PUTUSAN SELA No. : 019/Pid.B/2012/PN 019/Pid.B/2012/PN - Semarang “DEMI KEADILAN BEDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada tingkat pertama dalam acara pemeriksaan pemeriksaan biasa, telah menjatuhkan menjatuhkan putusan sela dalam perkara perkara dengan Terdakwa : Nama Lengkap
: Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo
Tempat lahir
: Semarang
Umur, Tanggal Lahir
: 51 Tahun, 30 Mei 1960
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Jalan Setia Budi Nomor 203 B, Semarang
Agama
: Islam
Pendidikan
: S2 Faculty Of Law Harvard University, Amerika Serikat
Pekerjaan
: Ketua DPRD Kota Semarang
Terdakwa didampingi oleh Tim Penasihat Hukumnya : C.H ADIPUTRA LUMBANRAJA, S.H.,L.M.M dan PRAISE JUINTA W.S.S, S.H.,M.H Pengacara /Penasihat Hukum dari ADIPUTRA LUMBANRAJA AND PARTNERS, Advocat and Legal Consultant, berkantor di Jalan Medan Merdeka, Semarang 51381, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 11 November 2011, bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Terdakwa ditahan : 1. Penahanan oleh Penyidik
:
tanggal 1 November 2011 – 30
November 2011
2. Penahanan oleh Penuntut Umum
:
tanggal 1 Desember Desember 2011 sampai dengan perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Semarang.
Pengadilan Negeri tersebut :
Setelah membaca dan mempelajari : 1. Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Semarang Nomor.23 / Pen.Pid/2011/PN. Semarang 22 Desember 2011 tentang Penunjukan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. 2. Berkas-berkas yang berhubungan dengan perkara ini. 3. Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim No. 035/Pen.Pid/2011/PN. Semarang tertanggal 23 Desember 2011 tentang Penetapan Hari Sidang.
Setelah mendengar dan memperhatikan : 1. Pembacaan Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum dengan Nomor Register Perkara PDM-01/SEMARANG/EP.1/11/2011 tertanggal 28 Desember 2011. 2. Pembacaan Nota Keberatan atau Eksepsi dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa atas Surat Dakwaan Penuntut Umum yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 2012 3. Tanggapan atau Pendapat dari Penuntut Umum atas Keberatan atau Eksespsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa yang dibacakan pada 2 Januari 2012 Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan di persidangan dengan dakwaan sebagai berikut :
DAKWAAN
KESATU ------------------ Bahwa ia Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo ------------------
Bersama-sama dengan dengan Korban Vidza Dwi Astariani dan pada pada tanggal 1 November 2011 2011 atau pada waktu tertentu pada bulan November yang bertempat di jalan Setia Budi No. 203 B, Semarang atau pada suatu tempat tertentu yang masih masuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, telah dengan sengaja mencoba menggugurkan atau mematikan kandungan anaknya yang bernama Vidza Dwi Astariani yang dilakukan
dengan cara-cara dan dalam keadaan berikut :
Bahwa pada tanggal 12 September 2011 sekitar pukul 22.17, Korban Vidza Dwi Astariani baru saja menyelesaikan tugas kelompok Sistem Administrasi Negara bersama teman-temannya, yaitu Edoardo Galan, Faradina Krislianita, Rizky Habibi, dan Agung Syahrizal.
Setelah menyelesaikan tugas kelompoknya di koridor kampus lantai 1 gedung A, Korban Vidza Dwi Astariani dan teman-temannya berpisah di parkiran kampus yang pada saat itu Korban Vidza Dwi Astariani mengenakan kemeja garis bewarna biru dan celana jeans hitam.
Setelah itu, sekitar pukul 22.23 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani langsung melaju bersama kendaraan kesayanganya mobil Honda Jazz merah dengan nomor polisi H 4815 ML dan langsung meninggalkan lapangan kampusnya menuju rumahnya yang beralamat di Jalan Kaliurang KM 8,5 Nomor 175, RT.04, RW.05, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Saat melewati Jalan Sidomuncul yang sepi dan gelap yang berjarak 500 meter dari pemukiman warga, tiba-tiba ban mobil sebelah kiri bagian belakang bocor karena terkena paku sehingga Korban Vidza Dwi Astariani keluar dari mobil dan memeriksa bannya.
Setelah Mengetahui ban mobilnya bocor, Korban Vidza Dwi Astariani panik dan berusaha untuk mencari pertolongan dari warga sekitar.
Kemudian sekitar pukul 22.30 WIB, datanglah seorang pria yang berperawakan tinggi besar, berambut ikal, dan berkulit gelap serta menggunakan kaos berwarna biru dan celana jeans pendek mengendarai sepeda motor Jupiter MX dengan nomor polisi AB 6034 VZ dan berhenti di dekat Korban Vidza Dwi Astariani.
Kemudian, pria tersebut menawarkan diri untuk menolong memperbaiki ban mobilnya Korban Vidza Dwi Astariani dan Korban Vidza Dwi Astariani pun menerima tawaran pria tersebut karena pada saat itu hari sudah malam dan kondisi sekitar itu sepi.
Setelah itu tanpa Korban Vidza Dwi Astariani sadari, tiba-tiba pria tersebut mendekap Korban Vidza Dwi Astariani dari belakang dan menariknya ke semak- semak di dekat mobil Korban Vidza Dwi Astariani, tetapi Korban Vidza Dwi Astariani melakukan perlawanan dengan memberontak dan berteriak.
Kemudian, pria tersebut memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk membuka baju namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak dan pria itu dengan secara paksa
membuka baju Korban Vidza Dwi Astariani dan kemudian memaksa memasukkan alat kelaminya ke korban.
Setelah diperkosa, Korban Vidza Dwi Astariani tak berdaya dan dalam keadaan tersebut pria itu meninggalkanya begitu saja.
Setelah kejadian pemerkosaan tersebut, sekitar pukul 23.15, Korban Vidza Dwi Astariani kemudian menelepon temannya, Edoardo Galan yang berada di Cafe Deoholic dan Edoardo Galan pun segera bergegas ke lokasi dimana Korban Vidza Dwi Astariani berada.
Sepuluh menit kemudian, sekitar pukul 23.25, Edoardo Galan tiba di tempat Korban Vidza Dwi Astariani berada dan ia menemukan Korban Vidza Dwi Astariani dalam keadaan menangis terisak-isak dan berantakan.
