BAB 1 PEMBAHASAN Rangkuman mata kuliah sosiolinguistik 1. Mengkaji istilah sosiolinguistik dan sosiologi bahasa A.Pengertian Sosiolinguistik Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978:94). Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktorfaktor sosial itu dengan variasi bahasa. Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa. 1.Kajian Sosiolinguistik ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: 1) identitas sosial dari penutur, 2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, 3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi. 4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, 5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, 6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, 7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5). 2.Kegunaan Sosiolinguistik Pengetahuan sosiolinguistik dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, 1
ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika berbicara dengan orang tertentu.
3.Hubungan Sosiologi Dengan Linguistik Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan individu, ataupun sebagai kelompok masyarakat. Objek kajian sosiologi ialah proses hubungan antar manusia dengan masyarakat (Aslinda: 2002:12) Sumarsono dan Piana (2002:5): Sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat, dan tingkah laku masyarakat yang berinteraksi menggunakan bahasa (dalam masyarakat ada berbagai lapisan: pengusaha, pejabat, rakyar jelata..) tentulah bahasa yang digunakan bervariasi (sosiolinguistik). Sumarsono dan Paina (2002:6), keeretan hubungan sosiolinguistik dengan sosiologi dapat kita lihat dalam penggunaan metode penelitian. Misalnya, dalam pengumpulan data penelitian, baik sosiologi maupun sosiolinguistik menggunakan metode wawancara, rekaman,pengumpulan dokumen, dan sebagainya, sedangkan dalam pengolahan data menggunakan metode deskriptif. PENELITIAN DESKRIPTIF Yaitu, memebuat pendeskripsian secara sistematis, faktual, akurat, menegenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Contoh: a. Penelitian tentang alih kode dan campur kode pada bahasa presenter acara music di televise b. Penelitian tentang strategi mengungkapkan opini para mahasiswa dalam acara diskusi atau seminar akademik. 4.Variasi Bahasa Nababan (199:2), bahwa sosiolinguistik digunakan untuk membahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau sosial. Suwito (1982-104) menyatakan, bahwa variasi bahasa timbul karena penutur mengetahui akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dan konteks sosial. Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut. Chaer& Agustina(2004) mengatakan bahwa variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman social penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. 5.Sosiolinguistik dan sosiologi Bahasa Sosiolinguistik berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti : 2
a.deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek dalam hubungan budaya tertentu; b.pilihan pemakaian bahasa atau dialek tertentu dalam budaya tertentu yang dilakuakn penutur; c.topik; dan d.latar belakang pembicaraan. Bahasa lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling timbal balik dengan bahasa atau dialek yang dibicarakan: perkembangan bilingualisme, perkembangan pembinaan bahasa, dan perencanaan bahasa-bahasa di negara berkembang. B.Pengertian Sosiologi Bahasa Pengertian sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat. Sosiologi juga bisa berarti ilmu tentang strutur sosial, proses sosial dan perubahannya. Sosiologi merupakan Ilmu Sosial yang objeknya adalah masyarakat. Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata socius (bahasa Latin: teman) dan logos (bahasa Yunani: kata, perkataan, pembicaraan). Jadi secara harfiah, sosiologi adalah membicarakan, memperbincangkan teman pergaulan. Istilah ‘sosiologi’ pertama kali digunakan oleh Auguste Comte pada tahun 1839, seorang ahli filsafat kebangsaan Prancis. Auguste Comte adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai pendukatan khusus untuk mempelajari masyarakat. Selain itu, dia juga memberi sumbangan yang begitu penting terhadap sosiologi. Oleh karena itu para ahli sepakat untuk menyebutnya sebagai ‘Bapak Sosiologi’. Mengapa? Memang harus diakui bahwa Auguste Comte sangat berjasa terhadap ilmu sosiologi. Pitirim A. Sorokin menjelaskan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal seperti: Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial. Misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan gerak masyarakat dengan politik. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial. Misalnya gejala geografis dan gejala biologis. Ciri-ciri umum daripada semua jenis gejala-gejala sosial. Ilmu Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. C.
Manfaat Sosiolinguistik Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di 3
masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga meberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakt melalui “kaca mata” sosiolinguistik.
Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu “mencair” dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidangbidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.
2.Mengkaji bahasa dan masyarakat A.BahasadanTuturan Bahasa adalah alat komunikasi antarpenutur untuk menyampaikan ide atau informasi. Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu menggunakan bahasa dalam berinteraksi sosial. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang berterima artinya betapapun tuturan atau ujaran yang disampaikan secara gramatikal salah, namun ia bisa dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara. Namun sebaliknya, seorang pembelajar bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, penggunaan ungkapan ketika berinteraksi sosial di masyarakat akan cenderung berbeda dari bahasa ibunya, bahasa yang digunakan sehari-hari. Terkadang, seorang pembelajar bahasa Inggris akan mematuhi aturan tata bahasa untuk berkomunikasi secara tidak formal sekalipun. Padahal, manakala aspek keformalan yang digunakan secara ketat, sulit sekali dibedakan antara bahasa yang digunakan di dalam forum-forum resmi dan bahasa yang digunakan di dalam situasi takresmi. Memang, bahasa tidak hanya digunakan untuk menyatakan sebuah proposisi yang relevan sebagaimana deskripsi dunianya. .
B.Repertoire bahasa Istilah repertoire di pakai untuk semua bahasa dan ragam bahasa yang di ketahui dan di pakai seseorang dalam pergaulan, pekerjaan, dan urusan- urusannya. Ternyata bahwa setiap orang menguasai dan menggunaan banyak dari ragam bahasa ibu (bahasa pertamanya). Kemampuan komunikatif seseorang sangat bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa dengan berbagai variasinya atau ragamnya dan yang lain mungkin menguasai selain bahasa ibu yaitu bahasa lain atau bahasa asing yang diperoleh sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya. 4
Jadi, semua bahasa beserta ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penuturnya, ini disebut juga dengan repertoire atau dengan istilah verbal repertoire Dalam Verbal repertoire sebenarnya ada dua macam yaitu : Yang dimiliki penutur secara individual. Maksudnya penutur secara individual mengacu pada alat0alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan. Mengacu kepada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam masyarakat, eserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Verbal repertoire setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana dia berada. Sedangkan verbal repertoire suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoire semua penutur di dalam masyarakat. C.Masyarakat Tutur Masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama, serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu. a.Batasan
Masyarakat Tutur
Konsep masyarakat tutur homogen ( homogenous speech kommunity) yang diajukan Chomsky jelas-jelas mengingkari fakta yyang ada bahwa masyarakat tutur tersusun atas, anggota yang memiliki ciri fisik, kepribadian, status sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, asal kedaeraan yang memakainya berbeda-beda. Faktor lainya seperti umur jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan. b.Penutur Berkompeten & Penutur Partisifatif Seorang penutur yang berkompeten berkompeten memiliki - Pengetahuan mengenai graumatika dan kosa kata suatu bahasa - Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa - Pengetahuan tentang bagimana mengunakan dan merespons tipe-tipe tinda tutur yang berbeda-beda. - Pengetahuan tentang bagimana berbicara secara wajar seorang penutur partisifatif ialah penutur yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunikasi.
5
c. Gegar Budaya dan Anekdot Verbal Penutur Partisifatif egar budaya (culture shock) lazim dialami oleh orang-orang yang baru berkenalan atau bersentuhan dengan budaya baru. Semakin jauh perbedaan budaya seseorang dengan budaya baru yang dimasukinya semakin banyak pulah gegar budaya yang dialaminya.
