PERKEMBANGAN ARSITEKTUR BALI January 4th, 2010 • Related • Filed Under PERKEMBANGAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KEBUDAYAAN BALI OLEH : SARAH FHADL BALQIS 20308043 1. SISTEM KEKERABATAN Keunikan Bali yang lain bisa dilihat lewat bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Manusia Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa a tau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri. Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali. Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turuntemurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan manusia Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur Identifikasi Orang Bali Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran a kan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut. Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali – Bali – Aga Aga dan masyarakat Bali Majapahit. Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa – Jawa – Hindhu Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah -daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali. Pulau Bali yang luasnya 5808,8 Km2 dibelah dua oleh suatu pegunungan yang membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak sempit. di sebelah utara., dan dataran yang lebih besar disebelah selatan. Pegunungan tersebut yang sebagian besar masih tertutup oleh h utan rimba, mempunyai arti yang penting da lam pandangan hidup dan kepercayaan penduduk. di wilayah pegunungan itulah terletak Kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukaru, dan yang terutama sekali Pura Besakih yang ter letak di kaki Gunung Agung.
Sedangkan arah membujur dari gunung tersebut telah menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang Bali utara dan Orang Bali selatan. Dalam Bahasa Bali, kaja berarti ke gunung, dan kelod berarti ke laut. Untuk orang Bali Utara kaja berarti selatan, sedangkan untuk orang Bali selatan kaja berarti utara. Sebaliknya kelod untuk orang Bali utara berarti utara, dan untuk orang bali selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, t api juga dalam aspek kesenian dan juga sedikit aspek bahasa. Konsep kaja kelod itu nampak juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan bangunan-bangunan rumah kuil dan sebagainya. Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahsa Bali tak jauh berbeda dari bahsa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit, ialah ialah jaman waktu waktu pengaruh Jawa besar sekali sekali kepada kebudayaan kebudayaan Bali. Bahasa Bahasa Bali mengenal mengenal juga apa yang disebut “perbendaharaan “perbendaharaan kata-kata kata-kata hormat”, walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuik puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. 3 2. KEPERCAYAAN KEPERCAYAAN Ngojot merupakan suatu tradisi dalam masyarakat Bali, tradisi yang berkembang secara turun temurun yang masih bisa dijumpai sampai saat ini. Tradisi yang mengajarkan saling berbagi antar sesama dan meningkatkan rasa kebersamaan dalam masyarakat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, sebuah konsep dalam hindu yang mengjarkan keseimbangan untuk mencapai suatu kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan manusia. Karena masyarakat bali memakai berbagai prinsip sebagai berikut : – Parhyangan – Parhyangan Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sang pencipta – Pawongan – Pawongan Keharmonisan Hubungan antara manusia dengan sesama manusia – Palemahan – Palemahan Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Ngejot mungkin dalam bahasa indonesia bisa diartikan memberikan sesuatu kepada saudara, tetangga atau orang lain, sesuatu dalam hal ini berupa makanan yang biasanya diberikan oleh suatu keluarga yang sedang mempunyai acara(hajatan). Ngejot merupakan perwujudan dari pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara sesama manusia dimana setiap orang diingatkan untuk saling berbagi, saling menghargai, saling menghormati dan ingat antar sesama yang merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. 3. POLA KAMPUNG TRADISIONAL Beberapa sumber yang menjelaskan tentang pola desa di Bali (desa adat), memberikan uraian yang bervariasi. Namun secara keseluruhan dapat diambil semacan persamaan daripadanya, yang menyatakan bahwa pada umumnya pola desa adat di Bali, ada yang berpola umum, dan ada yang berpola khusus. Sedangkan yang samasama menjadi ciri keberadaan sebuah desa a dat adalah adanya pura kahyangan tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem) atau kahyangan desa.