Kemudian, Edoardo Galan mengantarkan Korban Vidza Dwi Astariani pulang ke rumahnya korban dan mobil Korban Vidza Dwi Astariani ditangani Garda Otto yang sebelumnya telah dihubungi Edoardo Galan.
Sesampainya di rumah, sekitar pukul 23.40, Korban Vidza Dwi Astariani menelepon ayahnya, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M, dan dengan terisak-isak Korban Vidza Dwi Astariani menceritakan peristiwa yang baru saja dia alami.
Keesokan harinya, tanggal 13 September 2011, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M langsung datang dari Semarang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Korban Vidza Dwi Astariani dan menenangkan hati Korban Vidza Dwi Astariani serta mengatakan bahwa kejadian ini hanya boleh diketahui oleh keluarga dari pihak terdakwa saja karena Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. takut apabila orang lain tahu kasus ini akan menyebabkan aib keluarga yang dapat merusak nama baik
juga akan
mengganggu karir politik Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. sehingga mereka juga tidak berniat untuk mengusut ataupun mencari siapa laki-laki yang telah menodai Korban Vidza Dwi Astariani.
Bahwa Tanggal 15 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani merasa bahwa badannya lemah, mual, dan muntah di pagi hari.
Keesokan harinya, tanggal 16 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani memeriksa kondisi tubuhnya ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang ditemani temannya, Edoardo Galan.
Pada saat pemeriksaan, ia diperiksa oleh dr. Annisa Chaula, Sp.Og. dan ternyata hasil pemeriksaannya diketahui bahwa Korban Vidza Dwi Astariani telah hamil yang umur
kandungannya memasuki usia tiga minggu sehingga Korban Vidza Dwi Astariani pun langsung
memberitahukan
kehamilannya
itu
kepada
keluarganya
sehingga
keluarganya pun terkejut.
Pada
tanggal
17
Arfandi,S.H.,L.L.M.
Oktober
2011,
memerintahkan
di
rumah
Korban
Terdakwa, Vidza
Dwi
Terdakwa
Artha
Astariani
untuk
menggugurkan kandungannya tanpa diketahui anggota keluarga lain namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak karena ia khawatir hal tersebut justru bisa menimbulkan kerusakan pada rahimnya dan ia tidak ingin membunuh janin yang ada dalam kandungannya.
Kemudian mendengar alasan dari Korban Vidza Dwi Astariani, ayahnya semakin marah dan semakin memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk menggugurkan kandungannya namun Korban Vidza Dwi Astariani tetap tidak mau menggugurkan kandungannya sehingga Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani berkali-kali dan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. mengancam Korban Vidza Dwi Astariani dengan kekerasan jika ia tidak mau menggugurkan kandungannya.
Pada saat Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani, pembantu yang ada di rumah tersebut melihat kejadian itu.
Pada tanggal 1 November 2011, sekitar pukul 20.00 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani diantarkan oleh Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. ke rumah dokter kandungan di daerah Semarang dan dokter ini adalah kenalan ayahnya yang bernama dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. yang berpraktik di jalan Mawar Nomor 13, Semarang, dengan maksud menggugurkan kandungan dari Korban Vidza Dwi Astariani yang semakin hari semakin besar.
Sekitar pukul 20.15 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani sudah terbaring di atas tempat tidur ruang aborsi dan dokter tengah menanganinya.
Kemudian ditengah aborsi tersebut berlangsung, tiba-tiba datanglah puluhan polisi dari Polrestabes Semarang yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polrestabes, Kompol. Fajar Nuriawan S.H beserta warga sekitar tempat praktik dr. Ericha Veterina.
Setelah itu, dr. Ericha Veteriana, Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M, dan Korban Vidza Dwi Astariani dibawa oleh puluhan polisi ke Polrestabes Semarang.
----------------------Perbuatan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 346 KUHP----------------------------------
KEDUA
------------------- Bahwa ia Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo ------------------
pada tanggal 13 September 2011 atau pada suatu waktu tertentu pada bulan November yang bertempat di jalan Setia Budi No. 203 B, Semarang atau pada suatu tempat tertentu yang masih masuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, melakukan penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian yang dalam hal ini dilakukan terhadap anaknya yang bernama
Vidza Dwi Astariani yang dilakukan dengan cara-cara dan dalam keadaan berikut :
Bahwa pada tanggal 12 September 2011 sekitar pukul 22.17, Korban Vidza Dwi Astariani baru saja menyelesaikan tugas kelompok Sistem Administrasi Negara bersama teman-temannya, yaitu Edoardo Galan, Faradina Krislianita, Rizky Habibi, dan Agung Syahrizal.
Setelah menyelesaikan tugas kelompoknya di koridor kampus lantai 1 gedung A, Korban Vidza Dwi Astariani dan teman-temannya berpisah di parkiran kampus yang pada saat itu Korban Vidza Dwi Astariani mengenakan kemeja garis bewarna biru dan celana jeans hitam.
Setelah itu, sekitar pukul 22.23 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani langsung melaju bersama kendaraan kesayanganya mobil Honda Jazz merah dengan nomor polisi H 4815 ML dan langsung meninggalkan lapangan kampusnya menuju rumahnya yang beralamat di Jalan Kaliurang KM 8,5 Nomor 175, RT.04, RW.05, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Saat melewati Jalan Sidomuncul yang sepi dan gelap yang berjarak 500 meter dari pemukiman warga, tiba-tiba ban mobil sebelah kiri bagian belakang bocor karena
terkena paku sehingga Korban Vidza Dwi Astariani keluar dari mobil dan memeriksa bannya.
Setelah Mengetahui ban mobilnya bocor, Korban Vidza Dwi Astariani panik dan berusaha untuk mencari pertolongan dari warga sekitar.
Kemudian sekitar pukul 22.30 WIB, datanglah seorang pria yang berperawakan tinggi besar, berambut ikal, dan berkulit gelap serta menggunakan kaos berwarna biru dan celana jeans pendek mengendarai sepeda motor Jupiter MX dengan nomor polisi AB 6034 VZ dan berhenti di dekat Korban Vidza Dwi Astariani.
