NASAL ANTERIOR
Korpus alineum pada hidung
Common cold
FAUSIAL
tonsilofaringitis
mononukleusinfeksiosa
larinks
laringotrakeobronkitis
sinnusitis
Papiloma larinks
Aspirasi benda asing
Croup spasmodik/nonspasmodik
Penatalaksanaan Difteri
Pengobatan Umum
Pengobatan Khusus
Infeksi tumpangan
Sistemik
Obstruksi Jalan Nafas (Lokal)
Komplikasi Sistemik
2. Kelainan kardiovaskuler (miokarditis)
3. Kelainan neurologis
4. Ocular palsy
5. Paralisis diafragma
6. Nefritis
7. Paresis atau paralysis anggota gerak
1. Laringitis difteri
presumptif
Anamnesis
Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
Pola Fungsi Kesehatan
Pola nutrisi dan metabolisme
Pola aktivitas
Pola istirahat dan tidur
Pola eliminasi
Peradangan kronis pada tonsil, faring, sinus, laring, dan sal nafas atas
Biodata
umur, suku bangsa, tempat tinggal
Keluhan Utama
demam, lesu, pucat, anoreksia, sakit kepala )
Riwayat Kesehatan Sekarang
Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
Penyakit Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheria.
Corynebacterium diphteriae
Aliran sistemik
Nasal, Tonsil, Laring
Peradangan Mukosa, Tenggorokan sakit, Demam
Kontak dengan orang atau barang yang terkontaminasi.
Masuk lewat saluran pencernaan atau saluran pernafasan.
Masa inkubasi 2 – 5 hari.
Membentuk pseudomembran dan mengeluarkan toksin (eksotoksin)
Demam
Batuk
Sakit tenggorokan
Disfagia
Dispnea, stridor pernafasan, mengi
Difteri
Difteri hidung
Difteri tonsil faring
Difteri Laring
Pilek ringan
Tampak membran putih pada daerah septum nasi
Nyeri tenggorokan
Nadi cepat
demam sampai 38,5
Anoreksia
Nafas berbau
Suara parau
Batuk kering
Demam tinggi
Pembengkakan pada kelenjar leher
1 Umur pasien
2 Perjalanan penyakit
3 Letak lesi difteria
4 Keadaan umum pasien
5 komplikasi miokarditis
6 Pengobatan terlambat pemberian ADS
Etiologi dan Faktor resiko
Penatalaksanaan
Pemeriksaan dan diagnosis
Manifestasi Klinis
Difteri
Definisi & Epidemiologi
Patofisiologi
Klasifikasi
Pem. Fisik
Anamnesis
Pemeriksaan penungjang
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN MUKOSA
PEMERIKSAAN DAERAH LEHER
SISTEM KARDIOVASKULAR
KEADAAN UMUM
EKG
NEUROLOGIS
Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC
Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.
Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008
Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto. Keperawatan
Referensi
35
Corynebacterium diphteriae
Kontak dengan orang atau barang yang terkontaminasi.
Masuk lewat saluran pencernaan atau saluran pernafasan.
Aliran sistemik
Masa inkubasi 2 – 5 hari.
Mengeluarkan toksin (eksotoksin)
Nasal Tonsil/faringeal Laring
Peradangan mukosa Tenggorokan sakit demam Demam suara serak,
hidung (flu, secret anorexia, lemah. Membrane batuk obstruksi sal.
Hidung serosa). Berwarna putih atau abu-abu napas, sesak nafas, Linfadenitis (bull's neck) sianosis.
Toxemia, syok septic.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas(vulva, kulit, mata jarang terjadi).
Kuman membentuk psudo membrane melepaskan eksotoksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
Sumbatan jalan nafas terjadi akibat dari fungsi pseudo membrane pada laring dan trachea dapat menyebabkan kondisi fatal.
33
Patofisiologi Penyakit Difteri
Hidden slide
Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak, sehingga daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa (membrane palsu)yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa akan menimbulkan peradarahan.
