BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT
UNIVERSITAS PATTIMURA MARET 2016
GUILLAIN BARRE SYNDROME
. Disusun oleh:
Emelia Rasako
(2010-83-004)
Pembimbing:
dr. Parningotan Y. Silalahi, Sp.S
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN NEUROLOGI RSUD DR. M HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Emelia Rasako
NIM : 2010-83-004
Judul Referat : Guillain Barre Syndrome
Telah menyelesaikan tugas penyusunan referat dalam rangka kepaniteraan
klinik pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura
Ambon di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.
Ambon, April 2016
Pembimbing
dr. Parningotan Y. Silalahi Sp.S
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................
...................... i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….... iii
BAB I.
PENDAHULUAN.................................................................
................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI………………………………………….……………………...... 2
2.
ETIOLOGI……................................................................
............................. 2
3. PATOFISIOLOGI……………………………….......................................... 2
4. KLASIFIKASI……………………………………………………………...5
5. MANIFESTASI
KLINIS....................................................................
...........5
6.
DIAGNOSIS.................................................................
................................. 6
7. DIFERENTIAL DIAGNOSIS…………………………….………………..9
8.
PENATALAKSANAAN...........................................................
..................10
9.
PROGNOSIS.................................................................
...............................13
BAB III. PENUTUP……………………………………………………………14
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................
............................15
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain Barre atau secara klinis sering disebut "Poli Radikulo
Neuropati inflamasi demylinating polyneuropathyyang disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post
Infections Polyneuritis yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut
dan difus dari sistem saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf perifer,
dan kadang-kadang saraf kranialis setelah suatu infeksi. Dahulu sindrom ini
diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap
bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang
ialah suatu kelainan imunobiologis baik secara primary immune response
maupun immune mediated process. Infeksi saluran pernafasan dan
gastrointestinal sering mendahului gejala neuropathy dalam 1 sampai 3
minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira 60% penderita dengan
Sindroma Gullain Barre. 1,2,3
SGB menyebabkan peningkatan frekuensi dari akut flaccid paralisis di
seluruh dunia dan mendasari satu dari keadaan darurat yang serius pada
bidang neurologi, 20% pasien berkembang menjadi kelumpuhan yang berat dan
kira-kira 5% meninggal. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa
keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai
prognosa yang baik. SGB perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan
penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.1,2,3
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi
polineuropati akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan
disfungsi saraf kranial dan sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi
akut ini menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menyerang bagian dari
susunan saraf tepi dirinya sendiri dan menyebabkan kerusakan pada saraf-
saraf tersebut.2
Etiologi 3,4,18
Tidak ada etiologi yang akurat dan belum secara lengkap dapat
dimengerti namun sejumlah besar penelitian mengindikasikan bahwa
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu oleh
berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun virus, dan vaksinasi.
Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi
citomegelovirus, Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri seperti
mycoplasma pneumoni dan lyme disease. Campylobacter Jejuni mungkin adalah
bakteri yang paling banyak dihubungkan dengan SGB.
Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun
bakteri pada manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit ini terlihat
berkorelasi dengan adanya antibodi serum pada myelin saraf perifer sehingga
menyebabkan terjadinya peradangan dan kerusakan mielin.
Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area
segmental sarafnya mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan
dengan tanda degenerasi akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar
spinal sama halnya pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel
yang teraktivasi di perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi
antigen, major histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori
faktor, berbagai sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan
tumor necrosis faktor alpha (TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan
mengawali aktivasi daripada komplemen, yang mengikat ikatan antibodi pada
permukaan sel schwaan dan memulai terjadinya vesikulasi dari myelin. Invasi
makrofag diamati terjadi pada waktu 1 minggu sesudah kerusakkan myelin
terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen
berikatan dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti
oleh pembentukkan kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan
degenerasi akson dari serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun
demielinisasi. 1,2,8
Gambar 1. Kemungkinan patofisiologi dari Sindrom Guillain Barre1
Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome 13
Klasifikasi Subtipe 12
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri
sebelumnya, gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi,
remielinisasi muncul setelah reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB
yang sering dijumpai di Eropa dan Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/ turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi
pada anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip
dengan AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali
terdapat pada dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia,
areflexia dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif,
resolusi dalam waktu 1-3 bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi,
hipertensi, disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur,
kekeringan pada mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak
sempurna, sering dijumpai juga gangguan sensorik.