D.Peristiwa Tutur Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, dan situasi tertentu. Menurut Dell Hymes (1972) seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur mempunyai delapan komponen, dan dibentuk menjadi akronim SPEAKING (diangkat dari Wadhaugh 1990): S = (Setting and scene) P = (Participants) E = (Ends :purpose and goal) A = (Act sequences) K = (Key : tone or spirit of act) I = (Instrumentalites) N = (Norms of interaction and interpretation) G = (Genres) Setting and scene: setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. Scene pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran yang berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan, dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Juga mengacu pada kode ujaran, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register. Noam of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, berinterupsi, bertanya. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, dan doa,. 1.Tindak Tutur
6
Peristiwa tutur terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada suatu proses, yakni proses komunikasi. Istilah dan teori mengenai tindak tutur diperkenalkan oleh J.L. Austin seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956. Kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1956) dengan judul How to do Thing With Word? Tetapi baru terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language. Menurut tata bahasa ada tiga jenis kalimat, yaitu: 1) Kalimat Deklaratif Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja. 2)Kalimat Interogatif Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan. 3)Kalimat Imperatif Kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta. Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka. Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Jumlah kalimat performatif dalam suatu bahasa secara relatif tidak banyak dan mempunyai pola dan norma tertentu. Kalimat performatif harus memebuhi persyaratan, yaitu: (1) Ucapanya harus dilakukan oleh orang tertentu yang ditunjuk; (2) Urutan peristiwanya sudah baku; (3) Yang hadir dalam upacara tersebut harus turut serta; (4) Upacara itu harus dilakukan secara lengkap. Kalimat performatif ini lazim digunakan dalam upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, keagamaan, kenegaraan, kemiliteran, dan peresmian seminar. Kalimat performatif secara eksplisit artinya dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya dan kami. Secara implisit adalah yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku, ada pihak yang meminta agar kita melakukan apa yang dimintanya. Austin (1962:150-163) membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu: 1) Kalimat verdikatif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian; 2) Kalimat eksersitif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan. 3) Kalimat komisif yakni kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu. 4) Kalimat behatitif adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan. 5) Kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan keterangan atau perincian kepada seseorang. 7
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:100102) dirumuskan menjadi: 1) Tindak Tutur Lokusi Merupakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. 2) Tindak Tutur Ilokusi Merupakan tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit, berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. 3) Tindak Tutur Perlokusi Merupakan tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu. Austin (1962) melihat tindak tutur dari pembicara, maka Searle (1965) melihat tindak tutur dari pendengar. Mengapa demikian? Karena menurut beliau, tujuan pembicara atau penutur sukar diteliti; sedangkan interprestasi lawan bicara atau pendengar mudah dilihat dari reaksi-reaksi yang diberikan terhadap ucapan-ucapan pembicara. Dilihat dari konteks tindak tutur dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Tindak tutur langsung Mudah dipahami oleh si pendengar karena ujarannya berupa kalimat-kalimat dengan makna lugas. b. Tindak tutur tidak langsung Hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks situasional. 2 .Tindak Tutur dan Pragmatik Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Kajian pragmatik adalah deiksis, presuposisi dan implikatur percakapan. Dengan ketiga kajian itu pragmatik lazim diberi defenisi “Telaah mengenai hubungan di antara lambang dengan penafsiran” (Purwo, 1990:15). Yang dimaksud dengan lambang adalah suatu ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih, yang “membawa” makna tertentu, yang di dalam pragmatik ditentukan atas hasil penafsiran si pendengar. Pragmatik menelaah hubungan lambang dengan penafsirannya, maka ada bedanya pragmatik itu dengan semantik. Keduanya memang menalaah tentang makna. Kalau pragmatik menelaah makna menurut tafsiran pendengar, semantik menelaah makna dalam hubungan antar lambang dengan objeknya atau referensinya. Deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Kata-kata yang berkenaan dengan persona (pronomina), tempat, dan waktu. Presuposisi adalah makna atau informasi “tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Jadi, di dalam ujaran tersebut selain mendapat makna “asal” yang tersirat dalam ujaran itu, terdapat pula makna lain yang hanya bisa dipahami secara tersirat. 8
Implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap, tidak tampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara tersirat. E.Bahasa dan tingkat sosial Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya. Hubungan yang terdapat diantara bahasa dan masyarakat yaitu adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunanya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat. Misalnya dalam dunia pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari dirumah kita menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam usaha, dan untuk kegiatan pencipta karya sastra (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra. Adanya tingkatan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan jika ada; kedua, deri segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Untuk melihat adakah hubugan kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, (4) ndara. Dari penggolongan itu adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkatat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko. Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalamm masyarakat ibu kota Jakarta ada dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk dalam golongan tersebut adalah relative, agak sukar ditentukan; tetapi kalau di lihat golongan sosial ekonominya, maka golongan ketiga itu bisa ditentukan. Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling. 9
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu: 1.Kelas Menengah Tinggi (KMT) 2.Kelas Menengah Atas (KMA) Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu: a. Aspek linguistic. b. Aspek nonlinguistik atau paralinguistik. Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputusputus), dan sebagainya. Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersamasama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi. Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur supra segimental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi, Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, rabaan dan sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit). 3.Mengkaji pariasi pariasi dalam bahasa A.Pariasi berdasarkan penutur Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat aneka ragam (heterogen). Adapun ragam bahasa Indonesia berdasarkan penutur dapat dikategorikan menjadi: a)Pariasi Bahasa Berdasarkan Daerah (logat/diolek) Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan 10
bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masingmasing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor. b)Pariasi Bahasa berdasarkan Pendidikan Penutur Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. c)Pariasi bahasa berdasarkan sikap penutur Pariasi bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. B.Pariasi berdasarkan penggunaan atau pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaan, pemakaiannya atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam dan register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan.
Variasi dari segi keformalannya. 1. Martin Joos 1967 dalam bukunya the Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya yaitu ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam bahasa santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate) 2. Berilah Contoh salah satu wujud variasi bahasa, lalu terangkan ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikonnya 3. Salah satu contoh dari variasi bahasa adalah bahasa gaul atau kolokuial atau bahasa prokem yang marak digunakan pada anak muda masa sekarang. Adapun leksikon yang sering dipakai adalah ciyus, miapah, lebay, cemungudh. Dibawah ini penulis akan mencoba mendeskripsikan ciri-ciri fonologis melalui proses perubahan bunyi yang dialami oleh leksikon-leksikon bahasa gaul tersebut. Kemudian ciri-ciri morfologis yang terdiri dari derivasi zero, reduplikasi,afiksasi abreviasi (pemendekan), komposisi (perpaduan) dan derivasi balik. 4. Keterangan: Bahasa gaul (Bg), bahasa Standar (Bs) 5. a. Ciyus [ciyuz] 11
6. Ciri Fonologis yang berasal dari kata serius [serius] memiliki beberapa kaidah perubahan fonologis. Pertama, fonem Bs *s > /c/ Bg. Dimana fonem /s/ pada Bs berubah menjadi fonem konsonan /c/. Hal ini dikarenakan adanya proses lenisi atau pelemahan bunyi konsonan. Dimana fonem /s/ yang merupakan hambat alveolar dianggap lebih kuat daripada fonem /c/ yang merupakan bunyi tak bersuara palatal. Kedua, proses penguatan bunyi vokal (fortition) juga terjadi pada fonem Bs /e > /i/ Bg. Dimana fonem vokal /e/ pada Bs yang merupakan vokal depan tengah menguat menjadi fonem /i/ Bg vokal depan tinggi. Ketiga, fonem konsonan Bs /r/ > /y/ Bg. Dimana fonem lateral /r/ Bs melemah menjadi bunyi semi vokal /y/ pada Bg. Ciri-ciri morfologisnya bahasa gaul biasanya hanya berupa morfem bebas yang tidak terikat sehingga bisa digunakan dan berdiri sendiri 7. b. Miapah 8. Ciri Fonologis :yang memiliki arti sebenarnya ‘demi apa’ juga mengalami proses perubahan fonologis dari bentuk standarnya ‘demi apa’. Proses fonologis yang terjadi adalah proses disimilasi atau penyederhanaan bunyi dengan menghilangkan fonem pada suatu kata. Dalam hal ini fonem/d/ dan /e/ pada Bs mengalami proses Aphaeresis yaitu penghilangan fonem konsonan pada awal suku kata. Sehingga Bs ‘Demi’ > ‘mi’ Bg. Proses disimilasi yang terjadi berikutnya adalah proses substitusi atau penambahan konsonan dengan kaidah Bs /F/ >/h/ Bg. Kaidah ini menunjukkan adanya penambahan bunyi /h/ pada akhir kalimat. Sehingga terbentuklah kata miapah yang merupakan turunan kata dari ‘demi apa’ dalam bahasa formal. 9. Ciri Morfologis : terjadi proses reduksi dari bentuk awal dari bahasa standar ‘demi apa’ menjadi ‘miapah’ dalam bahasa gaul 10. c. ‘Lebay’ 11. Ciri fonologis Kaidah berikutnya adalah : Bs ‘berlebihan’ > ‘lebay’ Bg. Dapat dilihat dari data tersebut bahwa telah terjadi proses disimilasi yaitu penghilangan konfiks ber-an pada bahasa gaul. Selanjutnya terjadi perubahan fonem vokal /i/ Bs > /ay/ Bg, terjadilah proses diftongisasi atau perubahan vokal monoftong menjadi gugus vokal atau diftong. Ciri Morfologis pada kata ini mengalami reduksi pada konfiks ber-an dari bahasa standar ‘berlebihan’ menjadi lebay pada bahasa gaul. 12. d. Cemungudh 13. Bs ‘semangat’ > ‘cemungudh’ Bg. Terjadi perubahan bunyi konsonan Bs /s/ > /c/ Bg yang dicurigai mengalami proses pelemahan konsonan atau lenisi. Kemudian terjadi proses asimilasi progresif dimana vokal Bs /a-a/ > /u-u/ pada Bg. Kaidah perubahan berikutnya adalah fortisi yaitu penguatan bunyi dimana fonem konsonan Bs /t/ > /d/ Bg. Dimana bunyi /t/ merupakan konsonan tak bersuara menjadi fonem interdental bersuara /d/ Bs. C.Pariasi berdasarkan keformalah atau pemakaian Martin Joss membedakan variasi bahasa dalam lima bentuk, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan 12
