Asbestosis
Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh akumulasi
pajanan serat asbestos. Gangguan lain yang dapat disebabkan oleh
asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma. Istilah asbestosis
pertama kali dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906
dilaporkan kasus kematian akibat asbestos.
Asbestos adalah kelompok mineral silikat fibrosa dari logam
magnesium dan besi yang sering digunakan sebagai bahan baku industri
tegel lantai dan atap. Asbestos telah dikenal sejak zaman batu dan
makin banyak digunakan setelah masa revolusi industripada akhir abad
ke-19. Produksi asbestos meningkat tajam hingga tahun 1970-an.
Walaupun telah diketahui dapat mengganggu kesehatan, hingga kini
asbestos masih banyak digunakan dalam industri dan konstruksi di
negara berkembang. Negara maju, seperti Amerika Serikat, telah
melarang penggunaan asbestos sejak tahun 1970-an sampai 1980-an.
Walaupun demikian, negara seperti Kanada dan Rusia masih mengekspor
asbestos ke negara maju baru dan negara berkembang seperti negara-
negara di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika
Pajanan terhadap asbestos dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
primer, sekunder, dan tersier. Pajanan primer secara langsung terjadi
pada penambang asbestos. Pajanan sekunder didapatkan pada pekerja
industri yang menggunakan asbestos seperti pada pekerja konstruksi.
Sedangkan Pajanan tersier adalah Pajanan non-okupasi yang disebabkan
oleh polusi udara. Pajanan tersier tidak memiliki risiko yang
signifikan terhadap terjadinya asbestosis.
Dalam studi di Amerika Serikat, asbestosis terdeteksi pada 10%
pekerja penambang asbestos yang bekerja selama 10-19 tahun dan pada
90% pekerja yang telah bekerja selama lebih dari 40 tahun. Sejak tahun
1940 di Amerika ditemukan bahwa antara 8-11 juta orang terpajan asbes
dalam pekerjaannya. Laju kematian asbestosis setelah tahun 1970
cenderung meningkat dan pada negara maju menurun setelah tahun 2000.
Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko terpajan asbes tersebut
antara lain: penyekat asbes, pekerja-pekerja asbes yang terlibat dalam
pertambangan dan proses bahan mentah asbes, ahli mekanik automobil,
pekerja perebusan, ahli elektronik, pekerja pabrik, ahli mekanik atau
masinis, armada niaga, personil militer, pekerja kilang minyak, tukang
cat, pembuat pipa, tukang ledeng/pipa, pekerja bangunan, pembuat jalan
raya, pekerja atap rumah, pekerja lembaran metal, pekerja galangan
kapal, tukang pipa uap, pekerja baja, pekerja di industri tekstil.
Di Slovakia, pajanan lingkungan karena asbes secara praktis
tidak terkontrol. Kontaminasi di dalam rumah/gedung berasal dari
penyekat pipa, dinding tahan api, pintu, cat, beberapa bahan bangunan,
bahan penyekat yang digunakan dibangunan kayu, pipa AC. Sedangkan
kontaminasi luar rumah/gedung berasal dari permukaan dinding, sisa
pembuatan aspal, dan transportasi yang memuat sisa asbes
Saat ini, CDC memperkirakan terdapat 1.290 kematian akibat
asbestosis di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan ratarata usia
penderita sekitar 79 tahun.8 Kematian akibat asbestosis merupakan 28%
dari semua kasus kematian akibat pneumokoniosis.1 Namun, laju kematian
akibat asbestosis seringkali menjadi bias oleh adanya kanker paru dan
mesotelioma.8 Pada studi The Surveillance of Australian Workplace
Based Respiratory Events (SABRE) ditemukan kasus asbestosis sebanyak
10,2% dari 3.151 kasus penyakit paru okupasi.
Asbestosis merupakan salah satu penyakit paru yang disebabkan
oleh pajanan dari serat asbes. Asbes merupakan mineral fibrosa yang
secara luas banyak dipakai bukan hanya di negara berkembang melainkan
juga di negara yang sudah maju seperti di Amerika. Di Amerika asbes
dipakai sebagai bahan penyekat. Terdapat banyak jenis serat asbes
tetapi yang paling umum dipakai adalah krisotil, amosit dan
krokidolit, semuanya merupakan silikat magnesium berantai hidrat
kecuali krokidolit yang merupakan silikat natrium dan besi. Krokidolit
dan amosit mempunyai kandungan besi yang besar. Krisotil terdapat
dalam lembaran-lembaran yang menggulung, membentuk serat-serat
berongga seperti tabung dengan diameter sekitar 0,03 milimikron. Serat
asbes bersifat tahan panas dapat mencapai 800oC. Karena sifat inilah
maka asbes banyak dipakai di industri konstruksi dan pabrik. Lebih
dari 30 juta ton asbes digunakan di dalam konstruksi dan pabrik di
Amerika. Selain itu asbes relatif sukar larut, daya regang tinggi dan
tahan asam (hanya amfibol).
Asbes dapat menjadi kering atau rapuh bila keberadaannya
digangggu (misal: perbaikanpenyekat pipa) atau oleh karena termakan
usia. Akibatnya serat mikroskopis yang tidak terlihat oleh mata
tersebut dapat terpecah dan melayang di udara. Sekali terdapat di
udara, serat asbes akan menetap dalam jangka waktu yang panjang dan
kemudian terhirup oleh manusia yang berada di lingkungan tersebut.
