Perempuan Banjar Dalam Dekapan Penyakit “Kelalah”: Etnik Banjar - Kabupaten Banjar
Astutik S Sulaiman H Wahyudi Dwi Astuti
Penerbit
Unesa University Press
Astutik S, dkk
Perempuan Banjar Dalam Dekapan Penyakit “Kelalah”: Etnik Banjar - Kabupaten Banjar Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email:
[email protected] [email protected] Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xiii, 193 hal., Illus, 15.5 x 23
ISBN : 978-979-028-944-4
copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
ii
SUSUNAN TIM Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis
: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah: 1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala 2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan 4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru 5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan 6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat 7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng 9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke 10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu Raijua, Kab. Tolikara 12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
v
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vi
DAFTAR ISI SUSUNAN TIM ............................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................ DAFTAR ISI. .................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................... DAFTAR TABEL...............................................................................
iii v vii xi xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................ 1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................. 1.3 Tujuan penelitian ......................................................... 1.4 Metode Penelitian ....................................................... 1.5 Sistematika Buku .........................................................
1 1 6 7 7 10
BAB II SEPOTONG CATATAN SEJARAH ORANG BANJAR DI MUARA SUNGAI BARITO .............................................. 2.1.Sejarah Singkat Kabupaten Banjar dan Etnis Banjar ... 2.2. Menuju Rumah Suku Banjar Bakumpai di Tepi Muara Barito ................................................... 2.2.1.Penyeberangan Pertama dengan Kapal Kelotok ... 2.2.2. Mengenal Desa Podok: Kesejarahan dan Perkembangan Kehidupan Masyarakatnya .... 2.2.3.Nilai-nilai Bersama dan Masalah Sosial ............. 2.3. Kehidupan Orang Sungai Desa Podok ....................... 2.4. Kependudukan ............................................................ 2.5. Pola Tempat tinggal .................................................... 2.6. Mata Pencaharian: Masa Tanam, Panen dan Migrasi ....... 2.7. Agama dan Sistem Kepercayaan ................................ 2.7.1. Kepercayaan pada makhluk halus dan Wisa .... 2.7.2.Peringatan Keagamaan: Isra‘ Miraj ................... 2.7.3.Haul dan Berkah Supranatual Tokoh Besar .......
12 12 17 21 23 29 31 37 39 43 47 47 48 50
vii
2.7.4.Upacara Life Cycle ............................................. 2.8 Organisasi Sosial dan Sistem Kemasyarakatan .......... 2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat Sakit ........................... 2.9.1 Konsep Sehat Sakit dan Selamat ...................... 2.9.2 PenyembuhTradisional...................................... 2.9.3 TeknikPenyembuhan ......................................... 2.9.4 Pola Makan: Bahan Makanan, Pengolahan Menu SehariHari ............................................... 2.10 Bahasa Pembentuk Identitas Bersama ..................... 2.11 Kesenian .................................................................... 2.11.1 Seni Tari ........................................................... 2.11.2 Tradisi Beayun untuk Anak.............................. 2.11.3 Musik Panting .................................................. 2.11.4 Kain Sasirangan ............................................... 2.11.5 Kerajinan Lokal Masyarakat Desa Podok ........ BAB III POTRET KESEHATAN MASYARAKAT BANJAR DI DESA PODOK ................................................................ 3.1 Program Pembangunan Kesehatan ............................. 3.2 Gambaran Kesehatan Masyarakat Banjar di desa Podok, Aluh-Aluh ........................................... 3.2.1 Potret Layanan Puskesmas Aluh-Aluh............... 3.2.2 Potret Kesehatan Desa Podok ........................... 3.2.3 Penyakit Menular (PM) dan Penyakit Tidak Menular (PTM) .................................................. 3.2.4 Pola Hidup Bersih dan Sehat ............................. 3.3 Potret Kesehatan Ibu dan Anak di Desa Podok ........... 3.3.1 Layanan Kesehatan Ibu dan Anak di Pustu ....... 3.3.2 Kesehatan Reproduksi Remaja .......................... 3.3.3 Pernikahan Dini ................................................. 3.3.4 Fase Kehamilan: Makna Kehamilan, Punya Anak, dan Masalah Kehamilan...............
viii
51 60 66 66 68 70 76 79 82 82 83 84 85 86
89 89 94 94 97 103 108 114 114 123 124 126
3.3.5 Proses Persalinan: Aktor yang terlibat, Dukungan Keluarga, Masalah saat Bersalin ...... 129 BAB IV PEREMPUAN BANJAR DAN KEPERCAYAAN TERHADAP KELALAH ........................................................ 4.1.Konsep Kelalah Pada Suku Banjar.............................. 4.2. Studi Kasus Kelalah Ibu Pasca Bersalin ...................... 4.3. Penyembuhan Kelalah: Etnomedisin Lokal Orang Banjar ............................................................... 4.4.Kepercayaan dan Kekinian: Kelalah dan Perawatan Kesehatan Modern ............... BAB V PENUTUP ............................................................................ 5.1. Simpulan ..................................................................... 5.2.Rekomendasi ............................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... DAFTAR INDEKS............................................................................. GLOSARIUM .................................................................................. UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................ LAMPIRAN .....................................................................................
137 137 140 146 149 156 156 158 163 167 179 185 186
ix
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12. Gambar 2.13. Gambar 2.14. Gambar 2.15. Gambar 2.16. Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 2.19. Gambar 2.20. Gambar 2.21. Gambar 2.22.
Prasasti Intan dan Masjid Agung Al Karomah ... 14 Peta Kabupaten Banjar...................................... 15 Layanan Puskesmas dan Puskesmas Aluh-Aluh ........................................................... 19 Sampah tersangkut di jembatan ....................... 20 Keberangkatan dan kedatangan penumpang di dermaga Aluh-Aluh ....................................... 21 Deretan rumah tepi sungai dan ucapan selamat datang di desa Podo ............... 22 Infrastruktur jalan desa yang dilapisi galam ..... 26 Jembatan di desa Podok ................................... 29 Alat transportasi kapal kelotok dan sampan .... 29 Peta Desa Podok................................................ 32 Pola pemanfataan lahan di desa Podok ............ 33 Tajuk - alat bertanam padi ................................ 36 Rumah Banjar beratap sirap ............................. 40 Bagian rumah panggung Banjar di desa Podok .................................................... 41 Ani-Ani dan Kompa Banih yang digunakan saat musim panen ............................................. 45 Peringatan Isra‘ Miraj. ....................................... 49 Makam keramat di dusun Sakajara ................... 50 Alat melahirkan dukun bayi - tali haduk dan sembilu. ...................................................... 52 Bahan untuk memandikan bayi ritual mamalas bidan dan seserahan .......................... 53 Ritual betimung dan lulur betimun ................... 56 Struktur Pemerintahan desa Podok .................. . 61 Kegiatan pengajian Burdah Ibu ......................... 62
xi
Gambar 2.23. Gambar 2.24. Gambar 2.25. Gambar 2.26. Gambar 2.27. Gambar 2.28. Gambar 2.29 Gambar 2.30. Gambar 2.31. Gambar 2.32 Gambar 2.33. Gambar 2.34. Gambar 2.35. Gambar 2.36. Gambar 3.1 Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 4.1.
xii
Perawatan anak demam dengan kompres daun kaca piring ................................................ Minyak oles dan jimat ....................................... Ritual Pidarai pada balita .................................. Jimat ranting pacar untuk tolak bala ................ Suasana pasar desa setiap hari Selasa .............. Bahan makanan yang terdapat di desa ............ Alat masak dan tungku kayu ............................. Menu makan sehari-hari (nasi putih, ikan, cacapan) Latihan tarian Gintur dan Tirik Kuala ................ Ayunan anak dari kain ...................................... Musik Panting ................................................... Kain Sasirangan khas Banjar ............................. Kerajinan lokal desa Podok.. ............................. Kerajinan keropok gumbili, tikar bundung, dan bakul bamban ............................................ Dukungan APBD Kab. Banjar untuk sektor kesehatan tahun 2013-2015 .................. Fasilitas Kesehatan Kab. Banjar. ....................... AKI Kab. Banjar tahun 2013-2014 ..................... Antrian Pasien di Puskesmas. ........................... Pustu Desa Podok ............................................. Pembelian obat di pasar Aluh-Aluh. ................. Mandi di sungai dan jamban pinggir sungai ..... Sayuran yang dijual di warung .......................... Kegiatan Posyandu desa Podok ........................ Dukungan suami dalam perawatan anak ......... Bahan dan teknik penyembuhan kelalah .........
67 72 74 75 77 77 78 79 83 83 84 86 87 88 90 91 93 96 98 102 110 111 120 136 147
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 3.5. Tabel 3.6.
Jumlah penduduk kecamatan Aluh-Aluh tahun 2014 ............................................................. Jumlah SDM Kesehatan Kabupaten Banjar............ Data WUS Desa Podok Tahun 2014 ....................... Sasaran PWS KIA Desa Podok Tahun 2014 ............ K1 Ibu Hamil desa Podok tahun 2014 .................... K4 Ibu Hamil desa Podok Tahun 2014 ................... Persalinan Nakes Di Desa Podok Tahun 2014........
37 92 115 115 115 116 117
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan tolok ukur utama keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Kondisi kesehatan masyarakat dapat diketahui dari Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menunjukkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) suatu daerah. Khususnya Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan menurut IPKM 2007 dan 2013, peringkatnya menempati urutan ke-13 dari 13 kabupaten/kota se Kalimantan Selatan. Tahun 2007, IPKM Kabupaten Banjar ada di peringkat 388 nasional dengan skor 0,4008. Tahun 2013 skornya naik menjadi 0,5410 namun peringkatnya justru turun ke peringkat 421 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Salah satu indikator untuk menentukan IPKM adalah pemeriksaaan kehamilan atau Ante Natal Care (ANC). Setiap ibu hamil harus menerima ANC pada trisemester 1 (K1 ideal) hingga trisemester 3 (K4). Cakupan K1 Kabupaten Banjar termasuk bagus, yaitu 95,75% diatas rerata provinsi Kalimantan Selatan sebesar 95,92%, namun tidak diikuti oleh capaian K4 yang hanya 30,91%1. Selisih yang sangat besar antara K1 dengan K4, menunjukkan 64,84% ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal K4. Menurut Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar yang ditemui dalam fase persiapan daerah, penyebab rendahnya cakupan K4 bumil adalah mereka berdomisili mengikuti suami bekerja pada awal kehamilan dan saat melahirkan memilih bersalin di rumah orangtuanya. 1
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI, 2014, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Lembaga Penerbit Balitbangkes, Jakarta.
1
Data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 20142 menyebutkan bahwa AKI di Kalsel sebanyak 105 kasus. Kabupaten Banjar merupakan penyumbang kedua terbesar dengan jumlah kasus kematian ibu sebanyak 16 setelah Kota Banjarmasin. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, eklamsia dan infeksi. Besarnya AKI di Kabupaten Banjar diakui oleh Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar yang ditemui dalam fase persiapan daerah3 yang menyatakan bahwa jumlah kematian ibu dalam 3 tahun terakhir ini terus meningkat. Jumlah kematian ibu tahun 2012 sebanyak 14 kasus, tahun 2013 sebanyak 16 kasus, dan tahun 2014 sebanyak 25 kasus. Meskipun semua program sudah dilakukan, diakui memang belum maksimal. Hal ini bisa dilihat dari cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Banjar (67,23%) adalah paling rendah se Kalimantan Selatan yang rerata provinsi sebesar 83,15%. Persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan juga rendah (22,59%), dibawah rerata provinsi (42,49%) dan nasional (69,99%). Demikian pula angka Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS) (26,01%) yang relatif besar diatas rerata provinsi sebesar 23,03%4. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalsel tahun 2013 sebanyak 727 kasus. Kabupaten Banjar merupakan peringkat ke-3 yang menyumbang jumlah AKB Kalsel dengan jumlah kasus kematian bayi sebesar 90 kasus. Angka gizi buruk di Kalsel sebanyak 139 kasus, dan Kabupaten Banjar termasuk lima besar yang menyumbang didalamnya. Paparan data yang menunjukkan cakupan ANC K1 dan K4 selisihnya jauh berbeda, KEK pada WUS yang tinggi, kurangnya 2
Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2014, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan 3 Wawancara dengan Kasi Kesehatan Keluarga dalam fase persiapan daerah tanggal 19 Maret 2015, lokasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. 4 ibid
2
responsivitas keluarga saat ibu bersalin menunjukkan gejala eklamsia dan tidak segera dibawa ke fasilitas kesehatan atau ditangani tenaga kesehatan disebabkan masyarakat mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit menurut budayanya. Sistem kesehatan merupakan suatu kesatuan dari subsistem sosio-kultural, medis dan lingkungan. Sistem ini merupakan hasil adaptasi evolusi secara biologis dan kultural terhadap ancaman penyakit5. Pemahaman kesehatan yang mendasarkan pada subsistem atau bagian tertentu saja menyebabkan tidak diperolehnya data dan penjelasan secara utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Archer6 yang menyatakan bahwa budaya meliputi fenomena non material dan gagasan. Di satu sisi, budaya merupakan produk keagenan manusia, tetapi pada saat yang bersamaan merupakan bentuk interaksi sosial yang melekat didalamnya. Lebih lanjut Archer menyatakan bahwa, sistem budaya terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan logis satu sama lain. Kedua, sistem budaya mempunyai dampak sebab akibat terhadap sistem sosial budaya. Ketiga, ada hubungan sebab akibat antara individu dan kelompok yang ada di tingkat sosial budaya. Keempat, perubahan di tingkat sosial budaya menyebabkan perubahan sistem budaya. Dengan kerangka ini dapat dilihat dampak yang muncul dari interaksi antara struktur dan kultur di bidang kesehatan. Masih dalam kerangka teori agen dan struktur, Bourdieu memberi hubungan antara habitus dan arena. Ia melihat bagaimana bahasa dan kultur membentuk tindakan manusia. Habitus merupakan struktur mental yang menghubungkan individu dengan dunia sosial. Hal ini merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu
5
Foster&Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,14 6 Margareth Archer, 1988, Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory, Cambridge University Press, Cambridge.
3
disadari, yang dilihat sebagai keterampilan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu sebagai hasil sosialisasi7. Sakit merupakan ketidakselarasan fungsi organ manusia yang akan dicari upaya penyembuhannya dan pencegahannya berdasarkan sistem kesehatan dalam konteks budaya setempat. Dengan kata lain, permasalahan kesehatan masyarakat merupakan interpretasi sosiokultural yang subyektif berdasarkan pengetahuan dan praktekpraktek sesuai kondisi yang melingkupinya. Kondisi seseorang dapat disebut sehat atau sakit apabila sesuai dengan konteks budaya tersebut. Konstruksi budaya mengenai penyakit akan berdampak pada cara masyarakat merespon gejala yang muncul pada tubuh dan upaya pengobatan yang akan dilakukan. Dalam kasus gizi kurang, tidak lepas bagaimana budaya menentukan mana yang disebut makanan, komponen makanan, dan waktu yang diperbolehkan untuk mengkonsumsinya. Sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang dikenalnya. Selain itu, budaya juga mengatur kapan lapar dan apa yang dikonsumsi untuk memuaskan rasa lapar mereka8. Contoh lain misalnya, masih adanya kepercayaan kuat terkait pantang makan. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan superpower yang berbau mistik yang menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut. Berbagai pantangan atau 7
C. Jason Troop and Keith M. Murphy, 2002, Bourdieu and Phenomenology, Anthroplogical Theory, Sage Publication – online version at: http://ant.sagepub.com/cqi/content/abstract/2/2/185; Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama.
8
Foster&Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
4
tabu yang dimaksudkan untuk melindungi kesehatan ibu dan anakanaknya, namun bisa berakibat sebaliknya, yaitu merugikan kondisi gizi dan kesehatan ibu dan anak. Kepercayaan bahwa ibu hamil dan ibu post partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu hamil dan ibu post partum kehilangan zat gizi yang berkualitas. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang tetapi ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan tentunya berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin/bayi9. Hasil temuan Riset Etnografi Kesehatan tahun 2012 dan 2014 di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan terkait budaya kesehatan yang cukup memprihatinkan. Kepercayaan pada hal mistis masih melekat kuat pada budaya kesehatan mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan diganggu roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Selain itu, ibu hamil perlu bekerja keras yang dipercaya memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama melahirkan masih di rumah dan dibantu dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat dan rasa nyaman bersalin di rumah. Pemotongan tali pusat dengan sembilu masih banyak ditemui di beberapa daerah. Pengggunaan ramuan dari tumbuhan baik untuk diminum maupun dibalurkan ke badan dan dimasukkan dalam liang vagina, juga dipercaya mempercepat dan mengeringkan luka di vagina ibu setelah melahirkan. Hasil riset tersebut sebetulnya, selain menggambarkan tantangan juga menggambarkan sejumlah modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat berbagai suku yang bisa digunakan untuk peningkatan status kesehatan masyarakat. Strategi pembangunan 9
Nur Khasanah, 2011, Jurnal Muwazah Vol 3. No. 2, hal. 487-492
5
kesehatan dalam Rencana Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005-2025 antara lain menyebutkan pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi sendiri oleh masyarakat dan kesehatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan harus dimulai dari masalah dan potensi spesifik daerah, termasuk di dalamnya sosial budaya setempat. Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan kesehatan masyarakat tidak lepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya antara lain kepercayaan, pengetahuan, praktek atau perilaku mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Semua faktor tersebut merupakan potensi dan tantangan yang perlu digali, sehingga dalam program intervensi kesehatan, budaya sebagai unsur yang menentukan perilaku kesehatan tidak bisa diabaikan. Penelitian ini dilakukan untuk mempertemukan pandangan rasional dan kearifan lokal yang melahirkan cara-cara inovatif untuk memecahkan permasalahan kesehatan masyarakat. 1.2.
Pertanyaan Penelitian Masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat perlu digali untuk mengetahui permasalahan mendasar sebagai perbaikan atau pemberdayaan budaya yang berdampak positif bagi pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mendalam dan spesifik di daerah dengan etnis tertentu. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana aspek sejarah, geografis dan sosial budaya pada etnis Banjar di desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar berpengaruh pada permasalahan kesehatan meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Menular (PM), Penyakit Tidak Menular (PTM), dan Perilaku
6
Hidup Sehat dan Bersih (PHBS); 2) Bagaimana kepercayaan pantang makanan pada etnis Banjar bagi ibu pasca bersalin selama 40 hari yang mengakibatkan terkena “kelalah” bagi yang melanggar berpengaruh pada status kesehatan ibu?; 3) Bagaimana rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan kearifan lokal untuk perbaikan masalah kesehatan ibu. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) mendapatkan deskripsi ethnografi secara holistik terkait aspek sejarah, geografis, dan sosial budaya terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Menular (PM), Penyakit Tidak Menular (PTM), dan Perilaku Hidup Sehat dan Bersih (PHBS) secara umum, dan masalah kesehatan ibu pasca melahirkan terkait pantang makan secara khusus pada etnis Banjar di desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar; 2) mengidentifikasi pengaruh kuatnya kepercayaan pantang makan pada etnis Banjar bagi ibu pasca bersalin selama 40 hari yang mengakibatkan terkena “kelalah” bagi yang melanggar berdampak pada status kesehatan ibu; 3) menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk perbaikan masalah kesehatan ibu. 1.4.
Metode Penelitian Kajian ini akan mengambil lokasi di desa Podok, kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut Bagian KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar10, dua kecamatan yang hampir tiap tahun selalu menyumbang AKI di kabupaten Banjar adalah kecamatan Aluh-Aluh dan Sungai Rangas. Kedua daerah tersebut merupakan wilayah perairan. Kecamatan Aluh-Aluh merupakan wilayah muara/pesisir laut, sedangkan Sungai Rangas merupakan wilayah sungai. Mayoritas warga disana berkerja sebagai petani dan nelayan. 10
Wawancara dengan Kasi Kesehatan Keluarga Dinkes Banjar dalam fase persiapan daerah tanggal 19 Maret 2015, lokasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
7
Penyebab kematian ibu di dua wilayah tersebut adalah perdarahan dan eklamsia. Kasi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar menyatakan bahwa pola konsumsi juga mempengaruhi kondisi ini. Masyarakat termasuk ibu hamil sering mengkonsumsi ikan asin dan cacapan, dan kurang mengkonsumsi sayur. Masyarakat mempunyai pantangan bahwa ibu yang baru melahirkan pantang makan ikan/daging karena bau darahnya akan amis, dan dianjurkan untuk hanya makan nasi putih dan cacapan11. Pada saat persiapan daerah untuk memilih lokasi penelitian, tim peneliti mengunjungi daerah yang potensial untuk menjadi lokasi penelitian untuk tema KIA. Dari daerah yang dikunjungi, khususnya di Puskesmas Aluh-Aluh, diketahui bahwa di beberapa wilayah kerja Puskesmas Aluh-Aluh masih banyak pertolongan persalinan oleh dukun. Kepercayaan masyarakat pada hal-hal supranatural terkait budaya kesehatan juga masih tinggi12. Dari beberapa wilayah tersebut, desa yang masih memiliki dukun bayi cukup banyak dan penyembuh tradisional cukup banyak adalah desa Podok. Data-data inilah yang menjadi dasar mengapa kajian ini dilakukan di desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar mulai 24 April hingga 26 Mei 2015. Kajian yang dilakukan di desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar adalah untuk mendapatkan gambaran holistik aspek sejarah, geografis dan sosial budaya kesehatan ibu dengan menggunakan metode etnografi. Metode etnografi dipilih karena kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menggali pengetahuan masyarakat yang tersusun dalam sistem pengetahuan tentang sehat, sakit, dan penyakit. Dalam penelitian ini peneliti hidup bersama masyarakat dan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat yang diteliti. Dengan menyentuh orientasi kognitif masyarakat tersebut, 11
Cacapan adalah acar yang terbuat dari bawang merah dicampur dengan garam, vetsin. Rasa asam didapatkan dari air asam jawa atau limau. 12 Wawancara dengan Kepala Puskesmas Aluh-Aluh dan staf tanggal 20 Maret 2015, lokasi di Puskesmas Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar.
8
maka peneliti akan mampu memasuki ceruk-ceruk wilayah kehidupan alami serta aktivitas yang menjadi karakter masyarakat yang diteliti. Sehingga dapat diidentifikasi, diungkapkan, dan dijelaskan sistem pengetahuan masyarakat tentang kesehatan yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan bertindak. Kegiatan penelitian ini dimulai dengan penjajakan situasi dan kondisi lokasi penelitian yang dipusatkan pada pengamatan kondisi masyarakat, ekologi, Puskesmas, Pustu, Posyandu, kelas ibu hamil, yang berlanjut pada pengamatan tematik kesehatan ibu. Data awal akan dilanjutkan pada tahapan wawancara mendalam untuk menggali data kualitatif tentang pemaknaan dan pemahaman sakit, penyakit, dan kesehatan ibu pasca bersalin. Wawancara dilakukan pada informan yang memahami konteks dan terlibat langsung dengan tema yang ditanyakan. Penentuan informan dilakukan secara purposif dengan cara snowball sampling, yaitu mencari suatu informasi dari satu informan ke informan lain yang mengetahui topik dan konteks yang ditanyakan. Dengan teknik snowball sampling peneliti akan menemukan key informant (informan kunci). Wawancara dengan informan kunci dilakukan bukan hanya sekali, tapi berulangkali untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap. Elaborasi dengan teknik probing dalam wawancara digunakan untuk mengeksplorasi informasi yang diperoleh. Triangulasi untuk validitas data dilakukan pada informan yang berbeda baik berdasarkan hasil wawancara maupun observasi dan data sekunder yang didapatkan. Data yang berupa ucapan, cerita, dongeng maupun tuturan dan data observasi ditulis dalam sebuah catatan harian lapangan (fieldnote). Data-data ini merupakan instrumen penting untuk analisis data. Peneliti etnografi perlu membaca dan menganalisis catatan-
9
catatan lapangan untuk mengetahui apa yang akan dicari dalam wawancara berikutnya dan dalam observasi13. Data terkait penyakit dan sakit yang telah terpetakan dari kognisi masyarakat dikoding dan menjadi unit analisis untuk dikategori sesuai dengan yang dipahami oleh masyarakat tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan analisis dan menuliskan narasi sesuai dengan kategori atau tema yang telah ditetapkan. Dalam kategori atau tema yang telah ditetapkan, peneliti akan melakukan thick description berdasarkan catatan harian. Setelah menuliskan thick description pada setiap tema, maka dilakukan analisis holistik atau analisis menyeluruh yang mengaitkan seluruh tema menjadi suatu rangkaian analisis yang menceritakan perekaman peta kognitif masyarakat tentang kesehatan, kondisi sehat dan sakit. Bagaimana seseorang dengan seting budaya tertentu lebih percaya pada kehandalan Puskesmas, dan sebagian lain sangat mempercayai ajaran turun temurun serta keampuhan cara penyembuhan tradisional. 1.5.
Sistematika Buku Buku ini terbagi dalam lima bagian. Bab pertama memaparkan alasan dilakukannya penelitian ini, justifikasi pemilihan lokasi penelitian dan metode penelitian. Bab dua mendeskripsikan daerah penelitian dan paparan budaya masyarakat Banjar. Paparan akan disampaikan mengalir seperti catatan perjalanan ke lokasi, namun tetap dilakukan analisis dalam mengulasnya. Selain paparan daerah penelitian, dalam bagian ini disampaikan juga sembilan unsur budaya dalam kerangka etnografi. Pemaparan ini akan memberikan gambaran dukungan dan tantangan budaya masyarakat etnis Banjar untuk meningkatkan status kesehatan mereka. 13
Emzir, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
10
Bab tiga berisi profil kesehatan. Dalam bab ini dibahas fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah, gambaran kesehatan secara umum dari sisi PHBS, penyakit menular, penyakit tidak menular. Bagian ini juga akan mengulas profil kesehatan ibu mulai remaja, pernikahan dini yang banyak terjadi di lokasi penelitian, makna kehamilan dan masalah kehamilan, proses persalinan dan pasca persalinan. Sebagai penutup bab, bagian ini memaparkan praktek baik mengenai dukungan suami pada istri mulai kehamilan, persalinan sampai dengan perawatan pasca persalinan dan perawatan anak. Bab empat merupakan pembahasan tematik penelitian ini, yaitu tentang pantang makan bagi ibu pasca bersalin, kepercayaan yang melingkupinya, dan dampak bagi status kesehatan ibu pasca bersalin. Analisis terkait pembentukan pantang makan menggunakan analisis agen dan struktur Archer serta teori habitus dari Bourdieu. Bab lima merupakan simpulan yang didapat dari penelitian yang dilakukan, dan rekomendasi dengan pendekatan budaya yang dapat dilakukan terkait dengan temuan di lapangan untuk perbaikan status kesehatan etnis Banjar di desa Podok, Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar.
11
BAB 2 SEPOTONG CATATAN SEJARAH ORANG BANJAR DI MUARA SUNGAI BARITO 2.1.
Sejarah Singkat Kabupaten Banjar dan Etnis Banjar Dalam sejarah bangsa Indonesia, Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan merupakan salah satu kota yang menonjol sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi/perdagangan, dan pemerintahan, baik semasa pra penjajahan, penjajahan maupun pada awal kemerdekaan di Pulau Kalimantan. Tahun 1859 seorang bangsawan Banjar yaitu Pangeran Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda meskipun akhirnya tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil ditumpas oleh Belanda. Kelancaran hubungan dengan Pulau Jawa dalam hal perdagangan, keagamaan, dan politik turut mempengaruhi tumbuhnya pergerakan-pergerakan kebangsaan yang cepat menyebar ke daerah Kalimantan Selatan. Hal ini menjadi wadah untuk menyebarluaskan kesadaran kebangsaan melawan penjajahan Kolonial Belanda. Sampai saat ini kisah-kisah perlawanan terhadap penjajah Belanda di Kalimantan Selatan masih bisa dibaca antar generasi. Kalimantan Selatan beribukota Banjarmasin atau berarti kota seribu sungai. Penamaan tersebut mencerminkan kondisi geografis wilayah ini. Sungai tersebut antara lain adalah Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, Sungai Sampanahan dan sebagainya. Umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal pada pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa serta Selat Makasar. Wilayah provinsi Kalimantan Selatan dibagi menjadi 11 kabupaten dan 2 kota. Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah administratif provinsi ini.
12
Akses menuju kabupaten ini dapat ditempuh dengan jalan darat, jalan air, dan jalan udara. Jalan laut dari pulau lain akan berlabuh di kota Banjarmasin, sedangkan jalan udara mendarat di bandara Syamsudin Noor yang terletak di Kota Banjarbaru. Kota Banjarbaru berada hampir di tengah-tengah antara Kota Banjarmasin dan Kota Martapura – ibukota kabupaten Banjar. Dari pelabuhan kapal laut dan bandara, rute selanjutnya ditempuh dengan jalan darat. Jalan darat dilakukan dengan angkutan umum seperti taksi, bus, atau dengan mobil sewaan. Taksi disini dapat bermakna dua hal, yaitu angkutan umum dengan argo yang dikenal seperti umumnya, dan mobil angkutan umum yang mengangkut banyak penumpang dengan rute jurusan tertentu. Waktu tempuh dengan mobil sewaan dan taksi argo dari Banjarmasin ke Martapura ditempuh kurang lebih satu jam perjalanan. Sedangkan dari bandara Syamsudin Noor di Banjar Baru ke Martapura, ditempuh dengan jarak 20-30 menit. Selama perjalanan darat akan terlihat bahwa provinsi ini sedang membangun dirinya menjadi kawasan yang lebih maju baik secara fisik maupun kemajuan pembangunan lainnya. Hal ini ditandai dengan pembagian wilayah pusat kegiatan pembangunan, misalnya Kota Banjarbaru yang didesain sebagai pusat pemerintahan provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi. Sepanjang perjalanan dari bandara Syamsudin Noor ke Martapura terlihat fasilitas kantor pemerintahan, pusat perbelanjaan, universitas, hotel di Kota Banjarbaru. Kota Martapura sebagai ibukota Kabupaten Banjar didesain sebagai pusat industri dan perdagangan intan nasional, pemerintahan kabupaten, jasa pariwisata nasional, jasa dan perdagangan nasional, kegiatan keagamaan regional dan nasional14. Kota Martapura disebut sebagai kota kecil yang berkilau, karena dikenal sebagai penghasil batu mulia. Berlian dan batu mulia 14
RPJMD tahun 2011-2015 Provinsi Kalimantan Selatan.
13
Martapura dapat dengan mudah ditemukan di pasar berlian dan perhiasan yang dikenal dengan nama Pasar Cahaya Bumi Selamat.
Gambar 2.1. Prasasti Intan dan Masjid Agung Al Karomah (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Selain berjuluk Kota Intan, Martapura yang kental dengan nuansa religiusnya juga dikenal sebagai kota santri dan bahkan disebut “serambi Mekkah” sebagaimana Aceh. Peneliti tidak jarang melihat huruf Arab bersanding dengan huruf Latin pada petunjuk jalan atau beberapa bangunan. Di kota ini terdapat pesantren bernama Darussalam yang telah mencetak banyak santri. Salah satu bangunan yang mewakili kesan religius di kota ini adalah Masjid Agung Al Karomah (sebelumnya Masjid Jami Martapura). Masjid ini merupakan yang tertua dan terbesar di Martapura. Kota Martapura juga memiliki peran penting dalam sejarah karena sempat menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam 1825-1857. Nama Martapura konon diberikan oleh Sultan ke-4 Banjar, Sultan Mustain Billah pada 163015. Kabupaten Banjar secara administratif terbentuk pada tahun 1950. Kabupaten ini terbagi atas 19 kecamatan, 277 Desa dan 13 Kelurahan. Dengan luas wilayah ±4.668,50 Km2, merupakan wilayah terluas ke-3 di Provinsi Kalimantan Selatan setelah Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu. Wilayah Kabupaten Banjar 15
http://www.indonesia.travel/id/destination/925/martapura
14
sebagian besar terdiri dari dataran rendah/rawa, dataran tinggi hanya disekitar pegunungan Meratus. Dengan kontur tanah yang rendah dibawah permukaan laut, menyebabkan aliran air pada permukaan tanah menjadi kurang lancar. Akibatnya sebagian wilayah selalu tergenang (29,93%) sebagian lagi (0,58%) tergenang secara periodik16.
Gambar 2.2. Peta Kabupaten Banjar (sumber: Kabupaten Banjar Dalam Angka, 2014, BPS Kab. Banjar)
Dari sisi etnisitas, mayoritas penduduk Kabupaten Banjar berasal dari etnis Banjar. Selain etnis Banjar terdapat pula suku Jawa, Madura, Sunda, dan suku lainnya (misalnya Bugis di daerah pesisir dan Dayak di daerah hutan dan pegunungan Meratus). Dengan kondisi alam yang demikian dan ragamnya etnisitas didalamnya, tentunya ragam permasalahan kesehatan di kabupaten ini juga bervariasi, terutama kesehatan ibu. Orang Banjar. Penjelasan sejarah orang Banjar didapatkan berdasarkan pada literatur yang ada. Secara entitas, suku Banjar merupakan suku mayoritas (hampir 90%) yang mendiami provinsi Kalimantan Selatan. Dominasi etnis mayoritas ini baik dalam bidang 16
BPS Kabupaten Banjar, 2014, Kabupaten Banjar Dalam Angka tahun 2014.
15
ekonomi, politik maupun budaya, yang secara historis dimulai sejak berdirinya kerajaan Banjar pada abad XVI. Kerajaan Banjar bercorak maritim dengan perekonomian berbasis pada perdagangan dan menjadikan Islam sebagai identitas resmi negara17. Penetapan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan Banjar membuat warga yang beragama Hindu, Budha, Kaharingan dan penganut agama yang lainnya berpindah keyakinan atau berpindah tempat tinggal menjauhi pusat pemerintahan. Proses perpindahan keyakinan warga non Muslim ke Islam dan membangun pusat kerajaan baru di Banjarmasin tidak lepas dari bantuan kerajaan Demak di pantai utara Jawa18. Dalam proses berabad-abad, perpindahan keyakinan itu juga diikuti dengan meninggalkan bahasa Dayak dan menggunakan bahasa Banjar, serta melakukan perkawinan dengan suku di luar Dayak. Orang Dayak yang menganut Islam dan berbahasa Banjar serta hidup di bawah kerajaan Banjar lambat-laun mengidentifikasi dirinya sebagai orang Banjar. Pengecualian terjadi pada suku Bakumpai, Baraki, dan Barangas, yang meskipun telah memeluk Islam dan menggunakan bahasa Banjar, tidak mau disebut sebagai orang Banjar, namun tetap sebagai orang Bakumpai, Baraki, dan Barangas19. Mereka yang tidak berpindah keyakinan ke Islam dan tidak berbahasa Banjar tetap disebut Dayak, dan disebut dengan nama suku aslinya seperti Balangan, Barito, Meratus, Halong, Ngaju, Ot Danum, Siang, dan
17
Alfisyah dan Mahendra Utama, (tanpa tahun), Kajian Awal Tentang Agama Islam Orang Pahuluan dan Fungsinya sebagai Basis Pembentukan Harmoni Sosial. 18 ibid 19 Tadjudin Noor Ganie, 2010, Asal-Usul Orang Banjar. Catatan peneliti: masyarakat di lokasi penelitian ini yaitu desa Podok mengidentifikasi dirinya sebagai orang Dayak Bakumpai Berangas.
16
lainnya20. Hal ini berarti bahwa secara genetik bisa dikatakan bahwa orang Banjar adalah orang Dayak yang memeluk Islam. Proses perpindahan keyakinan tidak hanya menggeser identitas etnisitas, penggunaan bahasa dan agama. Namun juga membuat identitas budaya tidak lagi tunggal dan murni, semuanya hybrid, heterogen dan tidak monolitik. Artinya, dalam proses ini terjadi peleburan nilai-nilai dan praktek budaya yang saling mempengaruhi antara budaya Banjar dan budaya Dayak. Pasca runtuhnya kerajaan Banjar pada tahun 1905, menyebabkan istilah orang Banjar tidak lagi digunakan sebagai kesatuan politik, namun mengerucut menjadi kesatuan suku sebagai suku Banjar21. Budayanya pun dikenal sebagai budaya suku Banjar, meskipun jika dirunut asal-usulnya ada pertautan dengan etnis lain di Kalimantan. 2.2. Menuju Rumah Suku Banjar Bakumpai di Tepi Muara Barito Desa yang menjadi lokasi kajian ini adalah desa Podok yang terletak di kecamatan Aluh-Aluh, yang ditempuh dengan jalan darat selama 1,5 jam dari kota Martapura. Tim peneliti berangkat dari penginapan di Banjarbaru memilih rute yang sama seperti saat proses persiapan daerah, yaitu dengan memilih rute melewati kecamatan Gambut sebagai satu-satunya akses ke Aluh-Aluh. Kondisi jalan yang pada saat fase persiapan daerah terlihat banyak berlubang, sekarang tidak terasa lagi. Sepanjang jalan kecamatan Gambut, jalanan terasa mulus, karena lobang telah diuruk material pasir dan batu, serta diaspal, meskipun hanya aspal yang tipis. Peneliti mengira bahwa perbaikan jalan ini terkait dengan perhelatan Pilkada baik Gubernur Kalsel maupun Bupati Banjar yang 20
Alfisyah dan Mahendra Utama, (tanpa tahun), Kajian Awal Tentang Agama Islam Orang Pahuluan dan Fungsinya sebagai Basis Pembentukan Harmoni Sosial; Tadjudin Noor Ganie, 2010, Asal-Usul Orang Banjar. 21 ibid
17
akan dilakukan pada tahun ini. Hal ini nampak dari beberapa poster foto bakal calon yang akan maju sebagai Gubernur dan Bupati, termasuk wakil Gubernur yang akan maju sebagai salah satu calon. Nampaknya perbaikan jalan di kecamatan Gambut sudah selesai, asumsi ini dirasakan oleh peneliti ketika memasuki Kecamatan Aluh-Aluh dimana proses perbaikan masih belum selesai. Peneliti merasakan jalanan masih berlubang. Tumpukan material menggunung di sepanjang bahu dan badan jalan. Beberapa kali mobil yang kami tumpangi menghindari tumpukan material tersebut. Tidak terlihat upaya dari warga atau aparat desa untuk meminggirkan material atau mengaturnya agar material tersebut tidak mengganggu kendaraan dan orang yang lewat. Sepanjang perjalanan dari kecamatan Gambut ke kecamatan Aluh-Aluh, peneliti mengamati kondisi sungai yang dilalui. Tidak ada yang berubah dalam hal pemanfaatannya, yang berubah adalah volume air yang menyusut karena hujan absen turun beberapa hari di akhir April 2015 ini. Volume air sungai yang menyusut, menyebabkan sampah terlihat banyak mengapung di permukaan sungai, namun orang tetap mencuci, mandi, buang air besar disitu. Mobil yang ditumpangi oleh tim peneliti telah sampai di Puskesmas Aluh-Aluh. Sama seperti saat pertama kali mengunjungi Puskesmas ini yang dilakukan pada hari Jumat, saat memulai pengumpulan data juga dilakukan di hari Jumat. Hari Jumat merupakan hari pasar bagi masyarakat Aluh-Aluh. Mobil yang kami tumpangi yang bagian belakangnya penuh dengan barang-barang yang dibawa ke lapangan, diparkir sekitar 50 meter dari Puskesmas. Jalanan nampak penuh oleh pedagang dan pembeli. Barang yang dijual bervariasi mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti beras, sayur, bumbu, ikan, daging, buah sampai dengan alat-alat rumah tangga, perlengkapan HP dan elektronik. Aktivitas pasar ini berakhir jam 11, seiring dengan cuaca yang mulai panas dan waktu untuk persiapan sholat Jumat.
18
Puskesmas nampak penuh dengan pengunjung di hari pasar ini. Setelah menyampaikan surat dan menjelaskan proses pengumpulan data, serta rencana menyeberang ke desa Podok, kami dibantu oleh salah satu tenaga Puskesmas untuk mencari kapal kelotok yang membawa kami menyeberang dari Aluh-Aluh ke desa Podok. Menurut staf Puskesmas, kapal kelotok siap setelah sholat Jumat, sekitar jam 14 WITA untuk membawa kami menyeberang.