ragam akrab (intimate) (Abdul Chaer, 2004:70). Berikut ini penjelasan tiap-tiap ragam bahasa tersebut. a. Ragam Beku (Frozen) Ragam ini merupakan variasi bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi seperti upacara kenegaraan, khutbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab, undang-undang, akta notaris, dan surat keputusan. Variasi ini disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam ini dapat kita temui pada dokumen-dokumen sejarah, undang-undang dasar, akta notaris, naskah perjanjian jual beli dan surat sewa menyewa. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi dan upacara-upacara khidmat atau resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, tata cara pengambilan sumpah, dan sebagainya. Contoh dalam bentuk tertulisnya seperti akta notaris, surat-surat keputusan, dokumen-dokumen bersejarah atau berharga seperti undang-undang dasar, ijazah, naskah-naskah perjanjian jual beli, dan sebagainya. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, dan tidak boleh diubah. Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali. Bahasa yang digunakan dalam ragam ini berciri super formal. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh begitu saja mengubah, karena memang sudah ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, bahasa beku sudah lazim digunakan dan sudah terpatri lama sehingga sulit sekali diubah. Bentuk ragam beku ini memiliki ciri kalimatnya panjang-panjang, tidak mudah dipotong atau dipenggal, dan sulit sekali dikenai ketentuan tata tulis dan ejaan standar. Bentuk ragam beku yang seperti ini menuntut penutur dan pendengar untuk serius dan memperhatikan apa yang ditulis atau dibicarakan. b. Ragam Resmi (Formal) Variasi ini biasanya digunakan dalam pidato-pidato kenegaraan, rapat-rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya. Pola dan kaidah bahasa resmi sudah ditetapkan secara standar dan mantap. Contoh variasi resmi dalam pembicaraan misalnya dalam acara peminangan, kuliah, pembicaraan seseorang dengan dekan di kantornya. Pembicaraan ketika seorang mahasiswa menghadap dosen atau pejabat struktural tertentu di kampus juga merupakan contoh ragam ini. Karakteristik kalimat dalam ragam ini yaitu lebih lengkap dan kompleks, menggunakan pola tata bahasa yang tepat dan juga kosa kata standar atau baku. c. Ragam Usaha (Konsultatif)
13
Variasi ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ragam ini merupakan ragam yang paling operasional. Ragam ini tingkatannya berada antara ragam formal dan ragam santai. d. RagamSantai (Kasual) Ragam ini merupakan variasi yang biasa digunakan dalam situasi yang tidak resmi seperti berbincang-bincang dengan keluarga ketika berlibur, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Pada ragam ini banyak digunakan bentuk alegro atau ujaran yang dipendekkan. Unsur kata-kata pembentuknya baik secara morfologis maupun sintaksis banyak diwarnai bahasa daerah. e. Ragam Akrab (Intim) Variasi bahasa ini digunakan oleh penutur dan petutur yang memiliki hubungan sangat akrab dan dekat seperti dengan anggota keluarga atau sahabat karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaann bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan artikulasi tidak jelas. Pembicaraan ini terjadi antarpartisipan yang sudah saling mengerti dan memiliki pengetahuan yang sama. Dalam menganalisis ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalan ini sangat tergantung dengan situasional ujaran tersebut. Situasional yang dimaksud ini berkaitan dengan siapa berbicara, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Jadi, sangat mungkin dalam satu situasi terjadi pembicaraan dengan ragam yang berbeda seperti di bawah ini. D.Pariasi dari segi sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal. Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada dihadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu kita cukup mengatakan “Tolong pindahkan ini!”. Tetapi dalam bahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus mengatakan “ Tolong pindahkan kursi itu!”. Jadi, dengan secara eksplisit menyebutkan kata kursi itu. Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam berbahasa lisan 14
dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki. Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa lisan dan ragam bahasa dalam bertelegraf sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa tertulis; tetapi kedua macam sarana komunikasi itu memiliki ciri-ciri dan keterbatasannya sendirisendiri, menyebabkan kita tidak dapat menggunakan ragam lisan dan ragam tulis semau kita. Ragam bahasa dalam bertelepon dan bertelegraf menuntut persyaratan tertentu, sehingga menyebabkan dikenal adanya ragam bahasa telepon dan ragam bahasa telegraf, yang berbeda dengan ragam-ragam bahasa lainnya. 4.Mengkaji kedwibahasawan dan diglosia A. Biliguaslisme Haugen (1968) sebagaimana yang dikutip dalam Suwito (1983:41) yang menunjuk bilingualisme semata-mata sebagai ‘knowledge of two languages’, artinya pengetahuan terhadap dua bahasa. Jadi, untuk menjadi seorang dwibahasawan, seseorang tidak perlu memiliki ‘the same mastery of two languages’ atau penguasaan yang sama pada dua bahasa. Seseorang cukup mengerti secara pasif dua bahasa atau lebih saja tanpa harus mampu berbicara (completely passice bilingualism, understanding without speaking), sudah dapat disebut sebagai individu bilingual. Seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, dapat dikatakan dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah: kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi, orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memakai dua bahasa. Kedua pengertian itu dapat dibedakan dengan “kedwibahasaan” (untuk kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk kemampuan), tetapi di istilahkan dengan bilingualisme dan bilingualitas. Terdapat hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, bahwa tidak semua yang mempunyai bilingualitas memraktekkan bilingualisme dalam hidupnya sehar-hari, sebab ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Dapat saja orang yang tahu dua bahasa menggunakan hanya satu bahasa selama dia di satu tempat/ keadaan (dalam waktu yang pendek atau lama), dan memakai bahasa yang kedua kalau dia berada di tempat/ keadaan yang lain (dalam waktu yang pendek atau lama). Bilingualisme seperti ini dilaksanakan secara berurutan yang dapat berjarak waktu yang lama, umpamanya berjarak atau selang beberapa tahun. Namun dapat dimengerti bahwa tidak dapat seseorang mengerjakan bilingualisme tanpa dia mempunyai bilingualitas. Dengan kata lain, secara logika, bilingualisme berimplikasi bilingualitas; atau seseorang harus mempunyai dahulu bilingualitas sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme. Kedwibahasaan (bilingualisme) dapat dipakai untuk perorangan (individual bilingualism) dan dapat juga untuk masyarakat (societal bilingualism). Kedwibahasaan dalam satu masyarakat terdapat dua keadaan teoretis yang ekstrem, yaitu: 15
a.Pertama ialah keadaan di mana semua anggota masyarakat itu tahu dua bahasa dan menggunakan kedua bahasa setiap hari dalam pekerjaan dan interaksi sosialnya. b.Kedua ialah bila ada dua bahasa dalam masyarakat itu, tetapi setiap orang tahu hanya satu bahasa dan dengan begitu masyarakat itu terdiri dari dua jaringan komunikasi (atau masyarakat bahasa) yang monolingual dan tersendiri. Dalam keadaan sebenarnya, kedua keadaan kedwibahasaan yang ekstrem ini tidak kedapatan terkecuali dalam masyarakat-masyarakat yang amat kecil dan terpencil (Gumperz, 1968). Dengan adanya bilingualisme masyarakat (societal bilingualism) di suatu tempat, belum selalu berarti akan terdapat di situ bilingualitas (perorangan). Ini terlihat dalam contoh di antara orang kasta rendah di India yang secara ketat terpisah dari orang Bramin yang berkasta tertinggi. Keadaan seperti ini terdapat di satuan-satuan kemasyarakatan yang kurang berkembang secara ekonomis dengan mobilitas sosial yang hampir tidak ada.
B.Diglosia Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara – negara Arab, Swis, dan Haiti. Defenisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai berikut: Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek utamaa dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari. Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa sematamata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa. Oleh Fishman (1972: 92) diglosia diartikan sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in multilingual societies which offocially recognize several “language”, and not only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa”, dan tidak hanya terdapat terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi 16
terdapat juga di dalam masyaakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apapun yang berbeda secara fungsional. C.Interferensi Pada orang yang berdwibahasa (bilingual) ada kemungkinan terdapat interferensi atau pengacauan. Interferensi yang terdapat dalam tindak laku bahasa perorangan, disebut interferensi perlakuan (performance interference), yaitu yang sering terdapat sewaktu orang masih belajar suatu bahasa kedua/ asing. Dalam hal ini disebut gejala itu interferensi perkembangan atau interferensi belajar (developmental atau learning interference). Macam interferensi lain yang kelihatan dalam bentuk perubahan dalam satu bahasa dengan unsur-unsur, bunyi, atau struktur dari bahasa yang lain terjadi oleh pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa melalui interferensi perlakuan dari penutur-penutur yang berdwibahasa. Perubahan yang dihasilkan ialah perubahan dalam sistem bahasa, sehingga gejala ini disebut interferensi sitemik. Mekanisme perubahan kebahasaan dalam interferensi sistemik ialah yang disebut pungutan (borrowing) yang berhubungan erat dengan pungutan kebudayaan (cultural diffusion) D.Campur Kode Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau dicourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/ atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciriciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam “peristiwa campur” (co-occurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi17
variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode. Menurut Hudson (1996:53) menyatakan bahwa “In code switching the point at which the languages change corresponds to a point where the situation changes, either on its own or precisely because the language changes”, yang artinya perubahan bahasa dalam sebuah tuturan oleh seorang dwibahasawan ke penutur dwibahasa lainnya tanpa adanya perubahan situasi. Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain : (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya. Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsifungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat. Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. 5.Mengkaji bahasa dan kebudayaan A. Hakekat Kebudayaan Budaya merupakan istilah yang banyak dijumpai dan digunakan hamper dalam setiap aktivitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa budaya begitu dekat dengan lingkungan kita. Kebudayaan berasal dari kata cultuure (Belanda) culture (Inggris) dan colere (Latin) yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan terutama pengolahan tanah yang kemudian berkembang menjadi segala daya dan aktifitas manusia manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Dari bahasa Indonesia (Sansekerta) “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain “budaya” adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa 18
