BAB 1 PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernapasan menjadi penyebab angka kematian dan kesakitan yang tinggi di dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat mas yarakat atau di dalam rumah sakit. Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama, baik di negara berkembang maupun di negara maju. karena merupakan penyakit yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di usia 5 tahun (balita) juga pada lanjut usia. Insidensi pneumonia di Indonesia menurut WHO pada tahun 2007 adalah 65,9%. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia dengan angka kematian antara 20 - 35%. Pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun. Pleuropneumonia adalah peradangan pada selaput pleura dan juga jaringan paru-paru. Ini merupakan diagnosis berdasarkan foto rontgen dimana adanya bayangan bayangan atau bercak pada jaringan paru disertai adanya cairan pada pleura ( efusi pleura ). Pneumonia dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan dari infeksi saluran pernapasan lainnya. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru akut yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis
tidak
termasuk
kedalam
pneumonia.
Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. pneumonitis. 3
2.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan penyebab kematian urutan ke 15. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan menunjukkan prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%. 3 Pneumonia dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar
yang
mengganggu daya
tahan
tubuh.
Frekuensi
relatif
terhadap
mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu faktor iklim dan letak geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini. 2
2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif.3
2
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, dimana paling sering terjadi pada anakanak.4 Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan paru akut yang berat yang disebabkan oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu lobus paru yang terkena. Ada bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia yang penyebab tersering adalah haemophylus influenza dan pneumococcus.3
2.4 Patogenesis
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru paru. Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksintoksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan1,4: 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
3
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.3 Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas: 3 1. Stadium kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur
komplemen.
Komplemen
bekerja
sama
dengan
histamin
dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya) Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga pasien akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi) 4
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.
2.5 Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terget yaitu : 1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema. 2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. 3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. 4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
2.6. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologi: a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia ) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan. 2. Berdasarkan bakteri penyebab
5
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised ) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda asing atau proses keganasan b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer. c. Pneumonia interstisial Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata
2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 3
6
a. Gambaran Klinis
Dari anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala yang serupa untuk semua jenis pneumonia. Adapun gejala-gejalanya meliputi: 1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 0C 2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai d arah 3. Sesak napas 4. Nyeri dada b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. c. Pemeriksaan Penunjang a. Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus kanan atas meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pneumonia Lobaris
Foto Thorax Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral) atau bercak yang mengikut sertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini. 5,6
Bronchopneumonia
Foto Thorax Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus. 5,6
7
Pneumonia Interstisial
Foto Thorax Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.5,6 b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20%-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. c. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan dapat berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal, torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya. d. Pemeriksaan Khusus
Adapun pemeriksaan khusus pada kasus pneumonia adalah titer antibodi terhadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik adalah bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Selain itu analisis gas darah dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. Pada pasien pneumonia nosokomial perlu diperiksakan analisa gas darah, dan kultur darah.
2.8 Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :1,3 1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
8
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin - TMP-SMZ - Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) - Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi - Marolid baru dosis tinggi - Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa -
Aminoglikosid
-
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
-
Tikarsilin, Piperasilin
-
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
-
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
-
Vankomisin
-
Teikoplanin
-
Linezolid
Hemophilus influenzae
-
TMP-SMZ
-
Azitromisin
-
Sefalosporin gen. 2 atau 3
-
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
-
Makrolid
-
Fluorokuinolon
-
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
-
Doksisiklin
-
Makrolid
-
Fluorokuinolon 9
Chlamydia pneumoniae
-
Doksisikin
-
Makrolid
-
Fluorokuinolon
2.9 Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat dirawat dirumah. Penderita yang tidak dirawat di RS
1) Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres 2) Minum banyak 3) Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran 4) Antibiotika Penderita yang dirawat di Rumah Sakit , penanganannya dibagi dua :
Penatalaksanaan Umum -
Pemberian Oksigen
-
Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
-
Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas
-
Obat penurunan panas.
-
Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
Pengobatan Kausal Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan MO (mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan: -
Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
-
Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiris. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan.