Gambar 2.3. Layanan Puskesmas (kiri) dan Puskesmas Aluh-Aluh (kanan) (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Sambil menunggu kapal kelotok, kami menemui Camat AluhAluh untuk perizinan dan meminta sekilas informasi terkait kecamatan ini. Informan menyatakan bahwa luas wilayah kecamatan ini adalah 82,48 km2. Secara historis terbentuknya Aluh-Aluh ini sudah lama sebelum kemerdekaan, namun secara administratif terbentuk tahun 1943 yang masuk dalam Karesidenan Banjarmasin (sekarang menjadi Kota Banjarmasin). Dengan terbentuknya Kabupaten Banjar tahun 1950, maka Aluh-Aluh masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Banjar di tahun yang sama. Jumlah desa di kecamatan ini sebanyak 19 desa, dan 12 desa diantaranya merupakan desa yang terletak di wilayah pesisir sungai dan pantai. Proporsi banyaknya desa yang terletak di pesisir, tidak terlepas dari letak kecamatan Aluh-Aluh di muara Sungai Barito menuju Laut Jawa. Kecamatan ini merupakan satu-satunya wilayah pesisir di Kabupaten ini. Etnisitas mayoritas
19
masyarakat Aluh-Aluh adalah suku Banjar, meskipun ada suku lain seperti Bugis.
Gambar 2.4. Sampah tersangkut di jembatan (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Letak wilayah Aluh-Aluh yang di pesisir sungai, menyebabkan persoalan infrastruktur menjadi penting, terutama infrastruktur jalan dan jembatan. Ketika air pasang dan musim hujan mengakibatkan banjir, banyak sampah yang tersangkut di jembatan atau teronggok di jalan. Kondisi seperti ini akan merusak jalan serta jembatan. Infrastruktur pendidikan yang dimiliki kecamatan ini adalah SD di semua desa, SMP dan MTS hanya berjumlah sembilan sekolah, termasuk SD SMP Satu Atap, dan dua sekolah level menengah atas, yaitu satu SMA dan satu MAN. Menyadari hari semakin siang, kami pamit untuk menunggu kapal kelotok yang akan membawa kami menyeberang ke lokasi penelitian. Tim menunggu datangnya kapal kelotok dengan beristirahat di rumah dinas dokter Puskesmas yang sudah beberapa bulan tidak ditempati. Kondisi rumah dinas dokter Puskesmas AluhAluh masih cukup bagus. Bangunan tersebut bergaya rumah panggung dengan bahan kayu. Keadaan di dalam rumah dinas nampak sangat kotor. Terlihat bekas infus, obat, plastik, kertas yang tidak terpakai
20
dan berserakan. Kami menyapu sebagian ruangan dan menggelar karpet untuk duduk menunggu kapal kelotok datang menjemput. 2.2.1 Penyeberangan pertama dengan Kapal Kelotok. Pukul 14.10 WITA kapal kelotok baru datang. Pak Sarbi pengemudi kapal kelotok menyatakan tidak mudah mencari kapal kelotok yang ukurannya cukup besar untuk mengangkut orang dan barang-barang yang cukup banyak. Menurut Pak Sarbi, kami akan menyeberang kira-kira sekitar 40 menit dari dermaga Aluh-Aluh ke desa Podok.
Gambar 2.5. Keberangkatan dan kedatangan penumpang di dermaga Aluh-Aluh (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Pada saat kami menyeberang air sungai sedang pasang tinggi. Pak Sarbi, mengemudikan kapalnya dengan pelan. Beberapa kali kapal kelotok agak oleng, karena derasnya arus air pasang. Sepanjang perjalanan kami bertiga terlihat tegang. Dalamnya sungai dan barangbarang serta alat yang kami perlukan untuk penelitian seperti laptop, kamera, handycam, perekam serta data dalam bentuk soft file membuat kami kuatir jika kapal oleng dan barang-barang tercebur ke sungai. Melihat ketegangan kami, Pak Sarbi mengambil jalur sungai, sambil bercerita tentang lingkungan sekitar ini. Pak Sarbi, mengemudikan kapal mendekati Pulau Kaget, pulau yang hanya dihuni oleh bekantan, monyet kecil, dan burung-burung. Pulau Kaget berlokasi sebelum Desa Podok dan masuk dalam wilayah Kabupaten
21
Barito Kuala. Kami merasa lebih tenang karena sudah sampai Pulau Kaget, yang berarti kami sudah dekat dengan desa Podok.
Gambar 2.6. Deretan rumah tepi sungai (kiri) dan ucapan selamat datang di desa Podok (kanan) (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Hal menarik adalah kami kembali melihat deretan rumah panggung di tepi sungai, beberapa orang yang beraktivitas di sungai, dan ucapan selamat datang di desa Podok yang dipasang di salah satu jamban warga yang terletak di pinggir sungai. Kapal kelotok segera bersandar di dermaga. Kami bersiap-siap menurunkan barang-barang bawaan. Kebetulan tempat kami berlabuh adalah di belakang rumah Ma Haji - pemilik rumah yang akan kami kontrak selama proses pengumpulan data. Melihat tim membawa banyak barang, beberapa warga yang kebanyakan adalah saudara Ma Haji membantu mengangkat barang-barang tersebut ke rumah kontrakan. Pak Sarbi ikut membantu kami mengangkat barang. Sampai sore, cukup banyak warga yang bertamu ke rumah dan mengucapkan selamat datang, termasuk Pembakal (Kepala) desa. Melihat sambutan yang hangat, membuat kami yakin bahwa proses pengumpulan data akan berjalan lancar.
22
2.2.2. Mengenal Desa Podok: Kesejarahan dan Perkembangan Kehidupan Masyarakatnya Informasi mengenai asal-usul desa ini hanyalah mengandalkan cerita lisan generasi tua, tidak ada catatan resmi yang mencatat hal tersebut. Desa ini terbagi dalam tiga dusun, yaitu Podok Darat, Podok Tengah, dan Sakajarak Sakamangkok. Desa yang berbatasan langsung dengan desa ini adalah desa Terapu. Sesepuh desa Podok H. Rahman atau dikenal sebagai Kai (kakek) Rahman menceritakan bahwa di Podok ini asalnya hanyalah tujuh rumah yang akhirnya berkembang menjadi satu desa. H. Nanang, anak informan yang juga hadir menambahkan bahwa asal orang Podok adalah orang bahari Bakumpai dari Banjarmasin utara22. Orang bahari ini yang membentuk Podok dan Aluh-Aluh. Tujuan awal tujuh keluarga ini ke daerah Podok adalah untuk mencari daun nipah yang dianyam sebagai atap rumah. Lama-kelamaan karena banyak lahan nipah ditebang, maka lahan pertanian terbuka. Keberadaan lahan pertanian ini menjadikan tujuh rumah tangga ini memutuskan tinggal di Podok. Tujuh rumah awal ini terletak di tepian sungai di dusun Podok Tengah. Sehingga asal masyarakat Podok saat ini adalah dari dusun Podok Tengah. Sedangkan masyarakat di dusun yang lain yaitu Podok Darat adalah perluasan dari Podok Tengah. Dusun Sakajarak serta Sakamangkok merupakan masyarakat pendatang yang umumnya beretnis Bugis23. Kata Podok, menurut H. Nanang, berasal dari deretan atapatap pondok (rumah) yang berjejer di sepanjang sungai. Sedangkan nama Aluh-Aluh berasal dari kata lebu kuning/labu kuning – yang 22
Orang Bahari ini dimaknai sebagai suku Dayak pantai/pesisir. Wawancara dengan Diham, informan yang juga berprofesi sebagai penyembuh tradisional di desa Podok mengatakan bahwa asal-usul orang Podok adalah orang bahari atau Dayak pantai, yaitu Dayak yang masuk Islam. 23 0205CLW-H. ADR dan H. ANK
23
dalam bahasa lokal disebut juga sebagai waluh. Jadi asal-usul AluhAluh adalah kampung waluh, karena banyak tanaman waluh di daerah tersebut. Penyebutan kampung waluh menjadi kampung Aluh-Aluh24. Asal-usul penamaan Aluh-Aluh dan Podok memang banyak versi, menurut adik H. Nanang25 yaitu H. Miftah yang bertemu dengan peneliti saat naik kapal kelotok untuk menyeberang ke kecamatan menceritakan bahwa kata Aluh-Aluh itu berasal dari nama ikan yang besar yang bernama Haluh-Haluh. Karena yang tinggal di Podok adalah orang bahari Bakumpai atau Dayak Muslim, yang terucap adalah Aluh-Aluh. Orang Bakumpai atau orang bahari – demikian informan menceritakan – adalah penduduk Podok, yang sebagian kecil juga menghuni Aluh-Aluh. Aluh-Aluh saat itu masih sunyi dan belum ada penghuni. Informan mengatakan bahwa yang menghuni awal mula Aluh-Aluh adalah orang Bakumpai asal Podok. Dari keterangan informan, penduduk asli Aluh-Aluh adalah orang Podok, yang etnis aslinya adalah etnis Dayak Bakumpai yang masuk Islam. Lebih lanjut, menurut H. Miftah, asal penamaan Podok ada 2 versi, yaitu: a. Masyarakat awal Podok pernah melihat makhluk yang tidak kasat mata yang terlihat seperti orang yang duduk. Penglihatan masyarakat atas makhluk tidak kasat mata yang duduk ini sering terjadi. Kata “Puduk” bermakna orang yang sedang duduk. b. Atap dari daun nipah yang dianyam dan ditumpuk. Kata “tumpukan” dalam bahasa Bakumpai disebut dengan “Podok”. Dari dua versi asal penamaan desa, kebanyakan masyarakat lebih mengenal nama Podok dari tumpukan atap daun nipah yang dalam bahasa Bakumpai disebut dengan “Podok”. Penamaan daerah di desa ini juga mengikuti kondisi geografis, misalnya Sakajarak, Sakamangkok. Saka berarti sungai kecil. Sakajarak 24 25
0205CLW-H. ADR dan H. ANK Wawancara H. MS tanggal 1 Mei 2015, lokasi di kapal kelotok menuju Aluh-Aluh.
24
dan Sakamangkok berada berdampingan dalam satu daratan, namun berbeda aliran anak sungai. Menurut informan Diham, sungai di Podok dulu kecil dan tidak lebar. Hanya dapat dilalui oleh perahu kelotok kecil atau jukung (sampan tanpa mesin), namun kurangnya tanaman pelindung di pinggir sungai akhirnya tergerus erosi dan menjadi semakin lebar26. Menurut pengamatan peneliti lebar sungai lebih dari 10 meter. Perkembangan desa ini terlihat pelan, meskipun dalam dua puluh tahun terakhir terjadi perkembangan jumlah penduduk dan pola permukiman. Menurut Ahmad, informan yang telah berdomisili selama 30 tahun di desa ini menyatakan, 30 tahun yang lalu rumahrumah penduduk belum banyak seperti saat ini dan letaknya berjauhan. Jumlah totalnya pun bisa dihitung dengan jari. Semua rumah tersebut terletak di pinggir sungai. Jalan desa juga belum ada, karena tidak ada rumah penduduk yang terletak jauh dari pinggir sungai. Untuk pergi ke rumah tetangga dan tempat lain yang agak jauh, warga menggunakan kapal kelotok dan jukung/sampan. Saat informan pindah ke desa ini, bangunan SDN 1 Podok sudah ada, meskipun kondisinya masih sederhana. Untuk berangkat ke sekolah, anak-anak diantar kapal kelotok atau jukung oleh orangtuanya. Jika air menyusut, mereka akan berjalan kaki meskipun tanahnya sangat becek. Saat ini halaman sekolah sudah lebih tinggi dari pinggir sungai dan dermaga karena dilakukan pengurugan27. Jumlah penduduk desa ini berkembang banyak mulai sekitar 20 tahun yang lalu, karena jumlah kelahiran yang bertambah. Seiring bertambahnya penduduk, maka permukiman tidak lagi hanya di pinggir pantai, tetapi masuk ke dalam yang menjauh dari pinggir sungai. Wilayah yang dahulunya hutan dan sawah berubah fungsi menjadi permukiman. Munculnya permukiman di daerah non aliran 26 27
0205CLW-Dhm 2504CLW-ABD
25
sungai, menjadikan diperlukannya jalan darat di desa ini. Bertolak dari kondisi itu, dibuatlah jalan perintis yang kondisinya masih sangat sederhana28. Saat ini, infrastruktur jalan desa umumnya masih berupa tanah liat yang dipadatkan dan sebagian kecil jalan desa yang bahu jalan ditopang papan ulin. Jalan desa yang bahu jalannya ditopang papan kayu ulin hanya terdapat di dusun Podok Tengah dan panjang jalan tidak sampai satu kilo meter. Badan jalannya diisi batu putih, pasir, semen dan potongan dahan kayu (galam). Kondisi jalan baik yang berupa tanah liat dan yang diperkuat kayu sudah tidak bagus lagi. Air sungai yang sedang pasang menggerus lapisan tanah yang dipadatkan. Air pasang juga menggerus pasir, semen dan batu, sehingga galam banyak yang terlepas. Galam yang terlepas ini justru membuat pejalan kaki tidak aman karena bisa kesandung atau terkilir. Jalan yang berupa tanah liat juga akan licin setelah hujan29. Kondisi jalan yang kurang bagus ini tidak hanya menyulitkan mobilitas warga, namun juga menantang tim peneliti yang setiap hari menyusuri jalan-jalan desa ini.
Gambar 2.7. Infrastruktur jalan desa yang dilapisi galam, pasir, batu dan semen (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
28 29
2504Pembakal Adn_01 2504CL Observasi_Lingkungan.
26
Menurut beberapa informan termasuk Pembakal Desa, jalan desa ini dibangun kurang lebih 10 tahun yang lalu dengan dana PNPM. Tanah untuk menguruknya diambil dari sekitar jalan yang dibangun30. Menanggapi perkembangan desa khususnya infrastruktur jalan dan sekolah, Ahmad mengatakan,”Dari dulu begini-begini saja, kurang ada kemajuan. Ada sekolah tapi fasilitas begitu saja. Tidak ada fasilitas. Jalannya tanah yang keras dan becek. Jika hujan, maka untuk jalan akan susah”31. Hal yang berbeda dilihat peneliti, saat melakukan observasi lingkungan di dusun Sakajarak. Jalan desa yang terbuat dari tanah liat dan diatasnya dilapisi pasir serta batu putih masih terlihat lebih baik kondisinya daripada jalan di dusun Podok Tengah. Kondisi jalan yang seperti itu menjadikan relatif lebih nyaman untuk dilewati, meskipun di permukiman yang terletak lebih dalam kondisi jalan dan jembatan penghubung tidak terlalu bagus kondisinya. Perbedaan kondisi jalan di Podok Tengah dan Sakajarak ini mungkin disebabkan air pasang di Sakajarak tidak terlalu tinggi dan tidak menggerus jalan tanah yang diatasnya berlapis batu kerikil. Di dusun Sakajarak, peneliti melihat jembatan dan titian yang sudah tua dan perlu perbaikan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya pagar pengaman disisi jembatan, kayu pijakan jembatan banyak yang pecah dan berlubang, kayu penguat di bawah jembatan banyak yang ditambal. 32 Menurut H. Nanang, jembatan di desa ini terbuat dari kayu ulin dan usianya sekitar 30 tahunan, sehingga memang perlu peremajaan. Untuk transportasi sehari-hari, masyarakat menggunakan jukung/sampan maupun kapal kelotok. Ojek kapal kelotok hanya ada pagi hari untuk mengangkut anak sekolah yang bersekolah di AluhAluh atau masyarakat yang hendak menyeberang. Kapal tersebut 30
2504CLW-ABD; 0205CLW-H. ADR dan H. ANK; 2504CLW Pembakal Adn_01 2504CLW-ABD 32 0505CLObservasi dusun Sakajarak 31
27
kembali ada untuk menjemput anak-anak pulang sekolah di Aluh-Aluh untuk kembali ke Podok. Peneliti tidak menemukan ojek kapal kelotok yang memang tersedia secara kontinyu dan dengan jam berangkat berkala. Kapal kelotok ke Kota Banjarmasin tersedia, namun penggunaannya berdasarkan permintaan warga yang akan kesana. Hal ini berarti, pola mobilitas warga tidak terlalu sering untuk ke kota atau tempat lain. Warga biasanya pergi ke kota kecamatan di hari pasar, yaitu pada hari Jumat tiap minggu dan menyesuaikan dengan jadwal anak sekolah atau menyewa kapal kelotok bersama-sama33.
Gambar 2.8. Jembatan di desa Podok (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Gambar 2.9. Alat transportasi kapal kelotok (kiri) dan jukung/sampan (kanan) (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
33
2504CL Observasi_Lingkungan.
28
Selain transportasi air, sebetulnya terdapat infrastruktur darat menuju Kota Banjarmasin yang kondisinya tidak bagus. Jalan darat ini ditempuh melalui desa Terapu dan Kuin Besar. Jika jalan darat ini dibangun, maka akan mampu memotong jalan sepanjang sembilan km. Selama ini warga harus menyeberang ke Aluh-Aluh terlebih dahulu jika akan bepergian ke Banjarmasin untuk berbelanja, bekerja, transit untuk ke kota lain, dan juga mengakses layanan kesehatan. Bagi warga Podok dan desa sekitarnya, pembangunan jalan darat ke Banjarmasin berarti perjalanan ke Banjarmasin akan lebih cepat dan menghemat waktu daripada memutar melalui Aluh-Aluh 34. 2.2.3. Nilai-nilai Bersama dan Masalah Sosial Dalam suatu masyarakat pasti memiliki nilai-nilai bersama yang dipraktekkan untuk kebaikan umum. Di desa ini, nilai-nilai yang sering dipraktekkan oleh masyarakat adalah gotong royong dan saling membantu. Gotong royong (dalam dialek lokal Podok diucapkan tanpa huruf “r” menjadi gotong oyong) yang biasanya dilakukan adalah membersihkan makam menjelang Ramadhan. Selain itu melalui zakat yang dibayarkan, warga membantu anak yatim dan jompo. Di desa masih ada tradisi bahwa ini setiap bertemu orang tua dan dihormati akan mencium tangan35. Gotong royong tidak hanya membersihkan makam, namun juga melalui kegiatan senoman dan rukun kematian. Senoman merupakan perkumpulan beberapa warga yang melakukan iuran untuk membeli alat masak dan alat pesta serta mengorganisir orang-orang yang akan terlibat didalamnya. Anggota senoman adalah warga yang berminat terlibat saja, dan lokasinya tidak tergantung oleh wilayah RT. Biasanya anggota senoman adalah tetangga dekat saja. Di desa ini ada sekitar 100 kelompok senoman. Bagi warga yang memerlukan alat untuk hajatan dan tidak ikut
34 35
0205CLW-H. ADR dan H. ANK 0205CLW-Dhm
29
kelompok senoman, maka diwajibkan membayar untuk pemakaian alat-alat tersebut36. Pada saat terjadi kematian warga, warga memberikan sumbangan melalui rukun kematian. Anggota rukun kematian mengumpulkan sumbangan berupa gabah setelah masa panen. Jika ada anggota yang meninggal, maka gabah yang telah terkumpul dijual untuk dibelikan kebutuhan penguburan jenasah. Tetangga sekitar yang meninggal juga memberikan sumbangan berupa beras dan uang secara sukarela37. Dalam kehidupan masyarakat pasti ada sisi ideal dan sisi yang memerlukan kontrol sosial, salah satunya terkait dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Masalah sosial yang saat ini sedang marak terjadi di Podok Muara yang berlokasi di ujung dusun Podok Tengah. Menurut informan Ida, disana banyak yang mabuk karena memakai narkoba dan obat dioplos38. Barang-barang tersebut diperoleh dengan mudahnya di Aluh-Aluh dan Banjarmasin. Kebiasaan mabuk ini sering mengakibatkan perkelahian. Contoh terbaru terjadi diakhir tahun 2014. Salah satu penduduk desa yang dikenal sebagai preman sedang mabuk dan berakhir dengan membunuh orang. Setelah membunuh orang, preman tersebut melarikan diri ke Banjarbaru dan ditangkap polisi. Masalah sosial lainnya adalah pencurian. Dari wawancara dengan beberapa warga, diyakini bahwa
36
0605CLW-Latifa 1805CLW Pembakal Adn_02 38 Tim peneliti pernah dua kali menjumpai pemuda yang mabuk di jembatan. Pertama saat menyeberangi jembatan setelah melakukan observasi di Sakajarak. Saat itu, ada 3 orang pemuda duduk di jembatan. Dua dari mereka saling berkejaran. Tentu saja kondisi jembatan yang sudah tua, banyak lobang, dan tidak ada pagar pengaman di pinggirnya membuat suasana saat itu sangat mengkuatirkan bagi kami. Jika tersenggol kami bisa jatuh ke sungai. Pengalaman kedua yaitu malam terakhir sebelum meninggalkan desa, disaat sedang menyelesaikan administrasi penelitian dengan informan sampai dengan malam hari. Saat melewati jembatan untuk pulang ke rumah kontrakan, kami dikejar oleh pemuda-pemuda tersebut. 37
30
pencurinya merupakan penduduk lokal yang paham kehidupan warga desa ini. Menanggapi permasalahan sosial di desa ini, Ida mengatakan bahwa nilai-nilai di Podok Tengah (tempat peneliti tinggal) berbeda dengan Podok Muara. Podok Tengah identik dengan nilai-nilai agama dan religiusitas39. Merespon permasalahan sosial tersebut, khususnya perkelahian, Pembakal desa40 mengundang wakil dari masing-masing pihak untuk melakukan perdamaian. Dalam penyelesaian konflik ini, yang terlibat adalah Pembakal, Ketua RT, tokoh agama/tokoh masyarakat. Perdamaian dikuatkan dengan surat pernyataan tidak akan mengulangi perkelahian tersebut yang bermaterai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Jika pihak-pihak ini melanggar perjanjian sampai tiga kali, maka akan dilaporkan pada polisi. Sekarang ini, suasana tidak seperti saat tahun 1970-1990an, dimana upaya perdamaian relatif sulit. Masing-masing pihak sama-sama keras. Saat ini, perkembangan jaman dan pendidikan sangat berpengaruh, sehingga perilaku masyarakat juga lambat laun berubah. 2.3. KEHIDUPAN ORANG SUNGAI DESA PODOK Bagi orang Banjar, sungai adalah kehidupan mereka. Demikian juga halnya bagi penduduk desa ini, sungai adalah urat nadi kehidupan. Masyarakat berinteraksi dan beradaptasi dengan sungai yang membentuk pola budaya kehidupan masyarakat sungai. Budaya sungai dapat diartikan sebagai cara hidup khas masyarakat yang berada dekat dengan sungai, menjadikan sungai sebagai tempat berkehidupan dan membentuk karakter masyarakat yang tercermin dalam kehidupan fisik, sosial dan ekonominya. Budaya sungai mengajarkan pada masyarakat cara beradaptasi dan bertahan 39 40
2804CLW RD 2504Pembakal Adn_01
31
hidup dengan cara menyesuaikannya dengan karakter sungai, kehidupan ekologi dan sumber daya yang dimiliki sungai41. Kondisi geografis mempengaruhi sejarah berdirinya suatu wilayah. Bagi masyarakat sungai, sungai merupakan pusat pertumbuhan, jalur pergerakan dan prasarana transportasi utama. Kegiatan dan kehidupan masyarakat berorientasi ke sungai sehingga sungai mempunyai peranan dan arti yang sangat penting. Beberapa faktor yang menyebabkan keterkaitan penghuni permukiman pinggir sungai dengan sungai yaitu (1) sungai memenuhi kebutuhan dan aktivitas transportasi, (2) aktivitas ekonomi sungai dan termasuk di dalamnya sebagai sumber ekonomi, (3) aktivitas mandi, cuci, kakus, dan persampahan yang berlangsung di sungai, dan (4) kebutuhan akan pemenuhan air bersih. Bagi masyarakat Podok yang wilayah geografisnya dipisahkan oleh 4 aliran sungai, maka fungsi sungai menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka (gambar 2.10).
Gambar 2.10. Peta Desa Podok (Sumber: dokumentasi Desa Podok, 2015)
41
Betty Goenmiandari, Johan Silas, Rimadewi Supriharjo, 2010, Konsep Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Kota Banjarmasin berdasarkan Budaya Setempat, Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota, jurusan arsitektur ITS.
32
Pola pemanfaatan alam termasuk pengaturan permukiman terbentuk karena budaya yang menyangkut cara hidup, cara beradaptasi dengan alam dan lingkungan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan. Di desa ini terdapat dua pola pemanfaatan lahan dan wilayah, yaitu wilayah permukiman dan lahan pertanian/sawah. Pola permukaan ada dua yaitu permukiman di pinggir sungai dan permukiman yang agak jauh dari pinggir sungai. Ketiga pola pemanfaatan lahan ini kesemuanya sangat bergantung pada sungai. Permukiman di pinggir sungai dengan mudah mendapatkan keuntungan dari sungai, karena lebih dekat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan mobilitas. Bagi permukiman yang letaknya agak jauh dari sungai, mereka membuat kolam penampungan di samping atau di depan rumahnya, atau menyedot air sungai. Pada saat sungai pasang, air akan mengalir memenuhi kolam penampungan. Air sungai tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, cuci, buang air besar, masak dan minum. Pemilihan rumah yang agak menjauh dari pinggir sungai, selain didasari oleh bertambahnya populasi penduduk, sebetulnya dapat memanfaatkan lahan yang lebih luas untuk bertanam dan beternak. Sayangnya memang, kondisi alam di desa ini kurang cocok untuk bertanam sayur ataupun buah yang bervariasi.
Gambar 2.11. Tiga pola pemanfataan lahan di desa Podok (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
33
Tanaman khas yang ada di desa ini adalah padi dan kelapa. Tanaman yang bernilai ekonomis adalah padi. Warga seringkali tidak menikmati hasil berkebun kelapa, karena buah yang dihasilkan selama ini seringkali habis dicuri oleh warik (monyet besar). Tanaman lain yang juga khas desa pesisir adalah nipah. Tanaman ini dimanfaatkan daunnya untuk atap rumah dengan menganyamnya. Selain itu, daun nipah juga digunakan untuk membungkus ketupat, buahnya yang masih muda dibuat sayur, dan yang sudah agak tua dimakan. Buah yang agak tua bentuknya seperti kolang-kaling dan rasanya seperti kelapa. Selama di desa ini, pemanfaatan nipah yang sering dijumpai adalah untuk atap rumah dan bungkus ketupat. Ternak yang khas dipelihara warga adalah ayam dan itik. Nilai ekonomis itik lebih tinggi dari ayam. Selama di desa ini peneliti sering melihat itik yang diberi tanda dengan tali rafia berbagai warna oleh pemiliknya. Area persawahan juga memanfaatkan pengairan dari sungai ketika air pasang. Selama masa tanam yaitu mulai bulan Januari sampai dengan Mei/Juni, setidaknya dalam satu bulan terjadi dua kali pasang ganal (besar). Air pasang yang permukaannya lebih tinggi dari jalan desa akan mengairi sawah dan bahkan masuk ke dalam rumah warga yang rumahnya tidak terlalu tinggi42. Keadaan tanah di desa ini hanya bisa bertanam padi dengan sistem pertanian sawah pasang surut. Sawah pasang surut mengandalkan pengairan air sungai yang kondisinya masih tawar dan tidak terlalu asin pada bulan Desember sampai dengan Juni tiap tahun. Metode menanam padi pun juga berbeda dengan metode menanam padi di pulau Jawa. Di Pulau Jawa dalam setahun dapat ditanami sebanyak tiga kali dan panen sebanyak tiga kali. Disini, warga yang bertani padi dengan sistem sawah pasang surut, menanam padi 42
2504CLW-ABD; 2504CL Observasi Lingkungan; 2904CLW Observasi Geografis dan kehidupan orang sungai.
34
berkejaran dengan waktu. Jika perhitungan mereka meleset, maka petani akan merugi. Jika terlambat memulai proses tanam, tanaman padi mereka bisa rusak karena kuantitas air sedikit atau terkena intrusi air laut asin yang mulai masuk pada musim kering di bulan JuliNovember. Menurut informan yang kami temui, masa tanam padi akan mulai bulan Januari sampai dengan akhir April tiap tahunnya. Proses tanam padi dimulai dengan memalai/menyemai dan dilanjutkan dengan menanam padi. Ada tiga fase dalam proses mamalai yaitu: a) benih disemai di depan rumah yang biasanya dilakukan dengan membuat media tanah yang dialasi oleh karung goni untuk memudahkan memindahkan benih padi yang telah tumbuh. Penyemaian benih pada tahapan ini membutuhkan waktu 10-12 hari; b) benih yang telah disemai akan dipindah ke sawah untuk pertumbuhan selama 20 hari; c) tanaman yang telah masuk dalam penyemaian dan pertumbuhan, dipecah lagi agar pertumbuhannya bisa lebih bagus dan dibiarkan selama dua bulan. Setelah dua bulan, maka tanaman padi akan dipangkas daunnya, dan siap ditanam. Cara menanam padi yaitu melubangi tanah dengan menggunakan alat dari kayu yang disebut tajuk. Bentuk tajuk mirip dengan pisau panjang yang ujungnya lancip. Lama masa tanam adalah lima bulan. Total waktu yang dibutuhkan untuk menanam padi mulai masa menyemai sampai dengan siap panen adalah delapan bulan. Dibanding sistem tanam padi di Jawa, dengan masa tanam delapan bulan disini, di Jawa sudah didapatkan dua kali panen dan hampir memasuki masa panen untuk ketiga. Di desa ini dengan sistem sawah pasang surut, warga hanya bisa menanam dan memanen sebanyak satu kali dalam masa satu tahun43.
43
180515CLW Pembakal Adn_02
35
Gambar 2.12. Tajuk - alat bertanam padi (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Warga juga memanfaatkan air sungai juga sebagai air minum. Mereka memberikan tawas pada bak penampungan air di rumah sehingga air menjadi bening. Di desa ini pada bulan Juli sampai dengan November, air akan menjadi asin atau dalam bahasa lokal disebut hanta atau payau. Pada bulan-bulan ini banyak ditemui penyakit diare, karena warga masih banyak yang menggunakan air sungai sebagai air minum. Puncak air menjadi asin adalah bulan Agustus-September. Menurut beberapa informan, banyaknya kandungan garam pada air sungai membuat kristal garam berkilauan ditimpa lampu dan sinar bulan pada waktu malam. Gambaran tersebut indah dibayangkan, namun dampak mengkonsumsinya sangat beresiko. Di bulan-bulan ini warga membeli air bersih yang dijajakan berkeliling dengan kapal kelotok. Beberapa warga tetap mengkonsumsi air sungai yang payau dengan alasan mereka orang sungai yang terbiasa mengkonsumsi air sungai dari jaman nenek moyangnya, sehingga mereka kebal dengan bakteri yang ada di air sungai. Mereka yang masih mengkonsumsi inilah yang biasanya terkena diare. Warga masih menggunakan air payau ini untuk MCK, meskipun air sulit berbuih jika diberi sabun44.
44
0705CLWKaPKM
36
2.4.
Kependudukan Peneliti memperoleh data kependudukan berdasarkan data kependudukan yang dikeluarkan oleh Kecamatan Aluh-Aluh dan data BPS. Desa ini belum mempunyai pencatatan data kependudukan yang bisa diandalkan. Bidan Desa Podok juga melakukan pendataan terkait tingkat pendidikan warga desa. Peneliti tidak menggunakan data bidan desa karena di dusun Sakajarak Sakamangkok prosentase yang tidak memberikan jawaban sangat besar. Berdasarkan data yang diterima dari kecamatan Aluh-Aluh, diperoleh informasi seperti yang tertera dalam tabel berikut: Tabel 2.1. Jumlah penduduk kecamatan Aluh-Aluh tahun 2014 No
Desa/kelurahan
Laki-laki
Perempuan
Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kuin Kecil Kuin Besar Handil Baru Handil Bujur Terapu Podok Aluh-Aluh Kecil Muara Aluh-Aluh Kecil Balimau Bunipah Simpang Warga Dalam Simpang Warga Aluh-Aluh Besar Pemurus Pulantan Tanipah Labat Muara Bakambat Sungai Musang
394 763 221 548 211 1.425 584 766 312 985 747 1.165 1.848 1.478 543 979 585 707 860
377 755 215 506 220 1.350 547 760 294 924 781 1.100 1.660 1.411 540 946 641 695 809
771 1.518 436 1.054 431 2.775 1.131 1.526 606 606 1.528 2.265 3.508 2.889 1.083 1.925 1.226 1.402 1.669
Jumlah
15.121
14.531
29.652
Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Banjar, 2015, Sosialisasi Kebijakan Kependudukan Kecamatan Aluh-Aluh 2015.
37
Tabel 2.1 memperlihatkan jumlah penduduk di 19 desa dalam wilayah kecamatan Aluh-Aluh. Dari tabel tersebut nampak bahwa total jumlah penduduk di desa Podok merupakan urutan ketiga terbesar setelah Aluh-Aluh Besar dan Pemurus. Jumlah penduduk desa Podok sebanyak 2.775 dengan komposisi laki-laki lebih besar daripada perempuan. Dari sisi pendidikan, data Kecamatan Aluh-Aluh dalam Angka tahun 2010 yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Banjar, menyatakan sebanyak 783 orang tidak atau belum tamat SD, tamat SD sebesar 958, tamat SMP sebesar 188, tamat SMA sebesar 131, dan lulus PT sebesar 14 orang. Dari data pendidikan ini dapat dinyatakan bahwa mayoritas warga merupakan lulusan SD. Observasi yang dilakukan peneliti terkait dengan pendidikan, mendapatkan informasi bahwa pendidikan dirasa kurang penting bagi warga. Jika menyekolahkan anak selepas SD, maka sekolah yang dipilih merupakan sekolah yang mengajarkan nilai-nilai agama seperti MTs dan MAN. Di desa ini, anak-anak selain bersekolah di SD, mereka juga sekolah mengaji di pesantren. Kegiatan di pesantren dilakukan siang hari mulai jam 14.30 sampai jam 17.00. Sistem pendidikan di Pondok pesantren ini juga berjangka waktu selama enam tahun seperti di SD, ditambah satu tahun TK Pondok Pesantren. Anak-anak akan masuk Pondok Pesantren saat kelas satu SD. Anak kelas satu SD, jika masuk pondok pesantren maka akan duduk di kelas TK pondok pesantren. Umumnya, setelah menyelesaikan pendidikan di SD, mereka akan meneruskan ke MTs yang dikelola oleh yayasan pondok pesantren tersebut. Setelah lulus dari MTs, anak-anak di desa Podok akan meneruskan pendidikan ke MAN di Aluh-Aluh. Tidak semua lulusan MTs meneruskan pendidikan ke MAN. Anak laki-laki lebih banyak yang meneruskan pendidikan. Di desa ini, umumnya anak perempuan hanya bersekolah sampai SD dan lulus pesantren. Fakta ini disebabkan pandangan orangtua yang menganggap pendidikan formal untuk anak perempuan tidak terlalu penting.
38
2.5.
Pola Tempat Tinggal Aspek lingkungan sangat menentukan pola tempat tinggal di desa ini. Ada dua pola pemilihan tempat tinggal di desa ini, yaitu di pinggir sungai atau di wilayah yang agak menjauh sekitar 5-10 meter dari pinggir sungai. Sebagian besar masyarakat desa Podok membangun rumah mereka di pinggir sungai. Sejauh mata memandang ketika menyusuri sungai desa ini, tampak deretan rumah penduduk di tepiannya. Dari pengamatan peneliti, bagian belakang rumah menghadap sungai dan bagian depan rumah menghadap ke jalan. Bagian belakang rumah yang menghadap sungai tidak lepas dari pertimbangan untuk memudahkan aktivitas keseharian mereka, mulai mandi, mencuci, buang air besar, membuang sampah, menambatkan kapal dan mengakses transportasi air ketika hendak bepergian. Jamban yang terletak di pinggir sungai memang dimiliki oleh individu, namun pemanfaatannya bisa digunakan secara bersamasama dengan tetangga lainnya, terutama oleh mereka yang letak rumahnya agak jauh dari tepi sungai. Kepemilikan jamban yang berseptic tank di desa ini sangat sedikit. Berdasarkan amatan peneliti kurang dari 5 rumah tangga yang memiliki jamban berseptic tank. Meskipun warga memiliki jamban berseptic tank, mereka masih buang air besar di sungai. Perilaku ini adalah bagian dari pembiasaan sejak kecil yang sulit dihilangkan. Seolah-olah warga tidak pernah memikirkan atau merasa bahwa kotoran yang dibuang di sungai akan mengotori sungai yang airnya mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Baik rumah di pinggir sungai maupun rumah yang terletak agak jauh dari tepi sungai, model rumahnya sama, yaitu berbentuk panggung. Bahan utama rumah ini adalah kayu baik untuk tiang pancang pondasi dan papan. Bagian bawah rumah dibiarkan terbuka untuk area resapan dan memberi jalan pada aliran air jika air pasang.
39
Menurut H. Nanang45, struktur bangunan menggunakan dua jenis kayu yaitu kayu untuk tiang pancang dan papan untuk lantai dan dinding. Kayu untuk tiang biasanya adalah kayu ulin sebanyak 5-6 buah dengan panjang 5-6 meter. Tiang ditancapkan dikedalaman tanah antara 1-2 meter. Tiang-tiang ini akan dihubungkan dengan kayu ulin yang mengelilingi empat tiang pancang dan membentuk segi empat sebagai pondasi rumah. Jika pondasi rumah sudah jadi akan dipasang lantai, dinding, dan atap.
Gambar 2.13. Rumah Banjar beratap sirap (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Atap rumah asli Banjar merupakan atap sirap. Sirap dibuat dari kayu ulin yang dipipihkan, dibentuk segi empat dengan ujung segitiga. Cara memasang lembaran sirap adalah lembaran-lembaran tersebut dipasang pada kayu kerangka atap berjejer dalam satu lajur. Setelah satu lajur selesai, dibawahnya akan dipasang sirap lajur baru dengan menumpuk lajur atasnya. Metode pemasangan seperti ini akan membuat atap sirap rapat, tidak ada lubang, dan menghalangi air masuk rumah. Kayu papan untuk dinding biasanya dibuat dari kayu lanan, yaitu kayu biasa yang berkualitas bagus. Sedangkan lantai biasanya terbuat dari kayu ulin. Saat ini harga kayu ulin sangat mahal. Menurut 45
0205CLW-H. ADR dan H. ANK
40
H. Nanang, biaya membuat rumah dengan bahan kayu ulin jika dikonversi akan setara dengan membuat rumah dengan bahan beton cor. Mahalnya harga kayu ulin membuat orang beralih menggunakan bahan kayu biasa yang berkualitas, meski kekuatannya masih kalah kuat dibandingkan kayu ulin. Atap yang digunakan saat ini juga bukan lagi atap sirap, namun sudah berganti atap seng. Di beberapa rumah juga terlihat ada yang masih menggunakan atap rumbia dan atap dari daun nipah yang dianyam. Atap daun nipah yang dianyam ini bisa bertahan dengan umur 1-2 tahun46.
Gambar 2.14. Bagian rumah panggung Banjar di desa Podok (searah jarum jam: atap nipah, ventilasi dari kayu ulin, lantai papan, rangka rumah panggung Banjar) (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
46
0205CL Observasi Desain rumah
41
Berdasarkan observasi rumah di desa ini, hanya beberapa rumah yang dibuat dari kayu ulin dan kondisinya bagus. Rumah yang memakai kayu Ulin menunjukkan status sosial ekonomi yang tinggi. Rumah warga yang berbentuk persegi panjang terbagi dalam beberapa ruangan. Pembagian ruang dalam rumah terkait dengan fungsinya. Secara umum, ruangan yang ada dalam rumah orang Banjar adalah teras, ruang tamu sekaligus ruang untuk keluarga, sejajar dengan ruang tamu adalah kamar tidur, dan dibagian belakang adalah dapur dan MCK. Berdasar amatan peneliti, di ruang tamu rumah informan yang didatangi dan rumah warga lainnya hampir tidak ada ada kursi tamu untuk duduk. Sangat sedikit orang yang memiliki kursi. Jika memiliki, itupun untuk menerima tamu. Jika tidak ada tamu, mereka lebih menyukai duduk langsung dilantai beralas tikar atau karpet. Dari luar rumah warga terlihat berbagai model ventilasi. Bahan dan model ornamen ventilasi menunjukkan status sosial ekonomi. Di desa ini hanya beberapa rumah yang memiliki ventilasi ulin berornamen, yang biasanya dimiliki oleh orang yang cukup kaya. Selama peneliti melakukan observasi dan wawancara, beberapa rumah yang memiliki ventilasi dari kayu ulin dengan ornamen sulur khas Banjar diantaranya yaitu rumah Pembakal, rumah Kai Rahman dan rumah kontrakan peneliti yang disewa dari Mak Haji. Rumah orang kebanyakan di Podok hampir tidak ada ventilasi, yang ada hanya jendela. Jika ada ventilasi sangat kecil dan hanya nampak sebagai hiasan saja. Bagian bawah rumah panggung menyisakan ruang untuk resapan air dan serangga hidup disitu. Pada saat air pasang cukup tinggi, semut yang bersarang di kolong rumah panggung kontrakan peneliti akan naik ke teras rumah, bagian dalam ruangan rumah dan plafon rumah. Jenis semut yang bersarang di kolong rumah adalah semut hitam dan merah. Beberapa kali kami cukup repot dengan semut-semut ini, terutama untuk menaruh makanan. Air pasang surut
42
tentunya juga berpengaruh pada kualitas rumah panggung dan infrastruktur. Rumah yang masih berupa papan kayu dan tidak dilapisi semen ataupun cat, akan terlihat berjamur. Termasuk dinding Pustu, yang catnya sudah tidak kelihatan warna aslinya dan terlihat banyak rayap dan jamur47. 2.6.