Manifestasi Klinis
SGB merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke-
empat ekstremitas yang bersifat asendens.3,4,5,7,9 Parestesia ini biasanya
bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas
bawah dan menyebar secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf
pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai
pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul
pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan
dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan
ventilator dalam bernafas.3,7
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom
tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat.3,5,7
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah
bilateral facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB
adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi,
kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam,
dan penglihatan kabur (blurred visions).3,5,7,9
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:12
0. : Sehat
1. : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual
2. : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3. : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4. : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5. : Membutuhkan bantuan ventilasi
6. Kematian
Diagnosis
Diagnosis dari SGB biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya. Gejala
klinis utama dari SGB adalah kelemahan bilateral yang progresif dan relatif
simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa keterlibatan dari otot
respirasi atau otot yang diinervasi saraf kranial.3,4,6,8
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika kelemahan
didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset. Pada beberapa
pasien bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih sulit terutama ketika
nyeri muncul sebelum gejala kelemahan atau ketika kelemahan pada awalnya
hanya muncul pada kaki.3,4,6,7,8
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi virus
yang mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala, menanyakan ada atau
tidaknya retensi urin, untuk anak biasanya nyeri 50% sehingga membuat anak
menjadi rewel. Untuk pemeriksaan fisik pada Guillain Barre Syndrome
didapatkan antara lain: 3
a. Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota tubuh
b. Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya posisi
dan sensasi getar
c. Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
d. Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-20%
ophthalmoparesis
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus, retensi
urin, dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot
pernafasan.
f. Ataksia (23%).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis Sindroma
Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik yaitu adanya
kenaikkan jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya
kenaikkan jumlah sel yang melebihi 10 sel mononuclear per mm3, ini
didapatkan pada 80 sampai 90% dari pasien dengan SGB pada minggu pertama
sesudah onset dari gejala. Pemeriksaan darah tepi antara lain hemoglobin,
leukosit dan laju endap darah biasanya normal, kecuali ada infeksi pada
paru-paru dan saluran kencing.3,4,6,7,8,9
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah
timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras gadolinium
memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral
terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB adalah
83%.3,6,7,8,9
Untuk follow-up dan pemeriksaan spesifik dari pasien SGB yang dapat
dipertimbangkan: 3,4
a. Tes spesifik. Titer serum anti-GM1 antibodi pada axonal yang berbeda.
30% pasien mempunyai peningkatan antibody anti-GM1.
b. Anti GQ1b pada ophthalmoplagia dari SGB (jenis Miller-Fisher)
c. Kelainan yang mungkin di dapatkan pada hasil laboratorium:
demielinisasi neuropati DM mungkin mempunyai hasil pemeriksaan CSF
yang sama dengan SGB, tetapi bagaimanapun SGB biasanya mempunyai
protein CSF tinggi ( > 0,4 g/dL).
d. Protein normal pada 50% pasien pada minggu pertama penyakit.
Kriteria diagnosis umum yang dipakai adalah kriteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)
yaitu:3
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80%
dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan
otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot
ekstraokuler atau saraf otak lain.
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu.
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Diferensial Diagnosis 2,7
Diferensial diagnosis dari Sindrome Guillain Barre
1. Neuropati perifer
Neuropati vasculitis
Neuropati difterik
Acute intermittent porphyria
Critical illness neurophaty
Lymphomatous neurophaty
Heavy metal intoxication
Post-rabies vaccine neurophaty
Diabetic-uremic neuropathy with acute peritoneal dialysis
2. Gangguan neuromuscular jungtion
Myasthenia gravis
Eaton-lambert syndrome
Biological or industrial toxin poisoning
3. Disorder of muscle
Inflammatory myopathy
Toxic myopathy/ acute rhabdomyolysis
Periodic paralysis
Hypokalemia
Hypophoshatemia
Infeksi
4. Gangguan system saraf pusat
Brainstern stroke
Brainstern encephalitis
Acute myelopathy (high cervical)
Acute anterior poliomyelitis
Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pasien dengan SGB terutama membutuhkan perhatian yang multidisiplin
untuk mencegah dan menangani potensi komplikasi yang fatal. Pasien
membutuhkan kehati-hatian dan monitoring teratur dari fungsi paru
(kapasitas vital dan frekuensi respirasi) dan kemungkinan disfungsi
autonom (frekuensi denyut jantung dan tekanan darah) serta infeksi
membutuhkan pencegahan. Pasien dengan gejala yang berat juga membutuhkan
ketepatan waktu untuk memindahkan pasien ke Intensive Care Unit (ICU).