cipta,karsa dan rasa. Kebudayaan adalah hasil dari cipta,karsa dan rasa tersebut, beberapa pendapat ahli antropologi dunia tentang definisi kebudayaan : E.B.Tylor (Primitive Culture) : keseluruhan kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan lain seperti kebiasaan manusia yang bermasyarakat. R.Linton (The Cultural Background of Personality) : konfigurasi dari tingkah laku yang pembentukannya didukung dan diteruskan anggota masyarakat tertentu. C.Klukhonn dan W.H Kelly (Hasil Tanya jawab dengan ahli antropologi sejarah) : Hukum, psikologi yang implisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Melville J.Herskovits (Ahli antropologi Amerika) : bagian dari lingkungan buatan manusia “Man Made Part of the Environment”. Dowson (Age of the Gods) : cara hidup bersama(Culture is common way of life). J.P.H Dryvendak : kumpulan cetusan dari jiwa manusia yang beraneka ragam dan berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Ralph Linton (1893-1953) : sifat sosial manusia yang turun temurun “Man’s sosial heredity”. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh pakar Indonesia : Prof. Dr. Koentjaara Ningrat : keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yangharus didapat degan belajar.Dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sultan Takdir Alisahbana : manifestasi dari cara berfikir. Dr. Moh. Hatta : ciptaan dari suatu bangsa. Mangunsarkoro : segala yang bersifat hasil kerja manusia dalam artian yang seluasluasnya. Drs. Sidi Gazalba : cara berfikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk satu kesatuan sosial dengan suatu ruang dan suatu waktu. Definisi di atas berbeda-beda namun memiliki prinsip yang sama yaitu mengakui adanya ciptaan manusia,meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia,yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar yang semuanya tesusun dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat kebudayaan diartikan “The general body of the art” yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, dan pengetahuan filasafat. Dan akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup atau segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkrit maupun abstrak. Menurut Prof. M. M. Djojodiguno (Asas-asas Sosiologi,1958) bahwa kebudayaan atau budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta : kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya. Hasil cipta berupa Ilmu pengetahuan. Karsa : kerinduan manusia untuk menginsafi dari mana manusia sebelum lahir dan kemana sesudah mati.Hasilnya berupa norma-norma keagamaan atau kepercayaan. 19
Rasa : kerinduan manusia akan keindahan dan dorongan untuk menikmati keindahan. Hasilnya berbagai macam kesenian. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dan dijelaskan sebagai berikut : Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia yang meliputi kebudayaan material (bersifat jasmaniah) dan kebudayaan non material (bersifat rohaniah). Kebudayaan tidak diwariskan secara generative(biologis) melainkandngan cara belajar. Kebudayaan diperoleh manusai sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah kebudayaan manusia. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan 3 kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia. Sebagai pedoman pembahasan , pengertian kebudayaan yakni merupakan program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan,konsep dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sisrem komunikasi. Esensi budaya bukan pada benda, alat atau elemen budaya yang terlihatlainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan dan merasakannya B. Hubungan kebudayaan dan masyarakat Banyakpara ahli berpendapatbahwa bahasa adalah bagian d a r i kebudayaan, tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa kebudayaanlahyang merupakan bagian dari bahasa.Menurut C. Kluckhohn, bahasa merupakans a l a h s a t u unsur dari k e b u d a ya a n . H a l serupa juga diungkapkan o l e h Koentjaraningrat. Beliau berpendapat bahwabahasa bagian dari kebudayaan, jadihubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif,di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Masinambouw (1985)malah menyebutkan bahwa bahasa atau kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua sistem yang ”melekat” pada manusia. Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif terdapat dua hal penting. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaandan kebudayaan itu seperti anak kembar siam seperti yang telah dikatakan olehSlizer. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanyahipotesis yang sangat kontroversial, karena itu hipotesis ini dikenal dengan namahipotesis Sapir Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa.Sementara Levi Strauss, sebagaimana dikutip oleh Darsita, menjelaskanbahwabahasa dan kebudayaan memiliki hubungan dan membedakan kebudayaan dalam C. Etika Berbahasa Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap saat, kita selalu menggunakan bahasa untuk berbicara dengan teman, orang tua, kakak, ataupun adik. Pada saat berkomunikasi itu, kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, setiap penutur sebaiknya berupaya 20
untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar. Untuk memahami hubungan antara etika berkomunikasi dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar, terlebih dahulu dikemukakan definisi komunikasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Berdasarkan definisi yang dikemukakan tadi, kita akan mendapatkan tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni si pengirim dan si penerima informasi, (2) informasi yang sampaikan,dan(3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu. Etika berkomunikasi dalam suatu interaksi komunikasi erat kaitannya dengan pemilihan bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Para ahli bahasa menyebut lima etika yang harus dikuasai oleh seorang pembicara. Pertama, seorang pembicara harus mengetahui apa yang akan dikatakannya, pada waktu dan keadaan tertentu kepada lawan bicaranya berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; Kedua, jenis bahasa apa yang paling wajar kita gunakan yang disesuaikan dengan budaya di tempat kita berbicara; Ketiga, kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain; Keempat, kapan kita harus diam; dan Kelima, bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita berbicara. Butir-butir aturan dalam etika berkomunikasi tadi bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya. Kelima etika itu merupakan bagian-bagian yang menyatu di dalam tindak berbahasa. Butir (1) dan (2) menjelaskan aturan sosial berbahasa yang terdiri atas: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Sebagai contoh, kita hendak menyapa seseorang, maka harus kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang itu, di mana, kapan, dan dalam situasi bagaimana. Butir (3) dan (4) yang juga merupakan aturan dalam etika berbahasa perlu pula dipahami agar kita bisa disebut sebagai anggota orang yang dapat berbahasa. Kita tidak dapat seenaknya menyela atau memotong pembicaraan seseorang; untuk menyela kita harus memperhatikan waktunya yang tepat dan tentunya juga dengan memberikan isyarat terlebih dahulu. Butir (e) dalam etika berkomunikasi menyangkut masalah kualitas suara dan gerak-gerik anggota tubuh ketika berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada suara. Setiap budaya mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Masyarakat Sultra dalam berbahasa daerah ataupun berbahasa Indonesia cenderung menggunakan volume suara yang lebih tinggi dibandingkan dengan para penutur bahasa SundadanbahasaJawa. Selain lima butir etika berkomunikasi yang dikemukakan di atas, gerak-gerik fisik dalam bertutur juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam etika berkomunikasi. Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal, yakni yang disebut kinesik dan proksimik. Kinesik ini menyangkut gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, antara tangan, bahu, kepala, dan sebagainya. Berbeda dengan kinesik, proksimik merupakan jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Jauh-dekatnya jarak tubuh ketika berkomunikasi dengan seseorang bergantung pada apa 21
yang sedang dibicarakan. Jika yang dibicarakan adalah hal yang menyangkut rahasia, maka jarak antarpembicara biasanya dekat, sedangkan untuk pembicaraan yang bersifat umum dapat dilakukan dengan jarakempatataulimakaki. Pada bagian akhir tulisan ini, ditegaskan bahwa pengetahuan dan pemahaman terhadap hakikat komunikasi dan etika berbahasa dapat menghindarkan diri dari perbedaan pemahaman antara pembicara dan pendengar. Berbahasa yang baik dengan berlandaskan pada norma-norma dan etika berkomunikasi akan menciptakan suasana dan hubungan yang harmonis antara pembicara dan pendengar. Inilah sesungguhnya yang diharapkan dari suatu komunikasi karena jika bahasa (pesan) yang disampaikan tidak dipahami oleh pendengar, maka bahasa (pesan) yang disampaikan tersebut tidaklah komunikatif. 6.Mengkaji perencanaan dan pembakuan/baku bahasa A. Merencanakan bahasa Negara-negara yang multilingual, multikultural, dan multirasial menurut Chaer dan Agustina ( 1955 ) untuk menjamin kelangsungan komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa ( language planning ) yang harus dimulai dengan kebijaksanaan bahasa ( language policy ). Misalnya, seperti Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, dan India merupakan negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural yang memerlukan adanya kebijakan bahasa agar pemilihan atau penentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi tidak menimbulkan gejolak politik yang dikhawatirkan dapat menggoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut. Berikut ini adalah pengertian perencanaan bahasa menurut para ahli. 1. Menurut Nababan ( 1984 : 56 ) perencanaan bahasa adalah penggarapan bentuk-bentuk bahasa dalam masyarakat. 2. Menurut Jernudd dan Das Gupta dalam Nababan ( 1984 ) perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. 3. Menurut Alwasilah ( 1997 ) perencanaan bahasa adalah sebagai upaya yang disengaja untuk memfungsikan (ragam ) bahasa ( lokal, nasional, regional, global ) untuk memenuhi tujuan politik. 4. Menurut Weinstein dalam Wardhaugh ( 1992 : 346 ) perencanaan bahasa adalah suatu perintah untuk memberikan kuasa, menyokong dengan penuh untuk menentukan fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat dengan tujuan menyelesaikan berbagai persoalan dalam komunikasi. 5. Menurut Haugen dalam Sumarsono ( 2002 ) perencanaan bahasa adalah usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh perencana. 6. Menurut Crystal ( 1994 ) perencanaan bahasa adalah kreasi dan implementasi dari kebijakan sebuah pemerintahan tentang bagaimana bahasa-bahasa itu dan variasi dari bahasa digunakan dalam sebuah bahasa. Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat bahwa berbagai istilah dengan berbagai variasi pengertian tentang perencanaan bahasa; namun, ada satu kesamaan, yaitu sama22
sama berusaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara di masa depan menjadi lebih baik dan terarah. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah “ Mengapa bahasa perlu perencanaan ? Menurut labov : 1972 : 183 ) bahasa adalah bentuk tingkah laku sosial. Bahasa dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi, dalam komunikasi ini terjadi perbenturan sehingga muncul konflik-konflik, sekalipun konflik itu bukan bahasa. Kiranya telah kita maklumi bahasalah yang mempertajam konflik itu. Kita sering menyaksikan dengan sebuah kata saja dapat terjadi konflik fisik. Jadi bahasa itu direncanakan karena ingin memperkecil konflik bahasa itu. Kalau perencanaannya tidak matang, pasti malapetaka yang muncul. Dengan demikian, bidang kebahasaan yang perlu direncanakan adalah : a.Pemantapan bahasa sesuai dengan fungsinya. Misalnya suatu bahasa hanya berfungsi sebagai alat komunikasi di lingkungan keluarga. Dengan demikian, bahasa tersebut tak perlu diajarkan di sekolah. Akibatnya tak perlu perencanaan yang dihubungkan dengan pendidikan kebahasaan yang melewati pendidikan formal. b.Bahasa sebagai lingua franca. c.Penerimaan penutur bahasa untuk ikut membantu kebijaksanaan pemerintah dalam kebahasaan. d.Pendidikan dan pengajaran kebahasaan di dalam dan di luar lembaga-lembaga pendidikan. e.Ketenagaan yang akan menangani masalah-masalah kebahasaan. f. Penggalian sumber dana. g.Kerja sama dengan lembaga atau perseorangan yang tidak menangani langsung bidang kebahasaan. B. Kebijaksanaan bahasa Berdasarkan rumusan dalam seminar Politik Bahasa Nasional (1975) maka kebijaksanaan bahasa dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan – ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan bahasa merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh Negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur yang berbeda. Berdasarkan uraian tersebut, kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa – bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Kebijaksanaan bahasa juga memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut korpus data yang menyangkut semua komponen bahasa. Lalu, masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.
