Praktikum Kimia Fisika: Koefisien Distribusi
Bila zat padat atau zat cair dicampur ke dalam dua pelarut yang berbeda atau tidak saling bercampur, maka zat tersebut akan terdistribusi ke dalam dua pelarut dengan kemampuan kelarutannya. Koefisien distribusi adalah perbandingan konsentrasi kesetimbangan zat dalam dua pelarut yang berbeda yang tidak bercampur. Faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi adalah konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1 d an pelarut 2, dirumuskan : K=C1/C2
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantunf pada interaksi fisik dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Suatu zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. Jika kelebihan campuran atau zat padat ditambahkan ke dalam cairan yang tidak saling bercampur tersebut maka zat tersebut akan mendistribusi diri di antara dua fase sehingga masingmasing menjadi jenuh. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam larutan yaitu larutan jenuh, larutan tidak jenuh dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut), larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu, sedangkan larutan lewat jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah zat terlarut dalam konsentrasi yang lebih banyak daripada yang seharusnya pada temperatur tertentu. Berdasarkan hukum Nernst, jika suatu larutan (dalam air) mengandung zat organik A dibiarkan bersentuhan dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air, maka zat A akan terdistribusi baik ke dalam lapisan air (fasa air) dan lapisan organik (fasa organik). Dimana pada saat kesetimbangan terjadi, perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa itu dinyatakan sebagai nilai K d atau koefisien distribusi (partisi) dengan perbadingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa organik-air organik -air tersebut adalah pada temperatur tetap. Ekstraksi-cair-cair tak kontinyu atau dapat disebut juga ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling sederhana, murah dan sering digunakan untuk pemisahan analitik. Ekstraksi bertahap baik b aik digunakan di gunakan jika perbandingan perbandin gan distribusi besar. Alat pemisah yang biasa digunakan pada ekstraksi bertahap adalah corong pemisah. Caranya sangat mudah, yaitu cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut semula, kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi zat yang akan diekstraksi pada kedua lapisan. Setelah terbentuk dua lapisan, campuran dipisahkan untuk dianalisis kandungan konsentrasi zat terlarut tersebut. Kesempurnaan ekstraksi bergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Semakin sering kita melakuka ekstraksi, maka semakin banyak zat terlarut terdistribusi pada salah satu pelarut dan d an semakin sempurna proses pemisahannya. Jumlah pelarut yang digunakan di gunakan untuk tiap kali mengekstraksi juga sedikit, sehingga ketika ditotal jumlah pelarut untuk ekstraksi tersebut tidak terlalu besar agar dicapai kesempurnaan ekstraksi. Hasil yang baik diperoleh dengan jumlah ekstraksi yang relatif besar dengan jumlah pelarut yang kecil. Senyawa-senyawa organik, misalnya dalam percobaan ini digunakan asam asetat umumnya relatif lebih suka larut ke dalam pelarut-pelarut organik daripada ke dalam air, sehingga
senyawa-senyawa organik mudah dipisahkan dari campurannya yang mengandung air atau larutannya. Metode penentuan koefisien distribusi asam asetat dilakukan dengan penentuan konsentrasi asam asetat baik yang ada dalam fasa air maupun fasa organik. Pelarut organik yang digunakan dalam percobaan ini adalah kloroform, dan CCl4 sedangkan pelarut organik benzena tidak digunakan dalam percobaan ini. Langkah pertama asam asetat dititrasi dengan NaOH 0,1 N menggunakan indikator pp sampai berubah warna dari bening menjadi merah muda. Titrasi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar massa asam asetat total yang akan terdistribusi pada pelarut organik dan air. Metode titrasi yang digunakan adalah alkalimetri yang dilakukan berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel asam yang dititrasi dengan titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga dapat diperoleh titik akhir titrasi dengan melihat perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda akibat penambahan