Mata Pencaharian: Masa Tanam, Panen dan Migrasi Berdasarkan wawancara Camat Aluh-Aluh diketahui mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aluh-Aluh adalah sebagai petani dan nelayan. Lahan pertanian dengan sistem pasang surut hanya dapat ditanami satu kali tanam, dengan sumber air sungai dan laut saat bulan Desember-Juni. Setelah panen dan musim tanam, masyarakat yang bekerja sebagai petani akan berganti profesi sebagai nelayan. Nelayan Aluh-Aluh terkenal sebagai penghasil cumi, udang, ikan laut yang memasok kebutuhan untuk wilayah perkotaan. Ikan asin juga banyak dihasilkan dari kecamatan ini. Angka kemiskinan di Aluh-Aluh adalah tertinggi untuk kabupaten Banjar. Tidak semua petani dan nelayan berpenghasilan tinggi, karena sebagian besar petani merupakan buruh tani dan petani penggarap, bukan pemilik. Ketika musim bertani selesai, mereka akan menganggur. Jika menjadi nelayanpun, bukan sebagai pemilik kapal dan mempunyai penghasilan besar48. Hal yang sama disampaikan oleh Pembakal desa Podok49. Pembakal mengatakan bahwa pekerjaan utama warga desa adalah di sektor pertanian, utamanya pertanian komoditas padi. Mereka yang bekerja di sektor pertanian umumnya bekerja sebagai buruh tani atau penggarap sawah orang lain. Buruh tani ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Perempuan bekerja di sawah untuk menanam padi, menyiangi rumput liar dan membantu dalam masa panen. Sedangkan 47
2604CL Observasi Lingkungan 2404CLW Camat Aluh-Aluh 49 2504CLW Pembakal Adn_01 48
43
laki-laki, bekerja mulai dari menyiapkan lahan dengan membersihkan rumput liar yang tumbuh besar, membersihkan rumput liar di selasela tanaman pada masa tanam, dan memetik padi pada masa panen. Perbedaan pembagian kerja pada masa tanam yang lebih berat dilakukan laki-laki mengakibatkan perbedaan upah untuk buruh tani perempuan dan laki-laki. Pembakal mengatakan berdasarkan perbedaan berat ringan pekerjaan, maka upah antara buruh laki-laki dan perempuan juga berbeda. Perbedaan upah itu sekitar Rp 10 ribu per hari. Jika pekerjaan yang dibebankan sama, maka upahnya akan sama, misalnya membersihkan rumput di sela tanaman atau memetik padi saat panen. Pada masa tanam, perawatan dan masa panen, informan mengatakan bahwa pemilik sawah menggunakan jasa buruh tani (pengambil upah). Upah untuk kerja setengah hari membersihkan rumput adalah Rp 30 ribu. Jika membersihkan rumput yang besar, maka upahnya adalah Rp 35 ribu/setengah hari. Selain mendapatkan upah, buruh tani yang bekerja setengah hari mendapatkan minum dan kue. Sedangkan untuk mangatam/memanen padi, mereka mendapat upah Rp 50 ribu/hari dan mendapatkan makan. Warga di desa ini masih menggunakan ani-ani untuk memanen padi. Penggunaan ani-ani ini untuk menghindari padi yang terbuang percuma dalam proses memanen ini. Hal ini bisa dipahami, karena sistem sawah pasang surut hanya bisa menghasilkan padi setahun sekali. Sehingga tanah pertanian dan setiap bulir padi menjadi begitu berharga bagi warga desa ini. Setelah dipanen, maka gabah akan dipisahkan dari batangnya. Setelah terpisah, maka untuk memisahkan gabah yang bagus/berisi, dengan gabah yang kosong, warga akan menggunakan kompa banih. Kompa banih adalah alat yang terbuat dari kayu, terdapat beberapa corong untuk memasukkan gabah dan digunakan dengan memutar roda dalam alat tersebut. Saat diputar, gabah yang bagus dan yang
44
kosong akan terpisah. Gabah yang bagus keluar dari lubang yang berbeda dengan gabah yang kosong50.
Gambar 2.15. Ani-Ani dan Kompa Banih yang digunakan saat musim panen (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Hasil dari sawah yaitu gabah (banih) dikeringkan dan diambil oleh pengumpul baik dari dalam desa maupun pengumpul dari luar yang datang pada saat masa panen. Warga membagi hasil panen sebagian untuk dimakan dan sebagian untuk dijual. Biasanya proporsi pembagian adalah sepertiga untuk dimakan dan dua pertiga dijual. Keuntungan harga jual gabah tidak menentu, karena harga bisa naik turun. Yang menentukan tinggi rendah harga gabah adalah pengumpul. Hasil penjualan gabah biasanya menjadi modal utama untuk bertanam kembali di musim berikutnya. Saat masa panen, buruh tani yang bekerja serabutan di tempat lain, pulang ke desa untuk kembali bekerja memanen padi di sawah. Mereka yang bekerja serabutan setelah masa tanam dan setelah panen biasanya bekerja sebagai kuli bangunan di Banjarmasin dan di pertambangan emas di Kalimantan Tengah. Menurut Ahmad51, pekerjaan serabutan di kota seperti menjadi kuli bangunan lebih diminati daripada mencari ikan. Penghasilan mencari ikan tidak tentu besarannya dan masih dipotong dengan biaya bensin. Untuk membeli kapal sendiri pun terlalu mahal, 50 51
1805CLWPembakal Adn_02 2504CLW-ABD
45
karena harganya sekitar Rp 6-10 juta. Harga yang tidak murah untuk buruh tani. Nelayan biasanya langsung menjual ikan begitu selesai bekerja. Mereka jarang sekali membawa ikan pulang ke rumah. Jikapun membawa, kualitasnya dibawah yang laku dijual. Banyaknya warga yang bekerja diluar desa diluar musim tanam membuat desa ini sepi. Yang tertinggal hanya perempuan, anak-anak, pemuda yang menganggur, dan laki-laki yang memiliki pekerjaan di desa. Peneliti mengalami sendiri suasana desa menjadi sepi setelah masa tanam di akhir bulan April. Tidak banyak orang lalu lalang. Pada akhir bulan April dan awal bulan Mei, warga yang memilih bekerja di tempat lain mulai berangkat merantau. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada pagi hari di awal Mei, banyak orang laki-laki dan perempuan bergegas ke dermaga. Rupanya mereka akan meninggalkan kampung ini untuk bekerja di luar Aluh-Aluh. Sebagian akan bekerja di Aranio, Riam Kanan untuk bekerja sebagai buruh panen padi. Mereka ke Aranio untuk mangatam padi selama 10-15 hari atau mungkin lebih lama. Kata mereka, “Lumayan sebagai tambahan menjelang puasa”. Selain menjadi buruh memanen padi, nampak juga sebagian warga yang akan bekerja sebagai kuli bangunan atau serabutan di kota Banjarmasin atau awak kapal pencari ikan di tempat lain. Upah sebagai buruh mangatam dan kuli bangunan Rp 50 ribu per hari. Upah ini dirasa cukup banyak untuk tenaga mereka daripada berdiam di desa menunggu datangnya masa panen. Keriuhan pagi yang teramati ini, menandakan perubahan waktu. Kampung ramai pada masa tanam dan masa panen, setelah itu akan sepi. Laki-laki, perempuan, baik tua dan muda yang masih sanggup memeras keringat akan ke kota lain untuk mengumpulkan pundipundi sedikit demi sedikit. Bagi warga yang merantau, Podok adalah tempat bersarang dan menyemai harapan. Siklus kehidupan ini berulang, mereka berpencar dan berkumpul kembali disatukan oleh musim.
46
2.7.
Agama dan Sistem Kepercayaan Kajian tentang agama dapat dilakukan dengan menelusuri dimensi-dimensi atau manifestasinya, yaitu: dimensi mistis, ritual, sosial, etis, doktrinal, pengalaman, dan material. Namun dimensi paling penting sebagai patokan untuk mengategorisasikan suatu gejala atau sekumpulan gejala sebagai agama adalah keyakinan pada Yang Suci (The Sacred) di dunia transempiris52. Pengakuan terhadap keberadaan Yang Suci, baik yang mengacu pada Tuhan maupun tuhantuhan, melahirkan spiritualitas yang mendorong manusia berusaha menjalin hubungan dengan dunia transempiris itu. Spiritualitas itu dapat dilihat antara lain melalui upacara yang di dalamnya memuat alam pikiran, pola perilaku, dan perasaan pemeluk suatu agama53. Berdasarkan pemahaman tersebut, pembicaraan tentang agama orang Islam Banjar mencakup aspek kepercayaan/keyakinan dan upacara. Orang Banjar percaya pada ajaran Islam, dan disisi lain juga mempercayai makhluk halus yang berwatak baik dan jahat, yang dapat menyerang manusia dalam bentuk penyakit. Selain itu mereka juga melakukan ritual life cycle dan mempercayai makam keramat yang biasanya adalah makam ulama karismatik. 2.7.1 Kepercayaan pada makhluk halus dan Wisa. Kepercayaan pada sesuatu yang gaib sangat kuat di desa ini, misalnya tentang wisa. Wisa merupakan racun yang tidak kasat mata, yang disebar oleh makhluk halus atau manusia. Tujuannya adalah untuk mencelakai orang lain. Penyebaran wisa bisa datang kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Menurut Diham54, penyembuh tradisional di desa ini, wisa biasanya disebar saat senja, pada saat air
52
Alfisyah dan Mahendra Utama, (tanpa tahun), Kajian Awal Tentang Agama Islam Orang Pahuluan dan Fungsinya sebagai Basis Pembentukan Harmoni Sosial. 53 Koentjaraningrat, 1974: 269-272 54 0205CLW-Dhm
47
pasang, orang yang di dalam rumah pun bisa merasa badan panas dingin. Gangguan makhluk halus juga berwujud dalam bentuk kesurupan dan mengganggu saat warga mempunyai hajat. Gangguan yang ditimbulkan pada saat punya hajat misalnya, makanan yang dimasak tidak kunjung matang. Untuk menangkal, biasanya warga menabur garam di sekitar perapian memasak. 2.7.2 Peringatan Keagamaan: Isra‘ Miraj. Pada saat pengumpulan data, peneliti sempat mengamati suasana perayaan Isra‘ Miraj di desa ini55. Sehari sebelum perayaan, panitia peringatan telah mengumpulkan uang sumbangan pada warga termasuk pada tim peneliti. Uang sumbangan tersebut dibelikan beras, telur, pisang dan kebutuhan minum. Kebutuhan tersebut adalah bahan untuk membuat teh, susu, gula, sirup, air mineral, kertas dan plastik pembungkus makanan dan minuman. Beras dan telur dibagikan pada ibu-ibu untuk dimasak. Setiap rumah diberi tanggung jawab memasak lima bungkus nasi dengan lauk telur dan sambal. Hasil masakan yang telah dibungkus akan disatukan dan dibagikan pada yang hadir, dengan jumlah satu orang mendapatkan satu bungkus nasi berlauk telur dan satu gelas air mineral. Acara peringatan dimulai dengan hadrah shalawat. Semua yang hadir diminta berdiri untuk bersama-sama mengucapkan shalawat Nabi. Setelah itu, hadirin duduk kembali dan menerima minuman hangat yang dibagikan. Minuman hangat yang dibagikan adalah teh dan susu yang dicampur sirup. Rasa teh yang dibagikan sangat manis. Seorang ibu menawarkan air mineral gelas pada peneliti untuk ditambahkan di air minum jika dirasa terlalu manis . Panitia kemudian membawa bak plastik besar dan kardus-kardus yang berisi pisang ulin (mahuli) yang telah diberi doa dan diedarkan pada warga yang hadir. Warga membeli pisang dengan harga seribu atau dua ribu 55
0305CLObservasi_Peringatan Keagamaan
48
rupiah dengan jumlah pisang yang diambil sesukanya. Pembelian ini hanya sebagai syarat bertukar (membeli). Menurut tokoh agama desa ini, setelah makan pisang ulin yang diberi do’a, hati yang gelisah akan menjadi tenang. Acara puncak peringatan adalah mendengarkan ceramah agama yang disampaikan oleh ustadz dari Banjarmasin. Isi ceramah yang diberikan mengenai riwayat Nabi, perjalanan Nabi dalam Isra’ Mi’raj dan kewajiban ibadah sholat bagi orang Islam. Ceramah disampaikan cukup lama, kira-kira selama dua jam. Hampir semua warga dusun Podok Tengah dan Podok Darat hadir di acara ini, meskipun harus duduk di luar masjid yang cuacanya panas.
Gambar 2.16. Peringatan Isra‘ Miraj di masjid desa (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Bagi warga yang rumahnya dekat dengan masjid, mereka mendengarkan ceramah di teras rumahnya. Setelah ceramah dan doa selesai, panitia membagikan makanan pada masing-masing pengunjung yang hadir. Warga yang menerima makanan, ada yang langsung memakan di masjid, di pinggir sungai, atau makan bersama di depan rumah beramai-ramai, dan ada pula yang membawanya pulang ke rumah. Di pinggir sungai terlihat orang dewasa dan anakanak sedang mencuci tangannya yang kotor setelah makan.
49
2.7.3. Haul dan Berkah Supranatual Tokoh Besar. Partisipasi masyarakat Podok diacara haul Kyai Zaini Abdul Gani di Sekumpul, Martapura pada tanggal 26 Mei 2015 cukup tinggi. Mak Haji menyatakan bahwa kampung sepi, karena warga sebagian besar pergi ke haul (peringatan tahunan) yang ke-10 almarhum Kyai Haji Zaini Abdul Gani di Sekumpul, Martapura. Kegiatan yang dilakukan dihaul tersebut adalah ziarah kubur, berdo’a dan bernadzar (permintaan personal) yang ditujukan pada almarhum56. Dari kegiatan ini terlihat bahwa meskipun masyarakat Banjar merupakan penganut agama Islam, mereka masih mempercayai kekuatan supranatural dari tokoh-tokoh besar yang sudah meninggal. Di desa Podok juga ada makam yang dianggap keramat. Mereka adalah ulama yang biasanya keturunan dari ulama besar di Martapura, misalnya makam Guru Jefri yang semasa hidupnya merupakan ulama dan dihormati di desa ini. Selain makam Guru Jefri, di desa ini ada juga makam lain yang dikeramatkan. Makam yang dianggap keramat biasanya diberi tanda dengan kain berwarna kuning. Kain kuning ini bermakna sakral. Penghormatan pada ulama juga dapat dilihat dari desain ruang tamu rumah warga. Umumnya tergantung foto ulama yang dikagumi, gambar ayat suci Al Qur’an, dan gambar religius lainnya.
Gambar 2.17. Makam keramat di dusun Sakajarak (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
56
2504CLW Hj. Rmh
50
2.7.4 Upacara Ritual Life Cycle. Warga desa ini mengenal ritual dalam setiap perjalanan tahapan kehidupan mulai kelahiran sampai dengan kematian. Kehamilan, kelahiran, masa kanak, remaja, pernikahan, dan kematian adalah siklus kehidupan yang mempunyai ritualnya masing-masing. Ritual nenek moyang orang bahari Bakumpai yang masih dilakukan saat perempuan melahirkan adalah membuat bara api di kolong rumah, disertai parang tanpa gagang, alat untuk memarut kelapa, mahkota buah nanas yang dimaksudkan untuk menjebak hantu kuyang agar tidak mengganggu proses persalinan. Hantu kuyang diyakini mengganggu perempuan bersalin dengan cara menghisap darah perempuan yang bersalin. Gangguan hantu kuyang mengakibatkan perempuan dan bayi yang dikandungnya meninggal karena kehabisan darah. Sekarang sesaji tersebut tetap dilakukan untuk menghindari gangguan dari orang yang memiliki ilmu hitam dan berniat mengganggu proses persalinan. Sesaji ini biasanya dilakukan jika perempuan melahirkan pada bidan kampung (dukun bayi) sebagai bagian dari ritual adat keturunan orang bahari Bakumpai57. Dukun bayi tertua di desa ini yang kami temui menyatakan bahwa dalam ritual menolong kelahiran, menggunakan tali haduk yang terbuat dari ijuk. Tali haduk tersebut ditaruh dibawah kasur dan membentuk segi empat sesuai kasur. Tali ini berfungsi untuk menghalangi hantu kuyang yang ingin menganggu proses kelahiran. Diluar rumah akan dibuat bara yang diletakkan di kolong rumah dan diberi daun jeriangau (sejenis daun pandan yang berbau busuk) dengan tujuan supaya hantu tidak masuk, roh halus tidak bisa datang58.
57 58
0605CLW Latifa 0705CLW Nini TP_DK
51
Saat anak lahir dilakukan selamatan pada hari yang sama dengan tujuan mengucapkan syukur atas karunia Yang Kuasa59. Tiga hari setelah kelahiran, dilakukan upacara mamalas bidan dan tampung tawar. Upacara mamalas bidan, bermakna penyerahan bayi dari bidan kampung kepada ibu. Selama belum dilakukan upacara ini, maka bayi tersebut masih berstatus sebagai anak bidan kampung yang menolong kelahirannya. Ritual dimulai dengan memandikan bayi oleh bidan kampung dan diberi minyak boreh. Air yang digunakan untuk memandikan bayi diberi tunas pisang dan daun ribu-ribu. Maknanya adalah anak akan tumbuh sehat, segar seperti pisang. Setelah dimandikan, bayi akan diberi gelang dari benang tebal (banang lawai) yang diolesi kunyit untuk menjaga dari gangguan makhluk halus.
Gambar 2.18. Alat melahirkan dukun bayi - tali haduk dan sembilu (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Penyerahan bayi pada ibu dilakukan setelah bayi selesai dimandikan dan dipakaikan baju. Bidan kampung akan mengatakan “Nah, ulun ampih menggaduhnya. Ikam pulang menggaduhinya” artinya saya sudah selesai merawatnya, kamu lagi sekarang yang 59
Catatan peneliti: jika anak yang dilahirkan meninggal, maka selamatan mengikuti tradisi ritual kematian.
52
merawatnya. Setelah mengucapkan hal itu dan menyerahkan bayi, bidan kampung akan menerima seserahan atau piduduk. Piduduk biasanya terdiri dari beras, gula, kelapa. Variasi isian piduduk akan ditentukan oleh jenis kelamin bayi. Jika bayi perempuan isi seserahannya adalah beras, gula, bawang, asam, minyak kelapa yang tujuannya hidupnya akan beruntung. Jika bayi laki-laki, seserahannya selain beras juga ada gula merah, kelapa, minyak tanah, minyak kelapa yang bertujuan agar anak pintar mengaji dan lancar dalam pekerjaan.
Gambar 2.19. Bahan untuk memandikan bayi dalam ritual mamalas bidan (tunas pisang dan daun ribu-ribu) dan seserahan/piduduk (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Selesai acara mamalas bidan, dilakukan ritual bertampung tawar. Ritual ini dilakukan oleh dukun bayi dengan mengoleskan tepung (tampung) tawar pada bayi, ibu dan semua yang terlibat dalam proses persalinan agar selalu sehat. Ritual lain yang dilakukan untuk bayi adalah pemberian nama atau dalam bahasa lokal Tasmiyah. Pemberian nama ini bisa dilakukan maksimal sampai usia bayi 40 hari60. Menginjak usia 2-3 tahun, untuk anak perempuan dilakukan ritual sunat. Prosesi sunat perempuan ini dilakukan oleh bidan kampung. Tata cara sunat adalah dengan menggores daging di dekat klitoris dengan pisau sunat yang dimiliki dukun. Prosesi itu dilanjutkan dengan selamatan sederhana. Di desa ini yang hanya satu bidan 60
0705 CLW Nini TP_Dukun bayi
53
kampung yang memberikan layanan sunat perempuan. Alat yang digunakan adalah pisau lipat kecil dan sudah berkarat. Dalam pengamatan peneliti, pisau lipat tersebut tidak pernah dibersihkan dan disterilkan. Dugaan ini diperkuat oleh pengakuan bidan kampung yang memberikan jasa sunat perempuan, bahwa darah dari goresan klitoris membuat pisau ini menjadi lebih tajam dan pisau tidak perlu dibersihkan61. Bagi masyarakat desa ini, sunat pada perempuan bernilai penting untuk membuang daging yang tidak perlu dan mengganggu. Jika tidak dilakukan sunat, dapat menghambat perempuan pada saat akan melahirkan. Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa daging yang seharusnya dibuang yang letaknya dekat klitoris akan menghambat kelancaran proses melahirkan. Lebih lanjut diceritakan bahwa, informan pernah melakukan sunat pada perempuan yang yang akan melahirkan. Sunat tersebut dilakukan karena perempuan tersebut mengalami kesulitan dalam proses bersalin. Ketika informan menanyakan pada perempuan yang ditolong persalinannya tersebut, diketahui bahwa perempuan tersebut belum disunat saat kecil. Setelah dilakukan sunat olehnya, maka proses persalinan lancar62. Dari wawancara dengan Pembakal dan istri63, diperoleh informasi perbedaan nilai sunat perempuan dan laki-laki. Ritual setelah sunat perempuan adalah selamatan sederhana sebagai penanda bahwa anak perempuan tersebut sudah melakukan sunat. Anak laki-laki melakukan sunat saat berumur 7-8 tahun. Biasanya anak laki-laki melakukan sunat saat libur sekolah dan berangkat ke tenaga kesehatan di kota lain beramai-ramai dengan kapal kelotok. Setelah mereka pulang dari mantri kesehatan, di rumah telah disiapkan selamatan yang diiringi oleh terbangan burdah (melagukan burdah 61
1705CL Observasi alat dukun bayi ID 0405CLW DK_ID 63 1805CLW Pembakal Adn_02 62
54
yang dibacakan diiringi musik rebana). Hadiah seperti kalung, gelang emas dan baju juga disiapkan oleh keluarga. Perayaan pada sunat lakilaki merupakan penanda bahwa anak laki-laki tersebut telah memasuki salah satu rangkaian fase kehidupan yang lebih lanjut. Sunat pada laki-laki di desa ini bisa dimaknai sebagai penanda baligh (dewasa secara biologis), sedangkan pada perempuan penanda kearah dewasa secara biologis adalah menstruasi. Ritual life cycle setelah sunat pada perempuan maupun lakilaki adalah perkawinan, ritual mandi dan selamatan saat hamil tujuh bulan kehamilan, dan peringatan kematian. Bulan dilakukan perkawinan di desa ini adalah setelah masa panen, yaitu bulan Oktober sampai Desember. Resepsi biasanya dilakukan pada hari Minggu. Biasanya acara perkawinan minimal berlangsung selama tiga hari. Hari pertama adalah persiapan, hari kedua pelaksanaan resepsi, dan hari ketiga adalah membersihkan rumah dan tempat dari sampah sisa pesta. Pada tahap persiapan yang hadir yaitu kerabat dan tetangga untuk membantu menyiapkan makanan dan kebutuhan pesta perkawinan. Makanan yang dimasak untuk kerabat dan tetangga yang membantu adalah sayur buah nipah muda dengan lauk ikan asin goreng. Pada saat resepsi perkawinan, masakan yang dihidangkan adalah soto banjar, sup ayam, ikan tongkol bumbu balado merah, dan ikan yang dimasak bumbu kari 64. Gangan gadang pisang (sayur inti batang pisang) biasanya juga dihidangkan. Makna menghidangkan sayur inti batang pisang ini untuk mendinginkan suasana dan harapan kondisi rumah tangga pengantin akan senantiasa damai. Filosofi pohon pisang juga dianut dalam perkawinan suku Banjar. Dalam hantaran perkawinan, biasanya terdapat tunas pohon pisang. Tunas ini akan ditanam oleh pengantin.
64
0605CLW Latifa
55
Tunas pisang yang terus tumbuh meskipun sudah berbuah berkali-kali, melambangkan awetnya kehidupan rumah tangga65. Sebelum resepsi, biasanya akan disiapkan sesajen dan dilakukan ritual betimung atau meratus. Sesaji diletakkan di bawah pelaminan pengantin. Isi sesaji adalah kelapa muda, tape ketan dan tape beras, ketan yang dimasak dan diatasnya diberi telur ayam kampung, bubur beras merah dan putih, pisang, kopi manis dan pahit, dan beras yang telah disangrai. Tujuan sesaji ini adalah pengantin tidak dirasuki oleh roh halus, karena pengantin berpakaian seperti putri66.
Gambar 2.20. Ritual betimung dan lulur betimung (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Ritual betimung atau meratus dilakukan sebelum resepsi pernikahan yang tujuannya adalah menghilangkan bau badan dan membuat kulit tubuh segar serta cerah. Ramuan betimung terdiri dari daun pandan, kayu manis dan beberapa rempah lain yang direbus. Uap rebusan ramuan digunakan untuk menguapi pengantin. Caranya 65
Tajudin Noor Ganie, 2010, Mengenal Benda-Benda Berdimensi Magis Dalam Religi Orang Banjar di Kalimantan Selatan; 1305CL Observasi Sakamangkok; diskusi peneliti dengan asisten peneliti. 66 0605CLW Latifa
56
adalah panci rebusan yang masih mengepulkan uap ramuan yang panas diletakkan dibawah tempat duduk calon pengantin. Selanjutnya tubuh calon pengantin dibalut tikar pandan dan kain yang dililitkan sekitar tikar yang menutup tubuh pengantin. Cara seperti ini diyakini akan membuat uap rebusan daun pandan dan kayu manis benarbenar merasuk pada tubuh pengantin. Ijab qabul pada prosesi perkawinan dilakukan sebelum resepsi. Dalam ijab qabul ini pengantin laki-laki memberikan seserahan/mahar. Menurut beberapa informan, dahulu seserahan perkawinan berupa uang. Sekarang, dengan banyaknya pilihan barang yang ada di pasaran, seserahan bergeser berupa barang-barang yang disukai oleh pengantin perempuan. Pada saat resepsi, pengantin dirias dengan memakai baju adat Banjar. Pada acara resepsi perkawinan, biasanya pesta akan dibuka dengan tarian sinoman hadrah yang ditarikan oleh pemuda. Saat ini cukup sulit untuk mencari pemuda yang menarikan tarian ini. Di desa ini hanya di dusun Podok Darat yang masih menyajikan tarian sinoman hadrah sebagai pembuka resepsi perkawinan. Pada masa kehamilan, khususnya saat usia kehamilan tujuh bulan biasanya dilakukan ritual mandi tujuh bulan bagi ibu hamil. Ibu hamil dimandikan air yang dibacakan yasin yang diberi kembang. Alat lain yang digunakan adalah mayang kelapa dan kain kuning untuk membalut tubuh. Air yasin yang bercampur kembang diguyurkan dengan posisi mayang diatas kepala. Air dari gayung mengucur diselasela pokok mayang kelapa yang dipegang oleh orang yang memandikan. Peran orangtua dan dukun bayi dalam acara mandi tujuh bulan ini sangat menonjol. Ibu dari pihak perempuan yang memandikan perempuan yang sedang hamil tersebut, sedangkan dukun bayi berperan dalam mengatur ritual acara dan doa67.
67
0205CLW Amnah
57
Ritual mandi tujuh bulan dibedakan untuk anak urutan genap dan urutan ganjil. Kehamilan anak urutan genap melakukan ritual mandi tujuh bulan seperti yang telah dipaparkan, sedangkan anak urutan ganjil dilakukan ritual mandi baya68. Syarat mandi baya adalah kain hirang (kain berwarna hitam) sepanjang satu meter yang ditutupkan ke kepala ibu hamil, air baya (air biasa yang dibacakan ayat kursi yang dibaca tiga kali), air yasin (air biasa yang dibacakan yasin), kembang (kenanga, melati, mawar yang dirangkai dengan rafia diberi daun pandan/daun kelapa/daun pisang). Pihak yang memandikan dalam mandi baya adalah bidan kampung dan orang yang dituakan (biasanya orangtua atau kerabat). Satu orang akan memberikan siraman sebanyak tiga kali di kepala, bahu kanan dan kiri, dan membaca sholawat. Bacaan yang dilafalkan dalam ritual ini adalah “Bismillah, Talang, Bikim, Bisim” yang artinya Bismillah hilanglah seluruh penyakit69. Saat mandi baya perempuan yang hamil tujuh bulan duduk menghadap matahari hidup (matahari yang belum tenggelam). Waktu dilakukan mandi baya adalah setelah sholat Dhuhur sampai setelah Ashar. Maknanya adalah supaya ibu hamil tersebut mudah melahirkan – semudah matahari yang naik ke atas dan turun pada saat senja. Makna mandi baya adalah menghilangkan/melepaskan setan yang membekap ibu yang sedang hamil anak urutan ganjil. Urutan acara mandi baya adalah membaca yasin, siraman, dan selamatan. Setelah acara ritual mandi, dilakukan selamatan. Tidak ada perbedaan selamatan mandi tujuh bulan yang biasa dan mandi baya70. Salah satu siklus kehidupan selanjutnya adalah kematian, yang memisahkan roh dengan kehidupan didunia. Ritual penguburan di desa ini cukup unik, karena dipengaruhi kondisi geografis desa pesisir 68
0305CLW DK FD 0705CLW Nini TP_DK 70 ibid 69
58
sungai muara laut. Ritual sebelum penguburan yaitu memandikan jenasah. Jenasah dimandikan dengan air mandi sembilan71. Istilah air mandi sembilan diambil dari mengguyurkan air di tubuh sisi kanan tiga kali, tubuh sisi kiri tiga kali, dan kepala tiga kali. Sehingga kalau dijumlahkan semuanya sembilan. Setelah jenasah dimandikan secara tata cara Islam oleh orang yang profesinya memandikan jenasah, kemudian dikafani. Proses mengkafani jenasah dilakukan oleh keluarga dan kerabat. Setelah dikafani dan disholatkan, maka jenasah akan dimasukkan ke dalam peti kayu yang terbuat dari ulin atau kayu biasa untuk dikubur. Metode penguburan ini dilakukan karena tanah desa yang lembek dan mengandung air. Penggunaan peti kayu ini bermakna untuk melindungi jenasah agar tidak hanyut terbawa air, jika tanah makam tergerus air atau saat air pasang72. Peringatan untuk orang meninggal yang dilakukan di desa ini biasanya dimulai dari hari tiga, tujuh, 25 (nyelawi), 40 (mematang puluh), 100 (menyeratus), satu tahun (haul) dan haul ditahun-tahun berikutnya. Kami sempat melihat pelaksanaan haul tahun ketiga almarhum suami pemilik rumah. Peringatan ini dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tetangga. Beberapa hari sebelum acara, Mak Haji telah menyiapkan kebutuhan dan alat-alat makan minum yang diperlukan. Tikar dan karpet disiapkan oleh pemilik rumah untuk digelar. Acara dimulai dengan sholat Maghrib, dilanjutkan dengan doa dan sholat Isya. Prosesi sholat dan doa di acara haul ini dipimpin oleh seorang guru (ustadz) asal Banjarmasin yang didatangkan oleh anak Mak Haji yang tinggal di kabupaten lain. Laki-laki banyak terlibat dalam prosesi doa termasuk mengikuti sholat. Sedangkan perempuan, selain mengikuti sholat juga menyiapkan sajian acara dan membersihkan
71 72
1605CLW Nini Pupur 2504CLW ABD; 1805CLW Pembakal Adn_02; 1805CLW Hj. Rky
59
tempat, peralatan yang dipakai untuk acara dan sajian yang dihidangkan. Hidangan yang disajikan dalam haul yang diikuti peneliti adalah kue, nasi dengan lauk urap dan ayam, teh manis. Masakan urap biasanya dibuat dari sayuran hijau. Terbatasnya ketersediaan sayur di desa ini, menyebabkan urap yang disajikan malam ini terdiri dari sambal kelapa parut dan terung kecil yang direbus. Ibu-ibu yang hadir membantu acara haul ini ketika datang membawa ragam bahan makanan seperti gula dan beras. Begitu mereka datang, maka secara otomatis terlibat dalam proses penyiapan makanan dan minuman. Acara lantunan doa untuk arwah almarhum suami Mak Haji cukup panjang. Acara tersebut ditutup dengan makan malam. 2.8. Organisasi Sosial dan Sistem Kemasyarakatan Pemerintahan formal di desa Podok, menurut H. Nanang73, sampai saat ini sudah lebih dari delapan pembakal (kepala) yang memimpin desa ini. Sejarah desa secara administratif dituturkan oleh informan bahwa awalnya Podok masuk dalam wilayah Kota Banjarmasin. Ketika terbentuk Kabupaten Banjar maka desa ini masuk Kabupaten Banjar. Awalnya wilayah desa Podok sangat luas, yang saat ini meliputi enam desa yaitu Terapu, Kampung Baru, Kuin Besar, Kuin Kecil, Handil Bujur, dan Podok. Pemilihan penjabat posisi Pembakal dilakukan secara langsung, karena status wilayah ini sebagai desa. Prosesnya adalah pendaftaran, seleksi salon pembakal, pengumuman hasil seleksi, dan pemilihan langsung. Pembakal saat ini adalah pejabat sementara, karena Pembakal sebelumnya mengikuti pemilihan caleg dari salah satu parpol. Selanjutnya peneliti menanyakan struktur pemerintahan desa yang menghasilkan bagan sebagai berikut: 73
0205CLW-H. ADR dan H. ANK
60
Gambar 2.21. Struktur Pemerintahan desa Podok (sumber: wawancara informan tokoh masyarakat, 2015)
Untuk menjalankan fungsi pemerintahan desa, Pembakal atau Kepala desa dibantu oleh sekretaris, dan tiga kaur, yaitu pemerintahan, pembangunan dan Kesra. Kaur Kesra membawahi urusan kesehatan dan bantuan dari pemerintah seperti BLT dan Raskin. H. Nanang memahami struktur pemerintahan desa, karena pernah menjadi sekretaris desa. Informan berhenti menjabat sekretaris desa ketika diterima sebagai PNS Guru SD. Dari tuturannya, informan merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di desa ini. Dia terlibat sebagai panitia seleksi para calon pembakal yang nantinya dipilih secara langsung. Informan juga aktif di parpol, dahulu di Golkar dan sekarang di Nasdem. Kontak dan hubungan dengan birokrasi di kecamatan, kabupaten, DPRD I dan II, juga Gubernur cukup kuat. Kedekatannya dengan Bupati dan DPRD menjadikan desa Podok mendapatkan PNPM untuk jalan desa tahun 2005 untuk tahap I dan tahap II tahun 2011/2012. Jalan yang dibangun panjangnya lima kilometer yang dibangun tahun 2005. Sayangnya, permukaan tanah turun dan sebagian rusak karena air pasang. Sehingga dilakukan pelapisan kedua di tahun 2011/2012. Jalan yang dibangun adalah jalan
61
tanah dan hanya sebagian yang menggunakan material papan kayu penyangga badan jalan dan diisi galam serta pasir batu dan semen. Terkait dengan organisasi sosial di desa ini lebih banyak yang bersifat keagamaan, mulai dari anak-anak, remaja, ibu dan bapak. Anak-anak mempunyai kegiatan belajar mengaji setiap hari menjelang Ashar dan setelah Ashar, kecuali hari Jum’at. Tempat anak-anak mengaji adalah pesantren di MTs Podok. Hari Jum’at adalah jadwal pengajian burdah dan arisan kampung bagi ibu-ibu. Sedangkan untuk bapak-bapak, kegiatannya adalah pengajian setiap Selasa malam dan Sabtu malam. Pembakal menyebutkan dalam pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kegiatannya adalah membaca Burdah. Kitab Burdah berisi amalan-amalan terkait riwayat Nabi beserta sahabatnya. Pengajian burdah juga dilakukan remaja. Kegiatan lain untuk remaja di desa ini tidak ada, misalnya olahraga karena terkendala ketersediaan lapangan. Padahal menurut peneliti, olahraga air seperti dayung bisa dilakukan, atau merelakan sebagian lahan desa untuk lapangan. Tampak kurang ada upaya untuk pembinaan kegiatan remaja. Sebagai informasi tambahan, di desa ini tidak ada organisasi Karangtaruna74.