23
C. Bahasa baku dan bahasa non baku Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988 : 71), kata baku juga ada dijelaskan. baku I (1) pokok, utama; (2) tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas dan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar; Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu dan Zain menjelaskan makna kata baku. baku I(Jawa) yang menjadi pokok; (2) yang utama; standar. baku II Bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok, yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi standar. Penjelasan makna kata itu tentu saja belum cukup untuk memahami konsep yang sesungguhnya. Di dalam bahasa baku itu terdapat 3 aspek yang saling menyatu, yaitu kodifikasi, keberterimaan, difungsikan sebagai model. Ketiganya dibahas di bawah ini. Istilah kodifikasi adalah terjemahan dari “codification” bahasa Inggris. Kodifikasi diartikan sebagai hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma di dalam berbahasa (Alwasilah, 1985 :121). Masalah kodifikasi berkait dengan masalah ketentuan atau ketetapan norma kebahasaan. Norma-norma kebahasaan itu berupa pedoman tata bahasa, ejaan, kamus, lafal, dan istilah. Kode kebahasaan sebagai norma itu dikaitkan juga dengan praanggapan bahwa bahasa baku itu berkeseragaman. Keseragaman kode kebahasaan diperlukan bahasa baku agar efisien, karena kaidah atau norma jangan berubah setiap saat. Kodifikasi kebahasaan juga dikaitkan dengan masalah bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaian bahasa. Kodifikasi ini akan menghasilkan ragam bahasa. Perbedaan ragam bahasa itu akan tampak dalam pemakaian bahasa lisan dan tulis. Dengan demikian kodifikasi kebahasaan bahasa baku akan tampak dalam pemakaian bahasa baku. Bahasa baku atau bahasa standar itu harus diterima atau berterima bagi masyarakat bahasa. Penerimaan ini sebagai kelanjutan kodifikasi bahasa baku. Dengan penerimaan ini bahasa baku mempunyai kekuatan untuk mempersatukan dan menyimbolkan masyarakat bahasa baku. Bahasa baku itu difungsikan atau dipakai sebagai model atau acuan oleh masyarakat secara luas. Acuan itu dijadikan ukuran yang disepakati secara umum tentang kode bahasa dan kode pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa tertentu. Bahasa non baku Istilah bahasa nonbaku ini terjemahan dari “nonstandard language”. Istilah bahasa nonstandar ini sering disinonimkan dengan istilah “ragam subbaku”, “bahasa nonstandar”, “ragam takbaku”, bahasa tidak baku”, “ragam nonstandar”. 24
Suharianto berpengertian bahwa bahasa nonstandar atau bahasa tidak baku adalah salah satu variasi bahasa yang tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya, yaitu dalam pemakaian bahasa tidak resmi (1981 : 23). Alwasilah berpengertian bahwa bahasa tidak baku adalah bentuk bahasa yang biasa memakai kata-kata atau ungkapan, struktur kalimat, ejaan dan pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh mereka yang berpendidikan (1985 : 116). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, jelas bahwa bahasa nonstandar adalah ragam yang berkode bahasa yang berbeda dengan kode bahasa baku, dan dipergunakan di lingkungan tidak resmi. D. Bahasa indonesia baku Bahasa Indonesia baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bentuk bahasanya telah dikodifikasi, diterima, dan difungsikan atau dipakai sebagai model oleh masyarakat Indonesia secara luas. Bahasa Indonesia nonbaku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang tidak dikodifikasi, tidak diterima dan tidak difungsikan sebagai model masyarakat Indonesia secara luas, tetapi dipakai oleh masyarakat secara khusus. a.Fungsi Bahasa baku Bahasa Indonesia baku mempunyai empat fungsi, yaitu pertama, pemersatu; kedua, penanda kepribadian; ketiga, penambah wibawa; dan keempat, kerangka acuan. Pertama, bahasa Indonesia baku berfungsi pemersatu. Bahasa Indonesia baku mempersatukan atau memperhubungkan penutur berbagai dialek bahasa itu. Bahasa Indonesia baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa Indonesia baku. Bahasa Indonesia baku mengikat kebhinekaan rumpun dan bahasa yang ada di Indonesia dengan mangatasi batas-batas kedaerahan. Bahasa Indonesia baku merupakan wahana atau alat dan pengungkap kebudayaan nasional yang utama. Fungsi pemersatu ini ditingkatkan melalui usaha memberlakukannya sebagai salah satu syarat atau ciri manusia Indonesia modern. Kedua, bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai penanda kepribadian. Bahasa Indonesia baku merupakan ciri khas yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Indonesia baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa Indonesia baku. Dengan bahasa Indonesia baku kita menyatakan identitas kita. Bahasa Indonesia baku berbeda dengan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu di Singapura dan Brunai Darussalam. Bahasa Indonesia baku dianggap sudah berbeda dengan bahasa Melayu Riau yang menjadi induknya. Ketiga, bahasa Indonesia baku berfungsi penambah wibawa. Pemilikan bahasa Indonesia baku akan membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa berkaitan dengan usaha mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa baku. Di samping itu, pemakai bahasa yang mahir berbahasa Indonesia baku “dengan baik dan benar” memperoleh wibawa di mata orang lain. Fungsi yang meyangkut kewibawaan itu juga terlaksana jika bahasa Indonesia baku dapat dipautkan dengan hasil teknologi baru dan unsur kebudayaan baru. Warga masyarakat secara psikologis akan mengidentifikasikan bahasa Indonesia baku dengan masyarakat 25
dan kebudayaan modern dan maju sebagai pengganti pranata, lembaga, bangunan indah, jalan raya yang besar. Keempat, bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai kerangka acuan. Bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakainya dengan adanya norma atau kaidah yang dikodifikasi secara jelas. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku itu menjadi tolok ukur pemakaian bahasa Indonesia baku secara benar. Oleh karena itu, penilaian pemakaian bahasa Indonesia baku dapat dilakukan. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku juga menjadi acuan umum bagi segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti bahasa ekonomi, bahasa hukum, bahasa sastra, bahasa iklan, bahasa media massa, surat-menyurat resmi, bentuk surat keputusan, undangan, pengumuman, kata-kata sambutan, ceramah, dan pidato. 7. Mengkaji pendidikan dan pengajaran bahasa A. Variabel pengajaran bahasa Proses belajar mengajar tidak akan terjadi apabila hanya dilakukan sendiri, tetapi ada unsur – unsur yang melakukan dan dilakukan serta dicapai dalam proses tersebut. Unsur – unsur tersebut, adalah : a. Murid b. Guru c. Bahan pelajaran d.T ujuan pengajaran Selain unsur – unsur itu, ada faktor lain yang juga menentukan keberhasilan belajar bahasa. Faktor – faktor itu sering disebut dengan asas – asas belajar, yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu asas yang bersifat psikologis anak didik dan yang bersifat materi linguistik. B.Tujuan pengajaran bahasa Tujuan orang belajar bahasa berbeda – beda. Ada yang belajar untuk mengerti suatu bahasa, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan, ada yang belajar untuk berkomunikasi, dan ada yang belajar untuk sekedar gengsi. Tapi, dalam pengajaran bahasa tujuan itu harus lebih konkrit dan masuk akal, karena tujuan tersebut merupakan dasar dari pengajaran bahasa yang harus dicapai. Tujuan pengajaran bahasa harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, status politis bahasa yang dipelajari, dan fungsi – fungsi bahasa yang diperlukan. a) Tujuan pendidikan nasional di Indonesia adalah membentuk manusia pancasila seutuhnya. b) Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai dalam lembaga – lembaga kependidikan tertentu. Tujuan pendidikan nasional berlaku secara nasional dan diharapkan dapat diikutsertakan pemberiannya dalam semua jenjang pendidikan dan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa. Tujuan pendidikan / pengajaran Bahasa Indonesia, dapat dirumuskan sebagai berikut : 26
1.Pendidikan/Pengajaran Bahasa Indonesia (BI) pada tingkat SD : agar para siswa dapat bernalar, berkomunikasi, dan menyerap/menyampaikan kebudayaan dalam BI; pada tingkat SM : agar siswa dapat bernalar, berinteraksi, dan menyerap ilmu dalam BI; sedangkan pada tingkat PT : agar siswa dapat bernalar, dan menyerap serta menyampaikan kebudayaan dalam BI. 2. Pendidikan/ Pengajaran Bahasa Daerah (BD) pada tingkat SD dan SM : agar siswa dapat melakukan interaksi dengan menggunakan BD. 3. Pendidikan/Pengajaran Bahasa Asing (BA) pada tingkat SM : agar siswa dapat berinteraksi dengan menggunakan BA; pada tingkat PT : agar siswa dapat bernalar, berinteraksi, dan menerima atau menyerap kebudayaan dalam BA, dan atau juga menyampaikannya. C.Makna bahasa Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tandatanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itru, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya. Jadi semantik adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang makna sebuah kata. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan halhal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bahwa semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal, dan semantik. Semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Studi yang mempelajari makna merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkat tertentu. Maksudnya apabila komponen bunyi menduduki pertama, tata bahasa pada tingkat kedua sedangkan komponen makna menduduki tingkat yang terakhir. Hubungan ketiga komponen tersebut karena bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak mengecu pada lambang-lambang yang memiliki tatanan bahasa memiliki bentuk dan hubungan yang mengasosiasikan adanya makna. Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuansatuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa memiliki tatarantataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian- bagian yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi. Makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksudkan. Ullmann dalam buku Mansoer Pateda “Semantik leksikal” mengatakan, “ada hubungan antara nama dan pengertian; apabila seseorang membayangkan suatu benda ia akan segera mengatakan benda tersebut. Inilah hubungan timbal-balik antara bunyi dan pengertian, dan inilah makna kata tersebut. D. Pengajaran bahasa ke dua 27