indikator basa yaitu p.p sebelum dititrasi di mana trayek pH dari p.p adalah 8,3-10,0. Langkah berikutnya, asam asetat diekstraksi dengan mencampurkan pada pelarut organik seperti kloroform, dan CCl4. Ketika dimasukkan ke dalam corong pisah, kedua fasa tersebut tidak saling campur. Campuran ini kemudian dikocok beberapa menit, sehingga mengakibatkan terjadinya distribusi asam asetat ke dalam fasa organik dan fasa air. Fungsi pengocokan disini untuk membesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi asam asetat pada kedua fasa. Setelah tercapai kesetimbangan pada corong pisah, campuran kemudian didiamkan dan terbentuk dua lapisan. Setelah dilakukannya pengocokan tersebut, campuran dibiarkan beberapa saat. Hal ini bertujuan agar pemisahan antara kedua pelarut tersebut bisa sempurna. Setelah itu lapisan air yang berada di bawah diambil / ditampung dalam gelas ukur, sedangkan lapisan minyaknya dibuang. Ini dikarenakan lapisan air dari pengocokanlah yang akan dititrasi. Bila lapisan minyak yang dititrasi maka akan terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan). Pada pelarut kloroform, asam asetat yang larut dalam air akan berada di lapisan atas, sedangkan larutan asam asetat yang larut dalam pelarut kloroform berada pada lapisan bawah. Pada pelarut CCl4, asam asetat yang larut dalam air akan berada di lapisan atas, sedangkan larutan asam asetat yang larut dalam pelarut CCl4 berada pada lapisan bawah. Hal ini terjadi karena perbedaan berat jenis pelarut organik dengan berat jenis air. Larutan asam asetat yang larut dalam air (lapisan airnya) diambil, kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N dan indikator pp. Pada titik akhir titrasi terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda. Mekanisme perubahan warna yang terjadi pada titrasi alkalimetri yang digunakan adalah pada larutan titer yang bersifat asam yang telah ditambahkan indikator p.p dititrasi dengan titran yang bersifat basa, dimana akan terjadi reaksi antara sampel asam yaitu asam asetat dengan titran basa yaitu NaOH membentuk larutan garam. Hal ini akan terus terjadi hingga larutan asam tepat telah habis bereaksi dengan NaOH dan disebut titik ekuivalen. Pada titik ekuivalen ini, belum terjadi perubahan warna tetapi kelebihan satu tetes saja larutan NaOH akan menyebabkan terjadinya perubahan warna dari bening menjadi merah muda yang berasal dari reaksi antara kelebihan titran basa dengan indikator p.p.Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang tidak bercampur harus sama dengan dengan 1. Artinya bahwa senyawa tersebut terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase minyak dan fase air. Jika nilai koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut cenderung untuk terdistribusi dalam fase air dari pada fase minyaknya. Dari perhitungan
diperoleh perbedaan nilai koefisien distribusi asam asetat pada pelarut organik yang berbeda (kloroform, dan CCl4) yang tidak bercampur. Dimana koefisien distribusi pada kloroform lebih besar daripada koefisien distribusi pada CCl4 yaitu berturut-turut sebesar 0,1075 dan 0,044. Perbedaan ini menunjukkan proses ekstraksi cair-cair dengan kloroform memberikan tingkat distribusi asam asetat yang lebih besar daripada kemampuan pelarut lain atau CCl4. Secara teknik, faktor pengocokan sangat penting dan mempengaruhi proses distribusi suatu larutan organik pada pelarut organik dan air yang tidak saling campur. Selain itu, temperatur juga mempengaruhi proses ekstraksi, karena ekstraksi harus dilakukan pada tempertur konstan. Aplikasi koefisien distribusi dalam bidang farmasi yaitu untuk menentukan pengawet yang akan digunakan dalam sediaan dan untuk menentukan absorbsi dan distribusi suatu bahan obat dalam tubuh. Pengawet yang baik dalam sediaan emulsi, misalnya, harus dapat larut dalam air dan dalam minyak, sebab jika pengawet hanya larut air maka fase minyak akan ditumbuhi oleh mikroorganisme sehingga tidak menghasilkan suatu sediaan yang baik. Untuk menentukan absorbsi obat, misalnya dalam pembuatan salep untuk menentukan bahan salep yang bekerja pada lapisan kulit tertentu sehingga menghasilkan efek yang diinginkan. Adanya titrasi blanko bertujuan sebagai pembanding titrasi pada larutan yang sudah diberi minyak, untuk membandingkan distribusi zat dalam satu