Pola perkembangan desa di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang menempatkan zona sakral di bagian kangin (Timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama pada arah gunung. Ke arah laut dinilai lebih rendah. Faktor ekonomi yang berpengaruh pada pola perkampungan adalah desa nelayan menghadap ke laut, desa petani menghadap ke arah sawah atau perkebunan (Gelebet, 1985:12). Selanjutnya disebutkan juga bahawa di Bali, pola -pola perkempungan (desa) umumnya berpola pempatan agung, dan beberapa desa ada yang berpola khusus (Desa Tenganan, Desa Julah, Desa Bugbug, dan lain sebagainya). Dari sumber lain diperoleh penjelasan bahwa pola-pola lingkungan di Bali secara umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu pola lingkungan pusat kota dan pola lingkungan desa (Putra, 1992). Pola lingkungan pusat kota, dengan titik sentralnya di Puri (sebagai pusat pemerintahan) dapat dengan jelas menerapkan pola pempatan agung (catus patha). Sedangkan pola lingkungan desa menerapkan pola-pola khusus (Julah, Pengotan, Timrah, Bugbug, Tenganan, dan lain sebagainya). Tidak dirinci tentang kekhususan yang terdapat pada desa-desa tersebut. Alit (1997) mengungkapkan bahwa secara fisik, pola desa terdiri dar i parahyangan, pawongan, dan palemahan. Parahyangan sebagai areal yang diperuntukkan bangunan suci (pura) seperti pur a kahyangan tiga (Puseh, Desa, Dalem), pawongan adalah adanya warga desa dengan huniannya, dan palemahan berupa areal desa sebagai tempat bertani, berkebun dengan batas-batas geografis tertentu. Letak pura puseh di bagian hulu desa, pura desa di tengah-tengah, pura dalem dan kuburan terdapat di bagian teben desa. Kadang-kadang pura puseh dan pura desa ditempatkan pada satu lokasi secara bersama. pusat kota, pola yang umum adalah pempatan agung. Pola ini terbentuk oleh persilangan dua buah. Sementara itu pola desa (baca: lingkungan, kota) ada beberapa variasi. Untuk lan utama yang berpotongan tegak lurus. Perpotongan sedemikian menyebabkan adanya empat sudut/empat zona, yaitu kaja-kangin (Timur Laut), kelodkangin (Tenggara), kelod kauh (Barat Daya), dan kaja kauh (Barat Laut). Sebagai contoh kondisi serupa ini dapat dilihat di Puri Gianyar, Puri Ubud, Puri Denpasar (Bangli), Puri Payangan (Gianyar) dan lain sebagainya. Di salah satu sudut tadi, pada umumnya di sudut lapangan, terdapat pohon beringin (Budihardjo, 1995:55). Selain pola pempatan agung, ada pula pola aling-aling yang terlihat seperti bentuk swastika (Budihardjo, 1995:56). Pola ini masih merupakan pertemuan empat buah jalan, yang menciptakan titik pusat. Di pusat itu terletak pura desa dan pura puseh. Di sekelilingnya terletak permukiman penduduk. Pada daerah-daerah, di luar pusat lingkungan/kota, pola yang umum terlihat adalah pola l inear. Untuk pola garis lurus ini, suatu desa terbagi atas tiga zona, yaitu parahyangan di luan, rumah-rumah ditengah; dan kuburan di teben. Untuk daerah yang membujur kaja-kelod, maka kaja sebagai luan dan kelod sebagai teben. Untuk desa yang membujur arah kangin-kauh; maka luan adalah kangin; dan kauh adalah teben. 4. LETAK & ORIENTASI Berbagai sumber menjelaskan tentang letak & orientasi dari adat bali. Dan mereka mempunyai filosofi tersendiri dari letak & orientasinya. * Manusia , Arsitektur dan Alam Semesta Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidahkaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin Kaja – Kelod, Kauh – Kangin. Dan kaidah sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka. Sedikit filosofi tentang kepercayaan mereka. 1. Makrokosmos dan Mikrokosmos Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan
meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untukselamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Balimembuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianutdalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dankeselarasan kehidupan. Kosmologi Bali merupakan suatu hirarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut : – Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. – Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengangodaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme. – Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. 2. Nawa Sanga Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman ba gi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara – selatan yang di sebut Kaja – Kelod, dan timur –barat yang disebut kangin – kaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pa da umumnya. Berikut lambang dari peletakannya: * Utara melambangkan dewa W isnu, * selatan melambangkan dewa Brahma, * timur melambangkan dewa Iswara * barat melambangkan dewa Mahadewa. 1 D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http www.dee-bali.com deewp wp-content uploads 2006 11 balineseTemple.jpg_files\dewata (4).jpg D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http www.deebali.com deewp wp-content uploads 2006 11 balineseTemple.jpg_files\s102.gif Disimpulkan ciri-ciri desa adat sebagai berikut (Pitana, 1994:145) : 1. Mempunyai batas – batas tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit atau pantai. 2. Mempunyai anggota (krama yang jelas), dengan persyaratan tertentu 3. Mempunyai kahyangan tiga atau kahyangan desa, atau pura lain yang mempunyai fungsi dan pernanan sama dengan kahyangan tiga. 4. Mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam. 5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri. Dari uraian diatas, terlihat bahwa ciri -ciri yang bersifat fisik (arsitektur) suatu desa adat adalah adanya batas-batas yang jelas dan adanya kahyangan tiga atau kahyangan desa.
