REFERAT SARKOPENIA
Pembimbing: dr. Maria Riastuti Iryaningrum, Sp.PD-KGH
Disusun oleh: Sheila Adiwinata (2015-061-101) Riyanti Teresa Arifin (2016-061-023)
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM UNIVERSITAS KATOLIK ATMAJAYA JAKARTA PERIODE 29 MEI – 12 12 AGUSTUS 2017
1
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga Referat yang berjudul “Sarkopenia” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Maria Riastuti Iryaningrum, Sp.PD-KGH selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam proses penulisan referat ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penyelesaian referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangannya, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan referat ini di masa mendatang. Penulis juga memohon maaf bila di dalam Referat ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca. Akhir kata, penulis mengharapkan agar referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Juni 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................. ............................... iii BAB I PENDAHULUAN................................................... ......................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................ ................................................. 2
2.1 Definisi Sarkopenia.............................................. ...................................................................2 2.2 Epidemiologi Sarkopenia........................................................................................................2 2.3 Faktor Risiko Sarkopenia ........................................................................................................ 2 2.4 Etiologi Sarkopenia .............................................. ................................................................... 3 2.5 Patofisiologi Sarkopenia ...................................... ................................................................... 4 2.6 Penilaian pada sarkopenia ....................................................................................................... 9 2.7 Staging sarkopenia .............................................. ................................................................... 12 2.8 Diagnosis banding ................................................ ................................................................... 12 2.9 Tatalaksana sarkopenia ................................................. ......................................................... 13 BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................. 15 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16
3
BAB I PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa proses penuaan dikaitkan dengan banyak perubahan dalam tubuh manusia. Salah satu perubahan anatomi yang paling penting terkait usia adalah massa otot skeletal. Proses penuaan dikaitkan dengan hilangnya massa otot dan kekuatan otot. Istilah sarkopenia digunakan untuk menunjukkan penurunan progresif massa otot, kekuatan otot dan fungsi yang mempengaruhi orang tua. Sarcopenia berasal dari bahasa Yunani "sarx" untuk daging dan "penia" untuk kehilangan. Istilah ini pertama digunakan oleh Rosenberg pada tahun 1988 di sebuah simposium mengenai status gizi dan komposisi tubuh. Sarkopenia menghasilkan efek yang merugikan pada fungsi fisik orang tua. Penurunan massa otot dapat menyebabkan kecacatan pada manusia usia lanjut. Hal ini secara langsung bertanggung jawab atas gangguan fungsional dan kemungkinan terjatuh dan patah tulang. Sejumlah fungsi fisiologis yang terjadi di dalam jaringan otot memiliki peran penting dalam metabolisme manusia misalnya, otot merupakan cadangan protein dan energi tubuh yang penting yang dapat digunakan dalam kondisi ekstrim seperti stress atau malnutrisi. Asam amino bisa dimobilisasi selama infeksi akut dan juga digunakan sebagai blok untuk antibodi ketika hormon diproduksi dan dikomposisikan dalam jaringan otot. Dengan kata lain, pengurangan massa otot memiliki dampak buruk pada adaptasi metabolik dan respon imunologis terhadap penyakit. Meski begitu, masih banyak yang tidak dapat dijelaskan variasi massa otot dan kekuatan di antara orang tua yang sebagian dapat dijelaskan dengan pengamatan bahwa massa otot dan kekuatan di kemudian hari tidak hanya mencerminkan tingkat kehilangan tetapi juga puncak yang dicapai di awal kehidupan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sarkopenia Sarcopenia adalah sindrom yang ditandai dengan progresif dan kehilangan umum dari massa otot skeletal dan kekuatan dengan risiko buruk seperti cacat fisik, kualitas hidup yang buruk dan kematian. The European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP) menggunakan tiga hal, yaitu massa otot rendah, kekuatan otot rendah dan/atau performa fisik yang rendah untuk diagnosis sarcopenia. Alasan penggunaan kriteria tersebut adalah: kekuatan otot tidak hanya bergantung pada massa otot, dan hubungan antara kekuatan dan massa tidak linier. Sehingga, mendefinisikan sarcopenia hanya sebagai suatu bentuk kekurangan massa otot menjadi suatu hal yang terlalu sempit dan memiliki nilai klinis yang terbatas. Beberapa peneliti berpendapat istilah dynapenia lebih cocok untuk menggambarkan keterkaitan kehilangan otot dan fungsi otot terkait usia, namun, sarkopenia sudah merupakan istilah yang dikenal luas.