pelarut dan distribusi zat yang dipengaruhi pelarut lainnya. Koefisien distribusi=1 artinya bahwa zat terdistribusi merata dalam pelarut air dan minyak atau zat dapat larut dalam air dan minyak. Sedangkan koefisien distribusi<1 artinya bahwa zat tidak terdistribusi merata dalam dua pelarut, dan zat tersebut lebih cenderung untuk menuju ke salah satu pelarut yaitu air. Massa asam asetat (CH3COOH) sisa dalam pelarut air adalah sebesar 0,284 g dan 0,1362 g berturut-turut pada pelarut organik yang berbeda yaitu kloroform, dan CCl4. Hal ini menunjukkan, semakin kecil K d yang dihasilkan akan diperoleh massa zat sisa terlarut pada pelarut air yang besar. Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah : 1. Teknik pemisahan dua campuran yang tidak saling campur didasarkan pada metode ekstraksi cair-cair tidak kontinyu, dimana kelarutan spesi zat terlarut dalam sistem organik-air tergantung pada kedua jenis pelarut. 2. Teknik pemisahan dua campuran yang tidak saling campur digunakan untuk proses pemisahan suatu cairan organik dari suatu campuran (pelarut organik dan air). 3. Koefisien distribusi adalah perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam fasa pelarut organik dengan konsentrasi terlarut dalam air. 4. Koefisien distribusi (K d) pada kloroform (CHCl3) adalah sebesar 0,1075 dan koefisien distribusi pada karbon tetraklorida (CCl4) adalah sebesar 0,044. 5. Massa asam asetat (CH3COOH) sisa dalam pelarut air adalah sebesar 0,284 g dan 0,1362 g berturut-turut pada pelarut organik yang berbeda yaitu kloroform dan CCl4. 6. Semakin kecil K d yang dihasilkan akan diperoleh massa zat sisa terlarut pada pelarut air yang besar. DAFTAR PUSTAKA
Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik , jilid I Edisi III. Jakarta: UI-Press. Rivai, H. 1995. Azas Pemeriksaan Kimia.. Jakarta: UI-Press Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik , jilid II Edisi III . Jakarta: UI-Press. Cammarata, S. 1995. Farmasi Fisika. Jakarta: UI-Press
. JUDUL PERCOBAAN
Penentuan Koefisien Distribusi
II. TUJUAN PERCOBAAN
Menetukan koefisien distribusi I2 dalam sistem air-kloroform
III. LANDASAN TEORI
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut yang lain. Seringkali campuran bahan padat dan cair (misalnya bahan alami) tidak dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis. Misalnya saja, karena komponennya saling bercampur secara sangat erat, peka terhadap panas, beda sifat-sifat fisiknya terlalu kecil, atau tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah (Rahayu. 2009). Bila senyawa organik tidak larut sama sekali dalam air, pemisahannya akan lengkap. Namun, nyatanya, banyak senyawa organik, khususnya asam dan basa organik dalam derajat tertentu larut juga dalam air. Hal ini merupakan masalah dalam ekstraksi. Untuk memperkecil kehilangan yang disebabkan gejala pelarutan ini, disarankan untuk dilakukan ekstraksi berulang. Anggap anda diizinkan untuk menggunakan sejumlah tertentu pelarut. Daripada anda menggunakan keseluruhan pelarut itu untuk satu kali ekstraksi, lebih baik anda menggunakan sebagiansebagian pelarut untuk beberapa kali ekstraksi. Kemudian akhirnya menggabungkan bagian bagian pelarut tadi. Dengan cara ini senyawa akan terekstraksi dengan lebih baik. Alasannya dapat diberikan dengan menggunakan hukum partisi (Takeuchi. 2009). Hukum distribusi atau partisi. Cukup diketahui berbagai zat-zat tertentu lebih mudah larut dalam pelarut-pelarut tertentu dibandingkan dengan pelarut-pelarut yang lain. Jadi iod jauh lebih dapat larut dalam karbon disulfida, kloroform, atau karbon tetraklorida. Lagi pula, bila cairancairan tertentu seperti karbon disulfida dan air, eter dan air, dikocok bersama-sama dalam satu bejana dan campuran kemudian dibiarkan, maka kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Cairan-cairan seperti itu dikatakan sebagai tak-dapat-campur (karbon disulfida dan air) atau setengah-campur (eter dan air), bergantung apakah satu ke dalam yang lain hampir tak dapat larut atau setengah larut. Jika iod dikocok bersama suatu campuran karbon disulfida dan air kemudian didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam kedua pelarut. Suatu keadaan kesetimbangan terjadi antara larutan iod dalam karbon disulfida dan larutan iod dalam air (Vogel. 1986 : 145).