Kemudian, pria tersebut menawarkan diri untuk menolong memperbaiki ban mobilnya Korban Vidza Dwi Astariani dan Korban Vidza Dwi Astariani pun menerima tawaran pria tersebut karena pada saat itu hari sudah malam dan kondisi sekitar itu sepi.
Setelah itu tanpa Korban Vidza Dwi Astariani sadari, tiba-tiba pria tersebut mendekap Korban Vidza Dwi Astariani dari belakang dan menariknya ke semak- semak di dekat mobil Korban Vidza Dwi Astariani, tetapi Korban Vidza Dwi Astariani melakukan perlawanan dengan memberontak dan berteriak.
Kemudian, pria tersebut memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk membuka baju namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak dan pria itu dengan secara paksa membuka baju Korban Vidza Dwi Astariani dan kemudian memaksa memasukkan alat kelaminya ke korban.
Setelah diperkosa, Korban Vidza Dwi Astariani tak berdaya dan dalam keadaan tersebut pria itu meninggalkanya begitu saja.
Setelah kejadian pemerkosaan tersebut, sekitar pukul 23.15, Korban Vidza Dwi Astariani kemudian menelepon temannya, Edoardo Galan yang berada di Cafe Deoholic dan Edoardo Galan pun segera bergegas ke lokasi dimana Korban Vidza Dwi Astariani berada.
Sepuluh menit kemudian, sekitar pukul 23.25, Edoardo Galan tiba di tempat Korban Vidza Dwi Astariani berada dan ia menemukan Korban Vidza Dwi Astariani dalam keadaan menangis terisak-isak dan berantakan.
Kemudian, Edoardo Galan mengantarkan Korban Vidza Dwi Astariani pulang ke rumahnya korban dan mobil Korban Vidza Dwi Astariani ditangani Garda Otto yang sebelumnya telah dihubungi Edoardo Galan.
Sesampainya di rumah, sekitar pukul 23.40, Korban Vidza Dwi Astariani menelepon ayahnya, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M, dan dengan terisak-isak Korban Vidza Dwi Astariani menceritakan peristiwa yang baru saja dia alami.
Keesokan harinya, tanggal 13 September 2011, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M langsung datang dari Semarang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Korban Vidza Dwi Astariani dan menenangkan hati Korban Vidza Dwi Astariani serta mengatakan bahwa kejadian ini hanya boleh diketahui oleh keluarga dari pihak terdakwa saja karena Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. takut apabila orang lain tahu kasus ini akan menyebabkan aib keluarga yang dapat merusak nama baik
juga akan
mengganggu karir politik Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. sehingga mereka juga tidak berniat untuk mengusut ataupun mencari siapa laki-laki yang telah menodai Korban Vidza Dwi Astariani.
Bahwa Tanggal 15 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani merasa bahwa badannya lemah, mual, dan muntah di pagi hari.
Keesokan harinya, tanggal 16 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani memeriksa kondisi tubuhnya ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang ditemani temannya, Edoardo Galan.
Pada saat pemeriksaan, ia diperiksa oleh dr. Annisa Chaula, Sp.Og. dan ternyata hasil pemeriksaannya diketahui bahwa Korban Vidza Dwi Astariani telah hamil yang umur kandungannya memasuki usia tiga minggu sehingga Korban Vidza Dwi Astariani pun langsung
memberitahukan
kehamilannya
itu
kepada
keluarganya
sehingga
keluarganya pun terkejut.
Pada
tanggal
17
Arfandi,S.H.,L.L.M.
Oktober
2011,
memerintahkan
di
rumah
Korban
Terdakwa, Vidza
Dwi
Terdakwa
Artha
Astariani
untuk
menggugurkan kandungannya tanpa diketahui anggota keluarga lain namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak karena ia khawatir hal tersebut justru bisa menimbulkan kerusakan pada rahimnya dan ia tidak ingin membunuh janin yang ada dalam kandungannya.
Kemudian mendengar alasan dari Korban Vidza Dwi Astariani, ayahnya semakin marah dan semakin memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk menggugurkan kandungannya namun Korban Vidza Dwi Astariani tetap tidak mau menggugurkan kandungannya sehingga Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani berkali-kali dan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M.
mengancam Korban Vidza Dwi Astariani dengan kekerasan jika ia tidak mau menggugurkan kandungannya.
Pada saat Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani, pembantu yang ada di rumah tersebut melihat kejadian itu.
Pada tanggal 1 November 2011, sekitar pukul 20.00 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani diantarkan oleh Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. ke rumah dokter kandungan di daerah Semarang dan dokter ini adalah kenalan ayahnya yang bernama dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. yang berpraktik di jalan Mawar Nomor 13, Semarang, dengan maksud menggugurkan kandungan dari Korban Vidza Dwi Astariani yang semakin hari semakin besar.
Sekitar pukul 20.15 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani sudah terbaring di atas tempat tidur ruang aborsi dan dokter tengah menanganinya.
Kemudian ditengah aborsi tersebut berlangsung, tiba-tiba datanglah puluhan polisi dari Polrestabes Semarang yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polrestabes, Kompol. Fajar Nuriawan S.H beserta warga sekitar tempat praktik dr. Ericha Veterina.
Setelah itu, dr. Ericha Veteriana, Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M, dan Korban Vidza Dwi Astariani dibawa oleh puluhan polisi ke Polrestabes Semarang.
--------Perbuatan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP--------------- -ATAU KETIGA ------------------ Bahwa ia Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo -----------------
pada tanggal 13 September 2011 atau pada waktu tertentu pada bulan November yang bertempat di jalan Setia Budi No. 203 B, Semarang atau pada suatu tempat tertentu yang masih masuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, yang dalam hal ini
dilakukan terhadap anaknya yang bernama Vidza Dwi Astariani yang dilakukan dengan
cara-cara dan dalam keadaan berikut :
Bahwa pada tanggal 12 September 2011 sekitar pukul 22.17, Korban Vidza Dwi Astariani baru saja menyelesaikan tugas kelompok Sistem Administrasi Negara bersama teman-temannya, yaitu Edoardo Galan, Faradina Krislianita, Rizky Habibi, dan Agung Syahrizal.
Setelah menyelesaikan tugas kelompoknya di koridor kampus lantai 1 gedung A, Korban Vidza Dwi Astariani dan teman-temannya berpisah di parkiran kampus yang pada saat itu Korban Vidza Dwi Astariani mengenakan kemeja garis bewarna biru dan celana jeans hitam.