Ukuran dan bentuknya yang kecil menyebabkan serat asbes ini
terperangkap di dalam paru-paru.
Proses patofisiologi asbestosis diawali dengan inhalasi serat
asbestos. Serat berukuran besar akan tertahan di hidung dan saluran
pernapasan atas dan dapat dikeluarkan oleh sistem mukosiliaris. Serat
berdiameter 0,5-5 mikrometer akan tersimpan di bifurcatio saluran,
bronkioli, dan alveoli. Serat asbestos akan menyebabkan cedera sel
epitel dan sel makrofag alveolar yang berusaha memfagosit serat.
Beberapa serat akan masuk ke dalam jaringan intersisium melalui
penetrasi yang dibawa oleh makrofag atau epitel. Makrofag yang telah
rusak akan mengeluarkan reactive oxygen species (ROS) yang dapat
merusak jaringan dan beberapa sitokin, termasuk tumor necrosis factor
(TNF), nterleukin-1, dan metabolit asam arakidonat yang akan memulai
infl amasi alveoli (alveolitis). Sel epitel yang terganggu juga
mengeluarkan sitokin. Gangguan asbestos berskala kecil tidak akan
menimbulkan gangguan setelah infl amasi terjadi. Namun bila serat
terinhalasi dalam kadar lebih tinggi, alveolitis akan terjadi lebih
intens, menyebabkan reaksi jaringan yang lebih hebat. Reaksi jaringan
ini menyebabkan fibrosis yang progresif, yaitu pengeluaran sitokin
profi brosis seperti fibronektin, fibroblast growth factor, platelet-
derived growth factor, dan insulin-like growth factor yang akan
menyebabkan sintesis kolagen.
Orang-orang yang terpajan debu serat-serat asbes dapat tertelan
bersama ludah atau sputum. Kadangkala air, minuman atau makanan dapat
mengandung sejumlah kecil serat tersebut. Sebagian serat yang tertelan
agaknya menembus dinding usus, tetapi migrasi selanjutnya dalam tubuh
tidak diketahui. Setelah suatu masa laten-jarang di bawah 20 tahun,
dapat mencapai 40 tahun atau lebih setelah pajanan pertama, dapat
timbul mesotelioma maligna pleura dan peritoneum. Mekanisme
karsinogenesis tidak diketetahui. Kadang-kadang, serat yang lain,
misal talk yang terbungkus oleh besi-berikatan dengan protein, dapat
menimbulkan badan asbes.
a. Gambaran Klinis
Awitan gejala asbestosis biasanya akan timbul 20 tahun setelah
Pajanan awal. Tanda dan gejala asbestosis kebanyakan tidak khas dan
mirip penyakit paru restriktif lainnya. Gejala paling sering dan
juga merupakan tanda awal adalah munculnya dispnea saat
beraktivitas. Dispnea akan berkembang progresif lambat dalam
beberapa tahun. Dispnea tetap akan memburuk walaupun pasien tidak
lagi terpapar asbestos. Gejala lainnya adalah batuk produktif atau
batuk kering persisten, rasa sesak dan nyeri pada dada, serta
adanya mengi.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan rhonki basal paru bilateral
(pada 60% pasien) yang terdengar pada akhir fase inspirasi. Sering
ditemukan pula jari tabuh (digital clubbing) pada 30-40% pasien dan
pada asbestosis lanjut. Gangguan lain yang perlu diperhatikan
adalah adanya cor pulmonale, keganasan yang terkait asbestosis,
seperti kanker paru, kanker laring, bahkan kanker gaster dan
pankreas.
Pada pemeriksaan fungsi paru akan didapatkan pola restriktif dengan
penurunan kapasitas vital, kapasitas total paru, dan kapasitas
difusi, dengan hipoksemia arterial. Kapasitas vital paksa (Forced
Vital Capacity, FVC) akan menurun <75%. Dapat juga didapatkan pola
obstruktif disebabkan fibrosis dan penyempitan bronkioli.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan histopatologi
Pada gambaran histopatologi dapat diperoleh gambaran parenkim
paru yang kasar hingga adanya gambaran sarang lebah (honey-
comb). Gambaran ini didapati bilateral, sering di lobus
inferior. Secara mikroskopis didapati peningkatan kolagen
intersisial sehigga membuat fibrosis menjadi tebal.