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam kedua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organik dan air. Dalam praktek solutakan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah di kocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan berbagai rumus sebagai berikut : K D = C2/C1 atau K D = Co/Ca (Soebagio. 2002 : 34). Jika ke dalam sistem dua fasa cair yang tak dapat saling bercampur ditambahkan zat ketiga yang dapat melarut pada keduanya maka zat ketiga akan terdistribusi diantara ke dua fasa tadi dalam jumlah tertentu. Bila larutan jenuh I2 dalam CHCl3 dikocok dalam air yang tidak larut dalam CHCl3, maka I2 akan terbagi dalam air dan dalam CHCl3. Setelah tercapai kesetimbangan perbandingan konsentrasi I2 dalam air dan CHCl3 pada temperatur tetap juga tetap,. Kenyataan ini merupakan akibat langsung hukum termodinamika pada kesetimbangan. Jika potensial kimia dari solute dalam larutan encer dalam larutan adalah : 0
U1 = U1 + kT In C1 Dan pada larutan air adalah : 0
U2 = U2 + kT In C2 (Tim Dosen Kimia Fisik. 2012 : 17). Jika tidak terjadi asosiasi, disosiasi atau polimerisasi pada fase-fase tersebut dan keadaan yang kita punya adalah ideal, maka harga K D sama dengan D. untuk tujuan praktis sebagai ganti harga K D atau D, lebih sering digunakan istilah persen ekstraksi (E). ini berhubungan dengan perbandingan distribusi dalam persamaan sebagai berikut : D = (Vw/Vo E)/(100-E) , dimana Vw = volume fase air, Vo = volume fase organik (Khopkar. 2008 : 91). IV. ALAT DAN BAHAN
1. Alat a. Buret 50 mL 2 buah b. Corong pisah 250 mL 2 buah c. Pipet volume 5 mL, 10 mL dan 20 mL
d. Pipet tetes e. Gelas ukur 10 mL dan 100 mL f. Batang pengaduk 3 buah g. Labu erlenmeyer 250 mL bertutup asa 3 buah h. Labu erlenmeyer 250 mL 3 buah i. Statif dan klem 4 buah 2. Bahan a. Larutan jenuh I2 dalam CHCl3 b. Aquades (H2O) c. Natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N d. Tissue V. PROSEDUR KERJA
1. Mengukur 150 mL larutan I2 jenuh dalam CHCl3. Kemudian memasukkan dalam corong pisah. Menambahkan 100 mL aquades kemudian di kocok dan diamkan, tunggu sampai tercapai kesetimbangan 2. Memisahkan lapisan atas dan bawah. Masing-masing lapisan dipipet 5 mL, memasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Mengulangi sebanyak tiga kali. Mencatat volume tiosulfat yang diperlukan pada kedua titrasi tersebut. VI. HASIL PENGAMATAN
150 mL larutan jenuh I2 dalam CHCl3 (ungu) > 100 mL H2O (bening) - terbentuk dua lapisan (lapisan atas : kuning, bawah : ungu) > terbentuk dua lapisan (atas : orange (air), bawah : ungu pekat (CHCl3)) Untuk lapisan air 5 mL Titrasi V Na2S2O3 0,1 N I 0,5 mL II 0,5 mL III 0,5 mL
Vrata-rata = (0,5+0,5+0,5)mL/3 = 0,5 mL Untuk lapisan I2 dalam CHCl3 5 mL Titrasi V Na2S2O3 0,1 N I 18,5 mL II 18,0 mL III 18,7 mL
V rata-rata = (18,5+18,0+18,7)mL/3 = 18,4 mL VII. ANALISIS DATA
Dik : N Na2S2O3
= 0,1 N
VI 1 Na2S2O3
= 0,5 mL
VI 2 Na2S2O3
= 0,5 mL
VI 3 Na2S2O3
= 0,5 mL
VII 1 Na2S2O3
= 18,5 mL
VII 2 Na2S2O3
= 18,0 mL
VII 3 Na2S2O3