Gambar 2.22. Kegiatan pengajian Burdah Ibu (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Peneliti juga melakukan analisis kritis terkait kegiatan keagamaan yang dilakukan warga. Kegiatan ini sebetulnya adalah 74
2504CLW Pembakal Adn_01
62
modal sosial yang belum terkelola dengan baik untuk kemajuan kehidupan komunitas dalam pemenuhan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi. Selama mengikuti kegiatan keagamaan, terdapat perbedaan aktivitas yang dilakukan oleh pengajian ibu-ibu dan bapak. Dalam pengajian ibu-ibu, acara utama adalah mengaji kitab burdah, makan, iuran beras dan uang untuk pengajian minggu depan, selanjutnya peserta pengajian pulang. Pada pengajian burdah bapak-bapak, setelah selesai mengaji, mereka makan, merokok, dan berbincang tentang kehidupan di desa. Topik yang diperbincangkan misalnya kondisi infrastruktur jembatan dan jalan di desa serta rencana perbaikan, dan tanaman padi di sawah serta hasil panen. Dari informasi ini terlihat bahwa peran sosial laki-laki di komunitas untuk hal yang bersifat kepentingan publik lebih menonjol daripada perempuan. Perempuan memberikan sumbangan pada kehidupan di desa lewat kemampuan domestiknya, namun kurang terlibat untuk pengambilan keputusan publik kehidupan komunitas. Sistem kekerabatan, Perkawinan, Pembagian Kerja berdasar Gender. Suku Banjar mendasarkan kekerabatan mereka menurut garis dari keturunan ayah dan garis keturunan ibu atau bilateral. Tetapi diakui bahwa dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut masalah kematian, perkawinan yang menjadi wali adalah garis dari pihak ayah. Masyarakat suku Banjar mengenal istilah Bubuhan. Yang dimaksud dengan istilah bubuhan dalam masyarakat Banjar adalah kelompok kekerabatan yang merupakan kumpulan dari keluarga batih yang merupakan satu kesatuan, yang terdiri dari dua keluarga batih atau lebih yang masih mempunyai hubungan keturunan satu sama lain, baik menurut garis keturunan ayah atau ibu. Pendidikan pengajaran peran perempuan dan laki-laki yang dianut oleh masyarakat setempat hingga saat ini dilakukan oleh
63
orangtua, terutama ibu. Menurut istri pembakal75, anak mulai dikenalkan pendidikan kebersihan diri dan keterlibatan dalam menjaga kebersihan sejak usia 4-5 tahun. Terdapat perbedaan pengajaran antara anak perempuan dan laki-laki. Pada anak perempuan, sejak usia kelas satu SD mereka sudah diajari cara mencuci baju yang ringan, seperti baju dalam. Pembelajaran ini terkait dengan persepsi bahwa anak perempuan lebih rajin dan tanggung jawab kerja domestik akan menjadi tanggung jawab perempuan. Berdasar pemikiran tersebut, anak perempuan semenjak SD diajari untuk sudah mampu mencuci baju mereka, memasak dan bersihbersih rumah. Pada anak laki-laki akan diajari pekerjaan domestik jika memang akan meninggalkan rumah untuk sekolah. Selama wawancara dengan istri Pembakal, misalnya, anak laki-laki Pembakal belajar mencuci dan memasak saat menjelang kuliah di kota. Pembagian kerja domestik antara perempuan dan laki-laki untuk bersama-sama melakukannya sebagai kerja bersama terlihat kurang ada. Hal yang sama diungkapkan oleh Hj. Kayah, bahwa pembedaan pendidikan pada anak perempuan dan laki-laki juga dalam hal adab pergaulan. Pengajaran nilai agama di desa ini cukup kuat, namun menurut informan adab pergaulan saat ini sudah mengalami pergeseran. Dalam hal berpakaian, dahulu anak perempuan hanya boleh memakai tapih (kain). Orangtua sangat ketat dalam aturan berpakaian. Jika keluar rumah, anak perempuan harus minta izin orangtua. Jika keluar rumah tanpa izin akan dimarahi oleh orangtua. Pergaulan perempuan dan laki-laki dibatasi. Jika ketahuan pacaran atau bermain dengan teman laki-laki dimarahi oleh orangtua. Adab pergaulan perempuan diatur ketat, sebaliknya tidak untuk laki-laki. Anak laki-laki dapat keluar rumah untuk bergaul dengan temantemannya sekehendak hati. Hal ini salahsatunya disebabkan tidak ada 75
1805CLW Pembakal Adn_02
64
beban kerja domestik pada mereka. Saat ini aturan ketat ini agak sulit diterapkan. Anak sekarang bergaul bersama teman-temannya baik perempuan dan laki-laki. Meskipun terjadi pergeseran adab pergaulan, keyakinan beban kerja domestik yang merupakan domain perempuan masih kuat, demikian pula pembatasan pada perempuan tetap ada dalam hal aktivitas diluar rumah76. Saat ini pemilihan jodoh ditentukan oleh anak-anak sendiri, meskipun masih banyak terjadi perjodohan yang diatur oleh orangtua. Perkawinan antar etnis juga tampak di desa ini, misalnya etnis Banjar di dusun Podok Tengah dengan etnis Bugis di dusun Sakajarak. Di desa ini, rata-rata usia pernikahan adalah 15-16 tahun77. Banyaknya pernikahan dini berkaitan dengan persepsi gender mengenai peran perempuan dan keyakinan adat bahari Bakumpai. Secara umum perempuan dididik untuk tugas domestik. Sekolah untuk perempuan tidak perlu tinggi, karena perempuan kembali ke dapur dan kawin. Persepsi tentang pentingnya pendidikan untuk perempuan terlihat kurang. Ida, informan yang ditemui menyatakan bahwa di keluarganya, agak berbeda dengan masyarakat pada umumnya, dimana anak-anak perlu sekolah tinggi dan bekerja dengan keahliannya. Pendapatnya tentang perkawinan dini selain dipengaruhi oleh persepsi gender, juga ekonomi. Menurutnya, banyaknya pernikahan dini disebabkan oleh faktor ekonomi dan faktor keyakinan keluarga atas pembedaan peran gender laki-laki dan perempuan, dimana perempuan kembali ke ranah domestik karena itu adalah kodratnya78. Pada pasangan yang baru menikah, tempat tinggal setelah menikah bisa memilih tinggal di pihak perempuan atau laki-laki. 76
1805CLW Hj. Rky Catatan peneliti: usia pernikahan 15-16 tahun ini, selain dipengaruhi oleh persepsi gender, juga keyakinan adat orang bahari Bakumpai yang menyatakan bahwa anak perempuan dikawinkan pada usia 15-16 tahun. 78 2804CLW RD 77
65
Biasanya, pasangan yang baru menikah selama satu tahun tinggal di rumah mertua dari pihak perempuan. Tujuan tinggal di rumah mertua perempuan selama satu tahun adalah mengumpulkan modal untuk membuat rumah, membeli alat transport (kapal kelotok), dan modal untuk membuka usaha79. 2.9. Pengetahuan Mengenai Sehat Sakit 2.9.1. Konsep Sehat Sakit dan Selamat Konsep sakit atau garing menurut informan yang ditemui selama pengumpulan data, yaitu ketika seseorang tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, tidak mau makan dan minum. Perubahan tubuh pada orang sakit ditandai dengan pucat dan lesu yang menghambat kegiatan sehari-harinya, dan akhirnya menjadi semakin lemah dan kurus. Sedangkan konsep sehat adalah kondisi dimana seseorang masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Dari konsep yang diberikan oleh informan, seseorang yang secara etik/medis modern dinyatakan tidak sehat, menurut masyarakat (emik) sepanjang masih dapat melakukan aktivitasnya maka masih bisa dikatakan sehat. Perawatan orang yang sakit tergantung pada kondisi yang diderita oleh si sakit. Perawatan penyakit juga tergantung pada konsep panas dingin yang dianut masyarakat. Pengalaman Hj. Kayah selama ini ketika tubuh sakit memakai obat herbal, misalnya, tubuh panas demam maka menggunakan daun kaca piring, dimana daun diremas dan dicampur air kemudian diusap ke tubuh. Tindakan ini diyakini menurunkan panas demam80. Informan juga menggunakan minyak kelapa dan bawang untuk diusapkan ke tubuh dengan tujuan menurunkan sakit demam menggigil. Ramuan minyak kelapa dan 79
1605 CLW Fjr_02 Catatan peneliti: metode pengobatan serupa juga pernah dilihat peneliti di salah satu rumah warga yang anaknya sakit demam dan dikompres dengan air yang dicampur dengan daun kaca piring. 80
66
bawang tidak boleh diusapkan ke area perut karena bisa menimbulkan panas dalam81.
Gambar 2.23. Perawatan anak demam dengan kompres daun kaca piring (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Masyarakat Banjar percaya efek beberapa bahan makanan panas dingin pada tubuh. Makanan yang biasanya dikategorikan panas adalah merica (sahang), jahe, dan cabi (cabe jawa). Sedangkan makanan yang dikategorikan dingin adalah gangan gadang pisang, jalukap (pegagan) dan selasih. Selain makanan, masyarakat juga menggunakan pupur dingin yang umumnya untuk melindungi kulit dari teriknya cuaca. Bahan pupur dingin ini selain tepung beras juga air perasan daun-daun yang sifatnya mendinginkan. Daun-daun yang sifatnya mendinginkan yaitu daun jalukap (pegagan), tambura, kambat, dilam, pudak (pandan), dan daun ribu-ribu. Penggunaan pupur ini selain untuk mendinginkan kulit saat cuaca panas, juga digunakan bersama garam kasar untuk mempercepat pupusnya tali pusat bayi82. Untuk menjaga keseimbangan tubuh dari panas dingin, disarankan memberi waktu istirahat tubuh dan organ yang kondisinya 81 82
1805 CLW Hj. Rky 1605CLW Nini Pupur
67
masih panas setelah bekerja seharian. Menurut Ahlan, salah satu penyembuh tradisional di desa ini, tubuh tidak boleh diguyur, namun harus diseka dengan air untuk mendinginkan tubuh dan organ-organ tubuh. Orang yang selesai bekerja dianjurkan tidak langsung mandi, tetapi memberi waktu tubuh untuk beristirahat. Waktu istirahat ini bertujuan memberi waktu pada organ untuk rehat sejenak dan menurunkan temperatur tubuh. Jika langsung mandi selesai bekerja, maka tindakan tersebut dapat merusak organ. Tata cara mandi yang baik menurut informan adalah menyiram tubuh bagian pinggang ke bawah, selanjutnya adalah tubuh bagian atas83. Dalam memaknai konsep selamat, warga desa ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam yang dianutnya. Menurut informan, makna selamat adalah selamat dunia akhirat dengan mengamalkan agama. Menjalani hidup dengan baik dan banyak amalnya dengan cara sholat, mengaji, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari di bulan Rajab, puasa Ramadhan. Masyarakat desa ini menilai penting agama, sehingga menanamkannya pada generasi muda sejak anak-anak. Anak-anak sejak kecil secara rutin belajar mengaji di pesantren. Dengan mengamalkan agama, akan dimudahkan hal yang diniatkan untuk dilakukan. Orang yang selamat adalah orang yang mencapai segala yang diniatkan untuk dituju baik di dunia maupun akhirat84. 2.9.2. Penyembuh Tradisional Di desa ini sebetulnya terdapat beberapa penyembuh tradisional, namun yang masih aktif memberi layanan hanya dua orang laki-laki di dusun Podok Tengah. Di dusun lainnya penyembuh tradisional sudah berusia tua dan terkena sakit stroke. Penyembuh tradisional di desa ini, biasa disebut dengan tabib atau penambaan. Selain dua orang tersebut, terdapat tiga dukun bayi atau istilah 83 84
0305 CLW Mahlan_penyembuh tradisional 1805 CLW Rky; 1605 CLW Nini Pupur
68
lokalnya bidan kampung. Mereka juga berperan sebagai penyembuh tradisional terkait dengan penyakit balita, anak-anak dan perempuan. Dari wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa satu orang penambaan dan dua dukun bayi yang diwawancarai, memperoleh kemampuannya karena keturunan. Diham yang merupakan salahsatu penambaan di desa ini mengatakan bahwa kemampuan supranaturalnya diperoleh berdasarkan keturunan. Informan mengaku sebagai keturunan alim ulama, sehingga ilmu yang digunakan untuk menyembuhkan sumbernya adalah agama dan kekuatan Al Qur’an. Untuk menjaga kemampuan supranaturalnya, informan melakukan amalan-amalan sholat tahajud dengan membaca ayat-ayat khusus selama 41 hari, yang dilakukan pada jam 2-3 dini hari. Menurutnya, bulan bagus untuk melakukan amalan itu adalah bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan85. Dua dukun bayi yang ditemui juga memperoleh kemampuannya berdasarkan keturunan. Ada kesamaan cerita diantara keduanya. Keduanya sama-sama mendapatkan pertanda melalui mimpi. Bacaan dan tatacara pertolongan juga diperoleh melalui mimpi. Salah satu dukun bayi yang awalnya menolak untuk menjalani profesi tersebut, merasa seluruh tubuhnya sakit dan sembuh setelah menyetujui menjalani hidup sebagai dukun bayi86. Seorang penambaan dan seorang dukun bayi lainnya memperoleh kemampuan karena belajar dari keluarga yang tidak berkaitan darah secara langsung. Ketiga dukun bayi selain memberikan pertolongan persalinan, juga memberi layanan urut pada balita, anak dan perempuan. Walaupun pemerolehan kemampuan berbeda, semua penyembuh tradisional merasa terikat untuk selalu menolong setiap yang datang meminta bantuan. Katanya, jika menolak maka tubuh mereka akan terasa sakit. Dalam struktur sosial 85 86
0205CLW Dhm 2804CLW ID_DK; 0705CLW Nini TP_DK
69
budaya di desa ini, posisi dan peran penambaan dan dukun bayi dipandang terhormat, terkait kemampuan mereka sebagai penolong, penyembuh orang sakit, dan terlibat dalam ritual life cycle. 2.9.3. Teknik penyembuhan Dari beberapa pola pengobatan yang dilakukan oleh penyembuh tradisional dapat dinyatakan bahwa teknik penyembuhan adalah dengan memakai jimat, menggunakan minyak kelapa yang diberi bacaan khusus, menggunakan air, tumbuhan herbal, urut, pidara (mengusir makhluk halus yang mengganggu). Masing-masing penyembuh memiliki teknik sendiri, meskipun ada hal yang sama digunakan yaitu penggunaan media air sebagai media penyembuhan. Media Air untuk Penyembuhan. Air atau banyu dalam bahasa Banjar merupakan benda cair yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Banjar untuk mengobati aneka penyakit. Hal ini berarti, air diyakini memiliki tuah magis tertentu yang difungsikan sebagai sarana untuk tujuan pengobatan87. Ragam air yang digunakan untuk ritual pengobatan adalah air Yasin, air Baya, air Singgugut, air Palungsur, air Meruyan, dan beberapa ragam penyebutan air penyembuh sesuai dengan kegunaan mengobati jenis penyakitnya. Penggunaan air Yasin untuk pengobatan penyakit umum seperti demam. Manfaat menggunakan air yasin adalah menurunkan demam tinggi, seperti diceritakan oleh Nini Pupur berikut ini: “Untuk perawatan orang sakit, biasanya dibawa ke orang alim yang bisa mengobati dengan air penawar (tawar dingin), dimana air biasa dibacakan ayat Qur’an. Jika badan yang sakit panas, maka dibacakan surat Yasin (banyu Yasin). Air yang diberikan oleh penyembuh akan diminum dan sebagian diusapkan ke badan. Tidak ada pantangan yang
87
Tajuddin Noor Ganie, 2010, Mengenal Benda-Benda Berdimensi Magis dalam Religi Orang Banjar di Kalimantan Selatan.
70
diberikan pada orang sakit, selama sudah mendapat air tawar dingin dari penyembuh”.
Selain digunakan untuk pengobatan penyakit demam, air yasin ini biasanya digunakan untuk sarana mandi tujuh bulan kehamilan. Tujuan pemakaian air ini adalah untuk melindungi janin yang sedang dikandung ibu supaya sehat dan selamat dari segala gangguan. Dalam mandi tujuh bulan, bagi anak urutan ganjil selain menggunakan air yasin, juga akan menggunakan air baya dalam ritual mandi baya. Air baya yaitu air yang dibacakan ayat Kursi, dengan tujuan menjaga ibu dan bayi dari gangguan makhluk halus yang jahat yang diyakini mengganggu ibu dan janin. Media air juga digunakan dalam penyembuhan masalah kesehatan reproduksi perempuan yang haid tidak teratur dan sulit memiliki keturunan. Menurut Ahlan88, perempuan yang sakit saat menstruasi disebabkan oleh binatang gaib yang bernama singgugut yang masuk ke tubuh berbentuk kutu. Saat binatang gaib tersebut berada di Rahim, maka berubah bentuk seperti cecak yang memakan telur di rahim. Kondisi ini menyebabkan perempuan merasakan sakit saat menstruasi, menstruasi tidak teratur, dan sulit hamil. Untuk menyembuhkan diberi air penawar yang diberi doa khusus, yang disebut dengan istilah air singgugut. Pada saat melahirkan dan pasca melahirkan, seringkali digunakan air palungsur dan air meruyan. Air palungsur merupakan air yang digunakan untuk memperlancar persalinan. Air ini dibuat dari air biasa yang dibacakan doa tertentu oleh dukun bayi dan diminumkan kepada ibu yang mengalami kesulitan bersalin. Sedangkan air meruyan merupakan air yang dibacakan doa tertentu oleh dukun bayi untuk membersihkan darah meruyan (darah nifas) pada ibu pasca bersalin. Darah meruyan menurut dukun bayi yang 88
0305CLW Mahlan_penyembuh tradisional
71
kami temui merupakan darah beku yang pada rahim ibu selama mengandung. Jika tidak keluar maka akan menjadi penyakit89.
Gambar 2.24. Minyak oles dan jimat (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Minyak Oles untuk Segala Penyakit. Minyak kelapa atau minyak lemak (dalam bahasa Banjar) selain berfungsi untuk proses memijat orang, juga digunakan sebagai media pengobatan setelah melalui proses tertentu. Untuk membuat minyak oles, informan Diham menggunakan minyak kelapa yang dirajah, dibakar, didiamkan dan diambil bagian yang paling atas. Minyak kelapa yang diolah ini bisa disimpan dalam botol, jika tinggal sedikit bisa ditambahkan dengan minyak kelapa biasa. Untuk mengobati penyakit yang cukup berat, minyak oles perlu dirajah ulang untuk menambah kekuatan penyembuhannya90. Pengobatan Pidara. Pidara adalah ritual yang dilakukan untuk mengusir gangguan roh halus yang mengakibatkan sakit pada yang terkena. Pidara bisa dilakukan pada semua usia, mulai bayi sampai dengan dewasa. Di desa ini, peneliti sempat mengamati dua ritual 89 90
0405CLW DK ID; 0705CLW Nini TP_DK 0205CLW Dhm
72
pengobatan pidarai pada balita yang dilakukan dua orang dukun bayi. Balita pertama terlihat agak kurang sehat. Balita yang pertama kena tegur roh datuknya (nenek moyangnya) saat lewat di daerah dekat makam. Sedangkan, balita yang lain sedang sakit diare sekaligus kena tegur roh. Alat yang diperlukan adalah kunyit dan kapur. Terdapat perbedaan pada alat penggerus kunyit dan titik tubuh yang dioles gerusan kunyit dan kapur. Pada informan Fid yang mengobati balita yang kena tegur, kapur lembek dioleskan di setiap sudut dan titik tengah bakul bamban. Setelah itu kunyit digerus sambil membaca shalawat. Hasil gerusan kapur dan kunyit dioleskan pada pelipis kanan kiri, bahu kanan kiri, dan terakhir di ulu hati. Setelah mengoleskan gerusan, informan meniup diatas kepala bayi sebanyak tujuh kali sambil membaca shalawat tujuh kali. Sisa kunyit akan dilempar sejauh mungkin, yang bermakna bahwa penyakit yang diderita dibuang sejauh mungkin91. Pada balita yang menderita diare dan juga kena tegur roh, Bu Hida menggerus kapur dan kunyit pada parang. Hasil gerusan dioleskan pada sisi kepala kanan dan kiri, bahu muka kanan dan kiri, lutut kanan dan kiri, dan telapak kaki kanan dan kiri. Setelah mengoles gerusan kapur dan kunyit, parang diayun-ayunkan di sekitar tubuh bayi dan sisa kunyit yang digerus dilempar sejauh mungkin. Menurut informan, penggunaan parang dalam menggerus kapur dan kunyit, agar tubuh bayi menjadi sekuat parang. Sisa kunyit yang dilempar menyimbolkan agar penyakit yang ditimbulkan oleh gangguan roh pergi meninggalkan si sakit sejauh mungkin92. Disampaikan juga oleh Bu Fid, bahwa penggunaan kapur dan kunyit adalah barang yang disepakati sebagai sumpah dengan hantu atau roh halus yang mengganggu. Warna kunyit yang digerus jika 91 92
0305CLObservasi DK FDL_Pidarai 0305CLObservasi DK ID_Pidarai
73
berwarna kuning kemerahan berarti “kena tegurnya” sudah berlangsung lama dan kondisi si sakit cukup parah.
Gambar 2.25. Ritual Pidarai pada balita (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Penggunaan kunyit, juga digunakan informan Diham untuk menyembuhkan pasien yang kesurupan karena diganggu roh halus. Informan menggunakan kunyit, kapur, kelapa, rajah di badan dengan tangan kosong, memakaikan jimat yang isinya ayat Qur’an pada pasien untuk penangkal. Setelah itu pasien mandi dengan menggunakan kain warna kuning. Warna kuning ini dipilih karena kuning untuk penangkal roh jahat. Kepercayaan Kekuatan Jimat. Kepercayaan pada jimat juga masih kuat di desa ini. Jimat ini terkait dengan kepercayaan penolak bala pada gangguan roh halus yang bisa mengakibatkan penyakit. Peneliti mengamati di rumah kontrakan tim, diatas pintu dapur tergantung dahan pacar kering. Orang Banjar biasanya memasangnya dengan tujuan bagi mereka yang sudah terkena sakit cacar tidak terkena lagi dan bagi yang belum terkena agar tidak kena penyakit ini. Selain itu terdapat keyakinan lain, yaitu pada bulan Safar biasanya cuaca panas. Sehingga dipasang tanaman itu di pintu untuk menghalangi hal-hal negatif masuk ke rumah93.
93
2604CLobservasi_Lingkungan
74
Penggunaan jimat lain yaitu, gelang dari benang hitam (banang hirang) yang dipakai anak balita. Tujuannya melindungi dari gangguan makhluk halus yang berwatak jahat, sehingga anak selalu sehat. Jimat juga dipakai anak balita dalam proses penyembuhan. Selain benang hitam, tali pusat yang telah pupus juga dijadikan jimat94. Tali pusat yang sudah pupus dibungkus kain hitam. Jimat tali pusat ini digunakan sebagai kalung ataupun sabuk. Manfaatnya adalah jika jatuh tidak akan sakit dan selalu dilindungi dari gangguan roh jahat.
Gambar 2.26. Jimat ranting pacar untuk tolak bala (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Penyembuhan Gangguan Wisa. Menurut informan, tanda-tanda orang kena wisa adalah mata dan badan berwarna kuning. Namun warna kuningnya orang terkena wisa berbeda dengan kuning orang sakit hepatitis yang dalam istilah lokal disebut sakit kuning. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa terdapat dua jenis wisa yaitu wisa gunung yang ada di daerah gunung dan wisa kampung. Contoh wisa kampung yaitu terkena terpaan angin yang keras (diistilahkan sebagai butuh angin). Wisa gunung menyebabkan orang sakit hepatitis/sakit kuning. Wisa gunung ini biasa mengenai warga yang bekerja di pertambangan emas di Kalimantan Tengah. 94
0705CLW Nini TP_DK
75
Untuk menghindari wisa angin saat naik kapal kelotok, disarankan mengambil air laut/sungai di tempat tujuan dan dibasuhkan ke muka dan tengkuk. Air ini juga bisa diminum sedikit95. Selain itu, menurut informan, perantau disarankan membawa jimat rumput untuk menghindari wisa di tempat perantauan. Sebelum berangkat, perantau membawa rumput yang dicabut dari rumah asal dan dikantongi. Menurut informan, hantu takut dengan rumput dari daerah asal96. 2.9.4. Pola Makan: Bahan Makanan, Pengolahan Menu Sehari-Hari. Pola makan dan menu makan sangat ditentukan oleh kebiasaan lokal dan termasuk ketersediaan bahan makanan. Lokasi geografis menentukan kebiasaan makan, ketersediaan bahan makanan, dan apa yang disebut makanan oleh komunitasnya. Menurut istri Pembakal, di desa ini menu sehari-hari adalah nasi dan iwak (ikan)97. Pengamatan peneliti pada beberapa informan menyatakan bahwa konsumsi sayur dan buah sangat jarang. Sayur dan buah hanya tersedia pada hari pasar di desa ini, yaitu hari Selasa. Ketersediaan bahan makanan yang tidak selalu ada tiap hari, membentuk pola makan dan selera makan. Warga di desa ini lebih cenderung mengkonsumsi nasi dan ikan, sedangkan sayur tidak terlalu diminati karena memang tidak selalu ada. Sayuran yang ada di desa ini adalah sayur kalakai (sejenis pakis), pucuk ubi kayu, dan sulur, yang jumlahnya juga tidak cukup banyak98.
95
Catatan peneliti: saat ke Aluh-Aluh tanggal 13 Mei 2015, di dermaga peneliti melihat orang yang baru turun dari kapal kelotok. Dia mengambil air sungai dan membasuhkan ke muka, ubun-ubun, tengkuk, dan air dicecap sedikit. Pemandangan ini tidak sempat diabadikan oleh peneliti. Dari fakta ini, kepercayaan pada wisa sungai dan cara menghindarinya ternyata ada. 96 0205CLW Dhm 97 1805CLW Pembakal Adn_02 98 2804CLW Ara
76
Gambar 2.27. Suasana pasar desa setiap hari Selasa (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Ikan yang dikonsumsi selain ikan sungai basah, juga udang dan ikan laut. Jika ikan basah tidak ada, mereka mengkonsumsi ikan asin yang biasanya digoreng dan dimakan dengan sambal atau cacapan. Proporsi ikan dibandingkan nasi adalah ikan satu potong dan sepiring penuh nasi putih. Menurut mereka, porsi nasi putih yang besar karena nasi merupakan makanan utama dan sumber energi utama. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa nasi untuk makan disiapkan dalam piring-piring terlebih dahulu sebanyak orang yang makan. Jika ingin menambah porsi makan, maka yang bersangkutan mengambil nasi lagi.
Gambar 2.28. Bahan makanan yang terdapat di desa (kiri ke kanan: sayur kalakai, ikan asin, ikan sungai/laut segar) (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Peneliti mengamati bahwa sumber ikan segar di desa ini sebetulnya banyak. Warga biasa mencari ikan di sungai atau membeli di nelayan dan pengepul ikan. Namun warga yang bekerja sebagai nelayan biasanya langsung menjual hasil tangkapan mereka pada pengepul di daerah muara, dan hanya menyisakan apa yang mereka
77
perlukan. Sisa ikan tangkapan yang dibawa pulang seringkali adalah yang tidak laku dijual dan kondisinya kurang bagus. Jika ikan yang didapat laku dijual, maka akan dijual semua. Jika warga tidak mendapat ikan segar, maka mereka makan ikan asin. Untuk memasak, sebagian besar warga desa ini sudah menggunakan kompor gas, meskipun masih ada yang menggunakan kayu bakar dengan tungku. Mereka yang memilih menggunakan tungku kayu bakar daripada gas, karena takut gas meledak dan alasan menggunakan kayu bakar lebih murah. Warga yang menggunakan kayu bakar, umumnya membeli atau mencari kayu di pehumaan (sawah) dan hutan.
Gambar 2.29. Alat masak, dapur, dan tungku kayu (ujung kanan) (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Peneliti mendapatkan kesempatan untuk makan siang di salah satu rumah warga. Kesempatan ini tentunya kami terima dengan senang hati, karena ingin mengetahui dan merasakan seperti apa menu makan sehari-hari warga disini. Kami diajak ke dapur informan. Kondisi dapur terlihat sederhana. Di dapur terdapat kompor gas, lemari kaca untuk menyimpan alat-alat makan dan makanan, meja sederhana untuk meletakkan bahan makanan termasuk beras yang disimpan dalam wadah plastik, tikar rotan yang sudah tua umurnya sebagai alas duduk untuk makan99.
99
2005CLObservasi_makanan sehari-hari
78
Gambar 2.30. Menu makan sehari-hari (nasi putih, ikan, cacapan) (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Informan segera menyiapkan nasi sepiring penuh untuk satu orang, empal udang (udang dihancurkan, dicampur dengan kelapa parut dan bumbu dibentuk bulat pipih dan digoreng), ikan sungai dipotong menjadi dua yang digoreng, dan cacapan. Dalam membuat cacapan, untuk mendapatkan rasa asam, jika tidak ada limau maka bisa digantikan asam jawa. Secara umum, semua makanan cenderung asin, baik empal udang dan ikan goreng. Rasa cacapan dominan asin yang berasal dari garam serta vetsin, bercampur rasa asam dari limau. Namun perlu diakui, bahwa pengalaman yang diberikan oleh informan pada kami adalah hal yang sangat berharga. Peneliti merasakan bagaimana makanan dan gizi suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh pembiasaan dan pengetahuan. Pembiasaan dan pengetahuan makanan ini menyesuaikan dengan kondisi geografisnya, termasuk makanan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk situasi tertentu. 2.10. Bahasa Pembentuk Identitas Bersama Bahasa membentuk dunia, termasuk identitas bersama. Harus diakui bahasa secara signifikan membentuk identitas kesukuan Banjar. Meskipun ada perbedaan bahasa di kalangan orang Banjar, namun perbedaan itu hanya pada tataran dialek. Pada masyarakat desa Podok terdapat dua bahasa yang digunakan oleh masyarakat yaitu bahasa Banjar dan bahasa Berangas
79
Bakumpai. Kedua bahasa tersebut hampir tidak memiliki kesamaan kata. Bahasa Berangas saat ini hanya dipahami oleh generasi tua dan warga yang dalam keluarganya masih menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Berangas ini adalah bahasa asli orang Podok yang menamakan dirinya sebagai orang Bahari Bakumpai. Dari beberapa kosakatanya bahasa Berangas lebih condong pada bahasa Dayak. Misalnya adalah: Yako = aku Ikau = kamu Inya = dia Bawi = perempuan Hatui = laki-laki Angka 1 sampai dengan 10 dalam bahasa Berangas yaitu ije, duwek, tesek, epat, lime, anam, uju, hanya, jalitien, sepuluh. Eweh jite? Artinya siapa itu? Sakit dalam bahasa banjar adalah garing, dalam bahasa berangas ada dua istilah kapehe (sakit secara umum), dan haban (sakit nyeri). Habanlah Ikau? Atau dalam bahasa Banjar Garing Ikam? Yang artinya sakitkah engkau. Bare (tidak)/Kada (tidak) Iyoh (iya)/Iya Eweh jite ngaranyah? Artinya siapa namanya itu? Ikau dumah tesen? Artinya kamu darimana? Belasak = panas Belasak danum = air panas Sedingin danum = dingin airnya Sedangkan bahasa Banjar digunakan oleh semua orang, termasuk mereka yang masih menggunakan bahasa Berangas untuk berkomunikasi. Bahasa Banjar juga digunakan dalam pengajaran di sekolah. Bisa dikatakan bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, namun bahasa pemersatu di desa ini adalah bahasa Banjar. Contoh beberapa kata dalam bahasa Banjar adalah sebagai berikut: Abah – Mama: Bapak – Ibu
80
Kai – Nini: Kakek – Nenek Amang – Acil: Paman – Bibi Kakak – Ading: Kakak – Adik Garing: Sakit Keuyuhan: Kelelahan Beubat: Berobat Penambaan: tabib Sangit: marah Angka 1 sampai dengan 10 dalam bahasa Banjar yaitu satu, dua, tiga, ampat, lima, anam, tujuh, dalapan, sambilan, sapuluh. Nama-nama hari dalam bahasa Banjar yaitu Senayan (Senin), Selasa, Arba (Rabu), Khamis (Kamis), Jumahat (Jumat), Sabtu, Ahad (minggu). Selain sebagai alat pengembang komunikasi antar individu dan di dalam komunitas, bahasa juga mempunyai fungsi untuk mengembangkan budaya. Dalam konteks budaya, bahasa berperan mempromosikan nilai-nilai tertentu dan keyakinan tertentu yang berkontribusi dalam pembentukan sikap/kepercayaan dan tindakan suatu komunitas. Melalui tradisi lisan yang masih kuat di masyarakat, misalnya melalui cerita atau dongeng, pengetahuan masyarakat antar generasi dibentuk dan dijaga. Cerita merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses komunikasi antar manusia. Cerita dan dongeng memuat konteks historis yang memungkinkan individu untuk mencerminkan dan merekonstruksi pengalaman pribadi, sejarah dan budaya mereka. Demikian pula dengan budaya kesehatan, dari tuturan cerita antar generasi tertangkap konteks dan makna bagaimana budaya kesehatan suatu masyarakat terbentuk100.
100
Roen Loewe, 2004, Illness Narrative dalam Carol R. Ember dan Melvin Ember (Ed.), Encyclopedia of Medical Anthropology: Health and Illness in the World’s Culture, Kluwer Academic, New York, hal. 42-47
81
2.11. Kesenian 2.11.1. Seni Tari Masyarakat Banjar mengembangkan seni tari yang dibagi menjadi dua kategori yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Jenis seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya: tari Baksa Kembang, Tari Baksa Panah, Tari Baksa Dadap, Tari Baksa Lilin, Tari Baksa Tameng, Tari Radap Rahayu, Tari Kuda Kepang, Tari Japin/Jepen, Tari Tirik Kuala, Tari Gandut, Tari Tirik, Tari Kambang Kipas, dan lainnya. Di desa ini, dilakukan latihan menari untuk anak SD dan MTs secara gratis. Dalam latihan tari yang diamati oleh peneliti dilatihkan dua jenis tarian, yaitu Gintur dan Tirik Kuala. Tari Gintur musiknya lebih rancak dan sekilas mengandung unsur musik etnik Dayak. Sedangkan Tirik Kuala merupakan tarian berpasangan, musik Melayu yang lembut. Kunci kedua tarian adalah pada hentakan kaki. Peserta latihan tari ini semuanya adalah perempuan. Latihan tari ini dilatih oleh dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka adalah lulusan sekolah seni tari. Pelatih tari yang perempuan mengajar di SD, sedangkan yang laki-laki mengajar di MTs. Menurut kedua pelatih tari, tarian Gintur adalah tarian Dayak Kalimantan Selatan. Sedangkan tarian yang kedua adalah tarian Banjar dan berpasangan. Kedua tarian ini ditampilkan dalam acara hiburan. Pelatih juga menyebutkan tarian sinoman hadrah yang ditarikan pemuda pada saat acara pernikahan. Saat ini tarian sinoman hadrah semakin jarang ditemui. Di desa ini tarian senoman hadrah masih bisa dijumpai di dusun Podok Darat dalam pembukaan pesta pernikahan. Selain kedua tarian itu, di Banjar ada tarian penyambutan tamu, yaitu tarian Rada Prahayu dan Baksa Kembang. Keduanya adalah tarian tunggal. Jika ditarikan bersama, maka jumlah penari adalah ganjil untuk memudahkan formasi tarian agar tetap indah. Kedua tarian penyambutan tamu ini mengandalkan gerak kaki, tangan
82
dan kepala. Sayangnya kedua pelatih tidak terlalu memahami tentang filosofi tarian tersebut.
Gambar 2.31. Latihan tarian Gintur dan Tirik Kuala (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
2.11.2. Tradisi Beayun untuk Anak Dalam kehidupan sehari-hari, seni juga diaplikasikan, misalnya saat meninabobokkan anak dengan berkidung. Warga disini menyebutnya dengan beayun shalawat (mengayun anak dengan melagukan shalawat). Kegiatan beayun ini dilakukan pada balita yang hendak tidur siang atau malam. Lirik shalawat adalah pujian pada Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Mengayun anak dengan melagukan shalawat dilakukan dengan harapan anak tumbuh menjadi anak saleh. Saat mengayun, kain yang digunakan adalah kain warna kuning atau kain tapih biasa. Warna kuning bagi orang Banjar merupakan warna yang sakral101.
Gambar 2.32 . Ayunan anak dari kain (sumber: dokumentasi peneliti, 2015) 101
2005CLObservasi mengayun bayi
83
2.11.3. Musik Panting Jenis musik ini merupakan musik tradisional dari Banjar Kalimantan Selatan102. Disebut musik Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan Panting, yaitu sejenis gambus Arab yang memakai senar (panting). Cara memainkan instrumen ini dengan dipetik. Awalnya musik ini dimainkan solo, namun perkembangan jaman membuat orang memainkannya dengan beberapa alat musik lain, seperti babun103, gong, biola. Alasan modifikasi ini adalah untuk lebih menarik.
Gambar 2.33. Musik Panting (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Musik_Panting)
Dalam pertunjukan musik Panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak tiga buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga dengan japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun. Pantun tersebut berisi nasihat ataupun pantun petuah, dan pantun jenaka. Pemain musik panting memainkan musik tersebut dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila, sedangkan pemain perempuan duduk dengan 102
https://id.wikipedia.org/wiki/Musik_Panting diakses pada tanggal 20 Juni 2015. Babun adalah alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat, ditengahnya terdapat lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan dengan cara dipukul 103
84
bertelimpuh/bersimpuh. Para pemain musik panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki-laki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan kerudung. 2.11.4. Kain Sasirangan Sasirangan adalah kain khas suku Banjar di Kalimantan Selatan104. Keunikan kain ini tampak pada ragam motifnya yang kaya dan beragam. Nama sasirangan sendiri berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah bahasa jahit dikenal dengan istilah dijelujur. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori atau katun yang sudah disesuaikan ukurannya sesuai kebutuhan. Bahan baku dasar saat ini bervariasi, tidak hanya katun tapi juga polyester, rayon, atau sutera. Kain tersebut kemudian digambar motif-motif khas lalu dijahit/disirang berdasarkan pola yang sudah dibuat. Kain yang telah dijahit berikutnya ditarik benang jahitannya agar kencang hingga kain mengerut. Proses selanjutnya adalah proses pencelupan atau pewarnaan. Zat warna yang biasanya digunakan adalah zat warna yang sama yang dipakai untuk membatik. Pada tahap ini, kain yang sudah dijahit sedemikian rupa akan membuat bagian-bagian tertentu pada kain terhalang atau tidak tertembus oleh larutan zat warna. Dengan cara itulah, kain sasirangan mendapatkan motif maupun corak warnanya yang menawan. Setelah seluruh kain diberi warna, kain dicuci hingga air sisa cucian bersih/tidak berwarna lagi. Proses selanjutnya adalah melepas jahitan yang sebelumnya ditujukan untuk membentuk motif kain. Akhirnya, kain sasirangan telah memiliki motif dan warna yang cantik serta unik dijemur, disetrika, dikemas dan siap dipasarkan.
104
http://www.indonesia.travel/id/destination/914/banjarmasin/article/278/kainsasirangan-keindahan-motif-khas-kalimantan-selatan
85
Tercatat setidaknya 30 lebih jenis motif sasirangan, antara lain bayam raja, naga balimbur, kulat ka rikit, daun taruju, gigi haruan, dan bintang bahambur, iris pudak, kambang raja, ombak sinapur karang, sari gading, kulit kayu, naga balimbur, jajumputan, turun dayang, kambang tampuk, sisik tanggiling.
Gambar 2.34. Kain Sasirangan khas Banjar (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Kain sasirangan pada awalnya merupakan pakaian adat yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat. Bahkan kain ini mulanya digunakan untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan). Pada zaman dulu kain sasirangan sebagai pakaian adat biasanya berupa ikat kepala (laung), sabuk untuk lelaki serta sebagai selendang, kerudung, atau udat (kemben) bagi perempuan. Seiring perkembangan zaman, kain sasirangan kini tidak hanya menjadi pakaian adat tapi juga menjadi pakaian khas Kalimantan Selatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 2.11.5. Kerajinan Lokal Masyarakat Desa Podok Di desa Podok, ada beberapa kegiatan kreatif yang dilakukan warga. Kegiatan tersebut antara lain kopiah sulam, kerajinan tas dari bahan plastik pembungkus (recycle), kerupuk ubi kayu (keropok gumbili), dan tikar dari rumput liar. Kerajinan kopiah sulam biasa dilakukan pada saat bulan puasa, yang hasilnya dijual menjelang hari Raya Lebaran. Kopiah warna putih tersebut, pada bagian pinggir dan 86
bagian atas disulam secara manual. Pembuatan ini memerlukan ketekunan untuk membuat detil sulaman dan memakan waktu yang relatif lama. Dari hasil observasi, dalam waktu seminggu pengrajin menghasilkan satu buah kopiah sulam. Lamanya waktu menyulam dikarenakan kerumitan pola sulam dan pengrajin mengaku menyulam kopiah hanya untuk mengisi waktu luang. Selain kopiah sulam, terdapat kerajinan membuat tas dari plastis bekas kemasan pembungkus. Di desa ini kebiasaan masyarakat membuang sampah baik organik dan non organik di sembarang tempat sangat tinggi. Pembuatan tas dari bahan plastik pembungkus adalah hal yang positif dan mengurangi kebiasaan kurang baik ini. Plastik bekas pembungkus dilipat dan dijahit manual untuk membentuk sebuah tas. Tas dari plastik bekas ini akan dijual mulai Rp 15 ribu – 20 ribu, tergantung ukurannya. Meski bahan untuk membuat tas recycle ini cukup mudah didapatkan, tidak banyak warga yang melakukan hal ini. Ubi kayu atau dalam bahasa lokal disebut gumbili, selain dikukus atau dibuat kue, oleh warga juga diolah menjadi kerupuk. Sebutan lokal untuk olahan ini adalah keropok gumbili. Ubi kayu diparut dan direbus, kemudian diberi bumbu dan dipipihkan. Adonan pipih berbentuk lembaran tersebut kemudian dijemur hingga kering. Untuk mengkonsumsinya, lembaran kerupuk ubi tersebut digoreng.
Gambar 2.35 Kerajinan lokal desa Podok (kopiah sulam dan tas plastik recycle) (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
87
Selain olahan ubi kayu, terdapat kerajinan berbahan baku rumput liar yaitu dari rumput bundung dan bamban. Bundung dan bamban biasa tumbuh di rawa atau sawah. Pada saat musim tanam, biasanya petani akan membuang bundung ini begitu saja di sungai yang mengakibatkan penumpukan sampah sepanjang aliran sungai dan mengganggu kelancaran transportasi air. Sedangkan bamban, sejenis rumput yang memiliki tekstur kayu pada batangnya seperti bambu berukuran kecil dan tumbuh bergerumbul. Oleh masyarakat setempat, rumput bundung akan dikeringkan dan dianyam menjadi tikar. Tikar anyaman yang sudah jadi akan dipakai sendiri dan tidak pernah dijual. Bamban akan diambil kulit batangnya dan dianyam menjadi bakul. Bakul bamban ini biasa digunakan untuk tempat makanan, mencuci beras sebelum dimasak, dan juga sebagai wadah untuk mengubur ari-ari bayi. Pengrajin bakul bamban hanya beberapa orang dan hasilnya dijual. Bakul ini laku dijual karena dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari.