Pada umumnya infeksi C diphteriae tumbuh secara local dan menghasilkan racun yang menyebar secara homogeny. Karakteristik membran difteri tebal, kasar, berwarna kelabu-biru atau putih dan terdiri dari bakteri, epitel nekrotik, makrofag, dan fibrin. Membrane melekat pada dasar mukosa membrane dapat menyebar ke bronkial, menyebabkan obstruksi saluran pernapasan dan dispneu.
Hidden slide
C difteri dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel epitel mukosa saluran nafas atas terutama tonsil, kadang-kadang ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan eksotoksin, yang dilepaskan oleh endosome, sehingga menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.
Toksin terdiri dari dua fragmen protein pembentuk, Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan, dan sifat proteolitiknyamemotong lapisan membrane lipid, sehingga membantu fragmen A masuk ke dalam sel pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan dan destruksi sel epitel yang akan diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, yang kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy exudat yang pada awalnya dapat terkelupas.
Patogenesis Bakteri Difteri
4,5
4. Patofisiologi Difteri dan
Mekanisme Demam
Mekanisme Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal.
Bila diukur pada rektal >38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C (99°F). (Schmitt, 1984)
Mekanisme Demam
Demam adalah suatu keadaan bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu rektal melebihi 38° C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan suhu aksila dan oral lebih dari 38,3° C.
NAPN (National Association of Pediatrics Nurse)
Mekanisme Demam
Demam adalah istilah umum, dan beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah pireksia atau febris.
Apabila suhu tubuh sangat tinggi (mencapai sekitar 40°C), demam disebut hipertermi.
Interleukin-1 (penyebab demam), menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin E2 bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.
Manisfestasi klinis
Mekanisme Batuk
Mekanisme Demam
Manifestasi klinis Penyakit Difteri
6
5. Manifestasi Klinis DIfteri
Mekanisme Demam
Ketika pembentukan prostaglandin di hambat oleh obat (aspirin), demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang.
Aspirin dapat menurunkan demam, karena aspirin mengganggu pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat.
Obat seperti aspirin yang menurunkan demam disebut antipiretik
Hidden slide
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
4. tingkat pengetahuan ibu rendah dimana, pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri
5. akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini data dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.
Faktor Resiko
Cakupan imunisasi kurang
Kualitas vaksin tidak bagus
Faktor lingkungan tidak sehat
Tingkat pengetahuan ibu rendah
Akses pelayanan kesehatan kurang
Hidden Slide
Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium difteri yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen. Toksin ini dapat diperlihatkan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian atau dengan teknik imunopresipitin agar atau disebut juga uji Elek yaitu suatu uji reaksi polimerase.
Epidemiologi Penyakit Difteri
Diphtheria became nationally notifiable in 1924. That year 9,057 cases were reported, the highest annual number of cases ever recorded in Canada.
The diphtheria vaccine was introduced in 1926. Routine immunization in infancy and childhood has been widely practiced in Canada since 1930. By the mid-1950s, routine immunization had resulted in a remarkable decline in the morbidity and mortality of the disease (see Figure 1). Another steep decline in cases occurred in 1980. This has been attributed, in part, to a change in case definition to exclude carriers from reported cases in all provinces and territories.
A small number of toxigenic strains of diphtheria bacilli continue to be detected each year, although classic diphtheria is rare. Since 1993, a total of 19 cases have been reported with a range of 0 to 4 cases annually (see Figure 1). In this time:
approximately 26% of cases were between the ages of 0 to 14 years
74% of cases were over 25 years of age
The last death due to diphtheria in Canada was reported in 2010.