5. PENGARUH NO.1 & 2 PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL Arsitektur Tradisional Bali merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat -istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat. Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek u ntuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya. Untuk daerah dataran rendah, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, d apur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal). Bahan bangungan juga mencerminkan status sosial pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja d an brahmana menggunakan tumpukan bata-bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk bagi yang ekonominya mampu sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alangalang atau genteng. D:\SARAH\bali\Hasil Penelusuran Gambar Google untuk http aryaoka.files.wordpress.com 2008 10 bali -housetampak-atas.jpg_files\bale-gede-tampak-depan.jpg Dalam proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan nyikut karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang yaitu ritual persembahan kurban dan mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan pada ibu pertiwi agar kelak b angunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya dilakukan upacaraprayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua ritual sudah dilaksanakan barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri dan sebelum digunakan dilakukan upacara syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini bertujuan membersihkan bangunan dari energi -energi negatif dan menghidupkan aura bangunan tersebut. Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang akan dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali mengalami perkembangan dan pergeseran fungsi yang berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi, bahan dan cerminan sosial pemiliknya. Seperti wantilan yang dulunya untuk balai pertemuan dan kegiatan adat mengalami perkembangan fungsi yaitu sebagai pendidikan Taman Kanak-
kanak, tempat usaha, arena olah raga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata juga berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri dan rumah masyarakat biasa. Karena masyarakat biasa yang ekonominya sudah mapan tidak ada larangan membangun tempat tinggal layaknya sebuah puri. Begitu juga puri yang dulunya merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya yang mana penjagaannya sangat ketat dan penuh aturan sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan, justru keluarga puri yang keluar mencari tempat tinggal yang baru. Pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada Arsitektur Tradisional Bali. Walau arsitektur tradisional yang selalu didasari atas tradisi juga mengalami perkembangan dan selalu mengikuti perkembangan zaman.2 6. KONSEP RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah: · Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga · Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala · Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu · Konsep proporsi dan skala manusia · Konsep court, Open air · Konsep kejujuran bahan bangunan Beberapa artinya sebagai berikut : 1. Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asalusul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone: * Nista (bawah, kotor, kaki), * Madya (tengah, netral, badan) dan * Utama (atas, murni, kepala) 2. . Nawa Sanga Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara – selatan yang di sebut Kaja – Kelod, dan timur –barat yang disebut kangin – kaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
* Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir) * Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) * Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut) Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali Contoh pola ruang suatu desa di bali : Desa Adat Legian, Kuta, Badung, yang berkembang deng an cepat, pada awalnya memiliki pola yang jelas, sesuai dengan pola desa tradisional Bali. Desa ini berpola linear, dengan poros berupa jalan raya yang membujur UtaraSelatan di tengah-tengah desa. Memiliki kahyangan tiga/kahyangan desa yang lokasinya masing-masing tersendiri. Unit-unit rumah tinggal terletak di sepanjang pinggir dan dibelakangnya terletak tegalan (teba). Batas-batas desa sangat jelas, yaitu tegalan, sungai dan laut. * PEMBANGUNAN HUNIAN PADA BALI Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian. Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruhpengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka. Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten u ntuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas. Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk
ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenammembentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi. Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari „ruang luar‟ menjadi „ruang dalam‟ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan d inding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu „ruang dalam‟ yang ‟satu‟, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya. Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang pene rima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), d ilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privacian terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni be raktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip. Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order. Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi „ruang-luar‟ dengan ketidakhadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana. Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi „frame‟ untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa -masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan la in-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positip baru ini.
Konsistensi dan Konsekuensi Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain -lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah „Ruang luar -Ruang dalam‟, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat „manusia‟) dari hunian Bali. Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang „membuka‟ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat. Kajian terhadap hunian Bali ini, apa bila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah r uang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dindingdinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang „membuka‟ kearah yang me -enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang -dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-da lam dan ruang-luar (jalan d esa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1 970) dinyatakan: Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ru ang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang -luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap. DAFTAR PUSTAKA
1 www.deebali.com/.http://itsmydream.multiply.com/2006/11/balineseTemple.jpg 2 aryaoka.files.wordpress.com/2008/10/bali-hous.. 3 stika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan Banjar pada Masyarakat Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 4 Bappeda Tingkat I Bali dan Universitas Udayana. 1982. Pengembangan Arsitektur Tradisional Bali untuk Keserasian Alam Lingkungan, Sikap Hidup, Tradisi dan Teknologi. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
[AGAMA HINDU] Konsep Bangunan Rumah Berdasarkan Asta Kosala Kosali AGAMA HINDU BANGUNAN RUMAH BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
1.1 Latar Belakang Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia turut mempengaruhi ciri khas keunikan budaya termasuk dari segi bangunan. Pulau bali merupakan salah satu bagian Negara Indonesia yang tidak luput dari budaya termasuk segi bagunannya. Bangunan tradisional Bali dibangun menurut Asta Kosala Kosali yang merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang memiliki rumah. Umumnya pemilik rumah tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti : a.
Musti(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke
atas), b.
Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung jari tengah yang terbuka), c.
Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan).
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga , perkembangan arsitektur bangunan bali, tak lepas dari peran bebrapa tokoh sejarah Bali Aga. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh Mahabrata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisahnya hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun temurun oleh umat Hindu dianggap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap pembangunan di Bali selalu disertai dengan dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wismakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bangunan sampai selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wismakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa Bhuana Agung (alam makrosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari Buana Alit (mikromos). Antara manusia (mikrosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis antara kedua alam tersebut. Oleh karenan itu membuat bangunan harus sesuai dengan tata cara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala Kosali. Sebaga contoh di Bali dapat kita temukan tempat yang masih melestarikan tatanan bangunan Bali Aga yaitu di daerah Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli.