Gambar 2.36. Kerajinan keropok gumbili, tikar bundung, dan bakul bamban (sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
88
BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT BANJAR DI DESA PODOK 3.1. Program Pembangunan Kesehatan Program pembangunan kesehatan suatu daerah secara umum dipengaruhi oleh komitmen daerah, kemampuan advokasi, kemampuan perencanaan, prioritas masalah, pemilihan intervensi program dan pembiayaan. Pembangunan kesehatan di Kabupaten Banjar bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan memiliki derajat kesehatan yang tinggi. Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan kesehatan yang terjangkau dan merata. Tujuan ideal ini sesuai dengan misi kedua RPJMD Kabupaten Banjar tahun 2011-2015, yaitu memantapkan kualitas SDM yang berakhlaq mulia105. Strategi untuk mencapai misi tersebut adalah dengan: a. Peningkatan mutu kesehatan masyarakat. b. Peningkatan infrastruktur kesehatan masyarakat. c. Mendorong budaya pola hidup bersih dan sehat. d. Peningkatan kualitas kehidupan perempuan dan anak. e. Peningkatan kualitas manajemen kesehatan. Arah kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Banjar terkait strategi tersebut yaitu: a. Meningkatkan mutu pelayanan serta informasi kesehatan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah. b. Mengoptimalkan upaya kesehatan masyarakat. c. Meningkatkan cakupan pelayanan bagi masyarakat miskin. d. Mengoptimalkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya kesehatan mandiri. e. Meningkatkan pencegahan, penanggulangan penyakit dan pengembangan lingkungan sehat. 105
RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015
89
f. Meningkatkan promosi penyelenggaraan KB dan keluarga sejahtera. g. Meningkatkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Berdasarkan misi, strategi dan arah kebijakan, maka program kerja yang sesuai dengan fokus penelitian ini yaitu kesehatan ibu dan anak adalah: a. Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak. b. Program peningkatan upaya kesehatan masyarakat. c. Program perbaikan gizi masyarakat. d. Program peningkatan kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan. e. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Dukungan APBD pada sektor kesehatan mulai tahun 2013, 2014, 2015 dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 3.1 Dukungan APBD Kab. Banjar untuk sektor kesehatan tahun 2013-2015 (sumber: Profil kesehatan Kabupaten Banjar 2013 dan-2014, serta PPID Kabupaten Banjar)
Berdasarkan gambar 3.1 diketahui bahwa dari tahun ke tahun jumlah dukungan anggaran kesehatan meningkat. Kabupaten Banjar, dilihat dari daya dukung ekonomi daerah sebetulnya mempunyai sumber-sumber pembiayaan lokal yang cukup variatif, misalnya dari sektor perdagangan, pertambangan dan CSR perusahaan. Sesuai gambar 3.1, proporsi total anggaran sektor kesehatan dengan APBD, tahun 2013 anggaran kesehatan hanya 6,33% dari total 90
APBD, tahun 2014 porsinya turun menjadi 5,97%, dan tahun 2015 porsinya sebesar 7,04%106. Dari dokumen sekunder yang diperoleh diketahui informasi alokasi belanja rutin (tidak langsung) lebih tinggi daripada belanja program (belanja langsung)107. Dari pembacaan data sekunder yang didapatkan peneliti, metode penetapan alokasi besaran anggaran dan peningkatan setiap tahunnya oleh Pemda Kabupaten Banjar belum diketahui apakah sudah memakai evidencebased policy making. Evidence-based policy making adalah pembuatan kebijakan anggaran berbasis bukti. Dengan kondisi kesehatan masyarakat yang beragam dan kebutuhan untuk peningkatan status kesehatan masyarakat, perlu bagi Pemda Kabupaten Banjar menggunakan kebijakan anggaran berbasis bukti yang berasal dari data pelayanan dan data penelitian kesehatan masyarakat yang dilakukan secara reguler. Gambar 3.2. Fasilitas Kesehatan Kabupaten Banjar (sumber: Profil kesehatan Kabupaten Banjar 20132014)
106
Profil Dinkes Kabupaten Banjar 2013, 2014; PPID Kabupaten Banjar akses online tanggal 5 Juli 2015 di: http://ppid.banjarkab.go.id/wpcontent/uploads/2015/03/rekap-apbd-2015-per-skpd.pdf. Total APPBD 2013 sebesar Rp 1.231.888.140.075. Total APBD 2014 Rp 1.171.676.112.717. Total APBD Rp 1.336.809.550.657 107
http://ppid.banjarkab.go.id/wp-content/uploads/2015/01/rekap-apbdp-perskpd-20140000.jpg; http://ppid.banjarkab.go.id/wpcontent/uploads/2015/03/rekap-apbd-2015-per-skpd.pdf
91
Tabel 3.1 Jumlah SDM Kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2013-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kategori tenaga kesehatan Jumlah Dokter spesialis 50 Dokter Umum 81 Dokter Gigi 18 Bidan 440 Perawat 435 Perawat Gigi 80 Tenaga Kefarmasian 68 Tenaga Gizi 80 Tenaga Kesmas 44 Tenaga Sanitasi 48 Tenaga Teknisi Medis 68 Fisioterapis 7 Total 1.376 Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2013-2014
Ditinjau dari sisi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang dimiliki, sebetulnya sudah mencukupi meskipun dalam beberapa jenis tenaga kesehatan masih perlu ditambahkan. Misalnya, tenaga kesehatan masyarakat yang melakukan kegiatan promosi kesehatan, dan kapasitas/fasilitas Puskesmas yang mampu memberikan layanan dasar yang memadai bagi masyarakat desa. Dari data fasilitas kesehatan pada gambar 3.2, terdapat lima puskesmas yang mampu melaksanakan pelayanan obsterik neonatal emergensi dasar (PONED), dan empat puskesmas perawatan. Jumlah Posyandu cukup tinggi, namun dari sisi keaktifan ternyata sebesar 19,1%. Misi daerah yang memantapkan kualitas SDM tentunya dimulai dari kondisi ibu yang sehat untuk melahirkan generasi penerus yang sehat dan tangguh. Kondisi ibu yang sehat sangat ditentukan oleh dukungan lingkungan, keluarga dan komunitas dimana ibu berada.
92
Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, saat ini fokus pada beberapa isu yang menjadi indikator penilaian IPKM daerah, diantaranya adalah kesehatan balita, kesehatan reproduksi dan pelayanan kesehatan. Kesehatan balita mencakup gizi buruk dan cakupan imunisasi. Fokus Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar ini tidak lepas dari hasil penilaian Riskesdas 2013 yang menentukan nilai dan ranking IPKM suatu daerah. Kabupaten Banjar memperoleh nilai yang rendah dalam indikator kesehatan balita dan kesehatan reproduksi108. Angka kematian ibu di kabupaten Banjar tahun 2013-2014 mengalami peningkatan seperti yang terlihat pada gambar 3.3109. Selama tahun 2013 terjadi kematian ibu sebanyak 13 kasus dan 25 kasus di tahun 2014. Untuk tahun 2013, jumlah kematian ibu di Kabupaten Banjar merupakan terbesar kedua di Kalimantan Selatan setelah Kota Banjarmasin (17 kasus)110. Faktor-faktor terjadinya kematian ibu di Kabupaten Banjar adalah saat ibu bersalin dan ibu nifas. Lokasi kematian ibu secara umum adalah di rumah, di perjalanan saat dirujuk dan di fasilitas kesehatan karena terlambat dirujuk111.
108
Banjarmasin Post, 17 April 2015, Kabupaten Banjar Penyebab IPKM Kalsel Rendah wawancara Staf Dinkes saat fase persiapan daerah tanggal 19 dan 23 Maret 2015. 110 Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2014. 111 wawancara Staf Dinkes saat persiapan daerah tanggal 19 Maret 2015; wawancara Kepala PKM Aluh-Aluh dan staf saat fase persiapan daerah tanggal 20 Maret 2015. 109
93
Gambar 3.3. Jumlah Kematian Ibu Kab. Banjar tahun 2013-2014 (sumber: Profil Kesehatan Kab. Banjar 2013-2014)
3.2. Gambaran Kesehatan Masyarakat Banjar di desa Podok, Aluh-Aluh Sub bab ini akan memaparkan gambaran kesehatan masyarakat di desa Podok yang secara administratif masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Aluh-Aluh. Data yang disajikan akan melihat lingkup layanan yang meliputi ketersediaan layanan, akses, kualitas, dan kepuasaan layanan. Sehingga akan tertangkap persepsi dan harapan baik dari masyarakat maupun service provider – dalam hal ini adalah pengada layanan di bidang kesehatan. Persepsi dan harapan dari masyarakat sudah sesuai dengan kualitas layanan yang diterima, atau ada kesenjangan. 3.2.1. Potret Layanan Puskesmas Aluh-Aluh Puskesmas Aluh-Aluh terletak di desa Aluh-Aluh Besar, kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Puskesmas ini mempunyai wilayah kerja di 19 desa antara lain: desa Aluh-Aluh Kecil Dalam, desa Aluh-Aluh Kecil Muara, desa Handil Baru, desa Kuin Besar, desa Labat Muara, desa Tanipah, desa Balimau, desa Bunipah, desa Podok, desa Pemurus, desa Bakambat, desa Aluh-Aluh Besar, desa Sungai Musang, desa Terapu, desa Handil Bujur, desa Kuin Kecil, desa Pulantan, desa Simpang Warga Dalam, dan desa Simpang Warga Luar. Wilayah kerja Puskesmas Aluh-Aluh adalah 82,48 km2, yang terdiri dari dataran tinggi, rendah dan pantai. Dari 19 desa, 12 desa merupakan wilayah pesisir. Semua wilayah kerja Puskesmas Aluh-Aluh dapat dijangkau dengan jalan darat dan jalan air. Jalan darat yaitu kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Sedangkan jalan air ditempuh dengan speedboat, kapal kelotok ataupun sampan dayung. Penjangkauan wilayah pesisir memang cukup memakan waktu dan penanganannya memerlukan pendekatan tersendiri, dibanding wilayah daratan.
94
Status Puskesmas ini adalah Puskesmas rawat inap dan merupakan Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar). Dalam dua tahun terakhir yakni di tahun 2013-2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada kurang lebih 40 orang yang terbagi atas dokter umum dua orang, dokter gigi satu orang, tenaga gizi dua orang, tenaga perawat 12 orang, tenaga bidan 22 orang, dua orang tenaga analis lab. Satu orang tenaga kesehatan masyarakat dimiliki pada tahun 2011, setelahnya tidak ada karena mutasi. Berdasarkan sumber daya yang dimiliki, Puskesmas ini mampu memberikan layanan kesehatan berupa konsultasi medis, pemeriksaan fisik, tindakan medis sederhana, penanganan gawat darurat, pengobatan serta penyuluhan kesehatan. Dukungan fasilitas yang dimiliki untuk layanan tersebut adalah pemeriksaan dan pengobatan gigi, sanitasi lingkungan, pelayanan gizi, apotik untuk pengambilan obat, laboratorium, ruang perawatan, alat medis (minor surgery set, poliklinik set, bidan kit, partus set, implant kit, IUD kit, imunisasi kit, laboratorium set, nutrition kit dan emergency kit). Alat non medis yang dimiliki adalah alat komunikasi, komputer, LCD dan genset. Untuk membantu kelancaran aktivitas operasional, Puskesmas ini didukung oleh dua buah ambulance, tiga buah kendaraan roda dua, speedboat sebagai sarana puskesmas keliling di daerah perairan, satu rumah dinas dokter, tiga rumah dinas paramedis. Keberadaan bangunan Puskesmas yang berada di Pusat Kecamatan, dengan jarak 20 m dari Kantor Camat Aluh-Aluh menjadikan sarana fasilitas kesehatan berada di posisi yang strategis. Jam layanan untuk poli non rawat inap pada hari biasa mulai jam 09.00-13.00, sedangkan pada hari Jumat dimulai jam 08.30-11.30. Meskipun waktu pelayanan lebih pendek daripada hari biasa, jumlah pengunjung Puskesmas tinggi pada hari Jumat. Pada hari biasa jumlah pengunjung sebanyak 30-40 orang, sedangkan pada hari Jumat jumlah pengunjung dapat mencapai 100 orang. Hari Jumat yang merupakan hari pasar di kecamatan ini, membuat masyarakat cenderung memilih
95
untuk berobat ke Puskesmas pada hari tersebut. Pertimbangannya adalah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari selama satu minggu atau beberapa hari, dan sekalian untuk berobat. Pilihan hari berobat ini selain alasan berbelanja juga untuk menghemat biaya transportasi menuju Puskesmas. 112.
Gambar 3.4. Antrian Pasien di Puskesmas (sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Kepala PKM Aluh-Aluh mengatakan bahwa layanan pada masyarakat harus ada dan berkualitas. Puskesmas merupakan layanan dasar di masyarakat, sehingga tanggungjawabnya lebih besar untuk peningkatan status kesehatan masyarakat113. Dari data BPS 2013 dan 2014, didapatkan jenis penyakit menular dan penyakit tidak menular yang biasa dilayani oleh Puskesmas Aluh-Aluh. Data tersebut menyatakan bahwa frekuensi penyakit tertinggi diderita oleh warga yang berobat ke Puskesmas
112
wawancara Kepala PKM Aluh-Aluh dan staf saat fase persiapan lapangan 20 Maret 2015; CLObservasi PKM tanggal 20 Maret, 24 April, 7 Mei, dan 15 Mei 2015. 113 wawancara Kepala PKM tanggal 7 Mei 2015
96
adalah ISPA dan hipertensi114. Penyakit lainnya yang sering ditangani adalah pusing, karies gigi, demam, dan diare. Penderita hipertensi adalah warga yang berumur 40 tahun ke atas karena pola makan. Sedangkan untuk kesehatan ibu, biasanya akan ke bidan desa atau tenaga kesehatan lainnya yang ada di desa, dan ke Puskesmas jika tenaga kesehatan di desa kesulitan menangani115. Terdapat beberapa catatan yang didapatkan peneliti terkait dengan kepuasan layanan. Dalam hal kepuasan layanan, ada beberapa keluhan yang ditangkap oleh tim semenjak fase persiapan sampai observasi saat pengumpulan data. Pengunjung mengeluhkan kecepatan layanan terkait dengan jarak menjangkau tempat layanan. Seorang nenek yang berangkat dari rumahnya jam enam pagi dengan mendayung sampan. Perjalanan bersampan dari rumah ke Puskesmas memakan waktu 1,5 jam. Nenek tersebut sudah menunggu beberapa jam di depan loket. Hari Jumat loket seharusnya buka mulai jam 08.30, namun hingga jam sembilan pagi lebih, loket belum buka. Padahal nenek tersebut ingin memeriksakan sakit hipertensi yang dideritanya. Di waktu yang berbeda saat mengunjungi Puskesmas, peneliti juga menjumpai beberapa keluhan yang sama dari pengunjung Puskesmas. Fasilitas fisik di Puskesmas juga terlihat kurang terawat. Demikian pula informasi yang ditempel di dinding Puskesmas terlihat kusam dan tidak menarik bagi pengunjung. 3.2.2. Potret Kesehatan Desa Podok Layanan Kesehatan dan Akses. Sebelum tahun 2006 belum ada tenaga kesehatan yang bertugas di desa ini. Untuk berobat ke tenaga kesehatan, warga pergi ke desa Besirih, desa Tabunganen yang merupakan wilayah Kabupaten Barito Kuala. Jika pasien dalam 114
Badan Pusat Statistik Kab. Banjar, kecamatan aluh-aluh dalam angka 2013, 2014 Wawancara Kepala PKM Aluh-Aluh dan staf saat fase persiapan lapangan 20 Maret 201; 2804CLW Bidan desa_02 115
97
keadaan sakit parah, maka keluarga menjemput tenaga kesehatan untuk memeriksa pasien dengan kapal kelotok. Bagi perempuan yang memang perlu untuk memeriksakan kesehatan reproduksi terkait kehamilan, mereka pergi ke daerah Tabunganen116. Sulitnya akses layanan kesehatan, menyebabkan terjadi kematian pasien karena terlambat mendapat pertolongan. Pihak keluarga menerima kejadian ini dan memaknainya bahwa umur pasien memang sudah habis masanya117.
Gambar 3.5. Pustu Desa Podok (sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Fasilitas kesehatan di desa ini adalah Pustu. Bangunan Pustu di desa ini didirikan tahun 2006 diatas tanah yang diwakafkan oleh salah satu penduduk warga desa ini. Fasilitas yang dimiliki Pustu adalah fasilitas layanan dasar. Berdasarkan observasi peneliti, terdapat tiga ruangan pelayanan di Pustu ini, yaitu loket, ruang periksa dan satu ruangan lain. Namun, saat ini yang digunakan adalah ruang periksa saja. Sedangkan ruang loket dan satu ruangan lainnya digunakan sebagai gudang. Bangunan Pustu ini terbuat dari kayu dengan model 116 117
98
2504CLW Pembakal Adn_01; 1605CLW Iyah_02 2804CLWBidan_02
rumah panggung. Kondisi bangunan ini menunjukkan bahwa bangunan ini tidak cukup mendapatkan perawatan yang memadai. Asumsi ini didasarkan pada kondisi fisik Pustu yang dinding kayunya mulai terkena jamur, rayap, dan warna cat yang kusam. Dinding di dalam Pustu yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk menempel informasi kesehatan juga tidak nampak. Yang nampak adalah tempelan 10 penyakit yang paling banyak diderita warga yang dibuat oleh tenaga kesehatan sebelumnya serta informasi yang sudah usang dan berwarna kusam. Jembatan pendek untuk ke Pustu kondisinya juga kurang layak. Sementara itu, ruang periksa kesehatan dilengkapi dengan tempat tidur, meja kursi, timbangan, rak obat, dan gantungan informasi dari catatan mutakhir bidan desa terkait kesehatan ibu dan anak118. Sejak tahun 2006, terdapat empat tenaga kesehatan yang telah bertugas di desa ini – tiga orang bidan dan satu orang perawat laki-laki yang bertugas dalam kurun waktu berbeda. Tenaga kesehatan yang bertugas saat ini di desa Podok adalah bidan desa. Bidan desa tersebut bertugas mulai tahun 2012 dan menempati Pustu dengan keluarganya, karena berasal dari luar desa Podok119. Dari beberapa informan yang diwawancarai, terlihat bahwa penerimaan pada tenaga kesehatan bervariasi. Secara umum, mereka membandingkan dengan bidan desa sebelumnya. Bidan desa sebelumnya dianggap lebih memahami masyarakat dan melakukan pendekatan dengan baik. Salah satu informan mengatakan bahwa bidan desa yang sebelumnya pandai berkomunikasi, pandai mendekati masyarakat, aparat desa, penyembuh tradisional dan dukun bayi. Dengan kecakapan tersebut, program promosi kesehatan, kesehatan ibu dan kemitraan bidan dan dukun bayi bisa dilakukan dengan baik. Dari kerja-kerja yang dilakukan bidan sebelumnya yang 118 119
0205CLW H. ADR dan H. ANK; 2804CLObservasi Pustu 2504CLW Bidan_01; 0205CLW H. ADR dan H. ANK
99
bertugas selama tujuh tahun di desa ini, masyarakat mengenal KB, kesehatan ibu hamil dan persalinan yang aman. Bidan desa tersebut juga memahami kemampuan ekonomi warga, sehingga tidak mematok harga layanan. Menurut informan istilahnya adalah sepemberinya (semampunya orang memberi). Salah satu informan120 mengatakan tentang saran bersalin di fasilitas kesehatan karena kehamilan resiko tinggi: “….waktu saya hamil anak ketiga dan sudah berusia 37 tahun, bidan mengatakan pada saya untuk melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit, nanti ditunggui olehnya juga. Sebelumnya saya melahirkan di dukun bayi. Dengan informasi yang diberikan kalau usia saya beresiko untuk melahirkan dan agar aman, saya dan keluarga bisa menerima saran tersebut….“
Salah satu modal budaya yang dimiliki oleh bidan sebelumnya selain pandai bergaul adalah kemampuan berbahasa Berangas. Bahasa Berangas masih umum dipakai oleh warga, terutama oleh generasi yang sudah tua. Pada saat bidan tersebut pindah ke tempat lain pada awal 2011 karena menikah, di desa ini sempat terjadi kekosongan tenaga kesehatan selama satu tahun. Pada saat kosong tersebut, yang tersedia di desa hanyalah penambaan dan dukun bayi. Sehingga health seeking behavior warga kembali mengandalkan bantuan tenaga medis tradisional. Ketika bidan desa pengganti datang untuk mulai bekerja, maka tantangan yang dihadapi cukup berat mulai penerimaan masyarakat dan mengajak masyarakat kembali kepada layanan kesehatan modern. Saat ini, di desa Podok selain bidan desa yang bertugas, setidaknya ada tiga orang lulusan sekolah kesehatan yang memberikan layanan kesehatan. Keberadaan mereka sebagai orang lokal lebih diterima oleh masyarakat setempat, termasuk oleh dukun bayi. Dari wawancara dengan dukun bayi diketahui bahwa mereka 120
2504CLW Hj. Ram_01
100
sering meminta pertolongan pada dua orang lulusan sekolah kesehatan tersebut saat memberikan pertolongan persalinan, misalnya memberikan infus pada ibu pasca bersalin yang mengalami penurunan kondisi. Bidan desa mengetahui bahwa dukun bayi sering meminta pertolongan lulusan kesehatan di desa ini untuk memberikan suntikan dan infus bagi ibu pasca melahirkan. Yang disayangkan oleh bidan desa adalah bantuan yang diberikan oleh tenaga kesehatan tersebut secara tidak langsung sebetulnya ikut menyuburkan praktek persalinan tidak aman yang dilakukan dukun bayi121. Menurut bidan desa, dengan adanya tiga orang yang memberi layanan kesehatan maka yang datang berobat ke Pustu hanyalah penyakit ringan seperti pilek, demam, batuk. Layanan kesehatan ibu seperti periksa kehamilan, KB, bersalin tetap berjalan. Namun untuk perempuan yang ber-KB masih banyak yang memilih ke tenaga kesehatan lainnya tersebut122. Alasan mereka karena ber-KB di bidan desa mahal, sedangkan di tenaga kesehatan lainnya biaya bisa dicicil123. Dalam hal pencatatan data kesehatan penduduk, dinas kesehatan mengandalkan data dari bidan desa. Padahal, di desa ini pemberi layanan kesehatan bukan hanya bidan desa saja. Tentu saja data kesehatan masyarakat yang dimiliki bidan desa tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya, karena kurang lengkap. Pihak Puskesmas mengetahui kondisi banyaknya tenaga kesehatan di desa ini. Sebagai solusinya, Puskesmas memberikan kesempatan pada lulusan sekolah kesehatan tersebut untuk mengabdi sebagai tenaga kesehatan sukarela (TKS) di Puskesmas. Tujuannya adalah pihak
121
2804CLW Bidan_02; 0405CLW DK ID 2504CLW Bidan_01 123 2704CLW ABD 122
101
Puskesmas bisa memantau124, namun koordinasi yang kongkrit di lapangan belum tampak. Keberadaan tenaga kesehatan di desa yang cukup banyak sebetulnya menguntungkan desa ini, namun memang perlu manajemen. Kondisi ini memerlukan kordinasi, misalnya tentang pemanfaatan fasilitas dan layanan Pustu untuk pemberian layanan bersama, dan pendataan pasien, sehingga diperoleh gambaran yang kuat tentang kondisi kesehatan masyarakat desa ini. Selain itu, upaya peningkatan status kesehatan masyarakat juga akan lebih mudah dilakukan bersama-sama, daripada menjadi tanggung jawab bidan desa saja. Health Seeking Behavior. Secara umum yang teramati oleh peneliti terkait perilaku kesehatan warga desa ini, ketika merasa sakit memilih untuk mengobati sendiri dengan membeli obat di warung dan menggunakan pengobatan tradisional. Hal lain yang teramati dalam perilaku kesehatan masyarakat desa ini ketika sakit mereka pergi ke tenaga kesehatan modern dan disaat yang sama juga akan mengunjungi penambaaan. Mudahnya warga mendapatkan obat di pasar menyebabkan warga memilih untuk mengkonsumsi obat warung dan tradisional. Pemilihan konsumsi obat warung dan obat tradisional ini juga disebabkan oleh persepsi bahwa berobat ke fasilitas kesehatan identik dengan biaya yang mahal, dan warga merasa takut penyakit sebenarnya yang mereka derita diketahui. Orang yang sakit akan berobat ke tenaga kesehatan jika sudah dalam kondisi parah, misalnya demam menggigil atau sudah tidak mampu berjalan125.
124 125
0705 CLWKa PKM Aluh-Aluh 2804CLW RD
102
Gambar 3.6. Pembelian obat di pasar Aluh-Aluh (sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Ketika hasil pengobatan ke tenaga kesehatan dirasa kurang cepat membantu derita sakit yang dialami, masyarakat memilih berobat ke penambaan daripada pergi ke Puskesmas, RS atau dokter spesialis. Mereka ke penambaan untuk memperoleh obat alternatif. Biasanya mereka akan mendapat air yang diberi do’a, dan resep ramuan tradisional untuk baluran pada tubuh yang sakit. Ramuan tradisional yang biasa dipakai untuk baluran adalah kunyit dan kapur. Ramuan ini dioleskan pada bagian tubuh yang sakit. Faktor lain yang menentukan perilaku kesehatan masyarakat selain faktor ekonomi dan kepercayaan, adalah proses pengambilan keputusan di keluarga untuk mengakses layanan kesehatan yang dipilih. Meskipun pasien mempunyai pilihan berbeda yang dirasa sesuai dengan kebutuhannya, hasil akhir biasanya ditentukan oleh keluarga. 3.2.3. Penyakit Menular (PM) dan Penyakit Tidak Menular (PTM) Jumlah prevalensi masing-masing PM dan PTM di desa ini sulit dideteksi. Hal ini dikarenakan tenaga kesehatan yang memberi layanan kesehatan di desa ini cukup banyak dan tidak ada pencatatan, kecuali catatan pada bidan. Sepanjang yang diketahui oleh bidan desa, penyakit menular yang diderita oleh warga adalah hepatitis B, TB, diare, dan ISPA126. Warga yang sakit hepatitis biasanya terkena saat bekerja di pertambangan emas di provinsi Kalimantan Tengah. Mereka akan bekerja sebagai buruh di pertambangan emas setelah masa tanam selesai. Hepatitis yang dalam bahasa lokal disebut penyakit kuning dan dipercaya penyebabnya adalah terkena wisa. Wisa sakit hepatitis 126
2804CLW Bidan_02
103
adalah racun yang dibuang orang agar orang yang mengeluarkan tidak terkena penyakit tersebut. Sedangkan TB disebut penyakit batuk berdarah, yang ditandai dengan batuk berlebih sehingga berdarah 127. Diare terjadi pada saat musim kering, dimana air sungai menjadi payau dan warga masih mengkonsumsinya. Peneliti sempat mewawancarai beberapa informan terkait penyakit diare dan TB yang disajikan dalam kotak berikut:128. Kasus Sakit Diare Wawancara dilakukan pada ibu penderita diare. Usia informan adalah 36 tahun dan mempunyai anak sebanyak enam orang. Menurutnya penyebab sakit diare karena mandi di sungai dan berendam selama berjamjam. Kalau anaknya berendam dan mandi di sungai selalu diare, sehingga informan tahu anaknya tidak cocok dengan air sungai disini. Apalagi sering diminum juga. Disini penyakit ini disebut beheraan atau diare. Biasanya banyak orang sakit diare saat musim pergantian air tawar dan air asin. Umumnya masyarakat rata-rata tinggal di pesisir sungai dan muara laut. Menurut informan, sebegitu banyaknya yang sakit diare, sampai-sampai Puskesmas tidak dapat menampung pasiennya. Ketika anak informan sakit diare, informan mengobati dengan obat diare yang dibeli di warung dan membuat obat tradisional dari pucuk daun jambu biji diberi kunyit. Jika tidak sembuh saya bawa ke bidan Ida*. Disana akan diberi obat. Informan biasanya ke bidan Ida karena biaya obatnya bisa dicicil. Informan menambahkan, selain pucuk daun jambu biji dan kunyit, obat diare untuk balita 127
ibid Transkripsi wawancara informan sakit TB tanggal 17 Mei 2015, dan informan sakit diare tanggal 21 Mei 2015. 128
104
adalah daun beluntas yang diremas dan dibalurkan pada perut anak yang sakit diare. *tenaga kesehatan selain bidan desa Kasus sakit TB Juju menderita TB dan sudah sembuh sejak setahun lalu. Gejala yang dialami saat sakit TB adalah badan yang panas dingin, nafsu makan berkurang, kurang bisa tidur, dan berkeringat di malam hari. Setelah memeriksakan di Puskesmas Aluh-Aluh, dinyatakan positif TB. Pengobatan rutin dilakukan dengan disiplin tanpa putus. Informan mau berobat ke Puskesmas karena obat untuk TB gratis. Meskipun demikian, menurut informan masih banyak orang yang tidak mau berobat. Selama mengkonsumsi obat, informan berpantang makan cabe, mie, rambutan dan durian. Menurutnya, penyakit TB didapatkan karena tertular ibu dan kakak informan. Dahulu orang mengobati penyakit ini dengan mengkonsumsi air tanah yang disaring dan diberi garam untuk mengeluarkan dahak. Metode ini menurut informan bisa sembuh, namun akan kambuh lagi. Informan merasa senang bisa sembuh dari penyakit ini, meskipun ibunya tidak dapat diselamatkan. Dukungan keluarga pamannya yang membuatnya disiplin meminum obat dan memotivasi untuk sembuh. PTM yang biasanya diderita warga adalah diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan stroke. Penyakit DM dan hipertensi banyak diderita warga Podok terkait dengan pola makan. Informan129 129
2804CLWBidan_02
105
mengatakan bahwa warga yang berumur 40 tahun ke atas biasanya menderita hipertensi. Penyakit DM biasanya karena keturunan dan pola makan. Pada penderita hipertensi, mereka diberi obat penurun tekanan darah. Setelah minum obat, tekanan darah turun. Setelah obat habis, tekanan darah naik lagi karena pola makan tidak berubah. Sebetulnya masyarakat tahu bahwa hipertensi bisa berujung pada stroke. Di tahun 2014 ada satu penderita stroke yang meninggal dunia. Diceritakan oleh informan bahwa konsumsi gula warga desa ini cenderung berlebihan. Sebagai contoh, untuk membuat satu gelas kecil teh, mereka menggunakan dua sendok makan gula. Disamping itu, sebagai masyarakat pesisir, mereka cenderung banyak mengkonsumsi ikan laut, kerang, udang, dan ikan asin. Masyarakat sangat gemar makan ikan asin, yang biasanya terbuat dari ikan gabus, sepat, peda yang diawetkan dengan garam. Biasanya ikan asin dicuci sebentar, kemudian digoreng atau dibakar. Ikan asin tersebut dinikmati dengan nasi tanpa sambal ataupun sayur. Jika makan dengan sayur, maka sayurnya adalah sayur yang bersantan dan hanya sedikit porsinya. Kasus Sakit Hipertensi Peneliti mewawancarai penderita hipertensi ketika berobat ke bidan Ida130. Saat berobat, terlihat dipapah oleh anak dan suami karena tidak mampu turun dari kapal kelotok dan berjalan sendiri. Untuk berobat memang menggunakan transportasi kapal kelotok karena informan berdomisili di dusun Sakajarak. Hipertensi ini dalam bahasa lokal disebut tinggi dara. Gejala yang dirasakan oleh informan adalah tubuh panas, pusing,
130
Transkripsi wawancara penderita hipertensi tanggal 21 Mei 2015.
106
tangan dan kaki kaku serta kesemutan, dan sulit berjalan. Sudah cukup lama informan sakit seperti ini dan memilih berobat di bidan Ida karena merasa cocok. Meskipun berusaha mematuhi anjuran makanan, informan seperti kebanyakan warga desa ini sangat gemar mengkonsumsi ikan asin dan ikan segar yang digoreng dengan cita rasa asin. Biasanya ikan dimakan dengan nasi begitu saja. Setelah diobati dan tubuh merasa nyaman, informan kembali beraktivitas di sawah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pola konsumsi dan beban pekerjaan sebetulnya memang memicu kambuhnya penyakit, namun menurut informan, memang tidak ada pilihan selain bekerja keras untuk kebutuhan hidupnya dan mengkonsumsi makanan seperti itu. Kasus Penderita Stroke Informan yang sebelumnya berprofesi sebagai tengkulak ikan selama 15 tahun ini sejak Februari 2015 terkena stroke.131 Vonis sakit stroke disadari oleh informan sendiri ketika tubuh sebelah kiri tidak bisa digerakkan lagi. Saat itu seluruh tubuh merasa pusing, kaku, menggigil kedinginan, badan serasa melemah, terasa sakit di bagian jantung, aliran darah kurang lancar, tidak nafsu makan, dan tidak bisa tidur. Sebelum terkena stroke, pola hidup informan yang berprofesi sebagai tengkulak ikan menyebabkan harus beraktivitas seharian mulai pagi dini hari hingga malam hari. Untuk mendukung daya tahan tubuh, informan sering mengkonsumsi obat yang dibeli secara bebas – ketika merasa lelah dan pusing. Konsumsi obat bebas tersebut berpengaruh pada tekanan darah yang naik. Meskipun diingatkan oleh istrinya, 131
Transkripsi wawancara penderita stroke tanggal 21 Mei 2015
107
informan tetap mengkonsumsinya. Saat ini terapi yang dilakukan untuk stroke adalah pijat dan konsumsi buah talipuk seusai pijat. Buah ini diyakini mampu menjadi obat bagi bengkak di kaki dan bagian tubuh lainnya setelah dipijat. 3.2.4. Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. PHBS seharusnya diterapkan sedini mungkin agar menjadi kebiasaan positif dalam memelihara kesehatan132. Selama proses pengumpulan data, peneliti mengamati beberapa perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat desa ini antara lain: Mandi dan Cuci di Sungai. Kebiasaaan masyarakat Banjar di Desa Podok adalah mandi dan mencuci di sungai. Mereka terlihat mencuci tangan dengan menggunakan sabun ketika mandi dan mencuci pakaian. Air sisa mencuci pakaian dibuang ke sungai. Air yang setiap hari diambil dari sungai, digunakan untuk minum dan MCK, dan dikembalikan lagi ke sungai adalah kebiasaan masyarakat. Sebagai orang sungai memanfaatkan alam sekitar lebih baik daripada harus membeli air bersih yang sulit dijangkau dan akses PDAM yang belum ada. Basuhan: Media Pencuci Tangan. Kebiasaan mencuci tangan juga dipraktekkan dalam setiap aktifitas sehari-hari. Meskipun tidak semua melakukan hal itu. Bagi warga, air sungai yang tersedia dirasa sudah memadai untuk membersihkan tangan dari kotoran yang menempel disela-sela jari seusai bekerja, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air dan pada saat selesai bekerja di sawah. 132
Proverawati dan Rahmawati, 2012, PHBS, Penerbit: Nuha Medika, Yogyakarta, hal. 2
108
Selain itu, peneliti juga mengamati budaya mencuci tangan pada saat kedatangan tamu di rumah warga. Tuan rumah menyuguhkan teh hangat dan jajanan, pada saat bersamaan menyediakan pula wadah berisi air untuk membasuh tangan sebelum atau sesudah mencicipi makanan. Wadah berisi air ini dalam istilah lokal disebut basuhan. Hal lain yang teramati adalah, dalam basuhan yang disediakan oleh masyarakat tidak disertai dengan sabun atau kain lap bersih. Basuhan digunakan untuk membersihkan tangan yang kotor karena makanan yang dikonsumsi. Basuhan yang menjadi kebiasaan masyarakat merupakan salah satu indikator perilaku masyarakat yang ber-PHBS. Tetapi perilaku tersebut belum 100% menjamin bahwa tangan yang sudah dibersihkan bebas dari kuman penyakit. Basuhan yang tersedia hanya menggunakan air saja tanpa sabun dan kain lap bersih untuk membersihkan tangan. Peneliti sempat mendengarkan pendapat salah satu warga mengenai kebiasaan mencuci tangan sebagai berikut: ”Mau makan, dari sawah masa bodoh cuci-cuci gitu saja sudah terbiasa. Tidak pakai sabun, sebagian ada yg pakai sabun juga. Kalau di rumah tidak peduli ada kotoran ditangan langsung makan. Tidak ada yang dirasakan, makanya orang kampung ini sehat. Kalau orang tinggal di kota banyak penyakitnya. Orang muntah darah bisa makan tanah, itu bisa langsung berhenti. Tanah yang kuning itu. Kalau kami disini biar mencuci tangan tidak pakai sabun tetap makan saja. Dari mencari ikan di laut tanpa cuci tangan langsung makan saja, dari sawah tanah becek makan kue langsung saja. Kami sudah terbiasa. Kalau orang kota ke desa harus bersih, habis metik sayur langsung direbus“133.
Jamban Sehat 133
0405 CLW MW_Cuci tangan pakai sabun
109
Pola permukiman warga yang dipinggir sungai memang mendekatkan pada akses kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk jamban. Jamban yang digunakan warga disini terletak di belakang rumah tepat dipinggir sungai. Jamban yang terletak di pinggir sungai memang dimiliki oleh individu, namun pemanfaatannya bisa digunakan secara bersama-sama dengan tetangga lainnya, terutama oleh mereka yang letak rumahnya agak jauh dari tepi sungai. Jamban dengan model kotak persegi dengan ukuran yang beragam antara 1x1 m atau 1,5x1,5m beratapkan seng bekas, dinding papan dan memiliki penutup karung bekas. Bagian dalam jamban terdapat lubang tembus ke sungai berukuran 45x25 cm. Kotoran BAB akan jatuh ke sungai, dan air untuk mencuci setelah BAB juga diambil dari sungai dengan menggunakan ember.
Gambar 3.7. Mandi di sungai dan jamban pinggir sungai (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Warga tidak pernah mempersoalkan pengaruh BAB di sungai dan kebersihan air sungai. Menurut mereka, kotoran yang dibuang akan dimakan ikan. Tidak sedikit warga yang mengeluh sakit diare, gatal atau cacingan setelah mandi dan gosok gigi di dekat orang yang BAB. Kenyataannya perilaku ini tidak berubah karena keyakinan dan pembiasaan sejak kecil yang sudah turun temurun. Memiliki jamban sehat di rumah menurut salah satu informan sulit diwujudkan. Menurutnya,“Kendala yang dihadapi adalah air pasang yang besar. Kalau terendam jamban buntu dan kotorannya
110
naik. Di bulan 12 air naik, pasang besar, sehingga warga disini tidak membuat WC di rumah“134. Konsumsi Buah dan Sayur Masyarakat Podok selain menanam padi di sawah juga memanfaatkan lahannya untuk menanam jenis sayuran seperti ubi kayu, kalakai/pakis dan sulur. Sedangkan buah-buahan yang ditanam adalah pisang dan pepaya. Kondisi tanah yang kurang subur mengakibatkan minimnya persediaan sayur dan buah yang disediakan oleh desa ini untuk masyarakatnya. Untuk memenuhi kebutuhan sayur, warga mengandalkan pasar kecamatan dan desa yang ada seminggu sekali. Di warung penjual sayur, dalam keseharian yang tampak adalah sayur yang bertahan lama seperti kacang panjang, terong, labu (termasuk labu siam), timun dan kol. Untuk buah yang sering terlihat di warung adalah pepaya, pisang, dan kedondong.
Gambar 3.8. Sayuran yang dijual di warung (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Dari pengamatan peneliti, masyarakat sangat jarang mengkonsumsi buah dan sayur. Untuk pengolahan sayur sering dibuat dengan cara diberi tambahan santan, direbus dan ditumis. Porsi sayur yang dimakan saat makan tidak banyak. Hal ini dipengaruhi oleh 134
0405, CLW, Pandangan dan Ketersediaan Jamban, HDR
111
selera makan masyarakat yang kurang menggemarinya. Masyarakat mengambil sayur saat makan antara 1-2 sendok makan. Menurut informan yang ditemui, konsumsi sayur dan buah di desa ini masih sangat minim. Masyarakat lebih menggemari lauk ikan asin dan beragam camilan dengan rasa manis. Jarang sekali masyarakat yang suka dengan sayur atau buah. Hal ini adalah pola yang terbentuk dari kebiasaan makanan orang tua dulu sampai sekarang 135. Kebiasaan Merokok Pengamatan peneliti tentang kebiasaan merokok di desa ini cukup kuat. Kebiasaan merokok dipraktekkan oleh laki-laki dan sebagian perempuan (usia tua) di desa ini. Menurut mereka merokok memberikan kenikmatan tersendiri. Warga merokok di sembarang tempat baik di tempat terbuka, di dalam rumah, saat berbincang dengan tetangga dan saat acara di komunitas adalah hal yang biasa. Salah satu informan mengatakan bahwa rata-rata bapak-bapak disini perokok. Alasan yang mendasar kebiasaan merokok warga seperti disampaikan oleh informan berikut ini136: “Pokoknya merokok enaknya semua, kalau tidak merokok bisa sakit kepala. Bisa sampai terasa sakit dibawah kepala istilahnya sungu di bagian kepala. Rokok ini candu atau sudah kecanduan seperti bahan-bahan narkoba. Kalau habis makan dan habis minum tidak merokok, jadinya pusing kalau tidak merokok tidak bisa berfikir”.
