PRESENTASI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Diajukan kepada Yth: dr. Ma’mun, Sp. PD
Disusun oleh :
Insan Fadillah P
G1A212121
Renata Nadhia Mardian
G1A212106
Amrina Ayu Floridiana
G1A212107
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Disusun Oleh : Insan Fadillah P
G1A212121
Renata Nadhia Mardian
G1A212106
Amrina Ayu Floridiana
G1A212107
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Soekarjo
Telah disetujui dan dipresentasikan dipresentasikan Pada tanggal :
Dokter Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp. PD
2013
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal ireversibel yang memberikan efek pada hampir seluruh sistem organ (McCance dan Sue, 2006). Kidney Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60 mL/min//1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih (Levey et., al., 2005). Pasien dengan CKD akan memiliki perjalanan penyakit yang progresif menuju End Stage Renal Disease (ESRD) (McCance dan Sue, 2006). CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005). Tanda dan gejala yang muncul pada CKD sering dideskripsikan sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa gejala yang muncul dikarenakan terganggunya fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada plasma darah. CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus merupakan 2 buah penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD (McCance dan Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa ginjal dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al., 2010). Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan sebaliknya (Eknoyan, 2009).
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama
: Tn. S
Umur
: 37 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Banyumas
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Pedagang
Tanggal masuk RSMS
: 25 Mei 2013
Tanggal periksa
: 1 April 2013
No.CM
: 919852
B. Anamnesis Keluhan utama
: Nyeri perut
Keluhan tambahan
Kembung dan pusing Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri tersebut terasa dibagian perut bagian bawah. Satu tahun yang lalu pasien pernah mondok di Rumah Sakit Banyumas karena nyeri perut dibagian bawah. Pasien mengaku sudah sembuh. Satu bulan yang lalu nyeri tersebut kambuh disertai mual, muntah dan kencing kurang lancar. Pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat penahan rasa sakit. Selain berobat ke puskesmas, pasien mengaku berobat ke pengobatan herbal. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama
: 1 tahun yang lalu
2. Riwayat hipertensi
: Disangkal
3. Riwayat DM
: Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung
: Disangkal
5. Riwayat asam urat
: Disangkal
6. Riwayat alergi
: Telor asin dan sea food
7. Riwayat mondok
: 1 tahun yang lalu di RS. Banyumas
8. Riwayat Pengobatan
: Disangkal
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama
: Disangkal
2. Riwayat sakit kuning
: Disangkal
3. Riwayat hipertensi
: Disangkal
4. Riwayat DM
: Kakek
5. Riwayat penyakit jantung
: Kakak
6. Riwayat penyakit ginjal
: Disangkal
Riwayat sosial ekonomi
1. Occupational Saat ini pasien adalah seorang pedagang unggas. 2. Diet Pasien suka sekali mengkonsumsi es susu. 3. Drug Pasien mengkonsumsi obat penahan rasa sakit dan obat-obatan herbal 1 bulan yang lalu ketika sakit-sakitan setelah pulang dari RS. Banyumas
C. Pemeriksaan Fisik Dilakukan di bangsal Mawar kamar 4 RSMS, 1 April 2013.
1. Keadaan umum
: Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign Tekanan Darah
: 110/90 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Respiration Rate
: 20 x/menit
Suhu
: 36,2 0C
4. Berat badan
: 65 kg
5. Tinggi badan
: 165 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 23,9 kg/m 2 7. Status generalis a. Pemeriksaan kepala 1) Bentuk kepala Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-) 2) Rambut Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata 3) Mata Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) 4) Telinga Discharge (-), deformitas (-) 5) Hidung Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-) 6) Mulut Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-) b. Pemeriksaan leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Palpasi : JVP R+2 cm c. Pemeriksaan thoraks Paru
Inspeksi
: Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi
: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi
: Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler +/+ Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi
: Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi
: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS dan kuat angkat (-)
Perkusi
Auskultasi
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan
: SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi
: Datar
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (+), undulasi (-),Nyeri Ketok (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas Pemeriksaan
Ekstremitas superior Dextra Sinistra + + -
Edema Sianosis Akral dingin Reflek fisiologis Reflek patologis
Ekstremitas inferior Dextra + -
Sinistra + -
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 25 April 2013 Hematologi
Hemoglobin
: 13.6 g/dl
Hematokrit
: 40 %
↓
(14 – 18 g/dl) (42 – 52 %)
Kimia Klinik
Ureum darah
: 125 mg/dl
↑
Kreatinin darah
: 14.92 mg/dl ↑
(14.90 – 30.52 mg/dl) (0.00 – 1.30 mg/dl)
Laboratorium tanggal 29 April 2013 Hematologi
Hemoglobin
: 11.6g/dl
↓
(14 – 18 g/dl)
Hematokrit
: 36 %
↓
(42 – 52 %)
Ureum darah
: 90.7 mg/dl
↑
(14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah
: 5.64 mg/dl
↑
(0.00 – 1.30 mg/dl)
Kimia Klinik
Laboratorium tanggal 1 April 2013 Hematologi
Ureum darah
: 124.3 mg/dl ↑
(14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah
: 7.55 mg/dl
↑
(0.00 – 1.30 mg/dl)
Laboratorium tanggal 2 April 2013 Hematologi
Hemoglobin
: 10.8g/dl
↓
(14 – 18 g/dl)
Hematokrit
: 34 %
↓
(42 – 52 %)
Ureum darah
: 45.7 mg/dl
↑
(14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah
: 3.34 mg/dl
↑
(0.00 – 1.30 mg/dl)
Kimia Klinik
E. Resume
1. Anamnesis a. Nyeri perut b. Kembung c. Pusing d. Mual e. Muntah
2. Pemeriksaan fisik a. Pemeriksaan abdomen Palpasi Abdomen: Nyeri tekan (+), nyeri ketok (+) 3. Pemeriksaan Penunjang
F.
