MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR DISKUSI KASUS: TATALAKSANA PASIEN TB-DM DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA OLEH
Astri Gartika 120100265 PEMBIMBING
Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.(CM-FM), MPd.Ked
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
i
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR DISKUSI KASUS: TATALAKSANA PASIEN TB-DM DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA OLEH
Astri Gartika 120100265 PEMBIMBING
Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.(CM-FM), MPd.Ked
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
ii
DISKUSI KASUS: TATALAKSANA PASIEN TB DM DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA “Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.”
OLEH Astri Gartika 120100265
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: DISKUSI KASUS: TATALAKSANA PASIEN TB-DM DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA
Nama
: ASTRI GARTIKA
NIM
: 120100265
Medan,
Oktober 2017
Pembimbing
Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.(CM-FM), MPd.Ked NIP: 196705271999032001
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Diskusi Kasus: Tatalaksana Pasien TB-DM dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.(CM-FM), MPd.Ked, atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaikbaiknya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv DAFTAR ISI ......................................................................................................
v
BAB 1
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1
Latar Belakang .........................................................................
1
1.2
Tujuan Makalah .......................................................................
2
1.3
Manfaat Makalah .....................................................................
2
DISKUSI KASUS .............................................................................
3
2.1
Kedokteran Keluarga ................................................................
3
2.1.1 Defenisi .........................................................................
3
2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga ..........
3
Tuberkulosis ..............................................................................
4
2.2.1 Defenisi .........................................................................
4
2.2.2 Gejala Klinis ..................................................................
4
2.2.3 Pemeriksaan Fisik .........................................................
6
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................
6
2.2.5 Penegakan Diagnosis.....................................................
6
2.2.6 Penatalaksanaan ............................................................
7
Diabetes Mellitus ......................................................................
9
2.3.1 Defenisi .........................................................................
9
2.3.2 Gejala Klinis ..................................................................
9
2.3.3 Faktor Risiko .................................................................
9
BAB 2
2.2
2.3
2.3.4 Pemeriksaan Fisik ......................................................... 10 2.3.5 Pemeriksaan Penunjang................................................. 10 2.3.6 Penegakan Diagnosis..................................................... 10 2.3.7 Penatalaksanaan ............................................................ 11 2.4 BAB 3
TB pada Penderita DM.............................................................. 12
DISKUSI KASUS ............................................................................. 14 3.1
Identitas Pasien.......................................................................... 14
vi
3.2
Anamnesis ................................................................................. 15
3.3
Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 15 3.3.1 Vital Sign....................................................................... 15 3.3.2 Status Generalis ............................................................ 15 3.3.3 Status Lokalisata ........................................................... 15
3.4
Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 16
3.5
Data Keluarga............................................................................ 16
3.6
Penatalaksanaan ........................................................................ 16 3.6.1 Non Medikamentosa ..................................................... 16 3.6.2 Medikamentosa ............................................................. 17
BAB 4
ANALISA KASUS ............................................................................ 18
BAB 5
KESIMPULAN ................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan
yang penting terutama pada negara berkembang dimana TB endemik dan diabetes juga ditemukan banyak. Pada awal abad ke 20, hal ini menjadi fokus utama dikarenakan penatalaksanaan yang kurang pada kedua penyakit ini.2 Pasien TB di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 690.000 dengan prevalence rate 289 per 100.000 penduduk. Diperkirakan terdapat 450 ribu kasus baru pada tahun 2010 dengan incident rate 189 setiap 100.000 penduduk. Indonesia menjadi negara dengan pasien TB tertinggi ke-3 pada tahun 2007 dan menjadi yang kelima pada tahun 2010.2 Jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia diperkirakan meningkat menjadi 366 juta pada 2030 dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Prevalensi DM secara global diperkirakan meningkat 50% pada tahun 2030.2 Delapan dari sepuluh negara dengan insidens tertinggi DM di dunia juga diklasifikasikan sebagai negara dengan beban TB paru tinggi. Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Studi di Australia pada tahmenyatakan bahwa lebih dari 10% penderita TB paru di dunia adalah penduduk Indonesia. Penelitiannya di Indonesia pada tahun 2001-2005, melaporkan 40% penderita TB paru memiliki riwayat DM. Pada penderita DM, ditemukan 60 kasus TB paru di antara 454 penderita; risiko penderita DM untuk mengalami TB paru sebesar 4,7 kali lipat.3 Meskipun strategi kontrol kasus TB paru cukup berhasil, World Health Organization (WHO) menduga pengendalian TB paru makin dipersulit dengan peningkatan jumlah penderita diabetes melitus (DM). Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan kemudian berkembang menjadi penyakit
2
tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.3,4
1.2
Tujuan Makalah Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
Tatalaksana Pasien TB-DM dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3
Manfaat Makalah Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS dan menjadi suatu tolak ukur bagi penelitian selanjutnya.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kedokteran Keluarga
2.1.1 Defenisi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendefinisikan dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif, tapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya.5 Dengan definisi demikian IDI menggambarkan ciri pelayanan DK sebagai berikut:5 1.