2) Pemeriksaan radiologi
3) Pemeriksaan foto thoraks
Pada pemeriksaan roentgen dapat ditemukan beberapa gambaran
radioopak kecil linier iregular, lebih banyak di basal paru
(Gambar 1). Berdasarkan klasifi kasi ILO (International Labour
Organization) 1980, "gambaran opak kecil iregular" adalah
bayangan linier iregular di parenkim paru dan mengaburkan
gambaran bronkovaskular paru. Selain itu sering pula ditemukan
garis septal, yaitu penebalan fi brosa pada lobul-lobul. Ada
tiga tingkatan gambaran roentgen sesuai dengan perjalanan
asbestosis. Pada tahap awal, dapat diperoleh gambaran pola
retikular pada basal paru, ground-glass appearance, yang dapat
menggambarkan proses alveolitis dan fi brosis intersisial. Tahap
kedua ditandai dengan peningkatan bayangan opak kecil iregular
menjadi pola intersisial yang luas. Pada tahap ini gambaran
dapat mengaburkan batas jantung atau shaggy heart border (Gambar
2). Pada tahap akhir, dapat menjadi pola intersisial kasar dan
honey-comb pada paru atas, namun gambaran ini jarang
ditemukan.3,9 Dahnert menegaskan bahwa dalam pemeriksaan
roentgen jarang sekali ditemukan fi brosis masif; bila ada,
biasanya terjadi di basal paru tanpa pergerakan ke hilus. Tidak
ditemukan adenopati hilum ataupun mediastinal, yang membedakan
asbestosis dengan silikosis atau CWP.9 Selain itu sering
ditemukan pula penebalan pleura berupa plak pleura (Gambar 3)
disertai fi brosis paru, biasanya di lapangan paru bawah,
terutama paru kiri di sekitar parakardial yang menutupi batas
jantung kiri. Selain itu sering ditemukan juga karsinoma
bronkogen. Pemeriksaan roentgen pada asbestosis bersifat non-
spesifi k, yang dapat memberikan tingkatan positif-palsu yang
tinggi. Tingkat keakuratannya berkisar antara 40-90%.
4) Pemeriksaan CT Scan
Pada pemeriksaan CT beresolusi tinggi (High Resolution Computed
Tomography, HRCT) dapat ditemukan asbestosis tahap awal berupa
gambaran opak bulat, kecil, intralobular; septa intralobular
menebal (Gambar 4), adanya garis kurvilinear subpleura (Gambar
5), dan pita parenkimal. (Gambar 6) Penebalan septa menunjukkan
adanya fibrosis. Gambaran honey-comb (Gambar 7) pada fase lanjut
dapat ditemukan, namun jarang. Seperti pada pemeriksaan
roentgen, penemuan radiologis lebih sering ditemukan pada basal
paru.1
Garis subpleura ditemukan 1 cm dari pleura. Biasanya garis
berukuran 5-10 cm dan mungkin menunjukkan fi brosis di daerah
bronkiolar dan atelektasis. Sedangkan pita parenkimal adalah
bayangan opak linear tebal dengan ukuran 2-5 cm, yang melintasi
paru dan menyentuh permukaan pleura. Pita parenkimal berhubungan
dengan distorsi anatomis paru. Selain itu dapat ditemukan pula
gambaran pada pleura, yaitu penebalan pleura yang membentuk plak
pleura. Penebalan ini bersifat bilateral, dan terdapat kalsifi
kasi. (Gambar 8). CT-scan dinilai lebih sensitif mendeteksi
asbestosis dibandingkan dengan radiografi konvensional, terutama
untuk menilai asbestosis awal. Tetapi penemuan pada CT Scan
tidak spesifik hanya untuk asbestosis. Gamsu dkk., menunjukkan
bahwa diagnosis asbestosis memerlukan penemuan tiga macam
gambaran.
5) Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging, MRI)
jarang dilakukan. Bekkelund dkk.(1998) menyebutkan MRI lebih
sensitif dibandingkan radiografi konvensional dalam menemukan
fibrosis subklinis pada 17 pasien. Weber dkk. menemukan
sensitivitas MRI untuk deteksi klasifi kasi plak sebesar 88%;
MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan pleura dan efusi
pleura. Pemeriksaan resonansi magnetik (magnetic resonance
imaging, MRI) jarang dilakukan. Bekkelund dkk.(1998) menyebutkan
MRI lebih sensitif dibandingkan radiografi konvensional dalam
menemukan fi brosis subklinis pada 17 pasien.16 Weber dkk.
menemukan sensitivitas MRI untuk deteksi klasifi kasi plak
sebesar 88%; MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan
pleura dan efusi pleura.
Radiologi nuklir
Pemeriksaan asbestosis dengan pencitraan nuklir pernah dilakukan
dengan Gallium-67, namun sudah tidak dilakukan lagi dengan
adanya CT-Scan. Gallium-67 dapat membantu mendiagnosis
asbestosis pada pasien dengan radiografi normal. Gallium-67
dapat menandakan aktivitas infl amasi karena isotop ini dapat
diambil oleh makrofag alveolar.
c. Diagnosis
Diagnosis asbestosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat Pajanan
asbestos, adanya selang waktu yang sesuai antara Pajanan dengan
timbulnya manifestasi klinis, gambaran dari roentgen thorax, adanya
gambaran restriktif dalam pemeriksaan paru, kapasitas paru yang
terganggu, dan rhonki bilateral basal paru.
4. Sick Building Syndrome (SBS)
Istilah Sindrom gedung sakit (Sick Buiding Syndrome) pertama
dikenalkan oleh para ahli di Negara Skandinavia di awal tahun 1980 –
an. Istilah SBS dikenal juga dengan TBS (Tigh Buiding Syndrome) atau
Nen Spesific Building-Related Symptoms (BRS) karena sindrom ini
umumnya dijumpai dalam ruangan gedung pencakar langit. Sick Building
Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung
atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam
gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus
yang dapat diidentifikasi terhadap penyakit ini. Keluhan dapat timbul
dari penghuni gedung pada ruang atau bagian tertentu dari gedung
tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar pada seluruh bagian
gedung.
a. Gejala dan Keluhan
1) Keluhan SBS yang diderita oleh pekerja antara lain sakit kepala,
iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering,
kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar
berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau
dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakkan keluhan akan
hilang setelah meninggalkan gedung.
2) Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan
berair.
3) Iritasi hidung. Seperti iritasi tenggorokkan, sakit menelan,
gatal, bersin, batuk kering
4) Gangguan neorotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara
umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung,
sulit berkonsentrasi.
5) Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak
nafas, rasa berat di dada.
6) Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal.
7) Gangguan saluran cerna, seperti diare.
8) Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran
kencing.
b. Faktor Resiko
1) Gangguan sistem kekebalan tubuh (imunologik)
2) Ventilasi tidak cukup.
3) Adanya pencemaran zat kimia
4) Adanya zat pencemar biologi seperti bakteri, virus, dan
jamur.
5) Kelelahan
c. Pekerja beresiko
1) Pekerja kantor
Masalah kulit dan masalah pernapasan yang terkait dengan
lingkungan kantor adalah dermatitis dari kertas salinan karbon,
kelembaban; dan rhinitis alergi, asma, dan hipersensitivitas
pneumonitis dari proses cetakan.
2) Pekerja Pembersih Gedung
3) Teknisi Medis Darurat dan Paramedis
4) Tire Building Machine Operators
5) Manufactured Building & Mobile Home Installers.
6) Glaziers
7) Construction Craft Laborers
d. Prosedur Deteksi Dini dan Pemerikasaan Penunjang
Secara umum deteksi dini Sick Building Syndrome berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta dapat dilakukan deteksi kepada lingkungan
seperti Kondisi ruang yang cukup berpengaruh, dapat dilihat dari
:Luas Ventilasi, Kebersihan udara, Pencahayaan, Pencemaran dari
alat atau bahan didalam gedung, Pencemaran yang masuk dari luar
gedung, Pencemaran mikroba, Pencemaran dari bahan bangunan dan alat
kantor, Pencemaran yang tidak diketahui sumbernya, Sistem kerja AC,
Perawatan AC
C. Program promosi dan pencegahannya
1. Program Promosi
Promosi kesehatan ditempat kerja adalah kegiatan yang terkait
dengan pendidikan dan pengorganisasian yang melibatkan organisasi
kerja, dan lingkungan kerja serta keluarga. Sedangkan promosi
pekerja merupakan ilmu dan seni untuk mengubah perilaku pekerja
dari perilaku hidup, perilaku bekerja dan juga lingkungannya untuk
mencapai kesehatan yang optimal agar kinerja dan produktivitasnya
meningkat.
Dalam program promosi kesehatan yang akan dilakukan untuk para
pekerja, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan
penilaian risiko kesehatan (Health Risk Assessment/HRA). HRA
dilakukan untuk mengetahui penyakit utama penyebab kematian dini
pekerja atau penyakit apa yang sering diderita oleh pekerja. Lalu
langkah selanjutnya adalah memberikan umpan balik kepada pekerja
dan mencapai kesepakatan, lalu mengusulkan langkah intervensi yang
akan dilakukan kepada manajemen perusahaan. Lalu juga melakukan
evaluasi dari intervensi yang sudah dilakukan tersebut untuk
menilai kembali risiko kesehatan setelah dilakukan intervensi.
Langkah-langkah tersebut merupakan siklus program rekognisi,
analisis, perencanaan, komunikasi, persiapan, implementasi,
evaluasi dan kontinuitas (RAPKPIEK).
a. Rekognisi
Rekognisi merupakan upaya untuk mengenali risiko-risiko
kesehatan apa saja yang dapat ditimbulkan disuatu area kerja.
Rekognisi sebagai data awal dalam membantu pekerja mengenali
status kesehatannya. Pengenalan risiko kesehatan yang minimal
dilakukan adalah penilaian umum yang mencakup penilaian
kebugaran, stress/emosi dan status gizi. Sementara untuk
penilaian yang komprehensif meliputi pemeriksaan fisik (berat
badan, tinggi badan, tekanan darah), kimia darah (gula darah),
tes reaksi dan pemeriksaan penunjang lainnya.dari pemeriksaan
yang dilakukan didapatkan hasil status kesehatan pekerja secara
individu atau kelompok, antara lain:
1) Status kesehatan pekerja
2) Kapasitas kerja
3) Faktor risiko kesehatan tertentu
4) Identifikasi gangguan kesehatan yang memerlukan penanganan
segera
5) Identifikasi kondisi kesehatan yang merupakan kontra indikasi
dari pemeriksaan selanjutnya
6) Perilaku hidup yang mempengaruhi status kesehatan
7) Aktifitas fisik dalam keseharian
8) Status gizi pekerja
9) Selain informasi diatas, informasi tambahan seperti rekam
medis dari pekerja juga dibutuhkan untuk mengenali risiko
kesehatan yang dimiliki pekerja, bahkan perlu dilakukan
observasi, wawancara atau juga sebar kuesioner.