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
Epidemiologi Penyakit Difteri
http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
http://www.vaccinedecision.info/cgi-bin/viewcontent.cgi?article_id=24
http://www.who.int/gho/immunization/en/
Definisi Difteria
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring,hidung, adakalanya meny-erang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
http://www.academia.edu/5541931/13758759-DIFTERI
2
2. Klasifikasi Difteri
Klasifikasi berdasarkan berat ringannya penyakit
Infeksi ringan
pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan
Infeksi sedang
pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding post faring dg
edema laring. Dapat diatasi dg pengobatan konservatif
Infeksi berat
ada sumbatan jalan nafas, dapat disertai gejala komplikasi miokarditis
/ paralisis. Hanya dapat diatasi dg trakeostomi
Klasifikasi berdasarkan letaknya [1]
Difteri hidung
gejala awal: pilek. Bisa epistaksis. Terdapat membrane putih pd septum nasi
Difteri tonsil faring
timbul pseudomembran di daerah tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan pallatum molle. Bisa timbul bullneck
Hidden Slide
Corynebacterium difteri adalah kuman batang "gada" gram positif, (basil aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar 0,3 hingga 0,8 μm, tidak bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora, tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60°C. 8
Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 3). Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu sistin telurit agardarah. Media sistin telurit agar darah akan menghambat pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam
Klasifikasi Corynebacterium Diptheriae
Tipe gravis.
koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Tipe intermedius.
koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Tipe mitis.
koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Corynebacterium Diptheriae
Kuman batang gram positif
ukuran 1-8 μm & lebar 0,3-0,8 μm
Tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul
Membuat koloni menjadi abu abu hitam
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) & fragmen B (karboksiterminal)
3
3. Etiologi dan Faktor Resiko Difteri
Difteri laring
perluasan difteri faring. Difteri paling berat: obstruksi jalan nafas
gagal nafas kematian
Difteri vulvovaginal, kulit, konjungtiva, telinga
Difteri vulvovaginal: vulvovginitis purulenta dan ulseratif
Difteri kulit: tukak di kulit
Difteri pd mata: lesi pd konjungtiva berupa kemerahan, edema membrane konjungtiva palpebral.
Difteri pd telinga: otitis eksterna, secret purulent dan berbau
Klasifikasi berdasarkan letaknya [2]
7,8
6. Diagnosis Difteri
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
DD
Anamnesis Pada Penyakit Difteri
Imunisasi Lengkap
Pengobatan Khusus
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis
Pengobatan Khusus
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin
Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring
Pengobatan Khusus
Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria
Dosis ADS (KI)
Cara pemberian
Difteria Hidung
20.000
Intramuscular
Difteria Tonsil
40.000
Intramuscular /Intravena
Difteria Faring
40.000
Intramuscular /Intravena
Difteria Laring
40.000
Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas
80.000
Intravena
Difteria + penyulit, bullneck
80.000-100.000
Intravena
Terlambat berobat (>72 jam)
80.000-100.000
Intravena
Pengobatan Khusus
Uji Kulit
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Uji Mata
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi
Pengobatan Khusus
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Diberikan segera setelah diagnosis difteri
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik
Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori
Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer
Program Imunisasi Nasional
Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) yang mencakup imunisasi BCG, Hepatitis B, DPT, Polio dan campak.
Vaksin yang direkomendasikan
Vaksin yang direkomendasi PP IDAI:
BCG
Hepatitis B
Hepatitis A
Polio
DTP
Campak
HIB
IPD
Influenza
Varisela
MMR
Tifoid
HPV
Rota virus
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN (2007). Robbins Basic Pathology (ed. 8th). Saunders Elsevier.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (ed. 6). EGC
Warrel, D. A., Cox, Timothy M., Firth, John D. 2005. Oxford Textbook of Medicine. Oxford: Oxford University Press
Anonim, 1998, Buku Saku Kedokteran Dorland edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,Jakarta
Harrison's principles of internal medicine vol 1
IPD Jilid 3
Referensi
Terimakasih
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman corynebakterium diphtheria. Mudah menular dan yang diserang terutama adalah traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Tanda dan gejalanya adalah demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, penurunan berat badan, lemah, nyeri saat menelan, serak hingga adanya stridor.