DK melayani penderita tidak hanya sebagai individu tetapi sebagai anggota satu keluarga bakan anggota masyarakatnya.
2.
DK memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh dan memberikan perhatian kepada penderitanya secara lengkap dan sempurna,jauh melebihi apa yang dikeluhkannya.
3.
DK memberikan pelayanan kesehatan dengan tujuan utama meningkatkan derajat kesehatan, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta mengobatinya penyakit sedini mungkin.
4.
DK mengutamakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan berusaha memenuhi kebutuhan itu sebaik-baiknya.
5.
DK menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan tingkat pertama dan ikut bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.
2.1.2 Prinsip – Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti anjuran WHO dan WONCA yang mencantumkan prinsip-prinsip ini dalam banyak terbitannya.
Prinsip-prinsip
ini
juga
merupakan
simpulan
untuk
dapat
meningkatkan kualitas layanan dokter primer dalam melaksanakan pelayanan
4
kedokteran. Prinsip-prinsip pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga adalah memberikan/mewujudkan:5 1.
Pelayanan yang holistik dan komprehensif
2.
Pelayanan yang kontinu
3.
Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
4.
Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
5.
Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integrasi dari keluarganya.
6.
Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya.
7.
Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum.
8.
Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
9.
Pelayanan yang sadar biaya dan mutu.
2.2
Tuberkulosis
2.2.1 Defenisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.6,7 2.2.2 Gejala Klinis6,7 Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1.
Gejala respiratori Gejala respiratori sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
5
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Berikut ini gejala respiratorik, yaitu:
2.
-
Batuk > 2 minggu
-
Batuk darah
-
Sesak napas
-
Nyeri dada
Gejala sistemik Gejala sistemik berupa demam dan gejala lainnya seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.
3.
Gejala tuberkulosis ekstraparu Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2.2.3 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.6,7 Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
6
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.6 2.2.4 Pemeriksaan Penunjang6,7 1.
Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2.
Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) atau kultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopi dan biakan..
3.
Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4.
Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
5.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
2.2.5 Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak). Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014) standar Diagnosis:7 1.
Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
2.
Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
7
3.
Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma release assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4.
Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
5.
Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan anti tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
2.2.6 Penatalaksanaan7 Tujuan pengobatan: 1.
Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien.
2.
Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3.
Mencegah kekambuhan TB.
4.
Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5.
Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya Prinsip-prinsip terapi:
1.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.
2.
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
8
3.
Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4.
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5.
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6.
Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
7.
Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8.
Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan.
Tabel 2.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC Fase Intensif Berat Badan
Fase Lanjutan
Harian
Harian
3x/minggu
(R/H/Z/E)
(R/H/Z)
(R/H/Z)
Harian 3x/minggu (R/H)
150/75/400/275 150/75/40 150/150/500 150/75
(R/H) 150/150
30-37
2
2
2
2
2
38-54
3
3
3
3
3
55-70
4
4
4
4
4
>71
5
5
5
5
5
9
Tabel 2.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB) Obat
Harian
3x seminggu
INH
5(4-6) max 300mg/hr
10(8-12) max 900 mg/dosis
RIF
10 (8-12) max 600 mg/hr
10 (8-12) max 600 mg/dosis
PZA
25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis
EMB 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis 2.3
Diabetes Mellitus
2.3.1 Defenisi Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association (ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya.7,8
2.3.2 Gejala Klinis Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:7,8 -
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya..
-
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas), gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
2.3.3 Faktor Risiko7 1.
Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/m2).
2.
Riwayat penyakit DM di keluarga.
3.
Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi).
4.
Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional.
5.
Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome).
10
6.
Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa Terganggu).
7.
Aktifitas jasmani yang kurang.
2.3.4 Pemeriksaan Fisik7 Pemeriksaan Fisik 1.
Penilaian berat badan
2.
Mata : Penurunan visus, lensa mata buram
3.
Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang7 Pemeriksaan Penunjang 1.
Gula Darah Puasa
2.
Gula Darah 2 jam Post Prandial
3.
Urinalisis
2.3.6 Penegakan Diagnosis7,8 Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa: 1.
Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2.
Gejala Klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU
3.
Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau
11
Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh. Kriteria gangguan toleransi glukosa: 1.
GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l).
2.
TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram (7,8 -11,1 mmol/L).
3.
HbA1C 5,7 -6,4%.