-
Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita. Pengobatan awal biasanya adalah antibiotik, yang cukup manjur mengatasi pneumonia
oleh bakteri, mikroplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada pasien yang berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan 10
kondisi tubuh. Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikroplasma akan letih lesu dalam waktu yang panjang. 1. Penatalaksanaan pada pneumonia komunitas a. Antibiotik Empirik Pasien pada awanya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Pada pasien rawat inap antibiotik harus diberikan 8 jam pertama dirawat di RS. Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari infeksi saluran napas bawah akut baik pneumonia ataupun bentuk lain dan antibiotik ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab. Berdasarkan perbedaan tempat perawatan (rawat jalan, rawat ruang umum dan di ruang ICU), adanya penyakit kardiopulmoner dan “faktor perubah” (modifying factor) maka PK terbagi atas 4 grup dengan kuman penyebab yang berbeda. Faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik: -
Faktor pasien : urgensi atau cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan keadaan umum atau kesadaran, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik atau organ, kehamilan, alergi.
-
Faktor antibiotik : dipilih antibiotik yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia berdasarkan data antibiogram mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir. Efektifitas antibiotik tergantung kepada kepekaan kuman terhadap antibiotik ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas, interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau intoleransi.
-
Faktor farmakologis : fakmakokinetik antibiotik mempertimbangkan proses bakterisidal dengan Kadar Hambat Minimal (KHM) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal (KBM) dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang tergolonh mempunyai sifat dose dependent (misalnya sefalosporin) perlu diberikan 3-4 pemberian/hari. Sedangkan golongan concentration dependent (misalnya aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2 kali sehari namum dengan dosis yang lebih besar.
11
b. Cara pemilihan antibiotik dapat berupa antibitik tunggal (pasien yang asalnya sehat) dan kombinasi antibiotik. Antibiotik yang diberikan adalah spektrum luas yang kemudian sesuai hasil kultur. Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan atau bakterimi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan 7-10 hari. Untuk infeksi M.pneumoniae dan C.pneumoniae selama 10-14 hari, sedangkan pasien dengan terapi steroid jangka panjang selama 10-14 hari atau lebih. Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu tahap 1 pada saat pemberian antibiotik IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil secara klinik, tahap 2 terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai laboratorium, dan fase 3 terlihat penyembuhan dan resolusi penyakit.
Keterlambatan perbaikan
klinik dapat disebabkan patogen yang resisten atau bakterimia. Selain itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta jamak atau progresivitas penyakit, alkoholik, pneumonia multilobular, atau empiema. Bila keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam 2x8 jam berturutan, leukositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik maka dilakukan alih terapi ke antibiotik oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya. Bila belum ad a respon yang baik dalam 72 jam (10% pasien) lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resisten, komplikasi atau penyakitnya bukan pneumonia. 2. Penatalaksanaan pneumonia nosokomial Pada PN dengan imunitas yang normal terapi antibiotik diberikan selama 2 minggu, dapat diperpanjang bila terdapat gangguan daya tahan tubuh. Modifikasi antibiotik perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respon antibiotik dievaluasi 72 jam. Diberikan juga terapi suportif seperti oksigen, humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dan bronkodilator, fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam, pengaturan cairan, pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat, obat inotropik seperti dobutamin dan dopamin, ventilasi mekanis, drainase empiema bila ada, dan nutrisi cukup kalori terutama dari lemak (>50%).
12
2.10 Diagnosis banding
Diagnosis banding dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut: a.Tuberculosis Paru (TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 2 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. b. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada efusi pleura seba gian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi pleura. Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan CT Scan menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Terutama apabila dari pemeriksaan fisik memang menunjukan kelainan di paru dan membutuhkan pemeriksaan penunjang berupa foto thorax. Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan dapat menunjang penegakan diagnosis yang tepat. Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan dengan adanya gambaran air bronchogram. Namun tidak semua pneumonia memberikan gambaran khas tersebut.
Untuk
menentukan
etiologi
pneumonia
tidak
dapat
hanya
semata-mata
menggunakan foto thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan laboratorium. Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura dilihat dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan mediastinum ke arah yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan pneumonia dengan TB adalah dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang umumnya terdapat pada lobus paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis untuk penegakan diagnosis disamping pemeriksaan laboratorium. 2.11 Komplikasi
Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus,terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negatif sebesar 60%, Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%. Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.6 13
Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia, peninggian ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.
Hipoksemia akibat gangguan difusi.
Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans.