2.1 Konsep Tatanan Bali
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Bali Babakan sejarah tradisional Bali yang disajikan dalam berbagai naskah ternyata bervariasi . namun dalam kaitannya dengan perkembangan arsitektur maka babakan perkembangannya akan diambil menurut babakan sbb: • Masa Prasejarah • Masa bali Age • Masa Bali Kuna • Masa kekuasaan Majapahit • Masa Penjajahan Belanda • Masa Kemerdekaan
2.1.1.1Masa Prasejarah
Masa ini diperkirakan langsung sampai abad ke 1 Masehi masyarakat masih hidup secara nomaden. Kemudian mulai menetap di bawah pohon ,goa,dan akhirnya pada bangunan yang sangat sederhana dari ranting pohon yang terolah secara teknis. Tentu saja bangunan semacam ini tidak bisa bertahan lama, sehingga tidak ada peninggalan yang bisa dipelajari.
2.1.1.2 Masa Bali Age
Masa ini dimulai dari saat keberhasilan Rsi Markendya dengan pengikut para transmigran dari Jawa yang berasal dari orang-orang bangunan(Orang Age)membuka hutan di Bali. Karena keberhasilan ini maka mulai dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun tempat-tempat peribadatan Hindu dengan sebuta n Hyang untuk istilah pura sekarang. Atas keberhasilan ini pula maka dimulai pembangunan Besakih tahap awal yang berasal dari kata “basuki”yang artinya selamat.para ahli dari berbagai aspek kehidupan juga didatangkan d ari jawa yang
menyangkut bidang-bidang pertanian,peternakan,irigasi,dan permukiman. Hubungan dengan Cina dan 5 Jawa menjadi erat. Berita tentang kemakmuran bali pada saat itu dicatat oleh pedagang cina dan juga pedagang yunani. Hasil arsitek permukiman pada masa ini masih terlihat pada desa –desa Bali Age di daerah pegunungan seperti Trunyan , Sukawana, Taro Cempaga , Sidatapa dll. Masa ini diakhiri dengan mulai berdirinya kerajaan Bali Kuno dengan nama Singan Mandara dengan raja pertama Kesar i Warmaddewa dengan raja pertamanya Kesari Warmadewa pada abad ke IX.
2.1.1.3 Masa Bali Kuna
Puncak keemasanb dari masa ini adalah pada waktu pemerintahan raja Udayana Warmadewa yang memerintah bersama-sama permaisuri Dharmapatni. Pada masa ini ada keajaiban penting yang berkaitan dengan perkembangan arsitektur yaitu datangnya Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (putra udayana adik erlangga ). Mpu Kuturan mengadakan pembaharuan di bidang keagamaan sarana peribadatan dan permukiman. Beliau mulai menghidupkan kembali paham trimurti yang dipuja melalui pura Tri-Khayangan yang merupakan pengikat dalam satu desa adat. Dalam rumah tangga juga dikembangkan tempat pemujaan keluarga Rong Tiga atau sanggah kemulan dan Hyang Guru.Masa Bali Kuna ini berakhir dengan ditaklukannya Bali oleh Majapahit pada abad XIV.
2.1.1.4 Masa Majapahit
Masa pemerintahan Majapahit di Bali dimulai dengan pengangkatan Sri Kresna kepakisan sebagai Adapati Bali dan di sampangan,Gianyar,Jaman Keemasan dicapai oleh penerus beliau yaitu raja Dalem Waturenggong.pada masa ini dating dari Jawa seorang tokoh agama Hindu yang beraliran Siwa .Beliau banyak mengadakan pembangunan keagamaan dan juga pembangunan masyarakat. Tempat pemujaan khusus untuk Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya diwujudkan dengan bangunan Padmasana. Pada waktu ini juga banyak dibangun pura-pura pantai dan juga kemudian dibangun pura-pura untuk menghormati beliau. Pada masa ini diintrodusir Asta Dasa Kosali sebagai dasar aturan pembangunan,masyarakat mulai digolongkan secara fungsional berdasarkan profesi dalam Cat ur Warna, dan mulai dibangunBale Banjar sebagai sarana pengikat persatuan untuk kelompok masyarakat kecil. Akhirnya masa ini berakhir setelah Belanda di Bali banyak pusakasuci lontar diangkut keNegeri Belanda termasuk juga pustaka-pustaka. Beberapa puri yang juga sebagai symbol kekuasaan kerajaan Bali dihancurkan. Dalam bidang arsitektur diupayakan juga terjadi semacam perkawinan (Alkulturasi),yang menghasilkan bangunan-bangunan denmgan postur belanda dengan tatahias Bali. Hasil pembangunan pada masa ini beruopa kantor pemerintahan Belanda seperti kantor Residen,Kantor kontro lir,museum Bali. Bali hotel dan beberapa sekolah dan rumah pejabat Belanda. Masa ini berakhir dengan proklamasi kemerdekaan th 1945 dan lebih mantap lagi setelah penyerahan kedaulatan th.1949 maka mulailah babakan baru pada Masa Kemerdekaan. 6
2.1.1.5.Masa Kemerdekaan
Merdeka masyarakat Bali juga diartikan merdeka dalam dalam membentuk corak bangunan. Pada awal masa ini banyak dibangun fasilitas kantor untuk pemerintahan dan juga rumah-rumah jabatan yang penampilannya ham. Hal ini dapat dimaklumi karena ketersediaan para perancang teramat sangat terbatas. Masyarakat umumnya suyka meniru hal-hal yang dianggap baik seperti apa yang dibangun oleh pemerintah dan seperti apa yang dimiliki oleh para pejabat. Sehingga badai perombakan bangunanbanguna tradisional Belanda,Bali dan digantikan dengan bangunan jenis”Kantoran”.lama kelamaan timbul pula keperihatinan karena produk tradisional yang merupakan budaya daerah ini populasinya kian menyusut. Sampai akhirnya timbul kesadaran utuk menyelamatkan serta mengembangkan warisan budaya sebagaimana diaqmatkan dalam pasal 32 UUD 1945 .maka untuk itu mulailah dirintis suatu peraturan daerah yang mengandung misi mempertahankan dan mengembangkan inti dan gaya Arsitektur Tradisional Bali. Lahirlah pera No.2,3 dan 4 Th.1974 tentang Tata Ruang untuk Pembangunan,Lingkungan khusus dan bangunan-banguanan.