b. Analisis
Setelah melakukan rekognisi untuk mengenali risiko apa saja
yang mungkin terjadi kepada para pekerja, maka tahap selanjutnya
adalah melakukan analisis. Analisis dibutuhkan untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki pekerja dengan
perilaku pekerja. Analisis dilakukan dengan memfasilitasi
kegiatan saling menukar pengalaman dan ide antar pekerja,
kemudian dilakukan negosiasi tentang kebutuhan promosi kesehatan
di tempat kerja. Negosiasi disini yaitu manajemen bersama-sama
pekerja mempertimbangkan dan menetapkan prioritas berdasarkan
asas manfaat dan kemampuan untuk melaksanakan. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan antara lain adalah besarnya kontribusi
masalah kesehatan terhadap biaya kesehatan, produktifitas
pekerja, cacat yang ditimbulkan, pertimbangan dana yang tersedia
untuk promosi kesehatan di tempat kerja. Setelah
mempertimbangkan hal tersebut, maka dapat menetapkan berapa
jumlah pekerja yang dapat diikutkan dalam promosi di tempat
kerja.
c. Perencanaan
Setelah analisis selesai, maka langkah selanjutnya adalah
perencanaan. Perencanaan dikembangkan berdasarkan:
1) Target perubahan yang ingin dicapai baik bagi perorangan
maupun kelompok
2) Proses menuju target perubahan dikembangkan melalui banyak
cara yang dapat dikombinasikan, antara lain kebijakan
organisasi, kegiatan lingkungan, dan lain-lain
3) Cara penilaian keberhasilan mencapai target dituangkan dalam
desain evaluasi.
4) Ahli K3 sebagai penanggung jawab (sebaiknya professional
kesehatan) mempersiapkan manajemen dengan melakukan advokasi
tentang tujuan dan manfaat kegiatan promosi kesehatan ini.
Keterlibatan pekerja dalam melakukan perencanaan sangatlah
penting karena akan menjadikan tujuan yang kita inginkan dapat
tercapai dengan efektif dan pekerja dapat menerima dengan baik
promosi kesehatan yang akan dilakukan. Perencanaan berupa
proposal awal dirancang oleh professional kesehatan, dengan
mempertimbangkan masukan dari para pekerja dan juga manajemen,
hal ini diharapkan dapat menghasilkan program-program
alternatif yang dapat mendukung promosi kesehatan di tempat
kerja.
d. Komunikasi
Perencanaan yang sudah selesai dilakukan, maka harus
dikomunikasikan ke semua unit kerja yang ada. Program promosi
yang akan dilakukan harus di sosialisasikan kepada seluruh
pekerja agar mendapatkan umpan balik mengenai program yang akan
dilaksanakan. Pesan ini harus tersampaikan dengan jelas kepada
semua pihak agar tidak terjadi miss communication. Pesan yang
disampaikan adalah tentang risiko kesehatan yang ada, tujuan,
manfaat, target, perencanaan, implementasi pengendalian dan
metode evaluasi.
Sementara itu tujuan komunikasi adalah mencapai consensus
dalam penyusunan prioritas program, dan mendapatkan dukungan
dari manajemen puncak, serta melibatkan seluruh jajaran
organisasi dari yang paling tinggi sampai dengan pelaksana.
e. Persiapan
Program promosi kesehatan yang sudah disepakati oleh manajemen
dan wakil pekerja, maka harus dipersiapkan dengan ketetapan yang
sebelumnya sudah disepakati. Menyiapkan kebijakan organisasi dan
komitmen tertulis sebagai landasan program dan juga dipersiapkan
sumber daya yang dibutuhkan seperti sumber daya manusianya,
sarana dan prasarana pendukung program. Berikut merupakan elemen
pendukung dari persiapan program promosi kesehatan di tempat
kerja:
1) Peryataan tertulis tentang tujuan dan target promosi
kesehatan
2) Dukungan dari semua pihak termasuk manajemen dan wakil
pekerja
3) Menyusun tim pelaksana program
4) Koordinasi yang efektif dengan unit kerja lainnya
5) Menyiapkan mekanisme umpan balik dari peserta program sebagai
evaluasi dan perbaikan berkesinambungan
6) Sarana dan prasarana promosi
7) Menyiapkan prosedur baku untuk menjaga kerahasiaan informasi
individu
8) Menyiapkan sistem dokumentasi yang dapat menelusuri segala
kegiatan program
9) Menyiapkan format rekapitulasi dan analisis data yang relevan
10) Menyiapkan fasilitas pendidikan dan pelatihan
f. Implementasi
Tahap ini merupakan tahap dimana program promosi kesehatan di
tempat kerja akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan promosi
kesehatan di tempat kerja minimal dilaksanakan dalam bentuk:
1) Sesi kelompok
Dalam sesi kelompok, para pekerja diberikan penyuluhan
sebagai metode belajar mengajar untuk menyampaikan pesan
promosi kesehatan yang ingin diberikan. Penyuluhan bisa
diselingi dengan pemutaran video, diskusi kelompok, berbagi
pengalaman, role play, dan simulasi.
2) Konsultasi personal atau pendamping
Tujuan dari konsultasi personal adalah untuk mengembangkan
keterampilan individu dalam berperilaku hidup sehat dan
bekerja sehat. Dalam konsultasi personal, para pekerja dapat
menceritakan semua masalah kesehatannya kepada tenaga
kesehatan tanpa harus takut atau malu untuk menceritakannya.
