REFERAT
DEMENSIA ALZHEIMER
Oleh:
Ari Achmad B (2007730015)
Yanuar Adi N ( 2007730129)
Yuli Ermawati (2007730130)
Dosen Pembimbing :
dr. Cep Juli, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-
negara maju,dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin
mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkatnya usia
harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan
bahwa di Amerika Serikat,pada populasi di atas umur 65 tahun,persentase
orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua
kali lipat setiap pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan
pengobatan yang memadai,jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer di negara
tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang
pada tahun 2050.
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak
disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang
progresif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga juga sering
menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia
(biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal
yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,penurunan fungsi
kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status
fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada
lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi
dini terhadap munculnya demensia,karena ternyata berbagai penelitian telah
menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal
maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak
mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala
penurunan fungsi kognitif dan demensia awal,dokter dan tenaga kesehatan
lain juga mempunyai peran yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam
pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan
diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes
melitus,strok,riwayat keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan
fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut,maka
diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya
pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,bila
ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai
beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif pasien maka
seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya,baik
secara farmakologis maupun non-farmakologis.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50-60%)
dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia
terutama penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat
jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika
dengan insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita
Alzheimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang
ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia
mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan
intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya,
sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan
reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan
simetri, dan secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami
neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Gbr 1. Otak Sehat dan Otak Atrofi Gbr 2. Mikroskopis bagian kortikal otak
mengalami neuritis plaque dan degenerasi
neurofibrillary
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada
berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat.
Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi
dan kesehatan, sehingga aka semakin banyak yang berkonsultasi dengan
seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai
kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota
keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia. Dimana
demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang
disebabkan oleh penyakit otak,yang tidak berhubungan dengan gangguan
tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori
selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa, praksis dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus
cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara
bermakna.
2.2 Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia
kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang
menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun,
95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per
100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada
kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada
tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan
di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang
dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui
dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup
wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak
ada perbedaan terhadap jenis kelamin.
Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui
berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hiperetensi,diabetes
melitus,dislipidemia,serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis
dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1
Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom
21,koromosim 14,dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengan
penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari
Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini
mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan pada munculnya penyakit
ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat
pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit
Alzheimer,walaupun sebagaian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga
yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensianamun
munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang
menderita penyakit Alzheimer.
Gbr. 3 Penyakit Alzheimer
2.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Kemungkinan faktor genetik dan
lingkungan yang sedang diteliti (APoE atau β Secretase). Berdasarkan hasil
riset, menunjukan adanya hubungan antara kelainan neurotransmitter dan
enzim-enzim yang memetabolisme neurotransmitter tersebut.
Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi
neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan
dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami
degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya
produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut
terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Faktor risiko terjadinya penyakit Alzheimer diantaranya yaitu usia lebih
dari 65 tahun, faktor keluarga dan abnormalitas pada gen ApolipoproteinE
(APoE) terutama pada ras kaukasian.
2.4 Patogenesis
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara
signifikan terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi
terutama pada daerah limbik otak (terlibat dalam emosi) dan kortek (Memori
dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim kolinesterasi di korteks
serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin
di otak.
Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan
neurofibrillary tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di mana
terjadi defisit kolinergik sehingga plak tersebut berisi deposit protein
yang disebut ß-amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk fragment protein
yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid adalah fragment protein
yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein
(APP), yang dikatalisis oleh β-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen
protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.
Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu:
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer
ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan
garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko
menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol
normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan
familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio
proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan
kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles
(NFT), ssenile plaque dan penurunan. Marker kolinergik pada jaringan
otaknya yang menggambarkan kelainan histopatolgi pada penderita
alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar
menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan
ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer.
Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan
kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan
faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga
penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis,
ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut
menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat,
kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob
disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat
berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara
lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan
neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS).
Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah
keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau
sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga
ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium,
dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan
depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan
masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian
neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita
alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan
haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan
meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit
alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju
yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan
banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita
Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas
spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi
jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas
kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini
bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline
merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter
lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya
selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal,
akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat
mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
b. Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal
lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada
korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan
otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988),
melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-
mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas
neurottansmiter region hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih
kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi
regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5
hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita
alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari
meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat
bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan
pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya
neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi
serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B
untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan
peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B
meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus basalis dari
meynert.
2.4 Gejala Klinik
Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita
secara progresif yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan
ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan informasi,
penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan menemukan kata atau kesulitan
memahami pertanyaan atau petunjuk, ketidakmampuan menggambar atau mengenal
gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.
Kategori Gejala pada Alzheimer
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan -
lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan
penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit
alzheimer yaitu:
Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex
contructions
Language : poor woordlist generation, anomia
Personality : indifference,occasional irritability
Psychiatry feature : sadness, or delution in some
Motor system : normal
EEG : normal
CT/MRI : normal
PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
Memory : recent and remote recall more severely impaired
Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
Language : fluent aphasia
Calculation : acalculation
Personality : indifference, irritability
Psychiatry feature : delution in some
Motor system : restlessness, pacing
EEG : slow background rhythm
CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
Intelectual function : severely deteriorated
Motor system : limb rigidity and flexion poeture
Sphincter control : urinary and fecal
EEG : diffusely slow
CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Gbr. 4 Penyakit Alzheimer
2.5 Diagnosa
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang
yang tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu
konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease and Related
Disorders Association (ADRDA). (Tabel 1)
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju
progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan
kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan
menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai
dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan
mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau
mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau
obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan
penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular
dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit
Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.
Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus
diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala
berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol
berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,serta penggunaan
obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga
harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit
Alzheimer terdapat kecenderungan familial.
b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork
kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,
hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain
umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body (DLB), atau demensia
multi-infark.
c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan
fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE), yang
dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit
Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation
(menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan kemampuan
visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual
sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada
penyakit Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan
ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan
menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus
menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di
komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status
fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi
dengan keluarga.
"Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer "
"Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer "
"mencakup: "
"Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat "
"dengan pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia "
"Scale,atau pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes "
"neuropsikologis "
"Defisit pada dua atau lebih area kognitif "
"Tidak ada gangguan kesadaran "
"Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun "
"Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat "
"menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif "
"Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh: "
"Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti "
"afasia,apraksia,dan agnosia "
"Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku "
"Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah "
"dikonfirmasi secara neuropatologi "
"Hasil laboratorium yang menunjukkan "
"Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar "
"Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti "
"peningkatan atktivitas slow-wave "
"Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan "
"terdokumentasi oleh pemeriksaan serial "
"Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable "
"penyakit Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain "
"penyakit Alzheimer: "
"Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau) "
"Gejala-gejala yang berhubungan seperti "
"depresi,insomnia,inkontinensia,delusi, halusinasi,verbal "
"katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan "
"Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada "
"penyakit tahap lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan"
"gangguan melangkah "
"Kejang pada penyakit yang lanjut "
"Pemeriksaan CT normal untuk usianya "
"Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer "
"menjadi tidak cocok adalah: "
"Onset yang mendadak dan apolectic "
"Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan "
"sensorik,defisit lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal "
"penyakit;dan kehang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau "
"tahap awal perjalanan penyakit "
"Diagnosis possible penyakit Alzheimer: "
"Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan "
"neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan "
"demensia,dan adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau "
"perjalanan penyakit "
"Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder "
"yang cukup untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya "
"bukan merupakan penyabab demensia "
"Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: "
"Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer "
"Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi "
"Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan "
"bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe "
"penyakit Alzheimer,seperti: "
"Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama "
"Awitan sebelum usia 65 tahun "
"Adanya trisomi-21 "
"Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti "
"penyakit Parkinson "
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya
konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang
bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-
1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada
lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins
1937).
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT
ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia
alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak.
Gbr. 5 Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer
NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada
otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya
demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve
ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid
ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang
terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque
ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks
piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque
ini juga terdapat pada jaringan perifer.
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan
penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile
plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit
alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada
penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks
terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan
frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang
otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari
meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel
serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik
yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna
dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada
korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan
pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum
dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah
kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy
body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada
lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi
pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak
adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola
defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk
menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi
Alzheimer yang penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dgn demensia awal yang
dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat
penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan
untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan
deficit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei
Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang
diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease
(CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan
mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi
kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada Alzheim
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk
melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita
Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan
kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain Alzheimer seperti
multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan
pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang
sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga
didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer,
binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit
Alzheimer.
Gbr. 6 CT – Brain Normal dan Alzheimer
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel
berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status
mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah
kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel
lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal.
Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat
pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala,
serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan
demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan
memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis.
Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat
pada lobus frontalis yang non spesifik.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran
darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123
sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi
dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan sesuai dengan hasil
observasi penelitian neuropatologi.
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer.
Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan
defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak
digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita
alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan
penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin,
B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam
folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara
selektif.
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab
dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif
seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian
obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
Gbr.7 Pengobatan Alzheimer
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor
untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita
Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah
penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase seperti:
Takrin : Dosis10-40 mg kapsul
Efek samping : Mual,muntah,diare,nyeri lambung, kehilangan nafsu
makan,hilangnya koordinasi,anoraksia dan ataksia.
Donepezil : 5 dan 10 mg tablet diberikan sekali sehari menjelang
tidur
Keunggulan donepezil dibandingkan takrin :
Efek samping lebih ringan
Donepezil dapat diberikan sekali sehari
Takrin menyebabkan kenaikan enzim hepar
Rivastigmin : Dosis 6-12 mg/hari
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia
selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-
obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang
normal dan penderita alzheimer.
2. Antagonis Reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat)
Bekerja pada sistem glutamatergic dengan memblokir reseptor
NMDA.
Glutamat adalah rangsang yang berguna neurotransmiter dari
sistem saraf , meskipun jumlah yang berlebihan di otak dapat
menyebabkan sel mati melalui suatu proses yang disebut
excitotoxicity yang terdiri dari overstimulation dari glutamat
reseptor
Terapi Simptomatik
Penderita sering disertai gejala depresi seperti : gelisah,pelupa dan
insomnia(Antidepresan (SSRI,TCA)
Insomnia(Perlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedatif.
2.7 Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa
nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang
paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit
alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah
diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala -
gejala klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti
neuropatologi, neuropsikologis, MRI, SPECT, PET. Sampai saat ini penyebab
yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan
(riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus
ekspresi genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang
memuaskan, hanya dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk
menyenangkan penderita atau keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gilroy, John Basic Neurology, Mc Graw Hill. USA, 1997
Hauser,Stephen,L (ed). Harrison's, Neurology in Clinical Medicine . Mc
Graw Hill, Philadelphia, 2005
2. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal 11- 16
3. Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter
worth: 43-93
4. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other
dementia in population survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932
5. Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease.
Neurology 1997 (49): S11-S13
6. Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in
patiens with dementia of type alzheimer disease. Arc Neurol.
1995(52):1081-1086
7. Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill,
1995:765-77
8. Bird TD,Miller BL.Alzheimer's disease and other dementias.Dalam:
Kasper DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting.
Harrison's Principles of Internal Medicine,Edisi ke-16. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division;2005.h.2393-406
9. Cummings JL. Alzheimer's disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67
10. Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi
I,Setiati S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-
4.Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2006.h.1374-8
11. http://www.emedicine.com/EMERG/topic 163.htm
12. http://www.emedicine.com/alzheimer/topic
13. http://www.chinessejournal.com
-----------------------