2.2 Epidemiologi Sarkopenia Kehilangan massa otot yang progresif terjadi dari usia sekitar 40 tahun. Penurunan ini diperkirakan sekitar 8% per dekade hingga usia 70 tahun, setelahnya meningkat menjadi 15% per dekade. Kehilangan kekuatan kaki 10-15% per dekade terlihat sampai usia 70 tahun, setelah itu terjadi kerugian lebih cepat, mulai dari 25% sampai 40% per dekade. Diperkirakan pengurangan 10,5% dari prevalensi sarkopenia dapat menyebabkan pengurangan biaya kesehatan sebesar 1,1 miliar dollar Amerika Serikat per tahun di Amerika Serikat. Menurut Kantor Statistik Nasional Korea, 7,2% populasi Korea berusia di bawah umur 65 dan lebih tua pada tahun 2000. Persentase tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 19,1% di tahun 2007.
2.3 Faktor Risiko Sarkopenia Faktor risiko dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori seperti konstitusional, proses penuaan, kebiasaan hidup seperti penurunan asupan protein, tidak digunakan atau kurangnya aktivitas fisik termasuk kurang olahraga, penggunaan tembakau dan alkohol,
5
perubahan pada kondisi hidup seperti istirahat di tempat tidur yang terlalu lama dan imobilitas dan kondisi kesehatan kronis.
Factors Constitutional Female Low birth weight Genetic susceptibility
Aging Process Increase muscle turnover Catabolic stimuli Protein degradation Low grade inflammation Anabolic stimuli Protein synthesis
Chronic Health Condition Cognitive impairment Mood disturbances Diabetes Mellitus Heart Failure Liver Failure Renal Failure Respiratory Failure Osteoarthritis Chronic Pain
Lifestyle Malnutrition Low protein intake Alcohol abuse Smoking Physical inactivity
Reduced number of muscle cells Myostatin ( recruitment) Apoptosis
Obesity Catabolic effects of drugs
Living conditions Starvation Bed rest Immobility deconditioning Weightlessness
Hormonal deregulation Testosterone, DHEA production Oestrogen production 1-25 (OH)2 vitamin D Thyroid Function Growth hormone, IGF-1 Insulin resistance Changes in neuromuscular system CNS input (loss of α- motor neurons) Neuromuscular disjunction Cilliary neurotrophic factor Motor unit firing rate Mitochondrial dysfunction Peripheral vascular flow
Cancer Chronic inflammatory Disease
2.4 Etiologi Sarkopenia Sarkopenia adalah kondisi dengan banyak penyebab dan outcome yang bervariasi. Sarkopenia tidak hanya terjadi pada orang tua tetapi juga dapat berkembang pada orang dewasa 6
muda, seperti juga kasusnya untuk demensia dan osteoporosis. Pada beberapa individu, penyebab tunggal sarkopenia dapat diidentifikasikan, di lain kasus, tidak ada penyebab yang jelas yang dapat diisolasi. Dengan demikian, kategori sarkopenia primer dan sarkopenia sekunder dapat digunakan dalam praktik klinis. Sarcopenia bisa dipertimbangkan sebagai primer (keterkaitan dengan usia) bila tidak ada penyebab lain yang jelas dan dikarenakan semakin menuanya diri, sementara sarkopenia bisa dipertimbangkan sebagai sekunder, ketika satu atau lebih banyak penyebab lainnya yang jelas. Pada kebanyakan manusia lanjut usia, etiologi sarcopenia bersifat multifaktorial sehingga tidak mungkin untuk mengkarakterisasi setiap individu sebagai memiliki kondisi primer atau sekunder.
Gambar 1. Pengelompokkan Sarkopenia berdasarkan Etiologi
Derajat Sarkopenia, menentukan tingkat keparahan dari kondisi dan juga menentukan manajemen klinis terkait kondisi. EWGSOP menentukan derajat sarkopenia menjadi presarkopenia, sarkopenia dan sarkopenia derajat berat (severe sarcopenia). Presarcopenia ditandai dengan massa otot yang rendah tanpa berdampak pada kekuatan otot atau kinerja fisik. Tahap ini hanya bisa di identifikasikan oleh teknik yang mengukur massa otot secara akurat Sarkopenia ditandai dengan massa otot rendah, ditambah kekuatan otot rendah atau kinerja fisik rendah. Sedangkan sarkopenia berat ditegakkan bila semua ketiga kriteria terpenuhi, yaitu massa
7
otot rendah, kekuatan otot rendah dan performa fisik yang rendah. Mengetahui tahap sarkopenia dapat membantu memilih perawatan dan menetapkan tujuan pemulihan yang tepat.