= 18,7 mL
Dit : K D dari I2 . . . ? Peny : a. Erlenmeyer I
Konsentrasi I2 pada lapisan air (Ca) Ca = ((VI 1 x N)Na2S2O3)/(V iod) = (0,5 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,00033 N
Konsentrasi I2 pada lapisan kloroform (Co)
Co = ((VII 1 x N) Na2S2O3)/(V iod) = (18,5 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,01233 N K DI = Ca/Co = (0,00033 N)/(0,01233 N) = 0,02676 b. Erlenmeyer II
Konsentrasi I2 pada lapisan air (Ca) Ca = ((VI 2 x N)Na2S2O3)/(V iod) = (0,5 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,00033 N
Konsentrasi I2 pada lapisan kloroform (Co) Co = ((VII 2 x N) Na2S2O3)/(V iod) = (18,0 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,01200 N K DI = Ca/Co = (0,00033 N)/(0,01200 N) = 0,02750
c. Erlenmeyer III
Konsentrasi I2 pada lapisan air (Ca) Ca = ((VI 3 x N)Na2S2O3)/(V iod) = (0,5 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,00033 N
Konsentrasi I2 pada lapisan kloroform (Co) Co = ((VII 3 x N) Na2S2O3)/(V iod) = (18,7 mL x 0,1 N)/(150 mL) = 0,01247 N K DI = Ca/Co = (0,00033 N)/(0,01247 N) = 0,02646 Komponen distribusi iod : K D rata-rata = (KD 1+ KD 2+ KD 3)/3 = (0,02676+0,02750+0,02646 )/3 = 0,06308
VIII. PEMBAHASAN
Prinsip dasar percobaan ini yaitu distribusi zat terlarut I2 ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yaitu ait dan kloroform, dimana menurut hukum distribusi Nerst, jika ke dalam sistem dua fasa cair yang tidak saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu ketetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut adalah tetapan distribusi atau koefisien distribusi (K D). Pada percobaan, larutan jenuh I2 dalam CHCl3 ditambahkan dengan aquades yang merupakan pelarut yang tidak saling campur dengan CHCl3 dan diperoleh dua lapisan. Adanya perbedaan kepolaran antara iar dan CHCl3 dimana air bersifat polar sedangkan CHCl3 bersifat nonpolar sehingga terbentuk dua lapisan, dimana lapisan atas merupakan air dan lapisan bawah adalah kloroform. Hal ini disebabkan karena massa jenis air yakni 1 g/mL lebih kecil dibandingkan massa jenis kloroform yakni 1,48 g/mL sehingga air berada pada lapisan atas dan lapisan bawahnya adalah kloroform. Kemudian dikocok agar I2 terdistribusi dengan maksimal ke kloroform dan air, lalu dipisahkan dan dititrasi dengan Na2S2O3 serta mencatat volume Na2S2O3 yang dipakai hingga tercapai titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna. Pada lapisan air dari warna orange menjadi bening sedangkan pada lapisan kloroform dari warna ungu menjadi bening. Berdasarkan analisis data, diperoleh K D1 = 0,02676, K D2 = 0,02750 dan K D3 = 0,02646. Artinya iod yang terdistribusi ke fase air lebih banyak dibandingkan iod yang terdistribusi ke fasa organik (CHCl3). Adapun rekasinya yaitu :
2-
2_
2S2O3 + I2 —– S4O6
-
+ 2I
-
2Na2S2O3 + 2I —– .> Na2S2O6 + 2NaI