Kebiasaan merokok masyarakat dimulai sejak usia dini atau anak-anak usia pelajar. Anak-anak atau remaja yang mulai merokok melakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan orang tua. Sebetulnya masyarakat tahu bahaya merokok, namun sulit berhenti. Salah satu warga yang terkena stroke dan disarankan untuk 135
0605CLW Latifa_Konsumsi Sayur dan Buah Transkripsi wawancara informan MR tentang kebiasaan merokok tanggal 4 Mei 2015 136
112
berhenti merokok tetapi tidak bisa berhenti merokok. Kebiasaan mengkonsumsi rokok sulit dihentikan karena terbiasa sejak dini. Padahal mereka mengetahui, berhenti merokok berarti uang bisa ditabung dan dialokasikan untuk hal lain yang lebih dibutuhkan. Menurut informan, warga menikmati rokok dimana saja. Baik di rumah, di sawah, mencari ikan, nonton TV, berbincang di teras rumah, sambil buang air di jamban dan sehabis makan. Rokok memainkan peran sosial yang penting, khususnya bagi laki-laki. Informan mengatakan bahwa tanpa rokok hidup tak berdaya. Pandangan yang sudah sejak lama terbangun seperti itu menjadikan sulit untuk mengurangi dan menghentikan kebiasaan ini 137. Penggunaan Air Bersih Sungai merupakan urat nadi kehidupan masyarakat ini. Sebagai anak kandung sungai, mereka lahir, besar dan mati tergantung sungai ini. Masyarakat di desa Podok dari dulu hingga sekarang sudah terbiasa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari untuk mencuci, memasak, minum dan mandi. Untuk pengolahan air sungai menjadi air konsumsi, rata-rata masyarakat menggunakan tawas yang dijual di warung-warung kecil dengan harga Rp. 500,- per bungkusnya. Satu tong besar ukuran 250 lt yang diisi air sungai yang telah diberi tawas satu bungkus bisa digunakan 1-2 hari. Tidak semua warga memberikan tawas untuk menjernihkan air sungai. Ada sebagian warga yang langsung mengkonsumsi untuk diminum dan dimasak tanpa penyaringan sederhana. Warga meminum air sungai yang mentah yang telah diendapkan selama 2-3 hari yang diakui lebih enak rasanya, daripada memasak air tersebut 138 . Penggunaan air sungai untuk konsumsi sehari-hari juga dilakukan saat air sungai menjadi payau atau hanta karena intrusi laut. Kepercayaan sebagai orang sungai sedemikian kuat, sehingga mereka 137 138
Ibid 0405 CLW MR_ Konsumsi Air Sungai
113
kebal dengan bakteri yang ada di air sungai. Mereka yang masih mengkonsumsi inilah yang biasanya terkena diare pada musim kering disaat air menjadi payau. Tawas untuk menjernihkan air diperoleh dengan mudah diperoleh di warung-warung di desa ini. Masyarakat mengetahui ukuran tawas yang dipakai untuk menjernihkan air berdasarkan petunjuk dibungkusnya. Meskipun untuk pemakaian ukuran tempat yang berbeda kapasitas volumenya, mereka menggunakan perasaan daripada perbandingan ukuran yang rasional. Setelah air sungai disedot ke dalam drum penyimpanan, maka tawas dimasukkan. Air yang diberi tawas dibiarkan selama 30 menit. Kotoran mengendap di bawah drum, sedangkan bagian atas adalah air jernih yang siap dipakai. 3.3. Potret Kesehatan Ibu dan Anak di Desa Podok 3.3.1. Layanan Kesehatan Ibu dan Anak di Pustu Bidan desa yang menjalankan operasional Pustu desa ini menyebutkan bahwa layanan yang diberikan terkait dengan KIA adalah layanan KB, pemeriksaan ibu hamil, Posyandu, kelas ibu hamil, dan layanan persalinan. Peneliti mendapatkan data WUS desa Podok dari bidan desa. Jumlah WUS di desa ini sebanyak 675 yang terbagi dalam tiga dusun, rerata tiap dusun adalah 200-an WUS. Di dusun Sakajarak dan Sakamangkok banyak data yang kosong. Hal ini disebabkan warga yang didatangi kurang terbuka dan tidak melihat pentingnya data seperti ini untuk mereka. Data ini penting untuk mengetahui jumlah perempuan usia subur dan potensi masalah terkait kesehatan ibu dan anak.
114
Tabel 3.2. Data WUS Desa Podok Tahun 2014 Usia
Jumlah (RT 1)
Jumlah (RT 2)
Jumlah (RT 3)
< 20 tahun
17
16
15
20-25 tahun
40
56
19
26-30 tahun
61
33
27
31-35 tahun
26
43
23
36-40 tahun
32
47
25
> 40 tahun
36
43
22
8
86
246
217
tidak ada data Jumlah
212
Jumlah Total
675
Sumber: Laporan WUS Desa Podok, 2014
Tabel 3.3. Sasaran PWS KIA Desa Podok Tahun 2014 No
Dusun
BUMIL
BULIN
BAYI
1
Darat
15
14
13
2
Tengah/Muara
21
20
16
3
Sakajarak/Sakamangkok
18
17
20
54
51
49
JUMLAH
Sumber: Data PWS bidan Desa dan di olah kembali oleh tim peneliti, 2015
Selain data WUS, didapatkan juga data pemantauan wilayah setempat terkait KIA. Sesuai tabel 3.3, diketahui bahwa sasaran ibu hamil di tahun 2014 sebanyak 54. Selama tahun 2014 terdapat 51 ibu bersalin, dan bayi yang lahir hidup adalah 49 bayi. Sehingga selama tahun 2014 terjadi dua kematian bayi di desa ini. Tabel 3.4. K1 Ibu Hamil desa Podok tahun 2014 BULAN JAN FEB MAR APR MEI
I 2 0 0 0 0
RT II 1 1 1 2 3
JMLH III 2 4 3 2 1
5 5 4 4 4
ABSOLUT KOMULATIF 5 10 14 18 22
% KOMULATIF 9,26 18,52 25,93 33,33 40,74
115
JUNI 0 1 1 2 24 44,44 JULI 2 0 0 2 26 48,15 AGST 2 0 0 2 28 51,85 SEP 1 3 0 4 32 59,26 OKT 3 0 0 3 35 64,81 NOV 4 3 2 9 44 81,48 DES 0 0 0 0 44 81,48 JMLH 14 15 15 44 absolut dan % komulatif untuk melihat per bulannya % 93,33 71,43 83,33 81,48 RANK 1 3 2 Sumber: Data bidan desa dan diolah kembali oleh tim peneliti, 2015
Data yang disajikan pada tabel 3.4 menunjukkan bahwa prosentase K1 bumil di Desa Podok sebesar 81,48%, terpaut 13,92% dari capaian K1 Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar sebesar 95,04% 139. Tabel 3.5. K4 Ibu Hamil desa Podok Tahun 2014 BULAN
RT
JMLH
ABSOLUT KOMULATIF
% KOMULATIF
I
II
III
JAN
1
2
0
3
3
5,56
FEB
1
1
0
2
5
9,26
MAR
1
0
1
2
7
12,96
APR
0
1
2
3
10
18,52
MEI
0
2
1
3
13
24,07
JUNI
1
1
1
3
16
29,63
JULI
1
0
2
3
19
35,19
AGST
0
0
1
1
20
37,04
SEP
0
1
4
5
25
46,30
OKT
1
0
1
2
27
50,00
NOV
0
1
3
4
31
57,41
DES
0
3
1
4
35
64,81
JMLH % RANK
6
12
17
35
40,00
57,14
94,44
64,81
3
2
1
absolut dan % komulatif untuk melihat per bulannya
Sumber: Data bidan desa dan diolah kembali oleh tim peneliti, 2015
139
Profil kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2013, 2014.
116
Data tabel 3.5 menunjukkan bahwa prosentase K4 bumil di Desa Podok sebesar 64,81%, terpaut 15,27% dari capaian K4 Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar sebesar 80,08%. Tabel tersebut juga menginformasikan bahwa K4 ibu hamil masih rendah dibanding dengan K1. Menurut bidan desa rendahnya K4 dipengaruhi oleh beberapa faktor di lapangan misalnya aksebilitas jalan dan wilayah, tingkat pengetahuan warga, tingkat ekonomi, perilaku dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat serta dukungan keluarga140. Kepercayaan dan dukungan keluarga terkait cakupan ANC yang rendah, misalnya pilihan penggunaan jasa persalinan di tenaga kesehatan atau di dukun bayi (seperti terlihat dalam tabel 3.5). Tabel 3.6. Persalinan Nakes Di Desa Podok Tahun 2014 BULAN
RT
JMLH
ABSOLUT KOMULATIF
% KOMULATIF
I
II
III
JAN
4
2
2
8
8
15,69
FEB
1
3
1
5
13
25,49
MAR
0
1
0
1
14
27,45
APR
1
0
1
2
16
31,37
MEI
0
0
1
1
17
33,33
JUNI
0
3
1
4
21
41,18
JULI
0
1
0
1
22
43,14
AGST
1
2
3
6
28
54,90
SEP
1
0
2
3
31
60,78
OKT
0
0
1
1
32
62,75
NOV
0
0
0
0
32
62,75
DES
0
0
3
3
35
68,63
JMLH
8
12
15
35
57,14
60,00
88,24
68,63
3
2
1
% RANK
absolut dan % komulatif untuk melihat per bulannya
Sumber: Data bidan desa dan diolah kembali oleh tim peneliti, 2015
140
2804 CLW Bidan_02
117
Dari 51 ibu bersalin, yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan sebanyak 35 orang. Jumlah 35 orang ini sudah termasuk persalinan kerjasama antara bidan desa dan dukun bayi. Diluar itu, terdapat 16 persalinan yang tidak ditolong oleh tenaga kesehatan. Hal ini menggambarkan bahwa peran dukun bayi masih kuat yang ditandai dengan masih adanya pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi. Kegiatan Posyandu141. Kegiatan Posyandu dilakukan sebulan sekali setiap tanggal lima. Kegiatan yang dilakukan adalah penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, pencatatan, pemberian makanan tambahan (PMT), dan pemeriksaan kehamilan serta imunisasi. Kesan yang tertangkap dalam pelaksanaan Posyandu ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat untuk datang ke Posyandu dan kurang terkoordinasinya kegiatan di Posyandu. Menurut bidan desa, Posyandu biasanya mulai jam 09.00, kenyataannya menjelang jam 09.00 suasana masih sepi. Peneliti melihat masyarakat yang berdomisili di sekitar Pustu hanya melihat dari luar. Meskipun mereka memiliki bayi dan balita, tidak terlihat minat untuk datang ke Posyandu. Menanggapi sepinya pengunjung, bidan desa memberikan pengumuman kepada warga lewat SMS dan melalui kader. Untuk menarik minat warga, bidan desa melakukan pengumuman melalui pengeras suara di masjid desa, bahwa Posyandu kali ini selain penimbangan dan PMT, juga imunisasi oleh petugas kesehatan dari Puskesmas Aluh-Aluh. Jam 09.15, pengunjung mulai antri, tetapi kader Posyandu yang jumlahnya lima orang belum datang. Jam 09.30 Kader datang ke Posyandu dengan membawa termos PMT. Mereka secara otomatis memasang timbangan dacin untuk baduta dan menyiapkan timbangan injak. Peneliti tidak melihat meja registrasi dan pencatatan. Pengunjung terlihat berjubel dan tidak sabar mengantri. Kader yang 141
0505 CLObservasi Pelaksanaan Posyandu
118
melakukan penimbangan terlihat tidak berkoordinasi dengan kader yang melakukan pencatatan. Peneliti melihat, bahwa kader yang mencatat meminta kertas pada bidan desa dan mencatat secara cepat pada kertas tersebut untuk selanjutnya disalin pada buku pencatatan setelah acara penimbangan selesai. Bidan desa dalam kegiatan Posyandu terlihat sibuk untuk menerima pemeriksaan kehamilan, KB dan menerima pasien yang berobat. Pasien yang memeriksakan kehamilan ditimbang berat badan dan tinggi badan, diukur tekanan darah dan Lila. Beberapa ibu juga terlihat melakukan suntik KB. Mereka memilih KB suntik karena jadwalnya pasti. Jika memilih pil KB, mereka kuatir lupa dan bisa mengakibatkan kehamilan lagi. Penimbangan yang pertama dilakukan pada siswa TK yang berjumlah 34 anak. Mereka ditimbang dan diukur tinggi badan, dan diberikan PMT. Demikian pula dengan baduta dan balita yang ditimbang dengan timbangan dacin, kemudian diberikan PMT. PMT yang diberikan dalam Posyandu hari ini adalah bubur ayam. Menu PMT yang biasa diberikan dalam Posyandu adalah bubur ayam, bubur kacang hijau, dan agar-agar. Bahan bubur ayam adalah beras, potongan kentang, wortel, daun bawang dan ayam suwir. Bubur ayam yang diberikan sebagai PMT kali ini terasa kuat bumbu penyedapnya (MSG). Porsi PMT untuk tiap anak adalah satu piring kecil dan dimakan dengan sendok. Kebanyakan anak masih disuapi oleh ibunya, termasuk anak TK. Jika anak tidak mau makan PMT tersebut, maka yang makan adalah ibunya. Anak-anak yang datang di Posyandu ini ditemani oleh ibunya. Hitungan kasar peneliti, setidaknya terdapat 50 balita dan bayi yang datang di kegiatan ini. Jika ditambah dengan murid TK, maka jumlahnya semestinya sekitar 80an. Jumlah kunjungan ini terbilang cukup banyak. Pengunjung yang relatif banyak kemungkinan disebabkan adanya informasi pemberian imunisasi. Imunisasi yang diberikan adalah BCG, folio dan DPT. Namun, peneliti juga melihat sebagian pengunjung yang datang hanya untuk menimbang anaknya,
119
mendapat PMT kemudian pulang. Mereka tidak menginginkan anaknya diimunisasi. Bagi sebagian masyarakat Podok, imunisasi dipandang tidak perlu. Menurutnya, imunisasi membuat anak yang kondisinya sehat menjadi sakit.
Gambar 3.9. Kegiatan Posyandu desa Podok (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
Selama proses Posyandu peneliti melakukan wawancara singkat dengan beberapa pengunjung terkait pemberian ASI eksklusif, usia anak, dan data pribadi pengunjung seperti umur dan dusun tempat domisili mereka. Rata-rata yang hadir di Posyandu adalah dari dusun Sakajarak dan Podok Darat. Hampir tidak ada pengunjung dari Podok Tengah, tempat dimana Pustu berada. Berdasar observasi dan wawancara singkat, umumnya ibu yang memiliki bayi memberikan ASI kepada anaknya. Tetapi tidak ada perbedaan menu makan bagi ibu ketika menyusui dan tidak menyusui. Menu makan ibu adalah menu sehari-hari yaitu nasi dan ikan, baik ikan segar atau ikan asin. Mereka hanya kadang-kadang mengkonsumsi sayur daun katuk, sayur pucuk ubi kayu, dan pakis. Tempe tahu tidak terlalu disukai, karena ada kepercayaan bahwa kedelai akan menimbulkan biang keringat pada anak yang disusui.
120
Pada awal menyusui biasanya keluar kolostrum. Berdasarkan informasi dari beberapa informan yang ditemui, pemberian kolostrum dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Jika ibu tersebut bersalin di tenaga kesehatan atau mendapatkan informasi kesehatan, maka kolostrum diberikan. Namun, masih ada kepercayaan di masyarakat bahwa air susu ibu yang keluar pertama tidak bersih. Kepercayaan ini membuat ibu membuang kolostrum, karena takut hal yang kurang bersih dikonsumsi oleh anaknya. Seusai kegiatan Posyandu, peneliti meminjam catatan penimbangan dan pemeriksaan kesehatan. Pasien yang berkunjung sejumlah sembilan orang perempuan. Dari sembilan orang, tujuh orang memeriksakan kehamilan dan dua melakukan suntik KB. Dari tujuh orang yang memeriksakan kehamilan, dua orang ibu hamil berusia 17 tahun dan dua orang ibu hamil berusia lebih dari 36 tahun. Catatan penimbangan balita terlihat tidak lengkap. Sebagian dicatat berat badan lengkap dengan tinggi badan, sebagian hanya dicatat berat badan, kemudian terjadi pencatatan ganda, dan sebagian tidak dicatat. Penimbangan bayi yang datang hanya tercatat 27, padahal peneliti melakukan perhitungan kasar ada sekitar 50an bayi dan balita, dan 34 murid TK. Namun dalam buku catatan yang hadir hari ini adalah 61, padahal seharusnya lebih. Dengan kondisi catatan seperti ini tim tidak dapat melakukan analisis data penimbangan. Kualitas kader dan koordinasi kegiatan yang kurang baik merupakan hal yang berpengaruh pada kualitas kegiatan Posyandu. Kelas Ibu Hamil142. Kegiatan kelas ibu hamil di desa ini diikuti oleh 10 orang ibu hamil dengan variasi usia kehamilan yang beragam. Menurut data bidan desa, tahun 2015 terdapat sekitar 30 ibu hamil di desa ini. Sayangnya cukup sulit untuk mengajak mereka datang di 142
1205CLObservasi kelas ibu hamil
121
kegiatan kelas ibu hamil, dengan alasan aktivitas rumah tangga dan jarak rumah ke Pustu yang jauh. Sumber materi diskusi kegiatan ini adalah buku KIA yang disampaikan dengan metode ceramah. Materi yang diberikan adalah imunisasi bagi ibu hamil dan untuk bayi, perawatan sehari-hari untuk ibu hamil, dan anjuran makan yang sehat untuk ibu hamil. Terlihat tidak semua peserta membawa buku KIA. Metode satu arah yang dibawakan oleh bidan desa tanpa adanya alat peraga membuat peserta menjadi pasif. Pada saat sesi tanya jawab, tim mencoba masuk untuk mengajak diskusi yang lebih interaktif. Dari proses diskusi, didapatkan informasi bahwa rentang usia ibu hamil sesuai dengan yang diinformasikan oleh bidan desa sebelumnya, yaitu usia yang terlalu muda (dibawah 20 tahun) dan usia yang terlalu tua (46 tahun). Asupan makan ibu hamil seringkali kurang diperhatikan karena kondisi fisik kehamilan seperti merasa mual. Diskusi berjalan dengan santai, meskipun pada awalnya peserta merasa kurang nyaman. Hampir semua peserta memeriksakan kehamilan pada bidan atau tenaga kesehatan. Namun mereka belum memutuskan siapa yang akan membantu proses persalinan nanti. Informasi yang disampaikan peserta kelas ibu hamil dirasakan sangat membantu tim peneliti adalah didapatkannya informasi permasalahan kehamilan dan istilah lokalnya, serta praktek pantang makan bagi ibu pasca bersalin yang masih kuat dipercaya masyarakat desa ini. Dari proses observasi kegiatan kelas ibu hamil, tim melihat bahwa keterampilan tenaga kesehatan untuk berkomunikasi menjadi penting. Kegiatan kelas ibu hamil maupun promosi kesehatan perlu dilengkapi dengan alat-alat peraga untuk mendukung kegiatan. Metode penyampaian yang menarik dan interaktif perlu dilatihkan pada tenaga kesehatan, karena memotivasi peserta menjadi aktif untuk menyampaikan permasalahan atau pemikirannya terkait pengalaman masa kehamilannya.
122
3.3.2. Kesehatan Reproduksi Remaja Di desa ini membincangkan kesehatan reproduksi remaja sangat jarang dilakukan. Perubahan fisik dan biologis dari anak-anak menuju remaja merupakan hal yang alamiah. Namun membicarakannya secara terbuka dengan remaja belum pernah dilakukan. Informasi yang memadai terkait kesehatan reproduksi remaja hampir tidak ada. Selama ini informasi kesehatan reproduksi remaja diperoleh dari teman sebaya dan dari pelajaran agama di sekolah143. Dari beberapa informan yang diwawancarai tentang kesehatan reproduksi bagi anak perempuan, semua merujuk pada menstruasi pertama kali yang menjadi titik tolak menuju dewasa. Informan menceritakan pengalaman pribadi dan pengalaman dengan anak perempuannya terkait hal ini. Umumnya, remaja memperoleh informasi terkait menstruasi dari teman sebaya di sekolah dan pelajaran agama. Remaja perempuan yang mengalami menstruasi pertama tidak menceritakan pengalaman ini pada orangtua karena malu. Biasanya keluarga akan mengetahui kalau anaknya menstruasi saat bulan puasa. Begitu orangtua tahu bahwa anaknya telah mendapatkan menstruasi, maka akan diberikan jamu tradisional mulai dari buatan pabrik dan meramu sendiri. Biasanya ibu akan memberikan jamu cabi yang digerus dengan beberapa bahan lain dan diminum setelah darah menstruasi berakhir. Pemberian jamu ini adalah untuk menjaga kesehatan. Ibu juga akan memberikan pengajaran bagaimana menggunakan pembalut dan mencuci sisa menstruasi yang bersih. Sisi lain dari menstruasi pada anak 143
1805CLW Pembakal Adn_02. Catatan peneliti: beberapa informan mengatakan dalam pelajaran agama diajarkan adab bersuci. Sehingga kesehatan reproduksi remaja hanyalah seputar perubahan biologis yang ditandai dengan menstruasi pada anak perempuan dan perubahan fisik pada laki-laki, termasuk mimpi basah. Namun informasi mendalam tentang kesehatan reproduksi remaja hampir tidak ada dan tidak dibicarakan secara terbuka karena masih dianggap tabu.
123
perempuan adalah pengaturan adab pergaulan dan aktivitas di luar rumah144. 3.3.3. Pernikahan Dini Pemikiran terkait banyaknya pernikahan dini di desa ini dimulai ketika peneliti melihat tidak cukup banyak anak yang melanjutkan ke jenjang SMA. Padahal, jumlah anak yang duduk di SD dan MTs cukup banyak. Menurut beberapa warga, kebanyakan warga memang sekolah sampai SD atau SMP. Pendidikan tinggi dianggap tidak terlalu penting, apalagi untuk anak perempuan. Banyak anak perempuan ketika lulus SD dan masih di bangku MTs keluar sekolah karena dikawinkan. Informasi ini berkorelasi dengan temuan wawancara yang dilakukan peneliti. Dari beberapa informan perempuan yang diwawancarai diketahui bahwa umumnya perempuan desa ini menikah saat usia 1516 tahun setelah mereka lulus SD dan Pondok Pesantren. Julak Iyah mengatakan bahwa tradisi orang bahari bahwa anak perempuan usia 16 tahun dikawinkan. Pendapat ini diperkuat oleh bidan desa bahwa di desa umumnya anak perempuan lulus SD dikawinkan145. UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memang mengizinkan pernikahan untuk laki-laki minimal berumur 19 tahun dan perempuan minimal berumur 16 tahun. Namun dalam banyak kasus pernikahan dini, terjadi banyak manipulasi umur. Disisi lain, pemerintah juga mengeluarkan UU No. 10 tahun 1992 yang menyebutkan pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan keluarga berencana. Disebutkan juga dalam UU tersebut bahwa banyak resiko kehamilan terjadi jika usia pernikahan dibawah 19 tahun.
144
1605CLW Nini Pupur; 1605CLW Iyah; 1805CLW Pembakal Adn_02
145
Kesimpulan peneliti dari wawancara dengan beberapa informan; 2504CLW Bidan_01; 1605CLW Iyah_02
124
Perkawinan usia dini ini masih banyak terjadi karena kuatnya persepsi gender bahwa tugas perempuan adalah di wilayah domestik/mengurus rumah tangga. Disamping itu, pernikahan anak perempuan di satu sisi merupakan jalan keluar instan atas kondisi ekonomi keluarga yang dirasa berat. Padahal dampak yang ditimbulkan pernikahan anak cukup panjang, mulai dari dampak fisik, psikologis, hingga potensi kematian. Bidan desa mengatakan bahwa bagi mereka yang masih terlalu muda, disarankan oleh informan untuk menunda kehamilan dengan ber-KB. Saran tersebut biasanya sulit dilakukan karena desakan suami dan keluarga untuk segera mempunyai anak. Alasannya jika ber-KB terlalu lama akan sulit hamil146. Kehamilan pada usia remaja beresiko tiga hingga tujuh kali lipat berujung pada kematian ibu dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35 tahun. Kehamilan pada usia remaja memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut dan janin yang dikandungnya. Secara psikologis, seorang anak tidak seharusnya membesarkan seorang anak. Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia remaja justru sedang mengalami transisi menjadi dewasa dan sedang membutuhkan berbagai penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang sedang ia alami. Memberi tekanan kepada mereka dalam bentuk tanggungjawab pengasuhan dan kewajiban-kewajiban pengelolaan rumah tangga memiliki konsekuensi terhadap kesehatan jiwa147. Selain itu, hak pendidikan anak juga terenggut. Pendidikan yang cukup adalah salah satu sumber terang kehidupan ini. Sumber 146
2504CLW Bidan_01
147
18 kunci akhiri praktek perkawinan anak, mengunduh di: http://unilubis.com/2014/11/24/18-pesan-kunci-akhiri-praktik-perkawinan-anak/ tanggal 20 Juni 2015.
125
terang tersebut kian meredup dengan pembenar ketiadaan biaya, kurang pentingnya pendidikan bagi perempuan, dan sudah adanya orang yang melamar. Memang untuk warga disini menerima lamaran bukanlah suatu yang menyalahi nilai sosial budaya yang disepakati dan ajaran agama. Namun dalam fenomena pernikahan dini di masyarakat desa ini tampaknya kesehatan reproduksi perempuan sedang dipertaruhkan. 3.3.4. Fase Kehamilan: Makna Kehamilan, Punya Anak, dan Masalah Kehamilan Kehamilan untuk sebagian besar orang merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu. Peristiwa yang alamiah bagi perempuan. Kehadiran anak dan memiliki keturunan dipandang penting baik oleh pasangan suami istri, keluarga maupun masyarakat. Menurut informan yang ditemui, penting bagi warga disini mempunyai keturunan. Jika mereka menikah dan tidak mempunyai anak akan dibicarakan keluarga besar dan tetangga. Bagi pasangan yang sulit mendapatkan anak, mereka berupaya memilikinya baik melalui jalan medis modern dan tradisional148. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa masa kehamilan dan melahirkan adalah masa yang penting dan menjadi fokus perhatian dalam kehidupan masyarakat. Ibu hamil dan menjelang bersalin dilindungi secara adat, religi dan moral dengan tujuan menjaga kesehatan ibu dan bayi. Masa tersebut direspon dengan berbagai ritual upacara, anjuran dan pantangan149. Bagi masyarakat Banjar di desa ini, masa hamil atau kondisi hamil disebut batianan dalam bahasa Banjar, merupakan periode dimana seorang perempuan mengandung anaknya selama 9 bulan. Bidan desa yang ditemui mengatakan bahwa beberapa permasalahan 148
1605CLW Iyah_02 Bronislaw Malinowski, 1927. Sex and Repression in Savage Society. London: Rourledge & Kegan Paul Ltd 149
126
yang dihadapi ibu hamil di desa ini adalah keguguran, kurang gizi, hipertensi, usia ibu yang terlalu muda dan terlalu tua150. Selama 9 bulan masa kehamilan, ibu hamil tetap melakukan aktivitas pekerjaan rumah tangga baik ringan, sedang dan berat. Biasanya ibu hamil yang mengalami keguguran atau bayinya meninggal disebabkan aktivitas yang berat, seperti bekerja di kebun atau sawah, dan mengangkat air dari sungai menuju tempat penampungan di rumah151. Menurut informan bapak-bapak yang diwawancarai mengatakan bahwa tugas rumah tangga adalah tugas istri. Tidak ada yang bisa menyelesaikan pekerjaan rumah selain istri. Beban kehamilan dan pekerjaan rumah tangga yang berat dipandang sebagai suatu yang biasa saja152. Kondisi kurang asupan gizi pada ibu hamil juga sering ditemui oleh bidan desa sampai umur kehamilan berusia 3 bulan yang ditandai dengan KEK. Kondisi ini terkait dengan pola makan. Seringkali terjadi saat usia kehamilan muda, ibu kurang nafsu makan. Permasalahan ini tertangkap saat peneliti melakukan observasi kelas ibu hamil. Pengetahuan tentang gizi yang kurang membuat mereka kurang bisa menyiasati kondisi kurang nafsu makan tersebut. Selain itu, tim mendapatkan informasi tentang anjuran makan telur mentah dicampur minyak kelapa satu sendok untuk dikonsumsi ibu hamil. Ramuan ini dianjurkan untuk diminum ibu hamil mulai usia 8 bulan satu minggu sekali dengan tujuan mempermudah proses persalinan. Permasalahan lain yang dihadapi adalah usia ibu hamil yang terlalu muda dan terlalu tua. Banyaknya ibu muda dibawah 20 tahun yang hamil merupakan dampak dari pernikahan dini di desa ini. Ibu yang berusia tua dan beresiko jika hamil dan bersalin juga masih ada. Biasanya ibu hamil yang berusia tua, saat proses kehamilan juga 150
2504CLW Bidan_01 Transkripsi observasi kelas ibu hamil tanggal 12 Mei 2015. 152 1605CLW bapak-bapak desa Podok 151
127
menderita hipertensi. Bagi mereka, baik yang berusia terlalu muda dan terlalu tua, kehamilan dimaknai sebagai rejeki yang disyukuri. Bagi bidan desa hal ini menjadi tantangan besar pada saat persalinan dan masa nifas. Karena baik yang berusia terlalu muda dan terlalu tua sama-sama beresiko tinggi153. Dalam kelas ibu hamil, peneliti mengetahui masalah-masalah yang kurang disadari menjelang bersalin, seperti batianan kerbau. Istilah ini digunakan untuk menyebut masa kehamilan yang sudah lewat bulan, namun belum ada tanda melahirkan. Disebut kerbau karena masa hamil kerbau berlangsung lama kira-kira hampir satu tahun. Salah seorang peserta menceritakan pengalamannya mengalami batianan kerbau. Meskipun banyu camah atau lendir campur darah sudah keluar, tidak ada tanda-tanda bayi akan keluar. Saat itu persalinan dibantu oleh dukun bayi. Sampai empat hari kondisi seperti itu berlangsung. Oleh bidan desa yang sebelumnya, ibu tersebut dibawa ke Puskesmas dan mendapat pertolongan. Kira-kira enam jam kemudian bayi berhasil dilahirkan, keesokan harinya ibu dan bayi sudah boleh pulang. Kasus lain dari batianan kerbau ditemui oleh tim pada saat proses pengumpulan data. Informasi dari bidan desa menyatakan bahwa usia kehamilan sudah 41 minggu, sehingga terlewat dua minggu. Oleh bidan desa dianjurkan untuk USG agar tahu pasti kondisi janin. Ibu tersebut akhirnya bersedia ke RS Ulin di Banjarmasin. Hasil USG menunjukkan kandungan sudah lewat bulan, plasenta sudah tua dan mulai tidak berfungsi dalam rahim. Dokter menyarankan agar janin segera dilahirkan. Ibu tersebut meminta untuk dapat bersalin secara normal, sehingga dilakukan terminasi per vaginam. Akhirnya ibu berhasil bersalin secara normal dan kondisi ibu serta bayi selamat. Dari dua kasus batianan kerbau ini, jika tidak terdeteksi oleh tenaga
153
2504CLW Bidan_01
128
kesehatan yang memahami, tentunya membahayakan keselamatan ibu dan bayi yang dikandungnya. 3.3.5. Proses Persalinan: Aktor yang terlibat, Dukungan Keluarga, Masalah saat Bersalin Aktor yang terlibat dalam proses bersalin. Masih kuatnya kepercayaan masyarakat pada peran penyembuh tradisional dan dukun bayi, mempengaruhi bagaimana mereka mengakses sistem kesehatan modern. Demikian pula halnya dengan pilihan siapa yang akan membantu saat bersalin. Kedekatan emosional yang terbangun lama antara masyarakat dan dukun bayi, menyebabkan masyarakat masih menggunakan jasa mereka. Pertimbangan merasa lebih nyaman dengan dukun bayi yang memahami kesejarahan masyarakat, bersalin di rumah, biaya yang tidak mahal merupakan alasan menggunakan jasa dukun bayi. Informan154 yang diwawancarai mengatakan bahwa: “…..selama lima kali melahirkan selalu dengan dukun bayi. Saya memilih dibantu dukun bayi karena lebih mudah dan melahirkan di rumah. Alhamdulillah saya dan semua anak selamat. Mudah, karena bisa dijangkau masyarakat. Biayanya juga murah. Selain itu dukun bayi juga menawarkan perawatan pijat untuk ibu setelah melahirkan dan bayi. Setelah proses melahirkan pun, dukun bayi membantu untuk menyuci kain bekas melahirkan“.
Di desa ini terdapat tiga orang dukun bayi. Saat ini yang masih aktif melayani adalah dua orang. Satu orang dukun bayi sudah berusia lanjut dan tenaganya sudah berkurang jauh untuk melayani persalinan. Diantara dua orang dukun bayi ini, satu orang yang paling sering memberi pertolongan persalinan. Setidaknya sejak tahun 2007 sampai Mei 2015 telah menolong 206 persalinan di desa ini dan desa tetangga155. Biasanya saat bersalin, ibu yang bersalin ditemani oleh dukun bayi, dan ibu atau ibu mertua. Namun, seringkali ibu bersalin 154 155
0605CLW Latifa; 0805CLW Ita 2804CLW ID_DK; lampiran catatan persalinan ID_DK
129
hanya berdua dengan dukun bayi saja. Keterlibatan suami hampir tidak ada, karena alasan bekerja dan takut melihat proses melahirkan. Pilihan bersalin di dukun bayi dan masih terjadinya kasus kematian ibu dan bayi di desa ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah terjadi kekosongan tenaga kesehatan hampir satu tahun di desa ini tahun 2011-2012, bidan desa mengawali pekerjaan di desa ini dengan tantangan berat, terutama bagaimana mengajak masyarakat untuk bersalin dengan aman. Di desa ini dalam satu tahun rata-rata terjadi dua kasus kematian ibu yang biasanya terjadi pasca persalinan karena eklamsia, perdarahan dan infeksi156. Berdasarkan wawancara dan pengamatan pada dukun bayi yang masih aktif menangani proses persalinan, terdapat teknik membantu persalinan yang cukup beresiko, seperti memasukkan tangan untuk mengambil plasenta yang tertinggal, atau mendorong perut ibu jika bayi sulit keluar. Dukun bayi yang paling sering menolong persalinan juga mempunyai alat pertolongan medis modern misalnya gunting memotong tali pusat dan alat untuk menggunting jalan lahir. Kepemilikan alat seperti ini tanpa ada pendidikan dan pelatihan penggunaan secara aman serta jaminan sterilisitasnya secara langsung mempengaruhi status kesehatan ibu dan anak.157 Peneliti mendapatkan cerita kasus kematian ibu pasca persalinan yang terjadi tahun 2011, dimana saat itu tidak ada petugas kesehatan yang bertugas di desa ini sebagai berikut:
156
2404CLW Bidan_01
157
2804CLW DK_ID; 0405CLW DK_ID; 1705CLObservasi DK_ID
130
Kasus Kematian Ibu tahun 2011158
D
Kasus ini terjadi di bulan puasa tahun 2011. Di tahun tersebut di desa Podok tidak ada bidan desa yang bertugas disana. Sebenarnya saat memeriksakan kandungan ke bidan di Puskesmas, ibu tersebut sudah diberitahu bahwa posisi bayi yang dikandungnya melintang dan harus dibantu tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan untuk persalinan. Namun ibu tersebut tetap memilih untuk bersalin di rumah dengan alasan biaya persalinan besar jika melahirkan di fasilitas kesehatan (PKM/RS). Informan menceritakan dengan roman kesedihan yang mendalam yang tampak dari bening mata yang berubah muram. Kejadian yang menyedihkan itu benar-benar kenangan yang traumatis bagi keluarga besar. Apalagi ibu yang meninggal adalah sepupunya. Persalinan tersebut dibantu oleh dukun bayi. Bayi berhasil dilahirkan pada siang hari dalam kondisi sehat, namun kondisi ibu terlihat kritis (uyuh). Dalam keadaan kritis, ibu tersebut masih bisa berbicara dan mengeluh kesakitan. Suami saat itu tidak ada di tempat karena sedang bekerja. Setelah proses persalinan selesai, terjadi perdarahan hebat yang digambarkan bahwa darah mengalir seperti kran yang terbuka. Pasien ditidurkan dalam posisi miring dan dialasi oleh kain-kain yang tebal agar darah tidak banyak keluar dan tidak mengalir kemana-mana. Suami diberi tahu kondisi istrinya dan diminta menjemput bidan desa di Aluh-Aluh Kecil. Karena kondisi pasien makin kritis dan kejang, keluarga meminta pertolongan ke penambaan untuk memberikan upaya penyembuhan. Penambaan membacakan beberapa ayat Qur’an. Tidak seberapa lama pasien meninggal dunia dan tenaga kesehatan belum datang.
i
tahu n 2012, beberapa waktu mengawali masa tugasnya sebagai bidan desa, terdapat kasus kematian ibu karena eklamsia. Informan menyatakan bahwa ibu hamil tersebut sudah berumur 36 tahun dan mengidap hipertensi. Oleh informan disarankan agar ibu berobat ke Puskesmas 158
1405CLW Hj. Ram_03
131
Aluh-Aluh untuk diperiksa lebih lanjut agar tertangani kesehatannya. Namun saran tersebut tidak dilakukan karena alasan keluarga tidak setuju. Beberapa waktu kemudian, informan bertemu dengan suami ibu tersebut dan menanyakan kabarnya. Suami ibu tersebut menyatakan bahwa istrinya sudah melahirkan dan ditolong oleh dukun bayi. Namun kondisi ibu setelah bersalin mengalami kejang dan mendengkur. Informan segera mengunjungi ibu tersebut. Bayi yang dilahirkan dalam keadaan sehat, namun ibu tersebut terlihat lemas, diam, suhu badan menurun. Tidak berapa lama kemudian, ibu tersebut meninggal. Hingga tahun 2014, diakui oleh bidan desa bahwa masih ada kejadian kasus kematian ibu di desa ini. Tahun 2015, belum ada kasus kematian ibu namun terjadi kasus kematian bayi159. Dari data yang dirangkum tim peneliti, terlihat kurangnya pengetahuan ibu hamil yang akan bersalin dan keluarga tentang tanda kehamilan dan tanda-tanda resiko pasca persalinan. Berdasarkan catatan observasi kelas ibu hamil, seorang peserta menceritakan pengalaman kehamilan pertama sampai dengan keempat. Saat itu masih menggunakan jasa dukun bayi, bahkan memeriksakan kandungan di dukun bayi. Pada kehamilan anak ketiga, anak meninggal karena “kambar banyu“ atau air ketuban sudah pecah. Masyarakat awam menyebut air ketuban yang pecah lebih awal sebagai kambar banyu namun belum ada tanda bayi mau lahir. Informan menyatakan bahwa kambar banyu mulai keluar sebelum Ashar dan setelah Isha bayi baru keluar. Akibat kambar banyu ini sangat fatal, karena ibu bisa kehabisan tenaga untuk mengejan, dan air ketuban yang menyusut dapat membahayakan bayi. Karena air ketuban sudah habis, ibu dan bayi lemas. Bayi menderita asfiksia dan meninggal beberapa saat setelah dilahirkan160.