Kesimpulan
"Berdasarkan faktor pencetus, gejala, dan pemeriksaan pasien mengalami infeksi bakteri difteri dan menderita difteri"
Pembuktian Hipotesis
Hipotesis kami terbukti kebenarannya atas apa yang telah kami diskusikan dan pelajari bersama. Bahwa gejala demam sejak 4 hari yang lalu dengan batuk, serta sulit menelan makanan merupakan gejala tepat pasien terkena difteri. Ditambah lagi dengan pemeriksaan fisik terdapat pseudomembran kuman corynebakterium difteria dan hasil ini positif terkena penyakit difteri.
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
Prognosis
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu :
Komplikasi Difteria
10
8. Komplikasi dan Prognosis Difteri
Penatalaksanaan Difteri
Tujuan Penatalaksanaan:
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
9
7. Penatalaksanaan Difteri
Diagnosa Banding Difteria
PEMERIKSAAN MUKOSA
KEADAAN UMUM
Terlihat agak toksik
Suhu : 38
Kesulitan bernafas
Takikardi
pucat
Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Pemeriksaan Penunjang Difteri [2]
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
Pemeriksaan Penunjang Difteri [2]
Pemeriksaan Penunjang Difteri [1]
Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
Pada diptheria tonsil – faring terdapat :
Malaise
Suhu tubuh < 38,9 º c
Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil
dinding faring
Bulneck
Pemeriksaan Fisik [2]
Pemeriksaan Fisik [1]
Vital sign :
- Nadi : meningkat
- TD : menurun
- RR : meningkat
- Suhu : kurang dari 38°C
Inspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
Auskultasi : nafas cepat dan dangkal
PEMERIKSAAN DAERAH LEHER
Edema pada daerah submandibularis dan leher bagian depan "bull neck"
PEMERIKSAAN SISTEM KARDIOVASKULER
Takikardi
Suara jantung lemah
Irama mendua (presistolik gallops)
Aritmia (fibrilasi atrium)
PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAM
Tanda-tanda miokarditis:
Low voltage
Depresi segmen ST
Gelombang T terbalik
Tanda-tanda blok :
Pemanjangan PR interval
Blok AV total
DEFINITIF & IDENTIFIKASI BASIL
Pemeriksaan kultur
Pemeriksaan produksi toksin : elek plate test & polimerase pig inoculation test
Pemeriksaan serum : shick test
DIAGNOSIS PRESUMPTIF (DIAGNOSIS AWAL CEPAT)
Pemeriksaan langsung spesimen dengan pewarnaan :
Methylene blue
Pewarnaan gram
imunoflouresens
Definitif
& identifikasi
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Gerakan palatum berkurang
Paralisis otot-otot mata yang menimbbulkan pengelihatan kembar
Kesukaran akomodasi
Strabismus internal
1
1. Definisi dan Epidemiologi Difteri
Definisi Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
Difteri adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005)
http://kamusaskep.blogspot.com/2012/12/difteri.html
Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan:
Definisi & Epidemiologi Difteri (1)
Klasifikasi Difteri (1)
Etiologi Difteri (1)
Patofisiologi Difteri + Demam (2)
Manifestasi Klinik Difteri (1)
Diagnosis Difteri (2)
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1)
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1)
The white membrane (Difteri)
Blok 11 Sistem Respirasi
Tutorial Kelompok 10A
Skenario 5
Mind Map
Kelompok 10A
Dhaneswara Pradipta S. 1361050058
Mawar Suci 1361050067
Anastasia Basaria 1361050073
Jack Benjamin Nalle 1361050120
Iglesia Rawati 1361050160
Risky Wulandari 1361050181
Benedick Johanes Alvian 1361050223
Daniels 1361050243
Yeni Rosa Sitohang 1361050247
Cindy Fransisca Ticoalu 1361050284
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
13/12/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
13/12/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
13/12/2014
#
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
5
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
14
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
18
Click to edit Master title style
13/12/2014
#
Corynebacterium difteri adalah kuman batang "gada" gram positif, (basil aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar 0,3 hingga 0,8 μm, tidak bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora, tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60°C.