2.1.2 Gambaran Umum dan Konsep 2.1.2.1 Gambaran Umum
Arsitektur Tradisional Bali bersumber dari ajaran – ajaran serta tuntunan tentang merencanakan dan menciptakan ruang. Ajaran serta tuntutan tersebut mengandung nilai yang sangat mendasar, nilai filosofis, nilai religius serta nilai manusiawi yang termuat dalam lontar – lontar. Konseptual perancangan arsitektur tradisional Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang dibentuk oleh tiga sumbu berikut : a. Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir dan atmosfir) b. Sumbu Ritual : Kangin dan Kauh (terbit dan terbenamnya matahari) c. Sumbu Natural : Utara dan Selatan (gunung dan laut) Arsitektur Bali tidak hanya berkaitan dengan pembangunan tempat suci spiritual seperti pura dan candi seperti pandangan orang awam, tetapi juga sangat mempengaruhi tata ruang, teknik, nilai estetis, ukuran hingga ritual yang digunakan dalam pembangunan. Arsitektur bali juga tidak hanya berfokus pada arsitektur Tradisional, tetapi juga pada pengembangan arsitektur modern sesuai perkembangan zaman namun masih mempertahankan konsep Arsitektur Bali.
2.1.2.2 Konsep Dasar Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah: * Konsep Tri Hita Karana * Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga * Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala * Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu * Konsep proporsi dan skala manusia * Konsep kejujuran bahan bangunan * Asta Kosala Kosali * Asta Mandala
Ø Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi : 1. Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, 2. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan 3. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan. Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang arsitektur yang harmo nis di antara ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah penataan ruang yang seimbang. Ø Hirarki Ruang / Tri Angga/Tri Loka
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali. 9 1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi 2. Madya, bagian yang terletak di tengah 3. Nista, bagian yang terletak di bawah, kotor, dan rendah Ø Asta Kosala Kosali
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang se suai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih
menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti: ·
Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke
atas), ·
Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung ·
jari tengah yang terbuka)
·
Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Ø Asta Bhumi Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. ·
Tujuan Asta Bumi adalah
a)
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b)
Mendapat vibrasi kesucian
c)
Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi 10
Ø Konsep Tata Ruang Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58) Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
Ø konsep manik ring cucupu
. Konsep manik ring cacupu adalah konsepdimana manusia harus selaras dengan alam. Seperti janin(manik) danrahim ibu(cacupu). Karena memiliki kesamaan unsur pembentuk 11
2.2 Konsep Tatanan Bangunan Bali Aga di Penglipuran
2.2.1.Arsitektur Desa Bali Aga
Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali mempunyai sejarah yang sangat panjang, di tyambah lagi dari jaman prasejarah (jaman Paleolitic dan Mesolitic), jaman sebelum datangnya Empu Kuturan dan setelah datangnya Empu Kuturan), jaman pengaruh Majapahit, sampai saat sekarang termasuk jaman modern. Arsitektur Bali Aga diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno (se belum datangnya Empu Kuturan). Bentuk-bentuk rumah pada jaman ini adalah rumah-rumah sederhana yang disebut kubu, bentuk rumah semacam ini masih banyak terdapat di daerah Bali pegunungan dan masih dapat dilihat sampai sekarang. Umumnya dalam satu rumah terdapat banyak fungsi. Masyarakat pada jaman tersebut dikenal sebagai masyarakat Bali Aga (Bali Asli), yaitu masyarakat Bali yang kurang mendapat pengaruh Hindu Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan (I Gusti Ngr. Bagus, 1979). Seperti dijabarkan oleh Made Geria, dalam Prasejarah dan Klasik di Bali, ada pun ciri khas pola permukiman Bali Aga adalah sebagai berikut: 1.
Rumah adatnya berupa rumah tampul roras. Tampul berarti adegan = tiang rumah (J. Kersten
S.V.D., 1994 dalam Prasejarah dan Klasik di Bali). Roras = 12 , jadi yang dimaksudkan adalah rumah dengan menggunakan konstruksi tiang penyangga sebanyak keseluruhan 12 buah. Seperti hunian di Desa Bayung Gede memiliki tiga massa bangunan yang merupakan pakem tradisional dan warisan ratusan tahun yang lalu. Bangunan tersebut antara lain Lumbung, Bale Peg aman, dan Paon/Dapur. Masing-masing bangunan berbentuk persegi panjang dan memiliki empat tiang kayu sebagai penyangga atap. Apabila dijumlahkan, maka jumlah keseluruhan tiang menjadi 3 bangunan x 4 tiang = 12 tiang. 2.