2.3.6 Penatalaksanaan7 Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan (algoritma pengelolaan DM tipe 2). Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi: 1.
Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2.
Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
12
Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa
2.4
TB pada Penderita DM Telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan manifestasi klinis
penderita TB paru dengan DM dan penderita TB paru saja. Penelitian di Malaysia, Saudi Arabia, dan Turki, tidak menemukan perbedaan signifikan dalam hal gejala, akan tetapi sebuah studi besar di Mexico melaporkan gambaran klinis yang lebih buruk pada pasien TB yang menderita DM, yaitu dalam hal demam, hemoptisis, dan keadaan umumnya.3 Disfungsi imun merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya peningkatan TB paru pada penderita DM, hal ini disebabkan karena defek pada pertahanan host
13
dan fungsi kekebalan tubuh itu sendiri. DM menyebabkan penurunanan daya fagositosis makrofag, sehingga mempengaruhi pertahanan tubuh. Hal ini didukung dengan sebuah pengamatan bahwa penderita diabetes yang kurang terkontrol terjadi peningkatan TB yang lebih destruktif dan mortalitas yang lebih tinggi. Pada penderita DM didapatkan penurunan limfosit T dan neutrofil. Berkurangnya Thelper 1 (Th1) sitokin, produksi TNF alpha, dan produksi IL-1 beta dan IL-6 juga terlihat pada penderita TB dan DM secara bersamaan dibandingkan dengan yang tidak menderita DM. Kombinasi disfungsi dari berbagai macam proses imunitas diatas berkontribusi terhadap peningkatan risiko TB pada penderita Diabetes Mellitus.11 Tuberkulosis yang aktif dapat memperburuk kadar gula darah dan meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif, dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan kadar gula dalam darah hingga lebih dari 200 mg/dL. Kadar IL-1 dan TNF plasma juga meningkat dan menstimulasi hormon anti-insulin, sehingga memperburuk keadaan infeksinya.3 Tatalaksana pengobatan pada penderita TB paru yang memiliki DM sama dengan penderita TB paru saja, akan tetapi lebih sulit, terutama karena ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu interaksi antar obat TB paru dengan obat DM dan efek samping obat. Hingga saat ini, belum ada rekomendasi kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru pada penderita DM maupun sebaliknya. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO memberikan rekomendasi terapi TB paru pada penderita DM menggunakan regimen yang sama sesuai standar.17 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB paru tanpa DM, dengan syarat gula darah harus terkontrol. Apabila gula darah tidak terkontrol, pengobatan perlu dilanjutkan hingga 9 bulan.3
14
BAB 3 DISKUSI KASUS
3.1
Identitas Pasien9
Nama
: Tn. Hudarisman
Jenis kelamin : Laki laki Tanggal lahir / Umur : 17 Desember 1972 / 44 tahun Alamat
: Suka Jaya, Simeulue Timur
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Supir angkutan antar kota
Suku
: Aceh
3.2
Anamnesis
Keluhan Utama
: Lemas
Keluhan tambahan : Berkeringat banyak Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien kiriman RSUD Simelue dengan keluhan lemas. Pasien dirawat di RSUD selama 10 hari. Demam juga sudah dirasakan pasien ± 10 hari setiap sore dan malam hari. Pasien juga mengeluh berkeringat banyak (+) dan penurunan berat badan ± 10 kg dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan juga menurun dalam 1 bulan terakhir. Riwayat minum OAT tahun 2016 pada bulan Agustus, namun putus berobat setelah pengobatan 2 bulan. Riwayat penggunaan insulin sejak 2014. Pasien juga memiliki riwayat merokok ± 18 batang/hari selama 20 tahun.
15
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Pasien menderita diabetes millitus sejak 2014, hipertensi tidak ada, riwayat alergi tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Tidak ada keluarga yang mengkonsumsi obat 6 bulan.
Riwayat Penggunaan Obat :
Riwayat mengkonsumsi obat diabetes militus sejak tahun 2014.
Riwayat Kebiasaan Sosial
:
Riwayat merokok ± 18 batang/hari selama 20 tahun.
3.3
Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Vital Sign Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran
: Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 90/70 mmHg Nadi
: 92 x/menit
Pernapasan
: 18 x/menit
Suhu
: 36,30C
3.3.2 Status Generalis Mata, telinga, dan hidung dalam batas normal. Tenggorokan faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, KGB leher tidak teraba. Regio thoraks: cor dalam batas normal, regio abdomen dalam batas normal.