2,4,5,10
Kegagalan sistem pernapasan hingga membutuhkan ventilasi mekanik
terjadi pada 20 hingga 30 pasien SGB. Seorang neurologi harus memonitor
tanda klinis dari kegagalan pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot-
otot aksesoris untuk pernapasan, asinkronya gerakan dari dada dan perut
serta takikardi. Pada pasien dengan nyeri membutuhkan oral atau
parenteral analgesik ataupun dengan morphin intravena (1-7 mg/ jam).
Gabapentin (15mg/kg/ hari) dilaporkan efektif menurunkan nyeri pada
pasien dengan SGB. Terapi tambahan lainnya (mexiletine, tramadol,
tricyclic antidepresan) mungkin membantu pada jangka panjang dan jangka
pendek dalam menangani nyeri neuropati. Asetaminofen atau NSAID dapat
juga dicoba pada terapi lini pertama tetapi sering kali tidak
efektif.2,3,4,7,10
2. Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis
dan intravenous immunoglobulin.
a. Plasmaparesis
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji
klinis acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi
suportif. Hasil yang didapat adalah terapi dengan plasmaferesis
terbukti efektif, sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis
direkomendasikan pada kasus SGB berat. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Bahan pengganti plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh Frozen
Plasma (FFP). Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin
dialysis dan kemudian diganti dengan albumin atau FFP, dengan demikian
antigen asing dalam plasma pasien dapat dibuang.
1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemui adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. 12
b. Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi SGB. Pasien dengan
bentukkan klinis yang lebih berat, mungkin diuntungkan dengan
penggunaan IVIg karena durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga
dapatmenetralisasi antibody myelin yang beredar dengan berperan
sebagai antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatory
dan menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses mielinisasi.
Dosis maintenance 0.4- 0,5 gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus.1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Tabel 3. Penanganan SGB selama penyakit berlangsung7,18
"Diagnosis: "
"Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS "
"Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG "
"Berikan perawatan yang terbaik: "
"Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi"
"yang fatal, terutama: "
"Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, "
"frekuensi respirasi), diawali setiap 2 – 4 jam, pada fase "
"stabil setiap 6 – 12 jam "
"Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan"
"ileus) "
"Cek disfungsi menelan "
"Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk "
"hindari opioid "
"Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru "
"Pencegahan dekubitus dan kontraktur "
"Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIG dan PE: "
"Indikasi untuk memulai IVIg atau PE "
"Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan "
"= ketidakmampuan SGB skala 3 "
"Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah "
"munculnya gejala "
"IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari, (tidak diketahui apakah 1,0 g/kg"
"untuk 2 hari adalah unggul) "
"PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume "
"plasma "
"Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang "
"(skala 2) atau pasien MSF "
"Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan "
"sekunder sesudah awalnya membaik atau stabil (terapi "
"mengalami fluktuasi): diterapi dengan 0,4 g/kg untuk 5 hari "
"Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada "
"pasien yang berlanjut menjadi buruk. "
"Adakah indikasi untuk masuk ICU: "
"Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan"
"respirasi (kapasitas vital < 20 ml/kg) "
"Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik) "
"Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang "
"tinggi "
"Disfungsi autonom berat "
"Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasii "
"untuk ventilasi artificial "
"Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang "
"lambat "
"Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi "
"ulangan "
"Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai "
"Rehabilitasi dan kelelahan: "
"Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit "
"Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai. "
Prognosis 3,4,7,18,19,20
Secara keseluruhan SGB mempunyai prognosis yang baik, sekitar 90
sampai 95% penderita akan mengalami penyembuhan sempurna 6 sampai 12 bulan.
Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada fase akut
dimana dapat terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung.
Walaupun mempunyai prognosis baik tapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala
sisa dalam waktu 3 bulan, bila dengan keadaan antara lain:
a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relative normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. Progesifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 – 60 tahun.
