Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Nama : Aurel Pricilia
Kelas : XI IPA 5
No
Nama Perlawanan Rakyat
Sebab - Sebab
Tempat dan Tahun
Tokoh
Penyelesaian
1
Mataram
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram dan mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Batavia,
1613-1645
Sultan Agung Hanyokrokusumo, Baurekso, Dipati Ukur, Suro Agul-Agul, Manduroredjo, Uposonto, Dipati Purbaya, dan Tumenggung Singaranu
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan tersebut disebabkan:
Kalah persenjataan.
Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.
Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
2
Makassar
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar - VOC yang semula baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670).
Makassar, 1654 - 1669
Sultan Hasanuddin, Kapten Jonker, Aru Palaka,
Speelman, Karaeng Galesung, dan Karaeng Bontomarannu
Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau
menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo).
Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan menjadi milik VOC.
3
Banten
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten (1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang semula berdagang, disambut dengan baik. Akan tetapi setelah Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten - VOC menjadi buruk, bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta pada tahun 1619.
Pertentangan Banten - VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 - 1682).
Banten,
1651 - 1682
Sultan Ageng Tirtoyoso, Maulana Muhammad, Sultan Haji, dan Pangeran Purboyo (adik Sultan Haji)
Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan.
Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
Banten dilarang berdagang di Maluku.
Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
4
Untung Suropati
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Jawa,
1684 - 1708
Untung Suropati, Amangkurat II, Kapten Tack, Adipati Ario Wironegoro, Sunan Mas, Pangeran Puger (adik Amangkurat II), dan Herman de Wilde
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708).
5
Trunojoyo
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni.
Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Jawa Timur dan Jawa Tengah,
1674-1680
Trunojoyo, Amangkurat I, Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Galesung, Amangkurat II, Anthonie Hurdt, Aru Palaka , dan Kapten Jonker
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara.
Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
6
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah sebuah peperangan besar yang terjadi pada tahun 1825-1830 di Jawa Tengah dan sebagian daerah Jawa Timur, yang mana peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Praktik kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan bangsa Belanda di Nusantara telah menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi. Penyebab lainnya antara lain adalah:
Semakin menyempitnya daerah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.
Penderitaan rakyat akibat kerja rodi dan diberlakukannya berbagai macam pajak.
Tindakan Belanda yang sering ikut campur dalam urusan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
Masuknya budaya barat yang bertentangan dengan Islam dan budaya setempat.
Munculnya beberapa pejabat istana yang berkhianat dan mendukung Belanda.
Dibongkarnya makam leluhur Pangeran Diponegoro secara sepihak oleh Belanda.
Jawa Tengah dan sebagian daerah Jawa Timur,
1825 - 1830
Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Imam Bonjol, dan Jendral De Kock
Tahun 1828, Kiai Mojo salah satu penguasa pendukung Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dan di asingkan ke Minahasa sampai wafatnya. Setahun kemudian, Sentot Prawirodirjo menyerah kepada belanda dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Namun Sentot Prawirodirjo akhirnya ditangkap oleh belanda dan diasingkan ke Bengkulu sampai akhir hayatnya karena ia dan pasukannya malah memihak kepada Tuanku Imam Bonjol.
Meskipun terus terdesak, Pangeran Diponegoro bersama para pendukung fanatiknya terus melakukan perlawanan meski pemerintah Belanda menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya hidup atau mati. Jendral De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Belanda terus berupaya membujuk Pangeran Diponegoro agar mau berunding dengan Belanda. Akhirnya Pangeran Diponegoro menerima tawaran tersebut dan perundingan dilaksanakan di Magelang, tanggal 28 Maret 1830. Namun ketika proses perundingan sedang berlangsung, secara licik Belanda menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, kemudian diasingkan lagi ka Manado, lalu dipindahkan ke Makassar sampai beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sejak penangkapan Pangeran Diponegoro secara licik oleh Belanda tersebut, maka berakhir pula lah sejarah panjang Perang Diponegoro yang sangat legendaris tersebut.
7
Perang Pattimura
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran Hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu.
Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Penyebab Pattimura melakukan perelawanan terhadap Belanda antara lain:
Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Maluku, 1817
Thomas Matulesi atau Pattimura, Kakiali, Gubernur Jederal Van Diemen, Telukabesi, Saidi, Vlaming van Oasthoom, Sultan Jamaluddin, Sultan Nuku, dan Residen Van den Berg
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menentang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto.
Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817. Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.
8
Perang Paderi
Istilah Padri berasal dari kata Padre yang berarti Ulama. Mulanya perang Padri adalah Perang Saudara antara para Ulama berhadapan dengan Kaum Adat. Setelah Belanda ikut campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang Kolonial.
Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya sebagai berikut :
Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama islam, masih teguh memegang adat dan kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al'quran dan Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari ajaran tersebut.
Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
Jawa,
1821 - 1838
Haji Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang
Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Mesiangan, Tuanku Nan Renceh, Datok Bandaharo, Fort Van der Capellen, Letnan Kolonel Elout, Mayor Michael, dan Sentot Ali Basa Prawirodirdjo
Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut:
Belanda ingin menghentikan perang;
Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau;
Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.
Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan sasaran utama serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat dikalahkan Belanda tahun 1838.
9
Perang Aceh
Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon.Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan.
Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer dari Takengon.
Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.
Aceh,
1904 - 1942
Teungku Haji Telege Makar, Van Daalen, Kapten Watrin, Kapten Campion, Schmidt, Cit Ma'az (Ma'at)
Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi.
Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yangbaru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia.
10
Perang Jagaraga (Perang Bali)
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak (daerah Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng.
Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng.
Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Belanda melakukan penyerangan terhadap Pulau Bali pada tahun 1846. Yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah Kerajaan Buleleng. Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang merupakan salah satu benteng pertahanan Bali.
Belanda melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Bali di benteng Jagaraga. Dalam pertempuran itu, pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh. Akhirnya pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
Bali,
1844
Raja Buleleng, Patih I Gusti Ktut Jelantik, Jenderal Mayor A.V. Michiels, dan van Swieten
Waktu benteng Jagaraga jatuh ke pihak Belanda, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten. Raja Buleleng dan patih
dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan dapat dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali.
Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).