3) Praktik perilaku sehat
Dilakukan dengan melibatkan atau mengikutsertakan peserta
program dalam kegiatan promosi kesehatan di tempat kerja,
misalnya mengikuti senam jantung sehat 3 kali seminggu, makan
makanan yang sesuai akg yang dibutuhkan oleh pekerja yang
disediakan di kantin perusahaan.
4) Metode implementasi yang ingin ditetapkan harus disesuaikan
dengan posisi program promosi kesehatan dalam organisasi,
alokasi sumber daya yang ada, metode pendidikan dan pelatihan
yang akan diterapkan, serta pertimbangan isu praktikal
seperti waktu pelaksanaan, cakupan publikasi/sosialisasi,
insentif, budaya dan etika. Berikut merupakan metode
implementasi yang sering digunakan:
5) Metode implementasi proyek percontohan (pilot project)
Metode ini bertujuan untuk menilai kelayakan program skala
besar melalui uji coba program skala kecil. Antara lain
dinilai apakah data yang diperlukan bisa didapat, apakah
pelaksanaan dapat sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini
untuk menilai besarnya kemungkinan sukses. Untuk itu dipilih
kelompok sasaran yang sesuai.
6) Metode implementasi bertahap
7) Pentahapan implementasi ini berdasarkan berbagai
pertimbangan, yaitu:
a) Jumlah elemen program. Misalnya tahap pertama: program
lingkungan kerja bebas rokok, tahap kedua: program stop
rokok, tahap ketiga: program penurunan berat badan melalui
olahraga, dan seterusnya.
b) Lokasi atau unit kerja. Misalnya tahap pertama: program
untuk pekerja dari bagian kesehatan, tahap kedua disertakan
bagian personalia, tahap ketiga ditambah lagi bagian
keuangan dan bagian logistic, dan seterusnya.
c) Eselon. Misalnya dimulai dari staf kemudian nonstaf, lalu
eselon.
d) Jumlah pekerja. Misalnya jumlah peserta program
ditingkatkan tiap tiga bulan.
8) Metode implementasi sekaligus total program
Metode ini membutuhkan komitmen manajemen atas, dengan
dukungan dana yang besar serta dukungan dari SDM yang ada,
disertai evaluasi jangka panjang 5-10 tahun dan juga evaluasi
jangka pendek untuk menyempurnaan program
g. Evaluasi
Evaluasi selama program promosi kesehatan berlangsung perlu
dilakukan. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi periodik
terhadap pencapaian target. Evaluasi bertujuan untuk menilai
apakah dana yang digunakan sudah efektif dan efisiens, tujuan
program tercapai, selain itu evaluasi ini bertujuan untuk
menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh manajemen dan para
pekerja untuk menentukan kebijakan yang akan dibuat selanjutnya.
h. Kontinuitas
Program yang berkesinambungan dikembangkan berdasarkan apresiasi
termasuk penghargaan bagi pekerja yang berhasil mencapai target.
Bagi yang belum mencapai target, dikembalikan lagi untuk
dikenali masalahnya, kemudian dianalisis, dan seterusnya
mengikuti siklus semula. Dengan demikian program promosi
kesehatan di tempat kerja dapat berjalan terus, berkembang dan
mencapai sasaran.
2. Pencegahan penyakit
a. Pencegahan penyakit asma
1) Memahami penyakit asma yang diderita. Asma bisa terjadi pada
semua golongan dan lapisan usia. Gangguan ini tidak dapat
dihilangkan sama sekali, namun dapat dikendalikan. Seseorang
disebut penderita asma jika ia sedang terserang asma atau
kondisi asmanya tidak stabil sehingga memerlukan obat-obatan.
Beda halnya dengan penyandang asma yang berarti sudah jarang
terkena serangan (asma stabil) dan tidak lagi mengonsumsi
obat-obatan.
2) Kenali berat ringan penyakit. Kita harus mengetahui derajat
atau klasifikasi asma, sebelum melakukan tindakan lebih jauh.
3) Menggunakan obat-obatan yang sudah diresepkan dokter. Obat-
obatan yang sudah diberikan oleh dokter adalah obat-obatan
yang sesuai dengan asma yang diderita. Jadi jangan sekali-
kali mencoba obat asma orang lain, karena asma yang diderita
belum tentu sama.
4) Mengenali dan mencoba menghindari hal-hal yang memicu
kambuhnya asma. Namun jangan hindari berolahraga, meskipun
bisa memicu asma. Berolahraga adalah bagian penting dari gaya
hidup sehat. Berkonsultasi dengan dokter mengenai obat-obatan
yang bisa digunakan untuk mendukung tubuh agar bisa tetap
aktif.