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Harga koefisien iod dalam sistem air klorofom yaitu 0,06308 2. Saran Dalam percobaan ini, seharusnya cara pengocokan kosntan (satu arah) sehingga iod dapat terdistribusi sempurna dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik . Jakarta : UI Press. Rahayu, Suparni Setyowati. 2009. Ekstraksi. http://www.chem-is-try.org/materikimia/kimia_industri/teknologi_proses/ekstraksi/. Diakses pada tanggal 30 Mei 2012. Soebagio, dkk. 2000. Kimia Analitik II (JICA). Malang : Universitas Negeri Malang. Takeuchi, Yoshito. 2009. Metode Pemisahan Standar . http://www.chem-istry.org/materi-kimia/kimia_dasar/pemurnian_material/metode_pemisahan_standar/. Diakses pada tanggal 30 Mei 2012. Tim Dosen Kimia Fisik. 2012. Penuntun Praktikum Kimia Fisik I . makassar : Universitas Negeri Makassar. Vogel. 1986. Buku Teks Analisis Secara Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka.
JUDUL PERCOBAAN “ Penentuan Koefisien Distribusi” TUJUAN PERCOBAAN Menentukan koefisien distribusi I2 dalam sistem air-kloroform. LANDASAN TEORI Mari kita tinjau suatu sistem yang berisi campuran dari beberapa zat kimia yang dapat bereaksi menurut persamaan: V1A1 + V2A2 V3A3 + V4A4 Dengan prinsip kesetimbangan muatan untuk persamaan reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut: 0=V3A3 + V4A4 – V1A1 – V2A2 Dengan menggunakan suatu perjanjian bahwa koefisien stoikiometri, V1 (dibaca nu i) bertanda negative untuk pereaksi dan bertanda positif untuk hasil reaksi, maka persamaan di atas dapat dinyatakan dengan 0=Σ v1.A1 Untuk menyatakan apabila suatu reaksi berlangsung atau tidak dalam arah yang dituliskan maka harus ditinjau apakah energy Gibbs dari campuran akan naik atau turun. Jika energy Gibbsnya turun dengan berlangsung reaksi, maka reaksi akan berjalan spontan dengan arah yang dituliskan. Reaksi akan terus ber langsung dengan penurunan energy Gibbs sampai mencapai nilai minimum, yakni saat terjadi keadaan kesetimbangan (Rohman dan Muliani, 2004: 126). System redoks iodit (triiodida)-iodida I3- + 2 e 3 I- Mempunyai potensial standar sebesar +0,54 v . karena itu iodine adalah sebuah agen pengoksidasi yang jauh lebih lemah dari pada kalium permanganate, senyawa serium (IV) dan kalium dikromat. Di lain pihak, ion iodide adalah agen pereudksi yang termasuk kuat, lebih kuat, sebagai contah dari ion Fe (II). Dalam proses-proses analitis, iodine dipergunakan sebagai sebuah agen pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodide digunakan sebagai agen pereduksi (iodometri). Dapat dikatakan bahwa hanya sedikit saja substansi yang cukup kuat sebagai unsure reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodine. Karena itu, jumlah dari penentuan penentuan dari iodometrik adalah sedikit. Namun demikian, banyak agen pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara lengkap dengan ion iodide, dan aplikasi dari proses iodometrik cukup banyak. Kelebihan dari ion iodide ditambahkan ke dalam agen pengoksidasi yang sedang ditentukan, membebaskan iodine yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi antara iodine dengan tiosulfat berlangsung sempurna (Day dan Underwood, 2001: 296). Jika kedalam system dua fasa cair yang tak dapat