2.12 Pencegahan 2.12.1 Pneumonia Komunitas
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pnemukokus terhadap orang dengan risiko tinggi, misalnya pasien dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia di atas 65 tahun. 2.12.2 Pneumonia Nosokomial
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi dnegan cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu dilakukan terapi agresif terhadap penyakit pasien yang akut atau dasar. Pada pasien dengan gagal organ multipel (multiple organ failuere), penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Selain itu ,harus mengontrol pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.
2.13 Prognosis 2.13 .1 Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau kanker. Adanya leukopenia,
14
ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek. 9 Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan kecuali: 1. Bila terdapat penyakit paru kronik 2. PN Meliputi banyak lobi 3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu: a. Usia > 60 tahun. b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30 x/menit, tekanan diastolik < 60 mmHg bingung. c. Hasil pemeriksaan setelah perwatan: tensi < 60 mmHg, leukosit abnormal (<4.000 atau > 30.00/mm3), Urea N meningkat, pO 2= turun, dan albumin serum rendah (< 3,5 g%). 2.13 .2 Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial di Amerika Serikat merupakan urutan ke-2 penyebab kematian yang diakibatkan infeksinosokomial. Pneumonia nosokomial merupakan penyebab kematian utama oleh infeksi pada pasien yang berusia tua, pascaoperatif, dan yang menjalani ventilasi mekanis.
15
BAB III LAPORAN KASUS I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. J
Usia
: 80 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Alamat
: Cadang Pinggan Kab. Indramayu
MRS tanggal
: 27-11-2017
II.
ANAMNESIS Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit Keluhan Tambahan: Batuk sejak 1 minggu SMRS Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang laki-laki usia 80 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan sesak nafas
bertambah berat saat pasien melakukan aktivitas . Selain mengeluhkan sesak nafas, pasien juga mengeluhkan batuk dan dahak yang sulit keluar. Terkadang saat bernafas dan batuk pasien juga mengeluhkan nyeri dada. Pasien merasakan badannya lemas dan mudah lelah serta nafsu makan menjadi berkurang. Pasien juga merasakan mual tetapi tidak muntah dan tidak merasakan pusing. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat tekanan darah tinggi (+), kencing manis (-), penyakit hati kronis (-) asthma (-), keganasan (-).
16
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga pasien dengan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
Riwayat tekanan darah tinggi (-),kencing manis (-), asthma (-), keganasan (-), TB (-)
Riwayat Pengobatan
Riwayat alergi obat (-), alergi makanan (-), alergi dingin (-)
Riwayat Pribadi dan Sosial
III.
Pasien tinggal di rumah bersama keluarga.
Pasien menggunakan asuransi BPJS
Kesan ekonomi : menengah kebawah
Pasien bekerja sebagai perangkat desa
Riwayat merokok : diakui
PEMERIKSAAN FISIK (04-11-2017) Keadaan Umum
Keadaan umum
: Tampak sakit
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 130/90 mmHg.
Nadi
: 86 kali per menit, reguler.
Pernafasan
: 26 kali per menit
Suhu
: 37,1oC.
Status Lokalis
Kepala :
- Ekspresi wajah : normal. - Bentuk dan ukuran : normal. - Rambut : tidak mudah rontok. - Udema (-). - Malar rash (-). - Hiperpigmentasi (-).
17
- Nyeri tekan kepala (-).
Mata :
- Alis : normal. - Exopthalmus (-/-). - Ptosis (-/-). - Nystagmus (-/-). - Strabismus (-/-). - Udema palpebra (-/-). - Konjungtiva: anemia (-/-), hiperemis (-/-). - Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pt erygium (-/-). - Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-). - Kornea : normal. - Lensa : normal, katarak (-/-). - Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan. - Lubang telinga : normal, secret (-/-). - Nyeri tekan (-/-). - Peradangan pada telinga (-) - Pendengaran : normal.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-). - Napas cuping hidung (-/-). - Perdarahan (-/-), secret (-/-). - Penciuman normal.
Mulut :
- Simetris. - Bibir : sianosis (-). - Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-). - Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di pinggir (-), lidah kotor (-). - Gigi : caries (-) - Mukosa : normal. - Faring dan laring : normal
18
Leher :
- Simetris (-). - Kaku kuduk (-). - Pemb.KGB (-). - Trakea : di tengah. - Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-). - Pembesaran thyroid (-).