Setelah itu, sekitar pukul 22.23 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani langsung melaju bersama kendaraan kesayanganya mobil Honda Jazz merah dengan nomor polisi H 4815 ML dan langsung meninggalkan lapangan kampusnya menuju rumahnya yang beralamat di Jalan Kaliurang KM 8,5 Nomor 175, RT.04, RW.05, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Saat melewati Jalan Sidomuncul yang sepi dan gelap yang berjarak 500 meter dari pemukiman warga, tiba-tiba ban mobil sebelah kiri bagian belakang bocor karena terkena paku sehingga Korban Vidza Dwi Astariani keluar dari mobil dan memeriksa bannya.
Setelah Mengetahui ban mobilnya bocor, Korban Vidza Dwi Astariani panik dan berusaha untuk mencari pertolongan dari warga sekitar.
Kemudian sekitar pukul 22.30 WIB, datanglah seorang pria yang berperawakan tinggi besar, berambut ikal, dan berkulit gelap serta menggunakan kaos berwarna biru dan celana jeans pendek mengendarai sepeda motor Jupiter MX dengan nomor polisi AB 6034 VZ dan berhenti di dekat Korban Vidza Dwi Astariani.
Kemudian, pria tersebut menawarkan diri untuk menolong memperbaiki ban mobilnya Korban Vidza Dwi Astariani dan Korban Vidza Dwi Astariani pun menerima tawaran pria tersebut karena pada saat itu hari sudah malam dan kondisi sekitar itu sepi.
Setelah itu tanpa Korban Vidza Dwi Astariani sadari, tiba-tiba pria tersebut mendekap Korban Vidza Dwi Astariani dari belakang dan menariknya ke semak- semak di dekat mobil Korban Vidza Dwi Astariani, tetapi Korban Vidza Dwi Astariani melakukan perlawanan dengan memberontak dan berteriak.
Kemudian, pria tersebut memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk membuka baju namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak dan pria itu dengan secara paksa membuka baju Korban Vidza Dwi Astariani dan kemudian memaksa memasukkan alat kelaminya ke korban.
Setelah diperkosa, Korban Vidza Dwi Astariani tak berdaya dan dalam keadaan tersebut pria itu meninggalkanya begitu saja.
Setelah kejadian pemerkosaan tersebut, sekitar pukul 23.15, Korban Vidza Dwi Astariani kemudian menelepon temannya, Edoardo Galan yang berada di Cafe Deoholic dan Edoardo Galan pun segera bergegas ke lokasi dimana Korban Vidza Dwi Astariani berada.
Sepuluh menit kemudian, sekitar pukul 23.25, Edoardo Galan tiba di tempat Korban Vidza Dwi Astariani berada dan ia menemukan Korban Vidza Dwi Astariani dalam keadaan menangis terisak-isak dan berantakan.
Kemudian, Edoardo Galan mengantarkan Korban Vidza Dwi Astariani pulang ke rumahnya korban dan mobil Korban Vidza Dwi Astariani ditangani Garda Otto yang sebelumnya telah dihubungi Edoardo Galan.
Sesampainya di rumah, sekitar pukul 23.40, Korban Vidza Dwi Astariani menelepon ayahnya, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M, dan dengan terisak-isak Korban Vidza Dwi Astariani menceritakan peristiwa yang baru saja dia alami.
Keesokan harinya, tanggal 13 September 2011, Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M langsung datang dari Semarang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Korban Vidza Dwi Astariani dan menenangkan hati Korban Vidza Dwi Astariani serta mengatakan bahwa kejadian ini hanya boleh diketahui oleh keluarga dari pihak terdakwa saja karena Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. takut apabila orang lain tahu kasus ini akan menyebabkan aib keluarga yang dapat merusak nama baik
juga akan
mengganggu karir politik Terdakwa Artha Arfandi, S.H.,L.L.M. sehingga mereka juga tidak berniat untuk mengusut ataupun mencari siapa laki-laki yang telah menodai Korban Vidza Dwi Astariani.
Bahwa Tanggal 15 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani merasa bahwa badannya lemah, mual, dan muntah di pagi hari.
Keesokan harinya, tanggal 16 Oktober 2011, Korban Vidza Dwi Astariani memeriksa kondisi tubuhnya ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang ditemani temannya, Edoardo Galan.
Pada saat pemeriksaan, ia diperiksa oleh dr. Annisa Chaula, Sp.Og. dan ternyata hasil pemeriksaannya diketahui bahwa Korban Vidza Dwi Astariani telah hamil yang umur kandungannya memasuki usia tiga minggu sehingga Korban Vidza Dwi Astariani pun langsung
memberitahukan
kehamilannya
itu
kepada
keluarganya
sehingga
keluarganya pun terkejut.
Pada
tanggal
17
Arfandi,S.H.,L.L.M.
Oktober
2011,
memerintahkan
di
rumah
Korban
Terdakwa, Vidza
Dwi
Terdakwa
Artha
Astariani
untuk
menggugurkan kandungannya tanpa diketahui anggota keluarga lain namun Korban Vidza Dwi Astariani menolak karena ia khawatir hal tersebut justru bisa menimbulkan kerusakan pada rahimnya dan ia tidak ingin membunuh janin yang ada dalam kandungannya.
Kemudian mendengar alasan dari Korban Vidza Dwi Astariani, ayahnya semakin marah dan semakin memaksa Korban Vidza Dwi Astariani untuk menggugurkan kandungannya namun Korban Vidza Dwi Astariani tetap tidak mau menggugurkan kandungannya sehingga Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani berkali-kali dan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. mengancam Korban Vidza Dwi Astariani dengan kekerasan jika ia tidak mau menggugurkan kandungannya.
Pada saat Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. menampar Korban Vidza Dwi Astariani, pembantu yang ada di rumah tersebut melihat kejadian itu.
Pada tanggal 1 November 2011, sekitar pukul 20.00 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani diantarkan oleh Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. ke rumah dokter kandungan di daerah Semarang dan dokter ini adalah kenalan ayahnya yang bernama dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. yang berpraktik di jalan Mawar Nomor 13, Semarang, dengan maksud menggugurkan kandungan dari Korban Vidza Dwi Astariani yang semakin hari semakin besar.