saling bercampur ditambahkan zat ketiga yang dapat melarut pada keduaanya maka zat ketiga akan terdistribusi diantara kedua fasa tadi dalam jumlah tertentu. Bil larutan jenuh I2 dalam CHCl3 dikocok dengan air dan dalam CHCl3. Setelah tercapai kesetimbangan perbandingan konsentrasi I2 dalam air dan kloroform pada temperature tetap juga tetap. Kenyataan ini akibat langsung hokum termodinamika pada kesetimbangan (Tim Dosen, 2010: 17). Menurut hokum distribusi Nernts, bila ke dalam zat yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut, maka akan terjadi pembagian solute dengan perbandingan tertentu. Kedua pelarut tersebut umumnya pelruut organic dan air. Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya kedalam kedua pelarut tersebut setelah dikocok akn dibiarkan terpisah (Anonim, 2010). Tiga metode dasar pada ekstraksi cair-cair adalah ekstraksi bertahap (batch), ekstraksi kontinyu, dan ekstraksi counter current. Ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling sederhana. Caranya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut semula, kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi zat yang akan diekstraksi pada kedua lapisan, setelah ini tercapai lapisan didiamkan dan dipisahkan. Metode ini sering digunakan untuk pemisahan analitik. Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika jumlah pelarut sedikit (Khopkar, 2008:106). ALAT DAN BAHAN A.Alat 1. Labu erlenmeyer 250 ml 6 buah 7. Pipet tetes 2. Pipet ukur 5 ml 2 buah 8. Botol semprot 3. Gelas ukur 25 ml dan 250 ml 9. Ball pipet 4. Buret 50 ml 2 buah 10. Corong biasa 5. Statif dan klem 3 buah 11. Pengaduk 6. Corong pisah 12. Lap halus B. Bahan 1. Larutan Na2S2O3 0,1 M 2. Larutan jenuh I2 dalam CHCl3 3. Indikator amilum 4. Aquadest 5. Tissue V. PROSEDUR KERJA 1. Mengukur 25 ml
larutan jenuh I2 dalam CHCl3 dan memasukkannya dalam corong pisah. 2. Menambahkan 200 ml aquadest dalam corong pisah. 3. Mengocok campuran tersebut selama 60 menit. 4. Mendiamkan larutan tersebut hingga terbentuk 2 lapisan. 5. Memisahkan kedua lapisan tersebut melalui corong pisah. 6. Memipet 5 ml larutan tiap lapisan. Masing-masing lapisan atas 3 kali dan lapisan bawah 2 kali. 7. Menitrasi larutan tersebut dengan Na2S2O3 0,1 N hingga analit bening dengan menggunakan indikator amilum. Mencatat volume titran. HASIL PENGAMATAN Titrasi Volume Na2S2O3 0,1 N yang diperlukan (ml) 5 ml lapisan atas 0,70 0,50 0,30 5 ml lapisan bawah 21.90 21,90 22,10 ANALISIS DATA Pada titrasi I (5 mL I2 dalam H2O) V1 Na2S2O3 = 0,70 mL V2 Na2S2O3 = 0,50 mL V1 Na2S2O3 = 0,30 mL v Na2S2O3 rata-rata=(0,70+0,50+0,30)mL/3 v Na2S2O3 rata-rata=0,50 mL Pada titrasi II (5 mL I2 dalam CHCl3) V1 Na2S2O3 = 21,90 mL V2 Na2S2O3 = 21,90 mL V1 Na2S2O3 = 22,10 mL v Na2S2O3 rata-rata=(21,90+21,90+22,10)mL/3 v Na2S2O3 rata-rata=2,97 mL [Na2S2O3] = 0,1 M [I2] H2O =(v lapisan atas .2,5 x 10-5 mol/mL)/(volume yang dipipet) = (0,50 mL .2,5 .10-5 mol/mL)/(5 mL .o,oo1 ml) = 2,5 . 10-3 mol/ L [I2] CHCl3 = (v lapisan atas .2,5 x 10-5 mol/mL)/(volume yang dipipet) = (21,97 mL .2,5 .10-5 mol/mL)/(5 mL .o,oo1 ml) = 1,09 . 