159 160
2504CLW Bidan_01; 2804CLW Bidan_02 1205CLObservasi Kelas Ibu Hamil
132
Diantara cerita sedih kasus kematian ibu dan bayi, bidan desa menceritakan bahwa saat ini mulai banyak yang bersalin dibantu oleh tenaga kesehatan. Informan sendiri selalu berusaha mengajak dukun bayi agar bekerjasama dalam membantu proses persalinan. Tujuannya adalah keamanan dan keselamatan ibu dan bayi. Dalam program kemitraan bidan dan dukun bayi, peran dukun bayi adalah mendampingi saat persalinan. Dukun bayi juga merujukkan jika ada kasus persalinan yang beresiko. Setiap kali merujukkan, dukun bayi mendapatkan imbalan Rp 50 ribu. Meskipun demikian, tetap banyak yang memilih bersalin ke dukun bayi. Proses pemilihan persalinan oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi diibaratkan sebagai medan perang antara sistem kesehatan modern dan sistem kesehatan tradisional. Keberadaan tenaga kesehatan seringkali dilihat sebagai orang yang kurang pengalaman dibanding dukun bayi. Kuatnya peran dukun bayi dalam kehidupan masyarakat keseharian dan persaingan ekonomi menyebabkan masih banyak masyarakat menggunakan jasa dukun bayi dalam proses persalinan. Menolong persalinan bagi dukun bayi adalah pekerjaan dan pendapatan utama bagi mereka. Sehingga mereka akan memutuskan untuk menolong persalinan daripada merujukkan ke fasilitas kesehatan. Perawatan Pasca Persalinan. Setelah bayi lahir, ibu pasca bersalin tidak boleh berbaring. Mereka akan tetap diposisi duduk dengan diganjal beberapa bantal. Alasan tidak boleh berbaring agar darah meruyan tidak naik ke mata. Informan yang diwawancarai mengatakan bahwa setelah persalinan anak pertama mengalami masa nifas selama 40 hari. Usia pernikahan informan saat itu adalah 16 tahun dan melahirkan di usia 17 tahun. Mulai hari kedua pasca bersalin, informan mengkonsumsi jamu herbal yang terbuat dari cabi dan jahe yang diberi air panas untuk diminum seperti teh. Ramuan ini dimaksudkan untuk memanasi perut
133
sehingga darah meruyan keluar dan bersih. Anjuran untuk menjaga pantangan selama 40 hari dipatuhinya. Selain ramuan untuk membersihkan meruyan, informan juga memakan daun beluntas untuk menghilangkan bau badan dan minum jamu kunyit supaya air susu tidak bau dan bayi tidak sakit perut. Terkait dengan perawatan ibu pasca bersalin dan juga bayi, tidak lepas dari keberadaan pupur dingin. Perempuan pasca bersalin selain memakai pilis, juga memakai pupur beras yang dicampur kencur untuk menghindarkan meruyan naik ke mata. Sedangkan pada bayi, pada bagian perutnya akan dioleskan pupur, garam kasar, kedaung dan kencur supaya tidak sakit perut dan gampang masuk angin. Sekeliling pusar bayi juga diberi pupur dan garam kasar yang membantu mempercepat pupusnya tali pusar161. Biaya Bersalin: Catatan Kritis162. Keluhan yang sering muncul ketika memilih bersalin di dukun bayi daripada tenaga kesehatan adalah masalah biaya. Masyarakat mempersepsikan bahwa bersalin di tenaga kesehatan biayanya pasti mahal berkali lipat dibandingkan di dukun bayi. Biaya bersalin di dukun bayi berkisar antara Rp 200 ribu – 300 ribu. Jika di tenaga kesehatan lebih mahal. Beberapa informan menyebutkan biaya sampai dengan Rp 900 ribu. Bersalin di dukun bayi memang murah, namun informan mengeluarkan biaya lagi setelah persalinan seperti biaya untuk membeli jamu ibu bersalin yang harganya mencapai Rp 200 ribu, kemudian membayar jasa dukun bayi setiap kedatangan untuk perawatan pijat ibu dan bayi. Bidan desa mengatakan bahwa sebetulnya biaya bersalin tidak sebesar itu. Biaya sebesar itu jika proses bersalin cukup sulit. Pada kasus persalinan yang cukup sulit, bidan desa memerlukan pertolongan bidan desa sebelah. Biaya 161 162
1405CLW Hj. Ram_03 Data primer beberapa wawancara dengan informan, 2015
134
bersalin di bidan desa sudah termasuk obat untuk ibu bersalin yang fungsinya menyembuhkan luka pasca persalinan dan memulihkan kondisi ibu. Lebih lanjut, bidan desa mengatakan bahwa sebelumnya terdapat program Jampersal yang dinilai sangat membantu dari sisi pembiayaan ibu bersalin. Namun saat ini tidak ada lagi. Skema BPJS masih belum dipahami masyarakat, karena informasi kurang tersebar. Masyarakat juga terlihat berat untuk membayar iuran rutin. Jika mereka berniat untuk ikut BPJS, mereka memerlukan pihak yang mampu mengkoordinasinya. Bagi masyarakat desa yang akses informasinya dan teknologinya terbatas, memang perlu dipikirkan mekanisme dukungan pembiayaan kesehatan bagi mereka. Dukungan Keluarga bagi Ibu Bersalin dan Perawatan Pasca Persalinan: Sebuah Praktek Baik di Desa Podok163 Diantara kisah minimnya dukungan keluarga bagi perempuan mulai kehamilan, bersalin dan pasca persalinan. Peneliti melihat pasangan suami istri, dimana keterlibatan suami dalam hal ini sangat besar. Peneliti mengetahuinya saat kegiatan Posyandu, dimana suami mengantarkan istri dan anak menggunakan kapal kelotok dan menungguinya hingga kegiatan selesai. Menurut bidan desa, pasangan tersebut berdomisili di dusun Sakajarak yang cukup jauh jika ke Pustu. Suami ibu tersebut beretnis Bugis, sedangkan istrinya orang Banjar. Peran suami mulai terlihat saat kehamilan, yaitu mengantar istri untuk periksa kehamilan dan mengikuti kelas ibu hamil. Suami menunggu disamping istri saat proses persalinan dan terlibat dalam proses perawatan anak. Bagi bidan desa, ini pengalaman pertama melihat suami yang menunjukkan dukungan besar bagi istrinya. Umumnya laki-laki Banjar tidak terlibat dalam hal ini. 163
0505CLW Iyan
135
Tim berkesempatan untuk mewawancarai pasangan suami istri tersebut. Dari perbincangan diketahui bahwa alasan terbesar memberikan dukungan itu, menurut informan tiada yang lebih bernilai dari keselamatan istri dan anak. Bapak tersebut memberikan dukungan pada istrinya mulai anak pertama. Saat itu, istri bersalin di dukun bayi dan mengalami kesulitan hingga diberi air palungsur dan perutnya didorong. Melihat istrinya kesakitan, pada kelahiran anak kedua, mereka memutuskan untuk menggunakan jasa bidan desa. Suami yang ikut menunggui istri bersalin mampu memberikan motivasi pada istri dan pertolongan saat diperlukan. Dengan dukungan yang diberikan suaminya, ibu tersebut lebih bersemangat dan merasa bahagia. Setidaknya kisah ini perlu disebarkan di desa ini untuk meningkatkan peran suami dan keluarga dalam memberikan dukungan dalam proses penting kehidupan ibu dan anak.
Gambar 3.10. Dukungan suami dalam perawatan anak (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2015)
136
BAB 4 PEREMPUAN BANJAR DAN KEPERCAYAAN PADA KELALAH 4.1. Konsep Kelalah di Suku Banjar Peneliti mendengar istilah kelalah saat berbincang tentang kondisi ibu setelah bersalin dengan beberapa warga desa termasuk dukun bayi. Menimbang masih kuatnya kepercayaan kelalah dalam tradisi lisan warga desa ini dan dampaknya bagi status kesehatan ibu, maka kami memutuskan untuk menelusurinya lebih jauh menjadi fokus penelitian ini. Pada awalnya tim mendapatkan informasi bahwa kelalah adalah kondisi sakit pada ibu setelah bersalin karena melanggar pantangan. Seperti dinyatakan oleh salah satu peserta kelas ibu hamil yang pernah mengalami kelalah sebagai berikut164: “Saya pernah kena kelalah karena makan ikan. Kan makan ikan panting (sejenis lele) kata orang Podok sini, nah kata mama saya mungkin karena makan ikan itu tadi, kemudian diambilkannya lah ekor ikan tadi trus dibakarnya, disapukan ke bagian kepala ini. Alhamdulillah tidak lama setelah itu, tidak tau bagaimana ya langsung hilang rasa sakit kepala sama badan tadi, sudah jangan berani lagi kaya gitu”
Menurut Hj. Kayah, salah satu tetua di desa ini, kelalah itu merupakan keadaan tubuh yang menggigil panas dingin karena melanggar pantang makanan. Kelalah juga bisa terjadi karena melakukan pekerjaan rumah tangga ataupun keluar rumah pada cuaca yang panas dan tidak memakai pelindung kepala165. Peneliti juga menanyakan pengertian kelalah pada beberapa bapak-bapak berdasarkan pengalaman mereka166. Seorang bapak mengatakan:
164
1205CL Observasi Kelas Ibu Hamil 1805CLW Hj. Rky 166 1605CLW Bapak-Bapak_pengertian kelalah 165
137
“Kalau orang setelah melahirkan itu, kemudian tidak cocok makanannya, maka bisa terkena kelalah. Kelalah ini tergantung kondisi tubuhnya. Bisa saja terkena kelalah diobati atau dibawa ke dokter, tapi nanti bisa terkena lagi. Kelalah ini lebih bahaya daripada penyakit apapun, karena bisa menyebabkan kematian”
Bapak lain yang hadir saat itu menimpali bahwa istrinya setelah bersalin pernah terkena kelalah karena tidak cocok makanan. Kondisi istrinya saat itu mengalami demam dan sakit perut. Beberapa bapak lainnya mengatakan bahwa kelalah ini tidak hanya karena makanan saja, tapi juga pantangan tidak melakukan hubungan seks dan bersentuhan dengan istri. Sakit terkena kelalah ini menurut Ibu Fid167, dukun bayi yang diwawancarai tim peneliti, merupakan sesuatu yang serius. Ibu Fid mengatakan jika air penawar kelalah tidak bisa menyembuhkan, kelalah bisa menyebabkan kematian pada yang terkena. Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banjar menyebut kelalah dengan kondisi tubuh yang menurun/sakit pada ibu pasca bersalin karena melanggar pantangan. Pantangan ini diberlakukan selama 40 hari setelah bersalin. Dampak melanggar pantangan ini adalah sakit secara fisik yang ditandai dengan gejala panas dingin. Dampak ini jika tidak bisa diatasi bisa menyebabkan kematian pada ibu pasca bersalin. Menurut informan yang diwawancarai, pantangan yang bisa menyebabkan kelalah ada beberapa macam, yaitu kelalah makanan, kelalah gawian/pekerjaan, dan kelalah lakian. Kelalah makanan karena melanggar makanan yang dianjurkan untuk tidak dikonsumsi ibu setelah bersalin. Kelalah gawian karena pekerjaan rumah tangga yang dilakukan, seperti menyapu, memasak, tersengat matahari karena keluar rumah. Sedangkan kelalah lakian diakibatkan karena
167
2205CLW DK FDL_pengertian dan dampak kelalah
138
bersentuhan dan berhubungan seks dengan suami sebelum 40 hari 168 . Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada kelalah pantang makan bagi ibu setelah bersalin. Kelalah akibat melanggar pantang makan bagi perempuan pasca bersalin masih dipercaya dan dipatuhi masyarakat desa ini. Masyarakat percaya dan patuh menjalankan pantangan karena takut dampak yang ditimbulkan olehnya. Analisis tema ini memfokuskan pada studi kasus kelalah makanan, konteks budaya kesehatan lokal yang melingkupi dan dampaknya bagi kesehatan ibu. Secara umum, masyarakat menyatakan bahwa selama 40 hari ibu pasca bersalin dianjurkan hanya makan makanan dari sumber tidak bernyawa. Menu sehari-hari yang diperbolehkan untuk mereka adalah nasi, ikan haruan/gabus asin kering yang dibakar, dan cacapan atau acar bawang merah. Kadang-kadang ikan asin dapat diganti dengan telur rebus. Ada pula informan yang menyatakan bahwa telur dan ikan asin tidak bisa dimakan karena berasal dari yang bernyawa, sehingga selama 40 hari ibu hanya makan nasi, sayur, gula merah, air teh, air kopi. Karena sayur susah didapat, maka yang dimakan adalah nasi dan gula merah saja. Pengolahan makanan hanya boleh dengan cara merebus, mengukus dan memanggang. Menggoreng makanan tidak dianjurkan karena minyak atau lemak menyebabkan selulit dan menghambat penyembuhan luka pasca bersalin. Dengan metode hanya mengukus dan merebus, diyakini akan mempercepat pulihnya luka pada ibu setelah bersalin. Konsep pantang makan di desa ini, mengikuti pemikiran Malinowski bertujuan untuk melindungi ibu dan anak. Pantang makan yang dikenakan pada ibu pasca bersalin selain bertujuan menjaga ibu juga bertujuan memberikan dampak positif pada anak. Diyakini bahwa dengan berpantang makanan yang 168
1005CLW Hj. Ram_informasi awal kelalah; 1405CLW Hj. Ram_AKI dan kelalah; 1605CLW Bapak-bapak_pengertian kelalah; 1605CLW Nini Pupur; 1805CLW Hj. Rky
139
bernyawa dan tidak digoreng, anak yang dilahirkan akan menjadi anak yang cerdas, hatinya selalu tenang, dan di masa depan menjadi anak yang beruntung. 4.2. Studi Kasus Kelalah Ibu Pasca Bersalin Selama pengumpulan data, peneliti setidaknya mendapatkan beberapa kasus kelalah yang pernah dialami oleh informan yang diwawancarai. Untuk analisis kasus, peneliti memaparkan tiga kasus terkena kelalah secara tersendiri pada masing-masing informan. Masing-masing kasus akan menceritakan kelalah makanan, gejala, pengobatan dan analisis kecukupan energi. Kasus 1, Kisah Kelalah Ma Haji Pasca Bersalin di Usia Muda169 Informan menikah setelah lulus SD dan lulus pesantren, kirakira umur 15 tahun. Setelah menikah, tidak seberapa lama informan hamil anak pertama dan melahirkan di usia 16 tahun. Pertolongan persalinan anak pertama dibantu oleh dukun bayi. Menurut informan proses bersalin anak pertama cukup berat. Seingatnya, air ketuban pecah mulai hari Selasa setelah Ashar, namun bayi lahir hari Rabu pagi. Kondisinya saat itu keuyuhan atau sangat lelah. Setelah bersalin ibu tidak boleh berbaring. Ibu tetap dalam posisi duduk dengan diganjal beberapa bantal, meskipun saat tidur. Alasan tidak boleh berbaring agar darah meruyan170 tidak naik ke mata. Saat itu diakui bahwa informan mengalami pendarahan, namun luka robekan melahirkan tidak dijahit. Informan meminum jamu herbal dan membasuh luka melahirkan dengan air sirih. Selama masa 40 hari, informan berpantang makan ikan segar. Dia hanya mengkonsumsi nasi putih dengan besar porsi 1 centong, ikan gabus kering yang dibakar yang ukurannya 2 ruas jari (7 cm x 2 cm), dan cacapan/acar bawang merah. Diakui oleh informan, saat itu 169
1405CLW Hj. Ram_AKI dan kelalah Catatan peneliti: meruyan adalah darah beku yang terbentuk selama masa kehamilan. 170
140
selera makan juga berkurang, sehingga informan hanya makan semampu yang bisa dimakan. ASI baru keluar setelah 3 hari. Selama 3 hari belum keluar, bayi diberi roti gabin kering yang dilembekkan dengan air hangat. Selama masa berpantang, informan mengurus bayi dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sifatnya ringan. Bantuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga didapatkan dari ibu informan, karena informan masih tinggal di rumah orangtuanya sebagai bagian dari adat desa ini. Peranan suami hampir tidak ada, karena ada pantangan untuk tidak bersentuhan dan berhubungan seks selama masa pantang 40 hari. Suami yang menyentuh pundak istri atau kaki, dipercaya akan menyebabkan kelalah lakian yang dampaknya dirasakan oleh istri. Kepercayaan ini secara tidak langsung menyumbang pada rendahnya dukungan dan keterlibatan laki-laki Banjar dalam masa perawatan istri setelah melahirkan. Saat memasuki hari keduapuluh masa pantang, informan merasakan badannya meriyap dingin atau menggigil panas dingin dengan intensitas terus-menerus sepanjang hari. Vonis mengalami kelalah dinyatakan oleh ibu informan ketika melihat kondisi informan. Ibu informan menanyakan hal apa yang telah dia kerjakan dan makanan yang telah dimakan. Informan mengatakan bahwa dia tidak melakukan pekerjaan berat. Dari keterangan informan, ibu informan merasa bahwa anaknya terkena kelalah makanan. Hal yang tidak boleh dimakan, telah termakan olehnya. Berdasarkan informasi yang diceritakan, berbagai jenis makanan yang diduga sebagai penyebab kelalah telah dicari dan direndam dalam air. Air rendaman dibasuhkan serta diminumkan. Beberapa bahan yang telah dicoba diantaranya adalah kulit ketimun dan tulang beberapa jenis ikan. Air penawar kelalah dari penambaan juga telah dicoba. Beberapa upaya tersebut tidak menghasilkan penyembuhan pada kondisi informan. Selama menunggu obat tradisional yang dicari oleh ibunya, informan istirahat dan meminum obat pereda demam. Informan
141
mengaku sudah tidak ingat jenis makanan yang telah dimakan sebagai penyebab kelalah. Untuk kondisi orang yang sudah lupa penyebab kelalah makanan, biasanya digunakan jelaga di dapur. Penggunaan jelaga dapur merupakan resep turun temurun untuk menyembuhkan kelalah bagi orang yang lupa penyebab terkena kelalah makanan. Ibu informan yang saat itu masih menggunakan kayu untuk memasak, mengikis jelaga di dapur, merendam, dan menyaringnya. Air tersebut kemudian diminum dan diusapkan ke tubuh. Setelah meminum air rendaman jelaga, kondisi informan membaik. Terkait dengan pantang makan, informan melakukannya sampai dengan anak nomor dua. Saat bersalin anak terakhir, informan tidak berpantang makan karena proses persalinan di fasilitas kesehatan dan ditolong tenaga kesehatan yang menyarankan untuk tidak pantang makan. Pemilihan melahirkan di fasilitas kesehatan berkaitan dengan kondisi informan yang usianya saat itu 37 tahun, dan tergolong beresiko untuk melahirkan dengan aman. Pengalaman tidak berpantang makan setelah melahirkan anak ketiga, menurut informan berpengaruh pada pemulihan kondisi tubuh pasca melahirkan. Informan merasa lebih cepat sehat dan bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan nyaman saat tidak berpantang makan. Berdasarkan tuturan informan, peneliti menghitung angka kecukupan energi saat informan melakukan pantang makan. Setiap kali makan, menu makanan adalah nasi putih sebanyak 1 entong, 1 potong ikan asin gabus yang dibakar berukuran dua ruas jari, dan cacapan bawang merah yang dikonsumsi 3 kali sehari didapatkan angka 1.077,4 kalori per hari. Padahal angka ideal untuk ibu menyusui kecukupan energi individu perlu ditambah dengan kebutuhan kalori bayi. Kebutuhan energi informan yang saat itu berusia 16 tahun adalah 2.125 kalori ditambah dengan kebutuhan menyusui bayi periode 6 bulan pertama sebesar 330 kalori, sehingga total kecukupan energi yang diperlukan sebanyak 2.455 kalori per hari. Dari hasil penghitungan menu yang dikonsumsi dan AKG ideal perhari terlihat
142
bahwa kecukupan energi informan hanya tercukupi angka kecukupan energi yang ideal.
separuh dari
Kasus 2, Kisah Kelalah Julak Iyah171 Julak (panggilan untuk kakak tertua dalam keluarga) Iyah menikah hampir bersamaan dengan Ma Haji. Mereka berdua memang seumuran dan teman sekolah di SD dan pondok pesantren. Dibandingkan dengan Ma Haji yang setelah menikah mendapatkan anak yang sehat, tidak demikian halnya dengan informan. Informan hamil sebanyak delapan kali, namun hanya anak kedelapan/anak terakhir saja yang lahir sehat dan hidup sampai saat ini. Dari ketujuh kehamilan sebelumnya, lima lahir meninggal dan dua mengalami keguguran. Selama kehamilan anak nomor satu sampai dengan tujuh, informan tidak memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan, namun di dukun bayi. Kebetulan ibu informan adalah salah satu dukun bayi di desa ini. Menurut ibu informan, kondisi kehamilannya sehat dan tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Saat itu memang belum ada tenaga kesehatan yang bertugas di desa ini. Jika perlu ke tenaga kesehatan warga akan ke Banjarmasin, Tabunganen di Barito Kuala, atau ke AluhAluh. Jarak ke Tabunganen lebih dekat daripada ke Aluh-Aluh. Informan mengalami kelalah setelah melahirkan anak nomor enam yang lahir meninggal dunia. Saat itu informan mengalami perdarahan yang cukup banyak, sehingga untuk pekerjaan rumah tangga dibantu oleh ibu dan suaminya. Informan juga mengaku sering pingsan. Meskipun anak yang dilahirkan meninggal, informan tetap berpantang makan yang bernyawa mulai anak pertama sampai anak ketujuh. Menurutnya, perempuan yang melahirkan bayi yang meninggal dunia ataupun keguguran, lebih ekstra diingatkan oleh keluarganya untuk menjaga pantangan selama 40 hari tersebut. Hal ini 171
1405CLW Iyah_informasi kelalah; 1605CLW Iyah_triangulasi kelalah-makna anakkespro-konsep keselamatan
143
disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan yang keguguran atau bayi yang dilahirkan meninggal, dianggap sudah tidak ada pengingat bahwa dia masih dalam masa pantang 40 hari. Hal berbeda terjadi pada perempuan melahirkan bayi hidup, dimana bayi yang dilahirkan adalah pengingat baginya untuk berpantang selama 40 hari. Selama berpantang makan, informan lebih banyak makan nasi, telur itik rebus, dan cacapan, sedangkan ikan asin gabus bakar jarang sekali menjadi menu makan. Informan mengaku terkena kelalah setelah membantu membereskan rumah. Hari itu sangat terik, dan untuk mendapatkan sedikit kesegaran, informan makan kedondong yang dibuat rujak. Tidak berapa lama kemudian, informan merasa tidak enak badan. Ibu informan dan suami mengatakan mungkin informan terkena kelalah, dan menanyakan makanan apa yang telah dimakan. Setelah mengetahui penyebabnya, ibu informan merendam kulit kedondong dalam air. Air rendaman kulit kedondong tersebut diusapkan ke tubuh informan. Setelah mengusap air rendaman tersebut informan istirahat dengan nyaman, karena merasa kondisinya menjadi lebih baik. Pada saat melahirkan anak kedelapan, informan tidak melakukan pantang makan, karena bersalin di rumah sakit Ulin, Banjarmasin. Saat hamil anak kedelapan, di desa tersebut sudah ada bidan yang bertugas. Kebetulan rumah informan berada disamping Pustu, sehingga hubungan dengan bidan cukup dekat. Kondisi kehamilan dipantau, meskipun kondisi kandungan lemah. Dukungan suami cukup membantu, karena pasangan ini memang menginginkan mempunyai keturunan. Saat bersalin anak kedelapan, informan tidak melakukan pantang makan dan mengikuti saran tenaga kesehatan. Dengan tidak berpantang makan, kondisi pemulihan pasca bersalin menjadi lebih cepat. Hal berbeda terjadi dengan pengalaman persalinan anak-anak sebelumnya yang meninggal dunia. Saat berpantang makanan, setiap hari informan mengkonsumsi nasi putih dengan besar porsi 1 entong, telur rebus 1
144
butir, dan cacapan bawang. Kecukupan energi yang disumbang oleh makanan tersebut adalah 1.078,3 kalori. Angka tersebut tentu saja tidak mencukupi kebutuhan energi informan yang idealnya 2.1252.250 kalori per hari. Rentang angka ideal ini merupakan usia informan saat melahirkan anak pertama sampai ketujuh. Kasus 3, Kisah Nini Pupur Menghindari Kelalah dan Dampak Isap Buyu172 Nini Pupur merupakan informan tertua yang kami wawancara terkait kelalah. Informan mengatakan bahwa penyebab kelalah bisa makanan apa saja. Sepanjang tubuh tidak menerimanya akan mengakibatkan kelalah. Informan menikah di usia muda dan melakukan pantang makanan yang bernyawa. Selama 40 hari, informan hanya mengkonsumsi nasi putih, gula habang (gula merah), air teh dan air kopi. Ikan asin dan telur tidak dikonsumsi, karena keduanya berasal dari yang bernyawa. Konsumsi harian tanpa protein ini juga berdampak pada anak yang dilahirkannya. Penghitungan angka kecukupan energi dengan hanya mengkonsumsi nasi putih dengan porsi 1 entong dan gula merah sebanyak 1,5-2 sendok makan setiap kali makan adalah 832,4 kalori. Kebutuhan perempuan dengan beban menyusui dalam sehari minimal membutuhkan 2.500 kalori. Makanan yang dikonsumsi selama berpantang makan hanya menyumbang sepertiga dari nilai ideal angka kecukupan energi per hari. Akibatnya bayi yang dilahirkannya mengalami isap buyu, yaitu kondisi fisik bayi yang semakin mengecil karena kurang gizi. Menurut informan, kondisi saat lahir bayi tersebut tubuhnya cukup sehat. Namun setelah lahir dari hari ke hari semakin kecil. Padahal sudah dilakukan pengobatan secara tradisional untuk menyembuhkannya. Kondisi bayinya yang menderita isap buyu semakin parah. Sementara itu, informan tidak 172
1605CLW Nini Pupur
145
merubah pola konsumsi sampai 40 hari dan tetap memberikan ASI pada bayinya. Bayi tersebut meninggal pada usia hampir dua bulan. 4.3. Penyembuhan Kelalah: Etnomedisin Lokal Orang Banjar Makanan merupakan produk budaya, karenanya dia memerlukan pengesahan budaya. Pantangan dan kepercayaan kesehatan menjadikan bahan-bahan makanan yang sebetulnya baik diklasifikasikan sebagai bukan makanan dalam suatu komunitas. Pantang makanan tersebut biasanya ditetapkan dalam suatu siklus kehidupan tertentu. Pantangan makanan bagi ibu pasca melahirkan di etnis Banjar sangat terkait dengan praktek-praktek sosial budaya yang menjadi kebiasaan dan dipercaya oleh anggota masyarakatnya. Dalam bahasa Bourdieu hal ini dikenal dengan habitus. Habitus merupakan panduan rutin bagi tindakan individu dan komunitas di suatu komunitas tertentu. Bertahannya suatu habitus menurut Archer, karena suatu praktek sosial budaya pasti memiliki mekanisme tersendiri untuk tetap bertahan dan dipatuhi melalui interaksi sosial budaya antar anggota masyarakat. Ketika suatu pantang makanan ditetapkan bagi ibu pasca bersalin, maka ada mekanisme untuk menjaga aturan tersebut untuk dipatuhi, termasuk perlakuan ketika terjadi gangguan selama proses pantang makanan tersebut dijalani. Kelalah merupakan gangguan yang terjadi selama pantang makan, yang disebabkan ibu setelah bersalin melanggar pantangan baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Berdasarkan paparan kasus kelalah pada tiga informan, diketahui bahwa masyarakat desa Podok masih menganut kepercayaan budaya pantang makanan bernyawa bagi ibu setelah bersalin. Meskipun pemahaman pantang makanan bernyawa cukup beragam. Ada yang memaknai makanan tak bernyawa cukup tidak makan ikan segar, namun ada yang memaknai segala bahan makanan yang berasal dari yang bernyawa. Keragaman pemaknaan ini tentunya
146
memiliki konsekuensi berbeda pada status kesehatan ibu dan anak, termasuk gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh praktek pantang makanan ini. Untuk menjaga praktek budaya pantang makan, masyarakat desa ini telah mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kelalah sebagai dampak negatif karena melanggar pantangan makan. Pengetahuan tersebut meliputi teknik, bahan, siapa saja yang peran dalam proses penyembuhan.
Gambar 4.1. Bahan dan teknik penyembuhan kelalah (Sumber: dokumentasi peneliti, 2015)
Bahan yang dominan untuk menyembuhkan kelalah adalah air. Bagi masyarakat Banjar, air merupakan media penyembuhan yang sangat dominan, karena sifatnya yang mendinginkan. Air digunakan dalam berbagai ritual upacara dan pengobatan. Pada kasus kelalah, air digunakan untuk merendam sisa makanan penyebab kelalah, dengan cara diusapkan ke tubuh maupun untuk diminum. Ketika suatu cara pengobatan tidak berhasil maka akan dicari cara lainnya, sesuai
147
pengetahuan lokal masyarakat. Pengetahuan lokal ini kemungkinan bertentangan dengan pemahaman kesehatan modern. Meskipun dalam banyak kasus, ada beberapa bahan herbal yang ternyata memang berkhasiat untuk penyembuhan penyakit. Dalam kasus Ma Haji, yang terkena kelalah pada saat melahirkan anak pertama dan tidak mampu mengidentifikasi makanan yang menyebabkan kelalah, pengetahuan lokal memberikan panduan untuk pengobatan. Berbagai cara dilakukan untuk sembuh. Sampai pada akhirnya, tindakan ibu informan yang merendam jelaga yang mengandung arang dari sisa pembakaran proses memasak di dapur. Jelaga yang mengandung sisa pembakaran saat proses memasak mempunyai makna tersendiri dalam pengetahuan lokal. Dalam pengetahuan lokal, jelaga ini bermakna sebagai sisa pembakaran dari segala bahan yang telah dimasak, sehingga saripati bahan yang menyebabkan kelalah tersebut ada disitu. Dengan merendam jelaga, maka obat untuk kelalah yang diderita informan sudah ditemukan. Bagi kesehatan modern, jelaga yang mengandung arang dilihat sebagai bahan yang mampu menyerap racun dari dalam tubuh. Pada beberapa kasus, seringkali pengobatan tradisional tidak mampu untuk mengobati kelalah. Seperti dalam kasus kelalah yang diderita oleh sepupu Julak Iyah. Julak Iyah menceritakan bahwa sepupunya terkena kelalah makanan setelah melahirkan dan sampai saat ini belum sembuh. Berbagai air penawar kelalah sudah diberikan. Kondisi sepupunya saat ini adalah tubuhnya menjadi kurus, sakit-sakitan, dan tidak bisa melakukan aktivitas. Meskipun belum sembuh dan menemukan air penawar yang tepat untuk penyakitnya, tidak sekalipun terlintas untuk berobat pada tenaga kesehatan modern. Keyakinan bahwa kelalah hanya bisa disembuhkan secara tradisional menyebabkannya tidak mengakses pengobatan modern.
148
4.4. Kepercayaan dan Kekinian: Kelalah dan Perawatan Kesehatan Modern Konteks ekologi sebagai bentuk hubungan manusia dengan alam menentukan kondisi sosial budaya. Pengaruh ekologi pada kondisi sosial budaya masyarakat baik disadari maupun tidak berpengaruh pada kondisi kesehatan masyarakat. Pola perilaku budaya kesehatan masyarakat dibentuk oleh nilai, norma dan keyakinan yang dipraktekkan, semuanya merupakan adaptasi ekologi. Tindakan budaya kesehatan merupakan proses sejarah yang berlangsung dalam konteks yang panjang dalam sistem kepercayaan dan gagasan yang saling terkait. Proses ini berpengaruh pada praktek sehari-hari masyarakat. Sistem sosial budaya terbentuk sebelum adanya tindakan sosial budaya, keduanya berinteraksi dan saling mempengaruhi. Elaborasi budaya dan perubahan terjadi dalam proses interaksi antara sistem sosial budaya dan tindakan budaya. Agen atau aktor budaya kesehatan merespon tindakan dan sistem sosial budaya, yang dampaknya berpengaruh pada manusia dan sistem sosial budaya itu sendiri173. Makanan dilihat dari sisi pemenuhan kebutuhan sehari-hari merupakan sumber kehidupan dan penentu derajat kesehatan. Disisi lain, budaya berperan menentukan jenis makanan yang boleh dimakan atau tidak. Budaya suatu kelompok masyarakat mempunyai ketentuan dalam memandang makanan, proses mengolah, menyajikan dan mengkonsumsinya. Dalam hal ini, peneliti mengungkapkan bagaimana budaya masyarakat Banjar menentukan pola makan dan dampak dari pola makan tersebut. Dengan kata lain, makanan bukan hanya sebagai sumber pemenuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh, tetapi mempunyai peranan dalam tatanan sosial dan keyakinan masyarakat Banjar. 173
Margareth Archer, 1988, Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory, Cambridge University Press, Cambridge.
149
Dari aspek keyakinan, keberadaan mitos makanan di masyarakat diyakini dan dipelihara secara turun temurun. Keyakinan ini akhirnya menjadi pedoman struktur makanan keseharian atau menjadi habitus. Kebiasaan yang menjadi pedoman ini dalam konsep habitus Bourdieu merupakan produk sejarah yang lahir dari kondisi tertentu dan menjadi kerangka berpikir, mempersepsi, representasi dan tindakan seseorang maupun kolektif. Cara kerja habitus ini spontan dan tidak disadari, yang mewujud dalam aktivitas sehari-hari karena proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai. Keseragaman habitus dalam suatu masyarakat merupakan gaya hidup masyarakat tersebut174. Gaya hidup ini meliputi keseluruhan selera, kepercayaan, praktek yang sistematis yang didalamnya termasuk makanan dan budaya makan. Premis umum menyatakan bahwa kepercayaan pada makanan dan perilaku makanan bisa berubah atau tidak berubah ketika terjadi perubahan lingkungan. Dalam kasus pantang makan ini, kepercayaan pada makanan dan perilaku makan pada masyarakat etnis Banjar di Podok dapat dinyakan belum berubah. Perubahan keyakinan dan perilaku biasanya dipengaruhi oleh teknologi, informasi dan pendidikan. Dalam penelitian ini, terpaan teknologi, informasi dan pendidikan terlihat tidak cukup berperan untuk mengubah kepercayaan pada makanan dan perilaku makan pada etnis Banjar di desa Podok. Budaya berperan penting dalam proses bertahan dan berubahnya pola ideal makanan tertentu. Dalam kasus pantang makan, anggota masyarakat yang memperoleh pendidikan lebih tinggi pun juga meyakini pantang makanan bagi ibu pasce bersalin. Hal ini diakui oleh informan yang bekerja di dunia kesehatan dan masih 174
Muhammad Adib, 2011, Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdieu, Biokultur, Vol. I/No.2/Juli-Desember 2011. Hal. 91-110; Pierre Bourdieu, 1993, the Field of Cultural Production, Essays of Art and Leisure, New York, Columbia University Press.
150
mempercayai pantang makan dan kelalah jika melanggarnya. Menurut informan: “…..meskipun belajar tentang kesehatan, saat habis melahirkan terpikir takut terkena kelalah juga. Ibu saya menyiapkan makanan yang tidak melanggar pantangan dan selalu mengingatkan untuk mematuhi pantangan sebagai adat orang bahari.”
Salah satu informan yang juga bekerja di bidang kesehatan dan setelah bersalin pernah mengalami demam menyatakan: ”Meskipun kita ini kada (tidak) percaya-percaya dengan gituan, kalau dipikir-pikir kelalah itu ternyata ada juga”
Dari pernyataan tersebut, pengetahuan makanan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang tercermin dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari. Ketika terjadi kelalah sebagai konsekuensi negatif melanggar praktek budaya pantang makan, masyarakat akan mengembalikan pada sistem kesehatan yang dipercayainya. Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan terhadap kesehatan modern dan kesehatan tradisional. Hal ini didasarkan pada rasa percaya, karena anggota masyarakat berasal dari satu golongan yang sama. Biasanya penyembuh tradisional berasal dari daerah setempat dan mereka memiliki reputasi sosial yang baik. Dukun berfungsi untuk mengobati penyakit maupun yang khusus menangani persalinan. Tenaga medis juga memberikan pelayanan, dan membangun kepercayaan seperti yang dilakukan oleh dukun, sehingga berobat ke tenaga medis bisa dianggap menjadi suatu kebutuhan yang mutlak pada kondisi tertentu. Disisi lain, terdapat keinginan dari anggota masyarakat untuk menjaga tatanan sosial. Kebutuhan untuk menjaga tatanan sosial didukung oleh sistem budaya. Sistem ini membuat orang bisa saling berkomunikasi dan mengkoordinasi tindakannya, seperti kapan waktu untuk melakukan kegiatan perkawinan, kematian dan lainnya. Setiap orang mempunyai cara mempertahankan harapan perannya, yang di 151
dalamnya terdapat ketentuan dan kesepakatan tentang kehidupan keseharian dan ritual hidup, termasuk peran gender. Tindakan berpantang makan untuk perempuan setelah bersalin, tindakan mengakses tenaga kesehatan tradisional maupun kesehatan modern, tindakan tidak mencuci tangan dengan sabun, tindakan mengkonsumsi air sungai dan lain-lain merupakan tindakan nyata yang dilakukan dan diyakini sebagai sesuatu yang wajar. Tindakan ini berorientasi pada nilai-nilai tertentu dan dianggap penting dalam penataan sistem untuk keutuhan atau keseimbangan sistem-sistem tindakan. Sampai sejauh ini, nilai-nilai adat yang diwarisi secara turun temurun menjadi acuan utama dalam mendefinisikan konsep sehat sakit dan perawatan kesehatan. Dari fenomena ini dapat dinyatakan bahwa budaya membentuk pengetahuan dan menentukan praktek kesehatan keseharian masyarakat. Konsep makanan menurut kesehatan modern adalah keseimbangan gizi dan protein. Khususnya bagi ibu pasca bersalin dan ibu menyusui, masalah gizi banyak dijumpai. Pada ibu menyusui dampak negatif yang ditimbulkan karena status gizi yang buruk pada ibu menyusui tidak hanya mengenai diri yang bersangkutan tetapi juga pada perkembangan dan pertumbuhan anak dikemudian hari. Post partum atau yang disebut juga dengan masa nifas merupakan masa kritis dalam kehidupan ibu maupun bayi. Ibu post partum dianjurkan untuk mengkonsumsi sumber protein yang berasal dari hewani karena mutunya lebih tinggi bila dibandingkan protein nabati. Protein hewani sangat baik untuk meningkatkan kualitas ASI yang diproduksi ibu. Sayur-sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral yang secara umum berhubungan erat dengan fungsi enzim terutama vitamin
152
vitamin kelompok B. Enzim merupakan katalisator organik yang menjalankan dan mengatur reaksi biokimiawi di dalam tubuh175. Status gizi mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka pasca bersalin176. Status gizi yang buruk mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang memberi perlindungan terhadap penyakit infeksi. Pantang makanan pada masa nifas dapat menurunkan asupan gizi ibu yang akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu, pemulihan tenaga, penyembuhan luka perineum dan produksi ASI bagi bayi. Berpantang makanan dalam waktu lama dapat berakibat buruk terhadap kesehatan dan angka kesakitan ibu. Kecukupan zat gizi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka. Sehingga ada hubungan yang signifikan antara perilaku pantang makanan dengan lama penyembuhan luka perineum pada ibu nifas. Perilaku pantang makanan menyebabkan luka perineum pada ibu nifas lebih lama sembuh. Kenyataannya di masyarakat Banjar di desa Podok, ibu pasca melahirkan menganut pantang makan karena dipercaya mempercepat penyembuhan luka bersalin dan memberikan efek positif pada bayi yang dilahirkan, yaitu anak menjadi pintar, sholeh dan beruntung dalam perjalanan hidupnya. Gagasan tentang makanan terintegrasi dalam sistem budaya, maka cukup sulit mengubah kebiasaan makan. Preferensi masyarakat tentang makanan bersifat budaya karena kebiasaan dan kepercayaan. Oleh karena itu makanan yang direkomendasikan sehat oleh kesehatan modern belum tentu bisa dikonsumsi oleh masyakarat. 175
Sumber: Chandra Hatel, 2005, Gambaran Perilaku Gizi Ibu Post Partum Masyarakat Dayak Ngajudi kelurahan Sei. Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, Politeknik Kesehatan Banjarmasin Jurusan Gizi 176 Sumber: Setiya Hartiningtiyaswati, 2010, Hubungan Perilaku Pantang Makanan dengan Lama Penyembuhan Luka Perineum pada Ibu Nifas di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar, Program Studi D IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
153
Pola makan dan pantang makan terinternalisasi dan menjadi kebiasaan yang dibawa hingga dewasa. Preferensi makanan ini terjaga oleh nilai-nilai dan norma sosial. Nilai yang dihembuskan antar generasi mempunyai fungsi mengontrol perilaku kesehatan yang diikuti oleh anggota masyarakat suatu kelompok tertentu. Pedoman berperilaku bersumber dari nilai, norma, keyakinan yang umumya berupa aturan lisan. Tradisi lisan dalam masyarakat desa ini masih sangat kuat. Budaya menjaga tradisi ini berpijak pada tradisi oral atau tuturan. Dalam tradisi naratif bahasa mempunyai fungsi referensial, yaitu menghubungkan obyek yang dibicarakan dengan pengetahuan individu dan komunitas. Tuturan mempunyai peran penting dalam pembentukan cara berpikir dan karakter suatu masyarakat. Tuturan atau cerita mungkin bisa berlalu begitu saja, namun cerita juga bisa mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia. Cerita mempengaruhi identitas sebagai manusia dan sebagai bagian dari suatu kelompok komunitas. Dalam penelitian ini penting memahami fungsi bahasa melalui tuturan yang mempengaruhi pandangan dunia dan membentuk identitas orang yang menuturkan dan mendengarkan. Dengan kata lain, cerita memberikan konteks holistik yang memungkinkan individu untuk mencerminkan dan merekonstruksi pengalaman pribadi, sejarah dan budaya mereka. Demikian halnya dengan tuturan lisan tentang pantang makan yang diceritakan turun-temurun, yang mempengaruhi pemikiran, perasaan dan tindakan suatu anggota masyarakat. Dalam analisis tuturan tentang pantang makan, peneliti memahami makna kehidupan dari masyarakat desa ini terkait pengaturan makan dalam siklus kehidupan ibu pasca bersalin. Pantang makan yang diceritakan oleh generasi yang lebih tua, seperti nenek, ibu, dukun bayi, dan tokoh masyarakat merupakan transfer pengetahuan antar generasi. Transfer pengetahuan ini merupakan tacit knowledge yang mengkonstruksi identitas, sumber
154
pemahaman, dan pertimbangan untuk membuat keputusan sebagai orang Banjar. Masyarakat mendapatkan pengetahuan bahwa perempuan suku Banjar di desa ini yang baru bersalin wajib berpantang makan dengan pertimbangan kepercayaan tertentu. Kepatuhan untuk berpantang makan didasari oleh keyakinan dampak melanggarnya. Melalui budaya tutur, nilai dan keyakinan disebarkan dan menjadi pengikat ketaatan mekanis anggota komunitas. Dalam mendukung upaya peningkatan status kesehatan masyarakat, petugas kesehatan perlu memahami fungsi sosial makanan, arti simbolik dan kepercayaan terkait makanan. Sikap memahami, empati dan tidak konfrontatif dari petugas kesehatan dalam memberikan informasi pentingnya kebutuhan gizi untuk ibu bersalin sangat membantu proses perbaikan status kesehatan masyarakat. Pengabaian eksistensi nilai-nilai lokal yang diyakini oleh suatu masyarakat bukanlah strategi yang tepat, karena tidak semua nilai dan praktek kesehatan tradisional itu tidak baik. Masyarakat terikat oleh kepercayaan, aturan dan norma yang disepakati dan ditaati. Konsep-konsep kesehatan modern belum tentu dapat dipahami dan dilakukan oleh masyarakat. Pengobatan tradisional pun dilakukan bukan tanpa pengetahuan lokal mengenai obat-obatan. Oleh karena itu, perlu kerjasama antara pengobat tradisional dengan agen kesehatan modern.