Gambar 2. Derajat Sarkopenia 2.5 Patofisiologi Sarkopenia Ada beberapa mekanisme yang mungkin terlibat dalam onset dan perkembangan sarcopenia.
Adanya
keterlibatkan,
antara
lain,
sintesis
protein,
proteolisis,
integritas
neuromuskular dan kandungan lemak otot. Pada individu dengan sarkopenia, beberapa mekanisme mungkin terjadi dan berkontribusi relatif dan dapat b ervariasi dari waktu ke waktu. Patogenesis sarkopenia adalah bagian dari sebuah proses kompleks perubahan terkait usia di struktur dan fungsi jaringan muskuloskeletal. Perilaku sosial dan gaya hidup seperti kurang aktivitas, merokok, diet buruk, obesitas, serta hormon hormonal terkait usia, neurological, faktor imunologis dan metabolik adalah faktor risiko yang penting. Kerentanan genetik juga berperan dalam terjadinya sarkopenia. Penyebab sarkopenia dibedakan menjadi intrinsik dan ekstrinsik. Penurunan hormon anabolik (testosteron, estrogen, Growth Hormon, insulin like growth factor1), kenaikan apoptosis di serat otot, peningkatan sitokin proinflamasi (misalnya TNF-Α, IL-6), stres
oksidatif
mengakibatkan
terjadinya
akumulasi
radikal
bebas,
perubahan
fungsi
mitokondria sel otot dan penurunan jumlah dari ɑ -motoneurons adalah beberapa dari faktor intrinsik. Kurangnya asupan energi dan protein, berkurangnya asupan vitamin D, akut dan komorbiditas akut dan kronis dan pengurangan fisik adalah beberapa kondisi ekstrinsik yang mengarah ke sarcopenia.
8
Gambar 3. Mekanisme Sarkopenia
2.6. Penilaian pada sarkopenia 2.6.1. Massa otot Massa otot dapat dinilai melalui beberapa cara, yaitu: a. Teknik pencitraan Massa otot dapat diperkirakan melalui CT scan, MRI maupun dual energy Xray absorptiometry (DXA). Namun pengukuran menggunakan pencitraan ini lebih banyak digunakan untuk penelitian karena tingginya biaya yang perlu dikeluarkan, akses terhadap peralatan yang bisa jadi terbatas dan pemikiran mengenai paparan radiasi terhadap pasien. CT scan dan MRI sebenarnya cara yang paling baik untuk memperkirakan massa otot karena dapat membedakan lemak dan jaringan otot, sehingga CT scan dan MRI merupakan gold standard dalam hal ini. DXA merupakan xray yang memaparkan dua energi sehingga dapat membedakan antara tiga jenis komposisi tubuh, lemak, tulang dan jaringan padat. DXA masih dapat digunakan untuk praktik klinis karena paparan radiasinya yang minimal dan cepat. Jumlah massa otot dari seluruh ekstremitas menghasilkan massa otot appendicular. Massa otot appendicular dibagi dengan tinggi badan kuadrat (ASM/height2) menghasilkan indeks massa otot skelet (SMI). Pada pasien yang 9
memiliki SMI 2SD dibawah kurva normal rata-rata usia muda (laki-laki <7.26 kg/m2, perempuan <5.5 kg/m2) dapat dinyatakan sebagai sarkopenia. (kriteria Baumgartner). b. Bioimpedance analysis (BIA) BIA dioperasikan dengan memasang arus elektrik AC ke tubuh dan arus tersebut akan mendeteksi jaringan yang kaya akan air, yaitu otot skelet. Namun pengukuran ini dapat menjadi kabur tergantung status hidrasi pasien atau jika pasien memiliki edema. Kelebihan dari BIA adalah murah, mudah digunakan dan dapat dipindah sehingga baik untuk pasien yang tidak dapat berjalan. c. Total or partial body potassium per fat-free soft tissue Otot skelet mengandung >50% dari total potassium tubuh, sehingga ini dapat menjadi metode alternatif untuk memperkirakan otot skelet. Potassium tubuh parsial belakangan ini juga sering digunakan karena lebih aman dan murah d. Pengukuran antropometri Pengukuran ini dilakukan dengan mengukur lingkar lengan atas dan ketebalan lemak lengan atas. Hal ini juga dapat dilakukan pada betis. Lingkar betis <31 cm biasanya berhubungan dengan disabilitas. Namun teknik ini lebih rentan untuk eror mengingat pada lansia terdapat perubahan deposit lemak dan elastisitas kulit.