20
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
3
2
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
"
"
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 3). Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu sistin telurit agardarah. Media sistin telurit agar darah akan menghambat pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam
22
Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 3). Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu sistin telurit agardarah. Media sistin telurit agar darah akan menghambat pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam
23
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
4. tingkat pengetahuan ibu rendah dimana, pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri
5. akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini data dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.
26
http://ayusulungnariratri.blogspot.com/2011/07/demam-mekanisme.html
41
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
42
Demam
Batuk
Sakit tenggorokan
Disfagia
Dispnea, stridor pernafasan, mengi
43
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
* Difteri hidung pada awalnya serous,
kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis.
46
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
13/12/2014
#
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122730-S09021fk-Gambaran%20pengetahuan-Literatur.pdf
39
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
34
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
28
C difteri dalam hidung atau mulut, berkembang pada sel epitel mukosa saluran nafas atas terutama tonsil, kadang-kadang ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan eksotoksin, yang dilepaskan oleh endosome, sehingga menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.
Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak, sehingga daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa (membrane palsu)yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa akan menimbulkan peradarahan.
29
Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal).
32
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
33
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click icon to add picture
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master subtitle style
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master subtitle style
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Doc. Arifin Dwi Atmaja, S. Kep.
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
12/13/2014
#
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master subtitle style
12/13/2014
#
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
12/13/2014
#
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
47
35
- Infeksi tumpangan oleh kuman lain, Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
- Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
- Sistemik
84
Karakteristik:
Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis
Biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous, dan berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernafasan yang mati, dan mudah berdarah kalau terganggu atau dilepaskan dari dasarnya
Bisa ditemukan pada palatum, faring, epiglotis, larinks, trakea sampai kepada daerah trakeo-bronkus
57
Ditandai dengan suara yang parau, stridor,
58
Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1 Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
2 Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya.
3 Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
4 Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
5 Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6 Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.
86
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
83
Click to edit Master title style
Click to edit Master subtitle style
13/12/2014
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
13/12/2014
#
Definisi & Epidemiologi Difteri (1) cindy10
Klasifikasi Difteri (1) dhanes1
Etiologi Difteri (1) igles5
Patofisiologi Difteri + Demam (2) mawar2 yeni9
Manifestasi Klinik Difteri (1) anastasia3
Diagnosis Pemeriksaan Difteri (2) riswul6 daniels8
Penatalakanaan Difteri + Imunisasi (1) beni7
Komplikasi dan Prognosis Difteri (1) jack4
70
Laringitis difteri, dapat berlangsung cepat dan makin muda penderita, makin cepat timbul komplikasi ini. Pseudomembran menjalar ke laring sehingga menyebabkan gejala sumbatan laring.
2. Kelainan kardiovaskuler (miokarditis), terjadi pada sekitar 10%-25% penderita dan menyebabkan 50%-60% kematian. Manifestasi klinisnya berupa takikardi, suara jantung lemah, irama derap presistolik, aritmia (fibrilasi / blok atrium) dan gagal jantung. Pada EKG ditemukan low voltage,depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-tanda blok dimulai dari pemanjangan interval PR sampai blok AV total
3. Kelainan neurologis, saat timbulnya komplikasi ini bervariasi bergantung pada jumlah toksin yang diproduksi dan cepat / lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya kelainan terjadi bilateral dan motorik lebih dominan daripada sensorik, berupa :
a. Paralasis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan sifatnya reversible dan terjadi pada minggu ke satu dan kedua.
b. Paralisis / paresis otot-otot mutu, sehingga dapat mengakibatkan strabisinus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang setelah minggu ke tiga.
c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke 4, kelainan dapat mengenai otot muka, leher anggota gerak dan yang paling penting dan berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
4. Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
5. Paralisis diafragma, dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal.
6. Nefritis, pada urogenitalia dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak.
7. Paresis atau paralysis anggota gerak, dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
85
Difteri
Definisi & Epidemiologi
Etiologi dan Faktor resiko
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Penatalaksanaan
Pemeriksaan dan diagnosis
Pem. Fisik
Anamnesis
Pemeriksaan penungjang
Klasifikasi
13/12/2014
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
#