Thorax Pulmo :
Pemeriksaan Depan :
Inspeksi : -
Statis : Simetris
-
Dinamis : Simetris
-
Bentuk dada dalam batas normal
-
Sikatrik (-)
-
Benjolan (-)
Palpasi : -
Vocal fremitus menurun di basal paru kanan
- Nyeri tekan (+/-) -
Massa (-)
Perkusi : -
Redup di paru dextra pada ICS 5
-
Sonor di paru sinistra
Auskultasi : -
Suara dasar vesikuler
-
RH (-/-) , wheezing (-/-)
Pemeriksaan Belakang :
Inspeksi : -
Statis : simetris
-
Dinamis : simetris
-
Sikatrik (-)
-
Benjolan (-) 19
Palpasi : -
Vocal fremitus menurun di basal paru kanan
- Nyeri tekan (+/-) -
Massa (-)
Perkusi : -
Redup di paru dextra ICS 5
-
Sonor di paru sinistra
Auskultasi : -
Suara dasar vesikuler dan melemah di paru kanan
-
RH (-/-) , wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
: Tidak terlihat ictus cordis
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis kiri
Perkusi
: Pinggang jantung ICS 2 kiri Batas jantung kanan ICS 4 linea parasternal Batas jantung kiri ICS 5 linea midclavikula
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II regular murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : - Bentuk : membuncit (+), distensi (-), - Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena kolateral (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), luka bekas operasi (-), hiperpigmentasi (-).
Auskultasi : - Bising usus (+) normal. - Metallic sound (-). - Bising aorta (-). Palpasi : - Turgor : normal. - Tonus : normal. - Nyeri tekan (-) - Hepar/lien/renal tidak teraba. 20
Perkusi : - Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen - Nyeri ketok CVA: -/-
Extremitas :
Ekstremitas atas : -
Akral hangat : +/+
-
Deformitas : -/-
-
Edema: -/-
-
Sianosis : -/-
-
Ptekie: -/-
-
Clubbing finger : -/-
-
Infus terpasang -/+
Ekstremitas bawah:
IV.
-
Akral hangat : +/+
-
Deformitas : -/-
-
Edema: -/-
-
Sianosis : -/-
-
Ptekie: -/-
-
Clubbing finger : -/-
RESUME Pasien seorang laki-laki berusia 80 tahun datang ke IGD Arjawinangun dengan keluhan utama sesak nafas yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan sesak nafas bertambah berat saat pasien melakukan aktivitas . Selain mengeluhkan sesak nafas, pasien juga mengeluhkan batuk dan dahak yang sulit keluar. Terkadang saat bernafas dan batuk pasien juga mengeluhkan nyeri dada. Pasien merasakan badannya lemas dan mudah lelah serta nafsu makan menjadi berkurang. Pasien juga merasakan mual tetapi tidak muntah dan tidak merasakan pusing. Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini . Pasien memiliki riwayat penyakit paru dan tidak kontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, Tekanan darah : 130/90 mmHg, Pada palpasi di bagian dada depan dan belakang terdapat vocal fremitus menurun di basal paru kanan dan terdapat nyeri tekan, Pada perkusi di bagian dada depan dan belakang
21
terdengar suara redup di paru dextra pada ICS 5, Sonor di lapang paru sinistra,
Pada
auskultasi di bagian dada depan tidak terdapat adanya bunyi ronkhi ataupun wheezing, dan auskultasi di bagian paru belakang terdapat suara vesikuler dan melemah di paru kanan.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil pemeriksaan Darah Lengkap 27/11/17 : Parameter
Hasil
Nilai normal
Hemoglobin
10,3
13,0 – 18,0
Hematokrit
29,8
39,0 – 54,0
Leukosit
4,61
4 – 11
Trombosit
300
150 - 450
Eritrosit
3,58
4,4 – 6,0
Eosinofil
4,3
0-3
Basofil
0,4
0-1
Segmen
75,3
50 - 70
Limfosit
12,5
20 – 40
Monosit
5,5
2 – 8
MCV
83,3
79-99
MCH
28,8
27-31
MCHC
34,5
33-37
22
Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax :
-
Corakan bronchovaskuler kasar di paracardial dextra, air bronchogram (+)
-
Sinus costophrenicus dextra tumpul. Diafragma dextra tertutup
-
Cor. CTR tak valid di nilai
-
Sistema tulang intact
Kesan :
-
Pleuropneumonia dextra ec susp. TB paru lama aktif moderately
-
Besar cor tak valid dinilai
23
Pemeriksaan EKG
V.