Untuk negara multilingual, tentu ada pengajaran bahasa kedua (selain bahasa ibu). Bahasa kedua tersebut bisa berupa bahasa nasional, bahasa daerah, atau juga bahasa asing. Pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar untuk bahasa nasional dan ketika anak memasuki pendidikan menengah untuk bahasa asing. 8. Mengkaji masalah sosiolinguistik di indonesia A.Bahasa indonesia,bahasa daerah dan bahasa asing Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari suku bangsa, dengan berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Berapa banyak daerah yang ada di Indonesia? Jumlah yang pasti memerlukan penelitian yang lebih tepat dan lebih teliti. Kalau kita bersandar pada peta bahsa yang dibuat Lembaga Bahasa Nasional (kini pusat bahasa) tahun 1972 ada sekitar 480 buah bahasa daerah dengan jumlah penutur setiap bahasa berkisar antara 100 orang (ada di Irian Jaya) sampai yang lebih dari 50 juta (penutur bahasa jawa). Perhitungan yang tepat mengenai banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia memang agak sukar dilakukan. Pertama, pengertian mengenai beda antara bahasa dengan dialek seringkali terkacaukan. Misalnya, yang disebut bahasa pakpak dan bahasa dairi di Sumatra Utara secara linguistik adalah suatu bahasa yang sama karna tata bunyi, tata bahasa, dan leksikonnya sama; dan kedua anggota masyarakat tutur kedua bahsa itu dapat saling mengerti (mutually intelligible); tetapi masyarakat bahasa disana menganggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Sebaliknya bahasa Jawa Cirebon yang sudah sangat jauh bedanya dengan dialek bahasa Jawa yang lain, masih dianggap sebagai bahsa Jawa.(1976), yahya (1977), dan danie (1987) banyak penutur bahasa sulawesi di Sulawesi Utara yang menyamakan dialek Melayu Manado sama dengan bahasa indonesia, tetapi sebaliknya banyak penutur bahasa melayu di riau yang menganggap bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa indonesia. Ketiga, penelitian yang lebih akurat tentu membutuhkan tenaga dan dana yang tidak sedikit mengingat betapa luasnya negara Republik Indonesia. Memang barang kali kita dapat menggunakan data dari biro pusat statistik, atau meminta laporan dari para bupati, tetapi keakuratannya tidak bisa dijamin, mengingat dua alasan pertama yang disebut diatas. Persoalan kita sekarang masih perlukah kita mendata jumlah bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Jawabannya adalah “ya”, sebap apabila kita mengetahui keadaan kebahasaan di Indonesia dengan tepat atau agak tepat kita akan dapat membuat perencanaan bahasa dengan lebih tepat lagi. Perencanaan bahasayang tepat akan menjadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan bangsa dan negara. Keadaan kebahasaan Indonesia kini, pertama, ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia; kedua adanya ratusan bahasa daerang seperti yang disebut diatas; dan ketiga, adanya sejumlah bahsa asing, yang digunakan atau diajarkan dalam pendidikan formal. Ketiga bahasa ini secara sendiri-sendiri mempunyai masalah, dan secara bersama-sama juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks, dan yang perlu diselesaikan. Masalah yang dihadapi adalah yang berkenaan dengan status sosial dan politik ketiga bahsa itu, masalah 28
penggunaannya, masalah saling pengaruh diantara ketiganya, masalah pembinaan, dan pengajarannya. Status sosial politik, dalam arti kedudukan dan fungsi, ketiga bahasa itu telah dirumuskan dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta bulan februari tahun 1975. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional dimulai ketika sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928, para pendahulu kita mengangkatnya dari bahasa melayu, yang sejak abad ke-16 telah menjadi lingua franca diseluruh Nusantara, menjadi bahasa persatuan, yang akan digunakan sebagai alat perjuangan nasional. Kedudukannya sebagai bahasa negara berkenaan dengan ditetapkannya didalam undang-undang dasar 1945 Bab XV pasal 36, yang menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Sebagai Bahasa Nasional, bahasa indonesia menjalankan tugas sebagai 1. Lambang, kebanggaan nasional 2. Lambang identites nasional 3. Sarana penyatuan bangsa 4. Dan sarana perhubungan antarbudaya dan daerah Lalu, dalam kedudukannya sebagai bahsa negara, bahasa Indonesia bertugas sebagai 1. Bahasa resmi kenegaraan 2. Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan 3. Sarana pengembangan budaya dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern Dari funsi fungsi yang di embannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia. Bahasa-bahasa lain yang merupakan bahasa penduduk asli seperti bahasa jawa , bahasa sunda, bahasa bali, bahasa bugis, dan sebagainya berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan bahasa-bahasa daerah ini dijamin kehidupan dan kelestariannya. Bab XV Undang-undang Dasar 1945. Bahasa daerah mempunyai tugas sebagai 1. Lambang kebanggaan daerah 2. Lambang identitas daerah 3. Sarana perhubungan didalam keluarga dan masyarakat daerah 4. Sarana pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah Selain itu, di dalam hubungannya dengan tugas bahasa Indonesia, bahasa daerah ini bertus pula sebagai 1. Penunjang bahasa Nasional 2. Sumber bahan pengembangan bahasa nasional 3. Bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Jadi, bahasa- bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua. Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti bahasa cina, bahasa inggris, bahasa arab, bahasa belanda, bahasa jerman dan bahasa prancis berkedudukan sebagai bahasa asing. Didalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa tersebut bertugas sebagai 1. Sarana penghubung antar bangsa 2. Sarana pembantu bahasa Indonesia 29
3. Dan alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. Jadi, bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga. Istilah bahasa pertama, bahasa kedua dan bahasa ketiga biasanya digunakan sebagai istilah dalam urut-urutan pemerolehan atau penguasaan bahasa. Bahasa yang mula-mula dipelajari seorang anak, biasanya dari lingkungan keluarganya, disebut bahasa pertama atau bahasa ibu. Dikota-kota besar di Indonesia kini sudah banyak anak-anak yang bahasa pertamnnya bahasa Indonesia, akibat pergaulan di sekolah maupun dirumah. Di kota-kota besar banyak ayah ibu yang sesama mereka masih menggunakan bahasa daerah, tetapi kepada anak-anaknya mereka langsung menggunakan bahasa indonesia. Kelak, kalau si anak, misalnya, mempelajari bahasa daerah ibunya, maka bahasa kedua menjadi bahasa daerah bagi anak itu. Banyaknya bahasa yang digunakan di Indonesia, terutama di kota- kota besar, ditambah dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi, menyebapkan terjadinya kontak bahasa dan budaya beserta dengan segala perristiwakebahasaan seperti bilingualisme, alih kode, acampur kode, interferensi, dan integrasi. Maka, kebanyakan orang-orang indonesiapun menjadi manusia-manusia bilingual maupun multi lingual. Yang betul-betul monolingual tentunya juga masih ada, tetapi terbatas bagi mereka yang bertempat tinggal yang jauh dari pusat keramaian, terisolasi, atau belum tersentuh oleh masyarakat luar. Begitupun peristiwa alih kode, camper kode, dan interferensi sudah ulai lazim dilakukan oleh para penutur bahasa Indonesia, maupun didalam bahasa daerah. Anehnya pula dalam masyarakat Indonesia ada bentuk-bentuk seperti cross boy dan cross mama yang didalam masyarakat inggris sendiri tidak dikenal. Juga bentuk halal-bihalal yang didalam masyarakat arab juga tidak ada. B. Pembakuan bahasa indonesia Pembakuan disebut juga standardisasi. Menurut J.S. Badudu”… yang dimaksud pembakuan atau standardisasi sebenarnya adalah penetapan aturan-aturan atau normanorma bahasa. Berdasarkan bahasa yang dipakai oleh masyarakat, ditetapkan pola-pola mana yang berlaku pada bahasa itu. Pola yang dipilih itulah yang dijadikan acuan. Bila kita akan membentuk kata atau menyusun kalimat, maka bentukan itu haruslah mengacu pada pola bahasa yang sudah ditetapkan itu. Standardisasi bahasa dapat dilakukan terhadap tulisan, ejaan, ucapan, perbendaharaan kata, pembentukan istilah, dan penyusunan tata bahasa. Standardisasi dapat dilakukan secara spontan, seperti penetapan bahasa Melayu Riau sebagai standar bahasa Melayu yang dipakai oleh sekolah-sekolah sebelum Perang Dunia ke-2; dapat juga secara terencana, seperti penyusunan suatu sistem ejaan, misalnya ejaan Suwandi, Van Ophyusen, dan penerapan istilah-istilah ilmu pengetahuan oleh Komisi Istilah”. Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa.Masalah kewajaran terkait dengan berbagai aspek. Dalam berbahasa, misalnya, aspek ini meliputi situasi, tempat, mitra bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lainlain. Aspek-aspek tersebut disebut juga dengan istilah konteks. Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi 30
sosial. Berdasarkan fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteks yang mempengaruhinya. Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah utama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar. Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut : 1. dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun lisan. 2. dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah. 3. dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra. 1. Bahasa Baku Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman. a. Kemantapan dan Kedinamisan Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya kalau dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research). Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan. b. Kecendikian atau Kerasionalan Ragam baku bersifat cendikia karena ragam baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh orang terpelajar. Selain itu, ragam baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan ragam baku memberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau penulis, serta memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca. Contoh kalimat yang tidak cendikia: 1) Dukun beranak di jalan. 2) Saya akan membeli buku sejarah baru. 31
3) Permasalahan itu telah disampaikan berulang kali. Kontruksi dukun beranak dan buku sejarah baru pada kalimat (1) dan (2) di atas bermakna ganda. Makna pada kalimat (1) kemungkinan ada dua, yaitu dukun melahirkan di jalan dan dukun yang profesinya sebagai dukun beranak berada di jalan. Kalimat (2) juga memiliki kegandaan makna. Makna kalimat tersebut bisa saja buku yang baru dan bisa juga sejarahnya yang baru. Sedangkan kalimat (3) terdapat kekurangtepatan dalm menentukan pasangan kata yang cocok. Perbaikan kata yang kurang tepat itu adalah berulang-ulang atau berkali-kali. c. Penyeragaman Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjjurkan mengguanakan istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan kata steward/stewardes dan penyerapan itu seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks keindonesiaan. 2. Fungsi Bahasa Baku Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan. Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut adalah : (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb. Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu 32
(1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penanda wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Dengan demikian, lafal baku–sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis– mempunyai fungsi sosial sebagai : (1) pemersatu, (2) penanda kepribadian, (3) penanda wibawa, dan (4) sebagai kerangka acuan. 3.Keperluan pembakuan bahasa Indonesia Melihat pembakuan bahasa dan keadaan bahasa Indonesia dewasa ini, pembakuan bahasa Indonesia sangat diperlukan. Pembakuan bahasa berarti pemilihan salah satu variasi yang diangkat untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu, dan ditempatkan di atas variasi yang lain. Pembakuan bahasa tidak dimaksudkan untuk mematikan variasi-variasi bahasa bukan baku. Variasi-variasi bahasa bukan baku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya. 4. Dasar-dasar pembakuan bahasa Indonesia Sehubungan dengan hal terebut di atas, M.F. Baradja mengemukakan lima dasar yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia, yaitu 1) Otoritas 2) Bahasa penulis terkenal 3) Demokrasi 4) Logika 5) Bahasa orng-orang yang dianggap terkenal oleh masyarakat. 5. Pemilihan Ragam Baku Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan. Penggunaan ragam baku - Surat menyurat antarlembaga - Laporan keuangan - Karangan ilmiah - Lamaran pekerjaan - Surat keputusan - Perundangan - Nota dinas - Rapat dinas - Pidato resmi - Diskusi - Penyampaian pendidikan - Dan lain-lain. 33