Tiga puluh persen pasien SGB mengalami kelemahan residual sesudah 3
tahun. Tiga persen mengalami relaps lemah otot dan sensasi tertusuk-tusuk
bertahun-tahun sesudah serangan awal.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara klinis digambarkan dengan kelemahan
motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi
fisik, dan prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat
degenerasi aksonal, dan umur pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yuki N, MD, Hartung H P. Guillain Barre Syndrome. The new England
journal of medicine. 2012; 366: 2294-304 [cited 2015 Augt 03] Available
from:http://www.aahs.org/medstaff/wp-content/uploads/guillain-
barresyndromenejm20121.pdf
2. Pithadia A B, Kakadia N. Guillain barre syndrome (GBS). Pharmacological
reports. 2010; 62: 220-32 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.if-pan.krakow.pl/pjp/pdf/2010/2_220.pdf
3. Support and information for those affected by Guillain-Barré syndrome,
CIDP & associated inflammatory neurophaties. Issue 1.0. 2014 [cited 2015
Augt 03] Available from:
http://www.gaincharity.org.uk/pdf/A4_GBS_16pp.pdf
4. Wakerley B R. Uncini A, Yuki N. Guillain barre and miller fisher
syndromes-new diagnostic classification. Nature review neurology. 2014;
10: 537-44 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://static1.squarespace.com/static/53e0d272e4b0ea4fa48a8d40/t/545faddae
4b003a28634ed22/1415556570707/Wakerley+NatRevNeurol2014.pdf
5. Winer J B. An update in guillain barre syndrome. Hindawi publishing
corporation autoimmune disease. 2014 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://downloads.hindawi.com/journals/ad/2014/793024.pdf
6. Israr Y A. Juraita, S Rahmat. Sindroma Guillain Barre. Faculty of
medicine Riau. 2009 [cited 2015 Augt 03] Available from:
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/10/guillain_barre_syndrome_fi
les_of_drsmed.pdf
7. Walling A D, Dickson G. Guillain barre syndrome. American Family
Physician. 2013; 87(3): 191-97 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.aafp.org/afp/2013/0201/p191.pdf
8. Van doorn P A. Diagnosis, treatment and prognosis of guillain barre
syndrome (GBS). Nature reviews neurology. 2013; 42: 193-201 [cited 2015
Augt 03] Available from:
http://www.researchgate.net/profile/Pieter_Doorn/publication/263935465_Gui
llain-
Barr_syndrome_Pathogenesis_diagnosis_treatment_and_prognosis/links/54818cb
70cf263ee1adfc7cd.pdf?inViewer=true&&origin=publication_detail&inViewer=tr
ue
9. Beth A, Rosen. Guillain barre syndrome. American academy of pediatrics.
2012; 33(4): 164-71 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/33/4/164.full.pdf
10. Rinaldi S. Update on guillain barre syndrome. Journal of the peripheral
nervous system. 2013; 18: 99-112 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.readcube.com/articles/10.1111%2Fjns5.12020?r3_referer=wol&track
ing_action=preview_click&show_checkout=1&purchase_referrer=onlinelibrary.w
iley.com&purchase_site_license=LICENSE_DENIED
11. Inawati. Sindrome Guillain Barre. Departemen patologi anatomi. 2011
[cited 2015 Augt 03] Available from:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Des
ember%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
12. Lukito V, Mangunatmadja I, Pudjiadi A H, Puspandjono T M. Plasmaferesis
sebagai terapi syndrome guillain-barre berat pada anak. Sari pediatric.
2010; 11(06): 448-55
13. Sebastian S. A case of guillain-barre syndrome in a primary care
setting. The journal for nurse practitioners-JPN.2012; 8(8):643-8
14. Jarpadi, Iskandar. Sindoma Guillain Barre. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
15. Teguh, Dwi. Patofisiologi GBS. FKUWK. Surabaya. 2010.
16. Guillain Bare syndrome, an overview for the Layperson, 9th Ed. GBS
Foundation 2010.
17. Radinal, dkk. GBS. Bagian neurologi fakultas kedokteran universitas
hasanudin. Makassar. 2012.
18. Machfoed H. Buku Ajar Ilmu penyakit saraf. Surabaya : FKUA. 2011.
19. Mardjono, M. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat. 2014.
20. Djmal N. Prognosis Guilain Barre Syndrome. Bagian neurologi fakultas
kedokteran universitas hasanudin. Makassar. 2011.