Sekitar pukul 20.15 WIB, Korban Vidza Dwi Astariani sudah terbaring di atas tempat tidur ruang aborsi dan dokter tengah menanganinya.
Kemudian ditengah aborsi tersebut berlangsung, tiba-tiba datanglah puluhan polisi dari Polrestabes Semarang yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polrestabes, Kompol. Fajar Nuriawan S.H beserta warga sekitar tempat praktik dr. Ericha Veterina.
Setelah itu, dr. Ericha Veteriana, Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M, dan Korban Vidza Dwi Astariani dibawa oleh puluhan polisi ke Polrestabes Semarang.
--------Perbuatan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,L.L.M. bin Oerip Sumahardjo tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP----------- -
Menimbang, bahwa Tim Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan Keberatan atas Surat Dakwaan Penuntut Umum dengan Nomor Register Perkara 011/PID.B/2011/X , yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 2012 yang pada pokoknya mengajukan permohonan sebagai berikut :
KEBERATAN TERHADAP SURAT DAKWAAN PENUNTUT UMUM
1. SURAT DAKWAAN OBSCUUR LIBEL (DAKWAAN KABUR) A. DAKWAAN PENUNTUT UMUM TIDAK CERMAT
Dalam Nota keberatan yang kami ajukan adalah berkenaan dengan isi Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu berkaitan dengan persyaratan materiil sebagaimana diharuskan dalam Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, khususnya yang mensyaratkan bahwa dakwaan haruslah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai ti ndak pidana yang didakwakan. Bahwa suatu Surat Dakwaan haruslah memenuhi 2 syarat, yaitu: a. Syarat formal, yaitu : Bahwa Surat Dakwaan harus menyebutkan identitas lengkap dari Terdakwa, bahwa Surat Dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penuntut Umum. b. Syarat materiil, yaitu : Bahwa Surat Dakwaan harus memuat dan menyebutkan waktu, tempat delik dilakukan. Kemudian Surat Dakwaan haruslah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap tentang tidak pidana yang didakwakan.
Berkenaan dengan ketentuan Pasal 143 Ayat (2) KUHAP diatas, izinkan kami selaku Penasihat Hukum untuk mengutip buku Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung R.I. Tahun 1985 : hal. 14-16, dirumuskanlah pengertian dari cermat, jelas, dan lengkap adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan cermat adalah : Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, Tahun 2001, halaman 211, mengartikan cermat dengan: seksama, teliti. Kata teliti diartikan dengan kata meneliti. Oleh karena itu kata cermat tidak lain adalah tindakan untuk meneliti. Berdasarkan Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Tahun 1985 halaman 14 menyatakan yang dimaksud dengan cermat adalah : Ketelitian Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi Terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya Surat Dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, misalnya antara lain : apakah adanya suatu aduan pada delik aduan, apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat, apakah Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan perbuatan tersebut, apakah tindak pidana tersebut sudah atau belum daluarsa, apakah tindak pidana yang didakwakan itu nebis in idem atau tidak. Pada pokoknya kepada Jaksa Penuntut Umum dituntut untuk bersikap
teliti dan waspada terhadap semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan penuntutan perkara di muka siding pengadilan.
Surat Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum tidak cermat, sebab tidak menguraikan bagaimana perbuatan pidana yang didakwakan kepada Terdakwa sesuai dengan yang ditentukan dalam Undang-undang atau pasal-pasal yang bersangkutan. Bahkan Penuntut Umum justru menguraikan fakta-fakta perbuatan yang tidak sesuai dengan perbuatan dari pasal yang dilanggar dalam Dakwaan, yaitu :
Dalam Dakwaan Kesatu, Penuntut umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 346 KUHP. Namun kami melihat dalam penguraian faktanya, Penuntut Umum tidak secara cermat dalam menguraikan bagaimana cara Terdakwa, secara melawan hukum mencoba menggugurkan kandungan Vidza Dwi Astariani. Hal ini terlihat tidak cermatnya Penuntut Umum dalam menguraikan bagaimana cara Terdakwa menggugurkan kandungan Vidza Dwi Astariani dan bagaimana proses pengguguran tersebut berlangsung. Disamping itu dalam Dakwaan Penuntut Umum juga tidak menguraikan secara cermat alat seperti apakah yang digunakan dalam proses aborsi seperti yang didakwakan Penuntut Umum.
Kemudian dalam Dakwaan Kedua, Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 352 ayat (1) KUHP. Dalam penguraian faktanya, Penuntut Umum tidak menguraikan secara cermat dan teliti jumlah tamparan yang dilakukan oleh Terdakwa dan jika dilakukan berkali-kali seperti yang didakwakan Penuntut Umum bagaimana mungkin Saudara Vidza Dwi Astariani tidak mengalami luka ataupun memar sedikit pun. Bahwa Penuntut Umum tidak menjelaskan akibat yang pasti dengan adanya tamparan yang dilakukan oleh Terdakwa. Dan jika dilihat dalam rumusan pasal dari Pasal 352 ayat 1 KUHP itu merujuk pada Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan dengan rencana dan akibat dari penganiayaan tersebut serta Pasal 356 mengenai pemidanaan yang telah diatur dalam pasal-pasal sebelumnya. Hal tersebut tidak dijelaskan oleh Penuntut Umum
mengenai adanya korelasi dari pasal-pasal yang saling merujuk diatas. Disini terlihat jelas bahwa Penuntut Umum tidak cermat dalam membuat Surat Dakwaannya.
Dalam Dakwaan Ketiga, Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam penguraian faktanya, Penuntut Umum tidak cermat dan teliti dalam menguraikan bagaimana Terdakwa melakukan pemaksaan seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Serta bagaimana mungkin seorang ayah bahkan mengancam putrinya dengan kekerasan jika tidak mau melakukan aborsi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Dakwaan Saudara Penuntut Umum tidak cermat terhadap uraian-uraian yang didakwakan.
B. DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM TIDAK JELAS Yang dimaksud Jelas adalah : Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka Tahun 2001 halaman 465, mengartikan jelas sebagai berikut : terang, nyata atau
gambling, tegas tidak ragu-ragu atau tidak bimbang. Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Tahun 1985 halaman 15 menyatakan :
Jelas adalah Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan jangan sekali-kali memadukan dalam uraian Dakwaan yang hanya menunjuk pada uraian Dakwaan sebelumnya, sedangkan unsur-unsur berbeda.