2.6.2. Kekuatan otot Pengukuran kekuatan otot dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu. a. Kekuatan genggam tangan Kekuatan genggam tangan berhubungan erat dengan kekuatan ekstremitas bawah dan disabilitas ADL sehingga merupakan metode sederhana dan standar untuk mengetahui kekuatan otot keseluruhan b. Peak expiratory flow Pada pasien yang tidak memiliki kelainan paru, PEF ditentukan oleh kekuatan otot ekspirasi. PEF merupakan tes yang murah dan sederhana, namun perlu dilakukan tes lainnya untuk menunjang kekuatan otot yang sebenarnya
10
2.6.3. Performa fisik a. Short Physical Performance Battery SPBB mengevaluasi keseimbangan, gait, kekuatan dan ketahanan dengan menyuruh pasien berdiri dengan kaki rapat, semi tandem dan tandem, waktu yang diperlukan untuk berjalan 8 kaki, waktu yang diperlukan untuk bangkit dari kursi dan kembali duduk selama lima kali. SPBB telah diterima sebagai tes standar untuk mengetahui performa fisik b. Kecepatan berjalan Kecepatan berjalan merupakan bagian dari SPBB, namun dapat digunakan sebagai parameter yang terpisah c. Timed-get-up-and-go test TGUG dilakukan dengan pasien bangkit dari kursi, berjalan jarak dekat, berbalik dan kembali untuk duduk. Hal ini digunakan untuk menilai keseimbangan dinamis. d. Stair climb power test SCPT lebih banyak digunakan untuk keperluan penelitian
Gambar 4. Karakteristik teknik pemeriksaan sarkopenia
11
Gambar 5. Alur diagnosis sarkopenia 2.7. Staging sarkopenia 1. Presarkopenia: penurunan massa otot tanpa memengaruhi kekuatan otot atau performa fisik. 2. Sarkopenia: penurunan massa otot disertai dengan penurunan kekuatan otot atau performa fisik. 3. Sarkopenia berat: penurunan massa otot disertai dengan penurunan kekuatan otot dan performa fisik.
2.8. Diagnosis banding Kelemahan (frailty) biasa diikuti dengan defisit multiple system organ, seperti psikologis, kognitif yang berbarengan dengan limitasi fisik. Cachexia biasa memiliki manifestasi berupa berat badan sangat kurang, penurunan massa lemak dan otot dan peningkatan pemecahan protein yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Cachexia 12
diawali dengan anorexia dan perubahan metabolic terlebih dahulu, seperti inflamasi, peningkatan proteolysis otot dan kerusakan metabolism karbohidrat, lemak dan protein
2.9. Tatalaksana sarkopenia 2.9.1. Olahraga dan diet Olahraga 2-3 kali seminggu berupa latihan resisten progresif, yaitu peningkatan beban olahraga secara berkala dapat membantu. Olahraga resisten meningkatkan laju sintesis protein melebihi proteolisis sehingga meningkatkan massa protein kontraktil dan hipertrofi otot. Latihan kekuatan, yang merupakan bagian dari latihan resistensi merupakan yang paling efektif dari semuanya. Sebaliknya didapatkan bahwa latihan aerobik kurang mendapatkan hasil yang memuaskan, namun tetap lebih baik daripada tidak olah raga sama sekali. Penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai durasi yang optimal, frekuensi, tipe latihan, apakah perlu dikombinasikan dengan olahraga aerobik dan bagaimana maintenance-nya. Selain itu olahraga saat usia paruh baya dikatakan lebih membantu mencegah terjadinya sarkopenia di kemudian hari.