Pola permukiman yang diterapkan, yaitu pola linier (linier pattern) dengan struktur berderet
tanpa adanya tembok pembatas antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Halaman rumah tampak menyatu dengan rumah-rumah di sekitarnya. 3.
Di samping adanya kompleks desa induk, juga ada daerah-daerah yang menyebar membentuk
sublingkungan yang berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk.
Dalam penataan masing-masing wilayah mempunyai kekhasan seperti di Desa Tenganan dengan plaza berpola khusus, plaza dengan pola lingkar sisi di Desa Julah, dan plaza dengan lorong-lorong kea rah tepi di Desa Bugbug. Desa Bayung Gede memiliki kekhasan yang serupa dengan desa tradisional lainnya di Bali 4.
Kiblat atau arah bangunan perumahan ke arah tempat yang lebih rendah, dalam artian tempat
yang lebih tinggi selalu dijadikan tempat yang disucikan/diutamakan (hulu). 5.
Arah hadap rumah tidak langsung ke jalan utama, tetapi melalui jalan-jalan kecil yang ada di
depan rumah (gang). 6.
Faktor yang menonjol adalah faktor kondisi alam, nilai utama pada arah gunung (puncak tertinggi
sebagai orientasi bersama). 7.
Pola lingkungan mendekati pola linier dengan lintasan-lintasan jalan yang membentuk pola
lingkungan yang sesuai dengan transis lokasi kemiringan dan lereng-lereng alam. 8.
Konsepsi yang dikenal, yaitu Tri Loka (Tiga Dunia) dalam pelaksanaan pengaturan struktur
pekarangan, yang terkait dengan kepercayaan adanya pandangan bahwa dunia atau alam semesta tesusun atas tiga bagian, yaitu Bhur, Bwah, Swah. Dalam diri manusia, pandangan ini menjelma ke dalam konsep Tri Angga (Tiga Badan) yang dapat terlihat dari pembagian daerah secar a horizontal, yaitu bagian utama (hulu) tempat bangunan suci, halaman tengah, dan halaman luar. 9.
Penataan ruang tidak berlaku secara horisontal, namun vertical, dalam penentuan kesucian
tempat diukur dari ketinggian yang diposisikan sebagai tempat yang disucikan. Konsep pengaturan secara vertikal ini berpola juga pada pembagian ruang di dalam rumah tampul roras, penempatan parapara yang strukturnya dibuatkan paling atas sebagai tempat pemujaan yang disucikan. 10. Bangunan tampul roras dibuat di kawasan yang terisolir di daerah balik pegunungan terkait dengan aspek lingkungan yang tujuannya untuk alasan keamanan karena pada dasarnya masyarakat Bali Aga ingin mempertahankan dirinya, tidak mau tunduk kepada Majapahit. Hal ini terkait juga dengan keberadaan tempat pemujaan di dalam rumah, ada dugaan sengaja dibuat demikian untuk menjaga keamanan masyarakat penganut budaya Bali Aga agar tidak menimbulkan kecurigaan orang di sekitarnya. 11. Rumah dibuat dengan atap rendah dan minim ventilasi. 12. Struktur bangunan tampul roras, terdiri atas beberapa bagian yang umumnya terdiri dari: ·
Bebaturan, terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang.
·
Dinding. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri disesuaikan potensi daerah yang
dimiliki. · saka.
Tiang. Struktur dan kerendahannya hampir sama dengan daerah dataran yang umumnya disebut
·
Pementang, balok yang membentang di tengah pengikat jajaran tiang fungsinya membentang dan
menstabilkan lambang (balok di sekeliling rangkaian tiang tepi). ·
Raab (atap), sebagian besar dibuat dari bahan-bahan alam, alang-alang dan sirap bambu.
·
Keseluruhan konstruksi rangka membentuk satu kesatuan stabilitas struktur yang estetis dan
fungsional. Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak tali ikatan.
Penduduk Bali Aga dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan animism dan dinamisme. Namun, pengaruh Majapahit pada abad ke-14 melalui Patih Gajah Mada dengan agama Siwa Budha-nya yang berkepentingan memasukkan agama tersebut berhasil mempengaruhi penduduk Bali dataran rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan kemudian mendirikan permukiman yang tidak terpengaruh oleh keyakinan Bali dataran rendah. Secara perlahan Agama Siwa Budha yang kemudian bertransformasi menjadi Agama Hindu Bali berhasil mempengaruhi seluruh kawasan Bali termasuk desa tradisionalnya. Desa Bali Aga (Bali Apanaga), yaitu desa-desa tua yang masih kuat m emegang sistem, dan adatistiadatnya, serta tidak atau sedikit pun kena pengaruh Majapahit. Desa-desa tradisional yang tergolong desa Bali Aga meliputi: ·
Desa Trunyan
·
Desa Tenganan
·
Desa Asak
·
Desa Sembiran
·
Desa Pinggan
·
Desa Pengotan
·
Dll.