Surat Dakwaan No.Reg.Perk : PDM-01/SEMARANG/EP.1/11/2011 tertanggal 28 Desember 2011. Tidak menguraikan bagaimana tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa Artha
Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo dilakukan, tetapi hanya menguraikan secara umum tindak pidana tersebut dengan menyebutkan pasal-pasal yang didakwakan. Bahkan menarik konklusi tanpa didasari oleh fakta-fakta yang mendukung bagaimana perbuatan yang didakwakan tersebut diperbuat. Ketidakjelasan Surat Dakwaan dari Penuntut Umum antara lain :
Dalam Dakwaan Kesatu, Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 346 KUHP. Dalam penguraian faktanya Penuntut Umum tidak jelas menguraikan unsur bagaimana Terdakwa dikatakan melawan hukum mencoba menggugurkan kandungan Vidza Dwi Astariani. Disini Penuntut Umum tidak menjelaskan secara gamblang bahwa Terdakwa
mencoba menggugurkan kandungan Vidza Dwi Astariani. Penuntut Umum hanya menduga-duga bahwa Terdakwa adalah orang yang mencoba menggugurkan kandungan Vidza Dwi Astariani. Penuntut Umum ragu-ragu dan tidak tegas.
Disini Terdakwa merupakan ayah kandung dari Vidza Dwi Astariani. Sehingga menimbulkan ketidakjelasan mengenai mengapa (motif) Terdakwa mencoba menggugurkan kandungan anaknya sendiri yang notabene menjadi cucunya kelak. Dan penahanan Terdakwa pada akhirnya menyebabkan kerugian karena Terdakwa selaku Ketua DPRD Kota Semarang tidak bisa menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Apabila hal ini ditinjau dari sisi kriminologi, maka motif yang membuat Terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum sangat lemah. Perlu kita pahami bersama bahwa untuk menganalisa suatu perbuatan pidana, maka kita harus dapat menganalisanya secara komprehensif, bukan hanya dari segi normative saja, tapi lebih dari itu juga harus dikaji dari aspek sosiologi hukum.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Dakwaan Saudara Penuntut Umum tidak jelas terhadap uraian-uraian yang didakwakan.
C. DAKWAAN PENUNTUT UMUM TIDAK LENGKAP Yang dimaksud dengan lengkap adalah : Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, Tahun 2001, halaman 660 menguraikan kata lengkap diartikan sebagai
komplit, genap dan tidak ada kekurangan. Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Tahun 1985 halaman 16 menyatakan bahwa :
Lengkap adalah bahwa Surat Dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan Undang-undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materiilnya secara tegas dalam Dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut Undang-undang.
Surat Dakwaan Reg. Perk. : PDM-01/SEMARANG/EP.1/11/2011 tertanggal 28 Desember 2011 unsur-unsur delik tidak diuraikan secara komprehensif. Jaksa Penuntu Tmum hanya menguraikan beberapa unsur sedangkan unsur yang lain tidak disebutkan. Dalam Dakwaan Penuntut Umum dituliskan fakta-fakta yang tidak relevan dengan unsur yang didakwakan sedangkan hal-hal yang bersifat substantive tidak diuraikan.
Dalam Dakwaan, Penuntut Umum ketika menguraikan kesesuaian antara rumusan delik dan fakta sebenarnya di lapangan tidak lengkap. Antara lain tidak lengkap menguraikan fakta mengenai jika Terdakwa adalah yang mencoba menggugurkan kandungan tersebut. Penuntut Umum hanya menguraikan fakta-fakta praduga-praduga atau kesimpulan, tidak menguraikan dengan lengkap bagaimana kesesuaian antara rumusan delik dan fakta sebenarnya di lapangan, dan tidak diuraikan juga bagaimana cara Terdakwa melakukan perbuatan yang ditentukan Undang-undang secara lengkap. Dalam Dakwaan, Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 346 KUHP. Namun kami melihat dalam penguraian faktanya, Penuntut Umum tidak secara cermat, jelas dan lengkap dalam menguraikan bagaimana cara Terdakwa, telah dengan tanpa hak atau secara melawan hukum mencoba menggugurkan kandungan putrinya sebagaimana didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu, dan juga tidak diuraikan bagaimana Terdakwa telah dengan tanpa hak atau melawan hukum yakni bagaimana proses aborsi tersebut berlangsung serta alat-alat yang digunakan untuk menggugurkan kandungan tersebut. Dan dalam Dakwaan Penuntut Umum tidak dijelaskan kapasitas Terdakwa, apakah sebagai pleger (melakukan tindak pidana), medepleger (turut melakukan tindak pidana), ataukah sebagai doenpleger (menyuruh melakukan tindak pidana). Selain itu yang kami kritisi disini adalah penerapan dari Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP, dimana konsekuensinya dari didakwakannya pasal penyertaan ini adalah Penuntut Umum harus secara cermat, jelas dan lengkap dalam menguraikan bentuk penyertaan antara Terdakwa dengan dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. Namun sangat disayangkan Penuntut Umum tidak dapat menguraikan bentuk penyertaan yang dilakukan oleh Terdakwa.
Berdasarkan uraian di atas, Tim Penasihat Hukum sudah cukup membuktikan bahwa Surat Dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum tidaklah cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Sehingga dengan uraian tersebut, Dakwaan Penuntut Umum dapatlah dinyatakan Obscuur Libel (dakwaan kabur) dan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 143 KUHAP.
Oleh karena itu akan menjadi adil apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah BATAL DEMI HUKUM.
2. DAKWAAN PENUNTUT UMUM EROR IN PERSONA
Dalam dakwaan Penuntut Umum disebutkan bahwa Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,LL.M. bin
Oerip Sumahardjo yang melakukan perbuatan Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 346 KUHP. Perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa yaitu “ telah dengan sengaja mencoba menggugurkan atau mematikan
kandungan dan telah melakukan penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian serta telah melawan hukum memaksa
orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan.