5) Menghindari debu yang berada pada lingkungan kerja dengan
menggunakan masker atau APD yang tepat.
b. Pencegahan penyakit bronkitis kronik
1) Menghindari iritan berupa polusi udara, fume, dan lain-lain
2) Mengurangi pajanan yang ada di lingkungan kerja
3) Menghindari rokok, karena rokok merupakan penyebab utama
penyakit bronkitis kronik
4) Menghindari terkenan infeksi saluran respirasi. Flu yang ada
dapat menjadi predisposisi jika telah terkena penyakit
bronkitis kronik, oleh karena itu cuci tangan dengan sabun
dan air mengalir agar efektif menghindari infeksi virus atau
kuman ke dalam tubuh
5) Surveilans kesehatan dengan pembagian kuesioner secara
periodik
c. Pencegahan penyakit asbestosis
Pencegahan asbestosis menurut ILO pada tanggal 11 sampai 20
Oktober 1983 di Jenewa terdiri dari beberapa metode, yaitu:
1) Pengendalian
Semua tindakan yang melibatkan hal ihwal teknis/ permesinan
(engineering), praktek kerja, dan pengendalian administrasi
yang dapat dilakukan harus diupayakan untuk melenyapkan atau
meminimalkan peluang pekerja terpapar debu asbes di
lingkungan kerja.
Upaya-upaya pengendalian teknis permesinan harus meliputi
pemeliharaan mekanis, pembuatan ventilasi dan rancang ulang
proses yang dimaksudkan untuk melenyapkan, mengisolir atau
mengumpulkan emisi debu asbes dengan cara sebagai berikut:
a) proses separasi, otomasi atau penutupan;
b) Mengikat serat asbes dengan bahan lain untuk mencegah
terbentuknya debu;
c) Secara umum melengkapi semua daerah kerja dengan ventilasi
sehingga udara bersih bisa masuk;
d) Membuat ventilasi lokal untuk seluruh proses kerja, operasi
kerja, perlengkapan dan peralatan kerja untuk mencegah
penyebaran debu;
e) Menggunakan metode basah untuk mencegah terbentuknya debu;
f) Memilah-milah tempat kerja dengan menetapkan tempat-tempat
kerja tertentu untuk proses-proses tertentu.
g) Rancangan dan Instalasi
h) Pembuat mesin-mesin, perlengkapan dan bahan harus
memberikan keterangan mengenai sifat dan tingkat emisi debu
asbes beserta cara pengendaliannya.
i) Kontak tangan langsung dengan asbes atau bahan berasbes
hendaknya dihindari melalui otomatisasi proses atau dengan
menggunakan sistem kendali jarak jauh (remote control).
j) Pengukuran emisi debu asbes dan tingkat paparan debu asbes
yang dialami pekerja harus segera dilakukan begitu
pemasangan mesin dan perlengkapan selesai dilakukan, agar
memenuhi standar yang ditetapkan pihak berwenang.
k) Ventilasi pembuangan udara kotor lokal
l) Ventilasi untuk pembuangan udara di tempat kerja (atau
metode pembuangan lain yang efektif) harus digunakan untuk
operasi-operasi kerja pabrik, seperti misalnya:
m) Proses-proses yang melibatkan penggunaan bahan-bahan
berasbes seperti feeding (kegiatan memasukkan bahan untuk
diolah), conveying (menggiring bahan dengan konveyor),
crushing (pelumatan), milling (penggilingan), screening
(pengayakan), mixing (kegiatan mencampur bahan) atau
bagging (kegiatan memasukkan bahan ke dalam kantong-
kantong).
n) Proses-proses yang dilakukan terhadap kain atau tekstil
yang mengandung asbes seperti carding (proses pencucian,
penyisiran, dan pengumpulan serat tekstil dengan mesin
penyisir serat), spinning (pemintalan), weaving
(penenunan), sewing (kegiatan menjahit) dan cutting
(pemotongan/ pengguntingan).
o) Proses-proses yang melibatkan semen asbes dan bahan friksi
(friction materials) seperti cutting (pemotongan/
pengguntingan), punching (pemakaian mesin pembuat lubang),
drilling (pengeboran), sawing (penggergajian), grinding
(kegiatan menggerinda) atau proses pengolahan lainnya.
p) Semua tipe perlengkapan pengendali debu harus diperiksa
oleh tenaga ahli dengan kompetensi teknis yang handal
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan oleh
pihak berwenang yang menangani bidang ini.
q) Ventilasi untuk seluruh daerah kerja
r) Selain ventilasi yang baik untuk pembuangan udara di tempat-
tempat kerja yang melibatkan penggunaan bahan-bahan
berasbes, ventilasi yang baik juga harus diusahakan untuk
seluruh daerah kerja yang ada untuk menjamin adanya suplai
udara bersih untuk menggantikan udara kotor yang terbuang
dan untuk mengurangi konsentrasi partikel asbes yang ada di
udara.
s) Udara kotor yang terbuang harus disaring secara efisien dan
tidak boleh dimasukkan kembali ke lingkungan kerja, kecuali
bila ketentuan-ketentuan berikut ini dipenuhi:
t) konsentrasi debu asebes yang ada jauh lebih kecil
dibandingkan tingkat paparan dan tidak menaikkan tingkat
paparan yang ada;
u) sistem filtrasi dan ventilasi diperiksa dan dipelihara
secara teratur;
v) kualitas udara selalu dipantau dengan perangkat-perangkat
pemantau yang memadai;
w) proses kerja yang dilakukan telah disetujui oleh pihak
berwenang sesuai dengan kebiasaan nasional yang berlaku.
d. Pencegahan penyakit silikosis
1) Promotif
Penyuluhan tentang penggunaan APD saat bekerja, penyuluhan
mengenai kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan
yang dilakukannya.