Desa Apanaga, yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa itu sebagian besar terletak di daerah Bali datar an di Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng dan Jembrana.
2.2.2 DESA PANGLIPURAN
Desa tradisional dengan ciri khas keseragaman angkul-angkul rumah dan kekayaan hutan bambu yang dilestarikan sebagai desa wisata.
Desa Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Kota Bangli sendiri telah berusia ± 793 th, sedangkan Desa Penglipuran ini terbentuk pada jaman Kerajaan Bangli. Masyarakat setempat mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari desa Bayung Gede, Kintamani. Penduduk dari desa Kubu yang mondok dan bercampur dengan penduduk dari Bayung Gede ter sebut, membentuk suatu pola menetap yang kecil dan diberi nama Penglipuran. Penglipuran berasal dari kata lipur yang berarti menghibur hati, jadi penglipuran memiliki arti tempat untuk menghibur hati. Pondokpondok di daerah hutan sebagai tempat untuk menghibur hati sambil bekerja di ladang yang k emudian menjadi desa Penglipuran. Sementara para pemuka adat setempat menuturkan bahwa nama Penglipuran mengandung makna pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur. Konon, penduduk desa Penglipuran pernah diminta bantuannya oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan kerajaan Gianyar. Karena keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh Raja Bangli ber upa tanah yang lokasinya sekarang adalah desa adat Penglipuran. Desa Penglipuran merupakan desa adat yang perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Bali Mula (Bali Apanaga), yaitu sebagai kebudayaan awal terlahirnya kebudayaan Bali. Memasuki jaman Bali Aga, kebudayaan dikembangkan dengan membentuk benda-benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Dilanjutkan dengan Bali Arya terjadi lagi pembaharuan di bidang budaya yang di antaranya adanya lontar-lontar Asta Bumi dan Asta Kosali sebagai pedoman teori pelaksanaan bangunan arsitektur tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Bali dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda pengaruh asing kembali menyentuh arsitektur tradisional Bali. Pada masa Hindu-Majapahit, Penglipuran tidak terkena pengaruh karena letak desa ini jauh dari pusat kekuasaan ketika itu, yaitu Samprangan-Gianyar, maka pengaruh yang berkembang terasa lebih dinikmati oleh daerah-daerah dataran yang dekat dengan pusat pemerintahan. Dang Hyang Nirartha sebagai pemuka agama ketika merancang suatu bentuk bangunan suci baru yang dikenal se bagai padmasana, sebagai wujud fisik merupakan symbol pemersatu umat yang ketika itu terpecah dalam “kasta”. Baru pada tahun 1930 bangunan padmasana diterima oleh komunitas Penglipuran yang
dibangun pada Pura Penataran (Rajin, mantan Jeo Bayan, wawancara: 1999). Sampai saat ini, belum semua pura pada masing-masing rumah tinggal memiliki padmasana, hal yang sama juga dijumpai di Desa Bayung Gede. Nuansa arsitektur nontradisional “modern” baru merambah ke Penglipuran ketika pemerintah mulai
membangun kawasan ini untuk pertama kalinya sebagai Taman Makam Pahlawan (pada saat revolusi, Penglipuran merupakan basis sekaligus bentang pejuang Bangli), kemudian dilanjutkan dengan sekolah, jalan, jaringan listrik, air bersih, telepon, dan sebagainya.
2.2.3 POLA DESA
Falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini. Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa dari leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Sec ara garis besar pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut:
2.2.3 POLA HUNIAN
Pola rumah pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari ter bit dan tenggelam, yaitu timur “kangin” dan barat “kauh”. Poros tengah yang membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariannya difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang public “ sosial”, dan prosesi ritual. Masing -
masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih dapat saling berhubungan dari rumah di hulu sampai dengan di hilir melalui celah “peletasan”. Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajiner seolah-olah miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah “teben”.
Memasuki daerah kompleks hunian terdiri dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang tidur. Pada satu area rumah letak sanggah (pamerajan) selalu ter letak pada sebelah Timur “kangin”
bangunan karena merupakan tempat suci.
2.2.4 POLA PERMUKIMAN
Permukiman Desa Penglipuran berorientasi ke gunung “kaja” dan ke laut “kelod” yang membentuk pola linier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran yang linier ini mengikuti sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada. Akan tetapi, bila pola desanya dikaji Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986: 9), menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau mengelompok atau disebut juga memusat. Pada konsep desa ini, ter cermin adanya
konsep Kahyangan Tiga yang merupakan refleksi batas desa adat, dan me rupakan transformasi nilai simbol dari Trilogi, yaitu lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa. Di samping itu, sebagai
penanda orientasi hulu “kaja”, tengah, dan teben “kelod”, atau analogi tubuh manusia yang disebut
dengan Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus menj adi tata nilai utama, madya, dan nista, yang kebetulan terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali Aga yang berpolakan gunung dan laut.