6. Bahasa Indonesia Baku Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku,maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan cirri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu,seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku,ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya. Dalam konteks lafal baku ini,sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku. Tulisan lafal baku lafal tidak baku Analisis analisis analisa apotek apotek apotik atlet atlet atlit bus bus bis besokn besok esok dapat dapat dapet enam enam anam kalau kalau kalaw kalow,kalo Dalam bidang ejaan,pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901,dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947,diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini disajikan perubahan dalam EYD : Lama Yang Disempurnakan dj djalan j jalan j pajung y payung nj njonja ny nyonya sj sjarat sy syarat tj tjakap c cakap Dalam bidang tata bahasa,pembakuan telah dilakukan,yakni dengan diterbitkannya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang saat ini telah tiga edisi. Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari (1)ejaannya, (2)lafalnya, (3)bentuknya, (4)sumber pengambilannya. Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari : 1) Kosakata Bahasa Indonesia
34
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,baik yang lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu syarat(boleh lebih)berikut ini. a) Kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan,seperti tunak (steady), telus(percolate), imak (simulate). b) Kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama, seperti gulma jika dibandingkan dengan tumbuhan pengganggu,suaka(politik) dibandingkan dengan perlindungan(politik). c) Kata yang tidak bernilai rasa(konotasi)buruk dan yang sedap didengar(eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes, tunakarya dbandingkan dengan penganggur. Disamping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makna asalnya, misalnya: Berumah dua,gaya, pejabat teras, tapak, garam, hari jatuh, peka. 2) Kosakata Bahasa Serumpun Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka istilah dicari dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi syarat pada bagian 1)di atas. Misalnya: istilah yang lazim:gambut(banjar), nyeri(sunda), timbel(jawa), istilah yang tidak lazim atau sudah kuno: gawai(jawa), luah(bali, bugis, minangkabau, sunda). 3) Kosakata Bahasa Asing Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu. 7. Ragam Baku Tulis Dan Baku Lisan Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan ragam tulis,ragam baku dan ragam tidak baku. Oleh sebab itu, muncul ragam baku tulis dan ragam baku lisan. Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang mendahulukan ragam baku tulis secara nasional. Usaha itu dilakukan dengan menerbitkan masalah ejaan bahasa Indonesia, yang tercantum dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,Pedoman Umum Pembentukan Istilah,dan pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia(Arifin,1996:19-20).Seiring dengan perubahan orientasi, dari budaya dengar-bicara menuju budaya baca-tulis, yang tak terelakkan di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, maka Pusat Bahasa Depdiknas melakukan berbagai upaya. Upayaupaya tersebut antara lain pada tahun 2003 Pusat Bahasa menerbitkan beberapa buku seri pedoman. Buku-buku tersebut adalah (1)Pdm 001 Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, (2)Pdm 002 Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (3)Pdm 003 Buku Praktis Bahasa Indonesia 1, (4)Pdm 004 Buku Praktis Bahasa Indonesia 2, dan (5) Pdm 005 Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Selain itu, para ahli dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Pusat Bahasa menyusun sebuah buku rujukan utama, yakni Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Buku teraebut hingga saat ini telah berada pada edisi ketiga. Untuk lebih jelas tentang ragam baku tulis yang 35
digunakan dalam karya ilmiah perhatikan kertas kerja Amrin Saragih,2004 dan Khairil Ansari,2003. Disamping ragam baku tulis, ragam baku lisan juga dimasyarakatkan. Berbeda dengan ragam baku tulis, ragam baku lisan penanganannya sangat sulit. Kesulitan itu muncul karena umumnya para penutur bahasa Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Implikasi dari itu,kemungkinan besar pengaruh bahasa pertama,baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun logat atau dialek akan terjadi bila ia bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seseorang dikatakan menggunakan ragam baku lisan apabila ia dapat meminimalkan atau menghilangkan ragam daerah dalam tuturan. Ini berarti, bila ia berbicara maka orang lain tidak dapat mengidentifikasi secara linguistik dari mana ia berasal. 1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia Bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara. Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan. Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital). AB terBANG TERbang menerBANGkan meNERbangkan menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya Pada contoh di atas tampak bahwa kaum terpelajar secara taat asas menempatkan tekanan pada suku kata kedua dari akhir (Kolom A) kecuali bila suku kata kedua itu mengandung vokal e pepet (/ /), sedangkan kelompok tak-terpelajar cenderung 36
menempatkan tekanan pada bentuk dasar pada suku yang tetap atau pada suku ketiga dari akhir (Kolom B), tanpa memperdulikan apakah suku tersebut mengandung e pepet atau tidak. Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam bahasa kaum takterpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen. 2. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama–dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur (1) jalur sekolah dan (2) jalur luar sekolah. a. Pembakuan Lafal melalui Jalur Sekolah Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1) Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya. (2) Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal /E/ cenderung dengan E taling. (3) Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku. b. Pembakuan Lafal melalui Jalur Luar Sekolah 37
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut. (1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku. (2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
C. Pengajaran bahasa indonesia TESOL dirancang dengan cara-cara yang substantif bagaimana pengajaran bahasa secara alamiah dikonsepkan. Seperti pengajaran pada umumnya, pengajaran bahasa dapat dipahami dalam berbagai cara – misalnya, sebagai ilmu, teknologi, kerajinan, atau seni. Perbedaan pandangan mengenai pengajaran bahasa, memengaruhi pada apa yang dianggap penting dalam pengajaran bahasa dan berbeda pula pendekatan-pendekatan yang digunakan guru dalam pengajarannya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguji konsep pengajaran yang diusung oleh TESOL dan lebih jauh memikirkan tentang dampak dari pandangan-pandangan yang berbeda untuk pendidikan guru yang mengajar bahasa kedua. Pada makalah penting tentang hubungan antara pengajaran teori dan pengajaran keterampilan, Zahorik (1986) mengelompokkan konsep pengajaran menjadi tiga kelompok penting: konsep ilmu penelitian, konsep filosofi, dan konsep keterampilan. Saya akan mengambil kategori ini sebagai titik awal, mendeskripsikannya dengan contoh-contoh dari bidang pengajaran bahasa. Saya selanjutnya akan menguji bagaimana setiap konsep pengajaran menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam pemahaman kami pada pengajaran keterampilan yang esensial. Pendekatan ini melibatkan pengembangan prinsip-prinsip pengajaran dari penelitian memori, transfer, motivasi, dan faktor lain yang dipercaya sebagai hal yang penting dalam pembelajaran. Ketuntasan belajar dan pemrograman pembelajaran sebagai contoh dari konsep ilmu penelitian dalam pengajaran pendidikan umum. Di dalam TESOL, Audiolingualism, Pengajaran Bahasa Berbasis Tugas, dan Training Pembelajar mewakili penerapan dari penelitian pembelajaran pada pengajaran bahasa. Audiolingualism berasal dari penelitian pada asosiasi pembelajaran dengan psikologi tingkah laku. Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa pembelajaran akan berhasil dimanipulasi oleh tiga elemen yang terindikasi, yaitu: stimulus, yang digunakan untuk memancing tingkah laku; respon, yang dipicu oleh stimulus; dan reinforcement (penguatan), untuk menguatkan bahwa respon yang dilakukan sesuai, sehingga mendorong terjadinya pengulangan respon pada waktu yang akan datang. Penerjemahan 38
ke dalam metode pembelajaran seperti ini mengarah pada metode audiolingual, di mana pembelajaran bahasa dipandang sebagai proses pembentukan tingkah laku di mana pola bahasa target ditampilkan sebagai hafalan dan pembelajarn melalui dialog dan latihan. Pelatihan pembelajar adalah sebuah pendekatan yang menyimpulkan penelitian untuk penggunaan gaya konitif dan strategi pembelajaran yang digunakan para pembelajar dalam penyelenggaraan tugas pembelajaran di kelas yang berbeda. Penelitian ini mungkin melibatkan pengamatan pembelajar, meminta mereka untuk mengintrospeksi tentang strategi pembelajaran mereka atau menyelidik pembelajar dengan cara lain. Salah satu keberhasilan strategi pembelajaran ditandai dengan, strategi tersebut dapat diajarkan pada pembelajar yang lain. Strategi ini dirujuk sebagai pelatihan pembelajar. waktu jeda sebelum dan sesudah pelatihan diukur, dan ditemukan bahwa model latihan memberi dampak pada tingkah laku/pola pengajaran, dan pola tersebut memberi dampak pula pada cara pola partisipasi siswa, yang diyakini menjadi signifikan pada pemerolehan bahasa siswa (Long, 1984:vi). Pendekatan lain untuk meningkatkan teori pengajaran adalah menggunakan prinsip-prinsip pengajaran dari pembelajaran praktis dari guru yang efektif. Hal ini melibatkan identifikasi pada guru-guru yang efektif kemudian mempelajari praktikpraktik pengajaran mereka. Guru efektif ditandai dengan meningkatnya performa siswa pada pencapaian standar hasil tes. Dalam mempelajari guru yang efektif pada program pendidikan bilingual di California dan Hawai, sebagai contoh, Tikunof (1985) mengamati guru untuk menemukan bagaimana mereka mengelola pengajaran, struktur kegiatan pengajaran, dan memperluas tugas-tugas performa siswa. Guru diwawancarai untuk menentukan tujuan-tujuan dan filosofi pengajaran, dan kebutuhan/tagihan-tagihan yang mereka strukturkan pada tugas kelas. Sebuah analisis dari data kelas menunjukkan bahwa ada hubungan yang jelas antara: 1. kemampuan guru dalam membuat spesifikasi pengajaran dan keyakinan bahwa siswa-siswa dapat mengerjakan tugas instruksional yang tepat, 2. pengorganisasian dalam penyampaian pengajaran semacam tugas dan tagihan institusi tercermin dalam intensitas dan kesungguhan dari respon siswa, 3. kesetiaan konsekuensi siswa dengan hasil yang diharapkan. Rangkuman dari riset ini (Blum, 1984: 3-6), tentang 12 ciri pengajaran efektif: 1. Instruksional dipandu oleh kurikulum sebelum perencanaan. 2. Adanya harapan yang tinggi pada pembelajaran siswa. 3. Siswa yang cermat diorientasikan pada pembelajaran. 4. Intstruksional jelas dan fokus. 5. Pengawasan yang melekat pada kemajuan pembelajaran. 6. Pemberian pembelajaran ulang bila siswa belum memahami. 7. ‘Class time’ dignakan untuk pembelajaran. 8. Adanya rutinitas kelas yang efisien dan lancar. 9. Instruksional kelompok dibentuk di kelas untuk kebutuhan instruksional. 10. Standar perilaku kelas tinggi. 11. Adanya interaksi personal yang positif antara guru dan siswa. 39
12. Insentif dan penghargaan untuk siswa digunakan untuk memperoleh tingkatan paling bagus bagi mereka. Kefektifan dalam pengajaran semacam ini dapat dijadikan panduan bagi guru-guru yang melaksanakan pelatihan. Pendekatan pengajaran yang mencerminkan prinsip-prinsip tersebut telah dinamai sebagai Pengajaran Langsung atau Pengajaran Aktif.