2) Preventif
Tindakan preventif yang tepat berupa memperhatikan ventilasi
baik lokal maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan
mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela
serta ventilasi lokal berupa pipa keluar setempat. Pekerja
wajib menggunakan respirator dengan filter yang mampu
mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru. Lalu
melakukan pencegahan terhadap 3 hal yaitu:
a) Pencegahan terhadap sumber
Dengan melakukan isolasi sumber agar tidak mengeluarkan
debu di ruang kerja dengan local exhauster atau dengan
melengkapi water spray pada cerobong asap.
b) Pencegahan terhadap transmisi
Memakai metode basah yaitu dengan penyiraman lantai dan
pengeboran basah (wet drilling). Juga dengan alat berupa
scrubber, elektropresipirator, dan ventilasi umum.
Ventilasi yang baik penting untuk mengeliminasi debu.
Setiap tempat kerja seharusnya memiliki supply udara bersih
untuk mengencerkan atau mengangkut airbone dus.
c) Pencegahan terhadap tenaga kerja
Penggunaan APD yang tepat untuk para pekerja berupa masker
dan juga pemeriksaan rutin berupa medical check up yang
dilakukan oleh perusahaan untuk para pekerjanya sebagai
upaya untuk mendeteksi penyakit yang ada di dalam pekerja.
e. Pencegahan sick building syndrome
1) Pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya sick building syndrome adalah:
2) Keluar gedung ketika istirahat untuk menghirup udara segar.
3) Mesin fotokopi yang diletakan diruangan dengan ventilasi yang
baik.
4) Ruangan khusus untuk merokok dan jalur ventilasi dari ruang
merokok tersebut tidak tercampur dengan sirkulasi udara
lainnya.
5) Buka jendela untuk membantu proses pertukaran udara.
6) Menjaga suhu dan kelembaban ruangan dalam batas dimana
kontaminan biologis sulit bertahan hidup.
BAB III
SIMPULAN
A. Simpulan
1. Penyakit akibat kerja merupakan salah satu potensi bahaya yang ada di
tempat kerja. Dan penyakit akibat kerja yang sering ditemukan adalah
penyakit akibat kerja paru seperti: asma, bronkitis, silikosis,
asbestosis, dan sick building syndrom. Terjangkitnya pekerja terhadap
penyakit akibat kerja paru dikarenakan akibat paparan zat-zat penyebab
yang berada di tempat kerja seperti debu, pasir silikon, asbes, gas
dll.
2. Respon paru terhadap pencemaran udara nafas bervariasi karena ada
berbagai faktor yang berpengaruh. Faktor tersebut adalah jenis polutan
(gas, asap, debu inorganik dan organik, bahan toksis dan sebagainya),
intensitas dan lamanya paparan, konsentrasi bahan polutan di udara
tempat kerja.
3. Masing-masing penyakit akibat kerja paru mempunyai karakteristik yang
berbeda baik dari gejala, penyebab, dan faktor resikonya maka perlu
dilakukan sejumlah pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis karena tiap
penyakit mempunyai penanganan yang berbeda.
B. Saran
Pengetahuan dan pemahaman terhadap penyakit akibat kerja paru harus
lebih ditingkatkan untuk mengurangi insidensi penyakit akibat kerja.
Program pencegahan dan pengendalian penyakit wajib diterapkan oleh semua
perusahaan dan ditaati oleh semua pekerja. Dan diperlukan peran ahli K3
dalam mewujudkan tempat kerja yang sehat dan aman.
Daftar Pustaka
Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the
lung; Recognition, management, and prevention. London: WB Saunders, 7-
24.
Kurniawidjaja, L. Meily. 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta:
UI Press
Kurniawidjaja, L. Meily, Departemen Keselamatan, dan Kesehatan Kerja FKM UI-
Depok. "Program Perlindungan Kesehatan Respirasi di Tempat Kerja
Manajemen Risiko Penyakit Paru Akibat Kerja."
Mangunnegoro, H., & Yunus, F. (1992). Diagnosis penyakit paru kerja. Dalam:
Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor.
Pulmonologi klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 205-14
Meredith S, Blanc PD. (2002). Surveillance: clinical and epidemiological
perspectives. In:
Rahmatullah Pasiyan. 2009. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan Dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publishing FKUI
Susanto, A. D. (2012). Pneumoconiosis. Journal of the Indonesian Medical
Association, 61(12).
Susanto, A., 2009. Silikosis. Jakarta: Bagian pulmoologi dan ilmu
kedokteran respirasi FK UI-RS Persahabatan.
http://promkes.depkes.go.id/asma-bisa-sembuh-total-dalam-lima-tahun/
http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/JURNAL-FKM-UNSRAT-
GRIFFIT-J-BUDIAK-101511216-1.pdf
https://www.academia.edu/8764902/ASBESTOSIS
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_189Sick%20Building%20Syndrome.pdf
http://prodiaohi.co.id/sick-building-syndrome-3
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
Jakarta/documents/publication/wcms_168882.pdf
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/chronicbronchitis.html
http://www.nhs.uk/conditions/Bronchitis/Pages/Introduction.aspx
https://www.hazmap.nlm.nih.gov/search?search_query=Sick+Building+Syndrome+