3.3.3 Status lokalisata Regio thorak posterior
Inspeksi
: Simetris, scar (-), tumor (-), warna sama dengan kulit sekitar, retraksi intercostal (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Ka/ki : sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
16
Regio thorak anterior
Inspeksi
: Simetris, scar (-), tumor (-), warna sama dengan kulit sekitar, retraksi intercostal (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), fremitus kanan = kiri, ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: Sonor/sonor, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-), BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Status neurologis : Reflek fisiologis normal dan refleks patologis (-). Pemeriksaan motorik dan sensorik pasien tidak ada kelainan.
3.4
Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan BTA SPS didapatkan BTA +++. GDS: 86 mg/ dl.
3.5
Data Keluarga Bentuk keluarga pada pasien ini adalah keluarga extended. Terdapat
gangguan pada fungsi keluarga berupa fungsi biologis berupa gangguan pada fungsi paru, perilaku kesehatan keluarga dan lingkungan rumah.
3.6
Diagnosis TB paru putus obat + DM tipe 2.
3.7
Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan dengan mengintervensi pasien
beserta keluarga. Intervensi yang diberikan pada pasien ini adalah edukasi dan konseling mengenai penyakitnya, pencegahan agar tidak terjadi komplikasi.
3.6.1 Non medikamentosa a.
Konseling mengenai pentingnya tipe pengobatan preventif dibandingkan kuratif.
17
b.
Konseling mengenai penyakit TB pada pasien.
c.
Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada keluhan dan mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis.
d.
Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya setelah dua bulan dan enam bulan pengobatan.
e.
Konseling kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi berupa tinggi kalori dan tinggi protein.
f.
Konseling kepada pasien efek samping obat yang timbul seperti buang air kecil akan berwarna merah yang menandakan itu bukanlah darah hanya menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa timbul gatal-gatal dan kepala terasa pusing. Hal ini dilakukan agar pasien tetap minum obatnya dan tidak berhenti minum obat.
g.
Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan halhal bersifat positif.
h.
Edukasi mengenai gaya hidup bersih dan sehat seperti tidak merokok serta fungsi dari ventilasi dalam rumah.
3.6.2 Medikamentosa OAT-FDC tablet sehari tiga kali sehari (Guideline PDPI).
18
BAB 4 ANALISA KASUS
Pasien kiriman RSUD Simelue dengan keluhan lemas. Pasien dirawat di RSUD selama 10 hari. Demam juga sudah dirasakan pasien +/- 10 hari setiap sore dan malam hari. Pasien juga mengeluh berkeringat banyak (+) dan penurunan berat badan +/- 10 kg dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan juga menurun dalam 1 bulan terakhir. Sesuai dengan gejala klinis dari tuberkulosis bahwa ditemukanya gejala gejala seperti demam dan menggigil, penurunan berat badan rasa lelah dan lemah (Malaise), berkeringat banyak terutama di malam hari, tidak ada nafsu makan (Anoreksia), sakit-sakit pada otot (Mialgia). Riwayat minum OAT tahun 2016 pada bulan Agustus, namun putus berobat setelah pengobatan 2 bulan. Pasien ini dikatakan sebagai pasien putus obat sesuai dengan definisi bahwa TB putus obat adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif. Riwayat penggunaan insulin sejak 2014. Disfungsi imun merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya peningkatan TB paru pada penderita DM, hal ini disebabkan karena defek pada pertahanan host dan fungsi kekebalan tubuh itu sendiri. DM juga menyebabkan penurunanan daya fagositosis makrofag, sehingga mempengaruhi pertahanan tubuh. Hal ini didukung dengan sebuah pengamatan bahwa penderita diabetes yang kurang terkontrol terjadi peningkatan TB yang lebih destruktif dan mortalitas yang lebih tinggi. TB dapat menyebabkan perubahan sitokin, monosit-makrofag dan sel T CD4/CD8.
19
BAB 5 KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang penting terutama pada negara berkembang. pada kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kansal H, Srivastava S, Bhargava S. Diabetes Mellitus and Tuberculosis. JIMSA. 2015.
2.
Wijayanto A, Nawas A, Rochsismandoko. Faktor Terjadinya Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Jakarta: J Respir. 2015.
3.
Wijaya I. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Jakarta: IDI. 2015.
4.
Kementrian Kesehatan RI. Konsensus Pengolahan Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus (TB-DM) di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2015.
5.
Anggraini M, Novitasari A, Setiawan M. Buku Ajar Kedokteran Keluarga. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadyah Semarang. 2015.
6.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
7.
IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: IDI. 2014.
8.
Soelistijo A, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe II di Indonesia 2015. Jakarta: Perkeni. 2015.
9.
Juanda A. Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus. Banda Aceh: FK Syiah Kuala. 2017.
10.
Niazi, Asfandyar Khan, Kalra Sanjay. Diabetes and Tuberculosis: a Review Of The Role of Optimal Glycemic Control. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders. 2012.