Konsep-konsep yang menggarisbawahi berbagai metode pengajaran dapat dicirikan sebagai pendekatan rasionalis berbasis teori. Pendekatan ini menyarankan agar teori yang mendasari metode disertai alasan yang rasional. Berprinsip dari pemikiran yang sistematis, dari penyelidikan empiris, digunakan untuk memotivasi metode. Konsep pengajaran seperti ini cenderung tidak menggunakan daya dukung dari hasil yang dicapai di kelas seperti: dengan menunjukkan hasil pra dan postes dari metode yang digunakan tetapi lebih bertahan pada argumentasi logis. Pengajaran bahasa komunikatif, contohnya, muncul sebagai reaksi pada pendekatan berbasis gramatikal pada pengajaran yang diwujudkan dalam pengajaran materi, silabus, dan metode-metode pengajaran di era 1960-an. Faktor pendukung dibentuk Pengajaran Bahasa Komunikatif melalui kritik atas tidak terpenuhinya teori pedagogis dan linguistik yang menggunakan pendekatan berbasis gramatikal. Ini sering dideskripsikan sebagai sebuah ‘pendekatan prinsip’. Pengajaran Bahasa Komunikatif adalah sebuah usaha untuk mengoperasikan konsep kompetensi komunikasi dan mengaplikasikannya ke dalam semua rancangan program mulai dari teori, silabus sampai pada teknik pengajaran. Pendukungnya, bagaimanapun, tidak pernah merasa terdorong untuk menghasilkan bukti yang menunjukkan bahwa pembelajaran lebih berhasil bila metode pengajaran komunikatif dan bahan diterapkan. Teori ini dianggap cukup memberikan justifikasi terhadap pendekatan ini. Metode seperti Pendekatan Diam, sebaliknya, tidak banyak digunakan dalam teori linguistik sebagaimana juga dari teori pembelajaran. Hal ini lebih didasarkan pada serangkaian pengakuan dan keyakinan sebagaimana pembelajaran terjadi pada orang dewasa. Kelas ini menghasilkan hal yang berbeda dengan metode yang berusaha membuat simpulan pada prinsip-prinsip pembelajaran yang dipopulerkan oleh Gattegno (1982:203). Gattegno mengambil teori yang menggarisbawahi Pendekatan Diam sebagai bukti diri, tidak hanya teori tidak juga metode telah menjadi subjek dari verifikasi empiris. Salah satu pendekatan yang berbeda terhadap teori pembelajaran adalah mengembangkan model pembelajaran dari nilai-nilai yang dipegang guru, pembelajar, kelas, dan masyarakat pelaku pendidikan. Cara-cara tertentu yang berlaku dalam pengajaran dan pembelajaran, kemudian dilihat sebagai justifikasi secara terdidik dan kemudian dijadikan dasar dalam pengajaran berbasis praktis. Dalam beberapa situasi, hal ini memengaruhi munculnya pendekatan-pendekatan tertentu pada pengajaran yang dipandang sebagai justifikasi politis (berdampak bagus) dan sebaliknya ada yang dipandang sebagai hal yang tak bermoral, tidak etis, dan bersifat politis (berdampak buruk).
40
Pendekatan berbasis nilai dalam pendidikan tidaklah sulit untuk diidentifikasi. Sebagai contoh, pendukung “sastra pada kurikulum bahasa” sekolah berbasis pengembangan kurikulum atau guru sebagai pelaku riset merupakan hal yang esensial untuk mewujudkan sistem pendidikan atau nilai sosial dalam justifikasi pendapat mereka. Contoh yang lain dari pendekatan berbasis nilai dalam metode pengajaran bahasa adalah termasuk “Team Teaching”, pendekatan humanistik, kurikulum berpusat pada pembelajar, movement (pergerakan) dan pengajaran reflektif. “Team Teaching” didasarkan pada pandangan bahwa guru akan bekerja dengan baik ketika mereka bekerja secara kolaboratif dan interaksi kolega pada semua tahap pembelajaran sangat menguntungkan baik untuk guru maupun siswa. Pendekatan humanistik dalam pengajaran bahasa merujuk pada pendekatan yang menekankan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, tumbuh sebagai insan yang menghargai diri sendiri dan pemahaman terhadap orang lain, memiliki sensivitas emosi dan perasaan kemanusiaan, dan melibatkan keatifan siswa dalam pembelajaran dan menggunakan cara-cara humanis di mana pembelajaran itu terjadi. Komunitas pembelajaran bahasa kadang-kadang disebut sebagai contoh pendekatan humanis, seperti yang dilakukan oleh Stevick dan Moskowitz. Pengajaran reflektif adalah sebuah pendekatan pengajaran yang didasarkan pada keyakinan bahwa guru-guru dapat mengembangkan pemahaman pengajaran dan kualitas pengajaran mereka sendiri dengan cara membuat kritik reflektif terhadap pengalamanpengalaman mereka. Dalam pendidikan guru, kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan pendekatan reflektif dalam pengajaran bertujuan mengembangkan keterampilan mempertimbangkan proses pengajaran dengan bijaksana, analitis, dan objektif sebagai cara untuk memajukan praktik kelas. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur yang memerlukan guru untuk mengumpulkan data dalam praktikpraktik pengajaran mereka (misalnya melalui audio atau video recording) untuk merefleksikan keputusan yang sudah dibuatnya (misalnya melalui penulisan jurnal), dan untuk menguji asumsi dan nilai-nilai tentang pengajaran (misalnya melalui peer-group discussion atau pengamatan melalui video). D. Sikap dan kemampuan berbahasa indonesia Sikap bahasa adalah hal yang penting dalam kaitanya dengan suatu bahasa karena sikap bahasa dapat melangsungkan hidup suatu bahasa. Berikut ini akan dibahas apa yang dimaksud dengan sikap bahasa dan bagaimana kaitanya dengan pemilihan suatu bahasa A. Sikap Bahasa Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut, sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa. Lambert menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Dengan penjelasan sebagai berikut: a. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang digunakan dalam proses berfikir. b. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka terhadap sesuatu. c. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir melalui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya. 41
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap. Dewasa ini ada tiga ciri sikap bahasa sebagai berikut: 1) Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2) Kebangaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. 3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong yang mendorong orang mengunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan kegunaan bahasa (languagae use). Kemampuan berbahasa indonesia Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampirhampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak baik bahan pembicaraan maupun para penyimaknya, apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkombinasikan gagasan-gagasannya apakah dia waspada serta antusias ataukah tidak. Menurut Nurgiyantoro (1995:276) berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil berbicara. Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan,serta perasaan (Tarigan, 1983:14). Tujuan Berbicara Berbicara merupakan sarana kita berkomunikasi satu sama lain, sebelum menjelasakan tujuan berbicara alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu fungsi bahasa, fungsi bahasa yang kita tahu sangat banyak sekali, diantaranya: a) Bahasa sebagai sarana komunikasi, yaitu kita tahu bahwa bahasa merupakan sarana kita untuk melakukan komunikasi satu sama lain. b) Bahasa sebagai sarana integrasi dan adaptasi, yaitu dengan bahasa orang dapat menyatakan hidup bersama dalam suatu ikatan, misalnya pekerjaan, integritas kerja suatu instansi atau karyawan. c)Bahasa sebagai sarana kontrol sosial, yaitu bahasaberfungsi untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang terlibat dalam omunikasi dapat saling memahami. d)Bahasa sebagai sarana memahami dri, yaitu bahasa dalam membangn karakter seseorang harus dapat memahami dan mengidentifikasi kondisi dirinya sendiri. 42
e)Bahasa sebagai sarana ekspresi diri, yaitu yaitu bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan diri misalnya menyatakan cinta f) Bahasa sebagai sarana memahami orang lain, yaitu untuk menjamin efektivitas komunkasi. Dan masih banyak lagi fungsi bahasa bagi kita dalam kehidupan sehari-hari, selanjutnya bahasa yang memiliki fungsi yang banyak itu tak dapat lepas dari tujuan berbicara itu sendiri sebagai aplikasi dalam berbahasa, tujuan berbicara Menurut Djago, dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan yaitu (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, dan 5) menggerakkan. C. Faktor Penunjang Kegiatan Berbicara Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut. Faktor kebahasaan, meliputi a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, c) pilihan kata, d) ketepatan penggunaan kalimat serta tata bahasanya, e) ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi f) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, g) pendangan harus diarahkan ke lawan bicara, h) kesediaan menghargai orang lain, i) gerak-gerik dan mimik yang tepat, j) kenyaringan suara, k) kelancaran, l) relevansi, penalaran, m) penguasaan topik. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan (nonlinguistik). Faktor Penghambat Kegiatan Berbicara Ada kalanya proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan pesan yang diterima oleh pendengar tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara. Tiga faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara, yaitu: 1) Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan faktor yang berasal dari luar partisipan. 2) Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik, misalnya lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh, dan 3) Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya dalam keadaan marah, menangis, dan sakit. 43
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. “Sosiolinguisitik Perkenalan Awal”. Jakarta: Rineka Cipta Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineke Cipta Nababan,P.W,.J.1993.Sosiolinguistik Suatu Pengantar.PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Sosiolinguistik pengenalan awal kridalaksana,Harimurti.2008.Kamus Linguistik.PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Gramedia Rahardi, R. Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia Aminuddin. Semantik. Bandung: Sinar Baru. 1988. Chaer Abdul, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995. Djajasudarma Fatimah, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. 2009. Pateda Mansoer, Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. 2001. Tarigan, H.G. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa. 1985. H,S, Widjono.2005.Bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi.jakarta Haryadi dan Zamzani.1996/1997. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia.Depdikbud Dirjen Dikti bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Supriyadi, dkk. 2005. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Depdikbud Tarigan, H.G. 1986. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Lambert, W. E. A. Social Psichology Of Bilingualism. Journal Of Social Issues 23. Chaer, A. Dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Garvin, P.L Dan M. Mathiot. 1968. The Urbanization Of The Gurani Language : Problem In Language And Culture. Kartomiharjo, S. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dikbud. Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Dimyathi, Afifudun. 2010. Ilmu Al-Lughah Al-Ijtima’I. Surabaya: Dar Al-Ulum AlLughawiyyah
44