10-1 mol/ L Kd = ([I2] H2O)/([I2] CHCl3 ) = (1,09 .10-1 mol/ml)/(2,,5 .10-3 mol/L) = 43,68 PEMBAHASAN Pada percobaan ini, yang akan ditentukan adalah koefisien distribusi dari I2 dalam system kloroform-air. Aquades yang ditambahkan dalam ke dalam larutan iod dalam kloroform dikocok. Fungsi pengocokan yaitu mempercepat terjadinya distribusi yang disebabkan karena tumbukan-tumbukan antar partikel campuran yang juga cepat. Pengocokan dilakukan selama satu jam agar I2 dapat terdistribusi secara maksimal. Setelah pengocokan, larutan didiamkan sampai terbentuk dua fase lalu dipisahkan antara lapisan atas dan lapisan bawahnya. Menurut teori, kloroform memiliki berat jenis 1,49 gcm-3 dan air memiliki berat jenis 1,00 gcm-3. Sehingga pada lapisan yang terbentuk, dapat diketahui bahwa lapisan bawah merupakan lapisan iod dalam kloroform sedangkan lapisan atas adalah iod dalam air. Lapisan atas dan lapisan bawah dititrasi dengan menggunakn larutan Na2S2O3 0,1 N. titrasi yang digunakan dalam penentuan koefisien distribusi adalah titrasi iodometri karena iod dalam perobaan berperan sebagai analit. Pada saat mendekati titik akhir titrasi, ditambahkan indicator amilum agar mengetahui titik akhir titrasi. Hal ini dapat diketahui dari perubahan warna yaitu dari biru menjadi bening. Amilum an iod dapat membentuk kompleks dan iod akan terlepas dari kompleksnya membentuk I- pada saat titik akhir titrasi. Penambahan indicator ini pada saat mendekati titik akhir titrasi karena untuk menghindari agar amilum tidak membungkus iod. Adapun persamaan reaksinya adalah: 2S2O32- + I2 S4O62- + 2I- Dari titrasi tersebut diperoleh harga Kd iod dalam air-kloroform sebesar 43,68. Berdasarkan teori, jika harga Kd besar maka solut cenderung terdistribusi ke dalam pelarut organik dibanding dalam air (Soebagio, 2003). Olehnya itu, dari percobaan dapat dikatakan bahwa iodium lebih banyak terdistribusi dalam kloroform dibanding dalam air karena harga Kd-nya besar. Hal ini disebabkan oleh sifat kloroform yang hampir sama dengan sifat I2 dibanding dengan sifat air dengan I2. I2 bersifat semipolar, air bersifat polar dan kloroform yang bersifat semipolar yang telah hampir nonpolar (sifat transisi antara semipolar dengan polar). Olehnya itu, I2 lebih cenderung terdistribusi ke dalam kloroform dibanding ke dalam air. PENUTUP Kesimpulan Harga koefisien distribusi iod dalam sistem air-kloroform yaitu 43,68. Saran
Dalam percobaan ini, seharusnya cara pengocokan konstan sehingga iod dapat terdistribusi sempurna dengan cepat. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Koefisien Distribusi Iod. http://brown132t.blogspot.com. Diakses pada tanggal 18 April 2010. Day, R. A. dan Underwood, A.L. 2001. Kimia Analisis Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press. Rohman, Ijang dan Sri Muliyani. 2004. Kimia Fisik I. Malang: JICA. Tim Dosen Kimia Fisik. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Fisik I. Makassar: Jurusan Kimia FMIPA UNM