Akan tetapi disini dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan ( an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat lain, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild) disini berlaku asas tiada pidana tanpa
kesalahan (nulla poena sine culpa). Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut sebagai sculdstraafrecht artinya bahwa untuk penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan dari si pembuat.Dalam dakwaan Penuntut Umum disebutkan bahwa Saudara Artha Arfandi,S.H.,LL.M. adalah orang yang mencoba menggugurkan. Hal ini dijelaskan dalam dakwaan Penuntut Umum ketika saudara Artha dipergoki oleh polisi dari Polrestabes Semarang tengah berada di lokasi praktik aborsi dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. Disini terlihat jelas bahwa Terdakwa tidak mempunyai kesalahan karena Artha Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo hanya mengantarkan putrinya untuk memeriksa kandungannya, serta yang mencoba menggugurkan kandungan dari Vidza Dwi Astariani menurut dakwaan Penuntut Umum adalah dr.Ericha Veteriana. Sehingga disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa ). Seharusnya disini yang menjadi terdakwa adalah Saudara dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. dikarenakan Saudara dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. lah yang tertangkap tangan sedang melakukan pengguguran seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Jadi disini jelaslah bahwa Terdakwa tidak melakukan tindakan yang didakwakan Penuntut Umum, dan lagi Terdakwa bukanlah orang yang berkompetensi dalam menggugurkan ataupun mematikan karena disini Terdakwa adalah seorang Sarjana Hukum yang brprofesi sebagai Ketua DPRD bukanlah seorang dokter dan Terdakwa ini tidak lain adalah ayah dari korban, bagaimana mungkin seorang ayah tega menyakiti putri kandungnya sendiri?. Apabila memang benar Terdakwa dalam hal ini yang melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut, tentunya diperlukan fakta-fakta yang mendukung. Namun didalam dakwaannya, Penuntut Umum tidak menjelaskan secara terperinci adanya suatu hubungan sebab akibat seperti apa yang dilakukan si Terdakwa, sehingga dalam uraian dakwaannya tidak cukup fakta yang mengarah pada Terdakwa. Berdasarkan uraian di atas, Tim Penasihat Hukum sudah cukup membuktikan bahwa Surat Dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum tidaklah tepat ditujukan kepada Terdakwa Artha
Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo Sehingga dengan uraian tersebut, Dakwaan Penuntut Umum dapatlah dinyatakan error in persona.
TENTANG SPLITSING
Perkara tidak seharusnya dipisah (splitsing) Kami berpendapat bahwa Asas Persamaan Dalam Hukum (equality before the law) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Penuntut Umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa tindak pidana telah dilakukan tak hanya oleh Artha Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo namun juga dr. Ericha Veteriana,Sp.Og. Namun Penuntut Umum justru tidak memperlakukan mereka turut serta (Medplegen) secara adil. Penuntut Umum telah melakukan splitsing terhadap perkara dugaan tindak Pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih secara bersama-sama (penyertaan) dan menjadikan pelaku lain sebagai pelaku terhadap pelaku lainnya. Padahal Penuntut Umum dengan yakin menyatakan bahwa telah terjadi penyertaan, namun bukannya menggabungkannya menjadi satu berkas perkara, Penuntut Umum justru memisahkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Penuntut Umum ragu-ragu apakah para peserta tindak pidana memang secara bersama-sama melakukan tindak pidana. Dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta (Medplegen) karena bagaimana mungkin seorang pelaku beserta terbukti melakukan perbuatan. Menurut Prof.Dr.Indrianto Seno Adji bahwa semestinya para pelaku peserta diadili sekaligus dan perkaranya tidak dipisah-pisah. Pemisahan perkara menimbulkan putus dan yang tidak sinkron satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan suatu ketidakadilan.
Prof.Mr.Dr.A.Z Abidin Farid menyatakan bahwa sifat khusus turut melakukan ( medplegen), yaitu perbuatan-perbuatan pelaksanaan dan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik merupakan
suatu
kesatuan
yang
mewujudkan
delik,
sehingga
tiap-tiap
peserta
saling
bertanggungjawab sesame pelaku peserta (accessoiriteit). Jika perkara dipisah-pisah (splitsing) dan diadili sendiri-sendiri, lalu masing-masing Terdakwa bergantian menjadi saksi terhadap pelaku lain, padahal mereka telah melakukan delik penyertaan, maka hal tersebut melanggar dasar dan sendi Hukum Acara Pidana Indonesia yang bersifat accussatoir yang berarti kita kembali pada zaman penjajahan yang Hukum Pidananya bersifat inquisatoir. Prof.Dr.Andi Hamzah menyatakan bahwa pada prinsipnya para pelaku peserta yang disebut dalam surat dakwaan Penuntut Umum, harus diadili bersama-sama. Pemisahan perkara (splitsing) dibolehkan misalnya apabila salah satu peserta melarikan diri dan belum tertangkap. Yang tidak dibenarkan apabila para pelaku peserta (medeplegers) saling menjadi saudara satu sama lain.
Dengan demikian tindakan Penuntut Umum yang melakukan splitsing perkara merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama hak Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo yang didudukkan sebagai Terdakwa yang dikenal sebagai self-incrimination. Selain itu tindakan melakukan splitsing perkara merupakan pelanggaran terhadp Pasal 168 huruf c KUHAP (UU No.8 Tahun 1981) yang melarang orang bersama-sama sebagai Terdakwa (medepleger) menjadi
saksi. Pemisahan perkara (splitsing) ini juga telah melanggar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) sebagaimana diatur dalam pasal 27 UUD 1945.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, bersama ini kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan permohonan agar Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenan untuk memberikan Putusan Sela dengan amar sebagai berikut :
PRIMAIR 1. Menerima dan mengabulkan segala eksepsi atau keberatan Terdakwa Artha Arfandi,S.H.,LL.M. bin Oerip Sumahardjo untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, oleh karena itu Surat Dakwaan tersebut tidak dapat diterima (Obscurr Libel) ; 3. Menyatakan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Error in Persona 4. Biaya dibebankan kepada Negara.