2.2.4 Bentuk dan Bahan Bentuk segi empat mendominasi pada bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian kepala bangunan. Setiap komplek hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung proporsi tubuh pemiliknya. Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi hunian merupakan pencerminan dari pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang tersedia di alam sekitarnya dan bentuk-bentuk yang sangat harmonis dengan lingkungannya adalah buah pemikiran leluhur yang luar biasa.
Bangunan Suci/Parahyangan Pada bagian Parhyangan terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian ± 6 mete r dengan bukaan kecil pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu masuk (entrance). Kori Agung ini memiliki tujuh anak tangga, bagian atas kori memiliki ornament dari berbagai jenis patr a dan kekarangan, sehingga memberikan kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura Penatar an terdapat pelinggih-pelinggih kecil, meru tumpang tiga, bale agung, gedong, dan bale panjang dengan bahan pada bagian kakinya menggunakan batu paras, bagian badannya menggunakan kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu. Selain Kori Agung juga terdapat Candi Bentar sebagai pintu masuk ke areal pelinggih-pelinggih dalam pura. Warna dan bahan pada Candi Bentar memiliki kesamaan dengan Kori Agung, hanya saja bentuknya terlihat lebih kecil, bukaan yang menerus dan membelah Candi bentar menjadi dua bagian. Di sebelah timur Pura Penataran terdapat Pura Puseh yang bentuknya lebih sederhana, sedangkan Pura Dalem berada di area nista (selatan) berdekatan dengan kuburan, serta bahannya dari bahan alam (batu), namun bentuknya sangat sederhana hanya sebuah batu dengan lingkungan sekitarnya yang dibersihkan tanpa terdapat padmasana.
·
Bangunan Pawongan
Pada bagian pawongan terdapat hunian penduduk yang di dalamnya terdapat pura (merajan), dapur, ruang tidur, lumbung dan bale adat (bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian menggunakan sistem pondasi umpak (setempat) dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung, dan angkul-angkul desa sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet, dan tempat jual sovenir.
Jalan tengah desa (rurung gede), gang/jalan setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal pawongan, yaitu masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal perumahan dengan sarana dan prasarananya.
Pura (merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya menggunakan bahan kayu dan ada juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak menggunakan ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun genteng. Bale Adat menggunakan balok dengan bentang 4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu yang kualitas bahannya dapat mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen, serta batu bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap bambu dengan bentang 4,6 m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan oleh kayu dan bambu adalah jenis sambungan pelana.
Pada bagian dapur menggunakan balok dengan bentang ± 3 m, de ngan besaran balok 10/10 dan tiang bambu, memakai bambu yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah tidak berpola dengan jenis tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap menggunakan bahan kayu dan sumbu yang berbentuk sirap, seng dan genteng. Dapur difungsikan juga sebagai ruang tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari batu padas. Kolomnya memiliki bentang ± 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan adalah bujur sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan adalah anyaman bambu (bedeg), serta atap yang ditutup dengan sirap bambu. Pada jineng (lumbung) menggunakan bilik dengan bentang ± 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang digunakan adalah 10/15. Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang horizontal dengan ketinggian dari tanah ± 1 m. Bahan atap te rdiri dari rangka kayu dengan penutup atap seng, dengan bentang ± 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai dengan struktur kayu dan mem iliki plafon dari bambu dipasang secara horisontal. Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu (bedeg) dengan kolom dari kayu yang berkualitas baik. Selain bangunan hunian daerah pawongan terdapat pula “bale banjar” yang biasa digunakan untuk
pertemuan warga dan untuk acara-acara kemasyarakatan. Memiliki bentangan balok ± 3,6 m, besar kolom 10/10 dengan kualitas bahan yang baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau tanah biasa yang dipadatkan dengan ketinggian lantai ± 60 cm, serta memiliki luasan 18 m2. Atap menggunakan bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya adalah perisai atau limasan dengan struktur dari kayu. Sistem pondasi menggunakan pondasi umpak dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang antar kolom 1,5-2,5 m, besar kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk bujur sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini terdapat bale kul-kul,
dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi untuk komunikasi nonverbal dengan masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale kul-kul adalah batu bata merah. Pada daerah pawongan pada ujung paling selatan terdapat suatu lahan yang disebut “karang memadu/karang madu”, yaitu satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh Desa Adat, dan
diperuntukan bagi krama desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu). Namun, sampai saat ini belum ada krama desa yang ditempatkan di Karang Memadu.
·
Bangunan Palemahan
Daerah palemahan terdapat beberapa bangunan antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom Mudita, wantilan dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan bambu. Bangunan wantilan yang terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada bagian lantainya menggunakan bahan traso serta bahan kayu digunakan pada bagian balok, kolom, dan struktur atapnya. Untuk penutup atapnya menggunakan seng, sedangkan bahan yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah.
Ujung selatan dari daerah palemahan terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra) untuk masyarakat Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat Penglipuran sangatlah penting, karena di desa Penglipuran tidak dilakukan prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah lain di Bali.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa 3.2 Saran Saran yang dapat kami sampaikan yaitu kita hendaknya membangun rumah menurut Asta Kosala Kosali agar kita dapat Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, Mendapat vibrasi kesucian, menguatkan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.