Ureum darah
: 124.3 mg/dl ↑
(14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah
: 7.55 mg/dl
(0.00 – 1.30 mg/dl)
Diagnosis
CRF CKD Grade V
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan BNO IVP 2. Pemeriksaan EKG 3. Pemeriksaan USG Abdomen
H. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1. Bed rest 2. Hemodialisa Rutin
Farmakologi :
1. IVFD RL 12 tpm 2. Inj. Lasix 3x1 amp iv. 3. Inj. Ranitidine 2x1 amp. iv. 4. Asam Folat 3x1 tab p.o. 5. CaCO3 3x1 tab p.o. 6. Sotatis 3x1 tab p.o. 7. Flunarizin 1x10 mg p.o 8. Sucralfat 3 cth 9. Pronages supp (KLP).
↑
Monitoring
1. Ureum, Kreatinin, dan Hb 2. Tekanan darah
I.
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad functionam
: dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai penurunan progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel dan cukup lanjut dari berbagai penyebab, biasanya berlangsung dalam beberapa tahun. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Suwitra, 2007). Batasan penyakit ginjal kronik : 1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan penanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran radiologi. 2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus. Derajat Penjelasan LFG 1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
(mL/menit/1,73m2) ≥ 90
2 3 4 5
atau ↑ Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat Gagal ginjal
60-89 30-59 15-29 <15 atau dialisis
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Tabel 2.. Klasifikasi Chronic Kidney Disease Derajat
Deskripsi
Klasifikasi Berdasarkan Keparahan GFR Keadaan Klinis mL/min/1.73 m2
1
2
Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau meningkat Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
3
Penurunan GFR sedang
4
Penurunan GFR berat
5
Gagal ginjal
≥ 90
60-89 30-59 15-29 < 15 Atau dialisis
Albuminuria, proteinuria, hematuria Albuminuria, proteinuria, hematuria Insufisiensi ginjal kronik Insufisiensi ginjal kronik, pre-ESRD Gagal ginjal, uremia, ESRD
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005) B. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) : 1. Gangguan imunologis a. Glomerulonefritis b. Poliartritis nodosa c. Lupus eritematous 2. Gangguan metabolik a. Diabetes Mellitus b. Amiloidosis c. Nefropati Diabetik 3. Gangguan pembuluh darah ginjal a. Arterisklerosis b. Nefrosklerosis 4. Infeksi a. Pielonefritis b. Tuberkulosis 5. Gangguan tubulus primer Nefrotoksin (analgesik, logam berat) 6. Obstruksi traktus urinarius a. Batu ginjal b. Hipertopi prostat c. Konstriksi uretra 7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis) C. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih. Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes Mellitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), dan penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al , 2007). D. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al , 2005). Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut
bagi setiap nefron
akan semakin tinggi.
Ini
mengakibatkan
keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al , 2005). Hilangnya
kemampuan
memekatkan
atau mengencerkan
kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi
cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi
aksis
rennin
dan
angiotensin.
Kerjasama
keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al , 2005). Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al , 2005). Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al , 2005). Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat, menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa. Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al , 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al , 2005). Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu (McCance dan Sue, 2006): 1. Penurunan Fungsi Ginjal . Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah. 2. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini. 3. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem organ lain. 4. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al ., 2007).
a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2007). Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al ., 2007; Suwitra, 2007). Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan
cairan
tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007). b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis.
Kelainan
saraf
mata
menimbulkan
gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al ., 2007). e. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks.
Beberapa
faktor
seperti
anemia,
hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik terutama pada
stadium
terminal dan
dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung. F. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai koma. c. Gejala komplikasinya, seperti
anemia,
asidosis metabolik, dan
sebagainya. 2. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari. b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum, dan penghitungan TKK c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan asam urat. d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria. 3. Gambaran radiologis; a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. 4. Biopsi Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007). G. Penatalaksanaan
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002): 1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2006). 2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). 3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006): a. Pembatasan asupan protein Pembatasan mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan
substansi
nitrogen
dan
ion
anorganik
lain
dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia, dengan
demikian
pembatasan
protein
akan
mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan
progresivitas
pemburukan
fungsi
ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006). b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus Pemakaian
obat
memperkecil risiko
antihipertensi,
selain
bermanfaat
kardiovaskular juga sangat
penting
untuk untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui
berbagai
studi
terbukti
dapat
memperlambat
proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006). 4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006). 5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006): a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89 ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia, hipokalsemia,
anemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
dan
hiperhomosisteinemia c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia 6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula darah
juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk
berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002). H. Komplikasi
1. Hiperkalemia Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih. 2. Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron. 4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah. 5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
I.
Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Medscape, 2011).
J.
Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.
DAFTAR PUSTAKA
Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari: http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05 Februari 2011. Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease. US Nephrology: 13-7 . Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. New York: National Kidney Foundation. Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar patologi volume 2 edisi 7 . Jakarta: EGC. Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney International: 67; 2089-2100. Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81. McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7 th. New York: Oxford University; 2007. 294-97. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. hlm 168-70. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6 . Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 – 33 ; 766 – 71.
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.