DIAGNOSIS KERJA
Pleuropneumonia VI.
PENATALAKSANAAN Usulan Terapi Medikamentosa:
RL 20 tpm
O2 2-3 liter
Ranitidin 2x1 IV
Ambroxol 3x30 mg PO
Ketorolac 3x1 mg PO
Levofloxacin 500 mg 1x1 tab
Salbutamol 2x1
Non Medikamentosa:
1.
Tirah baring.
2.
Pasien dan keluarga diberi edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien dan penatalaksanaannya serta pencegahannya.
Rencana Monitoring :
Evaluasi tanda vital, dan keluhan.
24
VII.
PROGNOSIS Quo Ad Vitam
: Dubia Ad Bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad Bonam Quo Ad sanationam : Dubia ad Bonam
25
BAB IV DISKUSI
Teori Gejala Klinis Pneumonia - Sesak nafas - Batuk (non produktif maupun produktif) - Demam - Nyeri dada Pemeriksaan Fisik Temuan pemeriksaan fisis dada
tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
Kasus Pada pasien ini dijumpai - Sesak Nafas - Batuk -Nyeri pada dada kanan ( pleuritik pain ) Pada pasien ini ketika dilakukan palpasi di bagian dada depan dan belakang terdapat fremitus vocal menurun di basal paru kanan , pada perkusi di bagian dada depan dan belakang kanan terdapat suara redup pada ICS 5, dan pada auskultasi di bagian paru belakang terdapat suara vesikuler dan melemah di paru kanan
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah rutin, biasanya dijumpai adanya peningkatan jumlah sel darah putih yang menandakan adanya proses infeksi. Pada pemeriksaan radiologis, gambaran pneumonia dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram.
Pada pasien ini dijumpai Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukosit pada pasien dalam batas normal ( 4,61 ), dan pada pemeriksaan mikrobiologi sputum diplococcus positif (+) Pada pemeriksaan radiologis, Dijumpai adanya corakan bronchovaskuler kasar di paracardial dextra, air bronchogram (+)
26
Penatalaksanaan Penatalaksanaan kausal, yaitu dengan antibiotik. Biasanya pemberian antibiotik secara empiris tanpa faktor risiko multi drug resistance, yaitu pemberian antibiotik ceftriaxone, moksifloksasin, ciprofloksasin, levofloksasin, atau ampisilin dan ertapenem.
Pada pasien ini dijumpai pemberian antibiotik berupa pemberian levofloksasin 500 mg 1x1 tab
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmawati, FA. 2014. Angka Kejadian Pneumonia pada Paisen Sepsis di ICU RSUP Dr.
Kariadi
Semarang .
Available
from
http://eprints.undip.ac.id/44629/3/FIDA_AMALINA_22010110120027_BAB2KTI.p df (Accessed 24 September 2015) 2. Wunderick, RG et al. 2014. Community-Aquired Pneumonia. The New England Journal of Medicine 370(6): 543-551. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti. Available from http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf (accessed 24 September 2015) 4. Dahlan, F. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 5. Mandell, LA. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18 th Edition. Volume I. USA: Mc-GrawHill. 6. Almirall, J., Bolibar, I. and Serra-Prat, M. (2015). Risk factors for communityacquired pneumonia in adults: Recommendations for its prevention. Community Acquir Infect , 2(2), p.32. 7. Harvey, S. (2012). Pneumonia. [online] University of Maryland Medical Center. Available at: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/pneumonia [Accessed 24 Apr. 2015]. 8. Yudh Dev, S. (2012). Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. JAPI , 60, pp.7-9. 9. Newsmedical.net,
(2011). pneumonia
classification.
[online]
Available
at:
http://www.newsmedical.net/health/PneumoniaClassification.aspx [Accessed 25 Sep. 2015]. 10. Steven, S. (2010). community pneumonia. [online] Clevelandclinicmeded.com. Available
at:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectiousdis ease/communityacquiredpneumonia/Default.htm [Accessed 25 Sep. 2015]. 11. Sudoyo, Aru W. dkk (Editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Ed 5. Jakarta : Interna Publishing 12. Sjahriar Rasad. 2005. Radiologi Diagnostik ed 2. Jakarta: Badan Penerbit FK UI 13. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI 28
29