155
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Kabupaten Banjar memiliki potensi daerah yang cukup kuat dari pertambangan, perdagangan dan CSR perusahaan dalam pembiayaan pembangunan daerahnya, termasuk sektor kesehatan. Sayangnya masih ada persoalan kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan, misalnya permasalahan kesehatan ibu dan anak. Kasus kematian ibu masih banyak terjadi. Padahal kesehatan ibu penting dalam menjamin lahirnya generasi yang sehat. Dalam hal fasilitas dan layanan kesehatan, hasil penelitian mencatat bahwa di lokasi penelitian terdapat tenaga kesehatan yang cukup banyak jumlahnya. Selain bidan desa yang bertugas di desa itu, terdapat tiga orang lulusan sekolah kesehatan yang juga memberikan layanan kesehatan secara personal. Keberadaan lulusan sekolah kesehatan tersebut, sebetulnya merupakan modal sosial yang berharga bagi desa ini. Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu mengelola modal sosial ini untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Misalnya dalam hal koordinasi data pasien yang ditangani dan pelaksanaan program kesehatan masyarakat dari pemerintah. Sayangnya, sampai saat ini koordinasi kongkrit di lapangan belum nampak. Selain tenaga kesehatan modern, di desa ini terdapat dua penyembuh tradisional dan tiga orang dukun bayi. Dari tiga dukun bayi yang masih aktif adalah dua orang. Penerimaan masyarakat pada tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan kekuatan ekonomi. Masyarakat cenderung menggunakan jasa dari tenaga kesehatan asli desa tersebut daripada bidan desa. Alasannya adalah kedekatan dan pembayaran bisa dicicil. Perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan ketika sakit cenderung kepada pengobatan alternatif.
156
Akses terhadap tenaga kesehatan dilakukan jika kondisi pasien sudah parah dan obat dari penyembuh tradisional tidak membantu. Praktek PHBS di desa ini terlihat masih kurang bagus. Peneliti melihat bahwa umumnya warga mencuci tangan di sungai, jika di rumah mereka mencuci tangan tanpa sabun. Sumber air bersih adalah air sungai yang diberi tawas atau diendapkan selama dua hari. Air yang diberi tawas dan diendapkan tersebut umumnya langsung diminum tanpa direbus. Jamban untuk BAB adalah jamban di pinggir sungai. Masih sedikit warga yang memiliki jamban dilengkapi septic tank. Meskipun warga memiliki jamban berseptic tank, warga umumnya memilih BAB di sungai. Data mengenai KIA, khususnya permasalahan ibu hamil di desa Podok adalah usia ibu hamil terlalu tua atau terlalu muda, gizi kurang, hipertensi dan keguguran. Banyaknya ibu hamil dibawah usia 20 tahun disebabkan masih banyaknya pernikahan dini di desa ini. Sampai tahun 2014, jumlah kasus kematian ibu rata-rata 2 kasus. Kasus kematian tersebut biasanya disebabkan karena eklamsia, perdarahan dan infeksi. Persalinan ibu melahirkan selain di tenaga kesehatan juga dibantu oleh dukun bayi. Pemilihan penolong kelahiran dipengaruhi oleh faktor kepercayaan, ekonomi dan keputusan keluarga. Dukun bayi yang paling sering menolong persalinan di desa ini, mempunyai alat medis seperti gunting untuk memotong plasenta dan alat untuk menggunting jalan lahir. Padahal dukun bayi ini tidak dibekali keterampilan untuk hal tersebut. Dalam proses kehamilan, bersalin dan perawatan setelah melahirkan, dukungan pasangan dan keluarga masih rendah. Persepsi peran gender dan pantangan tidak boleh bersentuhan dengan istri pasca bersalin secara tidak langsung menyumbang pada rendahnya dukungan suami pada istri pada masa kehamilan, bersalin dan pasca bersalin. Saat persalinan seringkali ibu bersalin hanya dengan dukun bayi yang kadang ditemani tetangga. Meskipun dalam penelitian ini,
157
peneliti menyaksikan seorang suami yang memberikan dukungan besar pada istri pada masa kehamilan, proses persalinan dan perawatan istri dan anak setelah bersalin. Pantangan yang wajib dijalankan perempuan pasca melahirkan masih sangat kuat dan berpengaruh pada status kesehatan ibu. Warga desa ini masih percaya pada pantang makan yang dilakukan ibu pasca bersalin. Ibu pasca bersalin hanya boleh makan dari yang tidak bernyawa selama 40 hari. Jika mereka melanggar maka akan terkena kelalah, yang ditandai dengan sakit panas dingin. Makanan yang boleh dimakan adalah nasi putih, ikan gabus kering yang dibakar, telur rebus, sayuran, dan cacapan. Dalam beberapa kasus yang menganut pantang makanan tidak bernyawa secara ekstrim, ibu pasca bersalin hanya mengkonsumsi nasi putih, gula merah, dan sayuran. Ketersediaan pangan sangat menentukan kecukupan gizi bagi komunitas. Dalam kasus pantang makan ini, ibu pasca bersalin tidak dilarang untuk mengkonsumsi sayur. Sayangnya, persediaan sayur sulit didapat di desa ini, sehingga yang dikonsumsi adalah nasi, ikan gabus kering yang dibakar atau telur rebus, cacapan, dan gula merah. Secara budaya, pantang makan tersebut dipercaya akan mempercepat penyembuhan luka saat melahirkan dan berdampak positif pada anak yang dilahirkan. Padahal perempuan pasca melahirkan membutuhkan banyak nutrisi untuk pemulihan fisik dirinya dan juga untuk anak yang disusuinya. Berpantang makanan dalam waktu lama dapat berakibat buruk terhadap kesehatan ibu. Kecukupan zat gizi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka saat melahirkan. Perilaku pantang makanan menyebabkan luka perineum pada ibu nifas lebih lama sembuh. Selain itu kekurangan asupan gizi membuat kondisi tubuh melemah dan mudah untuk mengalami sakit. 5.2. Rekomendasi Makanan merupakan elemen penting dalam hubungan manusia dengan lingkungannya dan menentukan kecukupan gizi dan
158
kondisi sehat dan sakit. Kondisi kecukupan gizi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, akses terhadap makanan, pengetahuan tentang makanan dan kepercayaan tentang makan – yang kesemuanya membentuk pola makan suatu komunitas. Budaya pantang makanan bernyawa bagi ibu pasca bersalin di etnis Banjar di desa Podok masih dipercaya dan dipatuhi. Bagi yang melanggar akan terkena kelalah. Kepercayaan ini secara medis modern merugikan kesehatan ibu dan bayi yang dilahirkan. Kondisi yang kurang ideal ini tentu perlu dirubah agar status kesehatan ibu dan anak meningkat, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada kehidupan keluarga serta masyarakat desa secara umum. Perubahan ini perlu dimulai dari level komunitas. Peneliti menggunakan pendekatan Asset Based Community Development (ABCD) untuk melakukan perubahan ini. Pendekatan ABCD akan melakukan pemetaan potensi yang ada dalam komunitas dan praktek baik yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan177. Community development atau pengorganisasian komunitas merupakan proses memfasilitasi kelompok komunitas agar mampu mengidentifikasi masalah, tujuan, potensi, mengembangkan strategi secara kolektif untuk kebaikan bersama. Kegiatan ini dilakukan agar komunitas mampu mengembangkan aset dan potensi yang dimilikinya. Keyakinan yang ditanamkan dalam proses ini adalah suatu komunitas pasti memiliki potensi. Sehingga mereka pasti memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, memobilisasi potensi untuk menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat, termasuk masalah kesehatan. Selama proses pengumpulan data, peneliti berhasil memetakan potensi dan tantangan yang dimiliki oleh masyarakat desa Podok, yaitu:
177
Tara O'leary, Asset Based Approaches To Rural Community Development Literature Review And Resources, Carnegie UK Trust
159
A. Potensi budaya: a) Modal sosial masyarakat adalah: - Terdapatnya generasi muda yang lebih terbuka dengan informasi; - Dimikilinya tokoh masyarakat yang dapat diajak bekerjasama untuk melakukan perubahan. - Terdapatnya insititusi sosial dan kegiatan sosial keagamaan yang potensial sebagai wadah bersama untuk perubahan di komunitas. b) Terdapatnya tenaga kesehatan di PKM Aluh-Aluh yang menggunakan simbol budaya dan ritual. Mereka tidak segan bekerjasama dengan dukun bayi, misalnya menggunakan air anti meruyan, menggunakan istilah suntik kelalah untuk memberikan sugesti pada ibu yang akan bersalin. Meskipun sebenarnya suntik kelalah itu adalah vitamin yang menguatkan kondisi ibu pasca melahirkan. c) Di desa ini budaya lisan masih kuat dan bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan praktek-praktek baik perawatan pasca melahirkan. d) Adanya kepentingan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak, dan gizi masyarakat. B. Tantangan: a) Tantangan yang cukup besar yang dihadapi adalah strategi melakukan rekayasa sosial dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya yang meliputi aktor sosial budaya, sugesti, kepercayaan, dan kondisi geografis (ketersediaan makanan, akses kepada makanan, akses ke layanan kesehatan), kondisi ekonomi masyarakat sebagai tantangan melakukan perubahan.
160
b) Tiadanya tenaga kesehatan yang khusus bertugas untuk melakukan promosi kesehatan di masyarakat c) Kurangnya kemampuan petugas kesehatan untuk melakukan pemetaan aset, peluang dan tantangan untuk melakukan perubahan. C. Sesuai dengan pemetaan potensi serta tantangan untuk melakukan perubahan di masyarakat Banjar desa Podok, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah: a) Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan untuk mengenali faktor sosial budaya yang berpotensi dan menjadi tantangan dalam upaya melakukan perubahan budaya kesehatan di masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak. b) Melakukan rekayasa sosial budaya dengan menggunakan potensi institusi sosial, kegiatan sosial kemasyarakat dan simbol-simbol budaya kesehatan untuk peningkatan upaya kesehatan ibu, dengan tujuan: - Membentuk kelompok kesehatan reproduksi perempuan di tingkat desa yang melakukan pertemuan rutin untuk peningkatan kapasitas dan akhirnya bisa melakukan promosi kesehatan ibu di desanya. - Menguatkan kelompok kesehatan reproduksi perempuan desa untuk mengakses penggunaan dana desa dalam hal kesehatan secara umum dan kesehatan ibu dan anak c) Melakukan dokumentasi serta diseminasi praktek-praktek baik dalam hal perawatan ibu pasca melahirkan dengan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. D. Untuk mengimplementasikan rekomendasi yang diberikan, maka tahapan pengorganisasian yang harus dilakukan adalah178: 178
Meredith Minkler, Nina Wallerstein and Nance Wilson, 2008, Improving Health through Community Organization and Community Building in Karen Glanz, Barbara K. Rimer, K. Vismanath (Ed.), Health Behavior and Health Education:
161
a) Pre assessment: pemetaan sosial dengan aktor-aktor kunci terkait potensi, aset, dan tantangan yang dihadapi komunitas untuk membentuk kelompok kesehatan ibu dan masyarakat yang sehat. b) Community Capacity building atau membangun kapasitas komunitas dengan memanfaatkan kemampuan komunitas dan modal sosial yang dimiliki. Strategi yang digunakan dalam membangun kapasitas ini adalah: 1) Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan 2) Melakukan kegiatan membangun kesadaran kritis dan refleksi 3) Membangun identitas sebagai komunitas yang peduli dengan kesehatan 4) Memperoleh dukungan politis lokal, yaitu dinas kesehatan, kecamatan dan pemerintaj desa. 5) Identifikasi praktek-praktek budaya yang mendukung upaya peningkatan kesehatan Hasil dari membangun kapasitas komunitas ini adalah: 1) Meningkatnya kesadaran akan perilaku kesehatan yang beresiko 2) Meningkatnya kemampuan untuk terlibat dalam promosi kesehatan 3) Masyarakat dapat mengidentifikasi isu strategis kesehatan dan menetapkan target untuk perubahan. 4) Aksi sosial komunitas untuk advokasi dalam berbagai kegiatan yang dirumuskan bersama, misalnya mengakses dana desa untuk kesehatan masyarakat. th
Theory, Research, and Practice 4 Edition, Jossey-Bass A Wiley Imprint, hal. 123-147.
162
DAFTAR PUSTAKA Buku Adib, Muhammad, 2011, Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdieu, Biokultur, Vol. I/No.2/Juli-Desember 2011, hal. 91-110. Alfisyah dan Mahendra Utama, (tanpa tahun), Kajian Awal Tentang Agama Islam Orang Pahuluan dan Fungsinya sebagai Basis Pembentukan Harmoni Sosial. Archer, Margareth, 1988, Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory, Cambridge University Press, Cambridge. Archer, Margareth, 2002, The Reflexive Imperative and Social Change, Ecole Polytehcnique Federale de Lausanne, Switzerland. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI, 2014, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Lembaga Penerbit Balitbangkes, Jakarta. BPS Kabupaten Banjar, 2014, Kabupaten Banjar Dalam Angka tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kab. Banjar, 2013, Kecamatan Aluh-Aluh dalam angka 2013. Badan Pusat Statistik Kab. Banjar, 2014, Kecamatan Aluh-Aluh dalam angka 2014. Bloor, Michael, 2001, The Ethnography of Health and Medicine in Paul Atkinson, Amanda Coffey, Sara Delamont, John Lofland and Lyn Lofland (Ed.), Handbook of Ethnography, Sage Publications, hal. 177-187. Data persalinan Nakes Desa Podok 2014. Data PWS bidan Desa Podok Tahun 2014. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Banjar, 2015, Sosialisasi Kebijakan Kependudukan Kecamatan Aluh-Aluh 2015. Emzir, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. 163
Foster&Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Ganie, Tadjudin Noor, 2010, Asal-Usul Orang Banjar. Ganie, Tajudin Noor, 2010, Mengenal Benda-Benda Berdimensi Magis Dalam Religi Orang Banjar di Kalimantan Selatan Goenmiandari, Betty, Johan Silas, Rimadewi Supriharjo, 2010, Konsep Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Kota Banjarmasin berdasarkan Budaya Setempat, Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota, jurusan arsitektur ITS. Hatel, Chandra, 2005, Gambaran Perilaku Gizi Ibu Post Partum Masyarakat Dayak Ngajudi kelurahan Sei. Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, Politeknik Kesehatan Banjarmasin Jurusan Gizi Hartiningtiyaswati, Setiya, 2010, Hubungan Perilaku Pantang Makanan dengan Lama Penyembuhan Luka Perineum pada Ibu Nifas di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar, Program Studi D IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama. Khasanah, Nur, 2011, Jurnal Muwazah Vol 3. No. 2, hal. 487-492 Koentjaraningrat, 1974, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT. Dian Rakyat, hal. 269-272 Laporan K1 dan K4 Desa Podok 2014 Laporan WUS Desa Podok, 2014 Loewe, Roen, 2004, Illness Narrative dalam Carol R. Ember dan Melvin Ember (Ed.), Encyclopedia of Medical Anthropology: Health and Illness in the World’s Culture, Kluwer Academic, New York, hal. 42-47 Malinowski, Bronislaw. 1927. Sex and Repression in Savage Society. London: Rourledge & Kegan Paul Ltd
164
Minkler, Meredith, Nina Wallerstein and Nance Wilson, 2008, Improving Health through Community Organization and Community Building in Karen Glanz, Barbara K. Rimer, K. Vismanath (Ed.), Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice 4th Edition, Jossey-Bass A Wiley Imprint, hal. 123-147. O'leary, Tara, Asset Based Approaches to Rural Community Development Literature Review And Resources, Carnegie UK Trust Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia Pierre Bourdieu, 1993, the Field of Cultural Production, Essays of Art and Leisure, New York, Columbia University Press. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2014, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. Profil Kesehatan Kabupaten Banjar, 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Profil Kesehatan Kabupaten Banjar, 2014, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Proverawati dan Rahmawati, 2012, PHBS, Penerbit: Nuha Medika, Yogyakarta. RPJMD tahun 2011-2015 Provinsi Kalimantan Selatan. RPJMD Kabupaten Banjar Tahun 2011-2015 Troop, C. Jason and Keith M. Murphy, 2002, Bourdieu and Phenomenology, Anthroplogical Theory, Sage Publication – online version at: http://ant.sagepub.com/cqi/content/abstract/2/2/185
165
Koran Banjarmasin Post, 17 April 2015, Kabupaten Banjar Penyebab IPKM Kalsel Rendah
Internet Musik Panting: https://id.wikipedia.org/wiki/Musik_Panting diakses pada tanggal 20 Juni 2015. Kain Sasirangan: http://www.indonesia.travel/id/destination/914/banjarmasin/article/ 278/kain-sasirangan-keindahan-motif-khas-kalimantan-selatan Martapura: http://www.indonesia.travel/id/destination/925/martapura PPID Kabupaten Banjar: http://ppid.banjarkab.go.id/wp-content/uploads/2015/01/rekapapbdp-per-skpd-20140000.jpg http://ppid.banjarkab.go.id/wp-content/uploads/2015/01/rekapapbdp-20140000.jpg http://ppid.banjarkab.go.id/wp-content/uploads/2015/03/rekapapbd-2015.pdf http://ppid.banjarkab.go.id/wp-content/uploads/2015/03/rekapapbd-2015-per-skpd.pdf
166
INDEKS A adab pergaulan 74, 142 agama 19, 20, 36, 44, 54, 55, 57, 58, 74, 78, 79, 141, 142, 145 agen 4, 13, 179 air Baya 81 air mandi sembilan 67 air Meruyan 81 air Palungsur 81 air pasang 24, 25, 32, 40, 46, 49, 55, 68, 71, 127 Air penawar kelalah 163 air Singgugut 81 air sungai 21, 25, 38, 40, 42, 50, 87, 120, 125, 127, 130, 131, 175,181 air Yasin 81 AKB 3 AKI 2, 8, 160, 161 angka kecukupan energi 164, 167 ani-ani 51 APBD 103, 104 Archer 3, 13, 168, 172, 207 ASI 138, 162, 168, 176 Asset Based Community Development 183 Atap daun nipah 47 atap seng 47 atap sirap 47 B bahan makanan panas dingin
77
167
bahasa 4, 19, 20, 28, 42, 62, 81, 83, 91, 92, 93, 98, 100, 119, 122, 145, 168, 177 bahasa Banjar 19, 91, 92, 93 bahasa Berangas Bakumpai 91 Bakul bamban 101 Bakumpai 19, 59, 75 baligh 63 banang lawai 61 Banjarmasin 2, 14, 15, 19, 23, 27, 33, 35, 37, 53, 57, 68, 69, 107, 148, 165, 166, 176, 208, 210 Baraki 19 Barangas 19 basuhan 125 batianan 145, 147 beayun shalawat 95 beban kerja domestik 74 bersalin 2, 3, 6, 7, 8, 10, 12, 59, 62, 82, 107, 115, 116, 117, 133, 135, 139, 141, 145, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 162, 164, 166, 169, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 182, 183, 185 betimung 64, 65 bidan kampung 59, 60, 61, 62, 67, 79 Bourdieu 4, 13, 168, 173, 207, 209, 210 buah talipuk 123 Bubuhan 73, 199 budaya 3, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 18, 20, 37, 38, 80, 93, 102, 125, 145, 160, 168, 169, 172, 174, 175, 177, 178, 180, 182, 184, 185, 186, 187 budaya kesehatan 6, 9, 93, 172, 186 budaya makan 173 Budaya sungai 37 Bugis 18, 23, 27, 75, 155
168
buruh tani
50, 51, 52, 53
C cacapan 9, 88, 90, 91, 160, 162, 164, 166, 167, 182 Community Capacity building 187 Community development 184 D dahan pacar 86 darah meruyan 82, 153, 162, 198 data kesehatan penduduk 117 daun beluntas 120, 153 daun jeriangau 60 daun kaca piring, 76 daun ribu-ribu 60, 61, 77 Dayak 18, 19, 20, 27, 28, 92, 94, 176, 208 desa Podok 7, 8, 9, 10, 13, 19, 20, 22, 24, 25, 26, 27, 32, 39, 44, 45, 48, 50, 58, 69, 70, 71, 91, 99, 100, 108, 109, 114, 116, 130, 132, 133, 134, 138, 146, 150, 169, 174, 177, 181, 183, 184, 185, 188, 211 diare 42, 119, 120, 127 Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar 1, 2, 8, 107, 209 DM 122 dukun bayi 9, 59, 60, 61, 62, 66, 79, 80, 82, 84, 115, 116, 135, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 156, 158, 159, 162, 165, 178, 180, 181, 182, 184, 211 E eklamsia
2, 3, 9, 149, 151, 181
169
ekologi 10, 37, 172 emik 76 etik 76 etnis Banjar 7, 8, 12, 13, 18, 75, 168, 173, 183 etnografi. 10, 12 evidence-based policy making 105 F fasilitas kesehatan 164
2, 3, 12, 106, 107, 110, 115, 118, 150, 153,
G galam 30, 31, 71, 200 garing 76, 92 gizi 3, 5, 91, 103, 107, 109, 110, 146, 168, 173, 175, 176, 179, 181, 182, 183, 185, 201 gizi kurang 5 H habitus hadrah shalawat hanta atau payau hantu kuyang haul health seeking behavior hepatitis hipertensi hybrid
170
4, 13, 168, 173 56 42 59 57, 68, 69 116 87, 119 112, 122, 146, 147, 151, 181 20
I ikan asin imunisasi infeksi informan kunci infrastruktur intrusi air laut IPKM isap buyu
9, 64, 88, 89, 122, 129, 139, 160, 164, 166 107, 110, 136, 137, 140 2, 149, 176, 181 10 23, 30, 31, 33, 49, 72, 102 40 1, 107, 207, 210 168
J jalan 15, 16, 20, 21, 24, 30, 31, 32, 33, 40, 45, 46, 71, 72, 109, 134, 143, 145, 150, 181 jamban 26, 45, 126, 127, 130, 181 jelaga 163, 171 jembatan. 24, 35 jimat 6, 80, 83, 85, 86, 87 jukung/sampan 29, 33 K Kabupaten Banjar 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 23, 44, 69, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 133, 134, 180, 185, 186, 188, 207, 209, 210 kain warna kuning 85, 96 Kalimantan Selatan 1, 2, 8, 14, 16, 17, 18, 64, 81, 94, 96, 97, 99, 107, 108, 188, 208, 209 kambar banyu 152 kampung waluh 28 kapal kelotok 22, 24, 25, 28, 29, 33, 42, 63, 76, 87, 109, 113,
171
122, 155 kapur 84, 85, 119 kayu lanan 47 kayu ulin 30, 32, 46, 47, 48, 49, 205 KB 103, 115, 117, 132, 137, 139, 144 kebiasaan merokok 129 Kecamatan Aluh-Aluh 7, 8, 9, 10, 21, 42, 43, 44, 188, 207, 208 kehamilan 1, 12, 63, 66, 81, 113, 115, 117, 136, 137, 139, 140, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 152, 155, 162, 165, 166, 182, 199, 203 KEK 2, 3, 146 kelalah 8, 158, 159, 160, 161, 163, 165, 166, 167, 169, 170, 171, 174, 182, 183, 185 kelalah gawian/pekerjaan 160 kelalah lakian 160 kelalah makanan 160, 163 kelas ibu hamil 10, 132, 140, 141, 146, 147, 152, 156, 158 kematian ibu 2, 9, 107, 144, 149, 150, 151, 152, 180, 181 kepercayaan 5, 7, 8, 12, 55, 85, 87, 93, 119, 134, 139, 148, 158, 168, 169, 172, 173, 174, 177, 178, 181, 183, 185 kepuasaan layanan 108 Kesehatan Ibu dan Anak 7, 8, 131 KIA 7, 8, 9, 131, 132, 133, 140, 181 kolam penampungan 38 kolostrum 139 kompa banih 51 komponen makanan 5 konsep panas dingin 76 konsep selamat 78 kota seribu sungai 14 kunyit 61, 84, 85, 119, 120, 154
172
L layanan kesehatan 12, 34, 109, 113, 116, 117, 119, 180, 185 lebu kuning/labu kuning 28 luka perineum 176, 183 M makam keramat 55 makanan 5, 7, 49, 55, 56, 57, 64, 69, 77, 87, 89, 90, 91, 101, 122, 125, 129, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 182, 183, 185, 199 mamalas bidan 60, 61 mandi baya 66, 67, 82 mandi tujuh bulan 66, 67, 81 mangatam 51, 53 Martapura 15, 16, 20, 57, 58, 210 masa tanam 40, 51, 52, 53, 54, 119 melahirkan 2, 6, 7, 8, 9, 54, 59, 60, 62, 67, 82, 103, 106, 115, 116, 135, 145, 147, 148, 149, 150, 151, 153, 159, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 171, 174, 177, 181, 182, 185, 186, 198, 202 memalai/menyemai 40 menstruasi. 63 menu makan 87, 90, 138, 166 minyak oles 83 mitos 6, 173, 202 modal budaya 115 modal sosial 6, 72, 180, 187 musik Panting 96, 97
173
N narkoba nelayan nifas nipah
35, 129 9, 50, 89 82, 107, 147, 153, 176, 183, 198, 203 27, 29, 39, 47, 48, 64, 204
O Ojek kapal kelotok orang bahari Bakumpai
33 27, 28, 59
P padi 39, 40, 41, 50, 51, 52, 53, 73, 127 pantang makan 5, 8, 9, 12, 141, 160, 161, 164, 166, 169, 173, 174, 177, 178, 182 pasang ganal 40 Pembakal 26, 31, 35, 36, 41, 49, 50, 51, 63, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 88, 113, 141, 142 pemetaan sosial 186 penambaan 79, 80, 116, 119, 150, 163 pendidikan 15, 24, 36, 42, 44, 72, 73, 74, 75, 144, 150, 173 pengajian burdah 71, 72 pengetahuan 4, 7, 10, 91, 93, 134, 152, 169, 170, 171, 174, 175, 177, 178, 179, 183, 205 Pengolahan makanan 161 penyakit 3, 5, 10, 11, 12, 42, 55, 67, 76, 79, 81, 83, 84, 85, 86, 99, 103, 111, 114, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 125, 159, 170, 175, 176, 204 Penyakit Menular 7, 8, 119 Penyakit Tidak Menular 7, 8, 119
174
penyembuh tradisional 9, 27, 55, 78, 79, 80, 82, 115, 148, 175, 180, 181 perdarahan 2, 9, 149, 150, 165, 181 Perilaku Hidup Sehat dan Bersih 7, 8 perilaku kesehatan 7, 118, 119, 177, 187 Perkawinan antar etnis 75 permukiman 29, 30, 32, 37, 38, 126 pernikahan dini 12, 75, 142, 143, 145, 147, 181 persalinan 2, 9, 12, 59, 61, 63, 80, 82, 115, 116, 132, 134, 135, 141, 147, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 162, 164, 167, 175, 181, 182, 204, 207 persepsi gender 75, 143 petani 9, 40, 50, 101 PHBS 7, 8, 12, 124, 125, 181, 209 Pidara 83, 204 piduduk. 61 PM 7, 8, 119 PMT 136, 137, 138 PNPM 31, 71 Podok 9, 22, 25, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 42, 43, 44, 49, 54, 57, 69, 71, 75, 79, 91, 95, 99, 113, 115, 122, 124, 127, 131, 132, 133, 134, 135, 138, 155, 158, 173, 188, 204, 207, 208, 209 Podok Darat 27, 66, 95, 138 Podok Tengah 27, 30, 32, 35, 36, 75, 79, 138 pola konsumsi 9, 168 Pola makan 87, 177 pola tempat tinggal 45 PONED 106, 109 post partum 5, 176 Posyandu 10, 106, 132, 136, 137, 138, 139, 155 Potensi budaya 184
175
profil kesehatan 2, 12 promosi kesehatan 103, 106, 115, 141, 185, 186, 187 PTM 7, 8, 119, 122 pucuk daun jambu biji 120 Puduk 29, 204 pupur dingin 77, 154 purposif 10 Puskesmas 9, 10, 12, 21, 22, 24, 106, 108, 109, 110, 111, 112, 115, 117, 119, 120, 121, 136, 147, 150, 151, 180, 188 Pustu 10, 49, 113, 114, 115, 116, 117, 131, 136, 138, 140, 155, 166 R rekayasa sosial Riskesdas ritual life cycle RPJMD rukun kematian rumah panggung
185, 186 1, 107 55, 80 16, 102, 209 34, 35 24, 26, 48, 49, 114
S Sakajarak Sakamangkok 27, 43 sakit 3, 4, 7, 10, 11, 76, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 86, 87, 92, 112, 113, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 127, 129, 138, 154, 158, 159, 166, 171, 175, 181, 182, 183, 200, 202 Sasirangan 97, 99, 204, 210 sawah pasang surut 40, 41, 51 sehat 3, 4, 7, 10, 11, 60, 61, 76, 82, 84, 86, 102, 103, 106, 124, 126, 127, 138, 140, 150, 151, 164, 165, 168, 175, 177, 180, 183, 187
176
senoman seserahan singgugut sinoman hadrah sistem budaya Sistem kesehatan sistem sosial budaya snowball sampling spiritualitas status kesehatan masyarakat stroke struktur struktur pemerintahan desa sunat perempuan supranatural
34, 95 61, 65, 204 82 66, 95 3 3 4, 172 10 54 6, 105, 111, 117, 178, 180 79, 122, 123, 130 4, 13, 46, 80, 173 70 62, 63 9, 58
T tacit knowledge 178 tajuk 41 tali haduk 59, 60 tampung tawar 60, 198, 203 Tasmiyah 62, 205 tawas 42, 130, 131, 181 tenaga kesehatan 2, 3, 63, 106, 109, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 135, 139, 140, 141, 148, 149, 150, 152, 153, 154, 164, 165, 167, 171, 175, 180, 181, 184, 185, 187 terbangan burdah 63 thick description 11 tradisi naratif 177 tradisi oral atau tuturan 177 transportasi air 33, 45, 101
177
tunas pisang
60, 61
V ventilasi
48, 49
W wilayah pesisir wisa WUS
178
23, 109 55, 87, 120, 199 2, 3, 132, 133, 209
GLOSARIUM Abah Acil Ading Ahad Amang Ampih Anam Arba ABCD (Asset-Based Community Development) Bamban Banang lawai
Banih Banyu Banyu camah Banyu meruyan
Bakul Bamban Basuhan
Batianan Batianan kerbau Bawi Bare/Kada
: : : : : : : :
Bapak Bibi Adik Minggu Paman Selesai Enam Rabu
: Pengembangan komunitas berdasar aset yang dimiliki. : Tumbuhan yang mirip seperti bambu kecil : Benang lawai – benang ukuran tebal digunakan untuk ritual tampung tawar,memotong tali pusat. : Gabah : Air : Lendir bercampur darah saat Menjelang melahirkan : Air yang dibacakan doa anti meruyan untuk membersihkan darah meruyan saatnifas : Bakul yang terbuat dari batang Bamban yang dikeringkan. : wadah berisi air untuk membasuh tangan sebelum atau sesudah mencicipi makanan. : Hamil, masa kehamilan : Menyebut masa kehamilan yang sudah lewat bulan : Perempuan : Tidak
179
Beayun Beheraan Belasak Belasak danum Bertelimpuh Betimung Bubuhan
: : : : : : :
Mengayun Diare Panas Air panas Duduk bersimpuh Meratus Kelompok/komunitas/ sistem kekerabatan pada masyarakat banjar dan dayak yang bersandar pada garis keturunana, tempat tinggal dan kesejarahan. Syair berisi riwayat Nabi dan sahabat Terkena wisa angin Seperti halnya acar, terbuat dari bawang merah yang dirajang, asam jawa, gula, garam dan air. Air Dua Empat Siapa itu Siapa namanya itu? Jenis kayu yang terbuat dari pohon
Burdah Butuh angin Cacapan
: : :
Danum Duwek Epat Eweh jite Eweh jite ngarannyah Galam
: : : : : :
Gangan Gadang Pisang
: Sayur yang bahan utamanya terdiri dari inti batang pisang : Sakit : Ubi : Nyeri : Merah
galam ( Melaleuca cajuputi )
Garing Gumbili Haban Habang Habanlah ikau/ garingkah ikam Habitus Hanta Hanya Hantu Kuyang
180
: Apa kamu sakit? : Panduan rutin bagi tindakan individu dan komunitas : Rasa air yang payau : Delapan : Orang yang mengkaji Ilmu hitam untuk
Hatui Haul Hadrah
Hirang Ije Ikau Ikau dumah tesen Inya
kecantikan. : Laki-laki : Acara peringatan kematian setiap satu tahun. : Sebuah musik yang bernafaskan Islami yaitu dengan melantukan Sholawat Nabi diiringi dengan alat tabuhan contohnya rebana. : : : : :
Hitam Satu Kamu Kamu dari mana? dia
Isap buyu
: Kondisi fisik bayi yang semakin mengecil karena kurang gizi
Iwak Iyoh / he’eh Jalukap
: : :
Jalitien Japin Jariangau
: Sembilan : Tarian yang diiringi musik panting : Tanaman/ tumbuhan yang mirip seperti pandan namun memiliki bau busuk yang sangan menyengat : Sampan atau perahu yang menggunakan pengayuh untuk menjalankannya : Sebutan untuk kakak tertua : Jum’at : Kakek : Pakis : Sakit : Mitos yang berkembang di masyarakatberkaitan dengan keadaan kesehatan yang menurun pada ibu pasca melahirkan, yang dianggap sebagai akibat melanggar pantangan : Perahu yang menggunakan mesin.
Jukung
Julak Jumahat Kai Kalakai Kapehe Kelalah
Kelotok
Ikan Iya Pegagan
181
Keropok gumbili Keuyuhan Khamis Lanan
: : : :
Laung Lime Mamalas bidan
: : :
Mama Mandi Baya
: :
Memalai Mematangpuluh
: :
Mangatam Menggaduh Menyelawi
: : :
Menyeratus
:
Minyak Baboreh
:
Maruyan
:
Nini Panting
: :
Parang Pasang Ganal Pamintaan Pehumaan Pelungsur
: : : : :
182
Kerupuk ubi kayu Kelelahan Kamis Jenis kayu yang sering digunakan untuk lantai dan dinding rumah Ikat kepala Lima Prosesi adat penyerahan bayi yang baru lahir dari bidan ke ibu bayi Ibu Prosesi mandi 7 bulan kehamilan untuk anak urutan ganjil menyemai benih Acara peringatan kematian dihari ke empat puluh Memanen Memelihara Acara peringatan kematian dihari ke duapuluh lima Acara peringatan kematian dihari ke seratus Minyak yang dipakai untuk prosesi tampung tawar, beraroma wangi seperti minyak wangi. Darah beku yang terbentuk selama masa kehamilan dan akan keluar selama masa nifas Nenek Alat musik khas kalimantan selatan yang cara memainkannya dipetik Senjata tajam seperti halnya mandau. Kondisi air yang pasang yang besar Penyakit Sawah Media yang digunakan untuk
Penambaan
:
Pidara
:
Piduduk Podok Pudak Puduk Pupur
: : : : :
Rumbia Saka Sanayan Sangit Sasirangan Senoman Singgugut
: : : : : : :
Sinoman hadrah
:
Sirap
:
Sirang
:
Sedingin danum Sepemberinya Tacit knowledge
: : :
Tajuk
:
memperlancar proses persalinan biasanya berupa air. Orang yang bisa menyembuhkan/ tabib Cara pengobatan bagi yang diduga ditegur makhluk kasat mata/ makhluk halus Seserahan Tumpukan Pandan Orang yang sedang duduk Bedak terbuat dari beras dan air daun yang sifatnya mendinginkan Nipah Sungai Senin Marah Kain khas suku Banjar Perkumpulan beberapa warga Binatang gaib yang masuk ke rahim wanita, berbentuk kutu saat masuk dan saat dirahim berubah bentuk seperti cicak, menghalangi wanita untukmemperoleh keturunan. Tarian pembuka resepsi pernikahan yang ditarikan pemuda Bahan atap yang dibuat dari kayu ulin yang dipipihkan Diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya/dijahit jelujur Air dingin Semampunya orang memberi Pengetahuan yang didapat karena internalisasi dan menjadi acuan bertindak. Alat pertanian yang digunakan untuk
183
Tampung Tampung tawar Tasmiyah Terbangan Tesek Tinggi dara Udat Uju Waluh Warik Wisa
: : : : : : : : : : :
Yako
:
184
melubangi tanah Tepung Prosesi adat untuk keselamatan Ritual pemberian nama pada anak Musik rebana Tiga Hipertensi Kemben Tujuh Labu kuning Kera/monyet Racun yang tidak kasat mata, bisa disebabkan oleh adanya makhuk halus mau pun dari manusia yang memiliki ilmu hitam. Aku
Ucapan Terimakasih Buku ini merupakan luaran dari penelitian etnografi kesehatan yang dilakukan oleh tim peneliti di desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI; 2. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat; 3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan dan staf; 4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar dan staf; 5. Kepala Puskesmas Kecamatan Aluh-Aluh dan staf; 6. Camat Aluh-Aluh dan staf; 7. Kepala Desa Podok dan staf; 8. Bidan Desa Podok dan Keluarga Hj. Ramlah; 9. Seluruh anggota tim, informan, dan warga desa Podok. Kepada semua pihak yang berkaitan dengan dengan proses pengumpulan data sampai dengan penulisan buku ini, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya atas perhatian bapak/ibu/saudara sekalian. Surabaya, 14 Juli 2015 Tim Peneliti Etnografi Kesehatan Kabupaten Banjar
185
Lampiran 1. Catatan Kelahiran Dukun Bayi Keterangan: lampiran berikut merupakan catatan nama orang yang persalinannya ditolong oleh salah satu dukun bayi di desa Podok.
186
187
188
Lampiran 2. Tabel Pengukuran AKG
189
190
Lampiran 3. Tabel Hasil Pengukuran AKG Pantang Makan
191
192
193