2.9.2. Nutrisi Lansia seringkali dikaitkan dengan penurunan intake makanan dan anorexia, yang beriimplikasi pada malnutrisi terutama asupan protein. Hal-hal yang dapat memengaruhi anoreksia pada lansia meliputi psikologis, dukungan sosial dan perubahan fisiologis (kondisi gigi yang buruk, perubahan penghidu dan perasa). Pada lansia, katabolisme protein juga lebih cepat. Nutrisi yang berperan penting dalam sarkopenia adalah protein, vitamin D dan antioksidan. Protein diperlukan untuk sintesis otot skelet, terutama leusin, namun jumlah dan komposisi protein untuk penderita sarkopenia belum jelas. Vitamin D juga terbukti berhubungan dengan kekutatan otot. Suplementasi vitamin D pada penderita sarkopenia dapat meningkatkan kekuatan dan performa fisik. Akumulasi dari reactive oxygen species (ROS) dapat memperparah sarkopenia meskipun mekanismenya belum jelas. Penggunaan antioksidan dapat membantu untuk
13
mencegah sarkopenia yang lebih parah. Namun intake protein yang tinggi perlu dipertimbangkan dan diteliti lebih lanjut pada pasien dengan penyakit ginjal. 2.9.3. Farmakologis Growth
hormone
dapat
membantu
meningkatkan
massa
otot,
namun
pertimbangan resiko dan keuntungan dari pemberian growth hormone masih dipertanyakan karena perubahan kekuatan otot dan performa fisik tidak banyak berubah.
Suplementasi
testosterone
pada
pasien
laki-laki
dapat
membantu
meningkatkan massa dan kekuatan otot namun sayangnya dapat memiliki efek samping kelainan kardiovaskular. Inhibisi sistem RAAS mungkin dapat membantu otot skelet, sehingga ACE inhibitor diperkirakan dapat meningkatkan fungsi fisik dari otot. Salah satu obat yang dapat membantu adalah perindopril dan spironolakton. Namun dari semua medikasi yang ada belum ada satu obatpun yang menghasilkan perubahan yang signifikasn pada pasien sarkopenia.
14
BAB III KESIMPULAN
Kehilangan massa otot dan kekuatan dengan usia adalah proses yang lambat namun progresif. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari sarkopenia telah menunjukkan bahwa terkait dengan banyak penyebab, seperti proses penuaan itu sendiri, kerentanan genetik, praktik gaya hidup, perubahan kondisi hidup dan banyak penyakit kronis. Sarkopenia juga mewakili aserangkaian
hasil
yang
tidak
menguntungkan,
seperti
hilangnya
massa
otot,
kekuatan dan kualitas, dan hasil sekunder yang menyebabkan keterbatasan fungsional lebih lanjut, Kehilangan mobilitas dan meningkatnya risiko kecacatan, jatuh dan patah tulang. Penelitian saat ini menunjukkan hasil yang menjanjikan pada penilaian sarcopenia dan pendekatan praktis terhadap pengelolaan pasien sarkopenik dan/atau pasien yang berisiko terkena sarcopenia dalam hal pencegahan serta pengobatannya. Namun sangat diperlukan penelitian lebih lanjut terutama untuk tatalaksana yang spesifik dan lengkap. Sarcopenia benar benar dalam agenda penelitian penuaan dan perlu dikenali dalam praktik klinis rutin.
15
DAFTAR PUSTAKA
Sarcopenia: Definition, Epidemiology, and Pathophysiology. Mandell LA. Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD. Dean NC, et al. J Bone Metab. 2013 May; 20(1): 1 – 10. doi: 10.11005/jbm.2013.20.1.1 Kenny RA, Coen RF, Frewen J, Donoghue OA, Cronin H, Savva GM. Normative values of cognitive and physical function in older adults: findings from the Irish Longitudinal Study on Ageing. J Am Geriatr Soc. 2013;61 Suppl 2:S279-90. Cruz-Jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia: European consensus on definition and diagnosis. Age Ageing. 2010 Jul;39(4):412 – 23. Rubbieri G, Mossello E, Di Bari M. Techniques for the diagnosis of sarcopenia. Clin Cases Miner Bone Metab. 2014;11(3):181 – 4. Santilli V, Bernetti A, Mangone M, Paoloni M. Clinical definition of sarcopenia. Clin Cases Miner Bone Metab. 2014;11(3):177 – 80. Dodds R, Sayer AA. Sarcopenia. Arq Bras Endocrinol Metab. 2014;58(5):464-9 Udaka J, Fukuda N,Yamauchi H, Marumo K. Clinical definition and diagnostic criteria for sarcopenia. J Phys Fitness Sports Med. 2014;3(3): 347-352 (2014) Hairi NN, Bulgiba A, Hiong TG, Mudla I (2012). Sarcopenia in Older People. Geriatrics, Prof. Craig Atwood (Ed.), ISBN: 978-953-51-0080-5. 29-40
16