Atau
SUBSIDIAIR Apabila Majelis Hakim berpendapat lain maka kami mohon agar diberikan putusan yang seadil-adilnya, demi tegaknya keadilan berdasarkan hokum yang berlaku dan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menimbang, bahwa Keberatan dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa pada dasarnya mempermasalahkan 2 (dua) hal, yaitu :
1. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum “Obscuure Libel” (dakwaan kabur) 2. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum “Eror in Persona”
Menimbang, bahwa terhadap keberatan atau eksepsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa tersebut, Penuntut Umum telah pula mengajukan tanggapan yang dibacakan di muka persidangan pada hari Rabu, 2 Desember 2011 yang pada pokoknya berkesimpulan untuk mengajukan permohonan sebagai berikut : 1. Tetap menerima Surat Dakwaan Penuntut Umum sebagai dasar dalam pemeriksaan dan mengadili perkara atas nama Terdakwa. 2. Melanjutkan persidangan ini untuk memeriksa dan mengadili perkara atas nama Terdakwa.
Menimbang, bahwa setelah mempelajari dan memperhatikan Tanggapan Penuntut Umum, maka terhadap Keberatan / Eksespsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim akan mempertimbangkan dengan uraian sebagai berikut :
Menimbang, bahwa keberatan dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum
“Eror in Persona”
karena dakwaan tersebut tidak
cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Menimbang, bahwa Surat Dakwaan dalam proses pidana adalah sebagai dasar pemeriksaan sidang pengadilan, dasar pembuktian, dasar tuntutan pidana, dasar pembelaan bagi Terdakwa dan merupakan dasar penilaian serta dasar putusan pengadilan. Dan tujuan utama dari Surat Dakwaan itu adalah untuk menetapkan secara konkret/nyata tentang orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu pula. Oleh karena itu, Pasal 143 ayat (2) KUHAP menghendaki pencantuman identitas lengkap terdakwa, uraian cermat, jelas, dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan serta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh Terdakwa. Meskipun Undang-Undang menghendaki perumusan secara cermat, jelas, dan lengkap, tetapi KUHAP sendiri tidak mengatur bagaimana suatu uraian tindak pidana dalam Surat Dakwaan ini sebagai telah cermat, jelas, dan lengkap atau tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Menimbang, bahwa dalam buku Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 14-16 dirumuskan perumusan cermat, jelas, dan lengkap tersebut sebagai berikut :
Bahwa yang dimaksud dengan “cermat” adalah ketelitian Penuntut Umum dalam
mempersiapkan Surat Dakwaan yang didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku bagi Terdakwa serta tidak terdapat kekurangan dan/atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya Surat Dakwaan atau tidak dapat dibuktikan.
Bahwa yang dimaksud dengan “jelas” adalah Penuntut Umum harus mampu
merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan.
Bahwa yang dimaksud dengan “lengkap” adalah Surat Dakwaan harus mencakup
semua unsur-unsur yang ditentukan Undang-Undang secara lengkap.
Menimbang, bahwa menurut Prof. A. Karim Nasution, S.H., seorang mantan Jaksa pada Kejaksaan Agung RI, dalam bukunya Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, (CV. Pantjura Tudju, Jakarta, Cetakan ke-2,1981) pada halaman 110 antara lain menyatakan bahwa Surat Dakwaan sudah dapat dikatakan lengkap apabila telah memuat unsur-unsur pidana dan uraian kronologi peristiwa yang dilakukan Terdakwa, Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya telah menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Penuntut Umum dalam Surat D akwaannya telah menyebutkan unsur-unsur tindak pidana dan uraian kronologi peristiwa yang dilakukan oleh Terdakwa dengan baik dan lengkap.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini, Penuntut Umum telah cermat dalam mempersiapkan Surat Dakwaannya sehingga tidak terdapat kekurangan dan/atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya Surat Dakwaan.
Menimbang, bahwa dalam dakwaan Penuntut Umum telah dirumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan dan dengan memandukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) y ang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan serta menentukan dengan jelas pihak mana yang menjadi Terdakwa dalam dakwaannya.
Menimbang, bahwa dalam dakwaannya Penuntut Umum telah menguraikan fakta-fakta dan dikaitkan dengan unsur-unsur yang didakwakannya, sehingga Surat Dakwaan Penuntut Umum telah memenuhi kriteria lengkap.
Menimbang, bahwa materi dan uraian diatas dapat dikatakan bahwa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya telah memenuhi syarat materiil Surat Dakwaan, yaitu uraian yang cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakannya serta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh Terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Menimbang, bahwa oleh dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini telah memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil (Pasal 143 ayat (2) KUHAP), maka keberatan dari tim Penasihat Hukum Terdakwa tidak berdasar dan harus di tolak.
Menimbang, karena keberatan dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa tidak berdasar dan harus ditolak maka pemeriksaan terhadap perkara ini dilanjutka n.
Menimbang, berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim berkesimpulan untuk menjatuhkan Putusan Sela.
Mengingat, Pasal 84 ayat (2), Pasal 156 ayat (1), Pasal 143 ayat (2) KUHAP serta Peraturanperaturan lain dari Undang-Undang yang berhubungan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Menyatakan menolak Keberatan dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa untuk seluruhnya: 2. Menyatakan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum dengan Nomor Register Perkara PDM01/SEMARANG/EP.1/11/2011 yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 2012 dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan dalam perkara ini : 3. Memerintahkan untuk melanjutkan persidangan atas nama Terdakwa Artha Afandi, S.H.,L.L.M. bin Oerip Sunahardjo 4. Menentukan biaya dalam perkara ini setelah putusan akhir.
Demikianlah diputuskan pada hari Jumat, 6 Januari 2012 dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Negeri Semarang dengan Amanda Rizky Hutama, S.H.,M.Hum. selaku Hakim Ketua didampingi Ludia Imanuella, S.H.,M.H , Dwita Ayunda Arif, S.H.,M.H. masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan pada hari Senin, 9 Januari
2012
pada persidangan yang
dinyatakan terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis tersebut, dan dibantu oleh Navia Nikmaturahmah, S.H. sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Semarang dihadiri oleh Budi Evantri Sianturi. S.H.,M.H. dan Mokoari Simamora, S.H.,M.H. selaku Penuntut Umum Terdakwa dan Tim Penasihat Terdakwa.
Semarang, 6 Januari 2012
Hakim Angotta I
Hakim Ketua
Ludia Imanuella, S.H.,M.H
Amanda Rizky Hutama, S.H.,M.H
NIP. 128 004 124
NIP. 128 004 165
Hakim Angotta II
Dwita Ayunda Arif, S.H.,M.H NIP. 128 004 106
Panitera Pengganti
Navia Nikmaturahmah, S.H.,M.H NIP. 128 004 178