PERS MASA PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Hadirnya bangsa Belanda di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan sistem pers di Indonesia, bangsa Belanda bisa juga disebut sebagai pemicu hadirnya dunia pers di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa Belanda telah mempelopori dunia pers di Indonesia, karena media masa belum ditemukan di Indonesia sebelum kehadiran mereka ketanah air . Awal mula adanya dunia pers di Indonesia, Dr. De Haan dalam buku yang ditulisnya, ³Oud Batavia´ (G. Kolf Batavia 1923), secara sekilas mengungkapkan bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah surat kabar, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah surat kabar bernama bernama Kort Bericht Eropa(berita Eropa(berita singkat dari Eropa). Surat kabar yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase pula Bataviase Nouvelles pada
bulan
Oktober
1744, Vendu
Nieuws
pada
tanggal
23
Mei
1780,
sedangkan sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang Courant yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang, lelang, dan berita kutipan dari surat kabar di Eropa. Pada tahun 1835 di Surabaya terbit surat kabar yang bernama Soerabajasch Advertentiebland yang kemudian namanya berganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertentiebland , dan di Semarang terbit surat kabar yang bernama Semarangsche Advertentiebland dan Advertentiebland dan De De Semarangsche Courant . Surat kabar pada masa itu tidak memuat berita yang berbau politik/ arti politis, hanya surat kabar periklanan, pada masa itu sudah ada peraturan penerbitan yaitu, setiap penerbit tidak boleh menerbitkan surat kabar sebelum penguasa setempat (Soebagijo, 1977: 9-11) memeriksa surat kabar yang akan terbit. Bangsa Belanda tidak hanya menerbitkan surat kabar di pulau Jawa, mereka juga menerbitkan surat kabar di pulau Sumatra dan juga Sulawesi, di Padang pada masa itu terbit Soematra Courant , Padang Handeslsbland dan Handeslsbland dan Bentara Malajoe, Malajoe, di Makasar (Ujung Pandang) terbit Celebes Courant dan Courant dan Makassaarsch Makassaarsch Handelsbland . Pada tahun 1885, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa Melayu diantaranya adalah Bintang Barat , HIndia-
Nederland , Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa Bromartani yang terbit di Solo. Pada akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batavia masih menggunakan bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikatakan tidak menarik. Yang diberitakan hanyalah hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal. Memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Memuat berita tentang politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat. Parada Harahap (tokoh pers) dalam bukunya ³Kedudukan Pers Dalam Masyarakat´ (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan at asannya. Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga menjadi suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya. Para petinggi pemerintah yang terkena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung curahan hati tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyinggung soal politik mulai marak.
Dunia pers di Indonesia semakin menghangat ketika terbitnya ³Medan Prijaji´ pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa Indonesia terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers(Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Hadirnya Medan Prujajitelah disambut hangat oleh bangsa Indonesia, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari ³Sarikat Islam´ telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan
koran
dengan
nama
yang
tidak
kalah
galaknya,
yakni Guntur
Bergerak dan Hindia Bergerak . Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka danSinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Penerbitan media massa pergerakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun ada juga yang mendapatkan izin dari pemerintahan Belanda. Dan ketika isi media acapkali berseberangan dengan pola fikir pemerintah Belanda sesering itulah pers di breidel. Munculah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan kebebasan negeri yang tertuang dalam undang-undang : 1) Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif. 2) Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar. Pada masa ini tokoh-tokoh pergerakan yang mengopinikan kemerdekan lewat media massa seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan artikel-artikel tokoh
pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen atau tulisan-tulisan yang memusuhi pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang kehidupan pers lebih dipersempit, selain UU Belanda UU No 16 yang pasal-pasalnya sangat menakutkan mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan pers dengan memasukan tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel penerbitannya diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin (penasihat) yang tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota redaksi.